Anda di halaman 1dari 38

15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR,


DAN HIPOTESIS

A. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian Pembelajaran Inkuiri dan Jigsaw

Pembelajaran berdasarkan inkuiri merupakan seni penciptaan situasi-situasi

sedimikian rupa sehingga siswa mengambil peran sebagai ilmuwan. Dalam situasi-

situasi ini siswa   berinisiatif untuk mengamati dan menanyakan gejala alam,

mengajukan penjelasan-penjelasan tentang apa yang mereka lihat, merancang dan

melakukan pengujian untuk menunjang atau menentang teori-teori mereka,

menganalisis data, menarik kesimpulan dari data eksperimen, merancang dan

membangun model, atau setiap kontribusi dari kegiatan tersebut di atas.

Pembelajaran inkuiri merupakan rangkaian kegiatan pembelajaran yang

menekankan pada proses berpikir secara kritis dan analitis untuk mencari dan

menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan. Proses berpikir

itu biasanya dilakukan melalui tanya jawab antara guru dan siswa. Metode inkuiri ini

sering juga dinamakan metode heuristic, yang berarti saya menemukan. Hal ini

muncul karena manusia memiliki dorongan untuk menemukan sendiri jawabannya.

Rasa ingin tahu tentang keadaan alam di sekelilingnya merupakan kodratmanusia

sejak ia lahir ke dunia (Sanjaya, 2008).


16

Gulo, (2002) menyatakan bahwa, metode inkuiri berarti suatu rangkaian

kegiatan belajar yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa untuk

mencari dan menyelidiki secara sistematis, kritis, logis, analitis, sehingga mereka

dapat  merumuskan sendiri penemuannya dengan penuh percaya diri. Sasaran utama

kegiatan pembelajaran inkuiri adalah (1) keterlibatan siswa secara maksimal dalam

proses kegiatan belajar, (2) keterarahan kegiatan secara maksimal dalam proses

kegiatan belajar , (3) mengembangkan sikap percaya pada diri siswa tentang apa yang

ditemukan dalam proses inkuiri. Inkuiri tidak hanya mengembangkan kemampuan

intelektual tetapi seluruh potensi yang ada, termasuk pengembangan emosional dan

keterampilan. Inkuiri merupakan suatu proses yang bermula dari merumuskan

masalah, merumuskan hipotesis, mengumpulkan data, dan membuat kesimpulan.

Sanjaya (2008), mengemukakan bahwa ada beberapa hal yang menjadi ciri

utama metode pembelajaran inkuiri yaitu; pertama, menekankan kepada aktivitas

siswa secara maksimal untuk mencari dan menemukan, artinya menempatkan siswa

sebagai subjek belajar. Dalam proses pembelajaran, siswa tidak hanya berperan

sebagai penerima pelajaran melalui penjelasan guru secara verbal, tetapi mereka

berperan untuk menemukan sendiri inti dari materi pelajaran.

Kedua, seluruh aktivitas yang dilakukan siswa diarahkan untuk mencari dan

menemukan jawaban sendiri dari sesuatu yang dipertanyakan, sehingga diharapkan

dapat menumbuhkan sikap percaya diri (self belief). Dengan demikian, metode

pembelajaran inkuiri menempatkan guru bukan sebagai sumber belajar, akan tetapi

sebagai fasilitatordan motivator belajar siswa.


17

Ketiga, tujuan dari penggunaan metode pembelajaran inkuiri adalah

mengembangkan kemampuan berpikir secara sistematis, logis, dan kritis, atau

mengembangkan kemampuan intelektual sebagai bagian dari proses mental. Dengan

demikian, siswa tidak hanya dituntut agar menguasai akan tetapi bagaimana mereka

dapat menggunakan potensi yang dimilikinya.

Pembelajaran inkuiri dirancang untuk mengajak siswa secara langsung ke

dalam proses ilmiah kedalam waktu yang relative singkat, Hasil penelitian Schlenker

dalam joice dan weil (1992 dalam Wena 2009 ) menunjukkan bahwa latihan inkuiri

dapat meningkatkan pemahaman sains, produktif dalam berpikir kreatif dan siswa

menjadi trampil dalam memperoleh dan menganalisis informasi.

Berbeda dengan inquri, model pembelajaran kooperatif jigsaw adalah suatu

model pembelajaran yang mengutamakan keaktifan siswa (student centered) dengan

membentuk kelompok-kelompok kecil yang beranggotakan 3-5 orang yang terdiri

dari kelompok asal dan kelompok ahli (Lie dalam Rusman, 2011:218). Model

pembelajaran ini didesain untuk meningkatkan rasa tanggung jawab siswa terhadap

pembelajarannya sendiri dan juga pembelajaran orang lain. Siswa tidak hanya

mempelajari materi yang diberikan, tetapi mereka juga harus siap memberikan dan

mengajarkan materi tersebut pada anggota kelompoknya.

Model kooperatif jigsaw merupakan model kooperatif dimana siswa memiliki

banyak kesempatan untuk mengemukakan pendapat dan mengolah informasi yang

didapat dan dapat meningkatkan keterampilan berkomunikasi, anggota kelompok


18

bertanggungjawab terhadap keberhasilan kelompoknya dan ketuntasan bagian materi

yang dipelajari dan dapat menyampaikan informasinya kepada kelompok lain.

Rusman (2011) mengemukakan bahwa, siswa-siswa bekerja sama untuk

menyelesaikan tugas kooperatifnya dalam: (a) belajar dan menjadi ahli dalam

subtopik bagiannya; (b) merencanakan bagaimana mengajarkan subtopik bagiannya

pada anggota kelompoknya semula. Setelah itu, siswa tersebut kembali ke kelompok

masing-masing sebagai “ahli” dalam subtopiknya dan mengajarkan informasi penting

dalam subtopik tersebut kepada temannya. Ahli dalam subtopik lainnya juga

bertindak serupa. Sehingga seluruh siswa bertanggung jawab untuk menunjukkan

penguasaannya terhadap seluruh materi yang ditugaskan oleh guru. Dengan demikian,

setiap siswa dalam kelompok harus menguasai topik secara keseluruhan.

2. Prinsip–prinsip Penggunaan Inkuiri dan Jigsaw

Ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam penggunaan inkuiri

menurut Sanjaya (2009).

a. Berorientasi pada Pengembangan Intelektual

Tujuan utama dari metode inkuiri adalah pengembangan kemampuan berpikir.

Dengan demikian , strategi pembelajaran ini selain berorientasi pada hasil belajar

juga berorientasi pada proses belajar. Karena itu, kriteria keberhasilan dari proses

pembelajaran dengan menggunkan strategi inkuiri bukan ditentukan sejauh mana

siswa dapat menguasai materi pelajaran, akan tetapi sejauh mana siswa beraktivitas

mencari dan menemukan.


19

b. Prinsip Interaksi

Proses pembelajaran pada dasarnya adalah proses interaksi, baik interaksi

antara siswa maupun interaksi siswa dengan guru bahkan antara siswa dengan

lingkungan. Pembelajaran sebagai proses interaksi berarti menempatkan guru bukan

sebagai sumber belajar, tetapi sebagai pengatur lingkungan atau pengatur interaksi itu

sendiri.

c. Prinsip Bertanya

Peran guru yang harus dilakukan dalam menggunkaan model inkuiri adalah

guru sebagai penanya. Sebab kemampuan siswa untuk menjawab setiap pertanyaan

pada dasarnya sudah merupakan sebagian dari proses berpikir.

d. Prinsip Belajar untuk Berpikir

Belajar bukan hanya mengingat sejumlah fakta, akan tetapi belajar adalah

proses berpikir (learning how to think) yakni proses mengembangkan potensi seluruh

otak, baik otak kiri maupun otak kanan. Pembelajaran berpikir adalah pemanfaatan

dan penggunaan otak secara maksimal.

e. Prinsip Keterbukaan

Pembelajaran yang bermakna adalah pembelajaran yang menyediakan

berbagai kemungkinan sebagai hipotesis yang harus dibuktikan kebenarannya. Tugas

guru adalah menyediakan ruang untuk memberikan kesempatan kepada siswa


20

mengembangkan hipotesis dan secara terbuka membuktikan kebenaran hipotesis yang

diajukan.

Menurut Wena (2009) terdapat empat prinsip dasar pembelajaran kooperatif

jigsaw, seperti dijelaskan di bawah ini:

1. Prinsip saling tergantung positif (positive interdependence). Dalam

pembelajaran kelompok, keberhasilan suatu penyelesaian tugas sangat

tergantung kepada usaha yang dilakukan setiap anggota kelompoknya.

Oleh karena itu, perlu disadari oleh setiap anggota kelompok keberhasilan

penyelesaian tugas kelompok akan ditentukan oleh kinerja masing-masing

anggota. Dengan demikian, semua anggota dalam kelompok akan merasa

saling tergantung.

2. Tanggung jawab perseorangan (individual accountability). Prinsip ini

merupakan konsekuensi dari prinsip yang pertama. Keberhasilan

kelompok tergantung pada setiap anggotanya, maka setiap anggota

kelompok harus memiliki tanggung jawab sesuai dengan tugasnya.

3. Interaksi tatap muka. Model pembelajaran kooperatif ini memberi ruang

dan kesempatan yang luas kepada setiap anggota kelompok untuk bertatap

muka saling memberi informasi dan saling membelajarkan. Interaksi tatap

muka akan memberi pengalaman yang berharga kepada setiap anggota

kelompok untuk bekerja sama, menghargai setiap perbedaan,

memanfaatkan kelebihan masing-masing anggota, dan mengisi

kekurangan masing-masing.
21

4. Partisipasi dan komunikasi. Model pembelajaran kooperatif jigsaw

melatih siswa untuk mampu berpartisipasi aktif dan berkomunikasi.

Kemempuan ini sangat penting sebagai bekal mereka dalam kehidupan di

masyarakat kelak.

3. Pelaksanaan Pembelajaran Inkuiri dan Jigsaw

Gulo dalam Trianto (2009:30) menyatakan, bahwa kemampuan yang

diperlukan untuk melaksanakan pembelajaran inkuiri adalah sebagai berikut:


22

1. Mengajukan Pertanyaan atau Permasalahan. Kegiatan inkuiri dimulai

ketika pertanyaan atau permasalahan diajukan. Untuk meyakinkan bahwa

pertanyaan sudah jelas, pertanyaan tersebut dituliskan di papan tulis,

kemudian siswa diminta untuk merumuskan hipotesa.

2. Merumuskan Hipotesis. Hipotesis adalah jawaban sementara atas

pertanyaan atau solusi permasalahan yang dapat diuji dengan data. Untuk

memudahkan proses ini, guru menanyakan kepada siswa gagasan yang

ada, dipilih salah satu hipotesis yang relevan dengan permasalahan yang

diberikan.

3. Mengumpulkan data. Hipotesis digunakan untuk menuntun proses

pengumpulan data. Data yang dihasilkan dapat berupa tabel, matrik, atau

grafik.

4. Analisis data. Siswa bertanggung jawab menguji hipotesis  yang telah

dirumuskan dengan menganalisis data yang telah diperoleh. Faktor

penting dalam menguji hipotesis adalah pemikiran “benar” atau “salah”.

Setelah siswa data yang telah dianalisis maka siswa dapat menguji

hipotesis yang telah dirumuskan. Bila ternyata hipotesis itu salah  atau

ditolak, siswa dapat menjelaskan sesuai dengan proses inkuiri yang telah

dilakukannya dan kemudian membuat kesimpulan.

Adapun langkah-langkah model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw menurut

Priyanto (2007) dalam Wena (2009) adalah sebagai berikut:


23

1. Pembentukan kelompok asal. Setiap kelompok asal terdiri dari 4-5 orang

anggota dengan kemampuan yang heterogen.

2. Pembelajaran pada kelompok asal. Setiap anggota dari kelompok asal

mempelajari submateri pelajaran yang akan menjadi keahliannya,

kemudian masing-masing mengerjakan tugas secara individual.

3. Pembentukan kelompok ahli. Ketua kelompok asal membagi tugas kepada

masing-masing anggotanya untuk menjadi ahli dalam satu submateri

pelajaran. Kemudian masing-masing ahli submateri yang sama dari

kelompok yang berlainan bergabung membentuk kelompok baru yang

disebut kelompok ahli.

4. Diskusi kelompok ahli. Anggota kelompok ahli mengerjakan tugas dan

saling berdiskusi tentang masalah-masalah yang menjadi tanggung

jawabnya. Setiap anggota kelompok ahli belajar materi pelajaran sampai

mencapai taraf merasa yakin mampu menyampaikan dan memecahkan

persoalan yang menyangkut submateri pelajaran yang menjadi tanggung

jawabnya.

5. Diskusi kelompok asal (Induk). Anggota kelompok ahli kembali ke

kelompok asal masing-masing. Kemudian setiap anggota kelompok asal

menjelaskan dan menjawab pertanyaan mengenai submateri pelajaran yang

menjadi keahliannya kepada anggota kelompok asal yang lain. Ini

berlangsung secara bergilir sampai semua anggota kelompok asal telah

mendapatkan giliran.
24

6. Diskusi kelas. Dengan dipandu oleh guru, diskusi kelas membicarakan

konsep-konsep penting yang menjadi bahan perdebatan dalam diskusi

kelompok ahli. Guru berusaha untuk memperbaiki salah konsep pada

siswa.

7. Pemberian kuis. Kuis dikerjakan secara individu. Nilai yang diperoleh

masing-masing anggota kelompok asal dijumlahkan untuk memperoleh

jumlah nilai kelompok.

8. Pemberian penghargaan kelompok. Kepada kelompok yang memperoleh

jumlah nilai tertinggi diberikan penghargaan berupa piagam dan bonus

nilai.

Adapun langkah-langkah pembelajaran setelah model pembelajaran inkuiri

dan jigsaw digabung yakni sebagai berikut:

1. Membentuk kelompok asal (jigsaw). Tahap pertama dari model

pembelajaran ini yaitu membentuk kelompok asal yang terdiri dari 4-5

orang anggota dengan kemampuan yang heterogen.

2. Mengajukan pertanyaan/ permasalahan (inkuiri) untuk didiskusikan oleh

setiap kelompok (jigsaw). Mengajukan pertanyaan atau permasalahan

kepada siswa. Untuk meyakinkan bahwa pertanyaan sudah jelas,

pertanyaan tersebut dituliskan dapat di papan tulis. Kemudian setiap

anggota dari kelompok asal mempelajari dan menganalisis permasalahan

yang telaha diberikan dan mengambil permasalahan yang akan menjadi


25

keahliannya, kemudian masing-masing mengerjakan tugas secara

individual.

3. Merumuskan hipotesis (inkuiri). Hipotesis adalah jawaban sementara atas

pertanyaan atau solusi permasalahan yang dapat diuji dengan data. Untuk

memudahkan proses ini, guru menanyakan kepada siswa gagasan yang

ada, dipilih salah satu hipotesis yang relevan dengan permasalahan yang

diberikan.

4. Membentuk kelompok ahli (jigsaw). Ketua kelompok asal membagi tugas

kepada masing-masing anggotanya untuk menjadi ahli dalam satu

submateri pelajaran dari permasalahan yang telah diberikan. Kemudian

masing-masing ahli submateri yang sama dari kelompok yang berlainan

bergabung membentuk kelompok baru yang disebut kelompok ahli.

5. Mengumpulkan data lalu menganalisis data yang diperoleh (inkuiri).

Hipotesis digunakan untuk menuntun proses pengumpulan data. Data

yang dihasilkan dapat berupa tabel, matrik, atau grafik. Setiap siswa

bertanggung jawab menguji hipotesis yang telah dirumuskan dengan

menganalisis data yang telah diperoleh. Faktor penting dalam menguji

hipotesis adalah pemikiran “benar” atau “salah”.

6. Diskusi kelompok asal (jigsaw). Anggota kelompok ahli kembali ke

kelompok asal masing-masing. Kemudian setiap anggota kelompok asal

menjelaskan dan menjawab pertanyaan mengenai permasalahan yang

menjadi keahliannya kepada anggota kelompok asal yang lain. Ini


26

berlangsung secara bergilir sampai semua anggota kelompok asal telah

mendapatkan giliran.

7. Diskusi kelas (jigsaw) untuk menguji hipotesis (inkuiri) hingga

memperoleh kesimpulan (inkuri). Guru memandu diskusi kelas dan

membicarakan konsep-konsep penting dari permasalahan yang telah

diberikan sebelumnya yang menjadi bahan perdebatan dalam diskusi

kelompok ahli. Guru berusaha untuk memperbaiki salah konsep pada

siswa. Setelah setiap kelompok telah memaparkan pemecahan masalah

sebagai hasil dari diskusi sebelumnya, maka siswa dapat menguji hipotesis

yang telah dirumuskan. Bila ternyata hipotesis itu salah  atau ditolak,

siswa dapat menjelaskan sesuai dengan proses inkuiri yang telah

dilakukannya dan kemudian membuat kesimpulan.

8. Pemberian kuis (jigsaw). Kuis dikerjakan secara individu. Nilai yang

diperoleh masing-masing anggota kelompok asal dijumlahkan untuk

memperoleh jumlah nilai kelompok.

9. Pemberian penghargaan kelompok (jigsaw). Kepada kelompok yang

memperoleh jumlah nilai tertinggi diberikan penghargaan berupa piagam

dan bonus nilai.

4. Pembelajaran Konvensional

Burrowes (2003 dalam Warpala, 2009) menyampaikan bahwa pembelajaran

konvensional menekankan pada resitasi konten, tanpa memberikan waktu yang cukup
27

kepada siswa untuk merefleksi materi-materi yang dipresentasikan,

menghubungkannya dengan pengetahuan sebelumnya, atau mengaplikasikannya

kepada situasi kehidupan nyata. Lebih lanjut dinyatakan bahwa pembelajaran

konvensional memiliki ciri-ciri, yaitu: (1) pembelajaran berpusat pada guru,

(2) terjadi passive learning, (3) interaksi di antara siswa kurang, (4) tidak ada

kelompok-kelompok kooperatif, dan (5) penilaian bersifat sporadis. Menurut Brooks

& Brooks (1993), penyelenggaraan pembelajaran konvensional lebih menekankan

kepada tujuan pembelajaran berupa penambahan pengetahuan, sehingga belajar

dilihat sebagai proses “meniru” dan siswa dituntut untuk dapat mengungkapkan

kembali pengetahuan yang sudah dipelajari melalui kuis atau tes terstandar.

Jika dilihat dari tiga jalur modus penyampaian pesan pembelajaran,

penyelenggaraan pembelajaran konvensional lebih sering menggunakan modus

telling (pemberian informasi), ketimbang modus demonstrating (memperagakan) dan

doing direct performance (memberikan kesempatan untuk menampilkan unjuk kerja

secara langsung). Dalam perkataan lain, guru lebih sering menggunakan strategi atau

metode ceramah dan/atau drill dengan mengikuti urutan materi dalam kurikulum

secara ketat. Guru berasumsi bahwa keberhasilan program pembelajaran dilihat dari

ketuntasannya menyampaikan seluruh materi yag ada dalam kurikulum. Penekanan

aktivitas belajar lebih banyak pada buku teks dan kemampuan mengungkapkan

kembali isi buku teks tersebut. Jadi, pembelajaran konvensional kurang menekankan

pada pemberian keterampilan proses (hands-on activities) (Suhaerman dalam Basri,

2009).
28

Berdasarkan definisi atau ciri-ciri tersebut, penyelenggaraan pembelajaran

konvensional merupakan sebuah praktik yang mekanistik dan diredusir menjadi

pemberian informasi. Dalam kondisi ini, guru memainkan peran yang sangat penting

karena mengajar dianggap memindahkan pengetahuan ke orang yang belajar

(pebelajar). Dengan kata lain, penyelenggaraan pembelajaran dianggap sebagai model

transmisi pengetahuan (Tishman, et al., 1993). Dalam model ini, peran guru adalah

menyiapkan dan mentransmisi pengetahuan atau informasi kepada siswa. Sedangkan

peran para siswa adalah menerima, menyimpan, dan melakukan aktivitas-aktivitas

lain yang sesuai dengan informasi yang diberikan.

Sumber belajar dalam pendekatan pembelajaran konvensional lebih banyak

berupa informasi verbal yang diperoleh dari buku dan penjelasan guru atau ahli.

Sumber-sumber inilah yang sangat mempengaruhi proses belajar siswa. Oleh karena

itu, sumber belajar (informasi) harus tersusun secara sistematis mengikuti urutan dari

komponen-komponen yang kecil ke keseluruhan (Herman, et al., 1992; Oliver &

Hannafin, 2001) dan biasanya bersifat deduktif. Oleh sebab itu, pembelajaran

diartikulasikan menjadi tujuan-tujuan berupa prilaku yang diskrit. Apa yang terjadi

selama proses belajar dan pembelajaran jauh dari upaya-upaya untuk terjadinya

pemahaman. Siswa dituntut untuk menunjukkan kemampuan menghafal dan

menguasai potongan-potongan informasi sebagai prasyarat untuk mempelajari

keterampilan-keterampilan yang lebih kompleks. Artinya bahwa siswa yang telah

mempelajari pengetahuan dasar tertentu, maka siswa diharapakan akan dapat

menggabungkan sub-sub pengethauan tersebut untuk menampilkan prilaku (hasil)


29

belajar yang lebih kompleks. Berdasarkan pandangan ini, pembelajaran konvensional

merupakan aktivitas belajar yang bersifat linier (O’Malley & Pierce, 1996) dan

deterministik (Burton, et al., 1996).

Pembelajaran yang bersifat linier didesain dengan kerangka kerja berupa

serangkaian aktivitas belajar dalam suatu tata urutan yang sistematis dan hasil belajar

(berupa prilaku) yang dapat ditentukan secara pasti (deterministik) serta teramati.

Beberapa prinsip yang melatar belakangi desian pembelajaran linier adalah:

(1) mengidentifikasi dan merumuskan tujuan pembelajaran, (2) hasil belajar yang

diharapkan harus terukur serta sesuai dengan standar validitas dan reliabilitas, dan

(3) desain berorientasi pada perubahan tingkah laku pebelajar.

Berdasarkan prinsip desain pembelajaran tersebut di atas, maka prosedur

pembelajaran konvensional yang diimplementasikan dalam penelitian ini disusun

mengikuti urutan-urutan sebagai berikut: (1) mengidentifikasi indikator keberhasilan,

yang selanjutnya dituangkan menjadi tujuan pembelajaran, (2) merancang dan

menyusun isi bahan ajar konvensional (teks ajar dan LKS), (3) merancang dan

menyusun instrumen tes untuk mengukur hasil belajar (pemahaman konsep dan

ketertampilan berpikir kritis), (4) merancang dan menyusun skenario pembelajaran,

(5) mengimplementasikan program pembelajaran, dan (6) melaksanakan evaluasi.

Implementasi program pembelajaran terdiri dari langkah-langkah, yaitu (a) apersepsi,

(b) penjelasan konsep, dengan metode ceramah dan/atau demonstrasi, (c) latihan

terbimbing, (d) memberikan balikan (feed back). Keseluruhan pelaksanaan langkah-


30

langkah pembelajaran ini menggunakan latar (seting) belajar diskusi kelompok-

kelompok kooperatif (Warpala, 2009).

5. Kesadaran Metakognitif

a. Deskripsi Kesadaran Metakognitif

Metakognitif merupakan kata sifat dari metakignisi. Metakognisi sering

didefinisikan sering didefinisikan sebagai “berpikir tentang berpikir”. Namun pada

kenyataanya metakognisi tidak dapat didefinisikan secara sederhana. Kata

metakognisi menganding prefix “meta” dan “Kignisi”. Meta berasal dari bahasa

Yunani yang berarti “setelah” atau “melebihi” sedangkan kognisi mencakup

kerampilan yang berhubungan dengan proses berpikir. Agar kita dapat berpikir

dengan baik, maka cermatilah jalan berpikir kita ketika kita sedang berpikir. Proses

menganalisis cara berpikir saat kita sedang memikirkan suatu masalah itulah yang

dinamakan metakognitif (Livingston, 2003).

Menurut Santrock (2010), metakognisi adalah jognisi tentang kognisi atau

“mengetahui tentang mengetahui” (Flavel, 1999; Flavel, Miller, & Miller, 2002).

Pengetahuan metakognitif melibatkan usaha monitoring dan refleksi pada pikiran

seseorang pada saat sekarang. Ini termasuk pengetahuan faktual, seperti pengetahuan

tentang tugas, tujuan, atau diri sendiri, dan pengetahuan strategi, seperti bagaimana

dan kapan akan menggunakan prosedur spesifik untuk memecahkan problem.

Aktivitas metakognitif terjadi saat murid secara sadar menyesuaikan dan mengelola
31

strategi pemikiran mereka pada saat memecahkan masalah dan memikirkan sesuatu

tujuan (Ferrari & Sternberg, 1998, Kuhn, dkk.,1995).

Strategi metakognitif adalah suatu teknik yang memfasilitasi metakognitif

atau “berpikir tentang berpikir“ dan strategi untuk mengembangkan tingkah laku

metakognitif menurut Santrock (2010), adalah sebuah intervensi yang didasarkan

pada strategi yang berisi perintah kepada anak untuk: (1) membaca secara selintas

(skim) informasi-informasi yang biasa; (2) meluangkan waktu untuk informasi yang

diulang; (3mengganti istilah yang kurang inklusif dengan istilah yang inklusif;

(4) mengombinasikan serangkaian kejadian dengan istilah tindakan yang inklusif;

(5) memilih kalimat topik; dan (6) menciptakan kalimat topik apabila kalimat itu

tidak ada.

Selanjutnya kesadaran metakognitif menurut Rivers (dalam Cautinho, 2007)

bahwa kesadaran metakognitif dibagi menjadi dua tipe yaitu self assesment yang

merupakan kecakapan siswa untuk mengakses kognitif sendiri, dan self management

yang merupakan kecakapan siswa untuk mengelola perkembangan kognitif sendiri

lebih lanjut. Kesadaran kognitif dan kesadaran metakognitif sekalipun berhubungan,

tetapi berbeda. Kesadaran kognitif diperlukan untuk melaksanakan sesuatu tugas,

sedangkan kesadaran metakognitif diperlukan untuk memahami bagaimana tugas itu

dilaksanakan.

Menurut Peters (dalam Counthino 2006) berpendapat bahwa kesadaran

metakognitif memungkinkan para siswa berkembang sebagai pebelajar mandiri,


32

karena mendorong mereka menjadi manajer atas dirinya sendiri serta menjadi penilai

atas pemikiran dan pembelajarannya sendiri.

Flavel, Gardner, dan Alexander (dalam Slavin, 2000) menyatakan bahwa

pengembangan kesadaran metakognitif siswa ditujukan agar siswa dapat memantau

perkembangan belajarnya sendiri. Sementara Livingston (1997) menyatakan peranan

kesadaran metakognitif sangat penting dalam menentukan keberhasilan pembelajaran.

Senada dengan pernyataan Livingston, Dunning, dkk (2003) mengatakan bahwa

berpikir metakognitif penting dalam belajar dan merupakan penentu penting dalam

keberhasilan akademik. Siswa yang memiliki metakognitif yang bagus

memperlihatkan keberhasilan akademik yang bagus pula dibandingkan dengan siswa

yang memiliki metakognitif yang kurang bagus. Kesadaran metakognitif merupakan

mediator parsial dari penguasaan konsep akademik yang lebih baik dan menjadi

prediktor Grand Point Average (Coutinho, 2007 dan Hopkins, 1992). Hasil penelitian

Rahman dan John (2006) juga menunjukkan bahwa kesadaran metakognitif siswa

mempunyai hubungan positif dengan pencapaian akademik. Dengan demikian

pengembangan kesadaran metakognitif sangat penting dalam pembelajaran termasuk

pembelajaran biologi. Oleh karena itu penerapan berbagai strategi pembelajaran yang

mampu meningkatkan kesadaran metakognitif sangat perlu terus diupayakan dalam

pembelajaran biologi dewasa ini.

b. Pengembangan Kesadaran Metakognitif dalam Pembelajaran Biologi


33

Pengetahuan metakognitif (metacognitive knowledge) dapat dilihat ketika

siswa sadar dengan kemampuan kognitifnya sendiri dan melakukan pemantauan

terhadap kognitif yang dimilikinya dalam proses pembelajaran (Anderson &

Krathwohl, 2001). Sebagai contoh siswa mengetahui ia mempunyai memori untuk

materi pelajaran tertentu, misalnya mengenali lingkungan abiotik. Untuk menilai

prestasinya ia membuat catatan tentang prestasinya. Berdasarkan catatan atau

pemantauan prestasi tersebut dapat melakukan refleksi diri atas kekurangan dan

kelebihannya. Dengan pengontrolan atau pemantauan proses kognitif akan mudah

dilakukan evaluasi perolehan kognitif sendiri.

Selanjutnya Livingston (1997) membagi pengetahuan metakognitif menjadi

tiga kategori yaitu: (1) pengetahuan tentang variabel-variabel personal, yaitu

berkaitan dengan pengetahuan tentang bagaimana siswa belajar dan memproses

informasi serta pengetahuan tentang proses-proses belajar yang dimilikinya. Sebagai

contoh seorang siswa sadar lebih produktif jika dilakukan di perpustakaan daripada di

rumah; (2) pengetahuan tentang variabel-variabel tugas, yaitu melibatkan tentang

pengetahuan sifat tugas dan jenis pemrosesan yang harus dilakukan untuk

menyelesaikan tugas itu. Sebagai contoh siswa sadar bahwa membaca dan memahami

teks ilmu pengetahuan memerlukan lebih banyak waktu dari pada membaca dan

memahami sebuah novel; dan (3) pengetahuan tentang variabel-variabel strategi,

yaitu melibatkan pengetahuan tentang strategi-strategi kognitif dan metakognitif serta

pengetahuan kondisional tentang kapan dan dimana strategi-strategi itu digunakan.


34

Berdasarkan pengetahuan metakognitif yang dimiliki siswa akan diaplikasikan

dengan pengalaman-pengalaman metakognitif. Kemampuan untuk mengaplikasikan

pengalaman-pengalaman metakognitif merupakan keterampilan metakognitif.

Menurut Flavel dan Brown (dalam Livingston, 1997) bahwa pengalaman-

pengalaman metakognitif melibatkan strategi-strategi metakognitif atau pengaturan

metakognitif. Strategi-strategi metakognitif merupakan proses-proses yang berurutan

yang digunakan untuk mengontrol aktivitas-aktivitas kognitif dan memastikan bahwa

tujuan kognitif telah dicapai. Proses-proses ini terdiri dari perencanaan (planning) dan

pemantauan (monitoring) aktivitas-aktivitas kognitif serta evaluasi (evaluating)

terhadap hasil aktivitas-aktivitas tersebut. Hal ini sejalan atau terkait dengan yang

dikemukakan oleh Rivers (dalam Corebima, 2006) yang mengemukakan bahwa

kesadaran metakognitif terdiri dari dua tipe, yaitu self management (termasuk

didalamnya self planning dan self monitoring), dan self assessment (termasuk di

dalamnya self evaluating). Aktivitas-aktivitas perencanaan misalnya menentukan

tujuan dan analisis tugas, membantu mengaktivasi pengetahuan yang relevan,

sehingga mempermudah pengorganisasian dan pemahaman materi pelajaran

(biologi). Aktivitas-aktivitas pemantauan meliputi perhatian seseorang ketika ia

membaca, dan membuat pertanyaan atau pengujian diri.

Pengukuran (kuesioner) kesadaran metakognitif yang digunakan pada

penelitian ini mengacu kepada kesadaran metakognitif menurut Schraw & Dennison,

dengan menggunakan kuesioner atau inventori yang telah terstandar yang disusun

oleh Sperling, dkk (2002) seperti yang disarankan oleh Panaoura & Philippou (dalam
35

Paidi, 2008) yaitu Metacognitive Awareness Inventory Junior (MAI-Jr) yang telah

banyak digunakan oleh para peneliti metakognitif pada anak-anak remaja (young

pupil). MAI-Jr terdiri dari aspek pengetahuan metakognitif dengan subaspek:

declarative knowledge, procedural knowledge, dan conditional knowledge serta aspek

regulasi metakognitif yang terdiri dari subaspek: planning, information management

strategies, comprehension monitoring, debuging strategies, dan evaluation.

6. Hubungan Metode Inkuiri dengan Kesadaran Metakognitif, dan Hasil


Belajar Kognitif

Strategi inkuiri merupakan suatu rangkaian kegiatan belajar yang melibatkan

secara maksimal seluruh kemampuan siswa dalam mencari dan menyelidiki secara

sistematis, kritis, logis, analitis sehingga dapat merumuskan sendiri pengetahuannya

dengan penuh percaya diri. Sasaran utama kegiatan inkuiri adalah keterlibatan siswa

selama kegiatan pembelajaran secara maksimal, keterarahan kegiatan secara logis,

dan sistematis pada tujuan pembelajaran, dan mengembangkan sikap percaya pada

diri sendiri mengenai apa yang telah ditemukan oleh siswa. Sedangkan menurut

Nurhadi (2003), inkuiri adalah proses bertanya, dimana pertanyaan tersebut sesuai

dengan topik yang dibicarakan dan siswa harus menjawab sebagian atau

keseluruhannya dengan melakukan penyelidikan. Lebih lanjut dijelaskan oleh

Sanjaya (2006) bahwa, strategi pembelajaran inkuiri merupakan rangkaian kegiatan

pembelajaran yang menekankan pada proses berpikir secara kritis dan analitis untuk

mencari dan menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan.
36

Dijabarkan dalam BNSP (2006), bahwa IPA berkaitan dengan cara mencari

tahu (inkuiri) tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya sebagai

penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep atau

prinsip-prinsip saja, tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Oleh karena itu

bahwa salah satu strategi yang tepat untuk dilakukan dalam pembelajaran IPA

khususnya Biologi adalah dengan strategi inkuiri Pada pembelajaran dengan strategi

inkuiri guru tidak hanya berperan sebagai pentransfer pengetahuan ke siswa, guru

bukan lagi seseorang yang paling tahu, guru sebagai pendamping siswa dalam

mencapai kompetensi dasar tertentu (guru sebagai fasilitator). Dengan demikian guru

harus memahami beberapa prinsip pembelajaran yang berpusat pada siswa dimana

guru berperan sebagai fasilitator, salah satu prinsip tersebut adalah faktor

metakognitif dan kognitif yang menggambarkan bagaimana siswa berpikir dan

mengingat, serta penggambaran faktor-faktor yang terlibat dalam proses

pembentukan makna informasi dan pengalaman (Widyandani, 2008)

Menurut Desmita (2009), metakognitif adalah pengetahuan dan kesadaran

tentang proses kognisi, atau pengetahuan tentang pikiran dan cara kerjanya. Adapun

kemampuan seseorang untuk mengaplikasikan pengalaman-pengalaman metakognitif

disebut sebagai keterampilan metakognitif (Nur dalam Sabilu, 2008). Lebih lanjut

lagi dijelaskan bahwa kemampuan-kemampuan tersebut meliputi kemampuan

memantau, memonitor, maupun mengevaluasi semua hal yang berkaitan dengan

proses kognitif. Keterampilan metakognitif merupakan kemampuan kognitif tinggi

yang meliputi analisis, sisntesis, evaluasi, dan mencipta. Penerapan strategi


37

pembelajaran inkuiri di dalam kelas menekankan pada siswa untuk menggunakan

kemampuan kognitif tinggi. Erman (2009) mengemukakan bahwa metakognitif bisa

digolongkan pada kemampuan kognitif tinggi karena memuat unsur analisis, sintesis,

evaluasi dan mencipta yang merupakan dasar dalam melakukan proses inkuiri dan

melatih kreativitas.

Kemampuan kognitif merupakan kemampuan siswa untuk berpikir lebih

kompleks dan kemampuan melakukan penalaran serta kemampuan dalam

memecahkan masalah (Desmita, 2009). Kemampuan kognitif yang dimiliki masing-

masing siswa dapat memudahkan siswa dalam menguasai pengetahuan umum yang

lebih luas, sehingga dapat memecahkan permasalahan yang dihadapi baik di sekolah

maupun di lingkungan sekitar. Baik kemampuan kognitif maupun keterampilan

metakognitif siswa tentunya tidak terlepas dari kemampuan akademik siswa.

Menurut Schraw, G., & Dennison, R.S. (1994), komponen-komponen

kesadaran metakognitif terdiri atas pengetahuan dan regulasi dengan kategori sebagai

berikut.

1. Pengetahuan Metakognitif

a. Indikasi pengetahuan

deklaratif yaitu:

1) Siswa memiliki pengetahuan factual sebelum proses atau

melakukan pemikiran kritis yang berhubungan dengan topik.

2) Siswa mengetahui tentang apa atau bagaimana topik itu.


38

3) Siswa memiliki keterampilan, intelektul, dan kemampuan sebagai

pelajar.

4) Siswa memperoleh pengetahuan melalui presentasi, demontrasi,

dan diskusi.

b. Indikasi pengetahuan

prosedural, yaitu:

1) Siswa menerapkan pengetahuan mereka secara baik terhadap suatu

prosedur atau proses.

2) Siswa memiliki pengetahuan tentang bagaimana

mengimplementasikan suatu strategi belajar.

3) Siswa mengetahui proses dan menerapkannya pada berbagai

situasi.

4) Siswa memperoleh pengetahuan melalui penemuan, belajar

kooperatif, dan pemecahan masalah.

c. Indikasi pengetahuan kondisional yaitu:

1) Siswa mengetahui keadaan proses secara specific atau

keterampilan yang harus ditransfer.

2) Siswa memiliki pengetahuan tentang kapan dan bagaimana

menggunakan prosedur belajar.

3) Siswa menerapkan pengetahuan deklaratif dan procedural

berdasarkan kondisi yang ada.

4) Siswa memperoleh pengetahuan melalui simulasi.


39

2. Pengalaman atau regulasi metakognitif

a. Indikasi perencanaan adalah siswa melakukan perencanan mengenai

tujuan dan sasaran sebelum belajar.

b. Indikasi strategi manajemen informasi adalah

siswa memiliki keterampilan dan urutan strategi yang digunakan untuk

memperoses informasi secara efisien, misalnya mengorganisasi,

mengelaborasi, meringkas, dan menyeleksi hal-hal penting.

c. Indikasi monitoring pemahaman adalah siswa

menilai diri sendiri dan strategi belajar yang mereka gunakan.

d. Indikasi strategi mengoreksi/ menemukan

adalah siswa memiliki strategi untuk pemahaman dan memperbaiki

kesalahan mereka.

e. Indikasi evaluasi adalah siswa melakukan

analisis kemajuan dan keefektian strategi setelah belajar.

Keterkaitan komponen-komponen kesadaran dalam metode pembelajaran

inkuiri, disajikan dalam Tabel 2.1 berikut ini.


40

Tabel 2.2 Metode Pembelajaran Inkuiri dan Komponen Kedasaran Metakognitif

Sintaks metode Komponen Metakognitif


inkuiri Pengetahuan Regulasi
Tahap-1 Deklaratif Perencanaan
Mengajukan Pertanyaan
atau Permasalahan

Tahap-2
Membuat hipotesis Prosedural Manajemen Informasi

Tahap-3
Merancang percobaan Prosedural Monitoring Pemahaman

Tahap-4
Melakukan percobaan
untuk memperoleh Kondisional Menemukan
informasi

Tahap-5
Kondisional
Megumpulkan dan
menganilisis data

Tahap 6 Monitoring
Membuat kesimpulan

7. Hubungan Model Kooperatig Jigsaw dengan Kesadaran Metakognitif, dan


Hasil Belajar Kognitif

Banyak pendapat yang menyatakan bahwa pembelajaran dengan

menggunakan pendekatan tradisional dengan metode pengajaran didaktifyang

berurut, dan guru-guru yang hanya menjadi pemberi informasi, sangat menghambat

siswa untuk memperoleh kesempatan mengembangkan kemampuan berpikir. Begitu

pula dengan penyajian materi yang dilakukan oleh sebagian guru hanya bersifat

algoritmis, rutin dan kurang menggali kemampuan siswa untuk bernalar dan dapat
41

menghambat munculnya kemampuan berpikir siswa. Dengan demikian timbul

pertanyaan: pendekatan pembelajaran yang seperti apa yang memungkinkan siswa

mengembangkan kemampuan berpikir.

Salah satu bentuk pendekatan pembelajaran yang memungkinkan siswa untuk

mengembangkan kemampuan berpikir adalah penggunaan model pembelajaran

kooperatif jigsaw. Alasan mengapa memilih model pembelajaran kooperatif jigsaw

diantaranya pembelajaran dengan menyajikan masalah kotekstual pada awal

pembelajaran merupakan salah satu stimulus dan memicu siswa untuk berpikir.

Rusman (2011) mengemukakan bahwa model kooperatif jigsaw adalag sebuah model

belajar kooperatif yang menitikberatkan pada kerja kelompok siswa dalam bentuk

kelompok kecil. Seperti diungkapkan oleh Lie (1999), bahwa “pembelajaran

kooperatif model jigsaw ini merupakan model belajar kooperatif dengan cara siswa

belajar dalam kelompok kecil yang terdiri dari empat sampai enam orang secara

heterogen dan siswa bekerja sama saling ketergantungan positif dan bertanggung

jawab secara mandiri”.

Rusman (2010) mengemukakan bahwa dalam model kooperatif jigsaw ini

siswa memiliki banyak kesempatan untuk mengemukakan pendapat dan mengolah

informasi, anggota kelompok bertanggung jawab terhadap keberhasilan kelompoknya

dan ketuntasan bagian materi yang dipelajari dan dapat menyampaikan in formasi

kepada kelompok lain.

Model pembelajaran kooperatif jigsaw adalah kegiatan pembelajaran

kelompok terdiri dari 4-6 anak yang terstruktur, terarah, terpadu, efektif dan efisien
42

dalam mengkaji sesuatu melalui proses kerjasama, bergotong-royong, saling

membantu secara kolaboratif untuk tujuan bersama sehingga tercapai proses dan hasil

belajar yang produktif (Rusman, 2010). Pembelajaran kooperatif jigsaw dapat

memuat kegiatan siswa yaitu (1) kegiatan membaca untuk mengenali informasi yang

dapat mengembangkan metakognitif siswa, yaitu dengan menugaskan siswa untuk

membaca bahan belajar secara seksama dan cermat sehingga mendapatkan informasi

dari permasalahan tersebut, (2) diskusi kelompok ahli untuk membicarakan topik

permasalahan yang sama bertemu dalam satu kelompok, (3) laporan kelompok ahli ke

kelompok asal dan menjelaskan hasil yang didapat dari diskusi tim ahli, (4) kuis yang

mencakup semua permasalahan, dan (5) penghitungan skor kelompok dan

menentukan penghargaan kelompok (Erman, 2010).

Tahap demi tahap dari kegiatan kooperatif jigsaw membutuhkan kemampuan

berpikir. Kemampuan berpikir dapat diberdayakan dengan memberdayakan

keterampilan metakognitif. Keterampilan metakognitif terkait strategi maupun

pelatihan metakognitif dan dapat dikembangkan melalui pembelajaran kooperatif

(Green., Donald., Donnell., & Dansereau., 1992 dalam Miranda, 2010). Pada

pembelajaran kooperatif dapat dikembangkan keterampilan metakognitif karena pada

pembelajaran kooperatif terjadi komunikasi, di antara anggota kelompok (Abdur-

rahman, 1999 dalam Miranda, 2010). Komunikasi di antara anggota kelompok

kooperatif terjadi dengan baik karena adanya keterampilan mental, adanya aturan

kelompok, adanya upaya belajar setiap anggota kelompok, dan adanya tujuan yang

harus dicapai.
43

Berdasarkan pemaparan teoritis telah jelas bahwa melalui model pembelajaran

kooperatif jigsaw akan mampu mengembangkan kesadaran metakognitif siswa dalam

belajar dan memahami materi pelajaran. Pencapaian tujuan pelajaran maupun hasil

belajar kognitif dapat dicapai dengan mengimplementasikan model kooperatif jigsaw.

Modek kooperatif jigsaw dalam pembelajaran IPA baik dalam kelas maupun luar

kelas melalui proses investigasi diharapkan dapat melibatkan seluruh siswa secara

aktif dalam kegiatan pembelajaran, menemukan sendiri pengetahuan melalui interaksi

antar anggota kelompok maupun antar kelompok. Karena itu, anggota kelompok yang

memberdayakan kesadaran metakognitif akan cepat mengatur dan mengarahkan

dirinya untuk mencapai tujuan belajar dengan cara merencanakan belajarnya,

sehingga dapat membantu pencapaian tujuan kelompok dan pada akhirnya membantu

pencapaian tujuan pembelajaran. Keterkaitan komponen-komponen kesadaran dalam

model pembelajaran kooperatif jigsaw, disajikan dalam Tabel 2.2 berikut ini.

Tabel 2.2 Model Kooperatif Jigsaw dan Komponen Kedasaran Metakognitif

Sintaks kooperatif Komponen metakognitif yang terlibat


jigsaw Pengetahuan matakognitif Regulasi matakognitif
Tahap 1 Deklaratif
Membagi siswa ke dalam
beberapa kelompok-
kelompok kooperatif
Tahap
Lanjutan 2 2.2
Tabel Kondisional Manajemen informasi
Memberikan materi ajar
Tahap 3 Deklaratif
Menginstruksi setiap
kelompok berkumpul
(kelompok asal)
Tahap 4 Prosedural Manajemen informasi
Menginstruksikan kepada kondisional
44

kelompok berkumpul
pada suatu kelompok
(kelompok ahli)
Tahap 5 Kondisional Monitoring
Masing- masing
kelompok kembali pada
kelompok asal
Tahap 6 Mengoreksi dan evaluasi
Evaluasi.

Goethals (dalam Danial 2010) menegaskan bahwa metakognitif adalah

berpikir tentang berpikir (to think about thinking), menyeleksi, menggunakan, dan

memoniror strategi-strategi pembelajaran. Selanjutnya, Pulmones (2006) dan Adey &

Shayer (1994) mengatakan bahwa berpikir tentang pemikiran seseorang dan

bagaimana seseorang belajar dan memecahkan masalah digambarkan sebagai

metakognitif.

Dimensi penting dari metakognitif adalah pengetahuan dari pemikiran

seseorang seperti perencanaan, memonitor, dan mengevaluasi tugas-tugas akademik.

Penerapan metakognitif dapat membawa kea rah peningkatan hasil belajar kognitif

siswa secara nyata. Penguasaan siswa atau suatu bacaan lebih baik jika mereka

diajarkan untuk bertanya pada mereka sendiri pertanyaan-pertanyaan siapa, apa, di

mana, dan bagaimana pada saat mereka membaca. Siswa diajar berbicara pada diri

sendiri melalui aktivitas-aktivitas yang mereka ikuti, bertanya pada diri mereka

sendiri atau saling bertanya dengan temannya, pertanyaan-pertanyaan yang mungkin

ditanyakan oleh guru (evaluating dan reflecting). Merefleksi proses selama aktivitas

pembelajaran menunjukkan bahwa siswa diberikan pekuang untuk mencari dan


45

memahami domain kognitif mereka terhadap keefektifan belajar untuk belajarnya

(learning to learn) (Branch & Oberg dalam Danial, 2010)

B. Hasil Belajar Kognitif

Hasil belajar merupakan suatu hal yang sangat penting artinya dari proses

pembelajaran karena merupakan indikator keberhasilan belajar. Hasil belajar kognitif

menurut Bloom (1979) dapat dibedakan atas enam ranah yaitu: pengetahuan,

pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Membagi tingkah laku kognitif

menjadi dua yaitu: (1) kognitif rendah, yang meliputi pengetahuan, pemahaman,

aplikasi, dan(2) kognitif tinggi, meliputi analisis, sintesis, dan evaluasi.

Selanjutnya dalam perkembangannya, sub-sub ranah kognitif menurut Bloom

itu direvisi menjadi mengingat, pemahaman, aplikasi, analisis, evaluasi, dan mencipta

(Anderson & Krathwohl, 2001:99)

Menurut Anderson & Krathwohl (2010), dalam taksnomi yang baru

pengetahuan dikelompokkan dalam empat kelompok, yaitu:

1. Pengetahuan Faktual

Pengetahuan faktual meliputi elemen-elemen dasar yang digunakan dalam

menjelaskan, memahami, dan secara sistematis menata disiplin ilmu. Pengetahuan

faktual berisikan elemen-elemen dasar yang harus diketahui siswa jika mereka akan

mempelajari suatu disiplin ilmu. Pengetahuan ini meliputi pengertahuan tentang

terminologi, dan pengetahuan tentang detail-detail dan elemen-elemen yang spesifik.


46

Unsur-unsur dasar yang ada dalam suatu disiplin ilmu tertentu yang biasa

digunakan oleh ahli di bidang tersebut untuk saling berkomunikasi dan memahami

bidang tersebut. Pengetahuan faktual pada umumnya merupakan abstraksi level

rendah (Widodo, 2003).

2. Pengetahuan Konseptual

Pengetahuan konseptual mencakup pengetahuan tentang kategori, klasifikasi,

dan hubungan antara dua atau lebih kategori atau klasifikasi. Pengetahuan konseptual

mencakup skema, model pikiran, dan teori serta prinsip dan generalisasi.

3. Pengetahuan Prosedural

Pengetahuan prosedural adalah pengetahuan tentang cara melakukan sesuatu.

Pengetahuan ini mencakup pengetahuan tentang keterampilan, algoritme, teknik, dan

metode. Pengetahuan procedural juga meliputi pengetahuan tentang kriteria yang

digunakan untuk menentukan kapan harus menggunakan berbagai prosedur.

4. Pengetahuan Metakognitif

Pengetahuan metakognitif adalah pengetahuan tentang kognisi secara umum

dan kesadaran akan, serta pengetahuan tentang, kognisi diri sendiri. Widodo (2003)

menyatakan bahwa dalam pengetahuan metakognitif, siswa dituntut untuk lebih

menyadari dan bertanggung jawab terhadap diri dan belajarnya.


47

Hasil belajar kognitif yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah hasil

belajar ranah kognitif menurut Bloom yang direvisi oleh Anderson dan Krathwohl

seperti yang dipaparkan di atas meliputi : mengingat, memahami, menerapkan,

menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta. Secara singkat dideskripsikan pada

masing-masing ranah sebagai berikut.

1. Mengingat (remember). Ranah ini meliputi aktivitas kognitif: mengetahui

(recognizing), dan menyebutkan (recalling).

2. Memahami (understand). Ranah ini meliputi aktivitas kognitif :

menginterpretasi (interpreting), menunjukkan (exemplifying),

mengklasifikasikan (classifying), meringkas (summarizing), menginferensi

(inferring), membandingkan (comparing), dan menjelaskan (explaining).

3. Menerapkan (apply). Ranah ini meliputi aktivitas kognitif: melakukan

(executing), dan menerapkan (implementing).

4. Menganalisis (analyze). Ranah ini meliputi aktivitas kognitif : membedakan

(deferentiating), mengorganisasi atau mengelompokkan (organizing), dan

memberi simbol (attributing).

5. Mengevaluasi (evaluate). Ranah ini meliputi aktivitas kognitif: memeriksa

(checking), dan mengkritik (criticuing).

6. Mencipta (create). Mencipta melibatkan elemen yang ditempatkan

bersama-sama untuk membentuk suatu koherensi atau fungsi menyeluruh.

Proses-proses yang terlibat dalam mencipta secara umum terkoordinasi

dengan pengalaman belajar siswa sebelumnya. Meskipun mencipta


48

memerlukan kreativitas berpikir siswa, hal ini bukanlah ekspresi kreatif

yang memiliki kebebasan penuh. Kategori orisinalitas dan keunikan harus

lebih ditekankan. Mencipta terkait dengan tiga aktivitas kognitif yaitu:

melahirkan atau menghasilkan (generating), merencanakan (planning), dan

menghasilkan atau memproduksi (producing).

Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar kognitif sangatlah kompleks

yang menyangkut faktor internal maupun faktor eksternal, seperti : minat, motivasi,

sikap, kecerdasan (intelligensi), lingkungan belajar, strategi belajar, keadaan fisik dan

lain-lain. Dimyati dan Mudjiono (1994) mengemukakan bahwa hasil belajar

disamping dipengaruhi oleh kemampuan berpikir (kemampuan akademik) dan proses

pembelajarannya (termasuk strategi atau metode belajar), hasil belajar juga

dipengaruhi oleh minat, kecerdasan, sikap, dan motivasi.

C. Tinjauan Materi

Adapun materi pokok bumi dan benda langit diajarkan di kelas X pada

semester genap dengan alokasi waktu sebanyak 8 jam pelajaran. Standar kompetensi

dari materi pokok ini yaitu mengidentifikasi objek secara terencana dan sistematis

untuk memperoleh informasi gejala alam abiotik.

Adapun indikator dari materi ini yaitu:

1. Mengetahui struktur bumi

2. Mengetahui perubahan-perubahan yang terjadi pada bentuk permukaan

bumi.
49

3. Memahami struktur tanah, air, dan batuan di bumi.

Konsep bumi merupakan salah satu materi yang cocok untuk didiskusikan.

Hal ini disebabkan karena materi bumi dan benda langit lebih mengarah kepada

pengetahuan deklaratif yang berupa hafalan. Mempelajari materi bumi dan benda

langit dengan sekedar membaca dan menghafal membuat siswa merasa bosan

terhadap materi tersebut. Diskusi dapat membuat siswa lebih memahami materi dan

membuat materi yang didiskusikan lebih bertahan lama dalam ingatan siswa

dibanding dengan hanya membaca dan menghafal. Siswa akan lebih senang

mempelajari materi bumi secara berkelompok dengan diberikan beberapa masalah

sehubungan materi tersebut. Masalah-masalah yang diberikan tersebut dapat mereka

diskusikan bersama-sama untuk memperoleh jawaban dari setiap permasalahan.

D. Kerangka Berpikir

Keberhasilan belajar peserta didik dipengaruhi oleh faktor internal dan

eksternal. Faktor internal, yaitu kondisi dalam proses belajar yang berasal dari dalam

diri sendiri, sehingga terjadi perubahan tingkah laku. Faktor eksternal adalah kondisi

di luar individu peserta didik  yang mempengaruhi belajarnya. Adapun yang termasuk

faktor eksternal adalah:  lingkungan sekolah, keluarga dan masyarakat.

Berbagai cara yang bisa ditempuh demi mencapai hasil pembelajaran yang

diharapkan. Namun, yang terpenting adalah bagaimana merancang proses

pembelajarannya, sehingga peserta didik benar-benar memahami konsep-konsep yang

dipelajari, dan dapat mengaplikasikannya pada taraf selanjutnya, karena pada


50

hakikatnya belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk

memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai

hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.

Banyak cara yang digunakan pendidik dalam menyampaikan materi kepada

peserta didik, diantaranya yaitu melalui model pembelajaran misalnya model

pembelajaran inkuiri dan jigsaw. Model pembelajaran inkuiri merupakan suatu model

mengajar yang berusaha meletakkan dasar dan mengembangkan cara berpikir ilmiah.

Model ini menempatkan siswa lebih banyak belajar sendiri, mengembangkan

kreatifitas dalam pemecahan masalah. Siswa betul-betul ditempatkan sebagai subjek

yang belajar. Namun model pembelajaran ini cukup sulit untuk dilakukan siswa tanpa

bantuan dari temannya. Sedangkan model pembelajaran jigsaw yakni model

pembelajaran yang didesain untuk meningkatkan rasa tanggung jawab siswa terhadap

pembelajarannya sendiri dan juga pembelajaran orang lain. Siswa tidak hanya

mempelajari materi yang diberikan, tetapi mereka juga harus siap memberikan dan

mengajarkan materi tersebut pada anggota kelompoknya. Model pembelajaran ini

ditandai dengan adanya kerjasama dalam sebuah kelompok untuk berbagi

pengetahuan.

Dalam hal inilah kedua model ini dapat digunakan untuk saling menutupi

kekurangannya masing-masing. Model kooperatif jigsaw dapat digunakan untuk

menutupi kelamahan model inkuiri dengan adanya kerjasama dalam sebuah

kelompok, sedangkan model inquri juga dapat digunakan untuk meningkatkan

kreatifitas siswa dalam hal pemecahan masalah dalam sebuah kelompok. Sehingga
51

dengan diintegrasikannya kedua model ini dapat menghasilkan sebuah strategi

pembelajaran baru yang inovatif dan mampu mempengaruhi hasil belajar kognitif

siswa.

Pencapaian tujuan pendidikan nasional dan tuntutan pandidikan abad 21 dalam kompetisi global

Pencapaian tujuan pendidikan tersebut di atas harus dituangkan ke dalam kurikulum KTSP

Permasalahan yang dihadapi dalam proses belajar mengajar materi lingkungan abiotik pada SMKN 1 Somba Opu Kab. Gowa

Rendahnya kemampuan siswa terhadap kesadaran metakognitif, dan hasil belajar siswa

Salah satu alternatif solusi dengan integrasi model kooperatif jigsaw dan metode inkuiri dalam pembelajaran IPA biologi

embelajaran ini menempatkan siswa lebih banyak belajar sendiri, mengembangkan kreatifitas dan pemecahan masalah dalam belajar secara berlkelompo

Kesadaran metakognitif Hasil belajar kognitif

Skema 2.1. Kerangka Pikir


52

E. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kecenderungan dan hasil deduksi teoretis, maka dapat

dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut.

1. Ada pengaruh penerapan model kooperatif tipe jigsaw terhadap kesadaran

metakognisi dan hasil belajar kognitif siswa kelas X SMK Negeri 1

Somba Opu Kabupaten Gowa.

2. Ada pengaruh penerapan metode inquiri terhadap kesadaran metakognisi

dan hasil belajar kognitif siswa kelas X SMK Negeri 1 Somba Opu

Kabupaten Gowa

3. Ada pengaruh penerapan model kooperatif tipe jigsaw dengan metode

inquiri terhadap kesadaran metakognisi dan hasil belajar kognitif siswa

kelas X SMK Negeri 1 Somba Opu Kabupaten Gowa.

Anda mungkin juga menyukai