Anda di halaman 1dari 4

Sepasang Yang Berpindah Tangan

Bagaimana jika kedua insan yang telah lama saling mengenal dalam suka, duka,
canda, dan tawa akan segera terpisahkan oleh jarak yang begitu jauh? Persahabatan adalah
satu pikiran dalam dua jiwa. Setelah harapan kau anggap berat untuk menanti. Mungkin
kamu belum sempat mengerti, bagaimana beratnya merelakan yang sangat berarti.

∞∞∞∞∞∞∞∞

Senja itu, tampak seorang gadis duduk di sebuah taman asrama dengan hiasan bunga-
bunga yang bermekaran begitu indah. Namun, tidak dengan dirinya yang terlihat bimbang
dan terlarut dalam kesedihan. Farha, begitu orang-orang akrab memanggilnya. Gadis 15
tahun yang berkulit bersih dengan senyuman yang tak pernah mengisyaratkan bahwa kini ia
sedang menahan perasaan gundah dihatinya. Bagaimana tidak? Hari itu adalah hari terakhir ia
tinggal di asrama yang begitu dicintainya. Esok, ia akan pindah dan melanjutkan sekolahnya
di Jakarta.

“Farha.” Fismy menepuk bahunya.

Fismy pun duduk di sebelahnya dengan mata yang dengan tajam menatap wajah
sahabatnya itu. Fismy adalah perempuan lugu yang begitu dekat dengan Farha.

“Myyy, aku ga bisa. Aku masih pengen tinggal disini” Ungkap Farha dengan matanya
yang berkaca-kaca. Perempuan itu kemudian bangkit dan pergi.

Fismy pun mengejar dan memeluknya.

“Aku ga tau kita akan ketemu lagi atau ga. Tapi aku mohon, jangan pernah lupain
aku. Please, janji kalo kita bakalan ketemu lagi. Maaf, cuma ini yang bisa aku kasih ke kamu.
Tolong dijaga baik-baik ya.” Katanya sambil menyodorkan bungkusan plastik yang berisi
sepatu berwarna hitam.
Farha pun hanya terdiam dan memeluk Fismy lebih erat. Air mata terus mengalir dan
membasahi pipinya. Ia paham, karena di setiap pertemuan pasti akan selalu ada perpisahan.

∞∞∞∞∞∞∞∞

6 bulan kemudian.

“Farha! Sudah jam 5. Ayo bangun, nak! Tumben kamu kesiangan, cepat mandi nanti
kesiangan.” Inilah mamah yang selalu setia menemani, membimbing, dan mengingatkan
Farha dalam keadaan apa pun.

“Hmm, iyaaa mah.”

Ia pun bergegas bangun untuk segera mandi dan bersiap-siap untuk berangkat ke
sekolah. Pagi itu, ia baru ingat jika sepatu sekolahnya belum dicuci. Yaa, memang dari hari
Jumat hingga Minggu kemarin ia pergi ke puncak bersama keluarga. Awalnya Farha
kebingungan, tapi tiba-tiba ia teringat dengan sepatu pemberian sahabatnya dulu, Fismy.

“Kenapa aku ga pake sepatu itu aja? Lagipula, itu kan sepatu hitam yang sejenis
dengan sepatu sekolah.” Gumamnya dalam hati.

Akhirnya, Farha pun mencari kardus sepatu tersebut yang ia letakkan di atas lemari
itu. Kini, kardus itu terlihat kusam dan sangat berdebu. Sejenak ia teringat kepada sahabat
yang sangat ia sayangi itu. Dia memikirkan kembali bagaimana kabarnya, dan seperti apa dia
sekarang. Sayang, jarak antara Jakarta-Bogor terlalu jauh hingga ia belum bisa menemuinya
hingga saat ini.

“Ka farhaaaa!! Ayo berangkat!” Tiba-tiba teriakan adik Farha pun menyadarkan
lamunannya.

“Iyaaaa, tunggu sebentar.” Ia pun dengan cepat membereskan kembali barang-


barangnya dan segera menggunakan sepatu tersebut.

∞∞∞∞∞∞∞∞∞

Udara pagi terasa begitu segar. Angin berhembus hingga menyejukkan hati. Sekolah
masih terlihat sepi. Maklum, di musim akhir semester seperti ini mereka biasanya datang
sedikit siang. Apalagi, minggu ini hanya merupakan kegiatan class meeting.

Farha terlihat duduk sendirian di koridor sekolah sambil memegangi handphone


miliknya. Rupanya, gadis itu sedang menunggu teman-temannya yang tak kunjung datang
juga.

“Duuuh, pada kemana sih? Padahal udah jam setengah delapan, tapi kok pada belum
dateng sih.” Gerutunya dalam hati.

Tiba-tiba ponsel Farha berbunyi, rupanya ada pesan masuk dari Dinda.
“Far, kayaknya aku ga masuk deh hari ini. Soalnya mamah juga bilang kalo emang
udah ga belajar, mending ga usah masuk. Jadi sorry ya, hari ini aku ga bisa masuk.” Itulah
pesan singkat dari Dinda, teman sebangkunya.

Setelah membaca pesan itu, ia terlihat badmood karena tidak ada teman yang biasa
menemaninya di sekolah.

Tik...tik...tik, waktu menunjukkan pukul 08.00. Farha yang mulai bosan pun
melangkahkan kakinya menuju perpustakaan sekolah yang berada tepat di sebelah
laboratorium. Rupanya, ia ingin membaca. Mungkin, ini adalah salah satu cara untuk
menghilangkan rasa bosennya. Ia pun melepaskan sepatu dan meletakannya di rak sepatu
yang telah disediakan.

“Pagiii, Mba Inez.” Sapa Farha kepada staf penjaga perpustakaan.

“Pagi, Farha. Ayooo, tanda tangan dulu. Tumben kamu datang sendiri? Mana tuh
teman kamu yang bawel itu?”

“Oke, hahaha. Ga masuk dia, Mba.”

Setelah tanda tangan, Ia pun mulai membaca buku bacaannya sedikit demi sedikit.
Bahkan, hal itu membuatnya lupa bahwa pagi yang tengah ia rasakan tadi telah berubah
menjadi siang dengan matahari yang terik.

Tepat pukul 14.00 ia keluar dari perpustakaan dan ingin kembali ke kelasnya. Tapi
ternyata ia dikejutkan dengan ketidakberadaan sepatu miliknya di rak tersebut. Ia pun
langsung ke kelas dan minta teman- teman agar mau membantunya mencari sepatu tersebut.

30 menit berlalu, sepatu yang dicarinya belum juga berhasil ditemukan. Akhirnya,
Farha pun lapor kepada guru yang piket agar segera diumumkan tentang berita kehilangan
sepatu tersebut.

Perhatian! Perhatian! Bagi siswa yang


menemukan sepatu hitam di depan perpustakaan
agar segera membawanya ke meja piket,
sekarang.

Seperti itulah, pengumuman yang telah dibacakan siang itu. Farha dan teman-
temannya tetap menunggu, tetapi tidak ada satu orang pun yang datang untuk mengembalikan
sepatu kenangan milik Farha. Dengan terpaksa, Farha pun harus pulang dengan tanpa sepatu
atau biasa disebut nyeker.

∞∞∞∞∞∞∞∞
Suasana malam menghanyutkan pikiran Farha. Ia teringat tentang sepatu pemberian
sahabatnya. Entah siapa yang mengambil sepatu itu, tapi sungguh Farha sangat
mengharapkan sepatu itu kembali. Kembali menjadi miliknya. Tapi sayang, sepasang itu kini
telah berpindah tangan.

Karya : Ananda Ma’rifah

Kelas : XI IPS 2

Anda mungkin juga menyukai