Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN

Makalah ini kita susun dalam rangka mencoba menyelesaikan tugas Mata Kuliah yang
berjudul “Inseminasi dan Bayi Tabung Menurut Pandangan Islam”. Agar mengetahui kekurangan maupun
kelebihan mahasiswa dalam mepelajari inseminasi dan bayi tabung dalam pandangan islam, dan juga sebagai
penunjang untuk penilaian dari Bapak Dosen yang mengajarkan Mata Kuliah Studi Islam. 
Anak Hasil Inseminasi (Bayi Tabung) dalam Perspektif Hukum Islam. Sebagaimana diketahui bahwa
anak bagi orang tua ketika ia masih hidup dapat dijadikan sebagai penenang, dan sewaktu ia pulang ke
rahmatullah anak sebagai pelanjut dan lambang keabadian. Oleh karena itu, bagi yang tidak memiliki anak
berupaya untuk mendapatkan anak, bahkan sebagaimana disebutkan dalam makalah sebelumnya ada pula yang
melakukan adopsi untuk mendapatkan anak dengan syarat-syarat yang telah ditentukan berdasarkan pandangan
hukum Islam. 
Selain itu dalam makalah kali ini yang berjudul “Inseminasi dan Bayi Tabung dalam Pandangan
Islam” dengan semakin berkembang dan majunya ilmu pengetahuan dan teknologi informasi, teknologi
modern menemukan bahwa untuk mendapatkan anak tidak perlu melalui adopsi anak yang sebenarnya tidak
memiliki hubungan nasab dengan orang yang mengadopsinya, tetapi dengan mengikuti program inseminasi,
seseorang dapat memiliki anak, bahkan dilahirkan dari kandungan perempuan itu sendiri. Permasalahan inilah
yang kemudian dikaji dalam makalah ini.
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
            Bab ini merupakan tinjauan pustaka yang mengemukakan sumber-sumber yang digunakan penulis
dalam menyusun makalah ini. Tinjauan kepustakaan dikembang secara mendalam melalui buku - buku media
internet yang berhubungan dengan Inseminasi dan Bayi Tabung dalam Pandangan Islam. 
            Dalam tinjauan menulis makalah ini, penulis mencoba menganalisa yang terdapat di buku-buku dan di
media internet yang membahas tentang Inseminasi dan Bayi Tabung dalam Pandangan Islam. Dengan
demikian penulis dapat menempatkan penulisan makalah ini, dalam mengkaji apa yang ditulis oleh penulis
lainnya, penulis akan mendapatkan berbagai ide untuk menyusun makalah ini.
            Penerapan tinjauan kepustakaan ini dibagi menjadi beberapa bagian dari yang akan
dikaji,yaitu membahas tentang pengertian Inseminasi dan Bayi Tabung dan Tinjauan Hukum Inseminasi dan
Bayi Tabung dalam Hukum Islam.

BAB III
PEMBAHASAN DAN CONTOH KASUS
A.    Pengertian Iseminasi dan Bayi Tabung
Kata inseminasi berasal dari bahasa Inggris “insemination” yang artinya pembuahan atau penghamilan
secara teknologi, bukan secara alamiah. Kata inseminasi itu sendiri, dimaksudkan oleh dokter Arab, dengan
istilah ‫التَّ ْلفِ ْي ُح‬ dari fi’il (kata kerja) ‫يُلَقِّ ُح‬-‫لَقَّ َح‬ menjadi ‫تَ ْلقِ ْي ًحا‬ yang berarti mengawinkan atau mempertemukan
(memadukan).
Kata talqih yang sama pengertiannya dengan inseminasi, diambil oleh dokter ahli kandungan bangsa
Arab, dalam upaya pembuahan terhadap wanita yang menginginkan kehamilan.[1]
ِ ‫ط ْف ُل ْاألَنَابِ ْي‬ yang
Sedangkan pengertian bayi tabung disebutnya sebagai istilah ‫ت‬ ِ artinya jabang bayi yaitu
sel telur yang telah dibuahi oleh sperma yang telah dibiakkan dalam tempat pembiakan (cawan) yang sudah
siap untuk diletakkan ke dalam rahim seorang ibu.
Bayi tabung dalam dunia kedokteran dikenal dengan istilah fertilisasi-in-vitro yang memiliki
pengertian sebagai berikut : Fertilisasi-in-vitro adalah pembuahan sel telur oleh sel sperma di dalam tabung
petri yang dilakukan oleh petugas medis. Inseminasi buatan pada manusia sebagai suatu teknologi reproduksi
berupa teknik menempatkan sperma di dalam vagina wanita, pertama kali berhasil dipraktekkan pada tahun
1970. Awal berkembangnya inseminasi buatan bermula dari ditemukannya teknik pengawetan sperma. Sperma
bisa bertahan hidup lama bila dibungkus dalam gliserol yang dibenamkan dalam cairan nitrogen pada
temperatur -321 derajat Fahrenheit
Pada mulanya program pelayanan ini bertujuan untuk menolong pasangan suami istri yang tidak
mungkin memiliki keturunan secara alamiah disebabkan tuba falopii istrinya mengalami kerusakan yang
permanen. Namun kemudian mulai ada perkembangan dimana kemudian program ini diterapkan pula pada
pasutri yang memiliki penyakit atau kelainan lainnya yang menyebabkan tidak dimungkinkan untuk
memperoleh keturunan.
B.     Teknik Pembuatannya
Untuk melakukan inseminasi buatan (al-taqih al-Shina’iyah); yaitu sepasang suami-istri yang
menginginkan kehamilan, diharapkan selalu berkonsultasi dengan dokter ahli dengan memeriksakan dirinya,
apakah keduanya bisa membuahi atau dibuahi, untuk mendapatkan keturunan atau tidak.[2]
Ada beberapa teknik inseminasi buatan yang telah dikembangkan di dunia kedokteran, antara lain ialah : [3]
a. Fertilization in Vitro (FIV) dengan cara mengambil sperma suami dan ovum istri kemudian diproses di Vitro
(tabung), dan setelah terjadi pembuahan, lalu lalu ditransper dirahim isteri.
b.Gamet Intra Felopian Tuba (GIFT) dengan cara mengambil sperma suami dan ovum isteri, dan setelah
dicampur terjadi pembuahan, maka segera ditahan di saluran telur (tuba palupi). Teknik kedua ini lebih
alamiah dari pada teknik pertama, sebab sperma hanya bisa membuahi ovum di tuba palupi setelah terjadi
ejakulasi (pancaran mani) melalui hubungan seksual.
Sejak bayi tabung itu dimasukkan ke dalam rahim seorang ibu, sejak itu pula berlaku larangan dokter
yang harus dipatuhi oleh ibu, antara lain:
a. Kerja keras, atau terlalu capek
b. Tidak makan atau minum sesuatu yang mengandung unsur alcohol
c. Tidak boleh melakukan senggama selama 15 hari atau 3 minggu sejak bayi tabung itu  diletakkan ke dalam
rahim.
C.    Tinjauan Hukum Islam Tentang Bayi Tabung
Bayi tabung atau inseminasi buatan apabila dilakukan dengan sperma suami istri sendiri dan tidak
ditranfer embrionya ke dalam rahim wanita lain termasuk istrinya sendiri yang lain (bagi suami yang
berpoligami), maka islam membenarkannya, baik dengan cara mengambil sperma, kemudian disuntikan ke
dalam vagina atau uterus istri, maupun dengan cara pembuahan dilakukan diluar rahim, kemudian buahnya
ditanam di dalam rahim istri, asal kondisi suami istri yang bersangkutan benar-benar memerlukan inseminasi
buatan untuk memperoleh anak, karena dengan cara pembuahan alami, suami istri tidak berhasil memperoleh
anak. Hal ini sesuai dengan kaidah hukum fiqh Islam, yang berbunyi:
‫الحا جة تترل الضرورة والضرورة تبيح المحظورات‬
Artinya : ”Hajat (kebutuhan yang sangat penting itu) diperlakukan seperti dalam keadaan terpaksa
(Emergency) padahal keadaan darurat atau terpaksa itu membolehkan melakukan hal-hal yang terlarang.”
Sebaliknya insiminasi buatan itu dilakukan dengan bantuan donor sperma atau ovum, maka hal ini
diharamkan, dan hukumnya sama dengan zina (prostitusi) dan sebagai akibat hukumnya anak hasil inseminasi
tersebut tidak sah. Dan nasabnya hanya dengan ibu saja yang melahirkan.
Upaya bayi tabung, dibolehkan oleh islam manakala perpaduan sperma dengan ovum itu bersumber
dari suami istri yang sah (inseminasi homolog) yang disebut juga dengan ”Artifical Insemination
Husband” (AIH), dan yang dilarang adalah inseminasi buatan yang dihasilkan dari perpaduan sperma dan
ovum dari orang lain (inseminasi heterolog) yang disebut juga dengan istilah ”Artifical Insemination
Donor” (AID). Inseminasi homolog tidak melanggar hukum agama atau ketentuan agama hanya kecuali hanya
menempuh jalan keluar untuk memenuhi prosedur senggama karena tidak dapat memenuhi atau dibuahi.
Karena itu kebolehannya ada karena faktor darurat yang diberi dispensasi oleh agama, sebagaimana hadist nabi
yang mengatakan bahwa tidak boleh mempersulit diri dan menyulitkan orang lain.
1.      Menurut Pendapat Yusuf Al-Qardawi Tentang Bayi Tabung
Kalau Islam telah melindungi keturunan, yaitu dengan mengharamkan zina dan pengangkatan anak,
sehingga dengan demikian situasi keluarga selalu bersih dari anasir – anasir asing, maka untuk itu Islam juga
mengharamkan apa yang disebut pencangkokan sperma (bayi tabung), apabila ternyata pencangkoan itu bukan
sperma suami.
Bahkan situasi demikian, seperti kata Syekh Syaltut, suatu perbuatan zina dalam satu waktu, sebab
intinya adalah satu dan hasilnya satu juga, yaitu meletakkan air mani laki-laki lain dengan suatu kesengajaan
pada ladang yang tidak ada ikatan perkawinan secara syara’ yang dilindungi hukum naluri dan syariat agama.
Andaikata tidak ada pembatasan-pembatasan dalam masalah bentuk pelanggaran hukum, niscaya pencangkoan
ini dapat dihukumi berzina yang oleh syariat Allah telah diberinya pembatasan; dan kitab-kitab agama akan
menurunkan ayat tentang itu.
Apabila pencangkokan yang dilakukan itu bukan air mani suami, maka tidak diragukan lagi adalah
suatu kejahatan yang sangat buruk sekali, dan suatu perbuatan mungkar yang lebih hebat daripada
pengangkatan anak. Sebab anak cangkokan dapat menghimpun antara pengangkatan anak, yaitu memasukkan
unsur asing ke dalam nasab, dan antara perbuatan jahat yang lain berupa perbuatan zina dalam satu waktu yang
justru ditentang oleh syara’ dan undang-undang, dan ditentang pula oleh kemanusiaan yang tinggi, dan akan
meluncur ke derajat binatang yang tidak berperikemanusiaan dengan adanya ikatan kemasyarakatan yang
mulia.
2.      Menurut Fatwa Majelis Ulama Indonesia Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia:
a. Bayi tabung dengan sperma dan ovum dari pasangan suami isteri yang sah hukumnya mubah (boleh), sebab
hak ini termasuk ikhtiar berdasarkan kaidah-kaidah agama.
b. Bayi tabung dari pasangan suami-isteri dengan titipan rahim isteri yang lain (misalnya dari isteri kedua
dititipkan pada isteri pertama) hukumnya haram berdasarkan kaidah Sadd az-zari’ah, sebab hal ini akan
menimbulkan masalah yang rumit dalam kaitannya dengan masalah warisan (khususnya antara anak yang
dilahirkan dengan ibu yang mempunyai ovum dan ibu yang mengandung kemudian melahirkannya, dan
sebaliknya).
c. Bayi tabung dari sperma yang dibekukan dari suami yang telah meninggal dunia hukumnya haram
berdasarkan kaidah Sadd az-zari’ah, sebab hal ini akan menimbulkan masalah yang pelik, baik dalam
kaitannya dengan penentuan nasab maupun dalam kaitannya dengan hal kewarisan.
d. Bayi tabung yang sperma dan ovumnya diambil dari selain pasangan suami isteri yang sah hukumnya
haram, karena itu statusnya sama dengan hubungan kelamin antar lawan jenis di luar pernikahan yang tidak
sah (zina), dan berdasarkan kaidah Sadd az-zari’ah, yaitu untuk menghindarkan terjadinya perbuatan zina
sesungguhnya.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A.    Kesimpulan
Dari Inseminasi adalah teknik pembuahan (fertilisasi) antara sperma suami dan sel telur isteri yang
masing-masing diambil kemudian disatukan di luar kandungan (in vitro) – sebagai lawan “di dalam
kandungan” (in vivo).
Secara hukum, bayi yang dihasilkan dari inseminasi ini memiliki dua macam yakni diperbolehkan
dengan catatan sperma yang diambil merupakan sperma yang berasal dari suami istri yang sah, dan ditanam
dalam rahim istri tersebut (bukan rahim orang lain) dan tidak diperbolehkan, jika seperma yang diambil berasal
dari laki-laki lain begitu pula dari wanita lain.
Penghamilan buatan adalah pelanggaran yang tercela dan dosa besar, setara dengan zina, karena
memasukan mani’ orang lain ke dalam rahim perempuan tanpa ada hubungan nikah secara syara’, yang
dilindungi hukum syara’. Pada inseminasi buatan dengan sperma suami sendiri tidak menimbulkan masalah
pada semua aspeknya, sedangkan inseminasi buatan dengan sperma donor banyak menimbulkan masalah di
antaranya masalah nasab. Dan adapun tentang inseminasi buatan dengan bukan sperma suami atau sperma
donor para ulama mengharamkannya seperti pendapat Yusuf Al-Qardlawi yang menyatakan bahwa islam juga
mengharamkan pencakukan sperma (bayi tabung). Apabila pencakukan itu bukan dari sperma suami.
B.     Saran
 Penulis dapat menganalisa bahwa inseminasi untuk inseminasi buatan dengan sperma suami sendiri di
bolehkan bila keadaannya benar-benar memaksa pasangan itu untuk melakukannya dan bila tidak akan
mengancam keutuhan rumah tangganya (terjadinya perceraian). 

DAFTAR PUSTAKA

[1]Majahuddin, Haji. Masailul Fiqhiah


[2] Ibid. h 2
[3]Masjfuk Zuhdi. Masail Fiqhiah. Cet X. PT Midas Surya

Anda mungkin juga menyukai