Anda di halaman 1dari 68

RESUME MATERI FILSAFAT ISLAM BAB I - BAB XIII

NAMA : BEKTI NURDIANA NIM : 1182020048 KELAS : PAI 5B

BAB I (SEJARAH FILSAFAT ISLAM)

A. SEJARAH FILSAFAT ISLAM

Secara historis, perkembangan filsafat dalam Islam dapat dikatakan dimulai oleh
pengaruh kebudayaan Hellenis, yang terjadi akibat bertemunya kebudayaan Timur
(Persia) dan kebudayaan Barat (Yunani). Pengaruh ini dimulai ketika Iskandar Agung
(Alexander the Great) yang merupakan salah satu murid dari Aristoteles berhasil
menduduki wilayah Persia pada 331 SM. Alkulturasi kebudayaan ini mengakibatkan
munculnya benih-benih kajian filsafat dalam masyarakat Muslim di kemudian hari.
Penerjemahan literatur-literatur keilmuan dari Yunani dan budaya lainnya ke dalam
bahasa Arab secara besar-besaran di era Bani Abbasiyah (750-1250an M) dapat
dikatakan memberi pengaruh terbesar terhadap kemunculan dan perkembangan kajian
filsafat Islam klasik. Peristiwa tersebut kemudian menjadikan periode ini sebagai
zaman keemasan dalam peradaban Islam. Ini sekaligus menunjukan keterbukaan umat
Muslim terhadap berbagai pandangan yang berkembang saat itu, baik dari para
penganut keyakinan monoteis lainnya, seperti kaum Yahudi yang mendapat posisi
penting saat itu di negeri-negeri Islam (Ravertz, 2004: 20), hingga kaum Pagan, yang
terlihat dari ketertarikan umat Muslim terhadap literatur bangsa Yunani Kuno yang
mana sering diidentikan dengan ritual-ritual Paganisme.

Keterbukaan dan ketertarikan umat Islam terhadap literatur-literatur ilmu


pengetahuan dari budaya lain diyakini telah membawa pengaruh besar terhadap
perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan, terutama terhadap perkembangan
filsafat dan ilmu pengetahuan yang di kemudian hari berkembang lebih lanjut pada
Abad Pencerahan di Eropa. Dunia pemikiran Islam kemudian semakin terfokus pada
pendamaian antara filsafat dan agama ataupun akal dan wahyu, yang kemudian
mempengaruhi semakin diusungnya integrasi antara akal dan wahyu sebagai landasan
epistemologis yang berpengaruh pada karakter perkembangan ilmu pengetahuan
dalam dunia Islam. Kondisi tersebut memunculkan semakin banyaknya cabang-
cabang keilmuan dalam dunia Islam, yang tidak hanya bersifat teosentris dengan
merujuk pada dalil-dalil Al-Qur'an dan Al-Hadits sebagai sumber kebenarannya oleh
para Mutakalim (ahli kalam), tetapi juga bersifat antroposentris dengan rasio dan
pengalaman empiris manusia sebagai landasannya tanpa menegasikan dalil dalam Al-
Qur'an dan Al-Hadits. Pada periode ini, dunia Islam menghasilkan banyak filsuf,
teolog, sekaligus ilmuwan ternama seperti Ibnu Sina, Al-Farabi, Al-Kindi, Al-
Ghazali, dan Ibnu Rusyd. Kajian filsafat Islam di periode ini umumnya mengkaji
lebih lanjut pandangan-pandangan perguruan filsafat peripatetik di Eropa seperti
logika, metafisika, filsafat alam, dan etika, sehingga periode ini disebut juga sebagai
periode peripatetik dari kajian filsafat Islam (Islamic/Arabic peripatetic school).

Pasca kematian Ibn Rusyd pada abad ke-12 M, kajian-kajian peripatetik dalam filsafat
Islam mulai meredup.

B. HUBUNGAN FILSAFAT ISLAM DENGAN FILSAFAT YUNANI

Secara keseluruhan filsafat Yunani dan filsafat Islam memegang peranan yang
besar dalam membentuk peradaban dunia. Sebab filsafat Yunani adalah peletak batu
pertama kemunculan usaha intelektualitas dalam memahami fenomena alam baik
yang mikro maupun yang makro. Sedangkan filsafat Islam mengembangkan,
mereformulasi, mengarahkan, dan mensistemasi serta menurunkannya ketataran
praktis hingga melahirkan peradaban cemerlang.

Umat Islam, pada puncak peradabannya sama sekali tidak menentang ilmu
pengetahuan, bahkan menguatkan dan mendorong perkembangan ilmu pengetahuan,
termasuk filsafat. Umat Islam senantiasa membuka diri bagiberbagai macam pendapat
dan aliran. Hal ini karena Islam sebagai agama yang selalu mengajak untuk
memikirkan, menganalisa dan mengarahkan pandangan kepada bukti-bukti yang ada
di langit dan di bumi, bukan sebaliknya mengharamkan dan mempersempit kebebasan
berpikir.

C. PANDANGAN ORIENTALIS DAN PANDANGAN SEJARAH ISLAM


TENTANG FILSAFAT ISLAM
a. Pandangan Orientalis Tentang Filsafat Islam

Para pengamat Barat (orientalis) berbeda pendapat dalam menganalisa eksistensi


filsafat Islam. pada umumnya orientalis abad ke-19 menolak adanya filsafat itu,
sedang mereka yang hidup di abad ke-20 nampaknya mulai mengakui eksistensinya.
Tetapi mereka juga masih berbeda; sebagian mereka memandangnya sebagai
saduran dari filsafat sebelumnya. Sementara yang lain mengakui sebagai produk
orang-orang Islam.

b. Pandangan Islam Tentang Filsafat Islam

Kendati Islam sudah dikenal oleh dunia sejak awal abad VII masehi, namun
filsafat dikalangan kaum Muslimin baru dimulai pada abad VIII. Hal ini
disebabkan karena pada abad pertama perkembangan Islam tidak terdapat isme-
isme atau paham-paham selain wahyu. Di kalangan kaum muslimin filsafat
dianggap berkembang dengan baik mulai abad IX masehi sampai abad XII.
Keberadaan filsafat pada masa ini juga menandai masa kegemilangan dunia Islam,
yaitu selama masa Daulah Abbasiyah di Baghdad (750-1258) dan Daulah
Amawiyah di Spanyol (755-7492). Menurut Hasbullah Bakry, istilah skolastik
Islam jarang dipakai dalam Khazanah pemikiran Islam. Istilah yang sering dipakai
adalah ilmu kalam atau filsafat islam.

D. SUMBER-SUMBER FILSAFAT ISLAM


1) Filsafat Mesir

Negara Mesir atau timur dekat telah lama memiliki peradaban yang tinggi, dimana
Eropa pada saat ini masih berada dalam lingkungan kegelapan. Setelah peradaban
timur dekat (Mesir) runtuh, barulah muncul kebudayaan Yunani yang selanjutnya
mempunyai pengaruh yang sangat besar diseluruh Eropa, bahkan juga dibidang
pemikiran filsafat berpengaruh di seluruh dunia. Peradaban tua dari Mesir itu sudah
berkembang kira-kira 3000 tahun sebelum Masehi. Orang-orang Mesir telah
berpikir tentang asal segala sesuatu yang maujud, yaitu “RA”. Dialah pokok dari
segala yang ada dan dapat mengadakan segala apa yang dikuasainya, karena Ia
adalahTuhan Yang Maha Kuasa. Jadi orang Mesir telah Iebih dahulu mendapati
apa yang didapati Plato dalam tempo 25 abad sebelumnya (Abbas, 1984: 122).

2) Filsafat India

Di India juga telah berkembang kebudayaan yang tinggi dengan


menelurkanpemikiran falsafat yang cukup berbobot jauh sebelum Yunani
kebudayaannya sampai melahirkan para filosof yang brilliant. Kira-kira 1000
sampai 2000tahun sebelum Masehi, bangsa Arya meninggalkan tanah airnya untuk
mengadakan ekspansi ke tanah datar sungaiIndus, sehingga mengalahkan
penduduk asli negeri itu. Mula-mula mereka tinggal di daerah Punjab, tetapi makin
lama makin besar kekuasaannya dan berkembang kebudayaannya, termasuk di
dalamnyaperkembangan pemikiran filsalat. Zainal Arifin Abbas, menulis bahwa
tarikh perkembangan pikiran orang India yang dapat dikenal baik dalam soal-soal
agama, filsafat dan siasat adalah pada masa 1500 sebelum Masehi. Jadi lebih muda
dari pada Mesir, tetapi lebih tua dari pada Tiongkok dan Yunani (Abbas, 1984:
163). masih mempunyai tujuan lebih lanjut yaitu “kebebasan” (Poedjawijatna,
1980: 47).

3) Filsafat Persia (lran)

Negeri Persia merupakan kerajaan besar di dunia semenjak lahirnya agama Islam,
dimana seorang Kisro Persia (Chosru II) pernah mencemooh dan mengoyak-oyak
surat da’wah Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, dengan
kesombongannya. Umat Islam menyerbu kerajaan besar itu sejak zaman
KhalifahAbu Bakar As-Shiddiq yang dipimpin seorang panglima yang masyhur
yaitu Khalid bin Walid. Akan tetapi Persia baru dapat ditaklukkan umat Islam pada
masa kholilahUmar bin Khathabdengan kemenangan yang sangat gemilangdan
dikenal denganfathul futuhyaitu pada tahun 21 H (Syalabi, 1974: 245).

Dengan masuknya wilayah Persia ke dalam daulah Islamiah itu, maka banyak pula
unsur-unsur kebudayaan ataupun alam pikiran Persia yang mempengaruhi umat
Islam pada kurun waktu selanjutnya.

4) Filsafat Yunani

Semua ahli sepakat bahwa sumber utama filsafat Islam adalah filsafat Yunaniyang
telah berkembang sejak abad ke enam sebelum Masehi. Para filosof muslim
banyak yang mengambil pikiran Plato dan Aristoteles, demikian pula banyak teori-
teori filsafat Plotinus yang diambil dan diolah oleh mereka. Maka dalam hal ini
dibenarkan bahwa para filosof muslim berhutang budi pada orang Yunani,
demikian pula dapat dibenarkan bahwa para filosof modern di Barat berhutang
budi kepada umat Islam.Hal ini disebabkan karenarenaissanceyang menjadi embrio
lahirnya filsafat modern di Barat merupakan pengaruh pemikian rasional para
filosof muslim seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd dan lain sebagainya. Jadi filosof
muslim merupakan mata rantai yang sungguh berarti dalam kelangsungan
perkembangan alam filsafat dalam sejarah umat manusia hingga dewasa ini.
BAB II (PEMIKIRAN FILSAFAT AL-KINDI)

A. RIWAYAT HIDUP AL-KINDI

Al-Kindi adalah filosof muslim Arab pertama yang merintis jalan bagi masuknya
filsafat ke dunia Islam, beliau salah satu filosof Arab asli keturunan rajaraja Yaman di
Kindah. Al-Kindi menghasilkan banyak karya, sehingga menurut Ibnu Nadim,
seorang pustakawan ternama,mengatakan 241 karya Al-Kindi , sudah diterjemahkan
ke dalam bahasa latin. Al-Kindi lahir pada puncak kemajuan intelektual dan
sosialpolitik Bani Abbasiyah, antusiasme pemerintah terhadap kegiatan penerjemahan
tercermin dari besarnya imbalan yang diberikan untuk sebuah karya terjemahanoleh
pemerintah.

Penulisan filsafat secara sistematis dalam sejarah Islam baru dimulai pada abad IX .
Sebelumnya, kegiatan filosofis hanya berkisar pada penterjemahan karya-karya
filsafat Yunani. Mungkin juga sedikit wisata ensiklopedi-filosofis oleh sejumlah
penterjemah terkemuka,seperti Humain Ibn Ishaq dan Qustha Ibn Luqa , konon kedua
orang ini berjasa menyusun berbagai risalah kefilsafatan yang beberapa diantaranya
masih ada dalam bahasa Arab.

Al-Kindi dilahirkan di Kuffah, beliau memiliki nama lengkap Abu Yusuf Ya’kub Ibn
Ishaq Sabbah Ibn Ismail Al-Ash’ats Ibn Qais (180-260 H/769-873 M),adalah filosof
muslim pertama. Nama Al-Kindi dinisbahkan pada salah satu suku besar Arab pra-
Islam, yakni Kindah. Kakeknya, Al-Ash’ats Ibn Qais, adalah salah seorang muslim
dan bahkan dianggap sebagai salah satu sahabat Nabi SAW., sementara ayahnya,
Ishaq As-Sabbah adalah gubernur Kuffah ketika Daulah Abbasiyah diperintah oleh
Al-Mahdi dan Harun Al-Rasyid, ayahnya meninggal ketika ia masih usia kanak-
kanak, namun ia tetap memperoleh kesempatan untuk menuntut ilmu yang baik.

Terlepas dari sedikitnya informasi biografi tentang Al-Kindi, sumber-sumber klasik


menyebutkan bahwa sumbangan besar Al-Kindi bagi perkembangan filsafat dan sains
Islam, Ibn Nadim (w. 995) seorang pustakawan yang terpercaya menyebutkan adanya
242 buah karya Al-Kindi, dalam bidang yang telah kami sebutkan di atas. Selain
karya yang berbentuk buku, Al-Kindi juga menulis sejumlah makalah yang
menyangkut studi agama India, Chalden dan Harran.Mencermati kejeniusan tokoh ini,
agaknya tuduhan yang mengatakan bahwa Al-Kindi tidak mengerti secara baik ilmu
logika sulit dibuktikan, karena tidak satupan karya logikanya yang dapat ditemukan.
Hal ini mungkin dikarenakan ruang lingkup pengetahuan Al-Kindi yang luar biasa
atau mungkin juga karena alasan lain seperti kesesuaian pahamnya dengan ide-ide
mu’tazilah, ini dapat dilihat ketika khalifah al-Makmum mengajaknya bergabung
dengan kalangan cendekiawan yang bergiat dalam usaha pengumpulan dan
penerjemahan karya-karya Yunani, walaupun kelihatannya ia lebih cenderung
menyimpulkan daripada menerjemahkan karya-karya tersebut.

Untuk lebih jelasnya dibawah ini dikemukakan beberapa karya tulis Al-Kindi sebagai
berikut :

Fi Al-Falsafah al-ula

Fi hudud al-asy ya’wa rusumuha

Fi al-fa’ill al-haq al-awwal al-fam

Fi ilati’ i-kaun wal fasad

Fi al-qaul fi nafsih

Fi wahdaniyatillah wa tanahir jirmi’i ‘alam

Fi ‘il ‘aql

B. PEMIKIRAN FILSAFAT AL-KINDI


Bangunan pemikiran filsafat Al-Kindi merupakan refleksi doktrin-doktrin yang
diperolehnya dari sumber-sumber Yunani klasik dan warisan Neo-Platonis yang
dipadukan dengan keyakinan agama yang dianutnya. Oleh karena itu, basis
pemikiran filsafat yang mendasari keseluruhan pemikiran Al-Kindi ditemukan dalam
risalah Fi al-Hudud al-Asyya. Dalam risalah tersebut, Al-Kindi melakukan
peringkasan atas defenisi-defenisi dari literatur Yunani dalam bentuk yang
sederhana. Ringkasan yang pada awalnya hendak memaparkan filsafat Yunani, oleh
banyak sejarawan dinilai hanya merupakan ringkasan defenisi secara harfiah saja
yang merujuk kepada Aristoteles tanpa kepastian yang jelas atas validitas sumbernya
(Basri, 2013: 37).

Sementara dalam risalah Al-Kindi yang khusus memaparkan bagian permulaan dari
disiplin filsafat, Al-Kindi mengemukakan enam defenisi filsafat yang seluruhnya
bercorak Platonis. Menurut Al-Kindi Filsafat adalah ilmu tentang hakikat sesuatu
dalam batas kesanggupan manusia yang meliputi ilmu ketuhanan, ilmu keesaan
(wahdaniyyah), ilmu keutamaan (fadhilah) dan kajian apapun yang berguna bagi
kehidupan manusia. Al-Kindi juga berpandangan bahwa tujuan para filosof dalam
berteori adalah mengetahui kebenaran yang kemudian ditindaklanjuti dengan amal
perbuatan dalam tindakan, semakin dekat manusia pada kebenaran, akan semakin
dekat pula pada kesempurnaan (Basri,2013).
Filsafat, menurut Al-Kindi adalah batas mengetahui hakikat suatu sejarah batas
kemampusn manusia. Tujuan filsafat dalam teori adalah mengetahui kebenaran, dan
dalam praktik adalah mengamalkan kebenaran/kebajikan. Filsafat yang paling luhur
dan mulia adalah filsafat pertama (Tuhan), yang merupakan sebaba (‘illah) bagi setiap
kebenaran/realitas. Oleh karena itu, filosof yang paling sempurna dan mulia harus
mampu mencapai pengetahuan yang mulia itu. Mengetahui ‘illah itu lebih mulia dari
mengetahui akibat/ma’mul-nya, karena kita hanya mengetahui sesuatu dengan
sempurna bila mengetahui ‘illah-nya. Pengetahuan tentang ‘illah pertama merupakan
pengetahuan yang tersimpul mengenai semua aspek lain dari filsafat. Dia, ‘illah
pertama, Tuhan, adalah paling mulia, awal dari jenis, awal dalam tertib ilmiah, dan
mendahului zaman, karena dia adalah ‘illah bagi zaman (Syam, 2010:47).
Al-Kindi (Basri, 2013) dalam karyanya Kammiyah Kutub Arsithateles memaparkan
perbedaan antara doktrin agama dan filsafat sebagai berikut :

1) Filsafat merupakan bagian dari humaniora yang dicapai para filosof melalui
proses panjang pembelajaran, sedangkan agama adalah ilmu ketuhanan yang
menempati tingkatan tertinggi karena diperoleh tanpa proses pembelajaran dan
hanya diterima secara langsung oleh para Rasul melalui prosespewahyuan.
2) Jawaban filsafat menunjukkan ketidakpastian dan memerlukan perenungan yang
mendalam. Sedangkan agama lewat kitab suci memberikan jawaban yang pasti
danmeyakinkan.
3) Filsafat menggunakan metode Logika, sedangkan agama mendekati persoalan
manusia dengankeimanan.

C. PEMIKIRAN AL-KINDI TENTANG METAFISIKA


Sebagai halnya dengan filosof-filosof Yunani dan filosof-filosof Islam lainnya. Al-
Kindi , selain dari filosof, adalah juga ahli ilmu pengetahuan. Pengetahuan ia bagi ke
dalam dua bagian:
1. Pengetahuan Ilahi (Divine Science), yaitu pengetahuan langsung yang diperoleh
Nabi dari Tuhan. Dasar pengetahuan ini ialahkeyakinan.
2. Pengetahuan manusiawi (Human Science) atau falsafat. Dasarnya ialah
pemikiran rasional(Nasution,1973:15).

Al-Kindi merupakan filosof Islam pertama yang menggagas bukti rasional- filosofis
tentang Tuhan. Ia menunjukkan eksistensi Tuhan melalui argumentasi kebaruan atau
dalil al-haudust. Menurut Al-Kindi, alam semesta betapa pun luasnya adalah terbatas
dan segala yang terbatas tidak mungkin tidak mempunyai awal yang tidak terbatas.
Dengan kata lain, alam mesti mempunyai titik awal dalam waktu. Betapapun jauhnya
ia dirunut, kebelakang, ia harus mulai dalam titik temporal tertentu, dan tidak
mungkin surut ke belakang secara tak terhingga atau tasalsul (Zaprulkhan, 2014:26).
Al-Kindi dalam persoalan metafisika dimulai dengan penetapan unsur-unsur yang
menyusun materi fisikal. Keseluruhan benda yang dapat ditangkap indera merupakan
juz’iyah (partikular) dari wujud benda dan menurut Al-Kindi yang penting untuk
dibicarakan filsafat bukanlah aspek partikular benda-benda itu, akan tetapi hakikat
yang terdapat dalam benda. Tentu saja pemikiran semodel ini sedikit banyak
dipengaruhi oleh pembagian benda dalam substansi dan aksidensi dalam filsafat
Aristoteles. Jika dalam filsafat Aristoteles, substansi adalah bahan yang tetap dan
aksidensi adalah aspek yang mungkin berubah dari benda, maka Al-Kindi
menyatakan bahwa tiap benda mengandung dua hakikat; hakikat juz’iyah yang
disebutnya sebagai ‘Aniyah dan hakikat kulliyah yang disebut Mahiyah (Basri,2013:
39).
Menurut Al-Kindi Tuhan tidak mempunyai hakikat dalam arti aniah atau mahiah.
Tuhan bukan seperti benda-benda fisik yang dapat ditangkap indera. Tuhan tidak
tersusun dari materi dan bentuk (dari matter dan form). Tuhan juga tidak memiliki
aspek mahiah. Karena Tuhan tidak merupakan genus atau species. Tuhan hanya satu,
dan tidak ada yang serupa dengan Tuhan (Nasution, 1973). Tuhan dalam pemikiran
Al-Kindi adalah al-Haqq al-Awwal dan al-Haqq al- Wahid , Yang benar Tunggal
dan Ia semata-mata satu. Hanya Ialah yang satu, selain dari Tuhan semuanya
mengandung arti banyak.
D. PEMIKIRAN AL-KINDI TENTANG JIWA DAN AKAL
Jiwa dipandang sebagai intisari dari manusia dan filosof-filosof Islam banyak
memperbincangkan hal ini. Menurut Al-Kindi, jiwa atau roh tidak tersusun, tetapi
mempunyai arti penting, sempurna, dan mulia. Substansinya berasal dari substansi
Tuhan dan hubungannya dengan manusia sama dengan hubungan cahaya dengan
matahari. Karena pada hakikatnya bersifat Ilahi dan spiritual, maka jiwa berbeda
dengan tubuh dan bahkan bertentangan dengannya. Potensi-potensi keburukan nafsu
birahi boleh jadi mendorong manusia untuk berbuat keji, tetapi jiwa akan
mengekangnya. Fakta ini membuktikan bahwa Jiwa Rasional yang tetap mengawasi
kecakapan-kecakapan itu berbeda dengan dengan kecakapan-kecakapan tersebut.
Ketika meninggalkan tubuh, jiwa akan bersatu kembali dengan dunai real tempat
cahaya Pencipta terbit (Zaprulkhan, 2014: 27).
Menurut Al-Kindi, jiwa itu kekal dan tidak hancur bersama hancurnya badan. Jiwa
tidak hancur karena substansinya dari Tuhan. Ketika jiwa berada dalam badan, ia
tidak memperoleh kesenangan yang sebenarnya dan pengetahuannya tidak
sempurna. Baru setelah ia berpisah dengan badan, ia akan memperoleh kesenangan
yang sebenarnya dalam bentuk pengetahuan yang sempurna. Setelah berpisah
dengan badan, jiwa pergi ke Alam Kebenaran atau Alam Akal (al-‘alam a-haq, al-
‘alam al-aql) didalam lingkungan cahaya Tuhan, dekat dengan Tuhan, dan dapat
melihat Tuhan. Tempat inilah kebahagiaan abadi yang akan dirasakan oleh jiwa yang
suci. Sedangkan jiwa yang tidak suci, setelah berpisah dengan badan, ia tidak akan
langsung masuk ke Alam kekal, tetapi ia akan mengembara untuk jangka waktu
tertentu untuk membersihkan diri. Mula- mula jiwa bermukim di bulan, kemudian di
Mercuri dan terus ke Falak yang lebih tinggi lagi untuk pembersihan tahap demi
tahap. Setelah jiwa benar-benar bersih, jiwa itu baru memasuki Alam Kebenaran
atau Alam Kekal (Syam, 2010).

E. PENGARUH FILSAFAT AL-KINDI TERHADAP DUNIA ISLAM


Al-Kindi sebagai kunci pertama pembuka gerbang filsafat dunia islam. Melalui
usahanya ini Al-Kindi berhasil membuka jalan bagi kaum muslimin untuk menerima
filsafat. Al-Kindi memiliki pengaruh dan kostribusi besar terhadap perkembangan
ilmu pengetahuan di dunia islam. Sejarah membuktikan, prestasi yang telah di ukir
Al-Kindi menjadikan dirinya dinobatkan sebagai filosof muslim kenamaan yang
sejajar dengan para pemikir raksasa lainnya. Ia adalah filosof pertama islam yang
menyelaraskan agama dengan filsafat.
Ia melicinkan jalan bagi al-farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rusyd. Ia memberikan dua
pandangan yang berbeda. Yang pertama mengikuti jalur ahli logika, dan
memfilsafatkan agama. Yang kedua, memandang agama sebagai ilmu ilahiyah dan
menempatkannya di atas filsafat. Ilmu ilahiyah diketahui lewat jalur para nabi. Tetapi
melalui penafsiran para filosofis, agama jadi selaras dengan filsafat. Kebesaran Al-
Kindi telah dibuktikan dengan pengaruh Al-Kindi terhadap kemajuan peradaban
islam, kemajuan ilmu pengetahuan di dunia islam yang dipelopori oleh Al-Kindi ini
telah mengantarkan Al-Kindi dan karya-karyanya menghiasi kerajaan Al- Mu’tasim.
Pemikiran Al-Kindi telah banyak menginspirasikan banyak para pemikir lain pada
masa itu. Hal itu dibuiktikan oleh Gerad dari Cremona ke dalam bahasa latin. Karya-
karya itu sangat mempengaruhi Eropa pada abad pertengahan.
BAB III (PEMIKIRAN FILSAFAT AR-RAZI)

A. RIWAYAT HIDUP AL RAZI


Filsuf muslim terkemuka yang muncul sesudah Al-Kindi adalah Abu Bakar
Muhammad bin Zakaria Ar-Razi. Ar-Razi dikenal sebagai dokter, filsuf,
kimiawan dan pemikir bebas, (250-313 H / 864-925 M atau 320 H/ 932 M), oleh
orang latin dipanggil Rhazes dilahirkan di Rayy, dekat Teheran sekarang.

Menurut riwayat, ia menguasai betul musik, baik teori maupun praktik, dan
dikatakan sebagai ahli alkemi ( kimia kuno ) sebelum belajar formalnya di bidang
kedokteran. Ia memimpin rumah sakit di Rayy kemudian di Bagdad dan sering
pulang ke Rayy tempat ia meninggal. Rumahnya yang besar di Rayy dan
ditempat-tempat lain di Distrik Jibal Kaspia Selatan menggambarkan bahwa ia
seorang yang kaya. Pengarang kurang lebih dua ratus karya ini diriwayatkan telah
mengajar filsuf/penerjemah Kristen Yacobit, Yahya ibn ‘Adi (893-974 M) dan
disebut sebagai “dokter Islam yang tak tertandingi”.

Ar-Razi belajar ilmu kedokteran kepada ‘Ali ibn Rabbban Ath-Thabari. Ibn An-
Nadim sebagaimana dikutip Fuad Al-Ahwani Ar-Razi belajar kepada Al-Balkhi.
Menurut ibn An-Nadim, Al-Balkhi adalah orang yang banyak melakukan
perjalanan, menguasai filsafat dan ilmu-ilmu kuno. Beberapa orang mengatakan
bahwa Ar-Razi menghubungkan dengan dirinya sendiri buku-buku filsafat Al-
Ballkhi. Kita tak tahu lagi tentang Al-Balkhi ini, bahkan nama lengkapnya pun
kita tidak tahu.
Ar-Razi menulis karya-karya tentang birahi, senggama, ketelanjangan, dan
keberbusanaan, efek-efek mematikan penyakit simoon terhadap kehidupan
binatang, musim gugur dan semi, kebijsanaan sang pencipta, dan alasan
penciptaan binatang buas dan reptil. Salah satu karya nya membela proposisi
bahwa Tuhan tidak campur tangan dalam tindakan makhluk. Karya lainnya
membatah klaim bahwa bumi berputar mengelilingi matahari. Ar-razi membahas
karakter gerak bawan atau gerak intrinsic, per edaan tajam antara fisika
Democritus dan Aristoteles. Ia menulis sejumlah pembahasan mengenai sifat-sifat
materi, dan tentang sebab-sebab kasat mata dari gerak. Paparannya tentang resiko
mengabaikan aksioma-aksioma geometri boleh jadi di tujukan kepada para
pembela kalam ihwal atom-atom tak berdimensi dan karyanya tentang diagonal
bujur sagkar boleh jadi hendak membela atomismenya sendiri dari tuduhan klasik,
yang mula-mula dilancarkan oleh pythagorianisme, bahwa atomisme tidak
memasukan ke tak sebadingan sisi sebuah persegi dengan diagonalnya suatu
tuduhan yang diruntuhkan dengan penerimaan Ar-Razi terhadap ruang kosong dan
penolakannya terhadap ajaran Aristoteles mengenai relativitas ruang. Karena
ruang mutlak Ar-Razi merupakan kontinum Euclidean dan seperti juga materi
menurutnya, tidak mesti tersusun dari kuantum yang diskret dan tak dapat dibagi-
bagi.
Demikian perjalanan singkat seorang dokter yang memiliki jiwa dan pikiran
yang didasarkan pada filsafat. Perpaduan filsafat dan kedokteran menjadikan
kualitas keilmuan Ar-Razi memiliki nilai plus di banding para pendahulunya.

B. PEMIKIRAN AL-RAZI

Al-Razi tidak memiliki sistem filsafat yang teratur, tetapi melihat masa hidupnya,
ia mesti dipandang sebagai pemikir yang tegar dan liberal di dalam islam, dan
mungkin di sepanjang sejarah pemikiran manusia.
Di Antara pemikiran al-Razi, yaitu:
1. Dengan akal
2. Ia menentang kenabian dengan alasan-alasan
3. Ia menentang wahyu
4. Ia menentang kecenderungan berpikir rasional.
5. Ia mengatakan bahwa ruh yang hidup itu abadi tetapi bodoh
6. Menurutnya, materi itu kekal dengan bukti
7. Menurut al-Razi, karena materi menempati ruang, maka ada ruang yang
kekal
8. Menurut al-Razi, waktu itu kekal
9. Ia berpendapat bahwa seorang filosof harus moderat, tidak terlalu
menyendiri, tidak terlalu memperturutkan hawa nafsu.
10. Menurut al-Razi, setelah mati, sesuatupun terjadi pada manusia karena ia tak
merasakan apa-apa lagi
Terhadap pemikiran-pemikiran al-Razi, terdapat tokoh-tokoh yang menentangnya,
Antara lain: Abu al-Qasim al-Balkhi, pimpinan kaum Mu’tazilah di Baghdad tahun
319H/391M yang hidup semasa dengan al-Razi; Syuhaid ibn al-Hasan al-Balkhi yang
meninggal sebelum tahun 329H/940M; Abu al-Hatim al-Razi, salah seorang ahli
dakwah Isma’iliyyah terbesar yang menulis perbedaan-perbedaannya dengan al-Razi
dalam buku “A’lam al-Nubuwwah”. Ia meninggal pada tahun 322H/933M; Ibn
Tammar, seorang tabib yang menolak tulisan al-Razi yaitu “al-Tibb al-Ruhani”; al-
Misma’I, seorang mutakallim yang menulis untuk menentang kaum materialis; Jarir,
seorang dokter yang berteori tentang makan mulberry hitam setelah air labu; al-Hasan
ibn Mubarik al-Ummi, kepadanyalah al-Razi menulis dua buah surat; al-Kayyal,
seorang mutakallim, yang terhadap teorinya tentang iman, menulis sebuah kitab;
Mansur ibn Talhah, yang menulis buku tentang “kemaujudan” yang ditolak oleh al-
Razi; Muhammad ibn al-Lait al-Rasa’ili, yang tulisannya terhadap ahli alkimia
dijawab oleh al-Razi; Ahmad ibn al-Tayyib al-Sarakhasi, senior al-Razi, yang
meninggal tahun 286H/899M.

Al-Razi menulis buku filsafat moral “al-Sirat al-Falsafiyyah” yang merupakan


pembenar perhidupnya dari sudut pandang filsafat sebab ia dicela oleh beberapa orang
lantaran ia tidak seperti gurunya, Socrates.

C. PENGARUH FILSAFAT AL-RAZI TERHADAP DUNIA ISLAM

1. Bagi Kehidupan Intelektual


Abu al-Fadl Muhammad ibn ‘Umar ibn al-Husain al-Hasan ibn ‘Ali, yang juga
dikenal sebagai Fakhr al-Din, Imam Fakhr, Ibn al-Khatib, atau Imam al-
Musyakkikin (skeptisme), lahir di Rayy Utara Persia (544 H/1149 M) dari
keluarga berpendidikan yang berasal dari Tabrastan. Ia belajar kalam, fikih, dan
ilmu-ilmu Islam lainnya dari ayahnya. Selain sebagai guru pertama bagi al-Razi,
ayahnya (Dia al-Din) dikenal sebagai seorang cendikiawan ternama di Rayy.
Fakhr al-Din kemudian belajar filsafat kepada Muhammad al-Baghawi dan Majd
al-Din al-Jili dan kalam dari Kamal al-Din Simnani di Rayy dan Murughah.
Selepas belajarnya, Fakhr al-Din menguasai hampir semua ilmu pengetahuan yang
ada pada masanya, termasuk matematika, ilmu medis, dan alam.
2. Bagi Hukum Islam
Beberapa karya disumbangkan al-Razi dalam bidang hukum Islam, seperti al-
Mahsul fi ‘Ilm Usul al-Fiqh, al-Ma’alim fi ‘Ilm Usul al-Fiqh, dan Ihkam al-
Ahkam. Dalam ketiga karya tersebut, nalar al-Razi sebagai seorang teolog tampak
sangat mendominasi. Walau demikian, koridor berpikirnya masih dalam kerangka
mazhab al-Syafi’i, sekalipun dalam beberapa permasalahan, al-Razi kerap berbeda
dengan Imam al-Syafi’i. Sebagai contoh pada masalah ‘pengangkatan tangan’
dalam shalat, al-Razi menganjurkan di empat tempat, sedang al-Syafi’i di tiga
tempat. Dalam kasus lain, ia sepakat dengan Abu Hanifah dalam kewajiban zakat
buahbuahan dan tanaman, kewajiban witir, orang yang dahaga dan tidak
menemukan air wajib minum khamar, serta melemahkan pandangan Imâm al-
Syafi’i yang melihat kewajiban penerima zakat terbatas pada delapan asnaf yang
disebutkan dalam al-Qur’an.
3. Bagi Dunia Tasawuf
Dengan karya-karyanya yang lebih didominasi corak analisis intelektual, tentu
tidak banyak yang mengakui peran aktifnya dalam kajian tasawuf. Sebenarnya,
jika dilakukan penelitian lebih lanjut, tidak sedikit ditemukan muatan-muatan
tasawuf dapat ditemukan pada karya-karyanya. Khususnya di akhir masa
hidupnya, wasiat yang ia sampaikan pada muridnya tentu tidak bisa
dikesampingkan dari ruh tasawuf. Dalam Mafatih al-Ghaibnya, banyak ditemukan
ide-ide sufistik. Sebagai contoh penjelasannya atas tingkatan jiwa manusia.
Tingkatan tertinggi adalah tingkat yang menghadap ke alam Ilahi (al-sabiqun, al-
muqarrabun). Tingkatan ini dapat diraih hanya jika manusia mau melakukan
praktik spiritual (al-riyadiyyah al-ruhaniyyah) dengan istiqamah. Tingkatan
berikutnya adalah tingkatan pertengahan ashab al-maymanah, almuqtasidun).
Untuk mencapai tingkat kedua ini, diperlukan ilmu akhlak (‘ilm al-akhlaq).
Tingkatan paling rendah adalah jiwa manusia yang sibuk mencari kesenangan
kehidupan duniawi, (ashab al-syimal, al-zalimun).
4. Dalam Bidang Tafsir al-Qur’an
Nilai plus dari Imam al-Razi adalah sosoknya sebagai seorang mufasir.
Karya-karyanya dalam bidang tafsir adalah Mafatih al- ‘Ulum, Tafsir Surat al-
Baqarah, Asma’ Allah al-Husna, Asrar alTanzil wa Asrar al-Ta’wil, Risalah fi al-
Tanbih ‘ala al-Asrar alMaudi’ah fi Ba’di Suwar al-Qur’an, dan lain-lain.
Karya fenomenalnya dalam bidang ini adalah Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-
Ghaib, yang dikumpulkan oleh Ibn al-Khuwayiyyu setelah wafatnya. Sebagai
karya tafsir terbesar dalam sejarah, Mafatih al-Ghaib merupakan uraian kalam
paling penting yang pernah ditulis integral dalam tafsir al-Qur’an, di samping juga
menguraikan fikih, filsafat, lingustik, sejarah, geografi, dan bidang pengetahuan
lain. Hal ini tentu menguntungkan para peneliti yang hendak mengkaji ajaran
Islam secara komprehensif. Sebab, al-Qur’an sebagai kitab suci juga mengandung
seminal konsep bagi sekian banyak ilmu pengetahuan. Tafsirnya ini dalam banyak
kasus menyentuh ranah perdebatan, sehingga memperlihatkan dirinya sebagai
ulama yang tidak terikat oleh satu mazhab, baik dalam tafsir, kalam, fikih, usul
fikih, dan lain-lain. Hal ini bisa dimengerti, sebab ia berpandangan bahwa taklid
bukanlah metode yang terbaik untuk mencapai ‘ilm al-yaqin (certain knowledge).
BAB IV (PEMIKIRAN FILSAFAT AL-FARABI)

A. RIWAYAT HIDUP AL- FARABI

Abu Nashr Muhamad Ibn Muhamad Ibn Tarkhan Ibn alUzalagh, al-Fārābī
dilahirkan di Wasij Distrik Fārāb (yang juga dikenal dengan nama Otrar) di
Transoxiana (sekarang Uzbekistan), pada tahun (257H/870 M). Dan wafat di
Damaskus pada 950 M. Namun ada yang menyebutkan al-Fārābī wafat pada usia 80
tahun di Aleppo pada 950 M. Di Eropa al-Fārābī lebih dikenal dengan nama
Alpharabius atau Avennasr. Al-Fārābī seorang filosofis Islam berkebangsaan Turki,
lahir di sebuah pedusunan terkenal dengan nama Bousij daerah kelahirannya.
Panggilan al-Fārābī diambil dari nama daerah kelahirannya.

Yang bisa di ketahui tentang soal latar belakang keluarga alFārābī adalah
bahwa ayahnya adalah seorang opsir tentara keturunan Persia (kendatipun nama
kakek dan nama kakek buyutnya jelas menunjukkan nama Turki) ibunya
berkebangsaan Turki. Yang mengabdi kepada pangeran-pangeran Dinasti
Sam‟aniyyah. Barangkali bahwa masuknya keluarga ini ke dalam Islam, terjadi pada
Peristiwa ini kira-kira bersamaan dengan penaklukan dan Islamisasi atas Farab oleh
Dinasti Sama‟niyyah pada 839-840 M.

Sejak kecil, al-Fārābī suka belajar dan ia mempunyai kecakapan luar biasa dalam
bidang bahasa. Bahasa yang dikuasainya antara lain bahasa Iran, Turkestan, dan
Kurdistan, bahkan ada yang mengatakan bahwa al-Fārābī dapat bicara dalam tujuh
puluh macam bahasa, tetapi yang dia kuasai dengan aktif, hanya empat bahasa : Arab,
Persia, Turki, dan Kurdi.

Pada waktu mudanya al-Fārābī pernah belajar bahasa dan sastra Arab di Baghdad
kepada Abu Bajkar As-Saraj, dan logika serta filsafat kepada Abu Bisyr Mattitus ibn
Yunus, seorang Kristen Nestorian yang banyak menerjemahkan filsafat Yunani, dan
belajar kepada Yuhana ibn Hailam. Kemudian, ia pindah ke Harran, pusat kebudayaan
Yunani di Asia Kecil, dan berguru kepada Yuhana ibn Jilad. Akan tetapi, tidak
beberapa lama ia kembali ke Baghdad untuk memperdalam filsafat. Ia menetap di
kota ini selama 20 tahun. Di Baghdad pula ia membuat ulasan terhadap buku-buku
filsafat Yunani dan mengajar. Di antara muridnya yang dikenal yaitu Yahya ibn „Adi,
filusuf Kristen.

Pada usia 75 tahun, tepatnya pada tahun 330 H (945 M), ia pindah ke Damaskus, dan
berkenalan dengan Saif Ad-Daulah AlHamdani, Sultan Dinasti Hamdan di Aleppo.
Sultan memberinya kedudukan sebagai seorang ulama istana dengan tunjangan yang
besar sekali, tetapi al-Fārābī memilih hidup sederhana (zuhud) dan tidak tertarik
dengan kemewahan dan kekayaan. Ia hanya memerlukan empat dirham saja setiap
hari untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Selanjutnya, sisa
tunjangan yang diterimanya, di bagi-bagikan kepada fakir miskin dan amal sosial di
Aleppo dan Damaskus.

Hal yang menggembirakan dari ditempatkannya al-Fārābī di Damaskus adalah al-


Fārābī bertemu dengan sastrawan, penyair, ahli bahasa, ahli fiqih dan kaum
cendekiawan lainnya. Lebih kurang 10 tahun al-Fārābī tinggal di Aleppo dan
Damaskus secara berpindahpindah akibat hubungan penguasa di antara kedua kota ini
semakin memburuk. Sehingga Saif Ad-Daulah menyerang kota Damaskus yang
kemudian berhasil menguasainya.

Al – Farabi dikenal sebagai filsuf islam terbesar ia banyak memiliki keahlian


dalam banyak bidang keilmuan yang memandang filsafat secara utuh dan menyeluruh
serta mengupasnya dengan sempurna, sehingga filsuf yang datang sesudahnya banyak
mengambil dan mengupas sistem filsafatnya. Pandangannya yang demikian mengenai
filsafat terbukti mampu mengakhiri kontradiksi antara pemikiran Plato dan Aristoteles
lewat risalahnya Al-Jam’u baina Ra’yay Al- Hakimain Alflathun wa Aristhu. Oemah
Amin Husein menyatakan bahwa Ibnu Sina telah membaca 40 kali buku metafisika
karangan Aristoteles, bahkan hampir seluruh isi buku dihapalnya, tetapi belum
memahami filsafat Aristoteles,namun setelah Ibnu Sina membaca buku Al-
Farabi.Tahqiq Ghardh Aristhu fi Kitab ma Ba’da Ath—Thobi’ah yang menjelaskan
tujuan dan maksud metafisika Aristoteles Ibnu Sina baru memahami apa yang
dimaksud dengan filsafat metafisika Aristoteles.karena pengetahuannya yang
mendalam mengenai filsafat Yunani, terutama Plato dan Aristoteles, ia dijuluki Al-
Mu’allim Ats-Tsani (guru kedua), sedangkan guru Al- Mu’allim Al- Awwal (guru
pertama) adalah Aristoteles.

B. KARYA – KARYA AL -FARABI

Al-Fārābī tidak dikaruniakan umur panjang untuk meneruskan penulisan


buku-buku ilmiahnya. Ia tidak banyak meninggalkan buku seperti tokoh-tokoh filsafat
Islam lainnya seperti Al-Kindi atau Ibn Sina. Banyak buku-buku al-Fārābi yang
hilang seperti buku tentang semantik. Namun banyak juga buku-buku al-Fārābi yang
masih ada dan masih dipakai oleh kalangan seluruh umat manusia di dunia.
Pandangan dan karya-karyanya mengandung decak kagum dan perhatian para
orientalis dan pemikir barat. Ia berjasa memuluskan jalan bagi kemunculan Ibnu sina
dan Ibnu Rusyd dalam blantika filsafat dan pemikiran. Al-Fārābī adalah filosof yang
pertama kali memperkenalkan tentang wajib al-wujud dan mukmin al-wujud. Ia pula
yang mempersembahkan sebuah metode argumentasi efektual tentang ketuhanan
sesuai ayat-ayat suci al-Quran yang menganjurkan perenungan terhadap alam
semesta.

Tampaknya al-Fārābī menulis karya-karyanya dalam bahasa Arab. Sebagian


besar karyanya itu menurut salah satu kajian, berjudul empat puluh difokuskan pada
kajian mengenai logika. Karya-karya metafisika AlFārābī yang selebihnya mencakup
Al-jam’bain Ra’yai Al-hakimain Aflatun Al-ilahi wa Ariestuthalis (kitab keselarasan
pikiran Plato dan Ariestoteles). Di bidang ilmu teoretis ini, karya al-Fārābī masih
dilengkapi oleh beberapa buku tetntang astrologi persisnya tentang hukum-hukum
astrologi Ahkam Al Nujum, alkemi, dan penafsiran mimpi serta aspekaspek linguistik
dan ilmu- ilmu teologi.

Karya-karya alFārābī tersebar luas di Timur pada abad ke-4 dan 5 H./1010 M. Dan
mencapai barat ketika sarjana-sarjana Andalusia menjadi pengikut alFārābī dan
beberapa tulisannya juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani dan Latin dan
telah mempengaruhi para sarjana Yahudi dan Kristen. Karya-karya al-Fārābī dapat
dikelompokkan dalam beberapa bagian diantaranya: logika, fisika, metafisika, politik,
astrologi, musik, dan beberapa risalah yang berisikan tentang sanggahan atau
tanggapan atas pemikiran antara filosof tertentu.

Oleh karena itu, banyak karya yang ditinggalkan Al-Farabi, namun karya tersebut
tidak banyak diketahui seperti karya Ibnu Sina. Hal ni terjadi karena karya-karya Al-
Farabi hanya berupa Risalah-risalah (karangan pendek) dan sedikit sekali yang berupa
buku besar yang mendalam pembicaraannya dan yang masih dapat dibaca dan
dipublikasikan, baik yang sampai kepada kita tidak kurang lebih dari 30 judul saja.
Diantaranya :

1.Al-jam’u baina Ra’yay Al-Hakimain Aflatun wa Aristhu


2.At-ra’liqat
3.Risalah Al-aql
4.Fushul Al-Hukm
5.Kitab tashil as-sa’adah

Dan masih banyak yang lainnya dari kitab-kitab diatas denganberbagai macam objek
kajian yang ditulis Al-Farabi, terlihat jelas bahwa Al-farabi sosok filsuf ilmuan, dan
cendikiawan Kaliber dunia yang ilmunya sangat luas dan dalam .

C. FILSAFAT AL- FARABI

a. Filsafat Metafisika
Bagi filosof memandang proses penciptaan semesta tak cukup puas dengan sekedar
kata ‘percaya’ dan akhirnya berfikir mencari rujukan karya-karya filosof Yunani
sebagai tangga bantu dan sarana untuk menjawabnya secara rinci dan logis serta
sistematis. Dunia filsafat menyoal penciptaan dan terdapat dua pendapat tentang
penciptaan, Pandangan para filosof Yunani umumnya menyatakan bahwa, alam
semesta dengan segala pernak-perniknya yang ada ini tidak diciptakan dari bahan
tertentu bentuknya, melainkan dari ketiadaan (creatio ex nihilo), Tuhan
menyelenggarakan penciptaan (creatio) dengan tidak memakai bahan apapun,
melainkan dari ketiadaan (ex nihilo), dengan hal ini berarti alam semesta adalah
suatu creatio ex nihilo dari pihak Tuhan. Sedangkan pandangan lain menyatakan
bahwa alam ini diciptakan dari materi awal (al-hayūlā) yang bersifat abadi, alam ini
tidak dicipta dari tiada (creatio an ex nihilo) melainkan ada sejak Tuhan ada,
mustahil Tuhan ada namun tanpa ciptaan, meski secara prioritas waktu berdekatan,
namun Tuhan harus dipandang sebagai pencipta.

b. Hubungan Akal, Wahyu dan filsafat Kenabian


Akal dalam pemikiran filsafat al-Farabi menempati tempat istimewa sebagai
pangkal epistemologinya, termasuk filsafat metafisika yang berhubungan dengan
penciptaan. Konsep akal ini erat kaitannya dengan teori kenabian, di mana akal
Nabi mampu berhubungan dengan akal ke sepuluh untuk mendapatkan gambaran
‘ada’ dari yang abstrak berupa pengetahuan. Secara garis besarnya akal menurut al-
Farabi dibagi menjadi dua yaitu :

 akal praktis yang berfungsi menyelesaikan hal hal tekhnis dan


keterampilan,
 akal teoritis yang membantu jiwa mendapatkan inspirasi atau ilham,

c. Filsafat logika
Al-Fārābī memberikan perhatian khusus terhadap logika, dalam lapangan
mantik ia banyak meninggalkan karangankarangan. Sayangnya karangan-karangan
tersebut tidak sampai kepada kita, kecuali satu buku yang berjudul Syarh Kitab Al-
Ibrah li Aristoteles (penjelasan buku Al-Ibrah dari Aristoteles), dan beberapa
karangan singkat dalam buku Tahsil As-Sa’adah serta Ihsha-ul Ulum nampaknya
dalam lapangan logika al-Fārābī banyak mengikuti Aristoteles pendapat-
pendapatnya tentang logika adalah sebagai berikut:

 Definisi Logika : ialah ilmu tentang pedoman (peraturan) dan dengan penegakan
pikiran dan menunjukkannya kepada kebenaran dalam lapangan yang tidak bisa
dijalin kebenarannya.
 Guna Logika : maksud logika ialah agar kita dapat membetulkan pemikiran
orang lain atau agar orang lain dapat membenarkan pemikiran kita, atau kita
dapat membetulkan pemikiran kita sendiri.
 Lapangan Logika: lapangan ialah segala macam pemikiran yang bisa diutarakan
dengan kata-kata, dan juga segala macam kata-kata kedudukan sebagai alat
menyatakan pikiran.
 Bagian-bagian Logika: bagian-bagiannya ada delapan yaitu kategori (al-maqulat
al-‘asyr); Kata-kata (al-abrah; termas); Analogi pertama (al-qiyas); Analogi
kedua (al-burhan); Jadal (debat); Sofistika; Retorika; dan Peotika (syair)

d. Filsafat politik
Al farabi berpendapat bahwa ilmu politik adalah ilmu yang meneliti sebagian
bentuk tindakan, cara hidup, watak, disposisi positif dan akhlak. Semua tindakan
dapat diteliti mengenai tujuannya, dan apa yang membuat manusia dapat melakukan
seperti itu dan bagaimana yang mengatur memelihara tindakan dengan cara yang
baik dapat di teliti.

Ilmu politik juga menerangkan berbagai tujuan tindakantindakan, cara hidup itu
adalah benar-benar kebahagiaan, sedangkan yang lainnya kebahagiaan padahal
sebetulnya bukan, bahwa yang benar-benar kebahagian tidak mungkin dalam
kehidupan sekarang ini, melainkan berada di kehidupan setelah sekarang, yaitu
kehidupan akhirat. Sedangkan yang nampak seperti kebahagiaan terdiri dari hal-hal
tertentu seperti kekayaan, kehormatan, kesenangan, bila hal ini dijadikan tujuan
dalam hidup sekarang.
BAB V (PEMIKIRAN FILSAFAT IKHWAN ASH-SHAFA)

A. SEJARAH SINGKAT IKHWAN ASH-SHAFA’

Ikhwan Ash-Shafa (persaudaraan yang suci dan bersih) adalah perkumpulan para
mujtahidin dalam bidang filsafat yang lebih banyak memperhatikan bidang pendidikan.
Perkumpulan ini berkembang pada akhir abad kedua Hijriyah di kota Bashrah, Iraq.
Organisasi ini antara lain mengajarkan tentang dasar-dasar agama Islam yang
memperkokoh ukhuwah Islamiyah, dengan sikap pandangan bahwa “Iman seorang
muslim tidak sempurna sampai ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya
sendiri.” Sebagai sebuah organisasi mereka memilki semangat dakwah dan tabligh yang
militan terhadap orang lain. Semua anggota perkumpulan ini wajib menjadi pengajar
atau muballigh terhadap orang lain dalam masyarakat (Arifin, 1996: 92-93).

Informasi lain menyebutkan bahwa organisasi ini didirikan oleh kelompok masyarakat
yang terdiridari para filosof. Organisasi yang mereka dirikan bersifat rahasia. Namun
bersamaan dengan itu ada pula yang mengatakan bahwa organisasi ini lebih bercorak ke
batinan. Mereka sangat mengutamakan pendidikan dan pengajaran yang berkenaan
dengan pembentukan pribadi, jiwa dan akidah (Nata, 2005: 231) (Hidayatulloh, 2013)

Masa kemunculan Ikhwan al-Shafa ditandai pula oleh pemerintahan yang


kebijakannya bersifat intoleran terhadap perbedaan agama ataufaham (Fakhry, 236,
Hitti, 461-62). Masa kemunculan Ikhwan al-Shafa di tandai oleh keadaan yang
menekan rasionalisme, mengutuk para filosof sebagai penganut bid'ah, perusak aqidah
agama. Para penguasa seperti Mutawakkil (Abbasiyah, 232-247) dan al-Mustakfi (Bani
Buwaih, 234), mendukung fuqaha dan menyerang para rasionalis seperti kaum
Mu'tazilah (Departemen Agama, 1993:389-92). Ikhwan al-Shafa lebih ingin
memumikan syariat Islam yang dianggapnya telah tercemar oleh ajaran-ajaran di luar
Islam, dan untuk membangkitkan kembali rasa cinta ilmu pengetahuan dan di kalangan
umat Islam. Untuk tujuan itu dibutuhkan filsafat. Maka, Ikhwan al-Shafa mempelajari
filsafat Yunani, Persia, India dan lain-lain, kemudian dipadukan dengan agama (IAIN
SyarifHidayatullah, 1971 :413, 10: 163).
Kelompok Ikhwan al-Shafa bergerak dalam bidang filsafat yang banyak
memfokuskan perhatiannya pada bidang da’wah dan pendidikan. Mereka berkumpul
untuk menyalakan kembali obor ilmu pengetahuan di kalangan kaum muslimin agar
mereka tidak terperosok dalam kejahilan dan fanatisme. Kemunculan Ikhwan Al-Shafa
di latar belakangi oleh keprihatinan terhadap pelaksanaan ajaran Islam yang telah
tercemar oleh ajaran dari luar Islam dan untuk membangkitkan kembali rasa cinta ilmu
pengetahuan di kalangan umat Islam. Mereka bekerja dan bergerak secara rahasi
adisebabkan kekhawatiran akan ditindak penguasa pada waktu itu yang cenderung
menindas gerakan-gerakan pemikiran yang timbul. Kondisiiniantara lain yang
menyebabkan Ikhwan Al-Shafamemilikianggota yang terbatas.
Merekasangatselektifdalammenerimaanggotabarudenganmelihatberbagaiaspek.
Diantarasyarat yang mereka tetapkan dalam merekrut anggota adalah: memiliki ilmu
pengetahuan yang luas, loyalitas yang tinggi, memiliki kesungguhan, dan berakhlak
mulia dan semua anggota perkumpulan ini wajib menjadi guru dan mubaligh terhadap
orang lain yang terdapat di masyarakat. (Izzati, 2016).

Berikut ini adalah rincian daftar isi kitab Rasa’il tersebut:

1. Buku Kesatu: Matematika (Aritmatika, Geometri, Musik, dan Astronomi)


2. Buku Kedua: Logika (Isagogi, Demonstrasi, Silogisme, Dialektika, Retorika,
Sopistik, dan Poetik)
3. Buku Ketiga: Fisika (KosmologiFisik, Minerologi, Botani, dan Zoologi)
4. Buku Keempat: Fisika (Zoologi, Anatomi, Embriologi, dan Antropologi)
5. Buku Kelima: Psikologi (Anatomi, Psikologi, dan Bahasa)
6. Buku Keenam: Psikologi (Kosmologi, Psikologi, dan Eskatologi)
7. Buku Ketujuh: Agama (MazhabPemikiran, Persaudaraan, dan Iman)
8. Buku Kedelapan: Agama (Ilmu Hukum dan syariat) (Izzati, 2016)

Dilihat dari segi keistimewaannya Risalah Ikhwan al-Shafa ini memiliki beberapa
keistimewaan, yaitu:

1) risalah ini menghimpun filsafat-filsafat yang terdapat dalam kitab-kitab filsafat


pada umumnya. Mempelajari risalah ini, sama dengan mempelajari seluruh
filsafat waktu itu;
2) risalah ini mempunyai pahrasah (daftar isi) panjang lebar sehingga membantu
pembacanya dalam mempelajari apa yang diperlukan; dan
3) Uslub (Style) tulisannya serta lafal-lafal yang dipergunakan sederhana dan mudah
sehingga orang yang mulai mempelajari filsafat dan masyarakat umum tidak
banyak kesulitan dalam memahaminya (Madjidji, 73). (Hidayatulloh, 2013)

B. PEMIKIRAN IKHWAN AL-SHAFA

Al-Tawfiq Dan Al-Talfiq


Pemikiran al-tawfiq (rekonsiliasi) Ikhwan al-Shafa terlihat pada tujuan pokok
bidang keagamaan yang hendak di capainya, yakni merekosiliasikan atau
menyelaraskan antara agama dan filsafat dan antara agama-agama yang ada. Usaha
ini terlihat dari ungkapan mereka bahwa syariah telah dikotori bermacam-macam
kejahilan dan dilumuri berbagai kesesatan, satu-satunya jalan membersihkannya
adalah dengan filsafat.

Ada dan Ketiadaan


Untuk dapat memahami secara benar dan komprehensif pemikiran Ikhwan as-Shafa'
tentang objek pengetahuan, mula mula penting dilacak konsepsi mereka tentang
sifat ada atau keberadaan (existence). Dalam Rasa'il, sifat ada atau keberadaan
(wujud, existence) oleh Ikhwan as-Shafa' dikontraskan dengan "ketiadaan" ('adam)."
Baginya, keberadaan merupakan kualitas atau sifat yang paling universal dan
niscaya karena mendahului kualitas-kualitas lainnya, yakni keabadian (baqa) dan
kelengkapan serta kesempurnaan (kamal). Sesuatu yang telah teratributi olehnya-
yang bersifat ada menjadi mungkin dan atau dapat diketahui oleh manusia, subjek
pengetahuan (al-wajid) atau kutub subjektif epistemologi. Dengan kata lain-
meminjam ungkapan Kattsoffs - apa pun yang bersifat "ada" pada dasarnya pasti
dapat diketahui, meskipun pada saat tertentu belum dan atau tidak diketahui; tolok
ukur bagi yang-ada adalah pada dasarnya dapat diketahui. Istilah teknis yang
dipergunakan Ikhwan as-shafa' untuk menyebut yang-ada adalah maujud (existent),
yang bentuk jamak atau totalitasnya adalah maujudat. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa maujud atau maujudat mutlak inheren padanya sifat ada atau
keberadaan (toujud, existence). Lebih jauh mereka uraikan, kata maujud (existent),
yang merupakan kontras dari ma'dum, secara etimologi (bahasa) berasal dari wajada
- yajidu - wijdan - tahun uajid – wadzaka maujud," yang didapat, yang diperoleh
atau ditemukan. Dalam sebuah uraiannya, Ikhwan mengkaitkan yang ada (maujud)
dengan sumber atau alat yang dengannya manusia memperoleh pengetahuan.

Metafisika dan teori emanasi


Adapun mengenai ketuhanan, Ikhwan al-Shafa melandasi pemikiran kepada bagian.
Menurut mereka, ilmu bilangan adalah lidah yang mempercayakan tentang tauhid, al-
tanzih, dan meniadakan sifat dan tasybih, serta dapat menolak sikap orang yang
mengingkari keesaan Tuhan. Dengan kata lain, pengetahuan tentang angka membawa
kepada pengakuan tentang keesaan Tuhan, karena apabila angka satu rusak, maka
rusaklah semuanya. Selanjutnya mereka katakan, angka satu belum angka dua dan
dalam angka dua terkandung pengertian kesatuan. Dengan istilah lain, angka satu
adalah angka pemula dan ia lebih dahulu dari angka dua atau angka lainnya. Karena
itu keutamaan terletak pada yang dahulu, yakni angka satu. Sedangkan angka dua dan
lainnya terjadi kemudian. Karena itu terbuktilah bahwa lainya bahwa yang Esa
(Tuhan) lebih dahulu dari lainnya seperti dahulunya angka satu dari angka yang lain.
Jadi, berhubungan dengan alam materi secara langsung, sehingga kemurnian tauhid
dapat pelihara dengan sebaik-baiknya. Lengkapnya rangkaian proses emanasi adalah:
Allah maha pencipta dan dari-Nya timbullah:
1) Akal Pertamaatau Akal Aktif (al-Aqlwa al-Fa’al)
2) Jiwa Universal (al-nafs al-kulliyah)
3) MateriPertama (al-hayula al-ula)
4) Potensi Jiwa Universal (al-thabi’ah al-fa’ilah)
5) Materi Absolut atauMateriKedua (al-jism al-muthlaq)
6) Alam Planet-planet (‘alam al-falak)
7) Materi gabungan yang terdiri dari mineral, tumbuh-tumbuhan dan hewan.
Kedelapan mahiyah diatas bersamazat Allah yang mutlak, sempurnalah jumlah
bilangan menjadi sembilan. Angka sembilan ini membentuk substnsi organik pada
tubuh manusia yaitu tulang, sumsum, daging, uratsaraf, kulit, rambut dan kuku.
diperbandingkan dengan kemunculan cahaya dan sinar dari matahari.

Jiwa Manusia
Jiwa manusia bersumber dari jiwa universal. Dalam perkembangannya jiwa
manusia banyak dipengaruhi materi yang mengitarinya. Agar jiwa tidak kecewa
dalam perkembangannya, jiwa dibatu oleh akal yang merupakan daya bagi jiwa
untuk berkembang.

Moral
Adapun tentang moral, Ikhwan al-Shafa bersifat rasionalitas. Untuk itu suatu tindakan
harus berlangsung bebas merdeka. Dalam mencapai tingkat moral dimaksud,
seseorang harus melepaskan diri dari ketergantungan materi. Harus memupuk rasa
cinta untuk bisa sampai kepada ekstase. Percaya tanpa usaha, mengetahui tanpa
berbuat adalah sia-sia.

Bilangan
Tujuan Ikhwan al-Shafa membicarakan bilangan untuk mendemonstrasikan
bagaimana sifat bilangan itu bila diterapkan dalam sesuatu, sehingga siapa saja yang
mendalami bilangan dengan segala hukum-hukumnya, sifat-sifat dasarnya, jenis-
jenisnya akan memahami jumlah macam-macam benda.

C. IMPLIKASI DAN RELEVANSIPEMIKIRAN PENDIDIKAN IKHWAN AL-


SHAFA DI ERA GLOBAL

Ada beberapa implikasi dari pemikiran pendidikan Ikwan al-Shafa di era global,
diantaranya sebagai konsekuensi formulasi relasi komplementar dari konsepsi Ikhwan
al-Shafa tentang manusia, pengetahuan, ilmu/program kurikuler dan belajar, maka
mereka membangun teori pendidikan yang komprehensif, sempurna dan gradual.
Menurut Ikhwan al-Shafa, pengetahuan umum dapat diperoleh dengan tig acara, yaitu:
indera, akal untuk berpikir murni dan inisiasi
a) Tujuan pendidikan Ikhwan al-Shafa melihat bahwa tujuan pendidikan haruslah
dikaitkan dengan keagamaan. Tiap ilmu, kata mereka merupakan mala petaka
bagi pemiliknya bila ilmu itu tidak ditujukan kepada keridhoan Allah dan
kepada akhirat.
Dalam hal ini Ikhwan al-Syafa mengklasifikasikan ilmu pengetahuan (aqliyah)
kepada 3 (tiga) kategori, yaitu: matematika, fisika,dan metafisika. Ketiga
klasifikasi tersebut berada pada kedudukan yang sama, yaitu sama bertujuan
menghantar peserta didik mencapai dunia dan akhirat.
b) Kurikulum pendidikan tingkat akademis mereka berpendapat agar dalam
kurikulum tersebut mencangkup logika, filsafat, ilmujiwa, pengkajian kitab
agama samawi, kenabian, ilmu syariat dan ilmu-ilmu pasti. Namun yang lebih
diberi perbatian adalah ilmu keagamaan yang merupakan tujuan akhir dan
pendidikan (M. Athiyah al-Abrasyi, 1975).
c) Mengenai metode pengajaran Ikhwan al-Shafa mengemukakan prinsip: “hal
yang konkrit kepada abstrak” berkata dalam Rasailnya: “Seharusnya orang yang
akan mempelajari dasar-dasars egala yang ada (maujudat), ialah agar
mengetahui dasar-dasar menurut hakekatnya yaitu agar mempelajari segala
yang konkrit dan dapat diraba. Dengan demikian akan terbuka pikirannya dan
menjadi kuat untuk mempelajari yang abstrak.
d) Perbedaan bakat individu dan sebab-sebabnya
Ikhwan al-Shafa berpendapat bahwa anak-anak didik, dapa tmenerima suatu
kepandaian bila sesuai dengan pembawaan mereka masing-masing. Sementara
ada orang yang berbakat pada satu macam kepandaian atau beberapa macam
kepandaian.
BAB VI (PEMIKIRAN FILSAFAT IBN MASKAWAH)

A. RIWAYAT HIDUP IBNU MASKAWAIH

Nama lengkapnya adalah Abu Ali al-Khasim Ahmad bin Ya’qub bin
Maskawaih. Maskawaih dilahirkan di Ray (Teheran sekarang) Iran. Mengenai tahun
kelahirannya, terdapat perbedaan-perbedaan pendapat dari penulis, MM Syarif
menyebutkan tahun 320 H/932 M. Morgoliouth menyebutkan tahun 330 H. Abdul
Aziz Izzat menyebutkan tahun 325 H. Sedangkan wafatnya, para tokoh sepakat pada 9
shafar 421 H/16 Februari 1030 M.
Maskawaih adalah salah seorang tokoh filsafat dalam Islam yang memusatkan
perhatiannya pada etika Islam. Meskipun sebenarnya ia pun seorang sejarawan, tabib,
ilmuwan dan sastrawan. Pengetahuannya tentang kebudayaan Romawi, Persia, dan
India, disamping filsafat Yunani, sangat luas.
Sebutan namanya yang lebih masyhur adalah Maskawaih atau Ibnu Maskawaih.
Nama tersebut diambil dari nama kakeknya yang semula beragama Majusi kemudian
masuk Islam. Gelarnya adalah Abu Ali, yang diperoleh dari nama sahabat Ali, yang
bagi kaum Syi’ah dipandang sebagai yang berhak menggantikan nabi dalam
kedudukannya sebagai pemimpin umat Islam sepeninggalnya. Dari gelar ini tidak
salah jika orang mengatakan bahwa Maskawaih tergolong penganut aliran Syi’ah.
Gelar ini juga sering disebutkan yaitu al-Khazim yang berarti bendaharawan,
disebabkan kekuasaan Adhud al Daulah dari Bani Buwaihi, ia memperoleh
kepercayaan sebagai bendaharawannya.
Dilihat dari tahun lahir dan wafatnya, Maskawaih hidup pada masa
pemerintahan Bani Abbas yang berada di bawah pengaruh Bani Buwaihi yang
beraliran Syi’ah dan berasal dari keturunan Parsi Bani Buwaihi yang mulai
berpengaruh sejak Khalifah al Mustakfi dari Bani Abbas mengangkat Ahmad bin
Buwaih sebagai perdana menteri dengan gelar Mu’izz al Daulah pada 945 M. Dan
pada tahun 945 M itu juga Ahmad bin Buwaih berhasil menaklukkan Baghdad di saat
bani Abbas berada di bawah pengaruh kekuasaan Turki. Dengan demikian, pengaruh
Turki terhadap bani Abbas digantikan oleh Bani Buwaih yang dengan leluasa
melakukan penurunan dan pengangkatan khalifah-khalifah bani Abbas[3].
Puncak prestasi bani Buwaih adalah pada masa ‘Adhud al Daulah (tahun 367
H – 372 H). Perhatiannya amat besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan
kesusasteraan, dan pada masa inilah Maskawaih memperoleh kepercayaan untuk
menjadi bendaharawan ‘Adhud al Daulah. Juga pada masa ini Maskawaih muncul
sebagai seorang filosof, tabib, ilmuwan, dan pujangga. Tapi, disamping itu ada hal
yang tidak menyenangkan hati Maskawaih, yaitu kemerosotan moral yang melanda
masyarakat. Oleh karena itulah agaknya Maskawaih lalu tertarik untuk
menitikberatkan perhatiannya pada bidang etika Islam.
Menurut Anton Athoilah, dalam buku Hasan Basri, 2017 dicantumkan karya- karya
ibnu Maskawaih sebagai berikut:
1. Al-Fawz Al- Ashgar
2. Al-Fawz Al- Akbar
3. Tajarib Al Umam
4. Uns Al-Farid (Anekdot, syair, peribahasa, dan kata-kata mutiara)
5. Tartib As-Sa’adah (Akhlak dan Politik)
6. Al-Mushthafa (Syair-syair pilihan)
7. Jawidan Khirad (kumpulan ungkapan bijak)
8. Al- Jami, As-Siyar (tentang aturan hidup), obat- obatan sederhana (kedokteran),
komposisi bajat (seni memasak)
9. Kitab Asyribah (minuman)
10. Tahdib Al-Akhlak (etika)
11. Risalah fi Ladzdzat wa Al-Alam fi Jawhar An-Nafs
12. Ajwibah Wa Asilah fi An-Nafs wa Al-Aql
13. Al-Jawwab fi Matsa’il Ats-Tsalat
14. Risalah fi Jawab fi Su’ul’Ali ibn ibn Muhammad Abu Hayyun Ash-Shufi fi
Haqiqat
15. Al-‘Aql
16. Thaharat An-nafs
17.
B. PEMIKIRAN IBNU MASKAWAIH

Pemikiran Maskawaih terbagi dalam lima bagian mengenai falsafah dan


hikmah,metafisika, dasar-dasar etika, prihal kematian, dan filsafat politik.Sejumlah
peneliti tampaknya sepakat bahwa pemikiran filsafat etika Ibn Miskawayh adalah
harmonisasi antara pemikiran filsafat Yunani dan pemikiran Islam (termasuk di
dalamnya filsafat Islam yang juga dipengaruhi oleh Filsafat Yunani). Konsep-konsep
etika dari Plato dan Aristoteles yang diramu dengan ajaran dan hukum Islam serta
diperkaya dengan pengalaman hidup pribadinya dan situasi zamannya adalah materi
yang terdapat dalam Tahzib Al-Akhlaq (Hasan Basri,2017)

Dalam kajiannya tentang etika maskawaih mampu menorehkan pemikirannya yang


luar biasa, di bidang inilah nama maskawaih dikenal dengan pandangan-pandangan
etis yang mampu menjadi rujukan masalah moralitas. Tidak sedikit sejarawan yang
mencatat namanya sebagai filusuf moralis dalam arti yang luas. Bagian terpenting
pemikiran filsafat etika maskawaih dapat ditelusuri dalam tiga karyanya, yakni tartibu
al sa’adah, tahdzib al alkhlak, dan jawidan khirad.

a. Hikmah dan Falsafah


Maskawih membedakan antara pengertian hikmah (kebijaksanaan, wisdom) dan
falsafah (filsafat). Menurutnya, hikmah adalah keutamaan jiwa yang cerdas
(Aqilah) yang mampu membeda-bedakan (mumayyiz). Hikmah adalah bahwa
engkau mengetahui segala yang ada (Al-Maujudat) sebagai adanya. Atau jika
engkau mau dapat katakana bahwa hikmah adalah bahwa engkau mengatahui
perkara-kara ilahiah (ketuhanan) dan perkara-perkara insaniah (kemanusiaan), dan
hasil dari pengetahuan engkau mengetahui kebenarankebenaran spiritual
(ma’qulat) dapat membedakan mana yang wajib dilakukan dan mana yang wajib
ditinggalkan.

b. Metafisika
Metafisika Maskawaih mencakup pembahasan tentang bukti adanya Tuhan
Pencipta, jiwa dan kenabian (nubuwwah). Secara lengkap metafisika Maskawaih
dituangkan dalam kitabnya Al-Fauz AlAshghar:

1) Bukti-bukti Adanya Tuhan Pencipta


Untuk membuktikan adanya Tuhan Pencipta, dari satu segi dapat dikatakan
mudah, tetapi, dari segi lain dapat dikatakan sukar. Membuktikan adanya
Tuhan Pencipta adalah mudah, karena kebenarat ada-Nya telah terbukti pada
dirinya sendiri dengan amat jelas. Adapun segi kesukarannya ialah karena
keterbatasan akal manusia. Tetap! prang yang berusaha keras untuk
memperoleh bukti ada-Nya, sabar menghadapi berbagai macam kesukaran,
pasti akhirnya akan sampai a akan diperoleh bukti-bukti yang meyakinkan
tentang kebenaran ada-Nya.
2) Jiwa (An-Nafs)'
Sebagaimana telah disebutkan di muka, Maskawaih mengatakan bahwa jiwa
berasal dari limpahan Akal Aktif. Jiwa bersifat rohani, suatu substansi yang
sederhana yang tidak dapat diraba oleh salah satu pancaindera. Jiwa tidak
bersifat material dibuktikan oleh Maskawaih dengar adanya kemungkinan jiwa
dapat menerima gambaran-gambaran tentang banyak hal yang bertentangan
satu sama lain. Misalnya, jiwa dapat menerima gambaran konsep putih dan
hitam dalam waktu yang sama, sedangkan materi hanya dapat menerima
dalam satu waktu putih atau hitam saja.
Menurut Maskawaih, jiwa manusia mempunyai tiga kekuatan yang bertingkat-
tingkat. Dari tingkat yang paling rendah disebutkan urutannya sebagai berikut:
a. An-Nafs al-bahimiyah (nafsu kebinatangan) yang buruk.
b. An-nafs al-sabu'iah (nafsu binatang buas) yang sedang.
c. An-nafs an-nathigah (jiwa yang cerdas) yang baik.

3) Kenabian (An-Nubuwwah)
Dalam membicarakan hal kenabian, Maskawaih menyajikan banyak hal yang
sepintas lalu tidak lazim digolongkan sebagai topik kenabian. Maskawaih
membicarakan masalah tingkatkan-tingkatan wujud dalam alam dan
hubungannya satu sama lain. Dibicarakannya pula manusia yang merupakan
mikrokosmos dibandingkan dengan alam semesta yang merupakan
mikrokosmos. Dibicarakannya juga macam-macam kapasitas dan daya
manusia yang mengalami perkembangan panca indera meningkat menjadi
kekuatan bersama seperti perkembangan dari tingkat yang rendah kepada
tingkat yang lebih tinggi, seperti perkembangan panca indera meningkat
menjadi kekuatan bersama (common sensibility), dan dari sini berkembang
lagi kepada yang lebih tinggi atas rahmat Allah. Kemudian dibicarakan pula
perihal wahyu dan cara diperolehnya, juga tentang akal yang diibaratkan
sebagai raja yang ditaati sesuai pembawaannya, juga tentang perbedaan antara
nabi yang diutus dan nabi yang tidak diutus, akhirnya tentang perbedaan
antara nabi yang sungguh-sungguh dan orang yang mengaku sebagai nabi
(mutanabbi).
4) Teori Evolusi

Maskawaih berpendapat bahwa segala yang ada di alam mengalami proses


evolusi, dilaluinya rentetan proses kejadian yang mata rantainya tidak
terputus. Dikatakannya bahwa segala sesuatu di alam ini bermula dari wujud
yang sederhana. kemudian mengalami evolusi menjadi benda-benda yang
lebih tinggi. Bermula dari jamad (benda mati), kemudian berkembang menjadi
tumbuh-tumbuhan, yang dalam evolusi berikutnya mengalami perkembangan
menjadi hewan, dari tahapan hewan berevolusi menjadi manusia yang
dipandang sebagai puncak perkembangan. Manusia pun pada gilirannya.
mengalami evolusi juga, yaitu terus berkembang dan meningkat "
kecerdasannya. Cara berpikirnya makin berkembang ke tingkat kebijaksanaan
dalam mengambil keputusan-keputusan, hingga mendekati tingkat malaikat.
Manusia akan dapat mengalami evolusi sampai mendekati tingkat malaikat
dengan jalan keutamaan-keutamaan teoritis, melalui jalan berfilsafat, hingga
menjadi orang yang bijaksana (hakim). Ada juga di antara orang-orang yang
lebih meningkat lagi dari tingkatan ini dan benar-benar dapat berhubungan
dengan para malaikat, yaitu para nabi yang menjadi perantara hubungan antara
alam Ketuhanan dengan alam dunia.

c. Dasar-dasar Etika
Sebagai Bapak Etika Islam, Maskawaih dikenal juga sebagai Guru Ketiga (Al-
Mu'allim Al-Tsalits), setelah Al-Farabi, yang digelari Guru Kedua (Al-Mu'allim
Al-Tsani). Sedangkan yang dipandang sebagai Guru Pertama (Al-Mu'allim Al-
Awwal) adalah Aristoteles.
Mengenai teori etika Maskawaih, dalam kesempatan ini hanya akan disajikan
dasar-dasarnya saja.
1. Unsur-unsur Etika Maskawaih

2. Pengertian Akhlak .

3. Keutamaan (Fadhilah)

4.Kebahagiaan (sa’adah) .
5. Cinta (Mahabbah)

6. Pendidikan Akhlak Pada Anak-Anak

d. Prihal kematian
Dalam membicarakan penyakit jiwa maskawaih menyinggung masalah takut mati
yang banyak dialami orang pada umumnya. Takut mati tidak dapat dibenarkan,
sebab bertentangan dengan nilai keutamaan. Adanya kematian itu merupakan
bukti keadilan tuhan terhadap hambaNya. Secara rasional dapat dinyatakan bahwa
manusia hanyalah makhluk belaka yang pasti berakhir dengan kerusakan. Jika
orang tidak ingin rusak maka seharusnyapun ia tidak pernah ingin ada.
Barangsiapa menginginkan tidak ada berarti ia menginginkan kerusakan dirinya.
Dengan demikian seakan akan orang dalam satu waktu menginginkan rusak tapi
juga menginginkan tidak rusak. Menginginkan ada tetapi juga tidak ada. Hal
semacam ini mustahil dapat terlaksana, oleh karenanya mustahil bergerak pada
orang yang berakal. Rasa takut mati akan mengganggu ketentraman dan
kebahagiaan hidup.

e. filsafat politik
Maskawaih berpendapat bahwa antara agama dan negara tidak dapat dipisahkan.
Dikutipnya pendapat Azdsher raja dan filosof bangsa persia yang mengatakan
bahwa agama dan kerajaan ibarat dua saudara kembar atau dua sisi dari mata uang
yang sama, yang satu tidak dapat sempurna tanpa yang lain. Agama merupakan
landasan dasar, kerajaan adaah pengawalnya. Segala sesuatu tanpa landasan dasar
mudah hancur dan segala sesuatu tanpa pengawal adalah sia-sia. Menurutnya raja
yang berkuasa guna menjaga tegaknya agama, dan harus selalu waspada menjaga
posisinya, melaksanakan tugasnya dengan sungguh-sungguh, tidak lengah, tidak
mengejar kenikmatan pribadi, tidak mengejar kehormatan, dan kesenangan
melainkan jalan yang sah menurut agama.

C. PENGARUH PEMIKIRAN IBNU MASKAWAIH TERHADAP PEMIKIRAN


MODERN

Ibnu Miskawaih adalah seorang pemikir Islam yang mempunyai pengaruh luas di
dunia Islam khususnya, pemikirannya dalam hal pendidikan menekankan pentingnya
peran pendidik dan lingkungan, dan orang tua sebagai pendidik tetap merupakan
pendidik yang pertama dan utama, maka perlu dibangun hubungan yang harmonis
antara orang tua dan anak atas dasar cinta. Ibnu miskawaih juga merancang
pendidikan berbasis akhlak.

Ajaran etika yang diformulasikan oleh Ibn Miskawaih dalam karya magnum opus-nya
Tahdzib al-Akhlaq secara garis besar memang memuat etika keutamaan, yakni lebih
memfokuskan pada aspek being manusia (what kind of person I be?) saya harus
menjadi orang yang bagaimana? Etika keutamaan memang tidak begitu menyoroti
perbuatan satu demi satu, apakah sesuai atau tidak dengan norma moral, tetapi lebih
memfokuskan pada manusia itu sendiri. Tujuan dari etika semacam ini adalah untuk
mengarahkan menjadi orang yang memiliki etika yang baik. Menurut Zainul Kamal,
etika Ibn Miskawaih yang dijabarkannya dalam Tahdzib al Akhlaq merupakan
perpaduan pemikiran filosofis dengan menggunakan firman al-Qur’an dan hadis Nabi
Muhammad saw., dengan gaya pemikirannya yang sistematis, ia bermaksud
menanamkan dalam diri kita kualitas-kualitas moral dalam tindakantindakan utama
secara spontan. (Pengantar, Ibn Miskawaih: 14/ lihat: M. Alfan: 208).

D. KONSEP PENDIDIKAN IBNU MASKAWAIH

Ibnu Miskawaih merupakan sosok yang sangat terkenal juga dalam bidang
pendidikan, ide-ide cemerlang yang beliau cetuskan merupakan sebuah wahana baru
dalam bidang pendidikan yang terlahir dari karya seorang Ibnu Miskawaih.
Sepak terjang Ibnu Miskawaih tidak diragukan lagi dalam dunia pendidikan dan
pemikiran. gagasan yang beliau tuangkan dan lahirkan merupakan salah satu era
terobosan dalam menanggapi kemajuan dunia dalam bidang Pendidikan. Pemikiran
Ibnu Miskawaih sudah seharusnya menjadi tauladan bagi mereka yang ingin sukses
dalam meraih masa depan yang gemilang.
Untuk mencapai target pendidikan moral beliau menekankan pada keutuhan
dan bagaimana sikap bathin yang mampu mendorong perbuatan yang bernilai luhur
seara spontanitas, agar tercapai kesempurnaan dan kebahagian yang sempurna.Dalam
buku Ahmad Syari'i mengatakan bahwa kesempurnaan manusia itu ada dua macam
yaitu: pertama kesempurnaan teoritis ( dengan mempelajari ilmu logika ) dan kedua
praktis( kesempurnaan yang diaplikansikan dengan jalan-jalan empirik). Pendidikan
dan peserta didik adalah dua indicator yang sangat diperhatikan oleh beliau dan
keberhasilan pendidikan itu haruslah didukung oleh peran-aktif dari orang, sebagai
pembimbing ketika pelajar/anak didik berada diluar wilayah sekolah
BAB VII (PEMIKIRAN IBN SINA)

A. BIOGRAFI IBNU SINA


Tokoh yang satu ini memiliki potensi kemampuan dan kecerdasan yang luar
biasa. terlahir dengan nama lengkap Abu Ali Al Husein Ibn Abdullah Ibn Al Hasan
Ibn Ali Ibn Sina dan terkenal dengan panggilan Ibnu Sina dan di barat lebih dikenal
dengan Avicenna. lahir di desa Afsyanah dekat bukhara,Transoxania,Persia Utara
pada 370 Hijriah atau 980 Masehi.
Ibnu Sina terkenal dengan ingatan yang tajam dan kecerdasan yang luar biasa
Bayangkan saja pada usia 10 ia telah mampu menghafal Alquran sastra Arab. konon
katanya kitab metafisika karangan Aristoteles dapat ia hafal tidak mengherankan
karena ingatan dan kecerdasannya tersebut pada usia 16 tahun ia telah banyak
menguasai ilmu pengetahuan sastra Arab fiqih ilmu hitung ilmu ukur filsafat dan
bahkan ilmu kedokteran yang dipelajarinya sendiri.
Sangat luar biasa di usianya yang masih 18 tahun ia telah memiliki profesi dalam
berbagai bidang seperti guru penyair filosof pengarang dan dokter kemampuannya
dalam dunia pengobatan sangat termasyhur sehingga ia pernah diundang untuk
mengobati Sultan samanid di bukhara yakni Nuh Ibnu Mansur
Hebatnya lagi Ibnu Sina tercatat telah menghasilkan karya-karya Cemerlang
Bayangkan saja karya-karya yang ditinggalkannya tidak kurang dari 267 karya baik
kita maupun risalah.

B. KARYA KARYA IBNU SINA


Karya Ibnu Sina sangat banyak dan kelengkapan risalahnya jauh melampaui risalah
manapun yang pernah dihasilkan pengarang-pengarang filsafat pertama seperti al-
Kindi dan al-Razi. G. C. Anawati sorang sarjana Dominican, telah menyusun daftar
kitab-kitab Ibn Sina sebanyak 276 kitab dalam bentuk buku maupun manuskrif.Ansari
(Dasuki, 1993 : 37) membagi karya ibnu sina ke dalam 15 bidang ilmu, yaitu :
1). Filsafat umum,
2). Logika,
3). Sastra,
4). Syair,
5). Ilmu –ilmu alam,
6). Psikologi,
7). Kedokteran,
8). Kimia,
9). Matematika,
10). Metafisika,
11). Tafsir al-qur’an,
12). Tasawuf,
13). Akhlak, rumah tangga, politik, dan nubuwah,
14). Surat-surat pribadi,
15). Serba ragam.
Ahmad Daudi mengatakan ada empat di antara karya Ibnu Sina yang
terpenting/populer, antara lain:

Kitab Al-Qanun fi al-Tibb


Buku ini sangat tebal dan terdiri dari lima jilid. Kitab ini adalah buku yang
berisi tentang ilmu kedokteran, orang Barat menyebut buku ini dengan Canon
of Medicine. Buku ini telah diterjemah oleh Gerard of Cremona pada abad
ke-11 dengan judul Canon yang diterbitkan di Roma pada tahun 1593, telah
pula diterjemahkan ke dalam bahasa latin dan bahasa-bahasa Eropa lainnya
dan menjadi literatur pokok di Universitas-universitas di Eropa sampai akhir
abad ke-17 dan sampai kini menjadi manuskrif bidang kedokteran yang
tersimpan rapi di perpustakaan Birmingham, Inggris bersama dengan Kitab-
kitab lainnya.
`Kitab Al-Syifa’
kitab ini merupakan buku filsafat yang terpenting dan terbesar dari Ibnu Sina
yang terdiri dari ilmu logika, geometri, fisika dan matematika dan sekaligus
dijadikan sebagai ensiklopedi dalam bidang filsafat, fisika, metafisika
(ketuhanan), logika dan metematika. Buku tersebut mempunyai beberapa
naskah yang terbesar diberbagai perpustakaan baik di Barat maupun Timur.
Buku ini telah dicetak pertama kali di Taheran pada tahun 1303 H. Pada
tahun 1956 Lembaga Keilmuan Cekoslowakia di Praha menerbitkan pasal
keenam dari bagian fisika yang khusus mengenai ilmu jiwa yang diterjemah
ke dalam bahsa Prancis di bawah asuhan Jean Pacush. Bagian logika
diterbitkan di Kairo pada tahun 1954 dengan nama al-Burhan dibawah
bimbingan Dr. AbdurrahmanBadawi.
KitabAn-Najat
kitab ini merupakan ringkasan dari buku asy-Shifa dan pernah diterbitkan
secara besama-sama dengan buku al-Qanun fi al-Tibb dalam ilmu kedokteran
pada tahun 1593 M di Roma dan pada tahun 1331 M di Mesir dan juga di
India pada tahun 1892. Buku ini disusun kembali oleh Ibnu Sina untuk
memberi penjelasan secara lebih luas dan sistematis tentang asy-Syifa yang
diberi namakitabal-Najatcd atau kitab penyelamat.Kitab ini jauh lebih banyak
dibaca daripada al-syifa, dan ditulis bagi orang-orang terpelajar yang ingin
mengetahui dan memahami dengan lengkap dasar-dasar ilmuhikmah.
Kitab Al-Isyarat wa al-tanbihat
Adalah kitab terakhir yang ditulis Ibn Sina, hasil dari satu fase yang lebih
independent dalam perkembangan intelektualnya.Dan buku yang paling indah
dalam ilmu hikmah.Isinya mengandung berbagai mutiara dari berbagai ahli
pikir dan rahasia yang sangat berharga yang sulit ditemui dari buku-buku
lainnya. Antara lain uraiannya mengenai logika dan hikmah serta kehidupan
dan pengalaman ruhani, dicetak di Leiden pada tahun 1892.

C. PEMIKIRAN FILSAFAT IBNU SINA

Salah seorang filosof Islam abad pertengahan yang sangat cemerlang adalah
Ibnu Sina. Ia sangat disegani dan mendapat tempat yang istimewa dalam
sejarah perjalanan dan perkembangan filsafat hingga abad modern ini. Ibnu
Sina telah membangun sistem filsafat Islam dengan sempurna dan terperinci.
Dengan ketajaman otaknya, ia dapat menguasai filsafat dan berbagai cabangnya,
walaupun ia harus menunggu saat yang tepat untuk menyelami ilmu metafisika
Aristoteles, meskipun ia telah membacanya 40-an kali. Setelah ia membaca buku
Agrâd Kitâb mâ’warâ’ al-T abî’ah li Aristû-nya Al-Fârabî (870-950 M.), seakan-
akan semua persoalan telah ditemukan jawabannya dengan terang-benderang. Ia
bagaikan mendapatkan kunci bagi segala simpanan ilmu metafisika. Hal inilah
yang membuatnya dengan tulus mengakui dirinya sebagai murid yang setia dari Al
Fârabî (Dasuki, 1993:34).
 Falsafah Emanasi(al-Fayd)
Teori emanasi berasal dari Plotinus sang filosof yang berkontemplasi,
pemikiran plotinus disebut “Yang Satu” (totten). Yang Satu itu adalah Yang
tak Berhingga dan Absolut. Dengan lain perkatan “Yang Satu adalah Allah.
Dari kesatuan yang tak berdiferensiasi itu keluarlah kebaikkan dari “Yang
Satu” melalui semacam emanasi atauradiasi.
 Falsafah Jiwa (al-nafs)
Falsafah yang terbaik mengenai jiwa adalah pemikiran yang diberikan
Ibn Sina (980-1037 M).Jiwa sebagai prinsip kehidupan, merupakan
sebuah pancaran (emanasi) dari akal kecerdasan aktif. Definisi yang
umum tentang jiwa adalah “Kesempurnaan yang pertama dalam tubuh
organic”, baik ketika ia dibentuk tumbuh dan diberi makan (seperti
dalam kasus jiwa hewani), atau ketika ia memahami hal-hal universal
dan bertindak berdasarkan pertumbuhan yang mendalam (seperti
kasus dalam jiwa insani).
 Falsafah Kenabian (al-Nubuwwah)
Di antara manusia ada yang dianugerahi akal materil (al-aql al-hayulani) yang
begitu besar dan kuat, yang oleh Ibn Sina diberi nama al-hads atau intuisi.
Orang yang dianugerahi akal yang demikian, dengan tanpa melalui latihan,
dengan mudah dapat berhubungan dengan Akal Kesepuluh.Oleh karena itu,
orang tersebut dengan mudah dapat menerima cahaya atau wahyu dari
Tuhan.Akal serupa ini mempunyai daya suci (quwwah qudsiyyah).Inilah
bentuk akal tertinggi yang dapat diproleh manusia, dan terdapat hanya pada
paranabi.
 Falsafah Wujud(al-Wujud)
Menurut Ibnu Sina, sifat wujud-lah yang terpenting dan mempunyai
kedudukan di atas segala sifat yang lain termasuk esensi (mâhiyyah)
Esensi, menurut Ibnu, Sina terdapat dalam akal, sedangkan wujud
terdapat di luar akal. Wujud-lah yang membuat tiap esensi yang
dalam akal mempunyai kenyataan di luar akal. Tanpa wujud maka
esensi tidak besar artinya, oleh karena itu wujud lebih penting dari
esensi.
Selanjutnya wâjib al-wujûd ini ada dua macam, yaitu:

Wâjib bidhâtihi sesuatu yang kepastian wujud-Nya disebabkan oleh


zat-Nya sendiri. Artinya, adanya tidak bergantung pada adanya sebab
lain selain diri- Nya. Dalam hal ini, esensi tidak bisa dipisahkan
dengan wujud, keduanya adalah satu dan wujud-Nya tidak didahului
oleh tiada (ma‟dum). Ia akan tetap ada selama-lamanya. Itulah Allah
swt. Yang Maha Esa, Yang Hak; Ia adalah al-„Aqlal-Muhaddah.

wâjib bigayrihi yaitu sesuatu yang kepastian wujudnya oleh zat yang
lain, artinya sesuatu yang berwujud karena benda lain yang
mewujudkannya. Misalnya, adanya empat karena 2 + 2 atau 3 + 1;
adanya basah karena ada air, kebakaran disebabkan oleh api (Al-
Shahrastanî,1969:26).
BAB IX (PEMIKIRAN AL-GHAZALI)

A. RIWAYAT HIDUP AL-GHAZALI


Al-Ghazali, mempunyai nama lengkap Abu Hamid Muhammad Ibnu Muhammad
ibnu Muhammad Al-Ghazali al-Thusi yang bergelar hujjatul Islam. Lahir di Tus
(sekarang dekat Meshed) salah satu daerah Khurasan (sekarang masuk wilayah Iran),
pada tahun 450 H / 150 M. Pada tahun 505 H / 111 M di usia ke 55 tahun beliau wafat
dan dikuburkan ditanah kelahirannya ini.

Ayah Imam al-Ghazali adalah seorang pembuat tenunan wool (itu sebabnya ia diberi
nama “ghazzal”) dan menjualnya di sebuah toko di Tus. Ketika ajalnya hampir tiba, ia
mempercayakan Al-Ghazali dan kakaknya Ahmad kepada seorang temannya yang
menjadi sufi, seorang yang selalu berbuat kebajikan, sambil berkata kepadanya: “Saya
sangat menyesal bahwa saya tidak belajar menulis. Saya ingin kedua anak saya tidak
kehilangan hal-hal yang tidak saya peroleh. Didiklah mereka dan jangan hiraukan
apakah untuk tujuan ini kau pakai seluruh harta peninggalan ku”.

Ketika ayah mereka pergi, teman sufi itu mengusahakan untuk mendidik dua anak
tersebut. Tetapi ketika uang yang tidak seberapa jumlahnya itu sebagai peninggalan
ayahnya kemudian habis terpakai, tidaklah mungkin lagi bagi sang sufi untuk memberi
nafkah kepada kedua anak tersebut. Lalu ia berkata kepada mereka:“Ketahuilah bahwa
saya telah membelanjakan bagi kalian seluruh harta peninggalan ayahmu. Saya orang
miskin dan bersahaja dalam hidupku. Saya kira hal yang terbaik yang dapat kalian
lakukan ialah masuk ke dalam sebuah madrasah sebagai murid. Dengan jalan ini kalian
akan mendapatkan makan untuk kelangsungan hidupmu”. Kedua anak tersebut berlaku
demikian dan ini menjadi sebab dari kebahagiaan dan tercapainya cita-cita luhur
mereka.

Al-Ghazali pernah berkata: “Kami mencari pengetahuan bukan karena Allah, tetapi
Allah berkehendak demikian dan kami tidak dapat mencari hal-hal lain kecuali Dia”.
Al-Ghazali memperoleh pendidikan dasar di Tus. Kemudian ia pergi ke Nasyabur
untuk belajar kepada Al-Juwayni (478 H/1085 M), Imam dari Haramain, lalu tinggal di
situ sampai Imam tersebut meninggal dunia.
Setelah Imam al-Haramain wafat, al-Ghazali meninggalkan Nasyabur menuju ke
Mu’askar tahun 478 H., ia menetap di sini hingga didaulat menjadi salah seorang
pengajar di madrasah al-Nizhamiyah tahun 484 H/1091 M. Pada tahun itu, al-Ghazali
diundang oleh Perdana Menteri Nizam al-Muluk (pemerintahan Bani Saljuk). Ia
disambut di sebuah majlis ahli ilmi. Di saat berpidato tampak ketinggian ilmunya, lalu
para ulama yang hadir di situ, mengakui akan kemuliaan dan ketinggian ilmu yang
dimiliki al-Ghazali. Menteri Nizam al-Muluk akhirnya memberi anugerah kepada al-
Ghazali pada tahun 484 H/1091 M, sebagai guru besar (profesor) pada perguruan
Tinggi Nizamiyah, Baghdad

Selama masa ini Al-Ghazali mengajar dan menulis fiqh, ia juga menulis beberapa
buku mengenai Ta’miliyyah yang menimbulkan banyak pertentangan pendapat. Pada
permulaan karirnya sebagai pelajar, Al-Ghazali telah menunjukan sikap keraguan. Ia
berontak untuk menerima kebenaran dari taqlid (menerima begitu saja pengetahuan
yang diajarkan oleh orang-orang lain) atau terhadap sam’ (ujud dari pengetahuan yang
di wariskan kepadanya).

Riwayat hidupnya memang terlalu ringkas untuk dapat memberi pengertian tentang
perkembangan intelektual maupun spiritual dari Imam Al-Ghazali, kedudukannya
terakhir dan corak manusia yang dicapainya setelah ia menemukan dasar dari
pengetahuan itu di dalam sistemnya mencakup seluruh kepribadian dari pencari
kebenaran, telah membuat tulisan Al-Ghazali menjadi “kaca cermin” yang benar dari
kepribadian batinnya. Riwayat hidupnya agar dapat di pahami seluruhnya, harus
ditafsirkan di dalam hubungan tulisan-tulisan lainnya dari dia, terutama ihya dan
khususnya “Buku-buku” di dalam ihya tersebut, yang membicarakan berbagai aspek
dari keimanan. Ia menekankan bahwa pengetahuan dalam setiap aspek (bab) dari iman
terdiri dari tiga bagian yang tidak dapat dipisahkan :

1. Ilm atau badan pengetahuan yang ganjil


2. Hal atau keadaan yang sama dengan “Hati”
3. Amal, yakni disiplin pribadi yang sangat perlu untuk memperoleh
pengetahuan itu dan mendapatkan “keadaaan” tersebut.

Suatu petunjuk dari jalan pikiran Al-Ghazali sebelum ia mengalami perobahan didalam
membuat perbedaan-perbedaan tersebut, ia telah membuat beberapa tingkatan iman.
Al-Ghazali ialah seorang genius dan sumbangannya kepada pemikiran muslim terletak
pada penemuannya mengenai batas-batas yang terdapat di dalam “akal pikiran”
seseorang sebagai alat dari pengetahuannya dan pusat yang terpenting dari “hati”
sebagai tempat berpijak dari seluruh pengetahuan dan pengalaman.

Teori pengetahuan Al-Ghazali berjalan parallel dengan pengembangan diri menuju


pemenuhan diri, yang dibangun diatas dua asumsi yang fundamental. Pertama,
manusia atau lebih tepatnya hati manusia, diciptakan menurut gambaran Allah, dan
Kedua, manusia secara keseluruhan merupakan suatu microcosmos. Suatu
pengetahuan itu di dapat disaat seseorang mendapatkan pengetahuan yang lengkap
tentang dirinya sendiri. Karena manusia adalah gambaran dari Allah, manusia akan
mengetahui ciri-ciri dari Allah, jika ia mendapatkan seluruh pengetahuan dari hati, dan
sebagai microcosmos ia akan mengetahui seluruh pekerjaan Allah, jika ia memperoleh
pengertian yang lengkap dari pekerjaan hati di dalam badan. Seluruh pengetahuan
terjadi di dalam hati dan pengetahuan itu adalah identic dengan seluruh pengetahuan
hati itu sendiri.

B. PEMIKIRAN FILSAFAT AL-GHAZALI


1. Pemikiran Filsafat Al-Ghazali
a) Metafisika

Untuk pertama kalinya Al-Ghazali belajar karangan-karangan ahli pengetahuan


terutama karangan Ibnu Sina. Setelah pengetahuan filsafat dengan seksama, ia
mengambil kesimpulan bahwa akal semata-mata dalam soal ketuhanan adalah
seperti mempergunakan alat yang tidak mencukupi kebutuhan.

b) Iradat Tuhan

Mengenai kejadian alam dan dunia, Al-Ghazali berpendapat bahwa dunia itu berasal
dari iradat (kehendak) tuhan semat-mata, tidak bisa terjadi dengan sendirinya. Iradat
tuhan yang diartikan tercipta. Iradat itu menghasilkan ciptaan yang berganda, di satu
pihak merupakan undang-undang, dan di lain pihak merupakan zarah-zarah (atom-
atom) yang masih abstrak. Penyesuaian zarah-zarah yang abstrak dengan undang-
undang yang lihat merupakan dunia dan kebiasaanya yang kita ini.

c) Etika
Mengenai etika etika Al-Ghazali sekaligus dapat kita lihat pada teori tasawufnya
dalam buku Ihya '' Ulumuddin . Dengan kata lain, filosofi etika Al-Ghazali adalah
teori tasawufnya itu. Mengenai tujuan pokok dari etika Al-Ghazali kita temui pada
semboyan tasawuf yang terkenal “ Al-Takhalluq Bi Akhlaqihi 'Ala Thaqah al-
Basyariyah, atau Al-Ishaf Bi Shifat al-Rahman' Ala Thaqah al-Basyariyah ”.
Maksudnya adalah agar manusia sejauh-jauhnya kesanggupannya sesuai dengan
sifat perang dan sifat-sifat ketuhanan seperti pengasih, pemaaf, dan sifat-sifat yang
masuk ke Tuhan, jujur, sabar, ikhlas dan sebagainya.

d) Pandangan Al-Ghazali terhadap Filsafat

Di bidang filsafat al-Ghazali memiliki perhatian yang sangat besar dan ia tercatat
sebagai pemikir yang banyak melibatkan diri pada segi itu. Ia belajar filsafat kepada
al-Juwaini selama tiga tahun. Sehingga al-Ghazali gaya juga sebagai salah seorang
filosof muslim. Namun, dalam lapangan filosofi ketuhanan (metafisika) al-Ghazali
memandang para filosof sebagai ahlul bidah dan kafir seperti apa yang ada dalam
bukunya Tahafatul Falasifah (kerancuan pemikiran para filosof).

C. IMPLEMENTASI PEMIKIRAN FILSAFAT AL-GHAZALI TERHADAP


PERKEMBANGAN ISLAM
Penekanan Al-Ghazali terhadap materi fiqih Syafi’i, kalam Asy’ari dan tasawuf
JunaidI Al-Baghdadi sangat terasa di pondok pesantren dan madrasah di Indonesia.
Kurikulum pendidikan di madrasah dan perguruan tinggi Islam bahkan sangat kuat
mengesankan pengaruh pemikiran Al-Ghazali, terutama pada lembaga-lembaga
pendidikan berciri NU.Pengaruh tersebut semakin terasa sehubungan dengan masalah
filsafat, di mana pada lembaga-lembaga pendidikan tradisional umumnya, tidak
diajarkan materi filsafat, yang jika pun diajarkan maka dimaksudkan untuk
menanamkan sikap yang cenderung anti filsafat. Kecenderungan itu pun terasa di
IAIN pada periode sebelum reformasi yang dilakukan Harun Nasution, di mana fokus
pengajaran bertumpu pada fiqih Syafi’i, kalam Asy’ari dan tasawuf Jinaid Al-
Baghdadi. Sementara pemikiran Mu’tazilah, Syi’ah, teosofi dipinggirkan sebagai
pemikiran sesat.

Menurut Nakosteen, dalam skala dunia, Ghazali melalui Madrasah Nizhamiyyah telah
mengenalkan stratifikasi tenaga pendidik yang pada level tertinggi diduduki oleh chief
professor (Syaikh al-Islam) yang membawahi pada profesor (masyayikh). Di
bawahnya terdapat asisten profesor yang dikenal dengan sebutan Mu’id. Stratifikasi
tersebut dikembangkan di Universitas-universitas besar di seluruh dunia. Hingga saat
ini, Implikasi pemikiran kependidikan Al-Ghazali yang paling terasa di Indonesia
dengan menekankan penguasaan materi pelajaran dengan cara menghafal pada tingkat
dasar, dan memahami pada tingkat lebih lanjut, yang dapat dipahami sebagai
pemenuhan aspek kognitif. Selanjutnya, menekankan praktek terhadap materi
pelajaran tersebut, terutama berkenaan dengan ibadah, melalui sistem riyadhah
(Ibadah amaliyah) yang dapat dipahami sebagai pemenuhan aspek psikomotorik.
Terakhir menekankan penghayatan pelajaran dalam kehidupan sehari-hari, melalui
pemahaman akhlak-tasawuf, yang dapat dipahami sebagai pemenuhaan aspek afektif
pendidikan.
BAB X (PEMIKIRAN IBN BAJJAH)

A. RIWAYAT HIDUP IBNU BAJJAH

Ia adalah Abu Bakr Muhammad ibn al-Sayigh, yang terkenal dengan Ibn
Bajjah. Orang-orang Eropa pada abad-abad pertengahan menamai Ibn Bajjah dengan
“Avempace”, sebagaimana mereka menyebut nama-nama Ibn Sina, Ibn Gaberol, Ibn
Thufail dan Ibn Rusyd, masing-masing dengan Avicenna, Avicebron, Abubacer, dan
Averroes. Ibn Bajjah dilahirkan di Zaragosa pada abad ke-11 Masehi. Tahun
kelahirannya yang pasti tidak diketahui, demikian pula masa kecil dan masa mudanya.
Sejauh yang dapat dicatat oleh sejarah ialah bahwa ia hidup di Seville, Granada, dan
Fez; menulis beberapa risalah tentang logika di kota Seville pada tahun 1118 M.
Menurut beberapa literatur, Ibn Bajjah bukan hanya seorang filosof ansich, tetapi juga
seorang saintis yang menguasai beberapa disiplin ilmu pengetahuan, seperti
kedokteran, astronomi, musikus, dan matematika.
Fakta ini dapat diterima karena di masa itu belum terjadi pemisahan dalam
suatu buku antara sains dan filsafat sehingga seseorang yang mempelajari salah
satunya terpaksa bersentuhan dengan yang lain. Ia juga aktif dalam dunia politik,
sehingga Gubernur Zaragosa Daulat al-Murabith, Abu Bakar ibn Ibrahim al-Sahrawi
mengangkatnya menjadi wazir.6 Ketika Zaragosa jatuh ke tangan Alfonso I, Raja
Aragon, pada tahun 512 H/1118 M, Ibn Bajjah pergi ke Seville melalui Valencia dan
tinggal di sana sebagai seorang dokter. Sesudah Seville juga diduduki Raja Alfonso
beberapa waktu kemudian, ia pindah ke Granada. Tatkala ia transit di Syatibah
(Jativa, selatan Valencia, Spanyol), ia dipenjarakan oleh amir setempat dengan
tuduhan membuat bi’dah, tetapi segera dibebaskan. Setelah ia bebas, ia pergi ke Fez
(kini Maroko), memasuki istana Gubernur Abu Bakar Yahya bin Yusuf bin Tasyfin
(Ibn Tasyfin) dan menjadi pejabat tinggi berkat kemampuan dan pengetahuannya. Dia
memegang jabatan tinggi itu selama 20 tahun. Musuh-musuhnya mencapnya sebagai
ahli bid’ah dan beberapa kali mengadakan usaha pembunuhan terhadapnya. Semua
usaha itu gagal dan baru berhasil dilakukan oleh seorang dokter termasyhur, Abul Ala
bin Zuhr, dengan racun dan ia meninggal dunia di Fez pada tahun 1138 M ketika
usianya belum lagi tua.
B. FILSAFAT IBNU BAJJAH

1. Epistimologis 5. Etika dan Akhlak


2. Metafisika 6. Politik
3. Jiwa 7. Filsafat Ibnu Bajjah Tentang
4. Akal dan Ma’rifah Ilmu Dan Sains

C. HASIL KARYA IBNU BAJJAH

Menurut Ibnu Tufail, Ibnu Bajjah adalah seorang filosof muslim yang paling
cemerlang otaknya, paling cepat analisanya, dan paling benar pemikirannya.
Kecemerlangan Ibnu Bajjah ini dapat dilacak dari beberapa karya tulisnya baik dalam
bidang filsafat atau dalam bidang lainnya, diantaranya :

1. RisalatAl-Wada, berisi tentang ilmu pengobatan.

2. Kitab Tadriyyah, berisi tentang syair pujian yang ada di perpustakaan Berlin.

3. kitab Al-Nafs, berisi tentang catatan dan pendahuluan dalam bahasa Arab.

4. Kitab Tadbir al-Mutawahhid, Ini adalah kitab yang paling populer.

5. Risalat Al-Ittishal, risalah ini menguraikan tentang hubungan manusia dengan akal
fa’al.

6. Karya-karya yang disunting oleh Asin Palacis dengan terjemahan bahasa Spanyol
dancatatan-catatan yang diperlukan:

o Kitab al-Nabat, al-Andalus jilid V, 1940


o Risalah Ittishal al-Aql bil insan, al-Andalus, jilid VII, 1942
o Risalah al-Wada’, al-Andalus, jilid VIII, 1943
o Tadbir al-Mutawahhid, dengan judul el-Regimen del solitario, 1946
6. Majalah al-Majama’ al-Ilm al-Arabi.

D. PENGARUH FILSAFAT IBNU BAJJAH

Ibnu Bajjah termasuk salah satu filosod muslim yang dianggap paling
cemerlang pemikirannya, sehingga para murid dan para pengikurnya menilai bahwa
dalam segi pemahaman filsafatnya sama dengan filsafat Al-Farabi, seperti logika,
filsafat alam, dan metafisika. Akan tetapi, Ibnu Bajjah telah memberikan sejumlah
besar tambahan dalam karya-karyanya.Dan lagi dia telah menggunakan metode
filsafat yang benar – benar dan tambahan sangat luar biasa.Demikian juga dalam
psikologi, Ibnu Bajjah tidak keringgalan langkah. Dia dipandang memiliki argument
dan pemikiran yang mirip sama dengan Aristoteles, yang mendasarkan psikologinya
pada fisika. Oleh sebab itu, Ibnu Bajjah bukan hanya seorang filosof, tetapi juga dia
seorang saintis yang menguasai beberapa disiplin ilmu, seperti : kedokteran,
astronomi, fisika, matematika, dan musikus.
BAB XI (PEMIKIRAN IBN THUFAIL)

A. RIWAYAT HIDUP SINGKAT IBNU THUFAIL


Nama lengkap Ibnu Thufail ialah Abu Bakar ibnu Abd Al-Malik ibn Muhammad
ibnu Thufai. Ia dilahirkan di Guadix (Arab : Wadi Asy), provinsi Granada, Spanyol pada
tahun 506 H/1110 M. dalam bahasa latin Ibnu Thufail populer dengan sebutan
Abubacer.1 Pada masa khalifah Abu Yaquf Yusuf, Ibnu Thufail mempunyai pengaruh
yang besar dalam pemerintahan. Pada pihak lain, khalifah sendiri mencintai ilmu
pengetahuan dan secara khusus adalah peminat filsafat serta memberi kebebasan
berfilsafat. Sikapnya itu menjadikan pemerintahannya sebagai pemuka pemikiran
filosofis dan membuat Spanyol, seperti dikatakan R. Briffault sebagai “tempat kelahiran
kembali negeri Eropa”.2
Pada mulanya Ibnu Thufail aktif bekerja sebagai dokter dan pengajar, lalu ia beralih
profesi sebagai sekretaris pribadi penguasa Granada. Pada tahun 549 H/1154 M, ia
dipercaya sebagai sekretaris gubernur wilayah Ceuta dan Tengier (Maroko), sedang
gubernur itu merupakan putra Abd al-Mukmin,seorang pendiri Daulah Muwahhidun
yang berpusat di Marakesy, Maroko. Pada tahun 558 H/1163 M, ia di tarik ke Marakesy
dan diangkat sebagai hakim sekaligus dokter untuk keluarga istana Abu Yakub Yusuf
yang memerintah pada tahun1163-1184 M.
Dari sekian buah karyanya, Risalah Hayy Ibnu Yaqzan fi Asrar al-Hikmah al-
Masyriqiyah adalah yang termahsyur. Kitab ini mempersentasekan pemikiran inti Ibnu
Thufail dalam ranah filsafat.Hal itu di pertegas pula oleh Miguel Casiri yang
menyebutkan dua karyanya yang masih ada yaitu Risalah Hayy Ibnu Yaqzan dan Asrar
Al-Hikmah Al-Masyriqiyah, yang disebut terakhir ini berbentuk naskah. Kata pengantar
dari Asrar menyebutkan bahwa risalah itu hanya merupakan satu bagian dari Risalah
Hayy Ibnu Yaqzan.Rislah “Hayy ibnu Yaqzan(“kehidupan anak kesadaran”), di
Baratdikenal sebagai: Philosophus Autodidactus) telah menorehkan tinta emas di atas
lembaran sejarah sebagai salah satu karya paling berharga yang pernah ada di bidang
filsafat.Dalam mengarang buku ini Ibnu Tufail banyak terpengaruh filsafat Plato.
Pemikiran-pemikiran filosofis Ibn Thufail ketika menulis buku ini telah mencapai taraf
yang paling matang. Ditulisnya pemikiran-pemikirannya dalam bentuk novel alegori
sembari menawarkan sebuah korelasi filsafat antara akal dan agama dalam pencarian
kebenaran hakiki.

B. PEMIKIRAN FILSAFAT IBNU THUFAIL


1) Pola Filsafatnya
2) Kekekalan Alam dan Tuhan
3) Epistemologi Pengetahuan
4) Etika atau Akhlak

C. PEMIKIRAN FILOSOFIS IBNU THUFAIL TERHADAP PERKEMBANGAN


PEMIKIRAN ISLAM
1. Tahap-Tahap Pemikiran Ibnu Thufail dalam Risalah Hayy Ibn Yaqzan
Tahap Pengetahuan Empiris
Tahap Pengetahuan Rasionalis
Tahap pengetahuan Mistis-Tasawuf
2. Pengaruh Ibnu Thufail di Dunia Islam dan Non-Islam
Pengaruh Ibn Thufayl dalam masyarakat Islam maupun non-Islam adalah dalam
falsafat Islam. Walau demikian falsafat Islam tidak bisa lepas dari pengaruh yang
masuk ke dalamnya baik dari tradisi falsafat Yunani, maupun tradisi falsafat timur,
karena falsafat Yunani juga terpengaruh oleh falsafat timur. Hal ini secara genuine
dijelaskan oleh Joel L. Kraemer bahwa :
Failasuf-failasuf Yunani pra-Socrates seperti Empedokles, telah belajar kepada
Luqmân ‘sang failasuf’ (Luqmân al-Hakîm) di Syro-Palestina pada masa Nabi
Dâwud, atau Pythagoras diyakini telah belajar fisika dan metafisika pada murid-
murid Nabi Sulaymân di Mesir, dan belajar geometri pada orang-orang Mesir.
Kemudian para failasuf itu membawa tradisi ‘falsafat’ yang mereka serap dari Timur
menuju Yunani, untuk dikembangkan lebih lanjut.
3. Pengaruh Pemikiran Ibnu Thufail Terhadap Pemikiran Islam
Ringkasan dari cerita Hayy bin Yaqzhan yang ditulis oleh Ibnu Thufail sejatinya ingin
menguraikan kebenarankebenaran tertentu dalam realitas keagamaan setiap muslim.
Ringkasan tersebut sebagaimana diringkas oleh Nadhim al-Jisr dalam karyanya Qissat
al-Iman dan dikutip oleh Hanafi pada beberapa rangkaian ringkasan berikut;
1) Urut-urutan tangga ma’rifat (pengetahuan) yang ditempuh oleh akal, dimulai
dari objek-objek inderawi yang khusus sampai kepada pikiran-pikiran
universal;
2) Tanpa pengajaran dan petunjuk, akal manusia bisa mengetahui wujud Tuhan,
yaitu dengan melalui tanda-tandanya pada makhluk-Nya, dan menegakkan
dalil-dalil atas wujud-Nya itu;
3) Akal manusia ini kadang-kadang mengalami ketumpulan dan
ketidakmampuan dalam mengemukakan dalil-dalil pikiran, yaitu ketika
hendak menggambarkan keazalian mutlak, ketidakakhiran, zaman, qadim,
huduts (baru) dan hal-hal lain yang sejenis dengan itu;
4) Baik akal menguatkan qadim-nya alam atau kebaharuannya namun, kelanjutan
dari kepercayaan tersebut adalah satu juga, yaitu adanya Tuhan;
5) Manusia dengan akalnya sanggup mengetahui dsar-dasar akhlak yang bersifat
amali dan kemasyarakatan, serta berhiaskan diri dengan keutamaan dasar
akhlak tersebut, di samping menundukkan keinginan-keinginan badan kepada
hukum pikiran, tanpa melalaikan hak badan atau meninggalkannya sama
sekali;
6) Apa yang diperintahkan oleh syariat Islam dan apa yang diketahui oleh akal
yang sehat dengan sendirinya, berupa kebenaran, kebaikan dan keidnahan
dapat bertemu kedua-duanya dalam satu titik, tanpa diperselisihkan lagi;
7) Pokok dari semua hikmah ialah apa yang telah ditetapkan oleh syara’, yaitu
mengarahkan pembicaraan kepada orang lain menurut kesanggupan akalnya,
tanpa membuka kebenaran dan rahasia-rahasia filsafat kepada mereka. Juga
pokok pangkal segala kebaikan ialah menetapkan batas-batas syara’ dan
meninggalkan pendalaman sesuatu.
BAB XII (PEMIKIRAN IBN RUSYD)

A. RIWAYAT HIDUP IBNU RUSYD

Abu Ya’al al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Rusyd, atau yang
lebih terkenal dengan sebutan Ibn Rusyd atau Avverroes, adalah filsuf muslim Barat
terbesar di abad pertengahan. Ia lahir di Kota Cordova, Ibu Kota Andalusia pada tahun
520 H/1126 M. Kakeknya adalah seorang ahli fiqih dan ilmu hukum terkenal.
Disamping menjabat sebagai imam besar di Masjid Jami’ Cordova, ia juga diangkat
menjadi hakim agung (Qadhi al-jama’ah). Setelah meninggal jabatan hakim agung ini
diteruskan oleh puteranya, ayah Ibn Rusyd. Tampak disini bahwa Ibn Rusyd terlahir
dari keluarga ahli-ahli fiqih dan hakim-hakim.

Hal ini terbukti, Ibnu Rusyd bersama-sama merivisi buku Imam Malik AlMuwaththa,
yang dipelajarinya bersama ayahnya Abu Al-Qasim dan dihapalnya. Ia juga
mempelajari matematika, fisika, astronomi, logika, filsafat dan ilmu pengobatan. Guru-
gurunya dalam ilmu-ilmu tersebut tidak terkenal, tetapi secara keseluruhan Cordova
terkenal sebagai pusat studi filsafat. Tidak mengherankan juga jika salah satu karyanya
yang sangat terkenal, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtasid, merupakan
karyanya dalam bidang Fiqih. Buku ini merupakan suatu studi perbandingan hukum
Islam, dimana di dalamnya diuraikan pendapat Ibnu Rusyd dengan mengemukakan
pendapat-pendapat imam-imam fiqih.

Keterkenalan Ibnu Rusyd dalam bidang filsafat diawali dari peristiwa Khalifah Abu
Yaqub yang menyuruh Ibnu Thufail untuk menyuruh orang meringkas intisari filsafat
Aristoteles. Sejak Ibnu Rusyd mampu meramu dan meringkas pikiran-pikiran filsafat
Yunani, Bouyges yang dikutip Ahmad Fuad Al-Ahwani, Ibnu Rusyd layak disebut
sebagai “Juru ulas” dan dengan sebutan itulah, dia dikenal oleh masyarakat Eropa abad
pertengahan.

Di negeri-negeri Eropa Latin, Ibnu Rusyd terkenal dengan nama Explainer


(AsySyarih) atau juru Tafsir. Sebagai juru tafsir, dalam bahasa Ahmad Fuad Al-
Ahwani,
martabatnya tidak lebih rendah dari Alexandre d’ Aphrodise (filsuf Yunani yang
manafsirkan filsafat Aristoteles abad ke-2 M) dan Thamestius.

Dengan realitas yang dialami sebagai qadhi, dokter dan didukung oleh berbagai
penguasaan ilmu, seperti matematika, fisika, astronomi, kedokteran, logika dan filsafat,
Ibnu Rusyd menjadi ulama dan filsuf yang sulit ditandingi. Kehebatannya dapat dilihat
dari berbagai karya yang telah ditulis, meskipun diakhir hidupnya, Rusyd mendapat
tuduhan besar [mihnah], ia dituduh membawa aliran filsafat yang tidak sesuai dengan
ajaran Islam, sehingga ia dibuang dari tanah kelahirannya.
Tuduhan yang dilontarkan kepadanya berkenaan dengan penulisannya dalam beberapa
bukunya mengenai pengakuannya bahwa dia telah melihat jerapah di dalam taman raja
orang-orang barbar. Dalam pembelaannya, Ibnu Rusyd mengatakan bahwa dia telah
menulis “raja dua negeri”. Kisah kedua mengemukakan, dia telah menulis bahwa
Venus itu suci. Hal itu mengakibatkan Ibnu Rusyd bukan saja dihukum buang, tetapi
juga tulisan-tulisannya dibakar di muka umum. Sebuah manifesto yang menentang
filsafat dan para filsuf dikeluarkan dan disebarkan di setiap tempat di Andalusia dan
Marrakusy, yang melarang studi-studi yang dianggap membahayakan serta
memerintahkan pembakaran semua buku yang berhubungan dengan Ilmu-ilmu
semacam itu, tetapi aib yang diderita oleh Ibnu Rusyd tidak berlangsung lama. Dan
AlMansur, sekembalinya dari Marrakusy, mengampuni dan memanggilnya kembali.
Ibnu Rusyd pergi ke Marrakusy, dan dia meninggal pada tahun 595 H/ 1198 M.

B. KARYA-KARYA IBNU RUSYD

Sebagai seorang filsafat Islam di dunia Islam bagian Barat, Ibnu Rusyd juga telah
membuat sebuah karya dalam tulisannya. Karya-karya Ibnu Rusyd benar-benar memuat
sudut pandang ke arah filsafat. Di antara karya-karyanya adalah sebagai berikut :

1. Tahafut at-Tahafut. Kitab ini berupaya menjabarkan dengan menyanggah butir demi
butir keberatan terhadap al-Ghazali.

2. Fash al-Maqal fi ma bain al-Hikmat wa al-Syari’ah min alIttishal (Kitab ini


berisikan tentang hubungan antara filsafat dengan agama).
3. Al-Kasyf’an Manahij al-Adillat fi ’Aqa’id al-Millat, (berisikan kritik terhadap
metode para ahli ilmu kalam dan sufi)
4. Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, (berisikan uraianuraian di bidang
fiqih).

C. PEMIKIRAN FILSAFAT IBNU RUSYD

Ibn Rusyd memiliki peran penting dalam melakukan upaya survevisasi filsafat dari
bungkaman yang dilakukan oleh al-Ghazali. Dua kitab yang dikarang sebagai upaya
penetrasi gencarnya serangan-serangan badai yang telah dicipta al-Ghazali. Ibn. Rusyd
menjawab serangan Al Ghazali dengan menerbitkan sebuah buku yang berjudul
Tahafutu Al Tahfut (Kerancuan dari Kerancuan). Kitab inilah yang menjadi pilar
utama pemikiran Ibn Rusyd untuk menyelamatkan filsafat. Meski upaya inipun baru
nampak membuahkan hasil baru-baru ini saja ”era kontemporer”. Jadi sejak
berkiprahnya Ibn Rusyd dalam dunia Filsafat, masih belum ada pengakuan terhadap
kebenaran pemikirannya, anggap saja pemikiran ibnu Rusyd tenggelam dan tertelan
oleh doktrin keagamaan yang lebih mengutamakan ilmu fiqih dan tasawuf. Dan baru
muncul ketika umat islam sadar bahwa filsafat juga menjadi bagian terpenting dalam
upaya mengembangkan islam, dan filsafat sebenarnya adalah bagian dari khazanah
keilmuan islam itu sendiri. Sebenarnya, upaya peneyelamatan filsafat yang dilakukan
oleh Ibn Rusdy adalah sebagai sebuah kontol perdamaian terhadap kondisi umat islam
saat itu, karena statement al-Ghazali tentang pengakafiran para filosof mengandung
beberapa kepentingan, bahkan bisa dikatakaan politis. Secara umum, Pemikiran al-
Ghazali lebih mengarah pada pembelaan kalam atau pemikiran Asy’ariah. Al Jabiri
menegaskan, pendekatan rasional al-Ghazali dibangun oleh pertimbangan sosial
(khususnya pertimbangan politis seperti dalam kasus al Kindi dan al-Ghazali), atau
dicemari oleh model genostik-esoterik, yang menafikan intelek (khususnya “hemetik”
seperti dalam kasus al Farabi, Ibn Sina dan al-Ghazali). Lain dari itu, pembelaan yang
dilakukan Ibn Rusyd adalah upaya untuk meredam klaim Kesesatan para Filosof.

Bagaimana ia mengcounter tiga argumen utama yang difatwakan al-Ghazali pada para
filosof yang dianggapnya sesat. “Perdebatan” antara keduanya menjadi debat dua orang
dari dua generasi yang berbeda dengan seolah mewakili perdebatan sengit masa lampau
antara Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Mu’tazilah dengan kebebasan berfikirnya dan
Asy’ariyah dengan ortodoksinya. Perdebatan antara dua kubu tentang masalah aqidah
yang menimbulkan polemik berkepanjangan tentang siapa Tuhan, asal-usul dan seperti
apa alam semesta berikutnya. Dalam kaitannya dengan al-Ghazali, yang menjadi
sasaran kritik pemikirannya mengarah pada pemikiran filsafat yang dicetuskan oleh al
Farabi dan Ibn Sina karena tiga alasan yaitu masalah Alam yang kekal, Tuhan tidak
mengetahui Juziyyat, dan tidak adanya kebangkitan jasmani. Berangkat dari sinilah
alGhazali mengembangkan gagasannya untuk membuat antitesis terhadap pemikiran
para filosof Neo Platonis, sayangnya oleh sebagian umat Islam, upaya Al Ghazali
dipahami dan ditafsiri sebagai fatwa haram bagi semua aliran filsafat tanpa mengingat
bahwa alGhazali-pun juga seorang filosuf. Dari pemahaman seperti itulah, akhirnya
nalar arab mencapai krisis yang tergambar dalam kehidupan personalnya dengan
menarik diri dari pergulatan sosiopolitik. Kita dengan mudah mengambil pokok-pokok
pemikiran filosofis al-Ghazali menyanggah teori metafisika Ibn Sina. Hal itu tercantum
dalam 20 persoalan yang dikritiknya dalam bukunya “Tahafut al-Falasifah” Tiga butir
persoalan yang menjadi sasaran kritik tajamnya (memvonis kafir) adalah:
1. Bahwa Allah hanya mengetahui hal-hal yang besar dan tidak mengetahui hal-hal
yang kecil.
2. Bahwa alam semesta ini adalah qadim atau kekal tanpa permulaan.
3. Bahwa diakhirat kelak yang dihimpun hanyalah ruh manusia bukan jasadnya.

D. PEMIKIRAN FILOSOFIS IBNU RUSYD TERHADAP PERKEMBANGAN


PEMIKIRAN ISLAM

Ibn Rusyd merupakan satu-satunya filosof Muslim yang paling besar pengaruhnya ke
Barat. Pokok pikiran Ibn Rusyd yang paling istimewa ialah merekonsiliasikan antara
agama (wahyu) dan filsafat (akal) atau secara kasarnya mempertemukan antara
Aristoteles dan Muhammad. Usaha rekonsiliasi ini dipandang ciri terpenting dalam
filsafat Islam. Menurut Ibn Rusyd, filsafat adalah mempelajari segala yang wujud
(maujudat) dan merenungkan sebagai suatu bukti tentang adanya Pencipta. Ibn Rusyd
menjelaskan bahwa segala yang ada ini sebagai suatu ciptaan menujukkan adanya
Penciptanya. Untuk mengetahui Pencipta tersebut harus mengetahui ciptaan atau
sunatullah-Nya. Justru itulah menurut Ibn Rusyd semakin sempurna pengetahuan
terhadap ciptaan-Nya niscaya semakin sempurna pula pengetahuan tentang Sang
Pencipta.

Menurut Ibn Rusyd antara filsafat dan agama tidak bertentangan, karena kebenaran
tidaklah berlawanan dengan kebenaran tetapi saling memperkuat. Dengan kata lain,
filsafat adalah saudara agama, anatar filsafat dengan agama seperti halnya sahabat yang
pada hakikatnya saling mencintai.

Ibn Rusyd mengungkapkan, apabila penelitian akal menghasilkan pengetahuan


tentang sesuatu, akan terjadi dua alternatif: sesuatu itu tidak disebut oleh agama atau
sesuatu itu disebutkan oleh agama. Jika sesuatu itu tidak disebutkan oleh agama, tidak
ada persoalan, dengan arti sesuatu yang dihasilkan itu dapat dijadikan pegangan. Hal ini
kedudukannya sama dengan hukum yang tidak disebutkan dalam syara‟ sehingga ahli
fiqh menggunakan kias syar‟i. Jika ahli fiqh menggunakan kias syar‟i, maka tidak ada
salahnya filosof (ahl al-urhan) menggunakan kias akli. Justru itu tidak ada alasan untuk
menuduh bid‟ah terhadap orang yang menggunakan kias akli karena sama kondisinya
dengan orang yang menggunakan kias syar‟i. Sementara itu, penggunaan kias syar‟i ini
dalam masalah-masalah fiqh yang sudah dilakukan oleh ulama salaf sejak awal islam.

Jika sesuatu itu disebutkan oleh agama, terjaadi dua alternatif, yakni nashnya sesuai
dengan hasil penelitian akal atau nashnya bertentangan dengan nash, nash mesti di
takwilkan. Takwil ialah meninggalkan arti lafzi dari maknanya yang hakiki ke
maknanya yang metaforik, tanpa melanggar kebiasaan bahasa Arab dalam memberikan
metaforik, seperti mengataka sesuatu dengan serupanya, atau sebabnya, atau akibatnya,
atau sesamanya atas lain yang tercakup dalam kaidah pemakaian makna metaforik.
Menrurut Ibnu Rusyd, kalau ahli fiqh banyak melakukan hal ini dalam berbagai hukum
agama, semestinya filosof lebih berhak melakukan hal yang serupa. Padahal ahli fiqh
hanya melakukan kias zanny semata sedangkan filosof muslim melakukan kias yaqiny,
yang lebih utama dari kias zanny.

Di tangan Ibnu Rusyd, filsafat menjadi demikian menantang dan menarik minat banyak
orang untuk mendalaminya. Paham rasional yang dikembangkannya menjadi titik
terang bagi bangsa Eropa untuk meneropong persoalan peradaban dan keagamaan
mereka. Kias rasional, takwil dan pengetahuan burhani merupakan bentuk tertinggi
dalam pemikiran Muslim yang menjadikan peradaban Muslim unggul dan maju adalah
tantangan secara diametreal bagi paham keagamaan Kristen yang terbelakang karena
tertutup, otoriter dan dogmatis. Disamping kelompok pengidola, ternyata paham filsafat
Ibnu Rusyd juga mendapat penolakan bangsa Eropa yang datang dari kalangan gereja,
seperti Keuskupan Paris “mengharamkan” kajian-kajian terhadap buku-buku Ibnu
Rusyd di berbagai perguruan tinggi pada abad ke-13. Fakta-fakta diatas terkesan
berlawanan, tetapi sebenarnya disanalah kekuatan pengaruh filsafat Ibnu Rusyd yang
tidak habis dan henti-hentinya dibahas bangsa Eropa, secara sembunyi-sembunyi
sekalipun. Karena itu sekali pun para Rahib dilarang mempelajari hal-hal yang berbau
duniawi tetapi mereka tetap mengkaji dan mendiskusikan Ibnu Rusyd.

Dinamis dan semaraknya perkembangan ilmu pengetahuan ditangan umat Islam di


Andalusia dan Sisilia akhirnya menarik minat orang-orang dari kalangan Yahudi dan
Kristen untuk menuntut ilmu ke wilayah itu dan melakukan penerjemahanpenerjemahan
atas seluruh karya-karya Aristoteles, seperti yang dilakukan St. Thomas Aquinas
dengan meminta rekannya, William Moerbeke untuk melakukan penerjemahan tersebut.
Setelah penerjemahan tersebut, tampak bahwa Ibnu Rusyd tidak melakukan kesalahan
dalam intisari filsafat. Oleh kalangan Yahudi dan Nasrani, mereka mengenal Ibnu
Rusyd sebagai sang pemberi penjelasan atau komentator filsafat Aristoteles. Dante
dalam syairnya Divine Comedy, mengatakan Ibnu Rusyd sebagai komentator terbesar
terhadap filsafat Aristoteles dimasanya.
BAB XIII (PEMIKIRAN FILSAFAT SUHRAWARDI)

A. RIWAYAT HIDUP SUHRAWARDI


Suhrawardi adalah filsuf Islam kelahiran suhraward (Iran Barat Laut) pada
tahun 548 H/ 1153 M yang datang memberikan warna baru dalam pemikiran filsafat
Islam pasca Ibnu Rusyd. Nama lengkap beliau adalah Syaikh Syihab al-Din Abu al-
Futuh ibn habys ibn amirak alSuhrawardi. Beliau dikenal dengan Syaikh al-Isyraq
atau Master of Illuminasionist (Bapak Pencerahan), Al-Halim (Sang Bijak) dan al-
Maqtul (Yang Terbunuh). Julukan al-Maqtul berhubungan dengan
kematiannyadengan cara dieksekusi, juga sebagai pembeda dari tokoh lainnya yang
mempunyai nama Suhrawardi.
Suhrawardi melakukan studi ilmiahnya di Maragha yang nantinya menjadi
lokasi aktivitas astronomi al-Thusi, dan juga di Isfahan di mana Suhrawardi menjadi
teman sekelas Fakhruddin al-Razi. Suhrawardi belajar filasafat dengan Majid Kili,
kemudian Suhrawardi pergi ke Isfahan untuk memperdalam kajian Filsafat pada Fakh
al-Din al-Mardini. Setelah itu Suhrawardi belajar kepada Zhahir al-Din al-Qari al-
Farsi dan mengkaji kitab al-Bashair al-Nashiriyah karangan Umar Ibn Sahlan alSawi,
yang sangat akrab dikenal sebagai komentator Risalah al-Tahir karangan Ibnu Sina.
Suhrawardi belajar kepada seorang faqih dan teolog terkenal Majduddin Al-Jilli, guru
Fakhruddin al-Razi. Di Isfahan dia belajar logika kepada Ibnu Sahlan al-Sawi.
Berkenaan dengan karya tulisnya, Suhrawardi sebenarnya banyak menghasilkan karya
tulis, baik dalam bahasa Arab maupun dalam bahasa Persia. Tetapi tidak seluruh
karyanya dapat diketahui. Beberapa buku yang menjadi cerminan pemikirannya dapat
kita lihat dalam buku karangan beliau yang berjudul Hikmah al-Isyraq, Hayakil al-
Nur, Fi Haqiqah al-Isyq dan lain sebagainya yang tidak kurang dari 50 judul buku.4
Kedalaman pengetahuannya dalam bidang falsafah dan tasawuf dapat dilihat dari
karya-karyanya.
Suhrawardi benar-benar menguasai ajaran-ajaran terdahulu, falsafah kuno,
hikmah-hikmah klasik dan falsafah Islam. Ia jugamemahami dan menghayati dengan
sempurna doktrin-doktrin tasawuf khususnya doktrin sufi abad ke-3 dan ke-4 H.
Sejalan dengan pengetahuannya tentang mistisisme, Suhrawardi merealisasikannya
dalam kehidupan sehari-hari, yakni dengan menerapkan pola hidup sebagai seorang
sufi. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika ia menghasilkan karya besar dan abadi
serta mampu memunculkan suatu corak pemikiran yang sama sekali baru yang
kemudian dikenal dengan corak pemikiran mistis- filosofis (teosofi).

B. KARYA – KARYA SUHRAWARDI


Karya tulisan Suhrawardi tidak kurang dari 50 karya Filsafat dan Gnostik dalam bahasa
arab dan persia. Seyyed Hossein Nasr mengelompokan karya Suhrawardi kedalam lima
bagian, yaitu:
Berisi pengajaran dan kaedah teosofi yang merupakan penapsiran dan modifikasi
terhadap filsafat Paripatetis ada empat buku tentang hal ini yang ditulis dalam
bahasa arab, yaitu: Talwihat, Muqowamat, Mutharahat, dan Hikmat Al-Isyraq.
Hikmat Al-Isyraq merupakan karya terahir yang secara seimbang menggunakan
metode bahsiyah dan zauqiyah. Pembahasan buku ini bertitik tekan pada cahaya
Tuhan, setelah sebelumnya di lakukan kritik terhadap Filsafat Paripatetik.
Karangan pendek tentang Filsafat, ditulis dalam bahasa Arab dan Persia dengan
gaya bahasa yang disederhanakan, yaitu Hayakil Al-Nur, Al-Alwah al- Imadiyah,
Partaw-namah, fi Itiqadi al-Hukama, al-lamahat, yazdan Syinakht, dan Bustan al-
Qulub.
Karangan pendek yang bermuatan dan berlambang mistis, pada umumnya dibahas
dalam bahasa Persia, meliputi Aqli-Surkh, Awaj-i Par-i |Jibrail, al- Ghurbat al-
Gharbiyah, Lughat-i Muran, Risalah fi Halat al- Thifuliyah, Ruji Bajamaat-i
Shufiyan, Risalah fi al-Miraj, dan Syafir-i Simurgh.
Komentar dan terjemahan dari filsafat terdahulu dan ajaran-ajaran keagamaan,
seperti Risalah al-thair karya ibnu Sina diterjemahkan kedalam bahasa persia;
komentar terhadap kitab Isyarat karya ibn Sina; serta tulisan dalam Risalah fi
Haqiqat al-Isyqi, yang terpusat pada Risalah ibn Sina Fi al-Isyqi; serta sejumlah
tafsir Al-Quran dan Hadis Nabi.
Doa-doa yang lebih dikenal dengan Al-Waridat wa Al-Taqdisat (Doa dan
pensucian).

Kemudian Al Suhrawardi membuat banyak karya, dan dari karya-karyanyadibagi


menjadi tiga bagian, antara lain :

1. Karya pertama adalah Kitab induk Filsafat Iluminasinya, antara lain :


a. Talwihat (Pemberitahuan),
b. Al-Muqawwamat (Yang Tepat),
c. Al-Masyari wa Al-Mutarahat (Jalan dan Pengayoman),
d. Al-Hikmah Al-Isyraq (Filsafat Pencerahan).
2. Karya Kedua adalah risalah ringkas filsafat, adalah:
a. Hayakil An-Nur (Rumah Suci Cahaya)
b. Al-Alwah Al-Imadiyah (Lembaran Imadiyah)
c. Partaw-Namah (Uraian Tentang Tajalli)
d. Bustan Al-Qulub (Taman Kalbu). Selain berbahasa Arab, risalah ini ada juga yang
ditulis dalam bahasa Persia.
3. Karya ketiga berupa kisah perumpamaan, adalah:
a. Qishshah Al-Gurbah Al-Garbiyyah (Kisah Pengasingan ke Barat),
b. Risalah Ath-Thair (Risalah Burung), Buku ini banyak membahas karya Ibnu Sina,
yakni kitab Isyyarah wa Tanbihat.
c. Awz-i pari-i Jibra’il (Suara Sayap Jibril),
d. Aql-i-surkh (Akal Merah),
e. Ruzi ba Jama’at-i Sufiyan (Sehari dengan Para Sufi),
f. Fi Haqiqah at-Isyaq (Hakikat Cinta Ilahi), Pembahasan buku ini juga tentang
filsafat Masyriqiyah Ibnu Sina.
g. Fi Halah Ath-Thufuliyyah,
h. Lugah Al-Muran (Bahasa Semit),
i. Safir-i Simurgh (Jerit Merdu Burung Pingai). Kisah ini memiliki nilai sastra yang
tinggi.

C. PEMIKIRAN FILSAFAT SUHRAWARDI


Suhrawardi mendalami Hikmah Persia dan Filsafat Yunani, dia mengambil jalan
tasawuf dalam ilmu dan amal dan melatih dirinya dengan riyadhoh dan mujahadah
sehingga dia sampai pada tujuannya membangun Hikmah al-Isyroq yang juga dinamakan
Ilmu Cahaya-cahaya. Al-Suhrawardi mengatakan bahwa pengetahuan itu tidak didapat
dengan akal pada mulanya, akan tetapi pengetahuan itu dihasilkan dari perkara lain yaitu
dzauq (rasa).
Hikmah al-Isyroq yang merupakan kitab yang paling penting peninggalan
Suhrawardi berisi tentang buah fikir dan pendapatnya, dengan jelas dalam bab ke dua
kitab ini menjelaskan secara luas tentang cahaya ketuhanan, di sana dia menjelaskan
tentang cahaya itu sendiri dan hakikatnya, dan juga menjelaskan Nurul Al-Anwar yaitu
Allah SWT beserta tanda-tanda dan alam semesta yang bersumber dari-Nya, yang
sebelumnya diterangkan pada bab pertama kitab ini tentang ilmu mantiq (logika).
Inti ajaran filsafat isyroqiyyah yang dibawa Suhrawardi adalah sumber segala sesuatu
yang ada (al-maujudat) adalah Nur al-Anwar (Cahaya Segala Cahaya). Kosmos
diciptakan Tuhan melalui penyinaran, oleh karena itu mempunyai tingkatan-tingkatan
pancaran cahaya. Manusia juga diciptakan melalui proses pancaran dari Nur Al-Anwar
yaitu Tuhan yang abadi. Penyinaran manusia menyerupai proses emanasi (Al-faid) dalam
filsafat Al-Farabi (257 H/870 M-339 H/950 M). Dengan demikian Tuhan dan manusia
mempunyai hubungan timbal balik, dan dari paradigma seperti ini dimungkinkan
terjadinya persatuan antara manusia dan Tuhan.
Dalam bukunya Filsafat Islam, Hasyimsyah memaparkan dengan cukup jelas tentang
pemikiran filsafat al-Suhrawardi dan mengelompokkannya dalam beberapa bagian.
Timur (Masriq) dan Barat (Maghrib), tidak berhubungan dengan letak geografis,
tetapi berlandaskan pada penglihatan horizontal yang memanjang dari Timur ke Barat.
Jadi, Timur diartikan sebagai Dunia Cahaya atau Dunia Malaikat yang terbebas dari
kegelapan dan materi, sedangkan Barat diartikan sebagai Dunia Kegelapan atau Materi.
Barat Tengah adalah langit-langit yang menampakkan pembauran antara cahaya dan
sedikit kegelapan. Timur yang sebenarnya adalah apa yang terdapat di balik langit yang
kelihatan ini, dan yang di atasnya, maka batas antara Timur dan Barat bukanlah falak
bulan, sebagaimana dalam filsafat Aristotelian, tetepi ia adalah langit bintang-bintang
yang tetap, atau penggerak yang tidak bergerak.

D. PENGARUH PEMIKIRAN SUHRAWARDI


Iluminisme suhrawardi telah membuka jalan bagi suatu dialog dengan wacana-
wacana dan upaya-upaya modern untuk mencarikan tempat pengalaman religius atau
mistik dalam dunia ilmiah. Usaha suhrawardi dalam mengkombinasikan berbagai aliran
pemikiran, khususnya nalar diskursif dengan intuitif intelektual, ternyata membuka arah
baru dalam perkembangan filsafat islam, faktanya, para filosof muslim setelah
Suhrawardi seperti Ibn Arabi, Mulla Sadra banyak mengikuti metode penggabungan
antara filsafat dengan tasawuf tersebut. Seperti ditulis oleh beberapa peneliti modern,
aliran ini bisa dipandang sebagai suatu sistem pemikiran yang lengkap dan secara ilmiah
rigoris.
Pemikiran suhrawardi yang menggabungkan filsafat dan tasawuf yang mempunyai corak
mistis sekaligus rasionalis ini sebenarnya dipengaruhi oleh beberapa hal;
a. Tasawuf, khususnya sebagaimana yang diungkapkan Al-Ghozali dan Al-Hallaj.
b. Peripatetisme, khususnya pemikiran Ibn Sina, terlihat adanya kombinasi antara
pemikiran Suhrawardi dengan pemikiran para filosof sebelumnya.
c. Neoplatonisme dan pytagireinesme, yaitu paham filsafat Yunani yang bersifat
mistis.
d. Kepercayaan zoroasterian persia akan tetapi Suhrawardi hanya menggunakan
terminologi zoroasterian ini yang dianggap cocok untuk mengungkapkan
pemikiranya, karena zoroasterian mengembangkan suatu sistem pemikiran yang
berbasis perlawanan antara cahaya dan kegelapan, sementara filsafat suhrawardi
juga berbasis kepada hal yang sama.
BAB XIV (PEMIKIRAN FILSAFAT NASIRUDDIN ATH-THUSI)

A. BIOGRAFI SINGKAT NASIRUDDIN ATH-THUSI


Tusi nama lengkapnya adalah Khawaj Nasir al Din abu Ja’far Muhammad ibn
Muhammad ibn Hasan.Nasiruddin Ath-Thusi dikenal sebagai “ilmuwan serba bisa”.
Selama hidupnya, ilmuwan muslim dari Persia itu mendedikasikan diri untuk
mengembangkan berbagai ilmu seperti, astronomi, biologi, kimia, matematika,
filsafat, kedokteran, hingga ilmu agama Islam.

Ia lahir pada 18 Februari 1201 M/597 H di kota Thus yang terletak di dekat
Meshed, sebelah Timur laut Iran. Nama ayahnya Muhammad bin Hasan, yang
mendidik Thusi sejak pendidikan dasar. Nashiruddin Al-Thusi menguasai dua bahasa
dengan baik, bahasa arab dan bahasa persia. Dia juga menulis dengan dua bahasa
tersebut. Nashiruddin Al-Thusi dapat dikatakan sebagai orang yang bisa mewakili dua
budaya-budaya arab dan budaya persia dengan tingkat penguasaan yang sama.

B. KONDISI MASYARAKAT, PENDIDIKAN, GURU-GURU DAN MURID-


MURID
Nasiruddin lahir pada awal abad ke-13 M ketika dunia Islam tengah
mengalami masa sulit. Nasiruddin pun tak dapat mengelak dari konflik yang melanda
negerinya. Sejak kecil, Nasiruddin di gembleng ilmu agama oleh ayahnya yang
berprofesi sebagai seorang ahli hukum di Sekolah Imam Kedua Belas. Nasiruddin
mempelajari fiqih, ushul, hikmah dan kalam, terutama isyarat-nya Ibnu Sina, dari
MahdarfariduddinDamad, dan matematika dari Muhammad Hasib di Nishapur. Dia
kemudain pergi ke Baghdad. Disana dia mempelajari ilmu pengobatan dan filsafat
dari Qutbuddin, matematika dari Kamaluddin bin Yunus dan Fiqih serta Ushul dari
Salim bin Badran.

Pada tahun 1220 M, invasi militer Mongol telah mencapai Thus dan kota
kelahiran Nasiruddin pun dihancurkan. Ketika situasi keamanan tak menentu,
penguasa Ismailiyah Nasiruddin ‘Abdurrahim mengajak sang ilmuwan itu untuk
bergabung. Nasiruddin pun bergabung menjadi salah seorang pejabat di Istana
Ismailiyah. Nasiruddin mengisi waktunya untuk menulis beragam karya penting
tentang logika, filsafat, matematika, serta astronomi. Karya pertamanya yaitu
kitab Akhlaq-i Nasiri yang ditulisnya pada 1232 M.

Pasukan mongol yang dipimpin Hulagu-Khan cucu Chinggis Khan pada tahun
1251 M akhirnya menguasai Istana Alamut dan meluluhlantakkannya. Nyawa
Nasiruddin selamat, karena Hulagu ternyata sangat menaruh minat terhadap ilmu
pengetahuan. Dia pun diangkat Hulagu sebagai penasihatdi bidang ilmu pengetahuan.
Meskipun telah menjadi penasihat pasukan Mongol, Nasiruddin tak mampu
menghentikan ulah dan kebiadaban Hulagu Khan yangmembumihanguskan kota
metropolis intelektual dunia, Baghdad pada tahun 1258 M.
Halugu sangat senang sekali, ketika Nasiruddin mengungkapkan rencananya untuk
mebangun observatorium di Margha, Azarbaijan pada tahun 657 H/1259 M yang
dilengkapi dengan alat-alat yang baik. Di sini dia menyusun tabel-tabel astronominya,
yang disebut Zij Al-Ikhani yang ditulis dalam bahasa Persia dan diterjemahkan
kedalam Bahasa Arab yang menjadi terkenal diseluruh Asia bahkan sampai ke China.
Pada akhir abad ke-7 H/ke-13 M, observatium juga penting dalam tiga hal lainnya.
ObservatiumMargha ini mulai beroprasi pada tahun 1262 M. Pembangunan tersebut
melibatkan sarjana dari Persia dan China.

Nasiruddin juga nerhasil menulis kitab terkemuka lainnya yang berjudul At-
Tadhkirafi’ilm Al-hay’a. Ditempat itu Nasiruddin tidak Cuma mengembangkan
bidang astronomi saja, dia pun turut mengembangkan matematika serta filsafat.
Nasiruddin meninggal dunia tahun 672 H/1274 M di Baghdad di bawah pemerintah
Abaqa(pengganti Hulagu) yang masih mendapat dukungan sampai akhir hayat.

C. KARYA-KARYA NASIRUDDIN ATH-THUSI

1. Karyanya di bidang logika di 4. Di bidang Teologi/dogma :


antaranya :
a. Tajrid Al’ Aqa’id
a. Asas Al-Iqtibas.
b. Qawa’id Al-‘aqa’id
b. At-Tajridfi Al-Mantiq.
c. Risalah-I I’tiqadat
c. Syarh-i Mantiq Al-Isyarat.
5. Di bidang astronomi
2. Di bidang metafistik meliputi :
a. Al-Mutawassitah Bain Al-
a. Risalah dar Ithbat I Wajib. HandasawalHai’a

b. Itsat-I Jauhar Al-Mufariq b. Kitab At-Tazkirafial’Ilmal- hai’a

c. Risalah dar Wujud –I Jauhar-I c. Tahzir Al-Majisti

d. Mujarrad 6. Di bidang Aritmatika, geometri,


dan trigonometri:
e. Risalah dar Itsbat-I ‘aql-I Fa’al
a. Al-Jabar wa Al-Muqabala
3. Di bidang etika :
b. Al-Ushul Al-Maudua
a. Akhlak-I Nashiri
c. Tahrir AL-Ushul
b. Ausaf Al-Asyraf

D. PEMIKIRAN FILSAFAT NASIRUDDIN ATH-THUSI

 Tuhan : Thusi dalam karyanya Tashawwurat melakukan suatu upaya


perujukan secara setengah hati antara Aristoteles dan Ibnu Miskawaih. Dia
memulai dengan mengecam doktrin creatioexnihilo. Thusi mengemukakan
bahwa dunia ini kekal karena kekuasaan Tuhan yang menyempurnakannya,
meskipun dalam hak dan kekuatannya sendiri, ia tercipta (muhadats).
Thusi berpandangan bahwa refleksi Tuhan sepadan dengan penciptaan dan
merupakan hasil dari kesadaran diri-Nya. Akan tetapi dalam Fhusul dia
meninggalkan sikap itu sepenuhnya. Dia menganggap Tuhan sebagai pencipta
yang bebas dan menumbangkan teori mengenai penciptaan karena desakan.
Jika Tuhan mencipta karena Dia butuh mencipta. Thusi mengemukakan berarti
tindakan-Nya tentu berasal dari esensi-Nya. Dengan begitu jika satu bagian
dari dunia ini menjadi tak maujud esensi Tuhan itu tentu juga menjadi tiada
karena penyebab keberadaannya itu ditentukan oleh ketiadaan bagian lain dari
penyebabnya. Karena semua yang ada itu bergantung kepada perlunya Tuhan,
ketiadaan mereka akhirnya menjadikan ketiadaan Tuhan sendiri.

 Agama : Dalam pemikiran agama, Nashiruddin Al-Thusi mengadopsi ajaran-


ajaran Neoplatonik Ibnu Sina dan Suhrawardi, dimana keduanya menyebutkan
bahwa demi alasan-alasan taktis, “orang bijak” (hukuma) bukan sebagai filsuf.
Nashiruddin Al-Thusi sendiri berpendapat bahwa eksistensi Tuhan tidak bisa
dibuktikan, namun sebagaimana doktrin Syiah, manusia membutuhkan
pengajaran yang otoritatif, sekaligus filsafat.
Dalam pemikiran politik, Nashiruddin Al-Thusi cenderung menyintesiskan
ide-ide Aristoteles dan tradisi Iran. Ia menggabungkan filsafat dengan genre
nasihat kepada raja, sehingga ia tetap memelihara hubungan antara Syiah dan
filsafat. Buku etiknya disajikan sebagai sebuah karya filsafat praktis. Karya
tersebut membahas persoalan individu, keluarga, serta komunitas kota,
provinsi, desa, atau kerajaan.

Nashiruddin Al-Thusi bermaksud menyatukan filsafat dan fiqih berdasarkan


pemikiran bahwa perbuatan baik mungkin saja didasarkan atas fitrah atau adat.
Fitrah memberikan manusia prinsip-prinsip baku yang dikenal sebagai
pengetahuan batin dan kebijaksanaan. Sedangkan adat merujuk kepada
kebiasaan komunitas, atau diajarkan oleh seorang nabi atau imim, yaitu hukum
Tuhan, dan ini merupakan pokok bahasan fiqih.

 Filsafat Jiwa : Thusi berasumsi bahwa jiwa merupakan suatu realitas yang
bisa terbukti sendiri dan karena itu tidak memerlukan lagi bukti lain. Jiwa
merupakan substansi sederhana dan immaterial yang dapat merasa sendiri. Ia
mengatur tubuh melalui otot-otot dan alat perasa, tetapi ia sendiri tidak dapat
dirasa. Thusi menambahkan dua argumentasinya sendiri. Penilaian atas
logika, fisika, matematika, teologi dan sebagainya, semua ada didalam satu
jiwa tanpa tercampur baur.

Ath-Thusi menambahkan jiwa imajinatif yang menmpati posisi tegah antara


jiwa hewani dan manusiawi. Jiwa manusiawi ditandai dengan adanya akal
yang menerima pengetahuan dari akal pertama. Akal itu ada dua jenis, teoritis
dan praktis.
 Metafisika : Menurut Thusi metafisika terdiri dari dua bagian, ilmu
ketuhanan, dan filsafat pertama. Pengetahuan tentang Tuhan, akal dan jiwa
merupakan ilmu ketuhanan dan pengetahuan mengenai alam semesta dan hal-
hal yang berhubungan dengan alam semesta merupakan filsafat pertama.
Pengetahuan tentang kelompok-kelompok ketunggalan dan kemajemukan,
kepastian dan kemungkinan esensi dan eksistensi, kekekalan dan
ketidakkekalan juga membentuk bagian dari filsafat pertama.
BAB XV (PEMIKIRAN FILSAFAT MULLA SHADRA)

A. BIOGRAFI MULLA SHADRA (1571-1640 M.)

Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ibrahim bin Yahya al-Qawamial-


Syirazy, yang bergelar ‘Shadral-Din’ dan lebih popular dengan sebutan Mulla Shadra
atau Shardal-Muta’alihin, dan dikalangan murid-murid serta pengikutnya disebut
‘Akhund’. Dia dilahirkan di Syiraz sekitar tahun 979-80 H/ 1571-72 M dalam sebuah
keluarga yang cukup berpengaruh dan terkenal, yaitu keluarga Qawam. Ayahnya
adalah Ibrahim bin Yahya al-Qawamial-Syirazy salah seorang yang berilmu dan
saleh, dan dikatakan pernah menjabat sebagai Gubernur PropinsiFars. Secara sosial-
politik, ia memiliki kekuasaan yang istimewa di kota asalnya, Syiraz.

Pendidikan formal Mulla Shadra tampaknya telah mempersiapkan dirinya


untuk mengemban tugas yang maha besar ini. Mengikuti penjelasannya sendiri
dalam Al-Asfhar Al-Arba’ah, para sejarawan membagi biografi Mulla Shadra ke
dalam tiga periode: Periode pertama, pendidikan formalnya berlangsung di bawah
guru-guru terbaik pada zamannya. Tidak sama seperti filosof lainnya, dia menerima
pendidikan dari tradisi Syiah: fiqihJa’fari, ilmu hadis, tafsir dan syarah Al-Qur’an di
bawah bimbingan Baha‘uddinal-‘amali (w. 1031 H/1622 M), yang meletakkan dasar
fiqih-baru Syi’ah. Selanjutnya ia belajar pada filosof peripatetikMirFenderski (w.
1050 H/1641 M) namun gurunya yang utama adalah teolog-filosof, Muhammad yang
dikenal sebagai MirDamad (1041 H/1631 M). Damadnampaknya merupakan pemikir
papan atas yang mempunyai orisinilitas dan juga dijuluki Sang Guru Ketiga (setelah
Aristotles dan Al-Farabi)[2][2] . Tampaknya, ketika Mulla Shadra ini muncul, filsafat
yang ada, dan yang umumnya diajarkan, adalah tradisi neoplatonik-peripatetik Ibn
Sina dan para pengikutnya. Pada abad ke 6 H/ke 12 M, Suhrawardi telah melakukan
kritik terhadap beberapa ajaran dasar parepatetisme. Ialah yang meletakkan dasar-
dasar bagai filsafat Illuminasionis yang bersifat mistis (Hikmat al-Isyraq).

Setelah menyelesaikan pendidikan formalnya, Mulla Shadra terpaksa


meninggalkan Isfahan, karena kritik sengit terhadap pandangan-pandangannya dari
Syi’ah dogmatis. Dalam pereode kedua, dia menarik diri dari khalayak dan
melakukan uzlah di sebuah desa kecil dekat Qum. Selama pereode ini, pengetahuan
yang diperolehnya mengalami kristalisasi yang semakin utuh, serta menemukan
tempat dalam mengasah kreativitasnya. Beberapa bagian dari Al-Asfar al-
Arba’ah disusunnya pada pereode ini. Dalam pereode ketiga, dia kembali mengajar di
Syiraz, dan menolak tawaran untuk mengajar dan menduduki jabatan di Isfahan.
Semua karya pentingnya dia hasilkan dalam pereode ini. Dia tidak berhenti untuk
menghidupkan semangat kontemplatifnya dan juga melakukan praktekasketis -
sebagaimana disebutkan dalam karyanya- sehingga beberapa argument filosofisnya
dia peroleh melalui pengalaman-pengalaman visionernya (mukasyafah)

Dengan demikian, sistem pemikiran Mulla Shadra yang khas tumbuh, yang
kelihatannya benar-benar berbeda dari situasi intelektual dan spiritual pada masanya.
Kesalehannya terhadap agama dapat ditunjukkan antara lain oleh kenyataan bahwa ia
dikatakan meninggal di Basrah pada 1050 H/1641 M saat pulang menunaikan ibadah
haji yang ketujuh kalinya.
B. KARYA KARYA MULLA SADRA

Mulla Shadra menulis sekitar 50 buku, 32 diantaranya berbentuk risalah. Yang


terbesar sekaligus merupakan magnumopus-nya adalah al-Hikmah al-Muta’aliyahfial-
Asrar al-Aqliyah al-Arba’ah (Hikmah Agung tentang Empat Perjalanan Akal). Karya
ini pertama kali terbit tahun 1873 M. terdiri dari 4 jilid besar. Bagian I membahas
tentang soal ontologi, baian II menguraikan substansi dan aksidensi, bagian III
menjelaskan tentang Tuhan dan sifat-sifatnya, bagian IV menguraikan manusia dan
nasibnya.

Karya yang lain diantaranya, al-Hikmah al-Arsyiyah (tentang Tuhan dan


eskatologi), Risalah fiittihadal-aqilwaal-Ma’qul (soal epistemologi), Ta’liqat ala
Syarh Hikmah al-Isyraq (komentar terhadap filsafat iluminatif), Ta’liqat ala Ilahiyyat
Kitab al-Syifa’I (komentar terhadap kitab Asyifa’ Ibnu Sina), Risalah al-
Mazaj (tentang psikologi), Mafatihal-Ghaib (tentang doktrin gnostik), hudus Al-‘alam
(penciptaan Alam),Kasr Al-Asnam Al-JahiliyahFiDaimni Al-Mutawasifin, kolqal-
a’mal, Al-A’mal, Al-Lama’ah Al- masyriqiyyahfi Al-funun Al-Mantiqiyyah (percikan
cahaya illuminasionis dalam seni logika), Al-mabda’ wa Al-Ma’ad (permulaan dan
pengembalian), mofatih Al-Gaib (kunci alam gaib), Kitab Al- masya’ir (kitab
penembus metafisika), Al-Mizaj (tentang prilaku perasaan), mutasyabihat Al-
Quran (ayat-ayat mutasyabihat dalam al-quran), Al-qada wa Al-QadarfiAf’ali Al-
basyar (kada dan kadar dalam perbuatan manusia), Asy-syawahid Ar-Rububiyahfi Al-
Manhij As –Suluqiyah(penyaksian illahi akan jalan kearah kesederhanaan
rohani), sarh-i Safa, Sarh-i Hikmah Al-isra, Attihad Al-‘aqqu’ilwa Al-ma’qul, Ittisaf
Al-Mahiyyahbil Wujud, at – tasakhkhus, Sarayan Nur Wujud, limmi’yyaIkhtisas Al-
Mintaqah, Khalq Al-A’mal, Zad Al-Musafir, Isalat –i Ja’l – i wujud, Al – hasriyyah,
Al-alfaz Al – Mufradah, Radd-i Subahat-i Iblis, At-Tanqih, At- Tasawurwa At-Tasdiq,
Diwan Sih’r.

C. FILSAFAT MULLA SADRA

a. Kehakikian Eksistensi (al-ashâlahal-wujud)

Sesudah Suhrawardi, sejarah tradisi filsafat berlanjut pada arah yang sama,
memunculkan prestasi lain yang juga bersifat fundamental seperti prestasi
sebelumnya. Seperti unculnya satu jenis filsafat Eksistensialime Islam, yang
secara resmi di sebut dengan ashalatal- wujud. Pendiri mazhab filsafat ini adalah
Shadral- Dien Syirazi (Mulla Sadra) yang menyebut metodologi
pemikirannya metafilsafat (al- Hikmat al-Muta’aliyah)

b. Gradasi Wujud (tasykikal-wujud)

Mulla Shadra berpendapat bahwa semesta ini bukan hanya ilusi tetapi benar-benar
mempunyai eksistensi sama seperti eksistensi Tuhan. Namun demikian Shadra
tidak menyimpulkan sebagai wahdatal-wujud, tetapi mengajukan tasykikal-
wujud sebagai solusinya, yakni eksistensi itu mempunyai gradasi yang kontinu.
Jelasnya, menurut Sadra, dari ada Mutlak hingga Tiada Mutlak terdapat gradasi
“ada-ada nisbi” yang tidak terhingga. Dengan kata lain, realitas ini terbentang dari
kutub Tiada Mutlak sampai kutub Ada Mutlak dengan perbedaan tingkat kualitas
dan intensitasya. Inilah pandangan kesatuan realitas versi Mulla Shadrayang
disebut “Hikmah al-Muta’aliyah”. Menurut ArhamediMazhar, pandangan ini
merupakan sintesa besar antara teologi, filsafat dan mistik

c. Gerak Subtansial (al-harakah al-jauhariyah)

Teori Gerak Subtansial (al-harakah al-jauhariyah), adalah sumbangan orsinil


Mulla Shadra terhadap filsafat Islam. ajaran ini merupakan uraian lebih lanjut dari
pandangan Sadra bahwa gradasi wujud tidak bersifat statis tetapi dinamis,
bergerak dari eksistensi tingkat rendah menuju eksistensi tingakat tinggi. Mulla
Shadramemperlihatkan bahwa berdasarkan prinsip-prinsip Aristotalion tentang
materi dan bentuk, harus diterima bahwa substansi alam semesta senantiasa
bergerak, tidak pernah terdapat kekonstan sesaat dan keseragaman bentuk dalam
substansi alam. Aksiden-aksiden (yaitu sembilan kategori yang lain), sebagai
fungsi dan substansi, juga berada dalam gerak. Menurut Mulla Shadra, alam sama
dengan gerak, dan gerak sama dengan penciptaan dan pemusnahan yang tidak
henti-henti dan berjalan terus menerus.

d. Filsafat Jiwa

Mulla shadra sebagaimana Aristoteles mendefinisikan jiwa sebagai Entelenchy


badan. Oleh sebab itu tidak bersifat abadi dalam arti bermula, jiwa itu tidak dapat
dipisahkan dan bebas dari materi . untuk menyatakan bahwa itu terpisah dan bebas
dari materi hanyalah dengan menyakini adanya praeksistensi jiwa. Pada saat yang
bersamaan Mulla shadra menolak pandangan ibn Sina yang menyatakan bahwa
jiwa adalah sebuah konsep Realisional dan bukan merupakan sesuatu yang
bersifat substantif. Bila jiwa sejak lahir berada dalam satu materi, kejiwaannya
tidak dapat diartikan sebagai suatu relasi dimana seolah-olah jiwa memiliki
eksistensi bebas, maka tidak mungkin untuk meyatukan jiwa dengan badan.

e. Filsafat pengetahuan atau Epistimologi

Mulla Sadra menetapkan tiga jalan utama untuk mencapai kebenaran atau
pengetahuan : jalan wahyu, jalan inteleksi (ta’aaqul), dan jalan musyahdah dan
mukasyafah (jalan penyucian kalbu dan penyingkaban mata hati) dengan
menggunakan istilah lain. Mulla sadra menyebut jalan tersebut sebagai jalan al-
Quran, jalan Al-Burhan, dan jalan Al-irfan. Istilah husuli (konseptual)tersebut
merupakan kunci penting memahami teori pengetahuan mulla sadra . dalam teori
pengetahuannya, Mulla sadra membagi pengetahuan menjadi dua jenis :
pengetahuan husuli atau konseptual dan pengetahuan atau ilmu huduri. Bentuk
pengetahuan ini menyatu dalam diri seseorang yang telah mencapai pengetahuan
berperingkat tinggi. Bangunan epistimologi mulla sadra berkaitan erat dengan
idenya tentang wahdah (unity), asalah (principality), tasykik (gradation) dan ide
perubahan substantif. Menurut sadra wujud atau realitas itu hanyalah satu yang
membentuk hierarki dari debu hingga singgasana illahi. Tuhan sendiri adalah
wujud mutlak yang menjadi titik wujud permulaan itu, dengan demikian Tuhan
adlah transenden vis-a-vis rantai wujud.

f. Filsafat ketuhanan (metafisika)

Gagasan mulla sadra tentang tuhan berbeda dengan gagasan ketuhanan yang
dimiliki oleh Al-Farabi dan ibnu Sina. Mulla sadra berpendapat bahwa
ketidakbutuhan dan kesempurnaan esensi tuhan tak cukup dengan menegaskan
kekadiman dan kemanunggalan esensi tuhan dan wujud. Dalam
pandangannya teori bahwa tuhan yang merupakan wujud murni dan basit, bukan
dalil atas keniscayaan dan ketidakbutuhan mutlak tuhan. Teori ini tak lain
menegaskan bahwa maujud yang terasumsi merupakan maujud hakiki, bukan
maujud majasi.

D. PENGARUH FILSAFAT MULLA SHADRA

Pengaruh mulla shadra pada masanya sangat terbatas dan mahzabnya hanya
mempunyai sedikit pengikut. Ajaran sadra menyebar secara gradual terutama berkat
komentar-komentarnya terhadap karya ibnu sina dan Ashuhawardi yang menarik
perhatian para pengikut mazhab Peripatetikme (logika” aristoteles) dan
Illuminasionisme

Tokoh penting pertama mazhab mulla shadra yang sebenarnya, yang telah
mencetak sejumlah murid yang handal aktif adalah mullah’ali Nuri (wafat 1246)
sementara itu Asytiyani memproklamasikan diri sebagai pengikut terbesar dan
terbaik dikalangan para komentator shadra.

Mulla sadra bukan sekedarafilusuf terkenal selama enam abad terakhir. Bagi
sebagian orang ia telah dianggap setara dengan ibnu sina dan Al-Farabi bahkan
melampaui keduanya. Meskipun ia menguasai semua mazhab filsafat pada zamannya
(peripatetik, iluminasionisme, teologi islam, dan irfan) ia tak pernah secara total
dipengaruhi dan meretas pada mazhab filsafatnya sendiri, filsafat transenden (al-
hikmah almuta’aliyah). Ia mengkritik semua titik lemah yang disuguhkan oleh filusuf
agung sebelumnya dan mencoba menyajikan sejumlah pemecahan filsufis atas
masalah-masalah tersebut.

Hal itu membuktikan bahwa mulla sadra merupakan seorang filsuf muslim
yang cukup produktif , kreatif, dan orisinal dengan karyanya yang begitu banyak
mencakup berbagai bidang pemikiran islam yang ditulis, baik dengan bahasa arab
maupun dengan bahasa Persia. Dari semua karyanya Al-hikmah L-muta’aliyahfi asfar
Al-Arba’ah merupakan karyanya yang terbesar.

Pengaruh pemikirannya merambah keberbagai belahan dunia islam lainnya,


seperti Iran, Irak, India, dan Pakistan. Al- Maududi menerjemahkan secara khusus
kitab Al-Asfar Mulla sadra. Terakhir, pemikir islam yang konser terhadap filsafat
Mulla Shadra adalah Fazlur rahman dengan bukunya The philosophy of mulla sadra.

Anda mungkin juga menyukai