Secara historis, perkembangan filsafat dalam Islam dapat dikatakan dimulai oleh
pengaruh kebudayaan Hellenis, yang terjadi akibat bertemunya kebudayaan Timur
(Persia) dan kebudayaan Barat (Yunani). Pengaruh ini dimulai ketika Iskandar Agung
(Alexander the Great) yang merupakan salah satu murid dari Aristoteles berhasil
menduduki wilayah Persia pada 331 SM. Alkulturasi kebudayaan ini mengakibatkan
munculnya benih-benih kajian filsafat dalam masyarakat Muslim di kemudian hari.
Penerjemahan literatur-literatur keilmuan dari Yunani dan budaya lainnya ke dalam
bahasa Arab secara besar-besaran di era Bani Abbasiyah (750-1250an M) dapat
dikatakan memberi pengaruh terbesar terhadap kemunculan dan perkembangan kajian
filsafat Islam klasik. Peristiwa tersebut kemudian menjadikan periode ini sebagai
zaman keemasan dalam peradaban Islam. Ini sekaligus menunjukan keterbukaan umat
Muslim terhadap berbagai pandangan yang berkembang saat itu, baik dari para
penganut keyakinan monoteis lainnya, seperti kaum Yahudi yang mendapat posisi
penting saat itu di negeri-negeri Islam (Ravertz, 2004: 20), hingga kaum Pagan, yang
terlihat dari ketertarikan umat Muslim terhadap literatur bangsa Yunani Kuno yang
mana sering diidentikan dengan ritual-ritual Paganisme.
Pasca kematian Ibn Rusyd pada abad ke-12 M, kajian-kajian peripatetik dalam filsafat
Islam mulai meredup.
Secara keseluruhan filsafat Yunani dan filsafat Islam memegang peranan yang
besar dalam membentuk peradaban dunia. Sebab filsafat Yunani adalah peletak batu
pertama kemunculan usaha intelektualitas dalam memahami fenomena alam baik
yang mikro maupun yang makro. Sedangkan filsafat Islam mengembangkan,
mereformulasi, mengarahkan, dan mensistemasi serta menurunkannya ketataran
praktis hingga melahirkan peradaban cemerlang.
Umat Islam, pada puncak peradabannya sama sekali tidak menentang ilmu
pengetahuan, bahkan menguatkan dan mendorong perkembangan ilmu pengetahuan,
termasuk filsafat. Umat Islam senantiasa membuka diri bagiberbagai macam pendapat
dan aliran. Hal ini karena Islam sebagai agama yang selalu mengajak untuk
memikirkan, menganalisa dan mengarahkan pandangan kepada bukti-bukti yang ada
di langit dan di bumi, bukan sebaliknya mengharamkan dan mempersempit kebebasan
berpikir.
Kendati Islam sudah dikenal oleh dunia sejak awal abad VII masehi, namun
filsafat dikalangan kaum Muslimin baru dimulai pada abad VIII. Hal ini
disebabkan karena pada abad pertama perkembangan Islam tidak terdapat isme-
isme atau paham-paham selain wahyu. Di kalangan kaum muslimin filsafat
dianggap berkembang dengan baik mulai abad IX masehi sampai abad XII.
Keberadaan filsafat pada masa ini juga menandai masa kegemilangan dunia Islam,
yaitu selama masa Daulah Abbasiyah di Baghdad (750-1258) dan Daulah
Amawiyah di Spanyol (755-7492). Menurut Hasbullah Bakry, istilah skolastik
Islam jarang dipakai dalam Khazanah pemikiran Islam. Istilah yang sering dipakai
adalah ilmu kalam atau filsafat islam.
Negara Mesir atau timur dekat telah lama memiliki peradaban yang tinggi, dimana
Eropa pada saat ini masih berada dalam lingkungan kegelapan. Setelah peradaban
timur dekat (Mesir) runtuh, barulah muncul kebudayaan Yunani yang selanjutnya
mempunyai pengaruh yang sangat besar diseluruh Eropa, bahkan juga dibidang
pemikiran filsafat berpengaruh di seluruh dunia. Peradaban tua dari Mesir itu sudah
berkembang kira-kira 3000 tahun sebelum Masehi. Orang-orang Mesir telah
berpikir tentang asal segala sesuatu yang maujud, yaitu “RA”. Dialah pokok dari
segala yang ada dan dapat mengadakan segala apa yang dikuasainya, karena Ia
adalahTuhan Yang Maha Kuasa. Jadi orang Mesir telah Iebih dahulu mendapati
apa yang didapati Plato dalam tempo 25 abad sebelumnya (Abbas, 1984: 122).
2) Filsafat India
Negeri Persia merupakan kerajaan besar di dunia semenjak lahirnya agama Islam,
dimana seorang Kisro Persia (Chosru II) pernah mencemooh dan mengoyak-oyak
surat da’wah Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, dengan
kesombongannya. Umat Islam menyerbu kerajaan besar itu sejak zaman
KhalifahAbu Bakar As-Shiddiq yang dipimpin seorang panglima yang masyhur
yaitu Khalid bin Walid. Akan tetapi Persia baru dapat ditaklukkan umat Islam pada
masa kholilahUmar bin Khathabdengan kemenangan yang sangat gemilangdan
dikenal denganfathul futuhyaitu pada tahun 21 H (Syalabi, 1974: 245).
Dengan masuknya wilayah Persia ke dalam daulah Islamiah itu, maka banyak pula
unsur-unsur kebudayaan ataupun alam pikiran Persia yang mempengaruhi umat
Islam pada kurun waktu selanjutnya.
4) Filsafat Yunani
Semua ahli sepakat bahwa sumber utama filsafat Islam adalah filsafat Yunaniyang
telah berkembang sejak abad ke enam sebelum Masehi. Para filosof muslim
banyak yang mengambil pikiran Plato dan Aristoteles, demikian pula banyak teori-
teori filsafat Plotinus yang diambil dan diolah oleh mereka. Maka dalam hal ini
dibenarkan bahwa para filosof muslim berhutang budi pada orang Yunani,
demikian pula dapat dibenarkan bahwa para filosof modern di Barat berhutang
budi kepada umat Islam.Hal ini disebabkan karenarenaissanceyang menjadi embrio
lahirnya filsafat modern di Barat merupakan pengaruh pemikian rasional para
filosof muslim seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd dan lain sebagainya. Jadi filosof
muslim merupakan mata rantai yang sungguh berarti dalam kelangsungan
perkembangan alam filsafat dalam sejarah umat manusia hingga dewasa ini.
BAB II (PEMIKIRAN FILSAFAT AL-KINDI)
Al-Kindi adalah filosof muslim Arab pertama yang merintis jalan bagi masuknya
filsafat ke dunia Islam, beliau salah satu filosof Arab asli keturunan rajaraja Yaman di
Kindah. Al-Kindi menghasilkan banyak karya, sehingga menurut Ibnu Nadim,
seorang pustakawan ternama,mengatakan 241 karya Al-Kindi , sudah diterjemahkan
ke dalam bahasa latin. Al-Kindi lahir pada puncak kemajuan intelektual dan
sosialpolitik Bani Abbasiyah, antusiasme pemerintah terhadap kegiatan penerjemahan
tercermin dari besarnya imbalan yang diberikan untuk sebuah karya terjemahanoleh
pemerintah.
Penulisan filsafat secara sistematis dalam sejarah Islam baru dimulai pada abad IX .
Sebelumnya, kegiatan filosofis hanya berkisar pada penterjemahan karya-karya
filsafat Yunani. Mungkin juga sedikit wisata ensiklopedi-filosofis oleh sejumlah
penterjemah terkemuka,seperti Humain Ibn Ishaq dan Qustha Ibn Luqa , konon kedua
orang ini berjasa menyusun berbagai risalah kefilsafatan yang beberapa diantaranya
masih ada dalam bahasa Arab.
Al-Kindi dilahirkan di Kuffah, beliau memiliki nama lengkap Abu Yusuf Ya’kub Ibn
Ishaq Sabbah Ibn Ismail Al-Ash’ats Ibn Qais (180-260 H/769-873 M),adalah filosof
muslim pertama. Nama Al-Kindi dinisbahkan pada salah satu suku besar Arab pra-
Islam, yakni Kindah. Kakeknya, Al-Ash’ats Ibn Qais, adalah salah seorang muslim
dan bahkan dianggap sebagai salah satu sahabat Nabi SAW., sementara ayahnya,
Ishaq As-Sabbah adalah gubernur Kuffah ketika Daulah Abbasiyah diperintah oleh
Al-Mahdi dan Harun Al-Rasyid, ayahnya meninggal ketika ia masih usia kanak-
kanak, namun ia tetap memperoleh kesempatan untuk menuntut ilmu yang baik.
Untuk lebih jelasnya dibawah ini dikemukakan beberapa karya tulis Al-Kindi sebagai
berikut :
Fi Al-Falsafah al-ula
Fi al-qaul fi nafsih
Fi ‘il ‘aql
Sementara dalam risalah Al-Kindi yang khusus memaparkan bagian permulaan dari
disiplin filsafat, Al-Kindi mengemukakan enam defenisi filsafat yang seluruhnya
bercorak Platonis. Menurut Al-Kindi Filsafat adalah ilmu tentang hakikat sesuatu
dalam batas kesanggupan manusia yang meliputi ilmu ketuhanan, ilmu keesaan
(wahdaniyyah), ilmu keutamaan (fadhilah) dan kajian apapun yang berguna bagi
kehidupan manusia. Al-Kindi juga berpandangan bahwa tujuan para filosof dalam
berteori adalah mengetahui kebenaran yang kemudian ditindaklanjuti dengan amal
perbuatan dalam tindakan, semakin dekat manusia pada kebenaran, akan semakin
dekat pula pada kesempurnaan (Basri,2013).
Filsafat, menurut Al-Kindi adalah batas mengetahui hakikat suatu sejarah batas
kemampusn manusia. Tujuan filsafat dalam teori adalah mengetahui kebenaran, dan
dalam praktik adalah mengamalkan kebenaran/kebajikan. Filsafat yang paling luhur
dan mulia adalah filsafat pertama (Tuhan), yang merupakan sebaba (‘illah) bagi setiap
kebenaran/realitas. Oleh karena itu, filosof yang paling sempurna dan mulia harus
mampu mencapai pengetahuan yang mulia itu. Mengetahui ‘illah itu lebih mulia dari
mengetahui akibat/ma’mul-nya, karena kita hanya mengetahui sesuatu dengan
sempurna bila mengetahui ‘illah-nya. Pengetahuan tentang ‘illah pertama merupakan
pengetahuan yang tersimpul mengenai semua aspek lain dari filsafat. Dia, ‘illah
pertama, Tuhan, adalah paling mulia, awal dari jenis, awal dalam tertib ilmiah, dan
mendahului zaman, karena dia adalah ‘illah bagi zaman (Syam, 2010:47).
Al-Kindi (Basri, 2013) dalam karyanya Kammiyah Kutub Arsithateles memaparkan
perbedaan antara doktrin agama dan filsafat sebagai berikut :
1) Filsafat merupakan bagian dari humaniora yang dicapai para filosof melalui
proses panjang pembelajaran, sedangkan agama adalah ilmu ketuhanan yang
menempati tingkatan tertinggi karena diperoleh tanpa proses pembelajaran dan
hanya diterima secara langsung oleh para Rasul melalui prosespewahyuan.
2) Jawaban filsafat menunjukkan ketidakpastian dan memerlukan perenungan yang
mendalam. Sedangkan agama lewat kitab suci memberikan jawaban yang pasti
danmeyakinkan.
3) Filsafat menggunakan metode Logika, sedangkan agama mendekati persoalan
manusia dengankeimanan.
Al-Kindi merupakan filosof Islam pertama yang menggagas bukti rasional- filosofis
tentang Tuhan. Ia menunjukkan eksistensi Tuhan melalui argumentasi kebaruan atau
dalil al-haudust. Menurut Al-Kindi, alam semesta betapa pun luasnya adalah terbatas
dan segala yang terbatas tidak mungkin tidak mempunyai awal yang tidak terbatas.
Dengan kata lain, alam mesti mempunyai titik awal dalam waktu. Betapapun jauhnya
ia dirunut, kebelakang, ia harus mulai dalam titik temporal tertentu, dan tidak
mungkin surut ke belakang secara tak terhingga atau tasalsul (Zaprulkhan, 2014:26).
Al-Kindi dalam persoalan metafisika dimulai dengan penetapan unsur-unsur yang
menyusun materi fisikal. Keseluruhan benda yang dapat ditangkap indera merupakan
juz’iyah (partikular) dari wujud benda dan menurut Al-Kindi yang penting untuk
dibicarakan filsafat bukanlah aspek partikular benda-benda itu, akan tetapi hakikat
yang terdapat dalam benda. Tentu saja pemikiran semodel ini sedikit banyak
dipengaruhi oleh pembagian benda dalam substansi dan aksidensi dalam filsafat
Aristoteles. Jika dalam filsafat Aristoteles, substansi adalah bahan yang tetap dan
aksidensi adalah aspek yang mungkin berubah dari benda, maka Al-Kindi
menyatakan bahwa tiap benda mengandung dua hakikat; hakikat juz’iyah yang
disebutnya sebagai ‘Aniyah dan hakikat kulliyah yang disebut Mahiyah (Basri,2013:
39).
Menurut Al-Kindi Tuhan tidak mempunyai hakikat dalam arti aniah atau mahiah.
Tuhan bukan seperti benda-benda fisik yang dapat ditangkap indera. Tuhan tidak
tersusun dari materi dan bentuk (dari matter dan form). Tuhan juga tidak memiliki
aspek mahiah. Karena Tuhan tidak merupakan genus atau species. Tuhan hanya satu,
dan tidak ada yang serupa dengan Tuhan (Nasution, 1973). Tuhan dalam pemikiran
Al-Kindi adalah al-Haqq al-Awwal dan al-Haqq al- Wahid , Yang benar Tunggal
dan Ia semata-mata satu. Hanya Ialah yang satu, selain dari Tuhan semuanya
mengandung arti banyak.
D. PEMIKIRAN AL-KINDI TENTANG JIWA DAN AKAL
Jiwa dipandang sebagai intisari dari manusia dan filosof-filosof Islam banyak
memperbincangkan hal ini. Menurut Al-Kindi, jiwa atau roh tidak tersusun, tetapi
mempunyai arti penting, sempurna, dan mulia. Substansinya berasal dari substansi
Tuhan dan hubungannya dengan manusia sama dengan hubungan cahaya dengan
matahari. Karena pada hakikatnya bersifat Ilahi dan spiritual, maka jiwa berbeda
dengan tubuh dan bahkan bertentangan dengannya. Potensi-potensi keburukan nafsu
birahi boleh jadi mendorong manusia untuk berbuat keji, tetapi jiwa akan
mengekangnya. Fakta ini membuktikan bahwa Jiwa Rasional yang tetap mengawasi
kecakapan-kecakapan itu berbeda dengan dengan kecakapan-kecakapan tersebut.
Ketika meninggalkan tubuh, jiwa akan bersatu kembali dengan dunai real tempat
cahaya Pencipta terbit (Zaprulkhan, 2014: 27).
Menurut Al-Kindi, jiwa itu kekal dan tidak hancur bersama hancurnya badan. Jiwa
tidak hancur karena substansinya dari Tuhan. Ketika jiwa berada dalam badan, ia
tidak memperoleh kesenangan yang sebenarnya dan pengetahuannya tidak
sempurna. Baru setelah ia berpisah dengan badan, ia akan memperoleh kesenangan
yang sebenarnya dalam bentuk pengetahuan yang sempurna. Setelah berpisah
dengan badan, jiwa pergi ke Alam Kebenaran atau Alam Akal (al-‘alam a-haq, al-
‘alam al-aql) didalam lingkungan cahaya Tuhan, dekat dengan Tuhan, dan dapat
melihat Tuhan. Tempat inilah kebahagiaan abadi yang akan dirasakan oleh jiwa yang
suci. Sedangkan jiwa yang tidak suci, setelah berpisah dengan badan, ia tidak akan
langsung masuk ke Alam kekal, tetapi ia akan mengembara untuk jangka waktu
tertentu untuk membersihkan diri. Mula- mula jiwa bermukim di bulan, kemudian di
Mercuri dan terus ke Falak yang lebih tinggi lagi untuk pembersihan tahap demi
tahap. Setelah jiwa benar-benar bersih, jiwa itu baru memasuki Alam Kebenaran
atau Alam Kekal (Syam, 2010).
Menurut riwayat, ia menguasai betul musik, baik teori maupun praktik, dan
dikatakan sebagai ahli alkemi ( kimia kuno ) sebelum belajar formalnya di bidang
kedokteran. Ia memimpin rumah sakit di Rayy kemudian di Bagdad dan sering
pulang ke Rayy tempat ia meninggal. Rumahnya yang besar di Rayy dan
ditempat-tempat lain di Distrik Jibal Kaspia Selatan menggambarkan bahwa ia
seorang yang kaya. Pengarang kurang lebih dua ratus karya ini diriwayatkan telah
mengajar filsuf/penerjemah Kristen Yacobit, Yahya ibn ‘Adi (893-974 M) dan
disebut sebagai “dokter Islam yang tak tertandingi”.
Ar-Razi belajar ilmu kedokteran kepada ‘Ali ibn Rabbban Ath-Thabari. Ibn An-
Nadim sebagaimana dikutip Fuad Al-Ahwani Ar-Razi belajar kepada Al-Balkhi.
Menurut ibn An-Nadim, Al-Balkhi adalah orang yang banyak melakukan
perjalanan, menguasai filsafat dan ilmu-ilmu kuno. Beberapa orang mengatakan
bahwa Ar-Razi menghubungkan dengan dirinya sendiri buku-buku filsafat Al-
Ballkhi. Kita tak tahu lagi tentang Al-Balkhi ini, bahkan nama lengkapnya pun
kita tidak tahu.
Ar-Razi menulis karya-karya tentang birahi, senggama, ketelanjangan, dan
keberbusanaan, efek-efek mematikan penyakit simoon terhadap kehidupan
binatang, musim gugur dan semi, kebijsanaan sang pencipta, dan alasan
penciptaan binatang buas dan reptil. Salah satu karya nya membela proposisi
bahwa Tuhan tidak campur tangan dalam tindakan makhluk. Karya lainnya
membatah klaim bahwa bumi berputar mengelilingi matahari. Ar-razi membahas
karakter gerak bawan atau gerak intrinsic, per edaan tajam antara fisika
Democritus dan Aristoteles. Ia menulis sejumlah pembahasan mengenai sifat-sifat
materi, dan tentang sebab-sebab kasat mata dari gerak. Paparannya tentang resiko
mengabaikan aksioma-aksioma geometri boleh jadi di tujukan kepada para
pembela kalam ihwal atom-atom tak berdimensi dan karyanya tentang diagonal
bujur sagkar boleh jadi hendak membela atomismenya sendiri dari tuduhan klasik,
yang mula-mula dilancarkan oleh pythagorianisme, bahwa atomisme tidak
memasukan ke tak sebadingan sisi sebuah persegi dengan diagonalnya suatu
tuduhan yang diruntuhkan dengan penerimaan Ar-Razi terhadap ruang kosong dan
penolakannya terhadap ajaran Aristoteles mengenai relativitas ruang. Karena
ruang mutlak Ar-Razi merupakan kontinum Euclidean dan seperti juga materi
menurutnya, tidak mesti tersusun dari kuantum yang diskret dan tak dapat dibagi-
bagi.
Demikian perjalanan singkat seorang dokter yang memiliki jiwa dan pikiran
yang didasarkan pada filsafat. Perpaduan filsafat dan kedokteran menjadikan
kualitas keilmuan Ar-Razi memiliki nilai plus di banding para pendahulunya.
B. PEMIKIRAN AL-RAZI
Al-Razi tidak memiliki sistem filsafat yang teratur, tetapi melihat masa hidupnya,
ia mesti dipandang sebagai pemikir yang tegar dan liberal di dalam islam, dan
mungkin di sepanjang sejarah pemikiran manusia.
Di Antara pemikiran al-Razi, yaitu:
1. Dengan akal
2. Ia menentang kenabian dengan alasan-alasan
3. Ia menentang wahyu
4. Ia menentang kecenderungan berpikir rasional.
5. Ia mengatakan bahwa ruh yang hidup itu abadi tetapi bodoh
6. Menurutnya, materi itu kekal dengan bukti
7. Menurut al-Razi, karena materi menempati ruang, maka ada ruang yang
kekal
8. Menurut al-Razi, waktu itu kekal
9. Ia berpendapat bahwa seorang filosof harus moderat, tidak terlalu
menyendiri, tidak terlalu memperturutkan hawa nafsu.
10. Menurut al-Razi, setelah mati, sesuatupun terjadi pada manusia karena ia tak
merasakan apa-apa lagi
Terhadap pemikiran-pemikiran al-Razi, terdapat tokoh-tokoh yang menentangnya,
Antara lain: Abu al-Qasim al-Balkhi, pimpinan kaum Mu’tazilah di Baghdad tahun
319H/391M yang hidup semasa dengan al-Razi; Syuhaid ibn al-Hasan al-Balkhi yang
meninggal sebelum tahun 329H/940M; Abu al-Hatim al-Razi, salah seorang ahli
dakwah Isma’iliyyah terbesar yang menulis perbedaan-perbedaannya dengan al-Razi
dalam buku “A’lam al-Nubuwwah”. Ia meninggal pada tahun 322H/933M; Ibn
Tammar, seorang tabib yang menolak tulisan al-Razi yaitu “al-Tibb al-Ruhani”; al-
Misma’I, seorang mutakallim yang menulis untuk menentang kaum materialis; Jarir,
seorang dokter yang berteori tentang makan mulberry hitam setelah air labu; al-Hasan
ibn Mubarik al-Ummi, kepadanyalah al-Razi menulis dua buah surat; al-Kayyal,
seorang mutakallim, yang terhadap teorinya tentang iman, menulis sebuah kitab;
Mansur ibn Talhah, yang menulis buku tentang “kemaujudan” yang ditolak oleh al-
Razi; Muhammad ibn al-Lait al-Rasa’ili, yang tulisannya terhadap ahli alkimia
dijawab oleh al-Razi; Ahmad ibn al-Tayyib al-Sarakhasi, senior al-Razi, yang
meninggal tahun 286H/899M.
Abu Nashr Muhamad Ibn Muhamad Ibn Tarkhan Ibn alUzalagh, al-Fārābī
dilahirkan di Wasij Distrik Fārāb (yang juga dikenal dengan nama Otrar) di
Transoxiana (sekarang Uzbekistan), pada tahun (257H/870 M). Dan wafat di
Damaskus pada 950 M. Namun ada yang menyebutkan al-Fārābī wafat pada usia 80
tahun di Aleppo pada 950 M. Di Eropa al-Fārābī lebih dikenal dengan nama
Alpharabius atau Avennasr. Al-Fārābī seorang filosofis Islam berkebangsaan Turki,
lahir di sebuah pedusunan terkenal dengan nama Bousij daerah kelahirannya.
Panggilan al-Fārābī diambil dari nama daerah kelahirannya.
Yang bisa di ketahui tentang soal latar belakang keluarga alFārābī adalah
bahwa ayahnya adalah seorang opsir tentara keturunan Persia (kendatipun nama
kakek dan nama kakek buyutnya jelas menunjukkan nama Turki) ibunya
berkebangsaan Turki. Yang mengabdi kepada pangeran-pangeran Dinasti
Sam‟aniyyah. Barangkali bahwa masuknya keluarga ini ke dalam Islam, terjadi pada
Peristiwa ini kira-kira bersamaan dengan penaklukan dan Islamisasi atas Farab oleh
Dinasti Sama‟niyyah pada 839-840 M.
Sejak kecil, al-Fārābī suka belajar dan ia mempunyai kecakapan luar biasa dalam
bidang bahasa. Bahasa yang dikuasainya antara lain bahasa Iran, Turkestan, dan
Kurdistan, bahkan ada yang mengatakan bahwa al-Fārābī dapat bicara dalam tujuh
puluh macam bahasa, tetapi yang dia kuasai dengan aktif, hanya empat bahasa : Arab,
Persia, Turki, dan Kurdi.
Pada waktu mudanya al-Fārābī pernah belajar bahasa dan sastra Arab di Baghdad
kepada Abu Bajkar As-Saraj, dan logika serta filsafat kepada Abu Bisyr Mattitus ibn
Yunus, seorang Kristen Nestorian yang banyak menerjemahkan filsafat Yunani, dan
belajar kepada Yuhana ibn Hailam. Kemudian, ia pindah ke Harran, pusat kebudayaan
Yunani di Asia Kecil, dan berguru kepada Yuhana ibn Jilad. Akan tetapi, tidak
beberapa lama ia kembali ke Baghdad untuk memperdalam filsafat. Ia menetap di
kota ini selama 20 tahun. Di Baghdad pula ia membuat ulasan terhadap buku-buku
filsafat Yunani dan mengajar. Di antara muridnya yang dikenal yaitu Yahya ibn „Adi,
filusuf Kristen.
Pada usia 75 tahun, tepatnya pada tahun 330 H (945 M), ia pindah ke Damaskus, dan
berkenalan dengan Saif Ad-Daulah AlHamdani, Sultan Dinasti Hamdan di Aleppo.
Sultan memberinya kedudukan sebagai seorang ulama istana dengan tunjangan yang
besar sekali, tetapi al-Fārābī memilih hidup sederhana (zuhud) dan tidak tertarik
dengan kemewahan dan kekayaan. Ia hanya memerlukan empat dirham saja setiap
hari untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Selanjutnya, sisa
tunjangan yang diterimanya, di bagi-bagikan kepada fakir miskin dan amal sosial di
Aleppo dan Damaskus.
Karya-karya alFārābī tersebar luas di Timur pada abad ke-4 dan 5 H./1010 M. Dan
mencapai barat ketika sarjana-sarjana Andalusia menjadi pengikut alFārābī dan
beberapa tulisannya juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani dan Latin dan
telah mempengaruhi para sarjana Yahudi dan Kristen. Karya-karya al-Fārābī dapat
dikelompokkan dalam beberapa bagian diantaranya: logika, fisika, metafisika, politik,
astrologi, musik, dan beberapa risalah yang berisikan tentang sanggahan atau
tanggapan atas pemikiran antara filosof tertentu.
Oleh karena itu, banyak karya yang ditinggalkan Al-Farabi, namun karya tersebut
tidak banyak diketahui seperti karya Ibnu Sina. Hal ni terjadi karena karya-karya Al-
Farabi hanya berupa Risalah-risalah (karangan pendek) dan sedikit sekali yang berupa
buku besar yang mendalam pembicaraannya dan yang masih dapat dibaca dan
dipublikasikan, baik yang sampai kepada kita tidak kurang lebih dari 30 judul saja.
Diantaranya :
Dan masih banyak yang lainnya dari kitab-kitab diatas denganberbagai macam objek
kajian yang ditulis Al-Farabi, terlihat jelas bahwa Al-farabi sosok filsuf ilmuan, dan
cendikiawan Kaliber dunia yang ilmunya sangat luas dan dalam .
a. Filsafat Metafisika
Bagi filosof memandang proses penciptaan semesta tak cukup puas dengan sekedar
kata ‘percaya’ dan akhirnya berfikir mencari rujukan karya-karya filosof Yunani
sebagai tangga bantu dan sarana untuk menjawabnya secara rinci dan logis serta
sistematis. Dunia filsafat menyoal penciptaan dan terdapat dua pendapat tentang
penciptaan, Pandangan para filosof Yunani umumnya menyatakan bahwa, alam
semesta dengan segala pernak-perniknya yang ada ini tidak diciptakan dari bahan
tertentu bentuknya, melainkan dari ketiadaan (creatio ex nihilo), Tuhan
menyelenggarakan penciptaan (creatio) dengan tidak memakai bahan apapun,
melainkan dari ketiadaan (ex nihilo), dengan hal ini berarti alam semesta adalah
suatu creatio ex nihilo dari pihak Tuhan. Sedangkan pandangan lain menyatakan
bahwa alam ini diciptakan dari materi awal (al-hayūlā) yang bersifat abadi, alam ini
tidak dicipta dari tiada (creatio an ex nihilo) melainkan ada sejak Tuhan ada,
mustahil Tuhan ada namun tanpa ciptaan, meski secara prioritas waktu berdekatan,
namun Tuhan harus dipandang sebagai pencipta.
c. Filsafat logika
Al-Fārābī memberikan perhatian khusus terhadap logika, dalam lapangan
mantik ia banyak meninggalkan karangankarangan. Sayangnya karangan-karangan
tersebut tidak sampai kepada kita, kecuali satu buku yang berjudul Syarh Kitab Al-
Ibrah li Aristoteles (penjelasan buku Al-Ibrah dari Aristoteles), dan beberapa
karangan singkat dalam buku Tahsil As-Sa’adah serta Ihsha-ul Ulum nampaknya
dalam lapangan logika al-Fārābī banyak mengikuti Aristoteles pendapat-
pendapatnya tentang logika adalah sebagai berikut:
Definisi Logika : ialah ilmu tentang pedoman (peraturan) dan dengan penegakan
pikiran dan menunjukkannya kepada kebenaran dalam lapangan yang tidak bisa
dijalin kebenarannya.
Guna Logika : maksud logika ialah agar kita dapat membetulkan pemikiran
orang lain atau agar orang lain dapat membenarkan pemikiran kita, atau kita
dapat membetulkan pemikiran kita sendiri.
Lapangan Logika: lapangan ialah segala macam pemikiran yang bisa diutarakan
dengan kata-kata, dan juga segala macam kata-kata kedudukan sebagai alat
menyatakan pikiran.
Bagian-bagian Logika: bagian-bagiannya ada delapan yaitu kategori (al-maqulat
al-‘asyr); Kata-kata (al-abrah; termas); Analogi pertama (al-qiyas); Analogi
kedua (al-burhan); Jadal (debat); Sofistika; Retorika; dan Peotika (syair)
d. Filsafat politik
Al farabi berpendapat bahwa ilmu politik adalah ilmu yang meneliti sebagian
bentuk tindakan, cara hidup, watak, disposisi positif dan akhlak. Semua tindakan
dapat diteliti mengenai tujuannya, dan apa yang membuat manusia dapat melakukan
seperti itu dan bagaimana yang mengatur memelihara tindakan dengan cara yang
baik dapat di teliti.
Ilmu politik juga menerangkan berbagai tujuan tindakantindakan, cara hidup itu
adalah benar-benar kebahagiaan, sedangkan yang lainnya kebahagiaan padahal
sebetulnya bukan, bahwa yang benar-benar kebahagian tidak mungkin dalam
kehidupan sekarang ini, melainkan berada di kehidupan setelah sekarang, yaitu
kehidupan akhirat. Sedangkan yang nampak seperti kebahagiaan terdiri dari hal-hal
tertentu seperti kekayaan, kehormatan, kesenangan, bila hal ini dijadikan tujuan
dalam hidup sekarang.
BAB V (PEMIKIRAN FILSAFAT IKHWAN ASH-SHAFA)
Ikhwan Ash-Shafa (persaudaraan yang suci dan bersih) adalah perkumpulan para
mujtahidin dalam bidang filsafat yang lebih banyak memperhatikan bidang pendidikan.
Perkumpulan ini berkembang pada akhir abad kedua Hijriyah di kota Bashrah, Iraq.
Organisasi ini antara lain mengajarkan tentang dasar-dasar agama Islam yang
memperkokoh ukhuwah Islamiyah, dengan sikap pandangan bahwa “Iman seorang
muslim tidak sempurna sampai ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya
sendiri.” Sebagai sebuah organisasi mereka memilki semangat dakwah dan tabligh yang
militan terhadap orang lain. Semua anggota perkumpulan ini wajib menjadi pengajar
atau muballigh terhadap orang lain dalam masyarakat (Arifin, 1996: 92-93).
Informasi lain menyebutkan bahwa organisasi ini didirikan oleh kelompok masyarakat
yang terdiridari para filosof. Organisasi yang mereka dirikan bersifat rahasia. Namun
bersamaan dengan itu ada pula yang mengatakan bahwa organisasi ini lebih bercorak ke
batinan. Mereka sangat mengutamakan pendidikan dan pengajaran yang berkenaan
dengan pembentukan pribadi, jiwa dan akidah (Nata, 2005: 231) (Hidayatulloh, 2013)
Dilihat dari segi keistimewaannya Risalah Ikhwan al-Shafa ini memiliki beberapa
keistimewaan, yaitu:
Jiwa Manusia
Jiwa manusia bersumber dari jiwa universal. Dalam perkembangannya jiwa
manusia banyak dipengaruhi materi yang mengitarinya. Agar jiwa tidak kecewa
dalam perkembangannya, jiwa dibatu oleh akal yang merupakan daya bagi jiwa
untuk berkembang.
Moral
Adapun tentang moral, Ikhwan al-Shafa bersifat rasionalitas. Untuk itu suatu tindakan
harus berlangsung bebas merdeka. Dalam mencapai tingkat moral dimaksud,
seseorang harus melepaskan diri dari ketergantungan materi. Harus memupuk rasa
cinta untuk bisa sampai kepada ekstase. Percaya tanpa usaha, mengetahui tanpa
berbuat adalah sia-sia.
Bilangan
Tujuan Ikhwan al-Shafa membicarakan bilangan untuk mendemonstrasikan
bagaimana sifat bilangan itu bila diterapkan dalam sesuatu, sehingga siapa saja yang
mendalami bilangan dengan segala hukum-hukumnya, sifat-sifat dasarnya, jenis-
jenisnya akan memahami jumlah macam-macam benda.
Ada beberapa implikasi dari pemikiran pendidikan Ikwan al-Shafa di era global,
diantaranya sebagai konsekuensi formulasi relasi komplementar dari konsepsi Ikhwan
al-Shafa tentang manusia, pengetahuan, ilmu/program kurikuler dan belajar, maka
mereka membangun teori pendidikan yang komprehensif, sempurna dan gradual.
Menurut Ikhwan al-Shafa, pengetahuan umum dapat diperoleh dengan tig acara, yaitu:
indera, akal untuk berpikir murni dan inisiasi
a) Tujuan pendidikan Ikhwan al-Shafa melihat bahwa tujuan pendidikan haruslah
dikaitkan dengan keagamaan. Tiap ilmu, kata mereka merupakan mala petaka
bagi pemiliknya bila ilmu itu tidak ditujukan kepada keridhoan Allah dan
kepada akhirat.
Dalam hal ini Ikhwan al-Syafa mengklasifikasikan ilmu pengetahuan (aqliyah)
kepada 3 (tiga) kategori, yaitu: matematika, fisika,dan metafisika. Ketiga
klasifikasi tersebut berada pada kedudukan yang sama, yaitu sama bertujuan
menghantar peserta didik mencapai dunia dan akhirat.
b) Kurikulum pendidikan tingkat akademis mereka berpendapat agar dalam
kurikulum tersebut mencangkup logika, filsafat, ilmujiwa, pengkajian kitab
agama samawi, kenabian, ilmu syariat dan ilmu-ilmu pasti. Namun yang lebih
diberi perbatian adalah ilmu keagamaan yang merupakan tujuan akhir dan
pendidikan (M. Athiyah al-Abrasyi, 1975).
c) Mengenai metode pengajaran Ikhwan al-Shafa mengemukakan prinsip: “hal
yang konkrit kepada abstrak” berkata dalam Rasailnya: “Seharusnya orang yang
akan mempelajari dasar-dasars egala yang ada (maujudat), ialah agar
mengetahui dasar-dasar menurut hakekatnya yaitu agar mempelajari segala
yang konkrit dan dapat diraba. Dengan demikian akan terbuka pikirannya dan
menjadi kuat untuk mempelajari yang abstrak.
d) Perbedaan bakat individu dan sebab-sebabnya
Ikhwan al-Shafa berpendapat bahwa anak-anak didik, dapa tmenerima suatu
kepandaian bila sesuai dengan pembawaan mereka masing-masing. Sementara
ada orang yang berbakat pada satu macam kepandaian atau beberapa macam
kepandaian.
BAB VI (PEMIKIRAN FILSAFAT IBN MASKAWAH)
Nama lengkapnya adalah Abu Ali al-Khasim Ahmad bin Ya’qub bin
Maskawaih. Maskawaih dilahirkan di Ray (Teheran sekarang) Iran. Mengenai tahun
kelahirannya, terdapat perbedaan-perbedaan pendapat dari penulis, MM Syarif
menyebutkan tahun 320 H/932 M. Morgoliouth menyebutkan tahun 330 H. Abdul
Aziz Izzat menyebutkan tahun 325 H. Sedangkan wafatnya, para tokoh sepakat pada 9
shafar 421 H/16 Februari 1030 M.
Maskawaih adalah salah seorang tokoh filsafat dalam Islam yang memusatkan
perhatiannya pada etika Islam. Meskipun sebenarnya ia pun seorang sejarawan, tabib,
ilmuwan dan sastrawan. Pengetahuannya tentang kebudayaan Romawi, Persia, dan
India, disamping filsafat Yunani, sangat luas.
Sebutan namanya yang lebih masyhur adalah Maskawaih atau Ibnu Maskawaih.
Nama tersebut diambil dari nama kakeknya yang semula beragama Majusi kemudian
masuk Islam. Gelarnya adalah Abu Ali, yang diperoleh dari nama sahabat Ali, yang
bagi kaum Syi’ah dipandang sebagai yang berhak menggantikan nabi dalam
kedudukannya sebagai pemimpin umat Islam sepeninggalnya. Dari gelar ini tidak
salah jika orang mengatakan bahwa Maskawaih tergolong penganut aliran Syi’ah.
Gelar ini juga sering disebutkan yaitu al-Khazim yang berarti bendaharawan,
disebabkan kekuasaan Adhud al Daulah dari Bani Buwaihi, ia memperoleh
kepercayaan sebagai bendaharawannya.
Dilihat dari tahun lahir dan wafatnya, Maskawaih hidup pada masa
pemerintahan Bani Abbas yang berada di bawah pengaruh Bani Buwaihi yang
beraliran Syi’ah dan berasal dari keturunan Parsi Bani Buwaihi yang mulai
berpengaruh sejak Khalifah al Mustakfi dari Bani Abbas mengangkat Ahmad bin
Buwaih sebagai perdana menteri dengan gelar Mu’izz al Daulah pada 945 M. Dan
pada tahun 945 M itu juga Ahmad bin Buwaih berhasil menaklukkan Baghdad di saat
bani Abbas berada di bawah pengaruh kekuasaan Turki. Dengan demikian, pengaruh
Turki terhadap bani Abbas digantikan oleh Bani Buwaih yang dengan leluasa
melakukan penurunan dan pengangkatan khalifah-khalifah bani Abbas[3].
Puncak prestasi bani Buwaih adalah pada masa ‘Adhud al Daulah (tahun 367
H – 372 H). Perhatiannya amat besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan
kesusasteraan, dan pada masa inilah Maskawaih memperoleh kepercayaan untuk
menjadi bendaharawan ‘Adhud al Daulah. Juga pada masa ini Maskawaih muncul
sebagai seorang filosof, tabib, ilmuwan, dan pujangga. Tapi, disamping itu ada hal
yang tidak menyenangkan hati Maskawaih, yaitu kemerosotan moral yang melanda
masyarakat. Oleh karena itulah agaknya Maskawaih lalu tertarik untuk
menitikberatkan perhatiannya pada bidang etika Islam.
Menurut Anton Athoilah, dalam buku Hasan Basri, 2017 dicantumkan karya- karya
ibnu Maskawaih sebagai berikut:
1. Al-Fawz Al- Ashgar
2. Al-Fawz Al- Akbar
3. Tajarib Al Umam
4. Uns Al-Farid (Anekdot, syair, peribahasa, dan kata-kata mutiara)
5. Tartib As-Sa’adah (Akhlak dan Politik)
6. Al-Mushthafa (Syair-syair pilihan)
7. Jawidan Khirad (kumpulan ungkapan bijak)
8. Al- Jami, As-Siyar (tentang aturan hidup), obat- obatan sederhana (kedokteran),
komposisi bajat (seni memasak)
9. Kitab Asyribah (minuman)
10. Tahdib Al-Akhlak (etika)
11. Risalah fi Ladzdzat wa Al-Alam fi Jawhar An-Nafs
12. Ajwibah Wa Asilah fi An-Nafs wa Al-Aql
13. Al-Jawwab fi Matsa’il Ats-Tsalat
14. Risalah fi Jawab fi Su’ul’Ali ibn ibn Muhammad Abu Hayyun Ash-Shufi fi
Haqiqat
15. Al-‘Aql
16. Thaharat An-nafs
17.
B. PEMIKIRAN IBNU MASKAWAIH
b. Metafisika
Metafisika Maskawaih mencakup pembahasan tentang bukti adanya Tuhan
Pencipta, jiwa dan kenabian (nubuwwah). Secara lengkap metafisika Maskawaih
dituangkan dalam kitabnya Al-Fauz AlAshghar:
3) Kenabian (An-Nubuwwah)
Dalam membicarakan hal kenabian, Maskawaih menyajikan banyak hal yang
sepintas lalu tidak lazim digolongkan sebagai topik kenabian. Maskawaih
membicarakan masalah tingkatkan-tingkatan wujud dalam alam dan
hubungannya satu sama lain. Dibicarakannya pula manusia yang merupakan
mikrokosmos dibandingkan dengan alam semesta yang merupakan
mikrokosmos. Dibicarakannya juga macam-macam kapasitas dan daya
manusia yang mengalami perkembangan panca indera meningkat menjadi
kekuatan bersama seperti perkembangan dari tingkat yang rendah kepada
tingkat yang lebih tinggi, seperti perkembangan panca indera meningkat
menjadi kekuatan bersama (common sensibility), dan dari sini berkembang
lagi kepada yang lebih tinggi atas rahmat Allah. Kemudian dibicarakan pula
perihal wahyu dan cara diperolehnya, juga tentang akal yang diibaratkan
sebagai raja yang ditaati sesuai pembawaannya, juga tentang perbedaan antara
nabi yang diutus dan nabi yang tidak diutus, akhirnya tentang perbedaan
antara nabi yang sungguh-sungguh dan orang yang mengaku sebagai nabi
(mutanabbi).
4) Teori Evolusi
c. Dasar-dasar Etika
Sebagai Bapak Etika Islam, Maskawaih dikenal juga sebagai Guru Ketiga (Al-
Mu'allim Al-Tsalits), setelah Al-Farabi, yang digelari Guru Kedua (Al-Mu'allim
Al-Tsani). Sedangkan yang dipandang sebagai Guru Pertama (Al-Mu'allim Al-
Awwal) adalah Aristoteles.
Mengenai teori etika Maskawaih, dalam kesempatan ini hanya akan disajikan
dasar-dasarnya saja.
1. Unsur-unsur Etika Maskawaih
2. Pengertian Akhlak .
3. Keutamaan (Fadhilah)
4.Kebahagiaan (sa’adah) .
5. Cinta (Mahabbah)
d. Prihal kematian
Dalam membicarakan penyakit jiwa maskawaih menyinggung masalah takut mati
yang banyak dialami orang pada umumnya. Takut mati tidak dapat dibenarkan,
sebab bertentangan dengan nilai keutamaan. Adanya kematian itu merupakan
bukti keadilan tuhan terhadap hambaNya. Secara rasional dapat dinyatakan bahwa
manusia hanyalah makhluk belaka yang pasti berakhir dengan kerusakan. Jika
orang tidak ingin rusak maka seharusnyapun ia tidak pernah ingin ada.
Barangsiapa menginginkan tidak ada berarti ia menginginkan kerusakan dirinya.
Dengan demikian seakan akan orang dalam satu waktu menginginkan rusak tapi
juga menginginkan tidak rusak. Menginginkan ada tetapi juga tidak ada. Hal
semacam ini mustahil dapat terlaksana, oleh karenanya mustahil bergerak pada
orang yang berakal. Rasa takut mati akan mengganggu ketentraman dan
kebahagiaan hidup.
e. filsafat politik
Maskawaih berpendapat bahwa antara agama dan negara tidak dapat dipisahkan.
Dikutipnya pendapat Azdsher raja dan filosof bangsa persia yang mengatakan
bahwa agama dan kerajaan ibarat dua saudara kembar atau dua sisi dari mata uang
yang sama, yang satu tidak dapat sempurna tanpa yang lain. Agama merupakan
landasan dasar, kerajaan adaah pengawalnya. Segala sesuatu tanpa landasan dasar
mudah hancur dan segala sesuatu tanpa pengawal adalah sia-sia. Menurutnya raja
yang berkuasa guna menjaga tegaknya agama, dan harus selalu waspada menjaga
posisinya, melaksanakan tugasnya dengan sungguh-sungguh, tidak lengah, tidak
mengejar kenikmatan pribadi, tidak mengejar kehormatan, dan kesenangan
melainkan jalan yang sah menurut agama.
Ibnu Miskawaih adalah seorang pemikir Islam yang mempunyai pengaruh luas di
dunia Islam khususnya, pemikirannya dalam hal pendidikan menekankan pentingnya
peran pendidik dan lingkungan, dan orang tua sebagai pendidik tetap merupakan
pendidik yang pertama dan utama, maka perlu dibangun hubungan yang harmonis
antara orang tua dan anak atas dasar cinta. Ibnu miskawaih juga merancang
pendidikan berbasis akhlak.
Ajaran etika yang diformulasikan oleh Ibn Miskawaih dalam karya magnum opus-nya
Tahdzib al-Akhlaq secara garis besar memang memuat etika keutamaan, yakni lebih
memfokuskan pada aspek being manusia (what kind of person I be?) saya harus
menjadi orang yang bagaimana? Etika keutamaan memang tidak begitu menyoroti
perbuatan satu demi satu, apakah sesuai atau tidak dengan norma moral, tetapi lebih
memfokuskan pada manusia itu sendiri. Tujuan dari etika semacam ini adalah untuk
mengarahkan menjadi orang yang memiliki etika yang baik. Menurut Zainul Kamal,
etika Ibn Miskawaih yang dijabarkannya dalam Tahdzib al Akhlaq merupakan
perpaduan pemikiran filosofis dengan menggunakan firman al-Qur’an dan hadis Nabi
Muhammad saw., dengan gaya pemikirannya yang sistematis, ia bermaksud
menanamkan dalam diri kita kualitas-kualitas moral dalam tindakantindakan utama
secara spontan. (Pengantar, Ibn Miskawaih: 14/ lihat: M. Alfan: 208).
Ibnu Miskawaih merupakan sosok yang sangat terkenal juga dalam bidang
pendidikan, ide-ide cemerlang yang beliau cetuskan merupakan sebuah wahana baru
dalam bidang pendidikan yang terlahir dari karya seorang Ibnu Miskawaih.
Sepak terjang Ibnu Miskawaih tidak diragukan lagi dalam dunia pendidikan dan
pemikiran. gagasan yang beliau tuangkan dan lahirkan merupakan salah satu era
terobosan dalam menanggapi kemajuan dunia dalam bidang Pendidikan. Pemikiran
Ibnu Miskawaih sudah seharusnya menjadi tauladan bagi mereka yang ingin sukses
dalam meraih masa depan yang gemilang.
Untuk mencapai target pendidikan moral beliau menekankan pada keutuhan
dan bagaimana sikap bathin yang mampu mendorong perbuatan yang bernilai luhur
seara spontanitas, agar tercapai kesempurnaan dan kebahagian yang sempurna.Dalam
buku Ahmad Syari'i mengatakan bahwa kesempurnaan manusia itu ada dua macam
yaitu: pertama kesempurnaan teoritis ( dengan mempelajari ilmu logika ) dan kedua
praktis( kesempurnaan yang diaplikansikan dengan jalan-jalan empirik). Pendidikan
dan peserta didik adalah dua indicator yang sangat diperhatikan oleh beliau dan
keberhasilan pendidikan itu haruslah didukung oleh peran-aktif dari orang, sebagai
pembimbing ketika pelajar/anak didik berada diluar wilayah sekolah
BAB VII (PEMIKIRAN IBN SINA)
Salah seorang filosof Islam abad pertengahan yang sangat cemerlang adalah
Ibnu Sina. Ia sangat disegani dan mendapat tempat yang istimewa dalam
sejarah perjalanan dan perkembangan filsafat hingga abad modern ini. Ibnu
Sina telah membangun sistem filsafat Islam dengan sempurna dan terperinci.
Dengan ketajaman otaknya, ia dapat menguasai filsafat dan berbagai cabangnya,
walaupun ia harus menunggu saat yang tepat untuk menyelami ilmu metafisika
Aristoteles, meskipun ia telah membacanya 40-an kali. Setelah ia membaca buku
Agrâd Kitâb mâ’warâ’ al-T abî’ah li Aristû-nya Al-Fârabî (870-950 M.), seakan-
akan semua persoalan telah ditemukan jawabannya dengan terang-benderang. Ia
bagaikan mendapatkan kunci bagi segala simpanan ilmu metafisika. Hal inilah
yang membuatnya dengan tulus mengakui dirinya sebagai murid yang setia dari Al
Fârabî (Dasuki, 1993:34).
Falsafah Emanasi(al-Fayd)
Teori emanasi berasal dari Plotinus sang filosof yang berkontemplasi,
pemikiran plotinus disebut “Yang Satu” (totten). Yang Satu itu adalah Yang
tak Berhingga dan Absolut. Dengan lain perkatan “Yang Satu adalah Allah.
Dari kesatuan yang tak berdiferensiasi itu keluarlah kebaikkan dari “Yang
Satu” melalui semacam emanasi atauradiasi.
Falsafah Jiwa (al-nafs)
Falsafah yang terbaik mengenai jiwa adalah pemikiran yang diberikan
Ibn Sina (980-1037 M).Jiwa sebagai prinsip kehidupan, merupakan
sebuah pancaran (emanasi) dari akal kecerdasan aktif. Definisi yang
umum tentang jiwa adalah “Kesempurnaan yang pertama dalam tubuh
organic”, baik ketika ia dibentuk tumbuh dan diberi makan (seperti
dalam kasus jiwa hewani), atau ketika ia memahami hal-hal universal
dan bertindak berdasarkan pertumbuhan yang mendalam (seperti
kasus dalam jiwa insani).
Falsafah Kenabian (al-Nubuwwah)
Di antara manusia ada yang dianugerahi akal materil (al-aql al-hayulani) yang
begitu besar dan kuat, yang oleh Ibn Sina diberi nama al-hads atau intuisi.
Orang yang dianugerahi akal yang demikian, dengan tanpa melalui latihan,
dengan mudah dapat berhubungan dengan Akal Kesepuluh.Oleh karena itu,
orang tersebut dengan mudah dapat menerima cahaya atau wahyu dari
Tuhan.Akal serupa ini mempunyai daya suci (quwwah qudsiyyah).Inilah
bentuk akal tertinggi yang dapat diproleh manusia, dan terdapat hanya pada
paranabi.
Falsafah Wujud(al-Wujud)
Menurut Ibnu Sina, sifat wujud-lah yang terpenting dan mempunyai
kedudukan di atas segala sifat yang lain termasuk esensi (mâhiyyah)
Esensi, menurut Ibnu, Sina terdapat dalam akal, sedangkan wujud
terdapat di luar akal. Wujud-lah yang membuat tiap esensi yang
dalam akal mempunyai kenyataan di luar akal. Tanpa wujud maka
esensi tidak besar artinya, oleh karena itu wujud lebih penting dari
esensi.
Selanjutnya wâjib al-wujûd ini ada dua macam, yaitu:
wâjib bigayrihi yaitu sesuatu yang kepastian wujudnya oleh zat yang
lain, artinya sesuatu yang berwujud karena benda lain yang
mewujudkannya. Misalnya, adanya empat karena 2 + 2 atau 3 + 1;
adanya basah karena ada air, kebakaran disebabkan oleh api (Al-
Shahrastanî,1969:26).
BAB IX (PEMIKIRAN AL-GHAZALI)
Ayah Imam al-Ghazali adalah seorang pembuat tenunan wool (itu sebabnya ia diberi
nama “ghazzal”) dan menjualnya di sebuah toko di Tus. Ketika ajalnya hampir tiba, ia
mempercayakan Al-Ghazali dan kakaknya Ahmad kepada seorang temannya yang
menjadi sufi, seorang yang selalu berbuat kebajikan, sambil berkata kepadanya: “Saya
sangat menyesal bahwa saya tidak belajar menulis. Saya ingin kedua anak saya tidak
kehilangan hal-hal yang tidak saya peroleh. Didiklah mereka dan jangan hiraukan
apakah untuk tujuan ini kau pakai seluruh harta peninggalan ku”.
Ketika ayah mereka pergi, teman sufi itu mengusahakan untuk mendidik dua anak
tersebut. Tetapi ketika uang yang tidak seberapa jumlahnya itu sebagai peninggalan
ayahnya kemudian habis terpakai, tidaklah mungkin lagi bagi sang sufi untuk memberi
nafkah kepada kedua anak tersebut. Lalu ia berkata kepada mereka:“Ketahuilah bahwa
saya telah membelanjakan bagi kalian seluruh harta peninggalan ayahmu. Saya orang
miskin dan bersahaja dalam hidupku. Saya kira hal yang terbaik yang dapat kalian
lakukan ialah masuk ke dalam sebuah madrasah sebagai murid. Dengan jalan ini kalian
akan mendapatkan makan untuk kelangsungan hidupmu”. Kedua anak tersebut berlaku
demikian dan ini menjadi sebab dari kebahagiaan dan tercapainya cita-cita luhur
mereka.
Al-Ghazali pernah berkata: “Kami mencari pengetahuan bukan karena Allah, tetapi
Allah berkehendak demikian dan kami tidak dapat mencari hal-hal lain kecuali Dia”.
Al-Ghazali memperoleh pendidikan dasar di Tus. Kemudian ia pergi ke Nasyabur
untuk belajar kepada Al-Juwayni (478 H/1085 M), Imam dari Haramain, lalu tinggal di
situ sampai Imam tersebut meninggal dunia.
Setelah Imam al-Haramain wafat, al-Ghazali meninggalkan Nasyabur menuju ke
Mu’askar tahun 478 H., ia menetap di sini hingga didaulat menjadi salah seorang
pengajar di madrasah al-Nizhamiyah tahun 484 H/1091 M. Pada tahun itu, al-Ghazali
diundang oleh Perdana Menteri Nizam al-Muluk (pemerintahan Bani Saljuk). Ia
disambut di sebuah majlis ahli ilmi. Di saat berpidato tampak ketinggian ilmunya, lalu
para ulama yang hadir di situ, mengakui akan kemuliaan dan ketinggian ilmu yang
dimiliki al-Ghazali. Menteri Nizam al-Muluk akhirnya memberi anugerah kepada al-
Ghazali pada tahun 484 H/1091 M, sebagai guru besar (profesor) pada perguruan
Tinggi Nizamiyah, Baghdad
Selama masa ini Al-Ghazali mengajar dan menulis fiqh, ia juga menulis beberapa
buku mengenai Ta’miliyyah yang menimbulkan banyak pertentangan pendapat. Pada
permulaan karirnya sebagai pelajar, Al-Ghazali telah menunjukan sikap keraguan. Ia
berontak untuk menerima kebenaran dari taqlid (menerima begitu saja pengetahuan
yang diajarkan oleh orang-orang lain) atau terhadap sam’ (ujud dari pengetahuan yang
di wariskan kepadanya).
Riwayat hidupnya memang terlalu ringkas untuk dapat memberi pengertian tentang
perkembangan intelektual maupun spiritual dari Imam Al-Ghazali, kedudukannya
terakhir dan corak manusia yang dicapainya setelah ia menemukan dasar dari
pengetahuan itu di dalam sistemnya mencakup seluruh kepribadian dari pencari
kebenaran, telah membuat tulisan Al-Ghazali menjadi “kaca cermin” yang benar dari
kepribadian batinnya. Riwayat hidupnya agar dapat di pahami seluruhnya, harus
ditafsirkan di dalam hubungan tulisan-tulisan lainnya dari dia, terutama ihya dan
khususnya “Buku-buku” di dalam ihya tersebut, yang membicarakan berbagai aspek
dari keimanan. Ia menekankan bahwa pengetahuan dalam setiap aspek (bab) dari iman
terdiri dari tiga bagian yang tidak dapat dipisahkan :
Suatu petunjuk dari jalan pikiran Al-Ghazali sebelum ia mengalami perobahan didalam
membuat perbedaan-perbedaan tersebut, ia telah membuat beberapa tingkatan iman.
Al-Ghazali ialah seorang genius dan sumbangannya kepada pemikiran muslim terletak
pada penemuannya mengenai batas-batas yang terdapat di dalam “akal pikiran”
seseorang sebagai alat dari pengetahuannya dan pusat yang terpenting dari “hati”
sebagai tempat berpijak dari seluruh pengetahuan dan pengalaman.
b) Iradat Tuhan
Mengenai kejadian alam dan dunia, Al-Ghazali berpendapat bahwa dunia itu berasal
dari iradat (kehendak) tuhan semat-mata, tidak bisa terjadi dengan sendirinya. Iradat
tuhan yang diartikan tercipta. Iradat itu menghasilkan ciptaan yang berganda, di satu
pihak merupakan undang-undang, dan di lain pihak merupakan zarah-zarah (atom-
atom) yang masih abstrak. Penyesuaian zarah-zarah yang abstrak dengan undang-
undang yang lihat merupakan dunia dan kebiasaanya yang kita ini.
c) Etika
Mengenai etika etika Al-Ghazali sekaligus dapat kita lihat pada teori tasawufnya
dalam buku Ihya '' Ulumuddin . Dengan kata lain, filosofi etika Al-Ghazali adalah
teori tasawufnya itu. Mengenai tujuan pokok dari etika Al-Ghazali kita temui pada
semboyan tasawuf yang terkenal “ Al-Takhalluq Bi Akhlaqihi 'Ala Thaqah al-
Basyariyah, atau Al-Ishaf Bi Shifat al-Rahman' Ala Thaqah al-Basyariyah ”.
Maksudnya adalah agar manusia sejauh-jauhnya kesanggupannya sesuai dengan
sifat perang dan sifat-sifat ketuhanan seperti pengasih, pemaaf, dan sifat-sifat yang
masuk ke Tuhan, jujur, sabar, ikhlas dan sebagainya.
Di bidang filsafat al-Ghazali memiliki perhatian yang sangat besar dan ia tercatat
sebagai pemikir yang banyak melibatkan diri pada segi itu. Ia belajar filsafat kepada
al-Juwaini selama tiga tahun. Sehingga al-Ghazali gaya juga sebagai salah seorang
filosof muslim. Namun, dalam lapangan filosofi ketuhanan (metafisika) al-Ghazali
memandang para filosof sebagai ahlul bidah dan kafir seperti apa yang ada dalam
bukunya Tahafatul Falasifah (kerancuan pemikiran para filosof).
Menurut Nakosteen, dalam skala dunia, Ghazali melalui Madrasah Nizhamiyyah telah
mengenalkan stratifikasi tenaga pendidik yang pada level tertinggi diduduki oleh chief
professor (Syaikh al-Islam) yang membawahi pada profesor (masyayikh). Di
bawahnya terdapat asisten profesor yang dikenal dengan sebutan Mu’id. Stratifikasi
tersebut dikembangkan di Universitas-universitas besar di seluruh dunia. Hingga saat
ini, Implikasi pemikiran kependidikan Al-Ghazali yang paling terasa di Indonesia
dengan menekankan penguasaan materi pelajaran dengan cara menghafal pada tingkat
dasar, dan memahami pada tingkat lebih lanjut, yang dapat dipahami sebagai
pemenuhan aspek kognitif. Selanjutnya, menekankan praktek terhadap materi
pelajaran tersebut, terutama berkenaan dengan ibadah, melalui sistem riyadhah
(Ibadah amaliyah) yang dapat dipahami sebagai pemenuhan aspek psikomotorik.
Terakhir menekankan penghayatan pelajaran dalam kehidupan sehari-hari, melalui
pemahaman akhlak-tasawuf, yang dapat dipahami sebagai pemenuhaan aspek afektif
pendidikan.
BAB X (PEMIKIRAN IBN BAJJAH)
Ia adalah Abu Bakr Muhammad ibn al-Sayigh, yang terkenal dengan Ibn
Bajjah. Orang-orang Eropa pada abad-abad pertengahan menamai Ibn Bajjah dengan
“Avempace”, sebagaimana mereka menyebut nama-nama Ibn Sina, Ibn Gaberol, Ibn
Thufail dan Ibn Rusyd, masing-masing dengan Avicenna, Avicebron, Abubacer, dan
Averroes. Ibn Bajjah dilahirkan di Zaragosa pada abad ke-11 Masehi. Tahun
kelahirannya yang pasti tidak diketahui, demikian pula masa kecil dan masa mudanya.
Sejauh yang dapat dicatat oleh sejarah ialah bahwa ia hidup di Seville, Granada, dan
Fez; menulis beberapa risalah tentang logika di kota Seville pada tahun 1118 M.
Menurut beberapa literatur, Ibn Bajjah bukan hanya seorang filosof ansich, tetapi juga
seorang saintis yang menguasai beberapa disiplin ilmu pengetahuan, seperti
kedokteran, astronomi, musikus, dan matematika.
Fakta ini dapat diterima karena di masa itu belum terjadi pemisahan dalam
suatu buku antara sains dan filsafat sehingga seseorang yang mempelajari salah
satunya terpaksa bersentuhan dengan yang lain. Ia juga aktif dalam dunia politik,
sehingga Gubernur Zaragosa Daulat al-Murabith, Abu Bakar ibn Ibrahim al-Sahrawi
mengangkatnya menjadi wazir.6 Ketika Zaragosa jatuh ke tangan Alfonso I, Raja
Aragon, pada tahun 512 H/1118 M, Ibn Bajjah pergi ke Seville melalui Valencia dan
tinggal di sana sebagai seorang dokter. Sesudah Seville juga diduduki Raja Alfonso
beberapa waktu kemudian, ia pindah ke Granada. Tatkala ia transit di Syatibah
(Jativa, selatan Valencia, Spanyol), ia dipenjarakan oleh amir setempat dengan
tuduhan membuat bi’dah, tetapi segera dibebaskan. Setelah ia bebas, ia pergi ke Fez
(kini Maroko), memasuki istana Gubernur Abu Bakar Yahya bin Yusuf bin Tasyfin
(Ibn Tasyfin) dan menjadi pejabat tinggi berkat kemampuan dan pengetahuannya. Dia
memegang jabatan tinggi itu selama 20 tahun. Musuh-musuhnya mencapnya sebagai
ahli bid’ah dan beberapa kali mengadakan usaha pembunuhan terhadapnya. Semua
usaha itu gagal dan baru berhasil dilakukan oleh seorang dokter termasyhur, Abul Ala
bin Zuhr, dengan racun dan ia meninggal dunia di Fez pada tahun 1138 M ketika
usianya belum lagi tua.
B. FILSAFAT IBNU BAJJAH
Menurut Ibnu Tufail, Ibnu Bajjah adalah seorang filosof muslim yang paling
cemerlang otaknya, paling cepat analisanya, dan paling benar pemikirannya.
Kecemerlangan Ibnu Bajjah ini dapat dilacak dari beberapa karya tulisnya baik dalam
bidang filsafat atau dalam bidang lainnya, diantaranya :
2. Kitab Tadriyyah, berisi tentang syair pujian yang ada di perpustakaan Berlin.
3. kitab Al-Nafs, berisi tentang catatan dan pendahuluan dalam bahasa Arab.
5. Risalat Al-Ittishal, risalah ini menguraikan tentang hubungan manusia dengan akal
fa’al.
6. Karya-karya yang disunting oleh Asin Palacis dengan terjemahan bahasa Spanyol
dancatatan-catatan yang diperlukan:
Ibnu Bajjah termasuk salah satu filosod muslim yang dianggap paling
cemerlang pemikirannya, sehingga para murid dan para pengikurnya menilai bahwa
dalam segi pemahaman filsafatnya sama dengan filsafat Al-Farabi, seperti logika,
filsafat alam, dan metafisika. Akan tetapi, Ibnu Bajjah telah memberikan sejumlah
besar tambahan dalam karya-karyanya.Dan lagi dia telah menggunakan metode
filsafat yang benar – benar dan tambahan sangat luar biasa.Demikian juga dalam
psikologi, Ibnu Bajjah tidak keringgalan langkah. Dia dipandang memiliki argument
dan pemikiran yang mirip sama dengan Aristoteles, yang mendasarkan psikologinya
pada fisika. Oleh sebab itu, Ibnu Bajjah bukan hanya seorang filosof, tetapi juga dia
seorang saintis yang menguasai beberapa disiplin ilmu, seperti : kedokteran,
astronomi, fisika, matematika, dan musikus.
BAB XI (PEMIKIRAN IBN THUFAIL)
Abu Ya’al al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Rusyd, atau yang
lebih terkenal dengan sebutan Ibn Rusyd atau Avverroes, adalah filsuf muslim Barat
terbesar di abad pertengahan. Ia lahir di Kota Cordova, Ibu Kota Andalusia pada tahun
520 H/1126 M. Kakeknya adalah seorang ahli fiqih dan ilmu hukum terkenal.
Disamping menjabat sebagai imam besar di Masjid Jami’ Cordova, ia juga diangkat
menjadi hakim agung (Qadhi al-jama’ah). Setelah meninggal jabatan hakim agung ini
diteruskan oleh puteranya, ayah Ibn Rusyd. Tampak disini bahwa Ibn Rusyd terlahir
dari keluarga ahli-ahli fiqih dan hakim-hakim.
Hal ini terbukti, Ibnu Rusyd bersama-sama merivisi buku Imam Malik AlMuwaththa,
yang dipelajarinya bersama ayahnya Abu Al-Qasim dan dihapalnya. Ia juga
mempelajari matematika, fisika, astronomi, logika, filsafat dan ilmu pengobatan. Guru-
gurunya dalam ilmu-ilmu tersebut tidak terkenal, tetapi secara keseluruhan Cordova
terkenal sebagai pusat studi filsafat. Tidak mengherankan juga jika salah satu karyanya
yang sangat terkenal, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtasid, merupakan
karyanya dalam bidang Fiqih. Buku ini merupakan suatu studi perbandingan hukum
Islam, dimana di dalamnya diuraikan pendapat Ibnu Rusyd dengan mengemukakan
pendapat-pendapat imam-imam fiqih.
Keterkenalan Ibnu Rusyd dalam bidang filsafat diawali dari peristiwa Khalifah Abu
Yaqub yang menyuruh Ibnu Thufail untuk menyuruh orang meringkas intisari filsafat
Aristoteles. Sejak Ibnu Rusyd mampu meramu dan meringkas pikiran-pikiran filsafat
Yunani, Bouyges yang dikutip Ahmad Fuad Al-Ahwani, Ibnu Rusyd layak disebut
sebagai “Juru ulas” dan dengan sebutan itulah, dia dikenal oleh masyarakat Eropa abad
pertengahan.
Dengan realitas yang dialami sebagai qadhi, dokter dan didukung oleh berbagai
penguasaan ilmu, seperti matematika, fisika, astronomi, kedokteran, logika dan filsafat,
Ibnu Rusyd menjadi ulama dan filsuf yang sulit ditandingi. Kehebatannya dapat dilihat
dari berbagai karya yang telah ditulis, meskipun diakhir hidupnya, Rusyd mendapat
tuduhan besar [mihnah], ia dituduh membawa aliran filsafat yang tidak sesuai dengan
ajaran Islam, sehingga ia dibuang dari tanah kelahirannya.
Tuduhan yang dilontarkan kepadanya berkenaan dengan penulisannya dalam beberapa
bukunya mengenai pengakuannya bahwa dia telah melihat jerapah di dalam taman raja
orang-orang barbar. Dalam pembelaannya, Ibnu Rusyd mengatakan bahwa dia telah
menulis “raja dua negeri”. Kisah kedua mengemukakan, dia telah menulis bahwa
Venus itu suci. Hal itu mengakibatkan Ibnu Rusyd bukan saja dihukum buang, tetapi
juga tulisan-tulisannya dibakar di muka umum. Sebuah manifesto yang menentang
filsafat dan para filsuf dikeluarkan dan disebarkan di setiap tempat di Andalusia dan
Marrakusy, yang melarang studi-studi yang dianggap membahayakan serta
memerintahkan pembakaran semua buku yang berhubungan dengan Ilmu-ilmu
semacam itu, tetapi aib yang diderita oleh Ibnu Rusyd tidak berlangsung lama. Dan
AlMansur, sekembalinya dari Marrakusy, mengampuni dan memanggilnya kembali.
Ibnu Rusyd pergi ke Marrakusy, dan dia meninggal pada tahun 595 H/ 1198 M.
Sebagai seorang filsafat Islam di dunia Islam bagian Barat, Ibnu Rusyd juga telah
membuat sebuah karya dalam tulisannya. Karya-karya Ibnu Rusyd benar-benar memuat
sudut pandang ke arah filsafat. Di antara karya-karyanya adalah sebagai berikut :
1. Tahafut at-Tahafut. Kitab ini berupaya menjabarkan dengan menyanggah butir demi
butir keberatan terhadap al-Ghazali.
Ibn Rusyd memiliki peran penting dalam melakukan upaya survevisasi filsafat dari
bungkaman yang dilakukan oleh al-Ghazali. Dua kitab yang dikarang sebagai upaya
penetrasi gencarnya serangan-serangan badai yang telah dicipta al-Ghazali. Ibn. Rusyd
menjawab serangan Al Ghazali dengan menerbitkan sebuah buku yang berjudul
Tahafutu Al Tahfut (Kerancuan dari Kerancuan). Kitab inilah yang menjadi pilar
utama pemikiran Ibn Rusyd untuk menyelamatkan filsafat. Meski upaya inipun baru
nampak membuahkan hasil baru-baru ini saja ”era kontemporer”. Jadi sejak
berkiprahnya Ibn Rusyd dalam dunia Filsafat, masih belum ada pengakuan terhadap
kebenaran pemikirannya, anggap saja pemikiran ibnu Rusyd tenggelam dan tertelan
oleh doktrin keagamaan yang lebih mengutamakan ilmu fiqih dan tasawuf. Dan baru
muncul ketika umat islam sadar bahwa filsafat juga menjadi bagian terpenting dalam
upaya mengembangkan islam, dan filsafat sebenarnya adalah bagian dari khazanah
keilmuan islam itu sendiri. Sebenarnya, upaya peneyelamatan filsafat yang dilakukan
oleh Ibn Rusdy adalah sebagai sebuah kontol perdamaian terhadap kondisi umat islam
saat itu, karena statement al-Ghazali tentang pengakafiran para filosof mengandung
beberapa kepentingan, bahkan bisa dikatakaan politis. Secara umum, Pemikiran al-
Ghazali lebih mengarah pada pembelaan kalam atau pemikiran Asy’ariah. Al Jabiri
menegaskan, pendekatan rasional al-Ghazali dibangun oleh pertimbangan sosial
(khususnya pertimbangan politis seperti dalam kasus al Kindi dan al-Ghazali), atau
dicemari oleh model genostik-esoterik, yang menafikan intelek (khususnya “hemetik”
seperti dalam kasus al Farabi, Ibn Sina dan al-Ghazali). Lain dari itu, pembelaan yang
dilakukan Ibn Rusyd adalah upaya untuk meredam klaim Kesesatan para Filosof.
Bagaimana ia mengcounter tiga argumen utama yang difatwakan al-Ghazali pada para
filosof yang dianggapnya sesat. “Perdebatan” antara keduanya menjadi debat dua orang
dari dua generasi yang berbeda dengan seolah mewakili perdebatan sengit masa lampau
antara Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Mu’tazilah dengan kebebasan berfikirnya dan
Asy’ariyah dengan ortodoksinya. Perdebatan antara dua kubu tentang masalah aqidah
yang menimbulkan polemik berkepanjangan tentang siapa Tuhan, asal-usul dan seperti
apa alam semesta berikutnya. Dalam kaitannya dengan al-Ghazali, yang menjadi
sasaran kritik pemikirannya mengarah pada pemikiran filsafat yang dicetuskan oleh al
Farabi dan Ibn Sina karena tiga alasan yaitu masalah Alam yang kekal, Tuhan tidak
mengetahui Juziyyat, dan tidak adanya kebangkitan jasmani. Berangkat dari sinilah
alGhazali mengembangkan gagasannya untuk membuat antitesis terhadap pemikiran
para filosof Neo Platonis, sayangnya oleh sebagian umat Islam, upaya Al Ghazali
dipahami dan ditafsiri sebagai fatwa haram bagi semua aliran filsafat tanpa mengingat
bahwa alGhazali-pun juga seorang filosuf. Dari pemahaman seperti itulah, akhirnya
nalar arab mencapai krisis yang tergambar dalam kehidupan personalnya dengan
menarik diri dari pergulatan sosiopolitik. Kita dengan mudah mengambil pokok-pokok
pemikiran filosofis al-Ghazali menyanggah teori metafisika Ibn Sina. Hal itu tercantum
dalam 20 persoalan yang dikritiknya dalam bukunya “Tahafut al-Falasifah” Tiga butir
persoalan yang menjadi sasaran kritik tajamnya (memvonis kafir) adalah:
1. Bahwa Allah hanya mengetahui hal-hal yang besar dan tidak mengetahui hal-hal
yang kecil.
2. Bahwa alam semesta ini adalah qadim atau kekal tanpa permulaan.
3. Bahwa diakhirat kelak yang dihimpun hanyalah ruh manusia bukan jasadnya.
Ibn Rusyd merupakan satu-satunya filosof Muslim yang paling besar pengaruhnya ke
Barat. Pokok pikiran Ibn Rusyd yang paling istimewa ialah merekonsiliasikan antara
agama (wahyu) dan filsafat (akal) atau secara kasarnya mempertemukan antara
Aristoteles dan Muhammad. Usaha rekonsiliasi ini dipandang ciri terpenting dalam
filsafat Islam. Menurut Ibn Rusyd, filsafat adalah mempelajari segala yang wujud
(maujudat) dan merenungkan sebagai suatu bukti tentang adanya Pencipta. Ibn Rusyd
menjelaskan bahwa segala yang ada ini sebagai suatu ciptaan menujukkan adanya
Penciptanya. Untuk mengetahui Pencipta tersebut harus mengetahui ciptaan atau
sunatullah-Nya. Justru itulah menurut Ibn Rusyd semakin sempurna pengetahuan
terhadap ciptaan-Nya niscaya semakin sempurna pula pengetahuan tentang Sang
Pencipta.
Menurut Ibn Rusyd antara filsafat dan agama tidak bertentangan, karena kebenaran
tidaklah berlawanan dengan kebenaran tetapi saling memperkuat. Dengan kata lain,
filsafat adalah saudara agama, anatar filsafat dengan agama seperti halnya sahabat yang
pada hakikatnya saling mencintai.
Jika sesuatu itu disebutkan oleh agama, terjaadi dua alternatif, yakni nashnya sesuai
dengan hasil penelitian akal atau nashnya bertentangan dengan nash, nash mesti di
takwilkan. Takwil ialah meninggalkan arti lafzi dari maknanya yang hakiki ke
maknanya yang metaforik, tanpa melanggar kebiasaan bahasa Arab dalam memberikan
metaforik, seperti mengataka sesuatu dengan serupanya, atau sebabnya, atau akibatnya,
atau sesamanya atas lain yang tercakup dalam kaidah pemakaian makna metaforik.
Menrurut Ibnu Rusyd, kalau ahli fiqh banyak melakukan hal ini dalam berbagai hukum
agama, semestinya filosof lebih berhak melakukan hal yang serupa. Padahal ahli fiqh
hanya melakukan kias zanny semata sedangkan filosof muslim melakukan kias yaqiny,
yang lebih utama dari kias zanny.
Di tangan Ibnu Rusyd, filsafat menjadi demikian menantang dan menarik minat banyak
orang untuk mendalaminya. Paham rasional yang dikembangkannya menjadi titik
terang bagi bangsa Eropa untuk meneropong persoalan peradaban dan keagamaan
mereka. Kias rasional, takwil dan pengetahuan burhani merupakan bentuk tertinggi
dalam pemikiran Muslim yang menjadikan peradaban Muslim unggul dan maju adalah
tantangan secara diametreal bagi paham keagamaan Kristen yang terbelakang karena
tertutup, otoriter dan dogmatis. Disamping kelompok pengidola, ternyata paham filsafat
Ibnu Rusyd juga mendapat penolakan bangsa Eropa yang datang dari kalangan gereja,
seperti Keuskupan Paris “mengharamkan” kajian-kajian terhadap buku-buku Ibnu
Rusyd di berbagai perguruan tinggi pada abad ke-13. Fakta-fakta diatas terkesan
berlawanan, tetapi sebenarnya disanalah kekuatan pengaruh filsafat Ibnu Rusyd yang
tidak habis dan henti-hentinya dibahas bangsa Eropa, secara sembunyi-sembunyi
sekalipun. Karena itu sekali pun para Rahib dilarang mempelajari hal-hal yang berbau
duniawi tetapi mereka tetap mengkaji dan mendiskusikan Ibnu Rusyd.
Ia lahir pada 18 Februari 1201 M/597 H di kota Thus yang terletak di dekat
Meshed, sebelah Timur laut Iran. Nama ayahnya Muhammad bin Hasan, yang
mendidik Thusi sejak pendidikan dasar. Nashiruddin Al-Thusi menguasai dua bahasa
dengan baik, bahasa arab dan bahasa persia. Dia juga menulis dengan dua bahasa
tersebut. Nashiruddin Al-Thusi dapat dikatakan sebagai orang yang bisa mewakili dua
budaya-budaya arab dan budaya persia dengan tingkat penguasaan yang sama.
Pada tahun 1220 M, invasi militer Mongol telah mencapai Thus dan kota
kelahiran Nasiruddin pun dihancurkan. Ketika situasi keamanan tak menentu,
penguasa Ismailiyah Nasiruddin ‘Abdurrahim mengajak sang ilmuwan itu untuk
bergabung. Nasiruddin pun bergabung menjadi salah seorang pejabat di Istana
Ismailiyah. Nasiruddin mengisi waktunya untuk menulis beragam karya penting
tentang logika, filsafat, matematika, serta astronomi. Karya pertamanya yaitu
kitab Akhlaq-i Nasiri yang ditulisnya pada 1232 M.
Pasukan mongol yang dipimpin Hulagu-Khan cucu Chinggis Khan pada tahun
1251 M akhirnya menguasai Istana Alamut dan meluluhlantakkannya. Nyawa
Nasiruddin selamat, karena Hulagu ternyata sangat menaruh minat terhadap ilmu
pengetahuan. Dia pun diangkat Hulagu sebagai penasihatdi bidang ilmu pengetahuan.
Meskipun telah menjadi penasihat pasukan Mongol, Nasiruddin tak mampu
menghentikan ulah dan kebiadaban Hulagu Khan yangmembumihanguskan kota
metropolis intelektual dunia, Baghdad pada tahun 1258 M.
Halugu sangat senang sekali, ketika Nasiruddin mengungkapkan rencananya untuk
mebangun observatorium di Margha, Azarbaijan pada tahun 657 H/1259 M yang
dilengkapi dengan alat-alat yang baik. Di sini dia menyusun tabel-tabel astronominya,
yang disebut Zij Al-Ikhani yang ditulis dalam bahasa Persia dan diterjemahkan
kedalam Bahasa Arab yang menjadi terkenal diseluruh Asia bahkan sampai ke China.
Pada akhir abad ke-7 H/ke-13 M, observatium juga penting dalam tiga hal lainnya.
ObservatiumMargha ini mulai beroprasi pada tahun 1262 M. Pembangunan tersebut
melibatkan sarjana dari Persia dan China.
Nasiruddin juga nerhasil menulis kitab terkemuka lainnya yang berjudul At-
Tadhkirafi’ilm Al-hay’a. Ditempat itu Nasiruddin tidak Cuma mengembangkan
bidang astronomi saja, dia pun turut mengembangkan matematika serta filsafat.
Nasiruddin meninggal dunia tahun 672 H/1274 M di Baghdad di bawah pemerintah
Abaqa(pengganti Hulagu) yang masih mendapat dukungan sampai akhir hayat.
Filsafat Jiwa : Thusi berasumsi bahwa jiwa merupakan suatu realitas yang
bisa terbukti sendiri dan karena itu tidak memerlukan lagi bukti lain. Jiwa
merupakan substansi sederhana dan immaterial yang dapat merasa sendiri. Ia
mengatur tubuh melalui otot-otot dan alat perasa, tetapi ia sendiri tidak dapat
dirasa. Thusi menambahkan dua argumentasinya sendiri. Penilaian atas
logika, fisika, matematika, teologi dan sebagainya, semua ada didalam satu
jiwa tanpa tercampur baur.
Dengan demikian, sistem pemikiran Mulla Shadra yang khas tumbuh, yang
kelihatannya benar-benar berbeda dari situasi intelektual dan spiritual pada masanya.
Kesalehannya terhadap agama dapat ditunjukkan antara lain oleh kenyataan bahwa ia
dikatakan meninggal di Basrah pada 1050 H/1641 M saat pulang menunaikan ibadah
haji yang ketujuh kalinya.
B. KARYA KARYA MULLA SADRA
Sesudah Suhrawardi, sejarah tradisi filsafat berlanjut pada arah yang sama,
memunculkan prestasi lain yang juga bersifat fundamental seperti prestasi
sebelumnya. Seperti unculnya satu jenis filsafat Eksistensialime Islam, yang
secara resmi di sebut dengan ashalatal- wujud. Pendiri mazhab filsafat ini adalah
Shadral- Dien Syirazi (Mulla Sadra) yang menyebut metodologi
pemikirannya metafilsafat (al- Hikmat al-Muta’aliyah)
Mulla Shadra berpendapat bahwa semesta ini bukan hanya ilusi tetapi benar-benar
mempunyai eksistensi sama seperti eksistensi Tuhan. Namun demikian Shadra
tidak menyimpulkan sebagai wahdatal-wujud, tetapi mengajukan tasykikal-
wujud sebagai solusinya, yakni eksistensi itu mempunyai gradasi yang kontinu.
Jelasnya, menurut Sadra, dari ada Mutlak hingga Tiada Mutlak terdapat gradasi
“ada-ada nisbi” yang tidak terhingga. Dengan kata lain, realitas ini terbentang dari
kutub Tiada Mutlak sampai kutub Ada Mutlak dengan perbedaan tingkat kualitas
dan intensitasya. Inilah pandangan kesatuan realitas versi Mulla Shadrayang
disebut “Hikmah al-Muta’aliyah”. Menurut ArhamediMazhar, pandangan ini
merupakan sintesa besar antara teologi, filsafat dan mistik
d. Filsafat Jiwa
Mulla Sadra menetapkan tiga jalan utama untuk mencapai kebenaran atau
pengetahuan : jalan wahyu, jalan inteleksi (ta’aaqul), dan jalan musyahdah dan
mukasyafah (jalan penyucian kalbu dan penyingkaban mata hati) dengan
menggunakan istilah lain. Mulla sadra menyebut jalan tersebut sebagai jalan al-
Quran, jalan Al-Burhan, dan jalan Al-irfan. Istilah husuli (konseptual)tersebut
merupakan kunci penting memahami teori pengetahuan mulla sadra . dalam teori
pengetahuannya, Mulla sadra membagi pengetahuan menjadi dua jenis :
pengetahuan husuli atau konseptual dan pengetahuan atau ilmu huduri. Bentuk
pengetahuan ini menyatu dalam diri seseorang yang telah mencapai pengetahuan
berperingkat tinggi. Bangunan epistimologi mulla sadra berkaitan erat dengan
idenya tentang wahdah (unity), asalah (principality), tasykik (gradation) dan ide
perubahan substantif. Menurut sadra wujud atau realitas itu hanyalah satu yang
membentuk hierarki dari debu hingga singgasana illahi. Tuhan sendiri adalah
wujud mutlak yang menjadi titik wujud permulaan itu, dengan demikian Tuhan
adlah transenden vis-a-vis rantai wujud.
Gagasan mulla sadra tentang tuhan berbeda dengan gagasan ketuhanan yang
dimiliki oleh Al-Farabi dan ibnu Sina. Mulla sadra berpendapat bahwa
ketidakbutuhan dan kesempurnaan esensi tuhan tak cukup dengan menegaskan
kekadiman dan kemanunggalan esensi tuhan dan wujud. Dalam
pandangannya teori bahwa tuhan yang merupakan wujud murni dan basit, bukan
dalil atas keniscayaan dan ketidakbutuhan mutlak tuhan. Teori ini tak lain
menegaskan bahwa maujud yang terasumsi merupakan maujud hakiki, bukan
maujud majasi.
Pengaruh mulla shadra pada masanya sangat terbatas dan mahzabnya hanya
mempunyai sedikit pengikut. Ajaran sadra menyebar secara gradual terutama berkat
komentar-komentarnya terhadap karya ibnu sina dan Ashuhawardi yang menarik
perhatian para pengikut mazhab Peripatetikme (logika” aristoteles) dan
Illuminasionisme
Tokoh penting pertama mazhab mulla shadra yang sebenarnya, yang telah
mencetak sejumlah murid yang handal aktif adalah mullah’ali Nuri (wafat 1246)
sementara itu Asytiyani memproklamasikan diri sebagai pengikut terbesar dan
terbaik dikalangan para komentator shadra.
Mulla sadra bukan sekedarafilusuf terkenal selama enam abad terakhir. Bagi
sebagian orang ia telah dianggap setara dengan ibnu sina dan Al-Farabi bahkan
melampaui keduanya. Meskipun ia menguasai semua mazhab filsafat pada zamannya
(peripatetik, iluminasionisme, teologi islam, dan irfan) ia tak pernah secara total
dipengaruhi dan meretas pada mazhab filsafatnya sendiri, filsafat transenden (al-
hikmah almuta’aliyah). Ia mengkritik semua titik lemah yang disuguhkan oleh filusuf
agung sebelumnya dan mencoba menyajikan sejumlah pemecahan filsufis atas
masalah-masalah tersebut.
Hal itu membuktikan bahwa mulla sadra merupakan seorang filsuf muslim
yang cukup produktif , kreatif, dan orisinal dengan karyanya yang begitu banyak
mencakup berbagai bidang pemikiran islam yang ditulis, baik dengan bahasa arab
maupun dengan bahasa Persia. Dari semua karyanya Al-hikmah L-muta’aliyahfi asfar
Al-Arba’ah merupakan karyanya yang terbesar.