Sebagian besar ekonom sepakat bahwa sumber daya manusia (human resources) dari suatu
bangsa, bukan modal fisik maupun sumber daya material, merupakan factor yang paling
menentukan kecepatan pembangunan social dan ekonomi bangsa yang bersangkutan.
Di banyak near berkembang, pendidikan formal adalah “industry” dari konsumen terbesar
anggaran pemerintah. Bengsa-bangsa yang miskin telah menginvestasikan sejumlah uang yang
sangat besar dalam bidang pendidikan. Tamatan sekolah menengah pertama, dengan sedikit
pengetahuan dalam hitung-menghitung dan keahlian administrasi, sangat diperlukan untuk
melaksanakan fungsi-fungsi administrasi dan teknis atas segenap organisasi swasta serta
pemerintah, dan juga untuk menggantikan tenaga-tenaga asing dari negara-negara maju bekas
penjajahannya. Tamatan universitas dengan tingkat pelatihan yang lebih tinggi juga sangat
diperlukan dalam rangka pengelolaan dan mengembangkan organisasi-organisasi modern milik
swasta dan pemerintah. Di samping adanya kebutuhan-kebutuhan perencanaan sumber daya
manusia (man-power planning), yakni untuk mendapatkan tenaga-tenaga kerja terdidik dalam
berbagai tingkatan dalam rangka menyelenggarakan segenap kegiatan pembangunan, para
anggota masyarkat sendiri, baik kaya maupun miskin, telah melakukan tekanan-tekanan politis
yang sangat kuat terhadap pemerintah bagi penyediaan dan perluasan sekolah. Hal ini terjadi di
semua negara berkembang. Para orang tua semakin menyadari bahwa pada masa yang hanya
menerima tenaga-tenaga kerja yang terampil dan berpendidikan, maka semakin tinggi tingkat
pendidikan dan semakin banyak sertifikat yang dimiliki anak mereka, maka akan semakin baik
pula kesempatan mereka untuk mendapatkan pekerjaan berpendapatan tinggi dan jaminan hidup
yang memuaskan. Bagi golongan miskin, pendidikan dianggap sebagi jalan satu-satunya untuk
mengangkat anak-anak mereka dari lembah kemiskinan. Sebagai akibatnya, dari sisi permintaan
maupun penawaran, tingkat pengeluaran pemerintah negara berkembang untuk bidang
pendidikan melonjak sangat tajam. Angka persentase anggaran pendidikan terhadap pendidikan
nasional maupun terhadap anggaran belanja nasional meningkat dengan pesat.
Proporsi anak-anak usia sekolah yang melakukan pendaftaran dan belajar di sekolah-
sekolah dasar, menengah, dan pendidikan tinggi di negara-negara berkembang ternyata jauh
tertinggal dari yang ada di negara-negara maju.
Dibandingkan dengan kaum pria, kesempatan untuk mengecap pendidikan bagi kaum
wanita muda (remaja dan usia sekolah) sangat tertinggal. Kesenjangan pendidikan antargender
(educational gender gap) ini semakin mencolok di negara-negara miskin. Diskriminasi
pendidikan terhadap kaum wanita dapat manyebabkan terhambatnya pembangunan ekonomi,
karena hal itu memang memperburuk ketimpangan kesejahteraan social. Ada 4 alasan
peningkatan kesempatan bagi kaum wanita untuk mendapatkan pendidikan, dari segi ekonomi,
yaitu:
1. Tingkat hasil pendidikan wanita di negara-negara Dunia Ketiga ternyata lebih tinggi
daripada tingkat hasil pendidikan kaum pria.
2. Peningkatan pendidikan kaum wanita tidak hanya akan memacu produktivitas sektor-
sektor pertanian maupun industry, tetapi juga akan menurunkan usia pernikahan, meredakan
tingkat fertilitas, serta memperbaiki mutu kesehatan dan nutrisi anak.
3. Peningkatan kualitas kesehatan dan gizi anak-anak, serta membaiknya pendidikan ibu-ibu
mereka, dengan sendirinya akan sangat memperbaiki kualitas sumber daya manusia selama
beberapa generasi mendatang.
4. Karena kaum wanitalah yang menanggung beban terbesar dari kemiskinan dan
kelangkaan lahan garapan di banyak negara Dunia Ketiga, maka setiap perbaikan peranan
dan status ekonomi mereka melalui peningkatan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan
akan melipatgandakan daya dan kekuatan mereka guna menghancurkan lingkaran setan
kemiskinan dan keterbatasan pendidikan.
Sebagian besar kepustakaan dan diskusi-diskusi yang dilakukan oleh masyarakat mengenai
pendidikan dan pembangunan ekonomi pada umumnya, pendidikan dan kesempatan kerja
khususnya, berputar di sekitar dua proses ekonomi yang fundamental: (1) interaksi antara
permintaan yang bermotivasi ekonomis dan penawaran yang bermotivasi politik sebagai
tanggapannya, dalam menentukan berapa banyak sekolah akan didirikan, siapa saja yang
mendapatkannya, dan intruksi macam apa yang akan mereka terima; (2) pentingnya selisih
antara manfaat dan biaya-biaya, baik yang berskala individual maupun social, dari masing-
masing tingkatan pendidikan, serta segenap implikasi yang ditimbulkan oleh selisih-selisih
tersebut terhadap strategi investasi di bidang pendidikan.
Dari sisi permintaan, ada dua hal yang paling berpengaruh terhadap jumlah pendidikan
yang diinginkan, yakni: (1) harapan bagi seorang siswa yang lebih terdidik untuk mendapatkan
pekerjaan dengan penghasilan yang lebih baik dari sektor modern di masa yang akan datang
(merupakan manfaat pendidikan individual bagi siswa atau keluarganya); (2) biaya-biaya
sekolah, baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung, yang harus dikeluarkan oleh siswa
atau keluarganya. Permintaan terhadap merupakan suatu “permintaan tak langsung” atau
permintaan turunan (derived demand).
Dari sisi penawaran, jumlah sekolah pada tingkat sekolah dasar, menengah dan universitas
lebih banyak ditentukan oleh proses politik, yang sering tidak ada sangkutpautnya dengan
criteria ekonomi. Tingkat penawaran pendidikan dari pihak pemerintah itu sendiri terjelma
sebagai anggaran belanja pemerintahuntuk sektor pendidikan. Pelaksanaan atau alokasi anggaran
itulah yang akan dipengaruhi oleh tingkat permintaan agregat dari masyarakat terhadap
pendidikan.
1. Selisih pendapatan atau upah, maksdnya perbedaan tingkat upah antara pekerjaan yang
ada di sektor modern dan sektor-sektor lain diluar sektor modern atau sektor tradisional.
Masih ada beberapa variable penting lainnya yang kebanyakan bersifat nonekonomi
(misalnya, seseoarang ingin sekolah karena pengaruh tradisi atai budaya, karena ingin
meningkatkan status social, meneruskan tradisi pendidikan orang tua, dan besarnya anggota
keluarga), yang sangat mempengaruhi tingkat permintaan terhadap pendidikan.
Tingkat permintaan terhadap pendidikan akan sangat tinggi karena manfaat individual yang
diharapkan dri pendidikan yang lebih tinggi jauh lebih besar bila dibandingkan manfaat dari
tingkat pendidikan yang lebih rendah atau alternative tidak berpendidikan (hal ini juga sudah
diperhitungkan terhadap biaya-biayanya, termasuk biaya oportunitas). Manfaat pendidikan
begitu mencolok karena aneka biaya individual, baik yang langsung maupun tidak langsung,
relative murah. Dengan demikian, permintaa akan pendidikan bisa dpastikan semakin lama akan
semakin meningkat. Dinamika dari proses permintaan-penawaran terhadap kesempatan kerja
pada akhirnya akan menuju pada suatu situasi di mana kesempatan bekerja untuk mereka yang
hanya berpendidikan sekolah dasar mulai menurun.
Sebagai akhir dari semuanya adalah adanya kecenderungan negative yang kronis di negara-
negara berkembang untuk memperluas fasilitas pendidikan dengan kecepata yang sangat sulit
dibenarkan bila dipandang dari segi alokasi sumber-sumber daya yang optimal, baik secara
social maupun financial. Manfaat social pendidikan (social benefits of education), yakni manfaat
dari pendidikan bagi masyarakat secara keseluruhan, jauh lebih kecil dan terus semakin
terabaikan dibandingkan dengan manfaat individual.
Sebagai akibat dari terus berkembangnya fenomena negative pengutamaan ijazah atau
sertifikat pendidikan (educational certification), orang-orang yang karena berbagai macam
alasan (kebanyakan karena kemiskinan) tidak dapat melanjutkan pendidikan akan berada dalam
golongan orang-orang putus sekolah atau tidak berpendidikan yang sangat sulit mendapatkan
bidang pekerjaan formal. Namun orang-orang yang lebih makmur justru merendahkan bobot
ijazah dengan cara terus-menerus malanjutkan pendidikan sampai tingkat yang setinggi-
tingginya.
Kesenjangan yang semakin melebar antara biaya individu dan biaya social akan lebih
memacu tingkat permintaan atas pendidikan tinggi (biasanya lebih tertuju pada pendidikan
tingkat tinggi daripada yang tingkatannya lebih rendah). Akibatnya, tingkat permintaan
masyarakat akan pendidikan tingkat universitas (pasca pendidikan tingkat menengah) menjadi
semakin terpacu. Dengan teciptanya lonjakan permintaan yang begitu besar, maka biaya-biaya
yang harus ditanggung jauh lebih besar dan berat daripada sekedar biaya pembangunan gedung
universitas dan segala fasilitasnya. Masyarakat juga harus menanggung biaya social yang berupa
semakin memburuknya alokasi sumber daya yang akan menyusutkan persediaan dana dan
kesempatan untuk menciptakan kesempatan kerja secara langsung atau untuk menjalankan
program pembangunan lainnya. Sedikit demi sedikit pendidikan tinggi bukan lagi menjadi alat,
melainkan menjadi tujuan itu sendiri. Masyarakat bukannya memanfaatkan pendidikan, tetapi
justru diperbudak oleh pendidikan.
Secara umum, ketimpangan atau perbedaan antara manfaat dan biaya social di satu sisi
dengan manfaat dan biaya individu di sisi lain sebenarnya telah diciptakan secara artificial
melalui kebijakan-kebijakan pemerintah dan swasta yang kurang tepat seperti terus
dipertahankannya selisih upah, selektivitas pendidikan yang berlebihan, serta penentuan harga
(pricing) jasa pendidikan yang tidak tepat. Akibatnya, persepsi individu mengenai pendidikan
jauh melampaui nilai sosialnya; sementara angka pengangguran terus melonjak, perhatian
individu terus terarah ke pencapaian tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Selama berbagai
sinyal “harga”tidak disesuaikan agar mendekati realitas social, maka misalokasi sumber daya
nasional (dalam hal ini adalah terlalu besarnya pengeluaran untuk pendidikan formal) akan terus
terjadi dan bahkan mungkin saja akan menjadi semakin buruk.
Yang paling diperlukan di sini adalah struktur biaya dan rangsangan (intensif) yang dapat
berfungsi secara baik sehingga mampu mengalokasikan sumber daya manusia sesuai dengan
kebutuhan dan kesempatan yang ada ke dalam berbagai segmen perekonomian. Apabila hal
tersebut tidak muncul maka paling tidak akan segera tercipta dua bentuk misalokasi sumber daya
manusia yang akan merugikan. Pertama, dengan output system pendidikan yang sudah amat
berlebihan dari apa yang dapat diserap oleh perkonomian, banyak anak didik yang akan
menyaksikan bidang-bidang pekerjaan yang sebenarnya cocok untuk mereka dan sesuai dengan
tingkat pendidikan yang mereka miliki ternyata elah ditempati oleh orang-orang yang
berpendidikan lebih tinggi. Kedua, bagi mereka yang elah menyesuaikan diri dengan
“menurunkan” harapan mereka dan mencari pekerjaan yang seadanya di sektor modern, biasanya
akan mendapatkan pekerjaan yang sebenarnya tidak memerlukan tingkat pendidikan yang
mereka miliki.
Hubungan antara pendidikan dan pembangunan adalah suatu proses dua arah. Dengan
mengungkapkan struktur sosioekonomi masyarakat, di mana system pendidikan itu berada ,
system pendidikan cenderung meneruskan, memperkuat, dan menghasilkan kembali struktur
sisial ekonomi yang sama. Sebaliknya, penataan kembali system pendidikan secara cermat, baik
dilakukan dari dalam ataupun dari luar sistenya sendiri, mempunyai potensi yang besar bagi
terciptanya perbaikan-perbaikan pada struktur social dan ekonomi masyarakat seara keseluruhan.
Ada lima komponen pokok dari masalah pembangunan ekonomi Dunia Ketiga yang paling
mendasar, yakni:
1. Pertumbuhan ekonomi
4. Migrasi
1. Terciptanya angkatan kerja yang lebih produktif karena bekal pengetahuan dan
keterampilan mereka lebih baik.
2. Tersedianya angkatan kerja yang lebih luas (yang berarti kesempatan untuk memperoleh
pendapatan) bagi para guru, buruh bangunan, percetakan buku-buku sekolah, pabrik tekstil
untuk seragam sekolah, dan sebagainya
3. Terciptanya suatu kelompok pimpinan yang terdidik untuk mengisi lowongan jabatan di
unit usaha, lembaga, perusahaan, dan organisasi milik pemerintahan dan swasta yang
ditinggalkan oleh pekerja asing dan berbagai lowongan profesi yang lainnya.
4. Tersedianya berbagai program pendidikan dan pelatihan, mulai dari yang ditujukan untuk
memberantas buta huruf dan memberikan keterampilan dasar sampai dengan yang
dimaksudkan untuk membina sikap-sikap “modern”.
Bahwasanya tersedianya tenaga-tenaga kerja terampil dan terdidik sebagai syarat
pentingnya berlangsungnya pembangunan ekonomi secara berkesinambungan sama sekali tidak
perlu diragukan.
Alasan utama adanya efek buruk pendidikan formal terhadap distribusi pendapatan adalah
adanya korelasi yang positif antara tingkat pendidikan seseorang dengan penghasilannya seumur
hidup. Korelasi ini dapat dilihat terutama pada mereka yang menyelesaikan sekolah menengah
dan universitas.
Ada dua alasan ekonomi mendasar yang menyatakan system pendidikan di banyak negara
berkembang di banyak negara berkembang pada dasarnya tidak memperhatikan aspek
pemerataan (equality). Pertama, biaya-biaya individual untuk menempuh sekolah dasar
(terutama bila dipandang dari biaya oportunitas tenaga kerja seorang anak dari keluarga miskin)
secara relative jauh lebih tinggi bagi anak orang miskin daripada biaya-biaya yang yang harus
dipikul oleh anak-anak dari keluarga kaya. Kedua, manfaat yang diharapkan dari pendidikan
sekolah dasar bagi anak-anak dari keluarga miskin justru lebih rendah. Alasan-alasan yang
menyebabkan biaya-biaya relative, sedangkan manfaatnya justru relative rendah bagi anak-anak
dari keluarga miskin.
Pertama, tingginya biaya oportunitas tenaga kerja yang harus ditanggung keluarga miskin
jika anaknya bersekolah. Akibat dari biaya oportunitas yang acapkali libih tinggi dari biaya-
biaya nyata ini, kehadiran dan prestasi di sekolah cenderung lebih rendah bagi anak-anak
keluarga miskin bila dibandingkan dengan keluarga yang berpendapatan lebih tinggi. Kedua,
adanya proses berdimensi financial yang cenderung mendepak anak-anak keluarga miskin dari
bangku sekolah selama masa pendidikannya tersebut seringkali masih diperberat lagi oleh
adanya biaya sekolah yang cukup mahal pada tingkat sekolah lanjutan.
Ketimpangan system pendidikan di banyak negara Dunia Ketiga tampak lebih mencolok
pada pendidikan tingkat universitas, yang sebagian atau seluruh biayanya disubsidi pemerintah.
Mengingat sebagian besar mahasiswa universitas berasal dari golongan erpendapatan tinggi ,
pendidikan universitas yang biaya-biayanya disubsidi dengan menggunakan dana yang berasal
dari masyarakat luas itu pada akhirnya justru hanya akan dinikmati oleh mereka yang berasal
dari keluarga-keluarga yang relative makmur. Dengan demikian, terciptalah suatu proses yang
sangat ironis serta menyedihkan, yaknisuatu”transfer payment” dari golongan miskin kepada
golongan kaya yang berlangsung melalui “program nasional pembebasan biaya pendidikan tinggi
demi meningkatkan kualitas, kecerdasan, dan kemakmuran bangsa.
Pendidikan tampaknya juga merupakan slah satu factor pendorong migrasi internal (dari
desa ke kota di dalam satu negara). Pendidikan juga memainkan peranan penting atas masalah
migrasi internasional di kalangan tenaga-tenaga terdidik dari negara-negara berkembang (mereka
hijrah kenegara lain untuk mendapatkan penghidupan dan pekerjaan yang dianggap lebih baik).
Fenomena yang disebut sebagai pengurasan intelektual (brain drain) tersebut semakin lama
semakin penting, karena jumlahnya semakin banyak. Kalangan professional berpendidikan tinggi
dalam jumlah ribuan meninggalkan negara asalnya secara permanen untuk mencari bidang
pekerjaan yang lebih baik. Ini merupakan suatu kenyataan yang menyedihkan, karena setelah
mereka memperoleh pendidikan di negara-negara asalny dengan biaya social yang sangat besar,
setelah berhasil mereka justru pergi untuk mencari keuntungan bagi diri mereka sendiri. Negara
yang memperoleh manfaat justru bukan negara yang telah membesarkan mereka, melainkan
negara-negara lain yang berani menawarkan penghasilan lebih tinggi.
Pendidikan juga memiliki hubungan erat dengan fertilitas; sudah banyak data-data empiris
yang membuktikannya. Semakin baik atau tinggi pendidikan yang diterima kaum wanita, maka
tingkat fertilitas amereka(katakana saja kecenderungan untuk mempunyai banyak anak) akan
semakin rendah. Ada dua alasan utama unuk suatu kesimpulan.
Pertama, perluasan system pendidikan formal tingkat dasar cepat menciptakan tuntutan
yang sangat kuat dari sisi permintaan terhadap perlusan sekolah tingkat lanjutan dan perguruan
tinggi. Hasil akhirnya adalah perluasan system sekolah formal yang secara keseluruhan
terlampau berlebihan. Kedua, pendidikan bagi kaum wanita memang berpengaruh terhadap
tingkat fertilitas mereka. Mekanismenya terutama melalui naiknya biaya oportunitas waktu untuk
mengasuh anak.
Yang terakhir, upaya mendidik kaum wanita telah terbukti merupakan sebuah elemen kunci
untuk menghancurkan lengkaran setan yang meliputi kesehatan anak yang buruk, kinerja
pendidikan yang rendah, pendapatan yang minim, serta tingkat fertilitas yang tinggi. Banyak
penelitian mengungkapkan bahwa pendidikan bagi kaum wanita juga merupakan langkah yang
tepat dalam rangka menurunkan tingkat kematian bayi.
Pertama dan yang paling utama, pembangunan pedesaan harus ditunjau dalam konteks
transformasi ekonomi serta struktur social, kelembagaan, hubungan-hubungan dan cara-cara
kerja di daerah pedesaan pada masa-masa mendatang. Sasaran-sasaran pembangunan pedesaan
yang harus dijangkau antara lain adalah penciptaan kesempatan kerja produktif yang lebih
banyak, baik dari sektor pertanian maupun dari sektor nonpertanian; pemerataan kepemilikan
lahan subur di pedesaan; distribusi pelayanan kesehatan, gizi, dan perumahan yang lebih merata;
adanya kesempatan yang lebih luas untuk mendapatkan pendidikan formal (di sekolah) dan
pendidikan nonformal (nonformal education) (luar sekolah) baik untuk anak-anak, terutama
pendidikan yang mempunyai relevansi langsung terhadap kebutuhan dan aspirasi masyarakat
desa.
Philip H. Coombs dan Manzoor Ahmed menyajikan tipologi system pendidikan untuk
menopang pembangunan pedesaan. Ada 4 kategori utama, pengelompokan kebutuhan-kebutuhan
pendidikan bagi anak-anak dan orang dewasa, pria dan wanita yang dilakukan oleh Philip H.
Coombs dan Manzoor Ahmed, yaitu:
1. Modifikasi system intensif dan sinyal-sinyal social maupun ekonomi eksternal yang
berada diluar system pendidikan, yang seringkali justru mampu menentukan jangkauan,
struktur, dan orientasi permintaan agregat individu terhadap pendidikan serta timbulnya
tanggapan politis dalam bentuk penyediaan tempat-tempat dan fasilitas sekolah oleh
pemerintah.
2. Modifikasi efektivitas dan pemerataan unsure-unsur internal atau yang berada di dalam
system pendidikan itu sendiri, melalui penyesuaian materi-meteri pelajaran (terutama daerah
pedesaan), perbaikan struktur pembiayaan oleh pemerintah dan individu, penyempurnaan
metode seleksi dan promosi, serta peningkatan kualitas prosedur penilaian jabatan atau posisi
pekerjaan atas dasar tingkat pendidikan (agar ijazah tidak terlampau diutamakan sehingga
melebihi kompetensi.
Pembatasan secara langsung atau tidak langsung atas migrasi internasional yang dilakukan
oleh tenaga-tenaga professional yang sangat terdidik dan terlatih merupakan hal yang sensitive.
Oleh karena itu secaraekonomis m,aupun moral, upaya pembatasan sementara atas arus
perpindahan tenaga-tenaga terdidik tersebut dapat dibenarkan, demi kepentingan nasional. Salah
satu caranya, pemerintah negara asal perlu mengenakan pajak atas penghasilan para migrant
professional yang mereka peroleh dari luar negeri, atau harus menanamkannya kembali guna
menunjang basis pembiayaan program-program pembangunan nasional. Adanya pengenaan
pajak dapat berfungsi sebagai diinsentif finansial bagi yang hendak melakukan migrasi. Namun
implementasinya memerlukan bantuan dan kerja sama dengan negara-negara tempat tujuan
migrasi.
Anggaran Pendidikan
Pemerintah dapat menyisihkan lebih banyak dana anggaran untuk membiayai program-
program penciptaan kesempatan kerja di daerah pedesaan dan perkotaan. Alokasi sebagian besar
anggran pendidikan yang tersedia hendaknya dipusatkan untuk pembangunan pendidikan dasar,
bukannya untuk pendidikan lanjutan dan tinggi.
Subsidi
Penyediaan subsidi untuk pendidikan di tingkat yang lebih tinggi seharusnya dikurangi
sebagai usaha untuk mengatasi distorsi permintaan agregat (individu) terhadap pendidikan.
Kebijakan subsidi sedapat mungkin harus diarahkan agar individu itu sendiri yang akan
menanggung sebagian besar biaya pendidikannya, jika ia memang berniat meneruskannya ke
jenjang-jenjang yang lebih tinggi. Hal ini dapat dilakukan baik secara langsung maupun secara
tidak langsung.
Kuota