Anda di halaman 1dari 12

TEORI AKUNTANSI SYARIAH

RISUME ISLAMISAI ILMU PENGETAHUAN

MINGGU KE-2

Dosen Pengampu:

Prof. Dr. Hadri Kusuma, MBA

Disusun Oleh:
ARIFAH 19919003

PROGRAM STUDI MAGISTER AKUNTANSI

FAKULTAS BISNIS DAN EKONOMIKA

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

2020
Jurnal 1

Judul: Pemikiran Ismail Raji Al-Faruqi


Penulis: Dra. Hj Rahimah MA.g
Ismail Raji Al-Faruqi lahir di Jaffa, Palestina 1 Januari 1921. Dikenal sebagi ahli ilmu
agaman islam dan ilmu perbandingan agama. Memuali studi di Collage des Freres Libanon
(1941) kemuadian melanjutkan pendiidkan di Amerika University, Beirut untuk mengambil
gelar sarjana dalam bidang filsafat, dan menjadi pegawai Pemerintah palestina di bawha
mandat inggris selama empat tahun. tahun 1948 beliau kembagi melanjutkan studi untuk
mendapatkan gelar master dalam bidang filsafat di Indiana University (1948). Dua tahun
kemudia mendapatan gelar master di Harcard University di bidnag filsafat. Dan juga sempat
belajar di Al-Azhar University, Kairo Mesir.

Karya-karya al-faruqi

Buku-buku yang pernah di tulis oleh ak-Faruqi:

1. Tauhid: iys implications for Thought and file (1982), buku yang megupas Tauhid, Tauhid
dikaitkan dengan dengan seluruh aspek kehidupan manusia baik dari segi politik, sosial,
dan budaya.
2. Islamization of knowledge: General Principle and Workplan (1982) membahas proses
yang harus ditempuh dalam prose islamisasi.
3. Cristian Ethics, Triolouge of Abraham Faits, 3 topik utama yang di bahas: tiga agaman
saling memandang. Konsep tiga agaman tentang negara dan bangsa, konsep tiga agama
tentang keadilan dan perdamaian, masing masing penyumbang dari Yahudi, Kristen dan
Islam menawarkan prespektif yang jelas mengenai poko persoalan berdasarkan tiga topik
utaa tersebut.
4. Cultural Atlas Islam karya yang di tulis dengan Istrinya, Louis Iamiya a-Faruqi yang
diterbitkan tak lama setelah keduanya meninggal.
5. The Life of Muhammad (Philadelphia: Temple University Press, 1973); Urubah and
Relegion (Amsterdam: Djambatan, 1961); Particularisme in the Old Testament nd
Contemporary Sect in Judaism (Cairo: League of arabe States, 1963); The Great Asian
Religion (New York: Macmillen, 1969) (AI-Faruqi, 1975:XI), serta banyak lagi artikel
dan makalah yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Pokok –pokok Pemikiran Al-Faruqi

Beliau mengemukakan gagasan serta pemikira yang berhubungan engan masalah-masalah


yang dihadapi umat Islam, yang berporos satu sumbu yaitu Tauhid.

1. Tauhid
Tema sentral pemikiran islam adalah pemurnian Tauhid, karen anilai dari keislaman
seseorang itu adalah pengesahan terhadap Allah SWT yang terangkum dalam syahadat.
Bagi Al-Faruqi esensi peradaban Islam adalah Islam itu sendiri dan esensi islam adalahh
tauhid atau pengesaan terhadap Tuhan, tindakan yang menegaskan Alah sebagai yang
Esa, pencipta mutlak dan transendenm penguasa segala yang ada. Tauhid adalah
memberikan identitas peradaban Islam yang mengikat semua unsur-unsurnya bersama-
sama dan enjadikan unsur-unsur tersebut suatu kesatuan yang integral dan organis yang
disebut peradaban.
Empat prisip tauhid menurtu Al-faruqi:
 kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah, itu berarti bahwa realitas bersifat ganda
yaitu terdiri dari tingkatan alamiah atau ciptaan dan tingkat trasenden atau pencipta.
 kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah, itu berarti bahwa Allah adalah Tuhan
dari segala sesua u yang bukan Tuhan. Ia adalah pencipta atau sebab sesuatu yang
bukan Tuhan. Ia pencipta atau sebab terawal dan tujuan terakhir dari segala sesuatu
yang bukan Tuhan.
 kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah, itu berarti bahwa Allah adalah Tuhan
dari segala sesuatu yang bukan Tuhan. Ia adalah pencipta atau sebab sesuatu yang
bukan Tuhan. Ia pencipta atau sebab terawal dan tujuan terakhir dari segala sesuatu
yang bukan Tuhan terhadap alam yang dapat ditundukkan perbuatan yang
membungkam alam, yang berbeda adalah tujuan susila dari agama.
 bahwa manusia mempunyai kesanggupan untuk berbuat dan mempunyai
kemerdekaan untuk tidak berbuat. Kemerdekaan ini memberi manusia sebuah
tanggungjawab terhadap segala tindakannya.

Implikasi tauhid bagi teori sosial, dalam efeknya, melahirkan ummah, suatu kumpulan
warga yang organis dan padu yang tidak dibatasi leh tanah kelahiran, kebangsaan, ras,
kebudayaan yang bersifat universal, totalitas dan bertanggung jawab dalam kehidupan
bersama-sama dan juga dlama kehidupan masing-masing. Menurut al faruqi Tauhid
sama pentingnya dengan pentingnya islam itu sendiri.
2. Islamisasi Ilmu pengetahuan
Ide islamisasi ilmu pengetahuan al-faruqi berkaitan erat dengan idenya tentang tauhid,
terangkum dalam prinsip tauhid ideasionalitas dan teologi. Dalam menghindari kerancuan
Barat Al-Faruqi mengemukakan prisip metologi tauhid sebagai satu kesatuan kebenaran,
dalam hal ini tauhid terdiri dari tiga prisip: pertama penolakan terhadap segala sesuatu
yang tidak berkaitan dengan realitas, agar meniadakan dusta dan penipuan dlaam Islam.
Kedua, tidak ada kontraksi yang hakiki melindunginya dari kontradiksi di satu pihak, dan
paradoks di lain pihak. Prinsip ini merupakan esensi dari rasionalitas untuk lepas dari
skepetisme. Ketiga, tauhid dalam metologi adalah tauhid sebagai kesatuan, kebenaran
yaitu keterbukaan terhadap bukti baru dan/atau yang bertentangan, melindungi kamu
muslimin dari literalisme, fanatisme, dan konservatisme yang mengakibatkan
kemandegan. Agar kaum muslimin memiliki sikap rendah hati intelektual, dengan kalimat
wallahu’alam.
Dalam rangka membentangkan gagasannya tentang bagaimana Islamisasi itu dilakukan,
Al-Furuqi menetapkan lima sasaran dari rencana kerja Islamisasi, yaitu:
 Menguasai disiplin-disiplin moderen
 Menguasai khazanah Islam
 Menentukan relevensi Islam yang spesifik pada setiap bidang ilmu pengetahuan
moderen
 Mencari cara-cara untuk melakukan sentesa kreatiF antara khazanah Islam dengan
khazanah Ilmu pengetahuan moderen.
 Mengarahkan pemikiran Islam kelintasan-lintasan yang mengarah pada pemenuhan
pola rancangan Tuhan.
3. Politik
Pandangan al-faruqi tentang khalifah. Menurut Al-Faruqi kekhalifahan adalah suatu
kesepakatan tiga dimensi: yaitu kesepakatan wawasan yang merupakan komunitas pikiran
dan kesadaran, kesepakatan kekuatan merupakan komunitas kehendak dan mempunyai
dua komponen, ashabiyah atau sensus komunitas, dimana kaum muslimin menanggapi
peristiwa-peristiwa dan situasi dengan cara yang sama, dalam kepatuhan yang padu
terhadap Tuhan dan kesepakatan tindakan yang merupakan pelaksanaan dari kewajiban
yang timbul dari ijma. Beliau juga berpendapat khalifah bertanggug jawab menlindungi
keragaman, bahkan wajib melindungi pemeluk agama kristen, Yahudi dsb karena tidak
ada paksaan dalam agaman Islam.
Pandangan Al-Faruqi tentang Zionis. Menurut beliuan Islam tidak menentang terhadap
Yahudisme dan menagganggapnya sebagai agaman Tuhan, sebaliknya Islam menentang
zionisme, politik dan perilaku zionisme karena kejahatannya terhadap orang-orang
palestina pria dan wanita, terhadap eksistensi resmi bangsa palestina, terhadap orang-
orang arab dan negeri-negeri di sekitanya maupun ummat. Beliau juga menyatakan
negara zionis akan di bongkar keburukannya meskipun memalui kekerasan. Selain zionis
Al-faruqi juga menentang gerakan sayap kanan dan fundamentalitalisme Yahudi yang
memanfaatkan idiologi zionis tersebut.

Jurnal 2

Judul: Memahami Gagasan Islmisasi Ilmu Pngetahuan


Penulis: Dr. Marzuki, M.Ag

Sejarah munculnya Gagasan islamisasi Ilmu

Gagasan awal islamisasi ilmu pengetahuan, termasuk ilmu-ilmu sosial di perkenalkan oleh
islmail Raji Al-Faruqi. Beliau menulis di sebuah artikel yang berjudul Islamizing the Social
Science yang kemudian dimuat dalam buku Social and Natural Sciences: The Islamic
Perspective (1981: 8-20). Setahun kemudian al-Faruqi menulis sebuah buku yang berjudul
Islamization of Knowledge: General Principles and Workplan (1982). Dalam buku tersebut
mengulas gagasan islamisasi ilmu pengetahuan yang dilandasi oleh ajaran pokok silam
tauhid, yaitu kesatuan yang meliput kesatuan pengetahuan, kesatuan kehidipan dan kesatuan
sejarah. Untuk mengembangkan Islamisasi ilmu-ilmu sosial, al-Faruqi kemudian
mendirikan suatu lembaga yang diberi nama International Institute of Islamic Thought di
Virginia USA. Aktivitas lembaga ini tidak terbatas pada usaha menjabarkan rencana
Islamisasi ilmu saja, akan tetapi juga mencakup upaya Islamisasi setiap disiplin dalam
ilmu-ilmu sosial.

Sebelum al-faruqi menulis buku-buku ggasan islaisasi ilmu pengetahuan gagasan tersebut
sebenarnya telah di uataran oleh Seyyed Hossein Nasr dalam disertasi yang dipertahankan di
Harvard University tahun 1985, yaitu An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines
diteritkan tahun 1964. Dalam buku tersebut masih belum membrikan gambaran yang utuh
terhadap gagasan islamisasi ilmu, namun lebih menitikberatkan metodologinya, yakni
bagaimana menjelaskan metode yang digunakan para ilmuan Muslim dalam menelorkan
gagasan tentang ilmu pengetahuan modern.

Gagasan Islamisasi ilmu-ilmu sosial juga dicetuskan oleh Syed Muhammad al-Naquib Alatas.
Menurut Alatas Islamisasi ilmu merujuk kepada upaya mengeliminasi unsur-unsur serta
konsep-konsep pokok yang membentuk kebudayaan dan peradaban Barat, khususnya dalam
ilmu-ilmu kemanusiaan. Termasuk dalam hal ini adalah cara pandang terhadap realitas yang
dualistik.
Prinsip Dasar Islamisasi Ilmu Pengetahuan

Untuk menunjang pelaksanaan Islamisasi ilmu pengetahuan, termasuk ilmu-ilmu sosial, al-
Faruqi (Bagader, 1985: 19-22) melihat tiga hal pokok yang harus mendapat perhatian dari
para ilmuwan Muslim, yaitu:

1. Masalah sumber daya manusia (SDM). Perlu ditumbuhkan kesadaran yang tinggi di
kalangan para ilmuwan Muslim akan pentingnya mengislamkan ilmu-ilmu sosial, karena
tidak sedikit ilmuwan Muslim yang otak mereka justru sudah dicuci oleh pikiran-pikiran
Barat, sehingga mereka menjadi musuh di dalam mewujudkan upaya ini.
2. Masalah bahan telaah dan peranti penelitian. Bahan-bahan telaah kepustakaan dalam
berbagai disiplin yang telah tersusun secara topikal seharusnya dipersiapkan buat tradisi
belajar Islam dan tradisi belajar Barat. Dua transaksi ini memiliki kekhasan masing-
masing yang kalau tidak dipilah akan kabur, sehingga tradisi belajar Islam akan terkubur
di bawah tradisi belajar Barat. Di samping survey-survey kepustakaan, juga harus
dipersiapkan berbagai bacaan yang secara topikal tersusun seseuai dengan masing-masing
disiplin masalah atau wilayah dalam disiplin tersebut. Berbagai tulisan dan survey analitik
perkembangan masalah, disiplin, atau penelitian kontemporer juga harus dipersiapkan.
3. Masalah karya-karya kreatif. Program-program utama lokakarya dan seminar-seminar
harus pula dirancang guna membantu para ahli yang berbakat mengarang siap
menggunakan pemahamannya, artikel-artikelnya, essay-essaynya, dan buku-buku
kreatifnya untuk membangun relevansi Islam dengan berbagai ragam disiplin dan dengan
masalah-masalah utama dalam masing-masing disiplin.

Beberapa Kelemahan metodologis yamg berkembang di Barat dalam pengembangan ilmu


pengetahuan modern menurut Al-Faruqi dalam melakukan islamisasi ilmu-ilmu sosial,
diantaranya :
 Penyangkalan Relevansi dengan data apriori. Al-Faruqi menilai para penelaah barat yang
mempelajari masyarakat dengan perbedaannya, bahwa tidak semua data berkaitan dengan
prilaku manusia dapat diamanati dengan akal sehat dan karenanya bisa menjadi sasaran
kuantifikasi dan pengukuran. Hubungan-hubungan sosial yang secara universal tidaklah
sama dalam berbagai kelompok manusia, tetapi tergantung kepada tradisi-tradisi budaya,
agama, dan preferensi pribadi serta kelompok yang tidak pernah bisa dibatasi secara
mendalam. Ilmuan sosial secara tidak sah mengurangi komponen moral atau kepribadian,
agar analisis dianggap ilmiah.
 Pengertian objektivitas yang palsu. Al-Faruqi menyatakan bahwa data perilaku manusia
tidaklah sama dengan data perilaku alam. Data perilaku manusia bukanlah sesuatu yang
mati, melainkan merupakan sesuatu yang hidup mempan terhadap sikap dan preferensi
pengamat dan membuka dirinya sebagaimana data ini sesungguhnya kepada setiap
peneliti. Suatu nilai dikatakan terpahami jika nilai itu telah bergerak, mempengaruhi, dan
menimbulkan emosi atau perasaan dalam diri pengamat seperti hakikat yang dituntut oleh
pengamat itu sendiri.
 Aksioogi pribadi versus ummatiyah. al-Faruqi mengatakan bahwa ilmu sosial Barat
merusak syarat penting metodologi Islam, yaitu kesatuan kebenaran (unity of truth).
Landasan prinsip tersebut adalah bahwa kebenaran adalah suatu kadar perasaan akan
Tuhan dan tidak dapat terpisahkan dari-Nya. Di samping itu, prinsip ini berpegang teguh
pada landasan bahwa kebenaran hanya satu sebagaimana Tuhan juga hanya satu. Prinsip
metodologi Islam tidaklah identik dengan prinsip relevansi spiritual. Prinsip metodologi
Islam menambahkan sesuatu yang khas Islami, yaitu prinsip ummatiyah. Landasan
prinsip ini adalah bahwa tiada nilai dan tiada kewajiban yang semata-mata pribadi. Islam
menegaskan bahwa perintah Tuhan atau kewajiban moral perlu bagi masyarakat. Secara
esensial perintah Tuhan berhubungan dan hanya berlaku dalam tatanan sosial ummah.

Menurutnya, Islamisasi ilmu pengetahuan harus berusaha keras menunjukkan hubungan


realitas yang ditelaah dengan aspek atau bagian dari sunnatullah yang tidak hanya
mengandung aturan-aturan normatif, tetapi juga mengandung modalitas eksistensi yang amat
menyenangkan yang tidak terlepas dari realitas (Bagader, 1985: 17).
Jurnal 3

Judul: Issues in Islamization of knowledge, man and educatioan


Penulis: Mahmoud Hamid Al-Migdadi Malmigdadi

Perdebatan terhadap islamisasi ilmu pengetahuan

Perdebatan yang terjadi yaitu antara dua perspektif berbeda terkait apakah pengetahuan harus
di islamkam atau tidak. Berikut beberapa pendapat dari para ahli terhadap pendangan tentang
keharusan dan tidaknya islamisai ilmu pengetahuan: Kaum liberalis, yang juga dikenal
sebagai adaptionist karena mereka meniru visi kehidupan sekuler, pertama dengan
memisahkan agama dari politik, dan kedua dengan mereduksi Islam ke ranah etika individu,
memandang semua fenomena agama sebagai fakta sosial dengan demikian menolak reduksi
normatif agama menjadi kenyataan. Menurut Tibi ( 1988 ), misalnya, Muslim mengalami
keterbelakangan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berakar pada Islam
itu sendiri. Hal ini karena, Tibi berpendapat, masyarakat Muslim telah terstruktur didominasi
oleh budaya pra industri yaitu Islam. Oleh karena itu, solusinya untuk masalah ini telah lewat
sekularisasi Islam. Kaum liberalis mengurangi dunia ke rasionalitas dan menganggapnya
sebagai sumber dan arti pengetahuan

Cendekiawan Muslim tradisional-kaum tradisionalis yang juga disebut kaum rejeksionis,


karena mereka menentang semua ide dan nilai Barat tanpa penilaian dan pertimbangan (Ali,
2001), semua ilmu berasal dari Allah dan bila al-Alquran diturunkan, itu telah diislamkan
saat itu, jadi tidak perlu mengislamkan ulang hari ini. Mereka baik baik saja berpengalaman
dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan, dan berhati-hati dengan ucapan dan perilaku
mereka dan ini semua harus sejalan dengan ayat-ayat Alquran dan tradisi kenabian. Dan tidak
tertarik terhadap pendidikan barat, karena pendidikan Barat menyebarkan kelemahan moral
di antara murid muridnya dengan adanya percampuran perempuan dan laki-laki di sekolah
mengungkap kepala, dada, dan kaki anak perempuan, sebagai tambahan ke silabus sekuler
yang dibawanya (Nasiru, 1997 ). kaum sekuler-modernis berpendapat pengetahuan modern
bersifat universal, tidak berhubungan dengan apapun peradaban tertentu dan netral budaya,
jadi tidak bisa diinfuskan dengan sistem nilai tertentu budaya (Hoodbhoy dan Abdus Salam,
dalam Hasyim dan Rossidy 2000: 20 ). Posisi seperti itu juga diperkuat oleh Fazlur Rahman,
yang berpendapat bahwa seseorang tidak dapat memetakan pengetahuan; itu diciptakan oleh
Allah dalam pikiran manusia. Jadi Muslim seharusnya tidak memperhatikan apapun untuk
membuatnya peta dan bagan bagaimana mengembangkan ilmu keislaman (Fazlur Rahman,
dalam Hashim dan Rossidy 2000: 20 )

pandangan kaum sekuler-modernis netralitas ilmu diperdebatkan dan dibantah oleh ilmuwan
Muslim kontemporer. Kirmani, dalam (Hashim dan Rossidy 2000:20 ), misalnya, berargumen
bahwa pada kenyataannya “tidak ada yang netral atau bebas nilai tentang sains modern,
prioritasnya, penekanannya, its metode dan proses dan pandangan dunianya ditentukan oleh
keprihatinan sempit masyarakat atau budaya Barat. "Sardar, dalam (Hashim dan
Rossidy 2000 ) sependapat pandangan ini dan berpendapat bahwa dengan pemisahan antara
etika dan moralitas dari epistemologinya, peradaban Barat telah menghasilkan sekumpulan
pengetahuan yang tidak memperhatikan dengan kepedulian Islam tentang perwalian manusia,
kesucian alam, keadilan sosial, publik minat dan mencari keridhaan Allah. Pandangan mereka
dibagikan oleh Nasr, dalam (Hashim dan Rossidy 2000:20) yang berpendapat bahwa
“Muslim harus berusaha untuk menciptakan ilmu mereka sendiri dengan memasukkan ilmu
pengetahuan modern apa yang positif menjadi pandangan dunia tempat Tuhan memerintah
tertinggi…." Selanjutnya, dan bertentangan dengan itu yang memandang pengetahuan
sebagai netral dan tidak secara spesifik terkait dengan peradaban, budaya, agama atau ras,
pendukung islamisasi ilmu yaitu Al- Atta, Al-Faruqi, Abu Sulaiman, Al-Alwani, di antara
yang lain, berpendapat bahwa pengetahuan modern tidak netral dan tidak dapat diterapkan
sebagaimana adanya pada Muslim masyarakat yang memiliki nilai dan kepercayaan tertentu
itu sangat berbeda dari peradaban Barat

Perlunya melakukan Islamisasi

1. Malaise Bangsa Islam


Alasan Islamisasi pengetahuan adalah malaise mendalam bagi masyarakat Muslim yang
telah jatuh, sebagian besar merupakan hasil dari penyebab utama yaitu: sekularisasi,
dualisme, dan pengikut buta. Al-Faruqi ( 1982:1) dengan jelas mengacu pada fakta ini,
yaitu malaise bangsa Islam, ketika dia menegaskan bahwa, tidak ada negara lain yang
bisa dibandingkan kekalahan atau penghinaan seperti yang dimiliki bangsa Islam. " Dia
menyatakan bahwa “Muslim dikalahkan, dibantai, dan dirampok tanah dan kekayaan
mereka. Mereka disilangkan ganda, dijajah, dan dieksploitasi, dakwah, dipaksa atau
disuap untuk pindah agama keyakinan. Mereka adalah sekuler, kebarat-baratan, dan de-
islamized oleh agen internal dan eksternal oleh musuh mereka. " Abu Sulaiman ( 1989 )
sependapat dan berargumen bahwa ada krisis yang melibatkan bangsa Islam
keterbelakangan, kelemahan, stagnasi intelektual bangsa Islam, ketiadaan, ijtihad
(penalaran berkelanjutan), kemajuan budaya di Bangsa Islam, sekaligus keterasingan
bangsa dari norma dasar peradaban Islam
2. Sekularisasi dan Dualisme
Al-Attas (1993) mengemukakan bahwa melemahnya bangsa Islam telah memungkinkan
penjajahan Barat di bagian penting dunia Muslim dari abad ke- 17 dan
seterusnya. Dengan penjajahan dan kontrol budaya, Barat mampu menanamkan proyeksi
pandangan dunianya dalam pikiran Muslim dan karenanya mendominasi kaum Muslim
secara intelektual. Penyebaran pandangan dunia Barat itu secara bertahap dicapai melalui
pendidikan sistem berdasarkan konsep pengetahuan dan nya prinsip yang akan membawa
de-Islamisasi dari pikiran Muslim.
Adanya dualisme pendidikan hasil yang terlihat ketika negara Islam masuk periode gelap
kolonisasi di abad ke-14. Akibat Perang Dunia II sistem pendidikan, yang diperkenalkan
oleh penjajah, menjadi sistem pendidikan nasional di negara terjajah. Hal ini membuat
dualisme pendidikan hadir di Negara Muslim. Artinya, dua sistem yang saling
bertentangan pendidikan ada di dunia Muslim. “Dualitas seperti ini akan menghasilkan
dua tren. Yang pertama, itu akan membuat dua bentuk-bentuk pengetahuan yang saling
bertentangan berdasarkan tempat yang berbeda secara fundamental satu sama lain, saat
dalam konsep atau ide kedua akan terdiri dari perpaduan dari dua bentuk yang saling
bertentangan”(Abu Sulayman,1993).

Alwani, ( 1989) berbicara tentang dualisme masa kini keadaan pengetahuan dan keadaan
pendidikan Muslim saat ini. Ia berpendapat bahwa ada dua jenis pengetahuan yang
diberikan kepada siswa di negara Muslim. Pertama, sosial kontemporer ilmu dan
humaniora serta teknis dan ilmu terapan. Setiap aspek dari pengetahuan ini terkait erat
dengan bentuk Barat peradaban - sistem sekuler atau non-agama pendidikan. Kedua,
pengetahuan yang ada dijelaskan secara beragam oleh Muslim sebagai Syariah (Islam
ilmu) atau yang bisa disebut sebagai ditransmisikan pengetahuan- sistem Islam tradisional
pendidikan. Masalah yang ditimbulkan oleh sistem ganda ini pendidikan di negara-negara
Muslim telah memicu krisis besar dalam pendidikan Muslim.

3. Blind Following (Taqleed)


Di era globalisasi saat ini, dan dengan yang terus berkembang Teknologi Komunikasi
Informasi (TIK), kesenjangan interaksi antara masyarakat yang berbeda memiliki
penyebaran pengetahuan di banyak bidang studi dan disiplin ilmu. Akses ke dunia
informasi luas dari semua jenis; berguna, tidak berharga, palsu, setengah benar, dilebih-
lebihkan dan dimutilasi. Sebagai hasil dari informasi ini ledakan, yang, sebagian besar,
berasal dari Masyarakat Barat dan non-Islam, orang-orang Muslim negara-negara tertipu
dengan pengetahuan ini dan sedang dibuat untuk berpikir bahwa potensi mereka kurang
berharga, dan mereka tidak mampu untuk berkontribusi sampai sekarang mereka harus
bergantung pada orang lain untuk pengetahuan dan bahkan ide, dan kemudian mulai
mengikuti mereka secara membabi buta. Dengan melakukan itu, mereka berpikir bahwa
mereka akan mampu memenuhi tantangan kehidupan modern.

Islamisasi ilmu atau islamisasi manusia

Islamisasi Pengetahuan, ada dalam pikiran. Perasaan itu adalah dunia modern telah
dikembangkan dan disusun berdasarkan pengetahuan yang tidak bisa dianggap
islami. Sebenarnya apa yang harus kita katakan adalah bahwa dunia modern memiliki
pengetahuan yang disalahgunakan; bahwa tidak ada yang salah dengan pengetahuan, tapi itu
hanya disalahgunakan ”(Fazlur Rahman, 1988:4) menurut Fazlur Rahman (1988) untuk
membuat manusia bertanggung jawab atas pengetahuan daripada untuk mengislamkan
pengetahuan.
Al-Attas mengartikan Mengislamkan pengetahuan kontemporer sebagai “penyampaian
pengetahuan dari interpretasinya berdasarkan ideologi sekuler; dan dari arti dan ekspresi
sekuler. "Definisi ini mewakili konsekuensi logis dan perluasan gagasannya yang lebih
umum tentang Islamisasi yang tampaknya menjadi tanggapan terhadap sekularisasi dan
Westernisasi. Maka secara epistemologis, Islamisasi mengacu pada pembebasan manusia
pertama dari magis, mitologis, animistik, tradisi budaya-nasional, dan kemudian dari kontrol
sekuler atas alasan dan bahasanya "(Hashim dan Rossidy, 2000: 27 ) dan “dari keraguan,
dugaan dan argumentasi yang sia-sia untuk pencapaiannya kepastian kebenaran tentang
spiritual, realitas yang dapat dipahami dan material ”(Wan Daud, 1998 ).
Al Attas juga setuju dengan pendapat dari Fazlur Rahman mengembangkan akal adalah hal
yang fundamental namun dia lebih konsisten dan konkret dalam konseptualisasi karena dia
sangat menegaskan pentingnya individu dan jiwanya sebagai lapisan intelektual dan sosial
manusia pengembangan. Inilah mengapa Al-Attas kegiatan Islami dipusatkan pada
peningkatan dan perkembangan individu: kecerdasannya, psikologi, etika dan kebahagiaan
(Wan Daud, 1998 ).

Dari islamsasi pengetahuan ke islamisasi pendidikan

Tujuan akhir pendidikan dalam Islam terletak pada realisasi penyerahan lengkap kepada dan
harmoni dengan kehendak Allah pada tingkat individu, komunitas dan kemanusiaan pada
umumnya Islamisasi pengetahuan sebagai metodologis landasan bagi reformasi budaya dan
sosial membawa Dunia Muslim dan intelektual dan politik Muslim pemimpin ke langkah
tahap kedua efektif dan reformasi komprehensif untuk membangun kembali kehidupan umat
dan institusi. Pendidikan diartikan sebagai proses dimana kita temukan dan kembangkan
kemampuan ini. Berdasarkan Langgulung ( 2002 ), pendidikan dapat dilihat dari tiga aspek:
a) Individu: melalui proses pendidikan, semua potensi dan kemampuan ini akan ditemukan
dan dikembangkan untuk memberi manfaat bagi individu juga masyarakat. b) Masyarakat:
Pendidikan dipandang memainkannya peran sebagai instrumen untuk menginternalisasi dan
mengirimkan budaya dari satu generasi ke generasi lainnya. c) Interaksi antara individu dan
masyarakat: Pendidikan sebagai a proses transaksi antara individu dan masyarakat yang
merupakan pengembangan potensi individu akan berkontribusi pada perbaikan dan perbaikan
masyarakat. Abu Sulaiman berpendapat bahwa gerakan untuk Islamisasi Ilmu telah
membekali Muslim pemikir dengan kemampuan dan potensi reformasi pemikiran dan
metodologi kontemporer. “Benih –Islamisasi Pengetahuan - setelah ditanam, perlu
mengembangkan batang yang kuat dan a sistem cabang - sistem pendidikan (tarbiyah) - yang
akan menghasilkan buah dari kemampuan yang meningkat dan kemajuan ”(Abu
Sulaiman, 1998 dalam Moten, 2000 )

Anda mungkin juga menyukai