Anda di halaman 1dari 23

RESUME

POLITIK PENDIDIKAN ISLAM

Analisis Kebijakan Pendidikan Islam di Indonesia Pasca Orde Baru

( Choirul Mahfud )

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendekatan dan Metode Studi Islam

Dosen Pengampu : Dr. Zakiyyudin Baidhawi, M.Ag.

Oleh :

Muhammad Sa’dullah
12010160032

PROGRAM PASCASARJANA

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA

2016
Profil Buku :
Judul : POLITIK PENDIDIKAN ISLAM : Analisis Kebijakan Pendidikan Islam di
Indonesia Pasca Orde Baru
Penulis : Choirul Mahfud
Penerbit : Pustaka Pelajar Yogyakarta
Tahun Terbit : 2016
Tebal : xxii + 408 Halaman
Cetakan : Cetakan 1, Februari 2016
ISBN : 9786022295693

BAGIAN PERTAMA
POLITIK PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA :
ANTARA IDEALITAS DAN REALITAS

A. Latar Belakang

Persoalan-persoalan di negeri ini tidak bisa lepas dengan politik, tidak terkecuali
persoalan dalam pendidikan Islam. Oleh karena itu, tidak keliru bila dinyatakan bahwa
politik dan pendidikan Islam juga memiliki hubungan dan pengaruh antara satu dengan yang
lainnya. Bahkan, belakangan ini persoalan politik dan pendidikan, termasuk pendidikan
Islam, terus memperoleh perhatian besar seiring dinamika sosial politik di Indonesia pasca-
Orde Baru.

Ketika reformasi 1998 bergulir, banyak sekali perubahan terjadi di hampir semua aspek
kehidupan, termasuk dalam dunia pendidikan Islam di negeri ini, salah satu wujudnya adalah
lahirnya sejumlah tata aturan kebijakan tentang pendidikan Islam dan pendidikan
keagamaan, seperti PP No. 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama (PA) dan Pendidikan
Keagamaan (PK), UU Sisdiknas N0. 20. Tahun 2003, lahirnya kurikulum baru tahun 2013
dan lain sebagainya. Hal ini seolah meneguhkan kebenaran ungkapan “ganti menteri ganti
kebijakan”.

Pendidikan Islam dan politik memiliki hubungan yang erat dan saling memengaruhi.
Terbukti, banyak kebijakan pendidikan Islam di negeri ini ditentukan oleh kebijakan politik
pemerintah. Belum lama ini, ada satu kebijakan yang hangat diperbincangkan banyak
kalangan, yaitu terbitnya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor
903/2429/SJ yang melarang Pemerintah Daerah (Pemda) mengucurkan dana APBD untuk
sumbangan atau bantuan madrasah dan lembaga pendidikan keagamaan, yang mendapat
protes keras dari sejumlah pihak dan pejabat daerah, termasuk Pemprov Jawa Timur dan

1
pemerintah daerah di hampir seluruh Indonesia. Bahkan, Kementrian Agama (Kemenag)
pusat juga memberikan protes keras.

Kementrian Agama menilai salah satu poin Peraturan Mentri Dalam Negeri Nomor 39
Tahun 2012 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari
APBD merupakan bentuk diskriminasi pendidikan. Poin yang dimaksud adalah bantuan
sosial dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah untuk madrasah tidak bersifat wajib
atau mengikat. Mayoritas madrasah, baik Ibtidaiyah (SD), Tsanawiyah (SMP) maupun
Aliyah (SMA) di Indonesia merupakan lembaga swasta. Kalau negeri bisa diatasi oleh
Kementrian, tetapi kalau swasta tidak mendapat APBD, siapa yang mau membantu.
Lembaga pendidikan yang dikelola Kementrian Agama ini, berbeda dengan di Kementrian
Pendidikan, yang banyak berstatus negeri. Kemenag mempunyai dana yang terbatas untuk
menanggung semuanya. Lembaga pendidikan Islam juga ada yang mendapat dana Bantuan
Operasional Sekolah, namun itu belum dianggap maksimal tanpa bantuan APBD. Dari
protes dan gugatan dari sejumlah pihak dan pejabat di daerah dan pusat tersebut, kemudian
Mendagri merespon dengan mengeluarkan sikap dan surat edaran baru untuk membolehkan
APBD untuk membantu madrasah dan lembaga keagamaan lainnya.

Dunia politik sering kali dianggap dan dipahami sebagai dunia kotor yang menghalalkan
segala cara dan perlu dihindari. Sementara dunia pendidikan seolah dunia yang berdiri
sendiri dan bebas dari pengaruh ideologi serta kepentingan kekuasaan. Padahal bila
dicermati, relasi antara politik dan pendidikan, termasuk pendidikan Islam, adalah saling
terkait dan saling memengaruhi, bahkan saling membutuhkan satu sama lain. Masalah
pendidikan tidak mungkin dilepaskan dari masalah politik, sebab bagaimanapun kebijakan
politik sangat menentukan arah pembinaan dan pengembangan pendidikan. Sebaliknya pula,
pendidikan memengaruhi politik kekuasaan dan bahkan maju mundurnya suatu bangsa.
Pengalaman ini banyak negara mencatat, kualitas pendidikan suatu bangsa menentukan arah
kemajuan bangsa dan indeks pembangunan manusia.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

1. Kebijakan kurikulum

Kebijakan kurikulum pendidikan Islam tidak bisa dilepaskan dengan kurikulum


pendidikan nasional. Pergantian tahun 2012 ke 2013 menjadi babak baru dalam sejarah
pergantian kurikulum lama yang berbasis kompetensi (KBK dan KTSP) digantikan
dengan kurikulum yang berbasis sains dan teknologi atau tematik-integratif (Kurikulum
2013). Tentu perubahan ini berdampak pada kurikulum pendidikan Islam. Pasalnya,
pendidikan Islam adalah bagian dari pendidikan nasional di negeri ini. Oleh karena itu,
perubahan kebijakan kurikulum ini juga patut dianalisis dengan pertanyaan kenapa dan
apa dampaknya.

2
2. Kebijakan Anggaran

Amanat undang-undang pendidikan terkait anggaran sangat jelas. Akan tetati,


perbedaan kebijakan alokasi anggaran pendidikan Islam dengan pendidikan umum di
negeri ini masih perlu dikaji lebih lanjut dengan analisis pertanyaan dari mana, berapa
jumlahnya dan untuk apa saja serta bagaimana mekanisme pencairannya.

3. Kebijakan Kelembagaan

Dalam konteks ini, analisis difokuskan pada kebijakan pemerintah terkait tata aturan
kelembagaan dan sistem penyelenggaraan pendidikan Islam di Indonesia pasca-Orde
Baru. Seperti diketahui bahwa kebijakan tentang lembanga yang berwenang dalam
penyelenggaraan pendidikan Islam dan pendidikan umum dari awal era kemerdekaan
hingga era reformasi saat ini masih dijumpai perbedaan dan masalah, sehingga perlu
dikaji akar masalah terkait kebijakan hingga implementasinya.

4. Kebijakan Guru Agama Islam

Apakah kebijakan guru agama dalam pendidikan di Indonesia pasca-Orde Baru.

C. Kerangka Teori

1. Teori Hegemoni

Hegemoni menurut Gramsci adalah sebuah pandangan hidup dan cara berfikir yang
dominan, yang di dalamnya sebuah konsep tentang kenyataan yang disebar luaskan
dalam masyarakat baik secara istitusional maupun perorangan yang mendiktekan seluruh
cita rasa, kebiasaan moral, prinsip-prinsip religius dan politik, serta seluruh hubungan-
hubungan sosial, khususnya dalam makna intelektual dan moral.

Hegemoni menurut Gramsci bekerja dengan dua tahap, yaitu tahap dominasi dan tahap
pengarahan/kepemimpinan intelektual dan moral.

2. Teori Kekuasaan

Teori kekuasaan Foucault dimana kekuasaan tidak hanya menjadi milik pemimpin atau
entitas tertentu, tetapi kekuasaan berangkat dari kekuatan dan sumbangan pemikiran
setiap subjek yang memiliki pengaruh besar bagi perubahan dalam suatu masyarakat atau
negara. Meminjam bahasa Emha Ainun Najib, dalam konteks ini bisa dikatakan bahwa
kekuasaan bukan menciptakan penguasa, tetapi pemimpin.

Teori Kekuasaan Anthony Giddens, kuasa itu mewujudkan ke dalam dua bentuk : (1)
kuasa alokatif dan (2) kuasa otoritatif. Menurutnya, kuasa alokatif merujuk pada
kapasitas untuk menguasai sumber daya “keras” yang serba bendawi. Sementara kuasa
otoritas adalah kemampuan menguasai sumber daya institusional seperti lembaga
pemerintah.

3
3. Teori Kebijakan Publik

Menurut William N. Dunn adalah suatu daftar pilihan tindakan yang saling berhubungan,
yang disusun oleh institusi atau pejabat pemerintah.

Menurut Thomas R. Dye menjelaskan bahwa “Public policy is whatever governments


choose to do or not to do” (kebijakan publik adalah apapun yang dipilih pemerintah untuk
dilakukan atau tidak dilakukan)

Menurut Anderson mengutarakan lebih spesifik bahwa : “public policies are those
policies developed by government bodies and official” ( kebijakan-kebijakan yang
dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah).

D. Kerangka Analisis

1. Analisis Kebijakan Prospektif

Bisa dipahami sebagai produksi dan transformasi informasi sebelum kebijakan dimulai
dan diimplementasikan.

2. Analisis Kebijakan Retrospektif

Produksi dan transformasi informasi sesudah aksi kebijakan dilakukan

3. Analisis Kebijakan Integratif

Merupakan kombinasi dari analisis Prospektif dan Retrospektif.

E. Studi Terdahulu

1. Pendidikan Islam dari masa ke masa : tinjauan kebijakan publik terhadap pendidikan
Islam di Indonesia (Marwan Saridjo). Menuturkan perjalanan panjang dari masa ke
masa seputar pendidikan Islam di Indonesia, baik dari segi kegiatanya maupun
kelembagaannya. Melalui buku tersebut, Saridjo juga mengungkapkan pergumulan
umat Islam di Indonesia dalam berbagai aspeknya, seperti politik, ekonomi, sosial dan
budaya dari masa ke masa tercermin pada kiprah dan kontribusi maupun
perkembangannya. Meski kelihatan komplit (dari masa ke masa) namun kajian tentang
dinamika pendidikan Islam pasca-Orde Baru yang hingga saat ini masih berproses
belum terbahas, karena memang waktu penerbitan buku ini pada 2010.

2. Politik Pendidikan Agama dalam Era Pluralisme : telaah historis atas Kebijaksanaan
Pendidikan Agama Konfesional di Indonesia (Saerozi). Mengkaji topik pluralisme
agama dan dinamikanya dalam berbagai kebijaksanaan pendidikan agama yang pernah
terjadi di Indonesia, yakni masa penjajahan portugis, masa kekuasaan VOC, masa
penjajahan Hindia Belanda, dan masa Indonesia Merdeka.

4
3. Politik Pendidikan Nasional : Pergeseran kebijakan Pendidikan Agama Islam dari Pra-
Proklamasi ke Reformasi. (Abd. Rachman Assegaf).

4. Politik Pendidikan Islam : Menelusuri ideologi dan Aktualisasi Pendidikan Islam di


Tengah Arus Globalisasi. (Ahmad Arifi).

5. Pendidikan Guru Agama di Indonesia : Pergumulan dan Problem Kebijakan 1948-2011.


(Mohammad Kosim).

6. Dinamika Pendidikan Islam Pasca-Orde Baru di Indonesia. (Moch. Tolchah).

7. Politik Pendidikan Penguasa. (Benny Susetyo).

8. Politik Pendidikan. (M. Sirozi).

9. Politik Pendidikan Nasional : Analisis Ideologi pendidikan melalui Interpretasi elite


pendidikan Indonesia terhadap Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. (Karti Soeharto).

10. Pengantar Analisis Kebijakan Pendidikan. (Mudjia Rahardjo).

F. Metodologi Kajian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dipakai adalah penelitian Kualitatif. Yaitu penelitian yang
bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa persepsi, motivasi, tindakan dan
lain-lain, secara holisti, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa,
pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode
penelitian, diantaranya metode pengamatan atau observasi, wawancara, dan penelaahan
dokumen-dokumen.

2. Pendekatan Penelitian

Dalam buku ini penulis memakai Pendekatan studi kebijakan dari William N. Dunn.
Analisis kebijakan publik dapat dilakukan dengan tiga pendekatan, yaitu : pendekatan
empiris (lebih menekankan pada analisis sebab atau akibat dari suatu kegiatan publik;
valuatif (lebih menekankan pada penilaian atau evaluasi manfaat kebijakan terhadap
suatu masyarakat); dan normatif (menekankan pada rekomendasi tindakan-tindakan
yang dapat menyelesaikan masalah publik).

3. Sumber Data dan Informasi

Pengumpulan berbagai sumber data dan informasi dilakukan melalui Studi dokumenter
terhadap bahan pustaka yang sesuai dengan objek penelitian.

4. Teknik Pengumpulan Data


5
a. Wawancara

b. Dokumentasi

5. Teknik Analisis Data

Secara praktis, untuk menyajikan data agar lebih bermakna dan mudah dipahami, maka
langkah analisis data yang digunakan dalam buku ini menggunakan model kerangka
analisis interaktif dari Miles dan Huberman. Kegiatan analisis dibagi menjadi beberapa
bagian penting, yaitu : pengumpulan data; pengelompokan menurut variabel; reduksi
data; penyajian data; memisahkan outlier data; dan penarikan kesimpulan atau verifikasi
data.

BAGIAN KEDUA

EPISTEMOLOGI POLITIK PENDIDIKAN ISLAM

A. Epistemologi Poltik

Konsepsi dan definisi politik adalah segala hal yang berkaitan dengan kekuasaan,
kebijakan, kewenangan, kepentingan, dan hubungan timbal balik antara pemerintah
dengan warga masyarakat untuk mencapai tujuan dan kebaikan bersama dalam suatu
negara.

Dalam konteks pendidikan Islam, konsepsi politik semacam itu memiliki dimensi
penting dalam proses penggunaan kekuasaan dan pembuatan kebijakan yang sebaik-
baiknya sesuai dengan amanat konstitusi dalam suatu negara. Baik buruknya pendidikan
Islam, dalam konsepsi politik bergantung bagaimana kekuasaan itu digunakan dan
dilaksanakan. Dalam hal ini, praktik politik dapat dipahami melalui berbagai kebijakan
yang dibuat atau yang belum dibuat oleh pihak otoritas politik dalam suatu struktur
negara.

B. Epistemologi pendidikan Islam

Pendidikan Islam merupakan usaha sadar dan terencana dalam mengajarkan nilai-nilai
pendidikan Islam oleh pendidik kepada peserta didik dalam rangka mencerdaskan
kehidupan dan membentuk manusia berkarakter sesuai ajaran agama Islam. Dalam
konteks itu, maka tugas dan fungsi pendidikan Islam sebetulnya bukan sekedar proses
memindah ilmu pengetahuan (transfer of knowledge), tetatpi juga bisa dimaknai sebagai
proses mentransfer nilai-nilai (transfer of values).

Dalam konteks yang lebih luas, konsepsi pendidikan Islam dijalankan sepanjang hayat.
Nabi Muhammad SAW dalam beberapa hadits bahkan menganjurkan pentingnya
belajar sepanjang hayat mulai lahir hingga wafat. Konsepsi ini sejalan dengan gagasan
4 Pilar Pendidikan Universal yang dirumuskan UNESCO, yaitu : learning to know;
learning to do; learning to live together dan learning to be.
6
C. Konsepsi Politik Pendidikan Islam

Pendidikan Islam perlu direkonstruksi kembali, agar lebih menekankan proses edukasi
sosial, tidak semata-mata individual dan untuk memperkenalkan konsep social-contract,
sehingga pada diri peserta didik tertanam suatu keyakinan, bahwa kita semua sejak
semula memang berbeda-beda dalam banyak hal, lebih-lebih dalam bidang akidah,
iman/kredo, tetapi demi untuk menjaga keharmonisan, keselamatan, dan kepentingan
kehidupan bersama, mau tidak mau, kita harus rela untuk menjalin kerja sama
(cooperation) dalam bentuk kontrak sosial antara sesama kelompok warga masyarakat
di muka bumi ini.

D. Genealogi Sejarah Politik pendidikan Islam

Sejarah politik pendidikan Islam dalam suatu negara sangat penting, karena akan
menentukan arah dan dinamika peradaban suatu bangsa melalui penyelenggaraan
pendidikan yang baik bagi semua warganya. Dalam sudut pandang yang lebih luas,
sejarah politik pendidikan Islam mencakup bahasan tentang peta perjalanan pendidikan
Islam pada situasi dan kondisi politik dalam kurun waktu tertentu yang dipengaruhi oleh
aspek politik kekuasaan.

Ideologi-ideologi Pendidikan Islam di Indonesia

Dalam kontek pendidikan Islam, ada beberapa semangat ideologi yang dapat dipahami
sebagai warisan ideologi pendidikan Islam, diantaranya : pertama, ideologi pendidikan
Islam salafiayah tradisionalis, yaitu ideologi yang dibangun atas dasar dan prinsip-
prinsip salafus sholih. Hal ini bisa dilacak dari tumbuh suburnya pondok pesantren
salafiyah di berbagai daerah di pulau Jawa, Bali, NTB hingga Sumatera. Kedua, ideologi
pendidikan Islam salafiyah fundamentalis, yaitu sebuah ideologi yang mengarah pada
keinginan mempraktikkan ajaran Islam yang fundamental dan radikal melalui sekolah
Islam di negeri ini. Ketiga, ideologi pendidikan Islam tradisionalis, yaitu sebuah ide dan
gagasan yang sederhana tapi progresif dengan memegang tradisi disatu sisi, tetapi di sisi
lain juga menerima kemajuan untuk lebih baik. Hal ini bisa dilihat dari tumbuh suburnya
lembaga pendidikan Islam seperti madrasah-madrasah di negeri ini. Keempat, ideologi
pendidikan Islam modernis, yaitu ide dan gagasan yang berorientasi pada kemajuan
dunia industri, ilmu pengetahuan, tehnologi dan informasi. Karakteristik lembaga
pendidikan Islam semacam ini sangat mempertimbangkan kepentingan pasar, industri
dan kemajuan peradaban yang berkemajuan. Hal ini bisa dilihat dari adanya pondok
pesantren modern dan lembaga pendidikan Islam berbasis tehnologi dan
entrepreneurship. Kelima, ideologi pendidikan Islam multikultural, ide dan gagasan
penyelenggaraan pendidikan Islam yang menghargai perbedaan untuk kemajuan
peradaban Islam rahmatan lil alamin. Keenam, ideologi pendidikan Islam
kosmopolitanis, yaitu ide dan gagasan penyelenggaraan pendidikan Islam melewati
batas-batas teritorial negara bangsa. Seperti menjamurnya lembaga pendidikan Islam
kosmopolitan ala fethullah Gullen dari Turki di Indonesia.

7
BAGIAN KETIGA

RELASI PENDIDIKAN ISLAM, POLITIK DAN KEKUASAAN

A. Pola Relasi Politik dan Pendidikan Islam

Kuatnya hubungan politik dan pendidikan, termasuk dalam aspek pendidika Isla,
mampu melahirkan kebijakan yang mendorong lebih baik atau sebaliknya. Oleh karena
itu, membangun dan menciptakan hubungan yang lebih positif bagi kemajuan
pendidikan untuk kemajuan negara menjadi penting. Sebab, banyak yang meyakini
bahwa kemajuan negara selalu diiringi dengan kemajuan pendidikannya. Tanpa ada
kemajuan dan perhatian dalam bidang pendidikan, maka eksistensi politik sebuah
bangsa tidak akan bisa bertahan lama dalam menyangga kemajuan peradabannya.

B. Faktor Politik dalam Reformasi Politik Pendidikan Islam

Dalam konteks pendidikan Islam, reformasi pendidikan Islam pada dasarnya memiliki
tujuan agar pendidikan Islam dapat berjalan lebih baik, efektif dan efisien untuk
mencapai tujuan pendidikan yang dicita-citakan. Untuk itu, biasanya, ada dua hal yang
perlu dilakukan dalam reformasi : pertama, mengidentifikasi atas berbagai problem
yang menghambat terlaksanannya pendidikan; kedua, merumuskan reformasi yang
bersifat strategis dan praktis sehingga dapat diimplementasikan di lapangan.

C. Posisi Pendidikan Islam di Indonesia

Penyelenggaraan pendidikan tidak lepas dari kebijakan politik. Posisi dan eksistensi
pendidikan Islam masih kuat karena tata aturan memberikan jaminan hukum. Hal itu
terlihat dari penyelenggaraan pendidikan mulai tingkat dasar, menengah, atas hingga
perguruan tinggi diberikan secara penuh kepada dua kementrian, yaitu Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Kementrian Agama (Kemenag).
Namun, pemerintah juga memberikan otoritas penyelenggaraan pendidikan kedinasan
kepada Kementrian yang terkait langsung denga dinas/bidangnya. Namun hal itu hanya
berlaku hanya di tingkat perguruan tinggi, bukan ditingkat sekolah dasar, menengah dan
atas. Sementara posisi pendidikan Islam yang dikelola oleh Kemenag bisa dikatakan
cukup strategis dengan posisi pendidikan umum yang dikelola oleh Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud).

D. Pendidikan Islam dan Tanggung Jawab Negara

PP No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan


mengatur Pendidikan Agama di sekolah umum dan Pendidikan Keagamaan yaitu Islam,
Protestan, Katholik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Dalam pasal 9 ayat (1) disebutkan,
“Pendidikan keagamaan meliputi pendidikan keagamaan Islam, Kristen, Katolik,
Hindu, Budha, dan Khonghucu”. Pasal ini merupakan pasal umum untuk menjelaskan
ruang lingkup pendidikan keagamaan. Selanjutnya pada ayat (2) pasal yang sama

8
disebutkan tentang siapa yang menjadi pengelola pendidikan keagamaan baik yang
formal, non-formal dan informal tersebut, yaitu Menteri Agama.

Dari sini jelas bahwa tanggungjawab dalam proses pembinaan dan pengembangan
pendidikan Islam menjadi tanggung jawab menteri agama. Mengingat posisi menteri
agama bukan hanyak untuk kalangan Islam saja, maka beban menteri agama juga
melebar pada penyelenggaraan pendidikan agama lainnya (nonislam), disamping beban
administratif terkait dengan ruang lingkup penyelenggaraan agama dan prosesi
keagamaan untuk seluruh agama-agama yang diakui di Indonesia.

E. Urgensi Politik Pendidikan Islam

Politik pendidikan Islam memiliki posisi penting dalam praktik pendidikan di suatu
negara, termasuk Indonesia. Pendidikan agama setelah diwajibkan di sekolah-sekolah,
meskipun masih perlu disempurnakan terus, menunjukkan bahwa pengaruhnya dalam
perubahan tinkah laku remaja adalah relatif lebih baik dibandingkan dengan kondisi
sebelum pendidikan agama tersebut diwajibkan. Sekurang-kurangnya pengaruh
pendidikan agama tersebut secara minimal dapat menambah benih keimanan yang dapat
menjadi daya prefentif terhadap perbuatan negatif remaja atau bahkan mendorong
mereka untuk bertingkah laku susila dan sesuai dengan norma agamanya. Kebijakan
politik pendidikan yang dibuat oleh pemimpin dalam suatu negara akan membawa
dampak secara langsung atau tidak bagi terciptanya tatanan kehidupan dalam berbangsa,
beragama dan bernegara.

F. “Visible” vs “Invisible Hands” dalam Kebijakan Pendidikan Islam

Dalam konteks kebijakan pendidikan Islam juga bisa dipahami bahwa mekanisme dan
dinamika pendidikan Islam di Indonesia tidak selamanya bisa didekati dengan teori
“visible hand” di mana peran dan tanggung jawab masalah pendidikan berada di tangan
negara atau pemerintah. Bahkan, terkadang urusan dan kebijakan pendidikan Islam di
negeri ini berjalan delam mekanisme teori “Invisible Hands”. Hal itu bisa ditandai
dengan peran dan kontribusi banyak pihak di luar struktur negara dan pemerintah.
Kebijakan-kebijakan pendidikan Islam yang berjalan di negeri ini justru dipelopori dan
digerakkan oleh pasar atau masyarakat sipil. Munculnya lembaga pendidikan pesantren,
madrasah dan lembaga pendidikan lainnya misalnya, sedari awal sebelum negara ini
merdeka merupakan salah satu bukti nyata praktik kebijakan pendidikan Islam di
Indosesia masih didominasi oleh teori “invisible hands” ketimbang teori “visible hand”.

BAGIAN KEEMPAT

POLITIK PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA DARI MASA KE MASA

A. Inspirasi Politik Pendidikan Islam di era Rasulullah

Metode keteladanan dalam praktik pendidikan Islam sangat ditonjolkan oleh Nabi
Muhammad SAW. Dalam konteks inilah, sumbangan paling besar dalam praktik
9
pendidikan Islam era Rasullah adalah metode keteladanan. Hingga hari ini, metode
keteladanan menjadi salah satu metode yang sangat dahsyat dalam menjawab segala
persoalan dalam pendidikan kontemporer.

Sebagai seorang nabi dan rasul sekaligus juga kepala negara ketika di Madinah,
kebijakan pendidikan Islam semakin membaik dan sistemik dibanding ketika Rasulullah
berada di Makkah. Dari sisi materi pendidikan yang menjadi fokus kajian juga berbeda.
Misalnya saja, pada saat di Makkah, Rasullullah lebih memfokuskan pada aspek materi
pendidikan ketauhidan dan aqidah akhlak yang meliputi rukun Iman dan Rukun Islam.
Sementara pada saat di Madinah, Nabi Muhammad berupaya memngembangkan aspek
materi pendidikan Islam pada pembentukan dan pembinaan masyarakat baru atau
pendidikan peradaban Islam yang holistik.

B. Potret Politik Pendidikan Islam Indonesia di era Kolonial

secara umum dapat dipahami bahwa potret pendidikan Islam pada masa kolonial,
umumnya dalam bentuk pesantren dan madrasah. Pesantren dan madrasah merupakan
jenis sekolah yang coraknya bertolak belakang dengan sekolah yang diperkenalkan
pemerintah kolonial, baik dari sudut isi pengajaran maupun cara pendidikan. Pendidikan
Islam masa kolonial dibedakan menjadi dua, yakni Pendidikan Islam Muhammadiyah
dan Pendidikan Islam NU (Nahdlatul Ulama). Lembaga pendidikan Muhammadiyah
yang muncul pada masa kolonial antara lain Hollands School (sekolah guru) di
Yogyakarta, 32 buah Sekolah Dasar Lima Tahun, sebuah schakel School, 14 buah
Madrasah. Lembaga pendidikan ini juga mendirikan HISP Muhammadiyah, Mulo
Muhammadiyah, Madrasah Ibtidaiyah dan Tsanawiyah Muhammadiyah.

Sementara kontribusi Pendidikan islam NU (Nahdlatul Ulama). Diantaranya


membangun pesantren dan madrasah yang berdasarkan agama Islam. Lembaga
pendidikan yang didirikan oleh organisasi NU pada msa kolonial antara lain : a)
Madrasah Alawiyah, dengan lama belajar 2 tahun. b) Madrasah Ibtidaiyah, dengan lama
belajar 3 tahun. c) Madrasah Tsanawiyah, dengan lama belajar 3 tahun. d) Madrasah
Mu’alimin Wustha, dengan lama belajar 2 tahun. Dan e) Madrasah Mu’alimin Lilya,
dengan belajar 3 tahun.

C. Politik Pendidikan Islam di era Kemerdekaan dan Orde Lama

Penyelenggaraan pendidikan Islam setelah Indonesia merdeka mendapat perhatian


serius dari pemerintah, usaha ini dimulai dengan memberikan bantuan terhadap lembaga
sabagaimana yang dianjurkan oleh Badan Pekerja Komite Nasional Pusat (BPKNP) 27
Desember 1945 menyebutkan bahwa “Madrasah dan pesantren yang pada hakikatnya
adalah satu alat dan pencerdasan rakyat jelata yang sudah berurat berakar dalam
masyarakat Indonesia pada umumnya, hendaklah pula mendapat perhatian dan bantuan
nyata tuntutan dan bantuan material dari pemerintah”/

10
Berbagai kebijakan Pemerintah Republik Indonesia dalam bidang Pendidikan Islam
antara lain yaitu : Pada 17-8-1945 Indonesia merdeka. Akan tetapi musuh-musuh
Indonesia tidak diam saja, bahkan berusaha untuk menjajah kembali.

Pada bulan 1946 dikeluarkan peraturan bersama dua menteri, yaitu Menteri Agama dan
Menteri Pendidikan dan Pengajran yang menetapkan bahwa pendidikan agama
diberikan mulai kelas IV SR (Sekolah Rakyat = Sekolah Dasar) sampai kelas VI.
Pemerintah membentuk Majelis Pertimbangan Pengajaran Agama Islam pada tahun
1947 yang dipimpin oleh Ki Hajar Dewantara dari Departemen P dan K, serta Prof. Drs.
Abdullah Sigit dari Departemen Agama. Tugasnya ikut mengatur pelaksanaan dan
menteri pengajaran agama yang diberikan di sekolah umum.

Pada 1966 MPRS bersidang lagi. Dalam keputusannya, bidang pendidikan agama telah
mengalami kemajuannya dengan menghilangkan kalimat terahir dari keputusan yang
terdahulu. Dengan demikian, maka sejak tahun 1966 pendidikan agama menjadi hak
wajib bagi Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi Umum Negeri di seluruh Indonesia.

D. Kebijakan Politik Pendidikan Islam di era Orde Baru

Orde Baru adalah masa pemerintahan di Indonesia sejak 11 Maret 1966 hingga
terjadinya peralihan kepresidenan, dari presiden Soeharto ke presiden Habibi pada 21
Mei 1998. Peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru membawa konsekuensi perubahan
strategi politik dan kebijakan pendidikan nasional. Pada dasarnya Orde Baru adalah
suatu korelasi total terhadap Orde Lama yang didominasi oleh PKI dan dianggap telah
menyelewengkan Pancasila.

Kebijakan pemerintah Orde baru mengenai pendidikan Islam dalam konteks madrasah
di Indonesia bersifat positif dan konstruktif, khususnya dalam dua dekade terahir 1980-
an sampai dengan 1990-an. Pada tahap ini madrasah belum dipandang sebagai bagian
dari sistem pendidikan nasional, tetapi baru bersifat lembaga pendidikan bersifat
otonom di bawah pengawasan Menteri Agama.

Pendidikan Islam di Indonesia pada era Orde Baru mengalami perbaikan dan perubahan
ke arah yang lebih baik dibanding era penjajahan dan era awal kemerdekaan serta Orde
Lama. Hanya saja, masih ada nuansa diskriminasi dan dikotomi antara pendidikan Islam
dan pendidikan umum yang berimplikasi pada input, proses dan output pendidikan
Islam pada masa itu yang memengaruhi pula pada kebijakan politik pendidikan Islam
pada masa berikutya.

BAGIAN KELIMA

TANTANGAN LOKAL DAN GLOBAL KEBIJAKAN POLITIK PENDIDIKAN


ISLAM DI INDONESIA

A. Realitas Politisasi Pendidikan Islam

11
Politisasi pendidikan berbeda dengan politik pendidikan itu sendiri. Politisasi
pendidikan cenderung bermakna usaha penyalahgunaan wewenang (abuse of power).
Dalam konteks pendidikan Islam, politisasi pendidikan dimaknai sebagai
penyalahgunaan wewenang, dan kebijakan untuk kepentingan politik tertentu, dan
menjadikan pendidikan Islam sebagai objek sasaran politisasi. Dalam hal ini,
pendidikan menjadi lahan subur bagi semua pihak dalam upaya untuk mewujudkan
kepentingan masing-masing.

B. Korupsi, Kemiskinan dan Output Pendidikan Islam

Menurut penulis, karena latar belakang masalah terjadinya korupsi ibarat lingkaran
setan, sudah tentu cara mengatasinya harus memutuskan lingkaran setan korupsi itu.
Jihad melawan korupsi dengan cara memutus lingkaran setan tersebut tentu harus
dilakukan bersama-sama. Tanggung jawab lembaga pendidikan Islam cukup besar
dalam upaya pemecahan masalah semacam ini. Selain itu, pemerintah beserta aparatnya
wajib mengusut tuntas dengan tidak tebang pilih terhadap pelaku korupsi di negeri ini.
Apalagi, sebagai anggota PBB, Indonesia ikut serta menandatangani deklarasi
Millennium Development Goals (MDGs) yang salah satunya berkomitmen terhadap
penghapusan kemiskinan.

C. Terorisme, Fundamentalisme dan radikalisme dalam Pendidikan Islam di


Indonesia

Masalah terorisme dan kekerasan atas nama agama masih menjadi pekerjaan rumah
yang perlu diwaspadai semua pihak. Usaha pencegahan yang komprehensif tanpa
kekerasan disinyalir lebih efektif dan humanis ketimbang melawan kekerasan denga
kekerasan. Dalam konteks inilah, peran pendidikan Islam diiringi dengan kebijakan
negara memiliki fungsi strategis dalam menciptakan kehidupan damai di bumi pertiwi
ini. Langkah-langkah yang dilakukan atau tidak melakukan dengan pembiaran,
memiliki dampak yang tidak dapat disepelekan.

D. Globalisasi dalam Pendidikan Islam

Problematika globalisasi tentu saja menjadi bahasan penting dalam studi kebijakan
pendidikan Islam di Indonesia kontemporer. Hal itu sejalan dengan semangat konstitusi
negara kita sebagaimana termuat dalam pembukaan UUD 1945 Alinea ke-4, yang
berbunyi : “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan
keadilan sosial”. Oleh karena itu, bagaimana usaha dan strategi pendidikan Islam
melihat persoalan globalisasi sebagai bagian dari dinamika zaman yang perlu diletakkan
dalam konteks dinamika ilmu-ilmu pendidikan Islam terkini. Harapannya, tentu saja,
pendidikan Islam yang berada dalam atmosfir modernisasi dan globalisasi dewasa ini
mampun memainkan peranannya secara dinamis, kritis, solutif da kontributif.

12
BAGIAN KEENAM

MEMAHAMI KEBIJAKAN PENDIDIKAN ISLAM SEBAGAI KEBIJAKAN PUBLIK

A. Pengertian Kebijakan Publik

Kebijakan publik juga bisa diartikan sebagai keputusan-keputusan yang mengikat bagi
orang banyak pada tataran strategis atau bersifat garis besar yang dibuat oleh pemegang
otoritas publik. Sebagai keputusan yang mengikat publik maka kebijakan publik
haruslah dibuat oleh otoritas politik, yakni mereka yang menerima mandat dari publik
atau orang banyak, umumnya melalui suatu proses pemilihan untuk bertindak atas nama
rakyat banyak. Seharusnya, kebijakan publik akan dilaksanakan oleh administrasi
negara yang dijalankan oleh birokrasi pemerintah.

B. Komponen Studi Kebijakan Publik

1. Perumusan Masalah

Perumusan masalah adalah suatu bentuk kebijakan yang diambil atas beberapa
pertimbangan, baik dari pertimbangan tujuan, strategi, maupu kepentingan
lingkungan eksternal. Perumusan merupakan agenda penting dalam studi kebijakan
publik. Dari agenda ini bisa memberikan informasi mengenai situasi dan kondisi
yang menimbulkan masalah.

2. Peramalan (forecasting)

Agenda peramalan perlu dilakukan untuk memberikan informasi mengenai


konsekuensi alternatif kebbijakan, termasuk apabila tidak membuat kebijakan.
Peramalan adalah suatu prosedur untuk membuat informasi yang faktual tentang
situasi sosial masa depan atas dasar informasi yang telah ada.

3. Rekomendasi

Secara singkat, rekomendasi kebijakan adalah cara yang dilakukan agar sebuah
kebijakan dapat mencapai sasarannya. Rekomendasi kebijakan dapat memberi
informasi mengenai manfaat dari setiap alternatif. Juga bisa memberi informasi
mengenai konsekuensi sekarang dan masa lalu dari ditetapkannya alternatif
kebijakan termasuk resiko dan kendala.

4. Pemantauan

merupakan prosedur analisis kebijakan yang digunakan untuk memberikan


informasi tentang sebab dan akibat dari kebijakan publik.

5. Evaluasi Kebijakan

13
Maksud dan tujuan dari evaluasi kebijakan adalah untuk memberikan informasi
mengenai kinerja atau hasil dari suatu kebijakan.

C. Model-model Kebijakan Publik

1. Model kelembagaan merupakan sebauah model yang dikembangkan oleh pakar


ilmu politik dengan memandang kebijakan publik sebagai kegiatan-kegiatan yang
dilakukan oleh lembaga-lembaga pemerintah. Artinya, tugas amembuat kebijakan
publik adalah tugas pemerintah

2. Model proses berasumsi bahwa politik merupakan sebuah aktivitas sehingga


mempunyai proses. Artinya, kebijakan publik merupakan proses politik dengan
rangkaian kegiatan identifikasi permasalahan, pengembangan program atau
kebijakan, dan evaluasi program atau kebijakan.

3. Model kelompok, kebijakan sebagai titik keseimbangan dari suatu interaksi


kelompok-kelompok kepentingan.

4. Model elit berasumsi bahwa dalam suatu masyarakat terdiri dari kelompok elit yang
memegang kekuasaan dan kelompok massa yang tidak memiliki kekuasaan.

5. Model rasional menganggap bahwa kebijakan publik sebagai maximum social gain
yang berarti pemerintah sebagai pembuat kebijakan harus memilih kebijakan yang
memberikan manfaat optimal bagi masyarakat.

6. Model inkremental pada dasarnya bersifat pragmatis sehingga memandang


kebijakan publik sebagai kelanjutan dari kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan
oleh pemerintah di masa lampau, dengan hanya melakukan perubahan-perubahan
seperlunya.

7. Model pengamatan terpadu, mencoba untuk melakukan formulasi kebijakan


publik dengan menggabungkan rasional dan inkremental.

8. Model demokratis, menghendaki sebanyak mungkin pemilik hak demokrasi


dilibatkan dalam pengambilan keputusan.

9. Model strategis, lebih memfokuskan pada pengidentifikasian dan pemecahan isu-


isu.

10. Model teori permainan, konsep penting teori permainan adalah strategi defensif,
yaitu kebijakan yang paling aman bukan yang paling optimum.

11. Model pilihan publik, proses formulasi kebijakan melibatkan publik melalui
kelompok-kelompok kepentingan, sehingga model ini bersifat demokratis.

12. Model sistem kebijakan merupakan hasil atau output dari sistem politik.

14
13. Model deliberatif atau musyawarah pada perumusan kebijakan menempatkan
peran pemerintah sebagai legalisator dari pada kehendak publik.

Dari semua model, menurut Riant Nugroho, tidak ada pilihan model yang terbaik dalam
implementasi kebijakan. Namun ada satu hal yang penting, yakni implementasi
kebijkana haruslah menampilkan keefektifan kebijakan itu sendiri.

BAGIAN KETUJUH

ANALISIS KEBIJAKAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA

Problematika kebijakan bukan saja terletak pada isi kebijakan, tetapi juga pada operasi
pelaksanaan sebuah kebijakan. Paraktoks, tumpang tindih dan ketidaksesuaian antara yang
seharusnya dengan senyatanya masih ditemukan untuk dilakukan upaya evaluasi dan solusi
pemecahannya agar sesuai harapan dan tujuan yang ingin dicapai.

A. Rencana dan strategi kebijakan pendidikan Islam di Indonesia Pasca orde baru

Sesuai dengan informasi dari website Pendidikan Islam Kemenag, dalam pencapaian
tujuan program pendidikan Islam, dilakukan melalui sejumlah kegiatan strategis sebagai
berikut :

Pertama, dukungan Manajemen dan pelaksanaan Tugas Teknis Lainnya Direktorat


Jenderal Pendidikan Islam. Output yang hendak dicapai :
1. Tersedianya data dan informasi perencanaan
2. Tersedianya dokumen perencanaan dan anggaran]
3. Meningkatkan kualitas pelayanan administrasi keuangan
4. Meningkatkan kualitas pelayanan ketataan, kepegawaian, serta tersediannya
peraturan perundang-undangan
5. Meningkatkan kualitas administrasi perkantoran dan pelayanan umum.

Kedua, peningkatan Akses dan Mutu Madrasah Ibtidaiyah. Output yang hendak dicapai:
1. Tersedia dan terjangkaunya layanan pendidikan Madrasah Ibtidaiyah (MI)
2. Meningkatkan mutu layanan pendidikan MI
3. Meningkatkan mutu dan daya saing lulusan MI
4. Meningkatkan mutu tata kelola MI

Ketiga, Peningkatan Akses dan Mutu Madrsah Tsanawiyah. Output yang hendak
dicapai :
1. Tersedia dan terjangkaunya layanan pendidikan Madrasah Tsanawiyah (MTs)
2. Meningkatkan mutu layanan pendidikan MTs
3. Meningkatkan mutu dan daya saing lulusan MTs
15
4. Meningkatkan mutu tata kelola MTs.

Keempat, Peningkatan Akses dan Mutu Madrsah Aliyah. Output yang hendak
dihasilkan :
1. Tersedia dan terjangkaunya layanan pendidikan Madrasah Aliyah (MA)
2. Meningkatkan mutu layanan pendidikan MA
3. Meningkatkan mutu dan daya saing lulusan MA
4. Meningkatkan mutu tata kelola MA

Kelima, Penyediaan Subsidi Pendidikan Madrasah Bermutu. Output yang hendak


dicapai :
1. Tersedianya Bantuan Operasional Sekolah (BOS) bagi MI, dan MTs.
2. Tersalurnya beasiswa bagi yang miskin

Keenam, Peningkatan Mutu dan Kesejahteraan Pendidik dan Tenaga Kependidikan


Madrasah. Dengan harapan :
1. Meningkatkan profesionalisme tenaga pendidik dan tenaga kependidikan
2. Meningkatkan kesejahteraan tenaga pendidikan dan tenaga kependidikan

Ketujuh, Peningkatan Akses dan Mutu Pendidikan Tinggi Islam. Output yang
diharapakan :
1. Mengingkatkan akses pendidikan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI)
2. Meningkatkan mutu layanan pendidikan PTAI
3. Meningkatkan mutu dan daya saing lulusan PTAI
4. Meningkatkan mutu tata kelola PTAI

Kedelapan, Penyediaan Subsidi Pendidikan Tinggi Islam Bermutu. Output yang hendak
dicapai dari kegiatan ini adalah tersedia dan tersalurnya beasiswa bagi mahasiswa
miskin dan mahasiswa yang berprestasi.

Kesembilan, Peningkatan Mutu dan Kesejahteraan Pendidik dan Tenaga Kependidikan


Pendidikan Tinggi Islam.
1. Meningkatkan profesionalisme dosen dan tenaga kependidikan pada Perguruan
Tinggi Agama Islam (PTAI)
2. Meningkatkan kesejahteraan dosen dan tenaga kependidikan pada PTAI

Kesepuluh, Peningkatan akses dan Mutu Pendidikan Keagamaan Islam. Output yang
ingin dihasilkan :
1. Tersedia dan terjangkaunya layanan Pendidikan Non-Formal, Diniyah, dan Pondok
Pesantren.
2. Meningkatkan Mutu layanan Pendidikan Non_Formal, Dininyah dan Pondok
Pesantren.
3. Meningkatkan mutu dan daya saing lulusan Pendidikan Non-Formal, Diniyah dan
Pondok Pesantren.

16
4. Meningkatkan mutu tata kelola Pendidikan Non-Formal, Diniyah, dan pondok
Pesantren.

Kesebelas, Penyediaan Subsidi Pendidikan Keagamaan Islam Bermutu. Dengan output


yang hendak dihasilkan dari kegiatan adalah tersedia dan tersalurnya BOS pada
Pendidikan Keagamaan dan beasiswa bagi santri berprestasi.

Keduabelas, Peningkatan Akses dan Mutu Pendidikan Agama Islam pada Sekolah.
Output yang hendak dicapai :
1. Tersedianya layanan pendidikan agama Islam pada sekolah
2. Meningkatnya mutu layanan pendidikan agama Islam pada sekolah
3. Meningkatnya kualitas pemahaman dan pengamalan ajaran agama peserta didik

Ketigabelas, Peningkatan Mutu dan Kesejahteraan Pendidik dan Pengawas Pendidikan


Agama Islam. Dengan output yang hendak dicapai :

1. Meningkatnya profesionalisme tenaga pendidik dan tenaga kependidikan agama


Islam
2. Meningkatnya kesejahteraan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan agama Islam

B. Analisis Kebijakan Kurikulum pendidikan Islam

1. Problem Kebijakan Kurikulum Pendidikan Islam

Hal yang paling sensitif dalam konteks kebijakan Pendidikan Islam di Indonesia
pasca-Orde Baru diantaranya adalah perubahan kurikulum. Di awal tahun 2013,
perubahan kurikulum kembali terjadi. Menurut beberapa pemerhati pendidikan yang
menolak K13, pendidikan kita jadi tidak maju dan terus bermasalah diantaranya
karena perubahan kurikulum yang sering kali lebih didasari motif kekuasaan dari
pada proses pencerdasan bangsa.

Bagi yang pro beralasan bahwa KTSP dianggap sudah tidak up to date. Bahkan
cenderung memberatkan peserta didik. Disinilah perubahan kurikulum baru
dianggap perlu sebagai solusi. Sementara bagi yang kontra, K13 dianggap bukan
solusi terbaik untuk mengatasi masalah pendidikan di negeri ini. Sebab, kurikulum
bukan satu-satunya kunci mengatasi masalah pendidikan. Penerapan kurikulum
2013 dinilai tidak akan berpengaruh pada peningkatan mutu pendidikan di beberapa
daerah dari Sabang sampai Merauke.

Perubahan kurikulum pendidikan Islam di Indonesia pasca-Orde Baru selalu tidak


bisa dilepaskan oleh faktor politik. Perubahan KTSP menjadi K13 juga dipengaruhi
faktor elit politik di negeri ini. Salah satu elite politik tersebut adalah Wapres
Boediono dalam tulisan “Pendidikan Kunci Pembangunan”, menyatakan bahawa
sampai saat ini (negara) kita belum punya konsepsi yang jelas mengenai subtansi
pendidikan. Oleh karena tidak ada konsepsi yang jelas, menurutnya, timbullah

17
kecenderungan untuk memasukkan apa saja yang dianggap penting ke dalam
kurikulum. Akibatnya, terjadilah beban berlebih pada anak didik.

Dari sinilah, spekulasi untuk melakukan perubahan kurikulum semakin menguat,


karena Wapres Boediono secara tidak langsung mengarah perlunya perubahan
dalam pendidikan, terutama dari kurikulumnya. Asumsi tersebut ternyata ada
benarnya, karena tidak lama setelah itu Mendikbud, Muhammad Nuh, melakukan
perubahan kurikulum dari KTSP menjadi K13.

2. Kebijakan tentang Kurikulum Pendidikan Islam

Kurikulum pendidikan Islam di Indonesia pasca-Orde Baru menginduk pada


kebijakan kurikulum pendidikan Nasional, yaitu Kurikulum 2004 (KBK),
Kurikulum 2006 (KTSP) dan Kurikulum 2013 (kurikulum berbasis Tematik-
integratif). Kurikulum 2004 dibuat pada masa kepemimpinan presiden Susilo
Bambang Yudoyono dalam kabinet Indonesia bersatu jilid 1. Demikian juag
pembuatan kebijkan kurikulum 2006 dan kurikulum 2013 dalam kepemimpinan
SBY dalam kabinet Indonesia Bersatu jilid II yang menjabat Mendikbud yaitu
Muhammad Nuh.

3. Implementasi Kebijakan Kurikulum Pendidikan Islam

Berdasarkan lamanya waktu berlalu kurikulum, situs srie.ord mencatat, bahwa


(Kurikulum) rencana Pengajaran tahun 1947 merupakan kurikulum terlama yang
tidak mengalami pergantian selama masa pascakemerdekaan atau masa ola, yakni
selama 17 tahun. Pada zaman Orde Baru tercatat Kurikulum 1984 yang berusia
terlama pada zamannya, yaitu selama 10 tahun. sementara Kurikulum KTSP
merupakan kurikulum terlama sepanjang masa reformasi, yaitu 7 tahun. sebaliknya,
(Kurikulum) Rencana Sekolah Dasar merupakan kurikulum terpendek usianya
sepanjang masa Orla, yaitu 4 tahun saja. Pada era Orba, Kurikulum PSPP tercatat
sebagai kurikulum terpendek masa berlakunya, yaitu Cuma 3 tahun. Terahir,
rintisan KBK merupakan kurikulum tersingkat umurnya sepanjang era reformasi
dan selama usia republik ini, yakni Cuma 2 tahun saja. Inti dari ada atau tidak adanya
perubahan kebijakan kurikulum pendidikan di negeri ini dapat dikatakan sangat
tergantung pada aspek politik kekuasaan. Hal itu terbukti dari adanya perubahan
disetiap kebijakan kurikulum pendidikan di Indonesia pasca-Order Baru, dari KBK
ke KTSP dan kini Kurikulum 2013.

Kurikulum 2013 yang diimplementasikan pada tahun pelajaran 2013-2014 ini


merupakan penyempurnaan kurikulum KBK dan KTSP. Kurikulum 2013 jika
dikatakan sebagai perubahan memang memerlukan usaha untuk diterima dan
dilaksanakan.

4. Dampak Kebijakan Kurikulum Pendidikan Islam

18
Persoalan manajemen kurikulum dan pembelajaran yang sangat berbeda antara
kurikulum 2004 dengan Kurikulum 2006. Kedua persoalan ini akan sangat
dirasakan oleh para guru pengajarnya karena mereka adalah perencana, pelaksana
dan penilai pembelajaran. Merekalah yang akan dibingungkan setiap hari dalam
melaksanakan tugasnya. Perbedaan antara kedua kurikulum tersebut sangat
signifikan, banyak pengamat pendidikan menilai bahwa para guru adalah “korban”
pertama yang terkena dampak dari perubahan kurikulum ini.

Lalu, implikasi dari pelaksanaan Kurikulum 2013 ini juga hampir sama. Guru
kembali diasumsikan menjadi “kelinci percobaan” dalam pelaksanaan kurikulum
berbasis tematik-integratif tersebut. Namun, implikasi yang cukup mendasar dari
kebijakan kurikulum pendidikan di Indonesia ada juga dampak positifnya, terutama
upaya untuk menghasilkan insan Indonesia yang produktif, kreatif, inovatif, dan
afektif melalui penguatan sikap (tahu mengapa), pengetahuan (tahu apa) dan
keterampilan (tahu bagaimana) yang terintegrasi.

C. Tipologi Kebijakan Pendidikan Islam di Indonesia Pasca Orde Baru

1. Tipologi Kebijakan Adaptif, yaitu tipe kebijakan yang mengadopsi dari berbagai
kebijakan terkait pendidikan untuk diadaptasikan ke dalam kebijakan pendidikan
islam di Indonesia. Contohnya adalah kebijakan kurikulum pendidikan Islam yang
mengadaptasi dengan kurikulum pendidikan nasional sebagai bagian integral dalam
sistem pendidikan di Indonesia, terutama lahirnya kurikulum 2004 (KBK),
kurikulum 2006 (KTSP) dan kurikulum 2013 ini.

2. Tipologi Kebijakan Akomodatif, yaitu tipe kebijakan yang berusaha


mengakomodasi berbagai kepentingan, termasuk kepentingan kekuasaan dan politik
di satu sisi, dan disisi lain kepentingan pendidikan itu sendiri. Contohnya, kebijakan
bantuan untuk madrasah dan pendidikan keagamaan di Indonesia sebagai termaktub
dalam Surat Edaran Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor 903/2429/SJ pada 21
September 2005 yang melarang pemerintah daerah (Pemda) mengucurkan dana
APBD untuk bantuan madrasah, yang kemudian di revisi dan ditegaskan bahwa
tidak ada larangan dana APBD untuk bantuan madrasah dalam Surat Edaran
Mendagri No 903/5361/SJ, tahun 2012 lalu. Disatu sisi, lahirnya kebijakan tersebut
disinyalir bagian dari agenda politik pemerintah untuk mendapat simpati dari
masyarakat, di lain sisi, masyarakat pendidikan keagamaan juga memerlukan
adanya bantuan semacam itu untuk kemajuan kuantitas dan kualitas pendidikan
Islam dan keagamaan.

3. Tipologi Kebijakan Diskriminatif, yaitu tipe kebijakan yang membeda-bedakan dan


memisahkan beberapa kebijakan untuk kepentingan politik dan kekuasaan.
Misalnya, praktik kebijakan diskriminasi dalam anggaran pendidikan Islam dengan
pendidikan Umum. Perbedaan kebijakan besaran anggaran pendidikan tersebut
tentu saja membawa dampak signifikan dalam penyelenggaraan dan pelayanan
pendidikan Islam yang berkualitas dan berdaya saing tinggi.
19
4. Tipologi Kebijakan Integratif, yaitu tipe kebijakan yang menyatukan beberapa
kebijakan sesuai dengan kebutuhan masyarakat, perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi informasi. Contohnya, lahirnya kebijakan yang dilakukan antar
lembaga atau antar kementrian dalam kaitanya dengan pendidikan Islam, misalnya
dalam SKB 3Menteri, SKB 5 Menteri dan sejenisnya.

5. Tipologi Kebijakan Reformatif, yaitu tipe kebijakan yang cenderung melakukan


perubahan total ke arah yang lebih baik secara sistemis, efektif, akuntabel,
transparan dan demokratis. Kebikajan semacam ini terutama terlihat dari perubahan
kebijakan pemerintah terkait sistem pendidikan dalam UU SPN No. 2 tahun 1989
diganti dengan UU SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003.

BAGIAN KEDELAPAN

DI BAWAH LINDUNGAN POLITIK PENDIDIKAN ISLAM

A. Sebuah Simpulan

1. Secara umum, kebijakan-kebijakan politik pendidikan Islam di Indonesia pasca-


Orde baru ada yang menguntungkan dan ada yang merugikan. Beberapa kebijakan
yang merugikan bagi dunia pendidikan islam dengan lahirnya Surat Edaran Menteri
Dalam Negeri (Mendagri) tahun 2005 Nomor 903/2429/SJ yang melarang dana
APBD untuk bantuan madrasah dan lembaga pendidikan keagamaan.

2. Pelaksanaan kebijakan politik pendidikan Islam di Indonesia pasca-Orde baru,


secara umum, dapat dipetakan dalam beberapa tipologisasi : Pertama, tipologi
kebijakan adaptif, yaitu tipe kebijakan terkait pendidikan untuk diadaptasikan ke
dalam kebijakan pendidikan Islam di Indonesia. Dapat dilihat dari munculnya
kebijakan kurikulum hingga pelaksanaannya. Sebagai contoh, adanya kebijakan
kurikulum 2013 yang seharusnya dilaksanakan tahun 2013, dalam praktiknya,
lembaga pendidikan Islam baru akan melaksanakan kurikulum tersebut tahun 2014,
dengan satu dan lain alasan. Kedua, tipologi kebijakan akomodatif, yaitu tipe
kebijakan yang mengakomodasi berbagai kepentingan, termasuk kepentingan
kekuasaan dan politik di satu sisi, dan sisi lain kepentingan pendidikan itu sendiri.
Contoh, lahirnya beberapa kebijakan bantuan untuk madrasah dan pendidikan
keagamaan di Indonesia. Disatu sisi, lahirnya kebijakan tersebut disinyalir bagian
dari agenda politik pemerintah untuk mendapatkan simpati dari masyarakat, di alain
sisi masyarakat pendidikan keagamaan juga memerlukan adanya bantuan semacam
itu untuk kemajuan kuantitas dan kualitas pendidikan Islam dan keagamaan. Ketiga,
tipologi kebijakan diskriminatif, yaitu tipe kebijakan yang membeda-bedakan dan
memisahkan beberapa kebijakan untuk kepentingan politik dan kekuasaan.
Misalnya, praktik kebijakan diskriminasi dalam anggaran pendidikan Islam dengan
pendidikan umum yang masih terjadi dari dulu hingga saat ini. Keempat, tipologi
kebijakan integratif, yaitu tipe kebijakan yang menyatukan beberapa kebijakan
sesuai dengan kebutuhan masyarakat, perkembanga ilmu pengetahuan dan teknologi
20
informasi. Kelima, tipologi kebijakan reformatif, yaitu tipe kebijakan yang
cenderung melakukan perubahan total ke arah yang lebih baik secara sistematis,
efektif, akuntabel, transparan dan demokratis. Terlihat dari perubahan kebijakan
pemerintah terkait sistem pendidikan dalam UU SPN No. 2 tahun 1989 diganti
dengan UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003. Semua tipologi kebijakan tersebut
menunjukkan adanya relasa antara politik dan pendidik Islam di Indonesia pasca-
Orde Baru, sangat berkait satu sama lain. Dampak kebijakan politik pendidikan
Islam di Indonesia pasca-Orde Baru diantaranya dalam aspek kurikulum yang lebih
cenderung adaptif memiliki pengaruh pada penyusunan hingga pelaksanaan
kurikulum keagamaan yang berkualitas.

B. Implikasi Teoretis

1. Secara Politis, pendidikan Islam di Indonesia memiliki hubungan yang erat dengan
dinamika politik dari masa ke masa, terutama pada era pasca-Orde Baru.

2. Temuan kajian dalam buku ini menegaskan bahwa kebijakan pendidikan Islam di
Indonesia pasca-Orde Baru terutama dalam aspek kurikulum, anggaran,
kelembagaan, dan guru agama Islam mengimplikasikan munculnya berbagai
kebijakan pendidikan Islam selalu tidak lepas dari kepentingan, kekuasaan,
kewenangan dan kebijakan negara dalam membina dan menjamin hak pendidikan
warganya.

3. Kebijakan kelembagaan dalam pendidikan Islam di Indonesia pasca-orde baru yang


masih dikelola oleh Kementrian Agama, sementara pendidikan Non-Islam yang
masih sulit untuk dihindarkan.

C. Keterbatasan Studi

Terkait teoris dan metodologis

1. Analisis produk kebijakan pendidikan Islam di Indonesia pasca-Orde baru yang


dihasilkan dari buku ini bisa saja mengandung kelemahan karena adanya
generalisasi dan simplikasi (penyederhanaan). Namun, sumber-sumber data dari
berbagai media, buku, majalah dan internet menyiratkan validitas adanya masalah
dan dampak dari beberapa aspek kebijakan pendidikan Islam di Indonesia pasca-
Orde Baru, yang perlu diperhatikan bersama.

2. Disadari bahwa orientasi dan fokus dari buku ini masih cukup luas permasalahan
dari sumber teks isi kebijakan dan respon dari opini publik, walaupun juga ada
sebagian elit politik atau pejabat pemerintah yang memberikan pernyataan melalui
media massa yang menjadi rujukan analisis.

3. Sumber-sumber untuk penulisan buku ini juga disadari masih terbatas dan belum
mencakup seluruh kebijakan pendidikan Islam di Indonesia, secara komprehensif.

21
D. Saran dan rekomendasi

1. Pemerintah/negara (Presiden/DPR/Menteri Agama/Menteri Pendidikan dan


Kebudayaan/Dirjen Pendis) sebagai pembuat kebijakan sekaligus penyelenggara
pemerintahan perlu terus bersikap amanah, adil, bertanggung jawab dan tidak
diskriminatif dalam membuat dan melaksanakan berbagai kebijakan pendidikan
Islam di indonesia, khususnya terkait kebijakan kurikulum, anggaran, kelembagaan
dan guru agama Islam, sesuai amanat UUD 1945, Pancasila, UU Sisdiknas dan
tuntutan reformasi.

2. Guru dan masyarakat sipil diharapkan ikut aktif dalam mengawasi, mengontrol,
mengevaluasi dan memberi kontribusi dengan cara masing-masing terkait
pemecahan masalah dan persoalan pendidikan di Indonesia, termasuk pendidikan
Islam. Hanya dengan cara demikian, hak-hak warga negara dalam pendidikan
tersebut akan terpenuhi sesuai amanat konstitusi.

3. Media massa sebagai pilar keempat demokrasi dalam suatu negara diharapkan terus
menerus ikut ambil bagian dalam memberikan informasi, edukasi, dan evaluasi
kritis dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.

4. Kebijakan sebagai pilar kelima demokrasi dalam suatu negara juga perlu diarahkan
pada hal-hal yang positif untuk mewujudkan cita-cita negara sesuai mandat dan
amanat rakyat.

5. Pra peneliti dan penulis di negeri ini perlu terus menerus menyorot problematika
pendidikan Islam di indonesia, termasuk terkait dengan pendidikan Islam di negeri ini,
karena pendidikan merupakan kunci pembangunan bangsa.

22

Anda mungkin juga menyukai