RESUME BUKU POLITIK PENDIDIKAN ISLAM Ana
RESUME BUKU POLITIK PENDIDIKAN ISLAM Ana
( Choirul Mahfud )
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendekatan dan Metode Studi Islam
Oleh :
Muhammad Sa’dullah
12010160032
PROGRAM PASCASARJANA
2016
Profil Buku :
Judul : POLITIK PENDIDIKAN ISLAM : Analisis Kebijakan Pendidikan Islam di
Indonesia Pasca Orde Baru
Penulis : Choirul Mahfud
Penerbit : Pustaka Pelajar Yogyakarta
Tahun Terbit : 2016
Tebal : xxii + 408 Halaman
Cetakan : Cetakan 1, Februari 2016
ISBN : 9786022295693
BAGIAN PERTAMA
POLITIK PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA :
ANTARA IDEALITAS DAN REALITAS
A. Latar Belakang
Persoalan-persoalan di negeri ini tidak bisa lepas dengan politik, tidak terkecuali
persoalan dalam pendidikan Islam. Oleh karena itu, tidak keliru bila dinyatakan bahwa
politik dan pendidikan Islam juga memiliki hubungan dan pengaruh antara satu dengan yang
lainnya. Bahkan, belakangan ini persoalan politik dan pendidikan, termasuk pendidikan
Islam, terus memperoleh perhatian besar seiring dinamika sosial politik di Indonesia pasca-
Orde Baru.
Ketika reformasi 1998 bergulir, banyak sekali perubahan terjadi di hampir semua aspek
kehidupan, termasuk dalam dunia pendidikan Islam di negeri ini, salah satu wujudnya adalah
lahirnya sejumlah tata aturan kebijakan tentang pendidikan Islam dan pendidikan
keagamaan, seperti PP No. 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama (PA) dan Pendidikan
Keagamaan (PK), UU Sisdiknas N0. 20. Tahun 2003, lahirnya kurikulum baru tahun 2013
dan lain sebagainya. Hal ini seolah meneguhkan kebenaran ungkapan “ganti menteri ganti
kebijakan”.
Pendidikan Islam dan politik memiliki hubungan yang erat dan saling memengaruhi.
Terbukti, banyak kebijakan pendidikan Islam di negeri ini ditentukan oleh kebijakan politik
pemerintah. Belum lama ini, ada satu kebijakan yang hangat diperbincangkan banyak
kalangan, yaitu terbitnya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor
903/2429/SJ yang melarang Pemerintah Daerah (Pemda) mengucurkan dana APBD untuk
sumbangan atau bantuan madrasah dan lembaga pendidikan keagamaan, yang mendapat
protes keras dari sejumlah pihak dan pejabat daerah, termasuk Pemprov Jawa Timur dan
1
pemerintah daerah di hampir seluruh Indonesia. Bahkan, Kementrian Agama (Kemenag)
pusat juga memberikan protes keras.
Kementrian Agama menilai salah satu poin Peraturan Mentri Dalam Negeri Nomor 39
Tahun 2012 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari
APBD merupakan bentuk diskriminasi pendidikan. Poin yang dimaksud adalah bantuan
sosial dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah untuk madrasah tidak bersifat wajib
atau mengikat. Mayoritas madrasah, baik Ibtidaiyah (SD), Tsanawiyah (SMP) maupun
Aliyah (SMA) di Indonesia merupakan lembaga swasta. Kalau negeri bisa diatasi oleh
Kementrian, tetapi kalau swasta tidak mendapat APBD, siapa yang mau membantu.
Lembaga pendidikan yang dikelola Kementrian Agama ini, berbeda dengan di Kementrian
Pendidikan, yang banyak berstatus negeri. Kemenag mempunyai dana yang terbatas untuk
menanggung semuanya. Lembaga pendidikan Islam juga ada yang mendapat dana Bantuan
Operasional Sekolah, namun itu belum dianggap maksimal tanpa bantuan APBD. Dari
protes dan gugatan dari sejumlah pihak dan pejabat di daerah dan pusat tersebut, kemudian
Mendagri merespon dengan mengeluarkan sikap dan surat edaran baru untuk membolehkan
APBD untuk membantu madrasah dan lembaga keagamaan lainnya.
Dunia politik sering kali dianggap dan dipahami sebagai dunia kotor yang menghalalkan
segala cara dan perlu dihindari. Sementara dunia pendidikan seolah dunia yang berdiri
sendiri dan bebas dari pengaruh ideologi serta kepentingan kekuasaan. Padahal bila
dicermati, relasi antara politik dan pendidikan, termasuk pendidikan Islam, adalah saling
terkait dan saling memengaruhi, bahkan saling membutuhkan satu sama lain. Masalah
pendidikan tidak mungkin dilepaskan dari masalah politik, sebab bagaimanapun kebijakan
politik sangat menentukan arah pembinaan dan pengembangan pendidikan. Sebaliknya pula,
pendidikan memengaruhi politik kekuasaan dan bahkan maju mundurnya suatu bangsa.
Pengalaman ini banyak negara mencatat, kualitas pendidikan suatu bangsa menentukan arah
kemajuan bangsa dan indeks pembangunan manusia.
1. Kebijakan kurikulum
2
2. Kebijakan Anggaran
3. Kebijakan Kelembagaan
Dalam konteks ini, analisis difokuskan pada kebijakan pemerintah terkait tata aturan
kelembagaan dan sistem penyelenggaraan pendidikan Islam di Indonesia pasca-Orde
Baru. Seperti diketahui bahwa kebijakan tentang lembanga yang berwenang dalam
penyelenggaraan pendidikan Islam dan pendidikan umum dari awal era kemerdekaan
hingga era reformasi saat ini masih dijumpai perbedaan dan masalah, sehingga perlu
dikaji akar masalah terkait kebijakan hingga implementasinya.
C. Kerangka Teori
1. Teori Hegemoni
Hegemoni menurut Gramsci adalah sebuah pandangan hidup dan cara berfikir yang
dominan, yang di dalamnya sebuah konsep tentang kenyataan yang disebar luaskan
dalam masyarakat baik secara istitusional maupun perorangan yang mendiktekan seluruh
cita rasa, kebiasaan moral, prinsip-prinsip religius dan politik, serta seluruh hubungan-
hubungan sosial, khususnya dalam makna intelektual dan moral.
Hegemoni menurut Gramsci bekerja dengan dua tahap, yaitu tahap dominasi dan tahap
pengarahan/kepemimpinan intelektual dan moral.
2. Teori Kekuasaan
Teori kekuasaan Foucault dimana kekuasaan tidak hanya menjadi milik pemimpin atau
entitas tertentu, tetapi kekuasaan berangkat dari kekuatan dan sumbangan pemikiran
setiap subjek yang memiliki pengaruh besar bagi perubahan dalam suatu masyarakat atau
negara. Meminjam bahasa Emha Ainun Najib, dalam konteks ini bisa dikatakan bahwa
kekuasaan bukan menciptakan penguasa, tetapi pemimpin.
Teori Kekuasaan Anthony Giddens, kuasa itu mewujudkan ke dalam dua bentuk : (1)
kuasa alokatif dan (2) kuasa otoritatif. Menurutnya, kuasa alokatif merujuk pada
kapasitas untuk menguasai sumber daya “keras” yang serba bendawi. Sementara kuasa
otoritas adalah kemampuan menguasai sumber daya institusional seperti lembaga
pemerintah.
3
3. Teori Kebijakan Publik
Menurut William N. Dunn adalah suatu daftar pilihan tindakan yang saling berhubungan,
yang disusun oleh institusi atau pejabat pemerintah.
Menurut Anderson mengutarakan lebih spesifik bahwa : “public policies are those
policies developed by government bodies and official” ( kebijakan-kebijakan yang
dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah).
D. Kerangka Analisis
Bisa dipahami sebagai produksi dan transformasi informasi sebelum kebijakan dimulai
dan diimplementasikan.
E. Studi Terdahulu
1. Pendidikan Islam dari masa ke masa : tinjauan kebijakan publik terhadap pendidikan
Islam di Indonesia (Marwan Saridjo). Menuturkan perjalanan panjang dari masa ke
masa seputar pendidikan Islam di Indonesia, baik dari segi kegiatanya maupun
kelembagaannya. Melalui buku tersebut, Saridjo juga mengungkapkan pergumulan
umat Islam di Indonesia dalam berbagai aspeknya, seperti politik, ekonomi, sosial dan
budaya dari masa ke masa tercermin pada kiprah dan kontribusi maupun
perkembangannya. Meski kelihatan komplit (dari masa ke masa) namun kajian tentang
dinamika pendidikan Islam pasca-Orde Baru yang hingga saat ini masih berproses
belum terbahas, karena memang waktu penerbitan buku ini pada 2010.
2. Politik Pendidikan Agama dalam Era Pluralisme : telaah historis atas Kebijaksanaan
Pendidikan Agama Konfesional di Indonesia (Saerozi). Mengkaji topik pluralisme
agama dan dinamikanya dalam berbagai kebijaksanaan pendidikan agama yang pernah
terjadi di Indonesia, yakni masa penjajahan portugis, masa kekuasaan VOC, masa
penjajahan Hindia Belanda, dan masa Indonesia Merdeka.
4
3. Politik Pendidikan Nasional : Pergeseran kebijakan Pendidikan Agama Islam dari Pra-
Proklamasi ke Reformasi. (Abd. Rachman Assegaf).
F. Metodologi Kajian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dipakai adalah penelitian Kualitatif. Yaitu penelitian yang
bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa persepsi, motivasi, tindakan dan
lain-lain, secara holisti, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa,
pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode
penelitian, diantaranya metode pengamatan atau observasi, wawancara, dan penelaahan
dokumen-dokumen.
2. Pendekatan Penelitian
Dalam buku ini penulis memakai Pendekatan studi kebijakan dari William N. Dunn.
Analisis kebijakan publik dapat dilakukan dengan tiga pendekatan, yaitu : pendekatan
empiris (lebih menekankan pada analisis sebab atau akibat dari suatu kegiatan publik;
valuatif (lebih menekankan pada penilaian atau evaluasi manfaat kebijakan terhadap
suatu masyarakat); dan normatif (menekankan pada rekomendasi tindakan-tindakan
yang dapat menyelesaikan masalah publik).
Pengumpulan berbagai sumber data dan informasi dilakukan melalui Studi dokumenter
terhadap bahan pustaka yang sesuai dengan objek penelitian.
b. Dokumentasi
Secara praktis, untuk menyajikan data agar lebih bermakna dan mudah dipahami, maka
langkah analisis data yang digunakan dalam buku ini menggunakan model kerangka
analisis interaktif dari Miles dan Huberman. Kegiatan analisis dibagi menjadi beberapa
bagian penting, yaitu : pengumpulan data; pengelompokan menurut variabel; reduksi
data; penyajian data; memisahkan outlier data; dan penarikan kesimpulan atau verifikasi
data.
BAGIAN KEDUA
A. Epistemologi Poltik
Konsepsi dan definisi politik adalah segala hal yang berkaitan dengan kekuasaan,
kebijakan, kewenangan, kepentingan, dan hubungan timbal balik antara pemerintah
dengan warga masyarakat untuk mencapai tujuan dan kebaikan bersama dalam suatu
negara.
Dalam konteks pendidikan Islam, konsepsi politik semacam itu memiliki dimensi
penting dalam proses penggunaan kekuasaan dan pembuatan kebijakan yang sebaik-
baiknya sesuai dengan amanat konstitusi dalam suatu negara. Baik buruknya pendidikan
Islam, dalam konsepsi politik bergantung bagaimana kekuasaan itu digunakan dan
dilaksanakan. Dalam hal ini, praktik politik dapat dipahami melalui berbagai kebijakan
yang dibuat atau yang belum dibuat oleh pihak otoritas politik dalam suatu struktur
negara.
Pendidikan Islam merupakan usaha sadar dan terencana dalam mengajarkan nilai-nilai
pendidikan Islam oleh pendidik kepada peserta didik dalam rangka mencerdaskan
kehidupan dan membentuk manusia berkarakter sesuai ajaran agama Islam. Dalam
konteks itu, maka tugas dan fungsi pendidikan Islam sebetulnya bukan sekedar proses
memindah ilmu pengetahuan (transfer of knowledge), tetatpi juga bisa dimaknai sebagai
proses mentransfer nilai-nilai (transfer of values).
Dalam konteks yang lebih luas, konsepsi pendidikan Islam dijalankan sepanjang hayat.
Nabi Muhammad SAW dalam beberapa hadits bahkan menganjurkan pentingnya
belajar sepanjang hayat mulai lahir hingga wafat. Konsepsi ini sejalan dengan gagasan
4 Pilar Pendidikan Universal yang dirumuskan UNESCO, yaitu : learning to know;
learning to do; learning to live together dan learning to be.
6
C. Konsepsi Politik Pendidikan Islam
Pendidikan Islam perlu direkonstruksi kembali, agar lebih menekankan proses edukasi
sosial, tidak semata-mata individual dan untuk memperkenalkan konsep social-contract,
sehingga pada diri peserta didik tertanam suatu keyakinan, bahwa kita semua sejak
semula memang berbeda-beda dalam banyak hal, lebih-lebih dalam bidang akidah,
iman/kredo, tetapi demi untuk menjaga keharmonisan, keselamatan, dan kepentingan
kehidupan bersama, mau tidak mau, kita harus rela untuk menjalin kerja sama
(cooperation) dalam bentuk kontrak sosial antara sesama kelompok warga masyarakat
di muka bumi ini.
Sejarah politik pendidikan Islam dalam suatu negara sangat penting, karena akan
menentukan arah dan dinamika peradaban suatu bangsa melalui penyelenggaraan
pendidikan yang baik bagi semua warganya. Dalam sudut pandang yang lebih luas,
sejarah politik pendidikan Islam mencakup bahasan tentang peta perjalanan pendidikan
Islam pada situasi dan kondisi politik dalam kurun waktu tertentu yang dipengaruhi oleh
aspek politik kekuasaan.
Dalam kontek pendidikan Islam, ada beberapa semangat ideologi yang dapat dipahami
sebagai warisan ideologi pendidikan Islam, diantaranya : pertama, ideologi pendidikan
Islam salafiayah tradisionalis, yaitu ideologi yang dibangun atas dasar dan prinsip-
prinsip salafus sholih. Hal ini bisa dilacak dari tumbuh suburnya pondok pesantren
salafiyah di berbagai daerah di pulau Jawa, Bali, NTB hingga Sumatera. Kedua, ideologi
pendidikan Islam salafiyah fundamentalis, yaitu sebuah ideologi yang mengarah pada
keinginan mempraktikkan ajaran Islam yang fundamental dan radikal melalui sekolah
Islam di negeri ini. Ketiga, ideologi pendidikan Islam tradisionalis, yaitu sebuah ide dan
gagasan yang sederhana tapi progresif dengan memegang tradisi disatu sisi, tetapi di sisi
lain juga menerima kemajuan untuk lebih baik. Hal ini bisa dilihat dari tumbuh suburnya
lembaga pendidikan Islam seperti madrasah-madrasah di negeri ini. Keempat, ideologi
pendidikan Islam modernis, yaitu ide dan gagasan yang berorientasi pada kemajuan
dunia industri, ilmu pengetahuan, tehnologi dan informasi. Karakteristik lembaga
pendidikan Islam semacam ini sangat mempertimbangkan kepentingan pasar, industri
dan kemajuan peradaban yang berkemajuan. Hal ini bisa dilihat dari adanya pondok
pesantren modern dan lembaga pendidikan Islam berbasis tehnologi dan
entrepreneurship. Kelima, ideologi pendidikan Islam multikultural, ide dan gagasan
penyelenggaraan pendidikan Islam yang menghargai perbedaan untuk kemajuan
peradaban Islam rahmatan lil alamin. Keenam, ideologi pendidikan Islam
kosmopolitanis, yaitu ide dan gagasan penyelenggaraan pendidikan Islam melewati
batas-batas teritorial negara bangsa. Seperti menjamurnya lembaga pendidikan Islam
kosmopolitan ala fethullah Gullen dari Turki di Indonesia.
7
BAGIAN KETIGA
Kuatnya hubungan politik dan pendidikan, termasuk dalam aspek pendidika Isla,
mampu melahirkan kebijakan yang mendorong lebih baik atau sebaliknya. Oleh karena
itu, membangun dan menciptakan hubungan yang lebih positif bagi kemajuan
pendidikan untuk kemajuan negara menjadi penting. Sebab, banyak yang meyakini
bahwa kemajuan negara selalu diiringi dengan kemajuan pendidikannya. Tanpa ada
kemajuan dan perhatian dalam bidang pendidikan, maka eksistensi politik sebuah
bangsa tidak akan bisa bertahan lama dalam menyangga kemajuan peradabannya.
Dalam konteks pendidikan Islam, reformasi pendidikan Islam pada dasarnya memiliki
tujuan agar pendidikan Islam dapat berjalan lebih baik, efektif dan efisien untuk
mencapai tujuan pendidikan yang dicita-citakan. Untuk itu, biasanya, ada dua hal yang
perlu dilakukan dalam reformasi : pertama, mengidentifikasi atas berbagai problem
yang menghambat terlaksanannya pendidikan; kedua, merumuskan reformasi yang
bersifat strategis dan praktis sehingga dapat diimplementasikan di lapangan.
Penyelenggaraan pendidikan tidak lepas dari kebijakan politik. Posisi dan eksistensi
pendidikan Islam masih kuat karena tata aturan memberikan jaminan hukum. Hal itu
terlihat dari penyelenggaraan pendidikan mulai tingkat dasar, menengah, atas hingga
perguruan tinggi diberikan secara penuh kepada dua kementrian, yaitu Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Kementrian Agama (Kemenag).
Namun, pemerintah juga memberikan otoritas penyelenggaraan pendidikan kedinasan
kepada Kementrian yang terkait langsung denga dinas/bidangnya. Namun hal itu hanya
berlaku hanya di tingkat perguruan tinggi, bukan ditingkat sekolah dasar, menengah dan
atas. Sementara posisi pendidikan Islam yang dikelola oleh Kemenag bisa dikatakan
cukup strategis dengan posisi pendidikan umum yang dikelola oleh Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud).
8
disebutkan tentang siapa yang menjadi pengelola pendidikan keagamaan baik yang
formal, non-formal dan informal tersebut, yaitu Menteri Agama.
Dari sini jelas bahwa tanggungjawab dalam proses pembinaan dan pengembangan
pendidikan Islam menjadi tanggung jawab menteri agama. Mengingat posisi menteri
agama bukan hanyak untuk kalangan Islam saja, maka beban menteri agama juga
melebar pada penyelenggaraan pendidikan agama lainnya (nonislam), disamping beban
administratif terkait dengan ruang lingkup penyelenggaraan agama dan prosesi
keagamaan untuk seluruh agama-agama yang diakui di Indonesia.
Politik pendidikan Islam memiliki posisi penting dalam praktik pendidikan di suatu
negara, termasuk Indonesia. Pendidikan agama setelah diwajibkan di sekolah-sekolah,
meskipun masih perlu disempurnakan terus, menunjukkan bahwa pengaruhnya dalam
perubahan tinkah laku remaja adalah relatif lebih baik dibandingkan dengan kondisi
sebelum pendidikan agama tersebut diwajibkan. Sekurang-kurangnya pengaruh
pendidikan agama tersebut secara minimal dapat menambah benih keimanan yang dapat
menjadi daya prefentif terhadap perbuatan negatif remaja atau bahkan mendorong
mereka untuk bertingkah laku susila dan sesuai dengan norma agamanya. Kebijakan
politik pendidikan yang dibuat oleh pemimpin dalam suatu negara akan membawa
dampak secara langsung atau tidak bagi terciptanya tatanan kehidupan dalam berbangsa,
beragama dan bernegara.
Dalam konteks kebijakan pendidikan Islam juga bisa dipahami bahwa mekanisme dan
dinamika pendidikan Islam di Indonesia tidak selamanya bisa didekati dengan teori
“visible hand” di mana peran dan tanggung jawab masalah pendidikan berada di tangan
negara atau pemerintah. Bahkan, terkadang urusan dan kebijakan pendidikan Islam di
negeri ini berjalan delam mekanisme teori “Invisible Hands”. Hal itu bisa ditandai
dengan peran dan kontribusi banyak pihak di luar struktur negara dan pemerintah.
Kebijakan-kebijakan pendidikan Islam yang berjalan di negeri ini justru dipelopori dan
digerakkan oleh pasar atau masyarakat sipil. Munculnya lembaga pendidikan pesantren,
madrasah dan lembaga pendidikan lainnya misalnya, sedari awal sebelum negara ini
merdeka merupakan salah satu bukti nyata praktik kebijakan pendidikan Islam di
Indosesia masih didominasi oleh teori “invisible hands” ketimbang teori “visible hand”.
BAGIAN KEEMPAT
Metode keteladanan dalam praktik pendidikan Islam sangat ditonjolkan oleh Nabi
Muhammad SAW. Dalam konteks inilah, sumbangan paling besar dalam praktik
9
pendidikan Islam era Rasullah adalah metode keteladanan. Hingga hari ini, metode
keteladanan menjadi salah satu metode yang sangat dahsyat dalam menjawab segala
persoalan dalam pendidikan kontemporer.
Sebagai seorang nabi dan rasul sekaligus juga kepala negara ketika di Madinah,
kebijakan pendidikan Islam semakin membaik dan sistemik dibanding ketika Rasulullah
berada di Makkah. Dari sisi materi pendidikan yang menjadi fokus kajian juga berbeda.
Misalnya saja, pada saat di Makkah, Rasullullah lebih memfokuskan pada aspek materi
pendidikan ketauhidan dan aqidah akhlak yang meliputi rukun Iman dan Rukun Islam.
Sementara pada saat di Madinah, Nabi Muhammad berupaya memngembangkan aspek
materi pendidikan Islam pada pembentukan dan pembinaan masyarakat baru atau
pendidikan peradaban Islam yang holistik.
secara umum dapat dipahami bahwa potret pendidikan Islam pada masa kolonial,
umumnya dalam bentuk pesantren dan madrasah. Pesantren dan madrasah merupakan
jenis sekolah yang coraknya bertolak belakang dengan sekolah yang diperkenalkan
pemerintah kolonial, baik dari sudut isi pengajaran maupun cara pendidikan. Pendidikan
Islam masa kolonial dibedakan menjadi dua, yakni Pendidikan Islam Muhammadiyah
dan Pendidikan Islam NU (Nahdlatul Ulama). Lembaga pendidikan Muhammadiyah
yang muncul pada masa kolonial antara lain Hollands School (sekolah guru) di
Yogyakarta, 32 buah Sekolah Dasar Lima Tahun, sebuah schakel School, 14 buah
Madrasah. Lembaga pendidikan ini juga mendirikan HISP Muhammadiyah, Mulo
Muhammadiyah, Madrasah Ibtidaiyah dan Tsanawiyah Muhammadiyah.
10
Berbagai kebijakan Pemerintah Republik Indonesia dalam bidang Pendidikan Islam
antara lain yaitu : Pada 17-8-1945 Indonesia merdeka. Akan tetapi musuh-musuh
Indonesia tidak diam saja, bahkan berusaha untuk menjajah kembali.
Pada bulan 1946 dikeluarkan peraturan bersama dua menteri, yaitu Menteri Agama dan
Menteri Pendidikan dan Pengajran yang menetapkan bahwa pendidikan agama
diberikan mulai kelas IV SR (Sekolah Rakyat = Sekolah Dasar) sampai kelas VI.
Pemerintah membentuk Majelis Pertimbangan Pengajaran Agama Islam pada tahun
1947 yang dipimpin oleh Ki Hajar Dewantara dari Departemen P dan K, serta Prof. Drs.
Abdullah Sigit dari Departemen Agama. Tugasnya ikut mengatur pelaksanaan dan
menteri pengajaran agama yang diberikan di sekolah umum.
Pada 1966 MPRS bersidang lagi. Dalam keputusannya, bidang pendidikan agama telah
mengalami kemajuannya dengan menghilangkan kalimat terahir dari keputusan yang
terdahulu. Dengan demikian, maka sejak tahun 1966 pendidikan agama menjadi hak
wajib bagi Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi Umum Negeri di seluruh Indonesia.
Orde Baru adalah masa pemerintahan di Indonesia sejak 11 Maret 1966 hingga
terjadinya peralihan kepresidenan, dari presiden Soeharto ke presiden Habibi pada 21
Mei 1998. Peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru membawa konsekuensi perubahan
strategi politik dan kebijakan pendidikan nasional. Pada dasarnya Orde Baru adalah
suatu korelasi total terhadap Orde Lama yang didominasi oleh PKI dan dianggap telah
menyelewengkan Pancasila.
Kebijakan pemerintah Orde baru mengenai pendidikan Islam dalam konteks madrasah
di Indonesia bersifat positif dan konstruktif, khususnya dalam dua dekade terahir 1980-
an sampai dengan 1990-an. Pada tahap ini madrasah belum dipandang sebagai bagian
dari sistem pendidikan nasional, tetapi baru bersifat lembaga pendidikan bersifat
otonom di bawah pengawasan Menteri Agama.
Pendidikan Islam di Indonesia pada era Orde Baru mengalami perbaikan dan perubahan
ke arah yang lebih baik dibanding era penjajahan dan era awal kemerdekaan serta Orde
Lama. Hanya saja, masih ada nuansa diskriminasi dan dikotomi antara pendidikan Islam
dan pendidikan umum yang berimplikasi pada input, proses dan output pendidikan
Islam pada masa itu yang memengaruhi pula pada kebijakan politik pendidikan Islam
pada masa berikutya.
BAGIAN KELIMA
11
Politisasi pendidikan berbeda dengan politik pendidikan itu sendiri. Politisasi
pendidikan cenderung bermakna usaha penyalahgunaan wewenang (abuse of power).
Dalam konteks pendidikan Islam, politisasi pendidikan dimaknai sebagai
penyalahgunaan wewenang, dan kebijakan untuk kepentingan politik tertentu, dan
menjadikan pendidikan Islam sebagai objek sasaran politisasi. Dalam hal ini,
pendidikan menjadi lahan subur bagi semua pihak dalam upaya untuk mewujudkan
kepentingan masing-masing.
Menurut penulis, karena latar belakang masalah terjadinya korupsi ibarat lingkaran
setan, sudah tentu cara mengatasinya harus memutuskan lingkaran setan korupsi itu.
Jihad melawan korupsi dengan cara memutus lingkaran setan tersebut tentu harus
dilakukan bersama-sama. Tanggung jawab lembaga pendidikan Islam cukup besar
dalam upaya pemecahan masalah semacam ini. Selain itu, pemerintah beserta aparatnya
wajib mengusut tuntas dengan tidak tebang pilih terhadap pelaku korupsi di negeri ini.
Apalagi, sebagai anggota PBB, Indonesia ikut serta menandatangani deklarasi
Millennium Development Goals (MDGs) yang salah satunya berkomitmen terhadap
penghapusan kemiskinan.
Masalah terorisme dan kekerasan atas nama agama masih menjadi pekerjaan rumah
yang perlu diwaspadai semua pihak. Usaha pencegahan yang komprehensif tanpa
kekerasan disinyalir lebih efektif dan humanis ketimbang melawan kekerasan denga
kekerasan. Dalam konteks inilah, peran pendidikan Islam diiringi dengan kebijakan
negara memiliki fungsi strategis dalam menciptakan kehidupan damai di bumi pertiwi
ini. Langkah-langkah yang dilakukan atau tidak melakukan dengan pembiaran,
memiliki dampak yang tidak dapat disepelekan.
Problematika globalisasi tentu saja menjadi bahasan penting dalam studi kebijakan
pendidikan Islam di Indonesia kontemporer. Hal itu sejalan dengan semangat konstitusi
negara kita sebagaimana termuat dalam pembukaan UUD 1945 Alinea ke-4, yang
berbunyi : “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan
keadilan sosial”. Oleh karena itu, bagaimana usaha dan strategi pendidikan Islam
melihat persoalan globalisasi sebagai bagian dari dinamika zaman yang perlu diletakkan
dalam konteks dinamika ilmu-ilmu pendidikan Islam terkini. Harapannya, tentu saja,
pendidikan Islam yang berada dalam atmosfir modernisasi dan globalisasi dewasa ini
mampun memainkan peranannya secara dinamis, kritis, solutif da kontributif.
12
BAGIAN KEENAM
Kebijakan publik juga bisa diartikan sebagai keputusan-keputusan yang mengikat bagi
orang banyak pada tataran strategis atau bersifat garis besar yang dibuat oleh pemegang
otoritas publik. Sebagai keputusan yang mengikat publik maka kebijakan publik
haruslah dibuat oleh otoritas politik, yakni mereka yang menerima mandat dari publik
atau orang banyak, umumnya melalui suatu proses pemilihan untuk bertindak atas nama
rakyat banyak. Seharusnya, kebijakan publik akan dilaksanakan oleh administrasi
negara yang dijalankan oleh birokrasi pemerintah.
1. Perumusan Masalah
Perumusan masalah adalah suatu bentuk kebijakan yang diambil atas beberapa
pertimbangan, baik dari pertimbangan tujuan, strategi, maupu kepentingan
lingkungan eksternal. Perumusan merupakan agenda penting dalam studi kebijakan
publik. Dari agenda ini bisa memberikan informasi mengenai situasi dan kondisi
yang menimbulkan masalah.
2. Peramalan (forecasting)
3. Rekomendasi
Secara singkat, rekomendasi kebijakan adalah cara yang dilakukan agar sebuah
kebijakan dapat mencapai sasarannya. Rekomendasi kebijakan dapat memberi
informasi mengenai manfaat dari setiap alternatif. Juga bisa memberi informasi
mengenai konsekuensi sekarang dan masa lalu dari ditetapkannya alternatif
kebijakan termasuk resiko dan kendala.
4. Pemantauan
5. Evaluasi Kebijakan
13
Maksud dan tujuan dari evaluasi kebijakan adalah untuk memberikan informasi
mengenai kinerja atau hasil dari suatu kebijakan.
4. Model elit berasumsi bahwa dalam suatu masyarakat terdiri dari kelompok elit yang
memegang kekuasaan dan kelompok massa yang tidak memiliki kekuasaan.
5. Model rasional menganggap bahwa kebijakan publik sebagai maximum social gain
yang berarti pemerintah sebagai pembuat kebijakan harus memilih kebijakan yang
memberikan manfaat optimal bagi masyarakat.
10. Model teori permainan, konsep penting teori permainan adalah strategi defensif,
yaitu kebijakan yang paling aman bukan yang paling optimum.
11. Model pilihan publik, proses formulasi kebijakan melibatkan publik melalui
kelompok-kelompok kepentingan, sehingga model ini bersifat demokratis.
12. Model sistem kebijakan merupakan hasil atau output dari sistem politik.
14
13. Model deliberatif atau musyawarah pada perumusan kebijakan menempatkan
peran pemerintah sebagai legalisator dari pada kehendak publik.
Dari semua model, menurut Riant Nugroho, tidak ada pilihan model yang terbaik dalam
implementasi kebijakan. Namun ada satu hal yang penting, yakni implementasi
kebijkana haruslah menampilkan keefektifan kebijakan itu sendiri.
BAGIAN KETUJUH
Problematika kebijakan bukan saja terletak pada isi kebijakan, tetapi juga pada operasi
pelaksanaan sebuah kebijakan. Paraktoks, tumpang tindih dan ketidaksesuaian antara yang
seharusnya dengan senyatanya masih ditemukan untuk dilakukan upaya evaluasi dan solusi
pemecahannya agar sesuai harapan dan tujuan yang ingin dicapai.
A. Rencana dan strategi kebijakan pendidikan Islam di Indonesia Pasca orde baru
Sesuai dengan informasi dari website Pendidikan Islam Kemenag, dalam pencapaian
tujuan program pendidikan Islam, dilakukan melalui sejumlah kegiatan strategis sebagai
berikut :
Kedua, peningkatan Akses dan Mutu Madrasah Ibtidaiyah. Output yang hendak dicapai:
1. Tersedia dan terjangkaunya layanan pendidikan Madrasah Ibtidaiyah (MI)
2. Meningkatkan mutu layanan pendidikan MI
3. Meningkatkan mutu dan daya saing lulusan MI
4. Meningkatkan mutu tata kelola MI
Ketiga, Peningkatan Akses dan Mutu Madrsah Tsanawiyah. Output yang hendak
dicapai :
1. Tersedia dan terjangkaunya layanan pendidikan Madrasah Tsanawiyah (MTs)
2. Meningkatkan mutu layanan pendidikan MTs
3. Meningkatkan mutu dan daya saing lulusan MTs
15
4. Meningkatkan mutu tata kelola MTs.
Keempat, Peningkatan Akses dan Mutu Madrsah Aliyah. Output yang hendak
dihasilkan :
1. Tersedia dan terjangkaunya layanan pendidikan Madrasah Aliyah (MA)
2. Meningkatkan mutu layanan pendidikan MA
3. Meningkatkan mutu dan daya saing lulusan MA
4. Meningkatkan mutu tata kelola MA
Ketujuh, Peningkatan Akses dan Mutu Pendidikan Tinggi Islam. Output yang
diharapakan :
1. Mengingkatkan akses pendidikan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI)
2. Meningkatkan mutu layanan pendidikan PTAI
3. Meningkatkan mutu dan daya saing lulusan PTAI
4. Meningkatkan mutu tata kelola PTAI
Kedelapan, Penyediaan Subsidi Pendidikan Tinggi Islam Bermutu. Output yang hendak
dicapai dari kegiatan ini adalah tersedia dan tersalurnya beasiswa bagi mahasiswa
miskin dan mahasiswa yang berprestasi.
Kesepuluh, Peningkatan akses dan Mutu Pendidikan Keagamaan Islam. Output yang
ingin dihasilkan :
1. Tersedia dan terjangkaunya layanan Pendidikan Non-Formal, Diniyah, dan Pondok
Pesantren.
2. Meningkatkan Mutu layanan Pendidikan Non_Formal, Dininyah dan Pondok
Pesantren.
3. Meningkatkan mutu dan daya saing lulusan Pendidikan Non-Formal, Diniyah dan
Pondok Pesantren.
16
4. Meningkatkan mutu tata kelola Pendidikan Non-Formal, Diniyah, dan pondok
Pesantren.
Keduabelas, Peningkatan Akses dan Mutu Pendidikan Agama Islam pada Sekolah.
Output yang hendak dicapai :
1. Tersedianya layanan pendidikan agama Islam pada sekolah
2. Meningkatnya mutu layanan pendidikan agama Islam pada sekolah
3. Meningkatnya kualitas pemahaman dan pengamalan ajaran agama peserta didik
Hal yang paling sensitif dalam konteks kebijakan Pendidikan Islam di Indonesia
pasca-Orde Baru diantaranya adalah perubahan kurikulum. Di awal tahun 2013,
perubahan kurikulum kembali terjadi. Menurut beberapa pemerhati pendidikan yang
menolak K13, pendidikan kita jadi tidak maju dan terus bermasalah diantaranya
karena perubahan kurikulum yang sering kali lebih didasari motif kekuasaan dari
pada proses pencerdasan bangsa.
Bagi yang pro beralasan bahwa KTSP dianggap sudah tidak up to date. Bahkan
cenderung memberatkan peserta didik. Disinilah perubahan kurikulum baru
dianggap perlu sebagai solusi. Sementara bagi yang kontra, K13 dianggap bukan
solusi terbaik untuk mengatasi masalah pendidikan di negeri ini. Sebab, kurikulum
bukan satu-satunya kunci mengatasi masalah pendidikan. Penerapan kurikulum
2013 dinilai tidak akan berpengaruh pada peningkatan mutu pendidikan di beberapa
daerah dari Sabang sampai Merauke.
17
kecenderungan untuk memasukkan apa saja yang dianggap penting ke dalam
kurikulum. Akibatnya, terjadilah beban berlebih pada anak didik.
18
Persoalan manajemen kurikulum dan pembelajaran yang sangat berbeda antara
kurikulum 2004 dengan Kurikulum 2006. Kedua persoalan ini akan sangat
dirasakan oleh para guru pengajarnya karena mereka adalah perencana, pelaksana
dan penilai pembelajaran. Merekalah yang akan dibingungkan setiap hari dalam
melaksanakan tugasnya. Perbedaan antara kedua kurikulum tersebut sangat
signifikan, banyak pengamat pendidikan menilai bahwa para guru adalah “korban”
pertama yang terkena dampak dari perubahan kurikulum ini.
Lalu, implikasi dari pelaksanaan Kurikulum 2013 ini juga hampir sama. Guru
kembali diasumsikan menjadi “kelinci percobaan” dalam pelaksanaan kurikulum
berbasis tematik-integratif tersebut. Namun, implikasi yang cukup mendasar dari
kebijakan kurikulum pendidikan di Indonesia ada juga dampak positifnya, terutama
upaya untuk menghasilkan insan Indonesia yang produktif, kreatif, inovatif, dan
afektif melalui penguatan sikap (tahu mengapa), pengetahuan (tahu apa) dan
keterampilan (tahu bagaimana) yang terintegrasi.
1. Tipologi Kebijakan Adaptif, yaitu tipe kebijakan yang mengadopsi dari berbagai
kebijakan terkait pendidikan untuk diadaptasikan ke dalam kebijakan pendidikan
islam di Indonesia. Contohnya adalah kebijakan kurikulum pendidikan Islam yang
mengadaptasi dengan kurikulum pendidikan nasional sebagai bagian integral dalam
sistem pendidikan di Indonesia, terutama lahirnya kurikulum 2004 (KBK),
kurikulum 2006 (KTSP) dan kurikulum 2013 ini.
BAGIAN KEDELAPAN
A. Sebuah Simpulan
B. Implikasi Teoretis
1. Secara Politis, pendidikan Islam di Indonesia memiliki hubungan yang erat dengan
dinamika politik dari masa ke masa, terutama pada era pasca-Orde Baru.
2. Temuan kajian dalam buku ini menegaskan bahwa kebijakan pendidikan Islam di
Indonesia pasca-Orde Baru terutama dalam aspek kurikulum, anggaran,
kelembagaan, dan guru agama Islam mengimplikasikan munculnya berbagai
kebijakan pendidikan Islam selalu tidak lepas dari kepentingan, kekuasaan,
kewenangan dan kebijakan negara dalam membina dan menjamin hak pendidikan
warganya.
C. Keterbatasan Studi
2. Disadari bahwa orientasi dan fokus dari buku ini masih cukup luas permasalahan
dari sumber teks isi kebijakan dan respon dari opini publik, walaupun juga ada
sebagian elit politik atau pejabat pemerintah yang memberikan pernyataan melalui
media massa yang menjadi rujukan analisis.
3. Sumber-sumber untuk penulisan buku ini juga disadari masih terbatas dan belum
mencakup seluruh kebijakan pendidikan Islam di Indonesia, secara komprehensif.
21
D. Saran dan rekomendasi
2. Guru dan masyarakat sipil diharapkan ikut aktif dalam mengawasi, mengontrol,
mengevaluasi dan memberi kontribusi dengan cara masing-masing terkait
pemecahan masalah dan persoalan pendidikan di Indonesia, termasuk pendidikan
Islam. Hanya dengan cara demikian, hak-hak warga negara dalam pendidikan
tersebut akan terpenuhi sesuai amanat konstitusi.
3. Media massa sebagai pilar keempat demokrasi dalam suatu negara diharapkan terus
menerus ikut ambil bagian dalam memberikan informasi, edukasi, dan evaluasi
kritis dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.
4. Kebijakan sebagai pilar kelima demokrasi dalam suatu negara juga perlu diarahkan
pada hal-hal yang positif untuk mewujudkan cita-cita negara sesuai mandat dan
amanat rakyat.
5. Pra peneliti dan penulis di negeri ini perlu terus menerus menyorot problematika
pendidikan Islam di indonesia, termasuk terkait dengan pendidikan Islam di negeri ini,
karena pendidikan merupakan kunci pembangunan bangsa.
22