Anda di halaman 1dari 8

Mitos dan Jargon Pemimpin Masa Depan

Ahmad Rizky M Umar

Journal Nov 24, 2015

Belakangan ini, saya sering mendengar jargon-jargon semacam “Pemimpin Masa Depan”, “Pemuda
Harapan Bangsa”, “Generasi Penerus”, “Changemakers”,dan sejenisnya. Pembicaraan tersebut biasanya
lalu-lalang di pembicaraan seputar milis, media sosial, hingga kadang ada juga di beberapa grup
Whatsapp.

Saya pada awalnya tidak begitu tertarik dengan istilah macam begitu, tetapi lambat laun, saya jadi
tergoda untuk menulis sebaris dua baris kalimat terkait dengan hal tersebut.

Apa makna jargon semacam "pemimpin masa depan" atau "changemakers"? Sebagai jargon yang
digelorakan, bagi saya, ungkapan-ungkapan itu tak lebih dari sekadar mitos. Ia tak berbeda dengan
mitos-mitos masa lampau soal Malin Kundang, misalnya, yang bercerita bahwa ada orang yang dikutuk
menjadi batu karena menolak mengakui ibu kandungnya. Mitos tak sepenuhnya buruk.

Cerita tentang Malin Kundang, jika ditelaah, sebetulnya punya satu pesan sendiri agar seorang anak
tidak menelantarkan orangtuanya setelah dewasa. Tentu saja, tidak ada yang bisa membuktikan
kebenaran cerita soal Malin Kundang.

Namun, kekuatan dari mitos bukanlah kebenaran yang ia sampaikan, melainkan pesan yang mengatur
perilaku seseorang agar tidak berbuat a atau b, dan menggunakan kerangka moral tertentu. Jika
mengikuti argumen yang dibangun Michael Foucault, mitos adalah praktik “kepengaturan”
(governmentality).

"Namun, kekuatan dari mitos bukanlah kebenaran yang ia sampaikan, melainkan pesan yang mengatur
perilaku seseorang agar tidak berbuat a atau b, dan menggunakan kerangka moral tertentu"

Ketika masih menjadi mahasiswa, mitos semacam ini juga bisa dijumpai. Antara lain, misalnya, dengan
mitos bahwa mahasiswa adalah agent of change. Saya harus jujur kalau dulu saya juga sering mengulang
mitos ini dalam training-training kepemimpinan mahasiswa.
Sering, ketika training perkaderan, disampaikan bahwa mahasiswa adalah agent of change, punya peran
dalam perubahan politik (biasanya yang disebut-sebut adalah 1998), dan harus memegang peranan itu
di masa depan.

Tentu saja yang disampaikan adalah mitos yang diwariskan. Generasi 1998 mungkin adalah generasi
yang berjasa sudah membawa reformasi, tetapi mereka bukanlah generasi yang menginisiasinya dari
awal.

Gerakan mahasiswa 1998 adalah gerakan mahasiswa yang tiba-tiba muncul karena krisis dan kontradiksi
saat itu. Yah, mobilisasi mereka memang telah membawa perubahan.

Tetapi mereka bukanlah generasi yang siap untuk mengubah: mayoritas gagasan yang muncul pasca-
reformasi adalah reproduksi gagasan lama yang dibuat dalam bingkai yang baru atau malah apropriasi
atas gagasan elit-elit lama yang tersingkir di zaman Soeharto (Megawati, Gus Dur, atau Amien Rais, atau
mungkin proponen liberalisme macam Goenawan Muhammad, misalnya).

Kalau contohnya adalah 1998 atau 1966, Gerakan Mahasiswa sebagai agent of change adalah mitos.

Tetapi cara kerja mitos tentu bukan dari kebenarannya, tetapi dari kekuatan mereka untuk membangun
kesadaran. Yang namanya mahasiswa, anak muda, mesti gampang dipengaruhi. Di titik inilah
‘memitoskan’ agent of change menjadi penting, agar gerakan mahasiswa terus bergerak dan dinamis,
bisa muncul di saat-saat ‘kritis’ dan ‘genting’ (atau, bilamana diperlukan).

Zaman Orde Baru dulu, penguasa melestarikan kekuasaannya melalui mitos-mitos, yakni bahwa politik
hanya boleh dilakukan melalui orsospol dan hanya ada 3 partai. Tentu saja demokrasi tidak pernah
mensyaratkan adanya pembatasan partai politik, apalagi kalau pembatasannya dilakukan dengan
kekuasaan, namun tentu saja hal ini efektif untuk membangun jejaring kekuasaan selama 32 tahun.

Mitos lain adalah bahwa berkontribusi yakni berpartisipasi dalam pembangunan. Oleh karena itu,
konsolidasi kekuasaanmenjadi terpusat pada negara dan semua aktivitas diorientasikan pada negara
yang terpusat.
Hal-hal semacam itu adalah mitos, karena ada banyak kanal tempat berkontribusi bisa dilakukan di luar
negara (tentu saja, kalau zaman dulu ada yang mencoba mengkritik negara akan dibungkam dengan
berbagai aparatus kekuasaan.

"Hal-hal semacam itu adalah mitos, karena ada banyak kanal tempat berkontribusi bisa dilakukan di luar
negara dibungkam dengan berbagai aparatus kekuasaan"

"Pemimpin Masa Depan": Sekadar Mitos?

Jargon semacam “pemimpin masa depan” juga beroperasi dengan cara demikian. Saya tidak begitu
paham dari mana munculnya (entah dari pelatihan kepemimpinan atau mungkin pesan-pesan yang
berseliweran di berbagai media, tapi jargon semacam ini lebih berpotensi menjadi mitos alih-alih
kebenaran.

Dengan didoktrin via jargon-jargon semacam ini, mahasiswa (atau, misalnya, penerima beasiswa
tertentu) akan mempunyai semangat untuk menjadi pemimpin dan ikut pelatihan kepemimpinan. Lalu
sepulang pelatihan ikut kegiatan-kegiatan sosial, dengan sebuah imajinasi bahwa jika mereka bisa
mencoba menolak itu, bakal tersingkir (misalnya: para intelektual yang tersingkir ke negeri orang atau
para eksil yang tak bisa pulang karena dianggap melawan negara), yang melakukan ‘sesuatu’ untuk
masyarakat, mereka akan menjadi "pemimpin masa depan".

Tentu mitos-mitos semacam ini tidak salah. Sejauh ini, mitos “Malin Kundang” membuat seorang anak
berbakti pada orangtuanya, mitos “agent of change” sukses membuat seorang mahasiswa
berdemonstrasi dan mengkritik kebijakan pemerintah, mitos "pembangunan" membuat rencana
program pemerintah berjalan mulus selama bertahun-tahun (walaupun ambruk ketika Rupiah kolaps di
tahun 1998 dan dana pembangunan menipis), sementara mitos “pemimpin mas depan” membuat
banyak penerima beasiswa aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial non-akademik dan memikirkan sesuatu
yang ‘lebih’ dari sekadar studi pascasarjana.

Artinya, bisa jadi mitos diperlukan sejauh ia bisa membangkitkan kesadaran orang untuk melakukan
sesuatu. Saya tidak menganggap mitos sesuatu yang buruk dalam hal ini. Yang jadi masalah adalah jika
mitos itu tidak diimbangi oleh kesadaran kritis atas apa yang terjadi saat ini.
Mitos menjadi bermasalah ketika ia kemudian memberikan imajinasi dan membuat orang yang
terpengaruh oleh mitos itu hidup dalam imajinasi tersebut sehingga lupa bahwa ia hidup dalam realitas
yang tidak sepenuhnya ideal.

"Mitos menjadi bermasalah ketika ia kemudian memberikan imajinasi dan membuat orang yang
terpengaruh oleh mitos itu hidup dalam imajinasi tersebut sehingga lupa bahwa ia hidup dalam realitas
yang tidak sepenuhnya ideal"

Akibatnya, kadang saya menjumpai paradoks: ada yang begitu semangat untuk membicarakan
pemimpin masa depan, tetapi justru menghindar (atau ngeles, berlindung di balik jargon itu) ketika
ditawari perbincangan kritis soal apa yang terjadi saat ini.

Yah, mungkin penting bagi kita untuk sadar bahwa kita adalah ‘pemimpin masa depan’. Namun, kalau
kita berpikir sedikit lebih jauh, kita mungkin bisa bertanya: apa/siapa yang mau dipimpin? Memimpinnya
seperti apa dan bagaimana? Apakah mungkin memimpin di masa depan tanpa tahu apa yang terjadi hari
ini?

Berpikir tentang menjadi ‘pemimpin masa depan’ memang penting (dan itu harus), tetapi tanpa
kesadaran kritis tentang apa yang terjadi hari ini, jangan pernah bermimpi untuk memimpin di masa
depan.

Apa yang terjadi di masa depan adalah hasil dari pergulatan kita hari ini. Masa depan tidak muncul dari
langit surga, tetapi justru dipertarungkan, mungkin dengan berdarah-darah, pada hari ini.

Maka dari itu, menjadi paradoks ketika banyak yang bermimpi untuk memimpin di masa depan tetapi
kemudian menghalangi pembicaraan-pembicaraan kritis di hari ini dengan alasan yang sederhana: tidak
relevan dengan topik di milis atau komuitas, misalnya.

Hal ini sebetulnya sah-sah saja, toh saya tidak bisa menyalahkan kalau banyak yang berpikir seperti itu
Namun, kalau hal tersebut terjadi, gambarannya artinya cukup jelasm yakni mungkin gagasan tentang
menjadi ‘pemimpin di masa depan’ adalah mitos yang diberi napas, bukan sesuatu yang (mungkin)
serius untuk diperjuangkan.
Bisa jadi, catatan seorang dosen yang akhir-akhir ini ramai diperbincangkan oleh rekan-rekan saya
menjadi sedikit masuk akal: banyak yang punya semangat, ingin perubahan atau semacamnya, punya
sedikit pengetahuan, lulus dari perguruan tinggi ternama, lalu ingin membuat perubahan di daerah,
tetapi tidak punya pengetahuan kritis tentang apa yang terjadi daerah tersebut. Poinnya, kita mungkin
ingin perbaikan.

Tetapi kita mesti bertanya: Apa yang akan diperbaiki? Untuk kepentingan siapa? dan atas tujuan apa itu
diperbaiki?

Masalahnya bukan pada cita-citanya; sekali lagi, mungkin yang bersangkutan punya cita-cita baik. Tetapi
(sedikit meminjam istilah Rendra), maksud baiknya untuk siapa? Jangan-jangan, ini sekadar untuk
menjadikan kita sebagai pusat perhatian, karena menunjukkan aktivitas kita yang "keren".

Ini mungkin bisa dimaklumi karena yang membikin adalah anak muda. Siapa sih anak muda yang tidak
ingin keren? Yang jadi pesoalan, jangan sampai karena tujuanya adalah menjadi keren karena secuil
kiprah dan kontribusi yang dilakukan, kita lupa bahwa perubahan membutuhkan keringat dan
pertarungan yang tak sepenuhnya indah dan mudah.

Semoga pembacaan saya di atas keliru -masih banyak kok anak muda yang ikhlas dan biasa-biasa saja.

Namun demikian, ada juga sedikit kekhawatiran. Titik ekstremnya, imajinasi ‘pemimpin masa depan’
tanpa diiringi oleh kesadaran kritis tentang apa yang sebenarnya terjadi di masyarakat bisa membuat
orang-orang terdidik menjadi, tak ubahnya, antropolog zaman kolonial: meneliti masyarakat ‘pribumi’
dan membuat laporannya kepada pemerintah kolonial untuk jadi kebijakan pemberdayaan.

Maksud sebagian mereka mungkin baik -untuk membantu masyarakat ‘pribumi’ keluar dari
keterbelakangannya, tetapi hasilnya justru menegaskan ‘superioritas’ pemerintah kolonial atas
koloninya.

Atau malah lebih parah: menjadikan pengetahuan mereka sebagai referensi dalam menindas
perlawanan masyarakat di koloni (peran Snouck Hourgrounje dalam Perang Aceh mungkin bisa jadi
refleksi). Ah, semoga tidak ada yang berniat begini.
Sekali lagi, itu titik ekstrem. Tentu tidak ada yang mengharapkan hal itu terjadi. Namun, satu hal ingin
saya refleksikan: berpikir mengenai ‘menjadi pemimpin masa depan’ mungkin penting, tetapi
memahami apa yang terjadi pada masyarakat kita hari ini, secara kritis, ilmiah, dan menggunakan nalar
serta bisa diperdebatkan secara terbuka juga penting.

"Namun, satu hal ingin saya refleksikan: berpikir mengenai ‘menjadi pemimpin masa depan’ mungkin
penting, tetapi memahami apa yang terjadi pada masyarakat kita hari ini, secara kritis, ilmiah, dan
menggunakan nalar serta bisa diperdebatkan secara terbuka juga penting"

Tanpa kritisisme, imajinasi hanya akan membuat kita berumah di atas angin, tak menjejak bumi. Tanpa
kiritisisme, bisa jadi kita mungkin punya gagasan, tapi solusinya tidak menjawab persoalan yang benar-
benar real.

Atau mungkin sedikit lebih maju: hasilnya dieksekusi dengan logika beberapa birokrat Jakarta: bikin
regulasi sana sini tanpa tahu apakah regulasi itu cocok untuk daerah (sehingga ketika dicek, banyak
regulasi yang tidak sinkron antara pusat dan daerah).

Mungkin yang lebih parah: punya gagasan, lalu kenal dengan jejaring tokoh politik/bisnis/birokrasi
tertentu, dan akhirnya bertransformasi menjadi elit politik/bisnis/birokrasi itu di masa depan -tanpa
akhirnya memberi perubahan yang jelas pada petani desa yang kehilangan tanah di mana-mana. Persis
seperti banyak kakak aktivis ‘98 zaman dulu, bukan? Yah, semoga yang ini tidak terjadi.

Dari Mitos ke Visi

Pada titik inilah, saya ingin berefleksi: mungkin sebelum berpikir untuk menjadi pemimpin masa depan,
bisa jadi akan lebih baik jika kita berpikir untuk hari ini dulu. Memimpin apa yang harus dipimpin,
membaca apa yang harus dibaca, menulis apa yang harus ditulis.

Atau mungkin mengkritisi apa yang harus dikritisi, melawan apa yang harus dilawan, mengorganisir apa
yang harus diorganisir, mengubah apa yang harus diubah. Mungkin terdengar klise. Tetapi mau
bagaimana lagi, untuk menjadi pemimpin masa depan, ya kita harus menjalani hari ini. Dengan segenap
pahit getirnya, panas dan hujannya.
Ini bukan berarti berpikir tentang masa depan itu tidak penting. Masa depan adalah masa depan. Tapi
jangan menjadikan ia sekadar sebagai mitos. Jadikan saja ia sebagai visi: menghadirkan gagasan tentang
masa depan dalam perbuatan hari ini melalui keterlibatan dengan apa yang ada di sekitar kita saat ini.

Mungkin, hal itu bisa dimulai dengan berpikir, secara lebih kritis dan bernalar, tentang apa yang
sebenarnya terjadi hari ini. Syukur-syukur bisa ditulis atau disalurkan dalam gerakan kolektif. Dan
dengan demikian, mulai saja dari apa yang bisa dikerjakan, misanya, membantu kelompok-kelompok
sosial yang hari ini ditindas dan dimarjinalkan oleh struktur kekuasaan yang ada.

Dengan apa yang kita punya, kemampuan yang kita bisa, masyarakat dimana diri kita dibesarkan
sehingga kita mungkin bisa sedikit sadar bahwa mungkin menjadi pemimpin masa depan adalah tugas
sejarah, bukan sekadar jargon.

Fastabiqul Khairat.

1469 Views

Sponsored

More Journal from Ahmad Rizky M Umar

View More

Fatwa MUI: Sudah Tepatkah?

3 years ago

Andaikan Setiap Hari adalah Ramadan


2 years ago

Dilema Ilmuan Sosial

4 years ago

Quo-Vadis Majelis Ulama Indonesia

3 years ago

Banalitas Fanatisme

5 years ago

Copyright © Selasar 2018Tentang Selasar Syarat dan Ketentuan Kebijakan Privasi Panduan Perilaku
Kontak

Anda mungkin juga menyukai