PENDAHULUAN
Canine distemper virus (CDV) sampai saat ini masih menjadi penyakit
mematikan anjing di dunia nomer dua setelah rabies. CDV pada anjing disebabkan
oleh virus patogen RNA ber-amplop dengan untaian tunggal dari family
pada musim peralihan dari musim panas kemusim hujan atau sebaliknya dan biasanya
kasus distemper meningkat terutama pada bulan-bulan musim semi. CDV memiliki
tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi pada populasi anjing yang tidak
mencapai 50%-90%. Tidak ada perbedaan yang nyata tingkat risiko kejadian penyakit
CDV menyerang anjing semua umur, namun anjing umur muda (<12 bulan)
memiliki resiko terinfeksi CDV lebih tinggi. Hal ini terjadi karena pada umur ini
terjadi penurunan antibodi maternal, tingkat stress yang tinggi karena masa
pertumbuhan, dan serangan penyakit lain yang menurunkan kondisi tubuh. Faktor
lain yang berperan pada infeksi CDV adalah keadaan gizi, keletihan, lingkungan yang
buruk serta kurangnya pengetahuan owner anjing. Risiko infeksi lebih tinggi juga
terjadi pada anjing yang tidak diimunisasi dengan vaksin distemper atau divaksin
1
Penyakit CDV pada anjing merupakan penyakit yang bersifat multisistemik
karena menyerang sistem respirasi, digesti, kutaneus, dan juga saraf. Infeksi CDV
dapat terjadi secara akut, subakut dan kronis (Lempp et al., 2014). Manifestasi klinis
awal yang ditunjukkan oleh infeksi distemper anjing adalah anoreksia, demam,
letargi, kehilangan berat badan, dehidrasi, eksudasi berlebih dari cavum nasal dan
mata, batuk-batuk, kesulitan bernafas, dan gastroenteritis (Sellon, 2005). Gejala saraf
disebabkan oleh aktivitas virus yang telah sampai pada sistem saraf pusat. Anjing
yang dapat bertahan dari gejala awal CDV sering sekali menunjukkan gejala saraf
seperti kejang-kejang, tremor, paralisis, perubahan tingkah laku, chorea, serta gerakan
mengunyah. Sering sekali prognosis hampir selalu buruk jika melibatkan gejala saraf.
Tidak jarang anjing yang terinfeksi berakhir dengan kematian atau berhasil bertahan
namun masih menyisakan gejala saraf, dan sangat sedikit kemungkinan anjing
berhasil selamat 100% dari infeksi CDV (Suartha et al., 2008). Lebih lanjut lagi
Buragohain et al. (2017) melaporkan bahwa infeksi CDV persistenpada CNS ataupun
sumsum tulang belakang, sangat sulit untuk dipulihkan dan cenderung semakin
Sampai saat ini penyakit distemper pada anjing masih merupakan problem
bagi para dokter hewan, walaupun usaha-usaha pengobatan dan pencegahan penyakit
ini telah dilakukan. Sebagai usaha pencegahan penularan distemper ini dititik
beratkan kepada vaksinasi yang teratur terhadap anjing terutama anjing muda. Sampai
waktu sekarang ini, pengobatan yang dilakukan adalah dengan pemberian obat-
obatan yang hanya berdasarkan simptomatik saja. Dewasa ini para ahli mulai
2
mencoba melakukan pendekatan berbeda terhadap terapi CDV. Para ahli banyak yang
CDV. Karena alasan ini membuat kami tertarik untuk membuat perbandingan
efektifitas terapi CDV berdasarkan tingkat kesembuhan, gejala klinik yang tersisa,
Salah satu agen antivirus yang dapat digunakan dalam terapi CDV adalah
nanopartikel perak (AgNP). AgNP merupakan partikel logam perak yang memiliki
ukuran kurang dari 100 nm (Nugrahayu et al., 2015). Selain terbukti aktif dalam
penanganan terapi CDV, AgNP juga terbukti aktif terhadap beberapa jenis virus
termasuk virus imunodefisiensi manusia, hepatitis B, herpes simplek dan virus ber-
amplop lainnya. Kemampuan AgNP sebagai anti virus disebabkan karena dapat
Sintesis AgNP dari ekstrak tumbuhan (green synthesis) bersifat ramah lingkungan
karena mampu mengurangi penggunaan bahan kimia berbahaya. oleh sebab itu
potensi pengembangan AgNP sebagai agen antivirus sangat terbuka luas (Nugrahayu
et al., 2015).
antibodi untuk terapi tidak tergantikan oleh bahan kimia apapun karena antibodi
memiliki spesifisitas yang sangat tinggi dalam mengenali patogen dan tidak bersifat
toksik. Tingkat efektivitas imunoterapi sangat dipengaruhi oleh waktu, dosis terapi,
3
Imunoterapi akan efektif jika diaplikasikan pada awal infeksi. Terapi antibody diawal
infeksi akan menghambat replikasi virus dengan cara netralisasi, opsonisasi dan
presipitasi. Selanjutnya kompleks antibodi virus ini memicu mekanisme efektor yang
berfungsi untuk mencegah penyebaran pathogen (Suartini et al., 2014). Liu et al,
(2016) melaporkan Imunoterapi Ig G yang diperoleh dari babi yang di induksi CDV
dapat melawan CDV pada anak anjing dengan tingkat kesembuhan 75%. Pada terapi
CDV dengan Ig G juga disampaikan memiliki efek samping yang minim, oleh sebab
Rumusan masalah yang menjadi pokok bahasan dalam penelitian pustaka ini