Anda di halaman 1dari 10

CEMBURU PADA PERTIWI

Oleh : NOFRIYANI RIZKIA DAMASINTA

Tunnjuk satu bintang … Dan raihlah


Jangan kau berhenti … Dan menyerah
Saatnya kan tiba bintangmu bersinar
Saat impianmu jadi nyata ...

Semesta malam ini terasa indah dengan taburan bintang di segala penjuru. Tanpa ada
setitik pun awan menghalang, menandakan tak mungkin hujan mengguyur malam ini. Yaah, itu
presepsi manusia, namun bila Sang Kuasa berkehendak, tidak satu pun mampu mengelak. Pun
dengan diriku yang tak mampu menolak keputusan-Nya. Aku, Vivian Andara hanya manusia
egois dan labil.

Bukan maksudku untuk mengeluh. Bukan maksudku untuk egois. Namun, ku hanya
manusia biasa yang membutuhkan perhatian dari yang kusayang. Aku mendukung keinginannya,
sangat. Aku juga bangga padanya, sungguh.

***

“Vi, aku capek. Mungkin aku bakal mundur,” hanya dari suara dan `topik`-nya saja aku
sudah tahu dia siapa.

“Ayolah Ka, kita bukan pertama kali bahas ini. Ini tuh sudah menjadi pembahasan rutin
kita beberapa minggu bahkan menginjak bulan belakangan ini.”

“Kemarin-kemarin aku masih mencoba buat merenungkan semua saran kamu. Aku
memang sempat terfikir buat lanjut, tapi entah mengapa sebagian hatiku menolak.”
Jika sudah begini aku bisa apa untuk membujuknya. Sudah semua alasan aku
kemukakan, nemun selalu ditolaknya. Aku sudah berjanji untuk membantu mewujudkan impian
besarnya. Dia Hildan Andika, si manusia super kepala batu. Walau tak dapat dipungkiri, ada
sebagian hati kecilku yang merasakan ketakutan.

“Kali ini apalagi yang buat pendirianmu goyah?”

“Entahlah, aku hanya merasa belum siap meninggalkan semuanya, terutama--”

“Aku?” tak perlu menunggunya menyelesaikan ucapan, aku sudah tau.

“Dan kamu yang paling tahu aku seperti apa.”

***

Sejak awal aku yang mendukungnya, sejak awal aku memaksanya berjuang saat dia
mulai memutuskan menyerah. Jadi bila kini dia benar pergi, seharusnya aku tak bersedih.
Seharusnya aku bahagia, tapi mengapa?

“Vi, aku pulang duluan ya,” pamit Thalita, sahabatku.

“Loh? Kamu pulang sama siapa?” pasalnya pagi tadi aku yang menjemputnya berangkat
kuliah.

“Aku dijemput Deny, maaf ya Vi.”

“Santai aja lagi Ta, hati-hati. Salam sama Deny.”

“Kamu juga hati-hati pulangnya,” Thalita pergi seraya melambaikan tangannya.

“Hhhh… aku kapan?”

Kembali ku bertanya-tanya. Aku kapan dijemput kuliah sama dia? Aku kapan liburan
sama dia? Aku kapan nonton sama dia? Aku kapan makan sama dia? Petranyaan yang kerap kali
muncul ketika melihat sahabat-sahabatku, atau hanya mendengar ceritanya saja. Namun cukup
mendapat satu telpon atau pesan darinya mampu melunturkan semua pertanyaan dan kerguanku.
From : Komandan Hati

Assalamualaikum calon ibu persit, apa kabar?

Jangan bosan-bosan nunggu aku ya. Aku disini baik-baik aja.

Jangan malas kuliah, jangan malas makan.

Maaf jarang bisa hubungi kamu, pesan ini juga gaperlu dibalas karena aku gak bisa
balas lagi. Salam sama papa-mama juga ayah-bunda. Sampaikan maaf karena tidak
menghubungi mereka.

With Love,

Komandan Hatimu.

Jangan salahkan, bila senyum tak pudah dari bibirku semenjak membaca pesan itu. Juga
jangan salahkan nama kontak itu, semua karena perkataannya yang tak henti menyebut dirinya
‘Komandan Hati’. Siapa yang tak baper.

***

Kembali. Melihat orang terkadang membuatku iri. Iri pada mereka yang selalu bersama
merayakan hari special mereka. Sedangkan aku? Dihubungi satu kali dalam seminggu saja rasa
syukurku tak terkira.

“Happy Birthday kakakku sayaaaaaang, jangan galau-galau lagi,” teriakkan Sabrina,


adikku menggelegar begitu ku buka pintu utama rumah.

“Happy Birthday anak cantik mama, semoga penantiannya segera terobati ya,” mama
datang membawa kue yang sudah pasti buatan beliau.

“Aamiin, makasih mama. Maaf sampe sebesar ini kakak belum bisa bahagiakan mama,”
ku ambil alih kue dari mama dan ku letakkan di meja sebelahku.
“Semua yang kakak lakukan selama itu baik sudah cukup buat mama bahagia,” mama
mengecup puncak kepalaku.

“Udah deh mama sama kakak jangan sedih-sedihan. Tiup lilinnya dulu kak, udah meleleh
tuh.”

“Alhamdulillah terimakasih atas umur yang Kau berikan, izinkan aku membahagiakan
kedua orang tuaku. Ya Allah, jika dia memang jodohku, kuatkanlah hatiku selama
menunggunya. Namun, jika akhirnya dia bukan takdirku lapangkanlah hatiku. Aamiin.”

Fyuuuhhh…

“Yeaayy! Potong kuenya kak!”

“Kamu potong sendiri ya, kakak mau ganti baju dulu,” aku menyerahkan kue pada
Sabrina dan melenggang pergi ke kamarku.

“Yahhh kakak nih nggak asik, ulang tahun kok masih aja galau,” aku hanya tersenyum
mendengarnya, tak ada niat menanggapi.

Jika kalian tanya dimana Papa, beliau sedang ada tugas dinas di luar kota. Dan beliau
sudah menelponku usai sholat subuh pagi tadi. Beliau tak pernah absen untuk mengucapkan
ulang tahun untukku dan Sabrina.

Usai bertukar pakaian, aku duduk di atas kasur membalas pesan dari sahabat, teman,
bahkan orang yang tak ku kenal. Pintu kamarku terbuka dari luar, tampak mama masuk
membawa dua bingkisan yang ku kira itu kado darinya.

“Kak, nggak makan nak?”

“Kakak udah makan tadi sama temen-temen ma,” mama duduk di sebelahku.

“Ini ada titipan dari ayah sama bunda, tadinya mereka mau ke sini tapi mendadak ada
urusan jadinya di titip ke kantor mama tadi,” mama menyerahkan kedua bingkisan itu.

“Dua-duanya dari mereka?”

“Iya, kakak ngarepnya dari mama ya?” mama tekekeh melihatku tersenyum malu.

“Mama bingung mau beliin kakak apa, kakak beli sendiri aja ya,” lanjut mama.
“Kakak nggak minta apa-apa untuk saat ini ma, mungkin nanti,” mama hanya geleng
kepala mendengarnya.

“Yaudah, mama keluar dulu. Jangan terlalu berharap Dika ngucapin, dia belum tentu
dapet pegang hp. Yang jelas dia ngga mungkin lupa ulang tahun kamu.”

Sepeninggal mama, ku buka kedua bungkusan tadi. Aku bersyukur di perkenalkan


dengan kedua orang baik ini. Aku bukan anak kandung mereka, tetapi kasih sayang yang mereka
berikan tak ada bedanya dengan anak kandung mereka sendiri. Setidaknya hadiah dari mereka
mampu memudarkan sedikit rasa rinduku.

Tak dapat ku pungkiri, ada setitik harapan semoga dia ada sekedar memberi pesan
singkat di hari kelahiranku ini. Sekuat mungkin ku yakini dia tak ada karena tuntutan, bukan
kemauannya. Tapi kecewa itu tak dapat ku hindari. Terbersit rasa sesal, namun seketika ku tepis.

“Astaga Vi, baru segini aja udah ngeluh. Gimana nanti udah jadi istrinya, masa baru di
tinggal dinas sebulan udah minta cerai. Percaya dia memang yang terbaik pilihan Tuhan.”

***

Hari-hari yang kulalui tak lepas dari rasa rinduku padanya. Padanya yang berkabar cukup
satu atau dua kali dalam sebulan. Dia yang melewatkan beberapa kali pergntian usiaku. Dirinya
yang sedang dididik untuk mengabdi pada pertiwi. Dirinya yang sedang berusaha membuat kami
bangga atas perjuangannya.

Beberapa hari lagi kerinduanku kan terobati. Dia akan kembali dengan dirinya yang jauh
berbeda dengan sebelumnya. Namun, ada satu hal lagi yang membuatku gelisah.
Penempatannya. Aku tahu, dia sudah menerima dan mengetahui di mana ia akan ditugaskan. Dia
menyembunyikannya dari ku, entah apa alasannya.

“Vi, lusa Dika pulang kan ya?” Thalita bertanya disela kegiatan makannya, kami
memang tinggal menunggu hari wisuda saja.
“Iya Ta, nggak nyangka juga bisa betah nunggu dia dengan kabar terbatas selama ini,”
senyumku mengembang, tapi seketika memudar.

“Terus semisal Dika di tempatkan di luar daerah, bahkan di perbatasan gimana?” ini
pembahasan yang sangat aku hindari.

Pertanyaan yang terus terlontar baik dari Sabrina, papa, mama, ayah, maupun bunda. Aku
tak pernah mau menjawabnya. Bukan tak mau, lebih tepatnya tak tahu harus menjawab apa.

***

Hingga tiba pada hari dimana namaku bertambah, bertambah gelar. Akhir dari jatuh
bangun mengerjakan tugas bahkan tanpa penyemangat dan pendukung. Hari dimana aku melihat
ukiran senyum dari kedua malaikat tak bersayapku. Terlebih ada ayah dan bunda hari ini.

Jujur, kebahagiaan ini menyisakan setitik kekosongan. Dia yang seharusnya telah
kembali beberapa hari lalu justru hilang tak beerkabar. Membuat kekecewaan timbul dengan
sendirinya. Melihat beberapa rekannya sudah tiba bertemu orang terkasih, dia justru memilih
untuk menikmati liburan di pulau sebrang. Aku ingin marah, tapi pada siapa? Bahkan bundanya
saja tak masalah. Dia pun hanya mengabarkan menunda kepulangan hingga beberapa minggu
lagi. Salahkah bila aku marah?

Senyum serta tangis haru mama dan papa sejenak mengalihkan prasaanku. Tak
seharusnya aku bersedih di hari ini. Cukup setiap hari kelahiranku aku menangis mengharap
kehadirannya. Hari ini biarlah sejenak ku lupa.

“Kakak jangan cemberut gitu dong, nanti Mas Dika malah nggak mau sama kakak lagi,”
adikku mulai usil.

“Udah dek, hari ini aja jangan disebut yang nggak ada. Yang ada nyata aja ya,” aku tak
ingin terlarut kembali pada kekecewaan.

“Wahh keajaiban banget kakak ngga mau sebut-sebut Mas Dik—”


“Adek sudah kakak bilang jangan sebut yang nggak ad—” aku menyela adikku, namun
ada yang kembali menyela.

“Siapa bilang aku ngga ada? Aku hadir kok.” Suara yang empat tahun terakhir ku dengar
tak lebih dari tiga puluh menit namun tak perah hilang dari ingatan.

“Dikaaa… kok bisa disini?” aku yakin jika berbicara lebih banyak air mata ini tak dapat
ku bending lagi.

“Aku ngga mungkin lewatin hari bahagia kamu lagi, sudah cukup empat kali aku lewatin
ulang tahun kamu. Eh, jangan nangis dong. Nanti make up-nya luntur, saying uangnya.”

“Dikaaaaaaaaaaaa!!” ingin rasanya aku memeluknya, tapi nanti bisa dapat hadiah dari
ayah. Aku hampir lupa di sini tak hanya aku dan Dika, mereka semua terlihat diam menyaksikan
kebahagiaanku. Kini lengkap sudah.

“Kok kamu bisa pake baju ini? Kan bajunya masih di lemari aku?” aku bertanya setelah
tiba di rumah, mama memang sudah menyiapkan makanan menyambut wisudaku.

“Apa guna bocah kecil itu kalau tidak dimanfaatkan?”

“Hhh… Sabrina, jadi kamu sebenarnya sudah pulang? Terus sembunyi? Pantas saja,” aku
merasa tertipu.

“Tidak salah kan bila aku ingin memberi kejutan untuk calon Ibu Persitku?” jika aku es
maka sudah melelehlah aku.

“DIIKAAAAAAA!” ingin rasanya aku menghilang saat ini juga. Melihatku malu dia
justru tertawa keras.

***

Sore ini aku menunggu Dika di sebuah tempat makan yang dulu biasa kami kunjungi.
Aku sengaja tak datang tepat waktu karena aku tahu dia pasti datang lebih terlambat. Dia
memang sudah mulai bertugas, namun bukan tugas tetap. Dan entah hanya perasaanku saja,
pertemuan kali ini akan membahas hal serius.

“Sudah lama, Vi?” tampak dia masih mengenakan seragam lengkap dilapisi jaket senada
dengan seragamnya.

“Nggak kok, aku tahu kamu bakalan telat makanya aku datang juga baru.”

“Maaf, Vi,” tampak raut menyesal di wajahnya.

“Sudah, kamu makan aja dulu. Lagian tumben ngajak ketemu di sini, biasanya langsung
ke rumah,” dia tampak melahap makanan yang memang sudah aku pesankan sebelumnya.

“Ini tentang penempatanku,” dia membuka suara setelah sekian lama hening
menunggunya selesai makan. Sudah ku duga ini yang akan dibahas.

“Jadi, kamu dapat penempatan di mana?” aku berusaha untuk menetralkan perasaanku.

“Alhamdulillah, aku dapat penempatan disini. Hanya saja… aku mendapat tugas di
perbatasan dua tahun,” tahu rasanya naik rollercoaster? Dilambungkan lalu dihempas sketika,
itulah perasaanku kini. Kurasa pertanyaan Talitha menjadi nyata. Namun, tak mungkin ku
jelaskan melihat raut wajah frustasinya.

“Maaf harus meningglkan kamu lagi, tapi ini sudah menjadi tugasku. Aku harap kamu
mau menungguku lagi,” ku lihat dia pun tak sanggup mengatakannya padauku.

“Kenapa minta maaf? Itu memang tugas kamu, itu yang menjadi pilihanmu. Insyallah aku
akan selalu mendukung dan menunggu kamu kembali.”

“Jangan bosan menungguku, sayang,” sungguh kejadian langka dia memanggilku


‘sayang’.

“Insyaallah, semoga Allah menguatkan hatiku. Aku mau bilang terkadang aku cemburu
pada Tiwi,” ingin tertawa melihat ekspresi terkejutnya, namun kutahan sekuat mungkin.

“Tiwi siapa? Sumpah aku nggak kenal sama yang namanya Tiwi.”
“Aku cemburu pada pertiwi, kamu dididik empat tahun untuk bisa membelanya dan
kamu sewaktu-waktu harus siap untuk membelanya apapun risikonya,” cukup sekali kedipan air
mata ini akan luruh, Dika? Aku tak dapat menjabarkan bagaimana ekspresinya kini.

“Aku berjanji setelah ini aku akan temui papa untuk meminta izin, dan sekembalinya aku
nanti kamu akan resmi menjadi Ibu Persitku,” aku merasakan dingin tangannya yang sedang
menggenggam erat tanganku.

“Masa langsung ke papa, ke aku dulu dong,” entah keberanian darimana aku
mengatakannya, sementara hatiku sudah tak karuan bentuknya.

“Baiklah. Siap, saya Hildan Andika meminta anda Vivian Andara untuk menjadi Ibu
Persit yang akan menemani saya mengabdikan diri pada pertiwi, bersediakah anda?”

“Siap bersedia Komandan Hati!”

Riuh tepuk tangan membuatku sadar di mana kami berada kini. Terlalu asik dengan dunia
yang kami ciptakan membuat kami lupa lingkungan. Tampak beberapa anak SMA
mengabadikan momen kami ini, mungkin akan diunggah ke akun instagramnya.

Inilah kisah pembuka dari penantianku. Sempat ingin menyerah, namun ku percaya
pelangi setelah badai itu nyata. Jika nanti kalian merasa lelah menanti, ingatlah bagaimana
perjuangan yang telah dilalui. Jangan piker ini akhir penantianku, karena setelah penantian
selanjutnya akan muncul penantian-penantian panjang berikutnya. Doakan aku berhasil.
Hallo, aku Nofriyani Rizkia Damasinta baru berusia 18 tahun 11 bulan, jangan sebut 19
tahun ya. Kini aku menjadi mahasiswa POLTEKKES KEMENKES MATARAM baru semester
satu, jangan khawatir. Aku lahir, tinggal dan di besarkan di pulau indah yang baru saja pulih dari
bencana, Lombok. Jika ingin lebih mengenalku kalian bisa menghubungi melalu
Instagram(@nofriyani.kiie) Line (nofriyanirizkia) e-mail (nofriyanirizkia@gmail.com). Semoga
karyaku dapat menghibur.

Anda mungkin juga menyukai