Anda di halaman 1dari 12

BLOK DENTAL PHARMACHY

SELF LEARNING REPORT


SMALL GROUP DISCUSSION 1
“Farmakokinetik dan Farmakodinamik”

Dosen Pembimbing :

Disusun Oleh:

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
JURUSAN KEDOKTERAN GIGI
PURWOKERTO

2016
FARMAKOKINETIK DAN FARMAKODINAMIK

A. Definisi Farmakokinetik dan Farmakodinamik


1. Farmakokinetik
Farmakokinetik berasal dari bahasa Yunani “Farmako” yang
artinya obat dan “Kinesis” yang artinya perjalanan. Farmakokinetik
menjelaskan tentang apa yang terjadi dengan suatu zat di dalam
organisme, seperti bagaimana perjalanan obat dalam tubuh.
Farmakokinetik mengamati jenis-jenis proses seperti absorpsi, distribusi,
biotranspormasi (metabolisme), dan eksresi. Obat masuk ke dalam tubuh
melalui berbagai cara pemberian umumnya mengalami absorps,
distribusi,dan pengikatan untuk sampai di tempat kerja dan menimbulkan
efek. Kemudian dengan atau tanpa biotranformasi,obat di eksresi dari
dalam tumbuh (Gunawan, 2009).
a. Absorpsi
Absorpsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian
ke dalam darah. Bergantung pad acara pemberiannya melalui saluran
cerna, kulit, paru, otot, dll.
b. Distribusi
Selanjutnya obat akan didistribusi melalui sirkulasi darah.
Distribusi obat juga ditentukan oleh sifat fisikokimia dari obat.
c. Metabolisme atau Biotransformasi
Metabolisme atau biotransformasi adalah reaksi perubahan zat
kimia dalam jaringan biologis yang dikatalisis oleh enzim menjadi
metabolitnya. Tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat yang
nonpolar (larut lemak) menjadi polar (larut air) agar dapat diekskresi
melalui ginjal atau empedu. Dengan perubahan ini obat aktif umumya
diubah menjadi inaktif, tapi sebagian berubah menjadi lebih aktif (jika
asalnya prodrug), kurang aktif, atau menjadi toksik.
d. Ekskresi
Organ terpenting untuk ekskresi obat adalah ginjal (Setiawati dkk.,
2007). Tempat ekskresi obat lainnya adalah intestinal (melalui feses),
paru-paru, kulit, keringat, air liur, dan air susu (Batubara, 2008). Obat
dieksresi melalui ginjal dalam bentuk utuh maupun bentuk
metabolitnya. Ekskresi melalui ginjal melibatkan tiga proses, yaitu
filtrasi glomerulus, sekresi aktif di tubulus proksimal, dan reabsorpsi
pasif di sepanjang tubulus (Setiawati dkk., 2007).
2. Farmakodinamik
Farmakodinamik mempelajari mekanisme kerja obat dengan tujuan
meneliti efek utama obat, mengetahui interaksi obat dengan sel, dan
mengetahui urutan peristiwa serta spektrum efek dan respon yang terjadi.
Kebanyakan obat bekerja dengan berinteraksi dengan reseptor,
berinteraksi dengan enzim, ataupun dengan kerja non-spesifik. Protein
merupakan reseptor obat yang paling penting. Obat tidak menimbulkan
fungsi baru, tetapi hanya memodulasi fungsi yang sudah ada (Setiawati
dkk., 2007).
B. Farmakokinetik dan Farmakodinamik Obat Topikal
Obat topikal adalah obat yang mengandung dua komponen dasar
yaitu zat pembawa (vehikulum) dan zat aktif. Zat aktif merupakan komponen
bahan topikal yang memiliki efek terapeutik, sedangkan zat pembawa adalah
bagian inaktif dari sediaan topikal dapat berbentuk cair atau padat yang
membawa bahan aktif berkontak dengan kulit. Idealnya zat pembawa mudah
dioleskan, mudah dibersihkan, tidak mengiritasi serta menyenangkan secara
kosmetik. Selain itu, bahan aktif harus berada di dalam zat pembawa dan
kemudian mudah dilepaskan. Untuk mendapatkan sifat zat pembawa yang
demikian, maka ditambahkanlah bahan atau unsur senyawa tertentu yang
berperan dalam memaksimalkan fungsi dari zat pembawa. Obat topical terdiri
dari beberapa sediaan yaitu cairan, bedak, salep, krim, pasta, bedak kocok,
pasta pendingin, gel, jelly, lotion, foam aerosol, dan cat (Yanhendri, 2012)
1. Farmakokinetik obat topikal
Farmakokinetik sediaan topikal secara umum menggambarkan
perjalanan bahan aktif dalam konsentrasi tertentu yang diaplikasikan pada
kulit dan kemudian diserap ke lapisan kulit, selanjutnya didistribusikan
secara sistemik. Secara umum perjalanan sediaan topikal setelah
diaplikasikan melewati tiga kompartemen yaitu: permukaan kulit, stratum
korneum, dan jaringan sehat.
Unsur vehikulum sediaan topikal dapat mengalami evaporasi,
selanjutnya zat aktif berikatan pada lapisan yang dilewati seperti pada
epidermis, dermis. Pada kondisi tertentu sediaan obat dapat membawa
bahan aktif menembus hipodermis. Sementara itu, zat aktif pada sediaan
topikal akan diserap oleh vaskular kulit pada dermis dan hypodermis.
Saat sediaan topikal diaplikasikan pada kulit, terjadi 3 interaksi:
a. Solute vehicle interaction: interaksi bahan aktif terlarut dalam
vehikulum. Idealnya zat aktif terlarut dalam vehikulum tetap stabil
dan mudah dilepaskan. Interaksi ini telah ada dalam sediaan.
b. Vehicle skin interaction: merupakan interaksi vehikulum dengan
kulit. Saat awal aplikasi fungsi reservoir kulit terhadap vehikulum.
c. Solute Skin interaction: interaksi bahan aktif terlarut dengan kulit
(lag phase, rising phase, falling phase)
Saat suatu sediaan dioleskan ke kulit, absorpsinya akan melalui
beberapa fase:
a. Lag phase
Periode ini merupakan saat sediaan dioleskan dan belum melewati
stratum korneum, sehingga pada saat ini belum ditemukan bahan
aktif obat dalam pembuluh darah.
b. Rising phase
Fase ini dimulai saat sebagian sediaan menembus stratum korneum,
kemudian memasuki kapiler dermis, sehingga dapat ditemukan
dalam pembuluh darah.
c. Falling phase
Fase ini merupakan fase pelepasan bahan aktif obat dari permukaan
kulit dan dapat dibawa ke kapiler dermis.
Pada kulit utuh, cara utama penetrasi sediaan melalui lapisan
epidermis, lebih baik daripada melalui folikel rambut atau kelenjar
keringat, karena luas permukaan folikel dan kelenjar keringat lebih kecil
dibandingkan dengan daerah kulit yang tidak mengandung elemen anatomi
ini. Stratum korneum sebagai jaringan keratin akan berlaku sebagai
membran semi permeabel, dan molekul obat berpenetrasi dengan cara
difusi pasif (Yanhendri, 2012).
2. Farmakodinamik obat topical
Setelah obat beserta transporternya telah terdistribusi,
selanjutnya transporter akan melepaskan zat aktif obat yang dibawa.
Pelepasan zat aktif dipengaruhi oleh afinitas obat, kelarutan obat, dan pH
transporter. Setelah zat aktif dilepaskan, maka zat aktif tersebutakan
berikatan dengan reseptor yang berada di organ target dekat dengan tempat
dmana obat diaplikasikan secara topikal. Dengan bantuan efektor, zat aktif
dapat bereaksi dengan reseptor yang diikatnya (Yanhendri, 2012).
C. Farmakokinetik dan Farmakodinamik Obat Peroral
Pemberian obat melalui mulut memberi banyak keuntungan bagi
pasien; obat oral mudah diberikan dan dapat membatasi jumlah infeksi
sistemis yang dapat mempersulit tata laksana. Selain itu, toksisitas atau
overdoses karena pemberian oral dapat diatasi dengan pemberian antidot,
seperti arang aktif. Di pihak lain, jaras yang terlibat dalam absorpsi obat
adalah yang terumit, dan obat terpapar dengan kondisi pencernaan saluran
cerna yang kasar sehingga absorpsi terbatas.
1. Farmakokinetik obat peroral
Obat peroral diabsorpsi mulai dari lambung, namun duodenum
merupakan pintu masuk utama menuju sirkulasi sistemis karena
permukaan absorbsinya lebih besar. Sebagian besar obat yang diabsorbsi
dari saluran cerna masuk menuju sirkulasi portal dan hati sebelum
terdistribusi ke dalam sirkulasi umum. Obat-obat tersebut mengalami
metabolisme lintas-pertama (first-pass metabolism) di dalam hati, tempat
obat-obat tersebut mungkin dimetabolisme secara ketat sebelum memasuki
sirkulasi sistemis. Metabolisme lintas-pertama oleh usus atau hati
membatasi manfaat banyak obat yang diminum per oral. Obat-obatan yang
mengalami tingkat metabolisme lintas-pertama yang tinggi harus diberikan
dalam jumlah yang memadai untuk memastikan kecukupan zat aktif obat
mencapai organ target. Pemberian obat bersama makanan, atau
dikombinasi dengan obat-obatan lain, dapat memengaruhi absorpsi.
Keberadaan makanan dalam lambung memperlambat waktu pengosongan
lambung sehingga obat yang dihancurkan oleh asam, misalnya penicillin)
menjadi tidak dapat diabsorbsi.
Obat dapat terabsorbsi dari saluran cerna melalui difusi pasif atau
transpor aktif.
a. Difusi pasif
Tenaga penggerak absorbsi pasif suatu obat adalah
perbedaan konsentrasi antar membran pemisah dua kompartemen
tubuh, jadi obat tersebut bergerak dari satu bagian lain yang
berkonsentrasi tinggi menuju bagian berkonsentrasi rendah. Difusi
pasif tidak melibatkan suatu karier, tidak tersaturasi, dan kurang
menunjukkan spesifisitas struktur. Sebagian besar obat masuk ke
dalam tubuh melalui mekanisme ini. Obat-obat larut-lemak mudah
melintasi sebagian besar membran biologis karena kelarutannya di
dalam lapisan ganda membran (membrane bilayers). Obat-obatan
larut-air menembus membran sel melalui saluran atau pori-pori
berair. Obat-obat lain dapat masuk ke dalam sel melalui protein
karier transmembran yang khusus, yang memudahkan perlintasan
molekul besar. Protein karier ini mengalami perubahan struktur yang
menyebabkan obat atau molekul endogen memasuki bagian interior
berbagai sel, memindahkan obat atau molekul tersebut dari bagian
yang berkonsentasi tinggi menuju bagian yang berkonsentrasi
rendah. Proses ini dikenal sebagai difusi terfasilitasi. Tipe difusi ini
tidak memerlukan energi, dapat tersaturasi, dan mungkin dapat
dihambat.
b. Transpor aktif
Cara ini juga melibatkan protein-protein karier spesifik
yang terentang pada membran sel. Sejumlah kecil obat yang
memiliki struktur mirip metabolit-i-netabolit alamiah ditranspor
secara aktif melewati membran sel menggunakan protein-protein
karier khusus ini. Transpor aktif bergantung pada energi dan diatur
oleh hidrolisis adenosin trifosfat. Tranpor aktif mampu
memindahkan obat dengan melawan gradien konsentrasi yaitu dari
bagian berkonsentrasi rendah menuju bagian berkonsentrasi lebih
tinggi. Proses ini menunjukkan kinetik saturasi untuk karier tersebut,
seperti halnya reaksi katalisasi enzim yang menunjukkan kecepatan
maksimum pada kadar substrat yang tinggi ketika semua situs
aktifnya telah terisi substrat.
c. Endositosis dan eksositosis
Cara ini memindahkan obat-obat yang berukuran sangat
besar melintasi membrane sel. Endositosis merupakan pengambilan
molekul obat oleh membran dan transpor ke dalam sel dengan cara
mencengkeram vesikel yang terisi obat. Eksositosis adalah kebalikan
dari endositosis dan digunakan oleh sel untuk menyekresi berbagai
zat melalui proses pembentukan vesikel sejenis. Misalnya, vitamin B
12 ditranspor melintasi dinding usus secara endositosis.
Neurotransmiter tertentu, misalnya norepinefrin disimpan di dalam
vesikel terikat-membran pada ujung saraf dan dilepas secara
eksositosis.
Obat yang telah diserap usus ke dalam sirkulasi lalu
diangkut melalui sistem pembuluh porta (vena portae), yang
merupakan suplai darah utama dari daerah lambung usus ke hati.
Dalam hati, seluruh atau sebagian obat mengalami perubahan
kimiawi secara enzimatis dan hasil perubahannya (metabolit)
menjadi tidak atau kurang aktif, dimana proses ini disebut proses
diaktivasi atau bio-inaktivasi (pada obat dinamakan first pass effect).
Tapi adapula obat yang khasiat farmakologinya justru diperkuat (bio-
aktivasi), oleh karenanya reaksi-reaksi metabolisme dalam hati dan
beberapa organ lain lebih tepat disebut biotransformasi (Tjay dan
Rahardja, 2002).
Obat yang digunakan secara oral akan melalui lever
(hepar) sebelum masuk ke dalam darah menuju ke daerah lain dari
tubuh (misalnya otak, jantung, paru-paru dan jaringan lainnya). Di
dalam lever terdapat enzim khusus yaitu sitokrom P-450 yang akan
mengubah obat menjadi bentuk metabolitnya. Metabolit umumnya
menjadi lebih larut dalam air (polar) dan akan dengan cepat
diekskresi ke luar tubuh melalui urin, feses, keringat dan lain-lain.
Hal ini akan secara dramatik mempengaruhi kadar obat dalam
plasma dimana obat yang mengalami first pass metabolism akan
kurang bioavailabilitasnya sehingga efek yang di hasilkan juga
berkurang (Aiache, 1993).
2. Farmakodinamik obat peroral
Dalam farmakodinamik terdapat komponen utama yaitu efektor
dan reseptor. Efektor berfungs untuk menerjemahkan reaksi obat beserta
reseptornya menjadi aktivitas seluler, sedangkan reseptor merupakan unsur
yang berikatan dengan molekul zat aktif obat. Aktifitas seluler memicu
terjadinya reaksi kimia dan perubahan fungsiorgan. Obat tidak dapat
menciptakan suatu fungsi organ yang baru namun obat dapat
memengaruhi fungsi obat secara umum.
Setelah obat didistribusikan ke seluruhtubuh, zat aktif akan dibawa
menuju organ target oleh transporter. Selanjutnya zat aktif akan berikatan
dengan reseptor yang terdapat pada organ target. Setelah zat aktif
berikatan dengan reseptor, efektor akan diaktifkan sehingga obat bekerja
(Holford, 1998).
D. Farmakokinetik dan Farmakodinamik Obat Parenteral
Rute parenteral menghantarkan obat langsung melewati sawar
pertahanan tubuh menuju sirkulasi sistemis atau jaringan bervaskular.
Pemberian secara parenteral digunakan untuk obat yang terabsorbsi buruk
melalui saluran cerna, misalnya heparin dan obat yang tidak stabil dalam
saluran cerna, misalnya insulin. Pemberian parenteral juga digunakan untuk
pasien yang tidak sadar dan berada dalam keadaan yang memerlukan awitan
kerja obat yang cepat. Selain itu, rute ini memiliki bioavailabilitas yang
tertinggi dan tidak terpapar metabolisme lintas-pertama atau lingkungan
pencernaan yang kasar. Pemberian parenteral memberi kendali terbaik
terhadap dosis obat yang sesungguhnya dalam tubuh. Meskipun demikian,
rute ini bersifat ireversibel dan dapat menyebabkan nyeri, ketakutan, dan
infeksi. Tiga rute parenteral yang utama adalah intravaskular (intravena atau
intraarteri), intramuskular, dan subkutan. Masing-masing rute mempunyai
kelebihan dan kekurangan (Katzung, 2001).
1. Farmakokinetik obat parenteral
a. Intravena (IV)
Suntikan adalah rute pemberian parenteral tersering. Obat
yang tidak terabsorbsi per oral, seperti pelumpuh neuromuskular
atracurium, sering kali tidak ada pilihan lain. Dengan pemberian IV,
obat tidak melewati saluran cerna sehingga terhindar dari metabolisme
lintas-pertama oleh hati. Pemberian intravena menimbulkan suatu efek
yang cepat dan kendali maksimal atas kadar obat dalam sirkulasi.
Namun, berbeda dengan obat yang terdapat di dalam saluran cerna,
obat-obatan yang disuntikkan tidak dapat dikeluarkan kembali dengan
cara-cara seperti dimuntahkan atau diikat dengan arang aktif. Suntikan
intravena secara tidak sengaja dapat menyertakan bakteri melalui
kontaminasi pada lokasi suntikan. Suntikan intravena juga dapat
memicu hemolisis atau menyebabkan efek samping lainnya karma
distribusi obat yang berkonsentrasi tinggi ke dalam plasma dan
jaringan terlalu cepat. Oleh sebab itu, kecepatan masuk obat harus
dikendalikan secara hati-hati. Perhatian yang sama juga harus
diberikan untuk obat-obatan yang disuntikkan secara intra-arteri.
b. Intramuskular (IM)
Obat-obat yang diberikan secara intramuskular dapat
berbentuk larutan yang mengandung air atau preparat depo khusus
sering berupa suspensi obat dalam vehikulum non-berair, seperti
polietilen glikol. Absorbsi obat-obatan dalam larutan berair
berlangsung cepat, sedangkan absorbsi preparat-preparat depo
berlangsung lambat. Setelah vehikulum berdifusi keluar dari otot, zat
obat mengendap pada lokasi suntikan. Kemudian obat larut perlahan-
lahan sehingga dosis yang diberikan bertahan dalam waktu yang lebih
lama. Contohnya adalah obat suntik haloperidol decanoate lepas
lambat, berdifusi lambat dari otot dan menghasilkan suatu efek
neurolepsis yang lama.
c. Subkutan (SC)
Rute pemberian ini, seperti halnya suntikan intramuskular,
memerlukan absorbsi dan agak lebih lambat dibanding rute intravena.
Suntikan subkutan mengurangi risiko yang berhubungan dengan
suntikan intravaskular. Sejumlah kecil epinefrin kadang-kadang
dikombinasikan dengan suatu obat untuk membatasi area kerja obat
tersebut. Epinefrin bekerja sebagai suatu vasokonstriktor lokal dan
mengurangi pelepasan obat, seperti lidocaine, dari lokasi pemberian.
Contoh-contoh lain meliputi obat berbahan padat, seperti batang
tunggal yang mengandung kontrasepsi etonogestrel, yang diimplantasi
untuk aktivitas jangka panjang, dan juga pompa mekanis terprogram
yang dapat diimplantasi untuk melepas insulin pada penderita diabetes
mellitus (Aiache, 1993).
d. Farmakodinamik obat parenteral
Pada intravena obat langsung menuju organ sasaran serta
lebih kecil konsentrasi obat yang menu sirkulasi sistemik. Sehingga
waktu yang diperlukan untuk mencapai efikasi maksimal obat lebih
singkat dibandingkan dengan obat topical dan peroral. Pada intratekal
atau lumbal, obat langsung masuk ke CSF (cerebrospinal fluid).
Apabila konsentrasi banyak, maka zat aktif obat justru sulit menembus
sawar darah otak, sedangkan apabila obat diberikan secara sistemik zat
aktif justru tidak efektif.
Obat yang mungkin rusak dalam GI atau obat-obat dengan
organ sasaran perkusi rendah lebih baik diberikan secara parenteral
khususnya subkutan. Adanya enzim hyaluridunase pada kutan
memiliki fungsi memecah matriks penghubung dalam kutan sehingga
zat aktif obat mampu berpenetrasidengan cepat daripada diberikan
secara oral (Holford, 1998).
DAFTAR PUSTAKA

Aiache, J.M., 1993, Farmasetika 2-Biofarmasi Edisi Kedua, Penerbit Airlangga


University Press, Surabaya.

Gunawan, G.S., 2009, Farmakologi dan Terapi Edisi 5, Departemen Farmakologi


dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesi, Jakarta.

Holford, N.H., 1998, Farmakokinetik dan Farmakodinamik: Pemilihan Dosis yang


Rasional dan Waktu Kerja Obat. Dalam Farmakologi Dasar dan Klinik.
Edisi IV. Penerbit Salemba Medika, Jakarta.

Katzung, B., 2001, Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi Kedelapan, Bagian
Farmakologi FKUA, Jakarta.

Setiawati, A., et all, 2007, Farmakologi dan Terapi, Departemen Farmakologi dan
Terapeutik FKUI, Jakarta.

Tjay, T.H., Rahardja, K., 2002. Obat-obat Penting : Khasiat, Penggunaan, dan
Efek-Efek Sampingnya Edisi VI, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai