Anda di halaman 1dari 13

BLOK DENTAL PHARMACHY

SELF LEARNING REPORT


SMALL GROUP DISCUSSION 2
“Analgesik dan Antiinflamasi”

Dosen Pembimbing :

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
JURUSAN KEDOKTERAN GIGI
PURWOKERTO

2016
Analgesik dan AntiInflamasi

A. Analgesik
Obat analgesik adalah kelompok obat yang memiliki aktivitas menekan
atau mengurangi rasa nyeri. Efek ini dapat dicapai dengan berbagai macam
cara, seperti menekan kepekaan reseptor rasa nyeri terhadap rangsang nyeri di
pusat atau perifer, atau dengan cara menghambat pembentukan prostaglandin
sebagai mediator sensasi nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. (Tjay, 2007).
Nyeri merupakan pengalaman sensori dan emosional yang tidak
menyenangkan yang diakibatkan oleh adanya kerusakan jaringan. Berdasarkan
asalnya nyeri dibagi menjadi 2, yaitu
1. Nyeri Somatik
Nyeri somatik bias berasal dari kulit atau dari otot rangka, tulang,
sendi, serta jaringan ikat. Apabila nyeri berasal dari kulit disebut nyeri
superfisial, dengan rasa nyeri yang tajam, lokasinya jelas, dan cepat
hilang bila stimulasi dihilangkan. Sedangkan nyeri yang berasal dari otot
rangka, tulang, sendi, serta jaringan ikatdisebut dengan nyeri dalam.
Nyeri dalam memiliki ciri rasa sakit yang tumpul, lokasinya tidak jelas,
dan menyebar ke sekitarnya.
2. Nyeri Viseral
Nyeri visera bisa juga disebabkan oleh penarikan yang kuat dari
organ-organ dalam abdomen, demikian juga karena penyempitan atau
kontraksi yang kuat dari organ visera yang menimbulkan nyeri terutama
bila disertai dengan aliran darah yang tidak baik (Gunawan, 2007).
Berdasarkan lamanya, nyeri dibedakan menjadi nyeri akut dan nyeri
kronik.
1. Nyeri Kronik
Nyeri kronik adalah nyeri yang menetap dialami lebih 3 bulan atau
6 bulan dari sejak mulai dirasakan nyeri. Yang termasuk nyeri kronik
adalah nyeri persisten yaitu nyeri yang menetap untuk waktu yang lama
atau nyeri rekuren yaitu nyeri yang kambuh dengan interval tertentu
2. Nyeri Akut
Nyeri akut adalah nyeri yang disebabkan oleh stimulus nosiseptif
atau reseptor nyeri dan koneksi sentral yang terlibat serta sistem saraf
autonomik berdasarkan regionya karena perlakuan atau proses penyakit
atau fungsi abnormal dari otot atau visera. Biasanya nyeri ini mudah
dideteksi, lokasinya jelas, dan sebatas kerusakan jaringan (Suyatna,
1995).
Berdasarkan dasar kerja farmakologisnya, obat analgesik dibagi menjadi 2
golongan utama, yaitu golongan obat opioid yang bekerja di sistem saraf pusat
dan golongan obat NSAID (Non Steroidal Anti-Inflammatory Drugs) yang
bekerja sistem saraf tepi.
1. Mekanisme Kerja Obat Analgesik
Mekanisme kerja obat analgesik dibagi berdasarkan 2 golongan
utamanya.
a. Obat analgesik opioid
Pada golongan analgetik opioid bekerja di sentral dengan cara
menempati reseptor di kornu dorsalis medula spinalis sehingga
terjadi penghambatan pelepasan transmiter dan perangsangan ke
saraf spinal tidak terjadi. Dari beberapa mekanisme kerja opioid
maka dapat diketahui bahwa opioid bekerja dengan mengaktifkan
reseptor opioid di midbrain dan mengaktifkan sistem descending,
bekerja pada reseptor opioid di transmisi second-order untuk
menghambat sinyal nyeri dari sistem ascending, mengaktifkan
reseptor opioid terminal sentral serat C di medulla spinalis untuk
menghambat keluarnya neurotransmiter nyeri, mengaktifkan
reseptor nyeri di perifer untuk menginhibisi aktivasi dari nosiseptor
yang juga menghambat sel yang menghasilkan efek inflamasi.
b. Obat analgesik NSAID
Obat analgesik NSAID bekerja di perifer dengan cara menghambat
pelepasan mediator sehingga aktifitas enzim siklooksigenase
terhambat dan sintesa prostaglandin tidak terjadi (Katzung, 2002).
2. Penggolongan Obat
a. Obat analgesik opioid
1) Fentanyl
a) Mekanisme kerja obat : bekerja mengikat reseptor opioid di
sistem saraf pusat yang akan menurunkan kemampuan pasien
untuk merasakan sakit.
b) Dosis : 50-100 mcg intramuskular, dapat diulang 1-2 jam bila
perlu.
c) Waktu pemberian : maksimal 4 kali sehari
d) Indikasi : suplemen analgesik pada anestesi regional atau
general.
e) Kontra indikasi : depresi pernafasan, cidera kepala, ibu hamil,
ibu menyusui,
2) Morfin
a) Mekanisme kerja obat : dapat mengubah reaksi yang timbul
dikorteks serebri pada waktu persepsi nyeri diterima oleh
korteks serebri dari thalamus.
b) Dosis : nyeri sedang 0,1-0,2 mg/ kg BB. Nyeri hebat pada
dewasa 1-2 mg intravena
c) Waktu pemberian : 4 jam (peroral), bila diperlukan (intravena)
d) Indikasi : nyeri sedang hingga hebat yang tidak dapat diatasi
dengan analgesik non opioid atau opioid lemah.
e) Kontra indikasi : orang lanjut usia, dan penderita penyakit
jantung dan obesitas yang ekstrim.
3) Codein
a) Mekanisme kerja obat :  menstimulasi reseptor sistem
penghambat nyeri endogen.
b) Dosis : dewasa 30-60 mg, maksimal 240mg/hari. Anak 1-12
tahun, 0.5-1 mg/kg; maksimal 240 mg sehari
c) Waktu pemberian : dewasa tiap 4 jam, anak-anak tiap 4-6 jam.
d) Indikasi : Nyeri ringan sampai sedang, batuk, diare,
dan irritable bowel syndrome.
e) Kontra indikasi : Depresi napas, penyakit paru obstruktif,
serangan asma akut (Ikatan Apoteker Indonesia, 2015).
b. Obat analgesik NSAID
1) Parasetamol
a) Mekanisme kerja obat : menghambat siklooksigenase (COX)
dan selektif terhadap COX-2.
b) Dosis : 500-1000 mg
c) Waktu pemberian : 4 – 6 jam
d) Indikasi : sakit kepala, demam, sakit gigi, dismenore
e) Kontra indikasi : gangguan fungsi hati
2) Ibuprofen
a) Mekanisme kerja obat : menghambat sintesa prostaglandin dan
menghambat siklooksigenase-I (COX I) dan siklooksigenase-
II (COX II).
b) Dosis : 200-400 mg
c) Waktu pemberian : 8-16 jam
d) Indikasi : nyeri ringan hingga sedang, nyeri karena inflamasi
e) Kontra indikasi : ibu hamil dan menyusui, hipersensitif
ibuprofen.
3) Aspirin
a) Mekanisme kerja obat : menghambat aktivitas kedua jenis
siklooksigenase (COX-1 dan COX-2) untuk mengurangi
pembentukan prekursor prostaglandin dan tromboksan dari
asam arakidonat.
b) Dosis : dewasa 325 – 650mg, anak 15-20mg/kgBB dengan
dosis total tidak melebihi 3,6gr/hr.
c) Waktu pemberian : dewasa tiap 3-4 jam, anak-anak tiap 4-6
jam.
d) Indikasi : untuk mengobati nyeri yang tidak spesifik misalnya
sakit kepala,nyeri sendi, nyeri haid, neuralgia dan mialgia.
e) Kontra indikasi : alergi aspirin, asma, maag, gangguan fungsi
hati, gangguan fungsi ginjal, ibu hamil dan menyusui, gagal
jantung (Ikatan Apoteker Indonesia, 2015).
B. Antiinflamasi
Antiinflamasi adalah obat yang menghilangkan atau meringankan radang
yang disebabkan oleh bukan mikroorganisme (non-infeksi) dengan menekan
aktivitas peradangan. Gejala inflamasi dapat disertai dengan gejala panas,
kemerahan, bengkak, nyeri atau sakit, serta gangguan fungsi.
Inflamasi merupakan proses yang vital untuk semua organisme dan berperan
baik dalam mempertahankan kesehatan maupun dalam terjadinya berbagai
penyakit yang dicetuskan oleh pelepasan mediator kimiawi dari jaringan yang
rusak dan migrasi sel. Inflamasi ditandai dengan adanya beberapa gejala,
yaitu:
1. Rubor atau Kemerahan
Kemerahan atau rubor biasanya merupakan hal pertama yang
terlihat di daerah yang mengalami peradangan. Waktu reaksi peradangan
mulai timbul maka arteri yang mensuplai darah ke daerah tersebut
mengalami vasodilatasi. Keadaan ini dinamakan hiperemia atau kongesti
menyebabkan warna merah lokal karena peradangan akut. Timbulnya
hiperemia pada permulaan reaksi peradangan diatur oleh tubuh melalui
pengeluaran zat mediator seperti histamin.
2. Kalor atau Panas
Panas atau kalor terjadi bersamaan dengan kemerahan dari reaksi
peradangan. Panas merupakan sifat reaksi peradangan yang hanya terjadi
pada permukaan tubuh yakni kulit. Daerah peradangan pada kulit menjadi
lebih panas dari sekelilingnya, sebab darah dengan suhu 370C yang
disalurkan tubuh ke permukaan daerah yang terkena radang lebih banyak
disalurkan daripada ke daerah normal.
3. Dolor atau Rasa Sakit
Rasa sakit atau dolor dari reaksi peradangan dapat dihasilkan
dengan berbagai cara. Perubahan pH lokal atau konsentrasi ion-ion
tertentu dapat merangsang ujung-ujung saraf, pengeluaran zat kimia
tertentu misalnya mediator histamin atau pembengkakan jaringan yang
meradang mengakibatkan peningkatan tekanan lokal dapat menimbulkan
rasa sakit.
4. Tumor atau Pembengkakan
Hal ini terjadi akibat adanya peningkatan permeabilitas dinding
kapiler serta pengiriman cairan dan sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringan
yang cedera. Pada peradangan, dinding kapiler tersebut menjadi lebih
permeabel dan lebih mudah dilalui oleh leukosit dan protein terutama
albumin yang diikuti oleh molekul yang lebih besar sehingga plasma
jaringan mengandung lebih banyak protein daripada biasanya yang
kemudian meninggalkan kapiler dan masuk ke dalam jaringan sehingga
menyebabkan jaringan menjadi bengkak.
5. Fungsio Laesa atau Perubahan Fungsi
Gangguan fungsi yang diketahui merupakan konsekuensi dari suatu
proses radang. Gerakan yang terjadi pada daerah radang, baik yang
dilakukan secara sadar ataupun secara reflek akan mengalami hambatan
oleh rasa sakit, pembengkakan yang hebat secara fisik mengakibatkan
berkurangnya gerak jaringan (Lumbanraja, 2009).
Obat-obat anti inflamasi adalah golongan obat yang memiliki aktivitas
menekan atau mengurangi peradangan. Obat ini terbagi atas-dua golongan,
yaitu golongan anti inflamasi non steroid (AINS) dan anti inflamasi steroid
(AIS). Kedua golongan obat ini selain berguna untuk mengobati juga memiliki
efek samping yang dapat menimbulkan reaksi toksisitas kronis bagi tubuh
(Katzung, 1992).
1. Mekanisme Kerja Obat Antiinflamasi
Mekanisme kerja dari obat antiinflamasi dibedakan berdasarkan
golongannya, yaitu :
a. Obat antiinflamasi non-steroid atau NSAID
Salisilat yang ada dalam obat memecah mata rantai di antara proses
dimana enersi dihasilkan melalui oksidasi dan membentuk coupling
dengan fosfat. Asam salisilat dapat penetrasi ke dalam membran sel
yang membuat intrasel menjadi asidosis. merusak sistim enzim dan
menimbulkan kerusakan pada protein sitoplasma. Melalui
penggabungan dengan lisil, amin, tiol dan beberapa grup lain,
konsentrasi salisilat yang tinggi berinterferensi dengan reaksi
enzimatik yang esensial pada perkembangan proses radang. Salisilat
juga dapat menghambat nonspesifik pembebasan mediator kimia yang
memberi efek perifer pada reaksi radang. Pembebasan kinin dihambat
melalui aktivasi kalikrein oleh salisilat (Melmon dan Morreli, 1978).
Pembebasan bahan-bahan lisosomal yang memberi kontribusi pada
peradangan dapat dicegah oleh salisilat dengan menstabilkan
membran lisosomal. Salisilat juga mempengaruhi metabolisme
jaringan ikat, efek ini mungkin termasuk salah satu dari aksi
antiradang. Salisilat memberi efek terhadap komposisi, biosintesis
atau metabolisme mukopolisakarida jaringan ikat.
b. Obat antiinflamasi steroid
Obat antiinflamasi steroid merupakan obat antiinflamasi yang
sangat kuat karena obat tersebut menghambat enzim fosfolipase A2
sehigga asam akhidonat tidak terbentuk. Hal tersebut menyebabkan
produksi prostaglandin serta leukotriene terhambat (Katzung, 2002).
2. Penggolongan obat
a. Obat antiinflamasi steroid
1) Deksametason
a) Mekanisme kerja obat : menembus membran sel sehingga
akan terbentuk suatu kompleks steroid-protein reseptor. Di
dalam inti sel, kompleks steroid-protein reseptor ini akan
berikatan dengan kromatin DNA dan menstimulasi transkripsi
mRNA yang merupakan bagian dari proses sintesa protein.
Sebagai anti inflamasi, obat ini menekan migrasi neutrofil,
mengurangi produksi prostaglandin (senyawa yang berfungsi
sebagai mediator inflamasi), dan menyebabkan dilatasi
kapiler. Hal ini akan mengurangi repon tubuh terhadap kondisi
peradangan (inflamasi).
b) Dosis : dewasa 0,75-9 mg/hari, anak-anak 0,08-0,3
mg/kg/hari.
c) Waktu pemberian : dewasa 6-12 jam, anak-anak 6-12 jam.
d) Indikasi : rheumatoid arthritis, radang usus, radang ginjal,
radang mata, radang karena asma.
e) Kontra indikasi : hipersensitivitas obat kortikosteroid,
osteoporosis, tukak lambung, infeksi jamur sistemik,
glaucoma, TBC aktif.
2) Triamsinolon
a) Mekanisme kerja obat: Triamcinolone bekerja terutama
sebagai glukokortikoid dan mempunyai daya antiinflamasi
yang kuat, mempunyai efek hormonal dan metabolik seperti
kortison. Aktivitas glukokortikoid menyebabkan peningkatan
glukoneogenesis dan penurunan penggunaan glukosa secara
efektif di dalam jaringan.
b) Dosis : 4-48 mg/hari tergantung dari penyakit spesifik tertentu
yang sedang diobati.
c) Waktu pemberian : bersama dengan makan
d) Indikasi : gangguan endokrin, penyakit mata, berbagai jenis
inflamasi, rhinitis karena alergi.
e) Kontra indikasi : wanita hamil dan menyusui, tuberkolusis,
infeksi jamur, epilepsy, osteoporosis.
3) Betametason
a) Mekanisme kerja obat: mencegah oelepasan zat-zat di dalam
tubuh yang menyebabkan peradangan.
b) Dosis : 1,5-5 mg/hari selama 1-3 minggu
c) Waktu pemberian : bersama dengan makan
d) Indikasi : lupus, artritis, asma, kelainan kelenjar adrenal dan
tidak mecukupi jumlah kortikosteroid.
e) Kontra indikasi : infeksi virus, penyakit mata, gangguan
jantung (Ikatan Apoteker Indonesia, 2015).
b. Obat anti inflamasi non-steroid atai NSAID
1) Indometasin
a) Mekanisme kerja obat : menghambat prostaglandin dengan
cara membentuk ikatan dengan enzim siklooksigenase
sehingga asam arakhidonat tidak dapat berikatan dengan
enzim dan prostaglandin.
b) Dosis : 50 – 200 mg per hari
c) Waktu pemberian :6-8 jam
d) Indikasi : meredakan rasa sakit dan inflamasi.
e) Kontra indikasi : wanita hamil dan menyusui, penderita tukak
lambung, gangguan hati, inflamsi usus, penyakit jantung,
gangguan penggumpalan darah.
2) Asam mefenamat
a) Mekanisme kerja obat : menghambat sintesa Prostaglandin
dengan menghambat kerja enzim cyclooxygenase (COX-1 &
COX-2). Efek anti inflamasi dihasilkan dari kerja
menghambat biosintesis dari mukopolisakarida.
b) Dosis : 500 mg untuk dosis awal dan dilanjutkan 250 mg
c) Waktu pemberian : tiap 6 jam
d) Indikasi : nyeri akut dan kronik, ringan sampai sedang
sehubungan dengan sakit kepala, sakit gigi, dismenore primer,
termasuk nyeri karena trauma, nyeri sendi, nyeri otot, nyeri
sehabis operasi, dan nyeri pada persalinan.
e) Kontra indikasi : penderita tukak lambung, radang usus,
gangguan ginjal, asma, hipersensitifitas asam mefenamat.
3) Piroksikam
a) Mekanisme kerja obat : Menghambat sintesa prostaglandin
dengan cara menghambat kerja enzym cyclooxygenase
(COX), COX-1 & COX-2 pada jalur arachidonat
b) Dosis :
c) Waktu pemberian :
d) Indikasi : rheumatoid arthritis, gout arthritis (asam urat), nyeri
pasca operasi, osteoarthritis.
e) Kontra indikasi : hipersensitifitas piroksikam, gangguan
ginjal, asma, polip hidung, urtikaria (Ikatan Apoteker
Indonesia, 2015).
DAFTAR PUSTAKA

Gunawan, G.S., 2007, Farmakologi dan Terapi Edisi 5, Departemen Farmakologi


dan Terapeutik FKUI, Jakarta.

Ikatan Apoteker Indonesia, 2015, ISO: Informasi Spesialite Obat Indonesia, PT.
ISFI, Jakarta.

Katzung, B.G., 2002, Farmakologi Dasar dan Klinik, Penerbit Salemba Medika,
Jakarta.

Lumbanraja, L.B., 2009, Skrining Fitokima dan Uji Efek Antiinflamasi Ekstrak
Etanol Daun Tempuyung (Sonchus arvensis L.) terhadap Radang
pada Tikus, Skripsi, Fakultas Farmasi, Universitas Sumatera Utara,
Medan.

Suyatna, F.D., Tony, H., 1995, Farmakologi dan Terapi, Penerbit Bagian
Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Tjay, T.H., Rahardja, K., 2007, Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan, dan
Efek-Efek Sampingnya, PT Elex Media Komputindo. Jakarta.
1. Nyeri
Defenisi nyeri menurut International Association for the Study of Pain
(IASP) sebagai pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan
yang diakibatkan oleh adanya kerusakan jaringan yang jelas, cenderung rusak,
atau sesuatu yang tergambarkan seperti yang dialami. Defenisi di atas
menjelaskan adanya hubungan pengaruh obyektif (aspek fisiologi dari nyeri) dan
subyektif (aspek komponen emosi dan kejiwaan). Pengaruh subyektif erat
kaitannya dengan pendidikan, budaya, makna situasi dan aktifitas kognitif,
sehingga nyeri merupakan hasil belajar serta pengalaman sejak dimulainya
kehidupan. Individualisme rasa nyeri ini sulit dinilai secara obyektif, walaupun
dokter telah melakukan observasi atau menggunakan alat monitor. Baku emas
untuk mengetahui seseorang berada dalam kondisi nyeri ataupun tidak adalah
dengan menanyakannya langsung

2. Mekanisme antiinflamasi &analgesic yg non steroid dan non narkotik


Obat antiinflamasi non-steroid atau NSAID bekerja untuk menghambat enzim
siklooksigenase yang menyebabkan penghabatan sintesis senyawa endoperoksida
siklik prostaglandin P2 dan prostaglandin H2. Kedua senyawa ini merupakan
prazat semua senyawa prostaglandin, dengan demikian sintesis prostaglandin
akan terhenti. Asam asetilsalisilat (salisilat) tidak menghambat metabolisme asam
arakidonat melalui alur lipoksigenase. Penghambatan enzim siklooksigenase
kemungkinan akan menambah pembentukan leukotrien pada alur lipoksigenase.
Kemungkinan ini dapat terjadi disebabkan bertambahnya sejumlah asam
arakidonat dari yang seharusnya dibutuhkan enzim lipoksigenase. Selain sebagai
penghambat sintesis prostaglandin dari berbagai model eksperimen yang telah
dicoba kepada manusia untuk tujuan terapeutik, NSAID ternyata menunjukkan
berbagai kerja lain sebagai antiradang (Melmon dan Morreli, 1978).

Anda mungkin juga menyukai