Anda di halaman 1dari 9

Omnibus Law, Undang-Undang Cipta Kerja Dan Dampaknya Bagi Perekonomian

Indonesia

Di tengah pandemi Covid-19, Indonesia mengalami krisis dan bahkan lebih


parah dari krisis finansial yang terjadi pada tahun 2008-2009. Amerika Serikat
sendiri yang dianggap sebagai negara super power juga mengalami krisis pada
kuartal II 2020. Konsumsi rumah tangga di Amerika Serikat menurun drastis hingga
25% dan tingkat pertumbuhan ekonominya mencapai minus 32,9%. Negara-negara
industri besar yang lain, seperti Jerman, yang ditandai dengan tingkat pertumbuhan
ekonominya anjlok mencapai minus 10,1%. Akan tetapi, Imperialisme yang dipimpin
oleh Amerika serikat, tidak akan hancur dengan sendirinya, dia tidak akan menggali
kubur dengan tangannya sendiri, meskipun membutuhkan fase pemulihan yang lebih
panjang. Perang agresi dan intervensi adalah cara untuk pulih dari krisis ini dan juga
untuk memperkuat dominasi mereka ke negara-negara diseluruh dunia,
memperlancar laju ekspor kapital dalam bentuk investasi langsung ataupun utang,
serta menguasai dan mengeruk sumber daya alam atau bahkan memeras keringat klas
buruh, kaum tani, dan seluruh rakyat tertindas di Dunia sehingga mendapatkan
superprofit yang lebih tinggi.
Indonesia merupakan salah satu negara yang menjadi tujuan Imperialis
Amerika Serikat. Indonesia melalui sistem pemerintahan yang dieterapkan
menjalankan dikte kebijakan Neoliberal yang mendukung Imperialisme Amerika
Serikat bahkan Indonesia bersedia mengatur ulang semua regulasi (deregulasi) yang
akan mempercepat laju ekspor kapital Imperialis dalam bentuk investasi langsung
maupun utang. Dengan kata lain, Indonesia menanggung beban krisis Imperialis,
sehingga krisis kronis yang terjadi di Indonesia semakin parah dan semakin menyiksa
rakyatnya. Indonesia sendiri mengalami tingkat pertumbuhan ekonomi mencapai
minus 5,32% pada kuartal II dan dapat diprediksi bahwa Indonesia masih akan
mengalami tingkat pertumbuhan ekonomi yang minus pada kuartal III 2020
dikarenakan kontraksinya hanya mencapai 0,6% sampai 1,7%. Celakanya
pertumbuhan ekonomi tersebut hanya bertumpu pada investasi dan hutang yang
dibebankan diatas pundak penderitaan rakyat.
Di masa pandemi Covuid-19 ini, 30 juta pedagang kecil terpaksa tutup,rakyat
menjadi semakin sulit menafkahi dirinya dan keluarganya, banyak pekerja yang
kehilangan pekerjaannya, bahkan pekerja harian semakin kehilangan hak-Nya untuk
bertahan hidup. Meskipun begitu, tidak banyak yang bisa dilakukan pemerintah
selain menambah beban utang baru hingga mencapai 600 Triliun, memperbesar
investasi asing dan penambahan penderitaan melalui pemberlakuan Omnibus Law
Cipta Kerja yang jelas-jelas akan menjadi hambatan baru yang harus dihadapi rakyat
Indonesia.
Di tengah krisis tersebut, pemerintah malah mempercepat pengesahan
undang-undang cipta kerja Omnibus Law yang terdiri atas berbagai klaster, yaitu
klaster perizinan usaha, ketenagakerjaan, hingga klaster pengadaan lahan. Omnibus
Law sendiri disebut sebagai undang-undang sapu jagat karena mencakup banyak
peraturan dan meringkas segala peraturan yang sudah ada sebelumnya. Undang-
undang cipta kerja Omnibus Law di Indonesia sendiri dianggap sebagai suatu bentuk
deregulasi, karena merupakan salah satu dari kebijakan Neoliberal yang bertujuan
untuk mempermudah penanaman modal asing di Indonesia dalam bentuk investasi
dan hutang. Dengan demikian, di tengah krisis ekonomi yang semakin parah ini
pemerintah secara langsung menyeret rakyat menikmati beban krisis kronis semakin
dalam dan semakin parah lagi. Meskipun banyak mendapatkan kontra dari berbagai
pihak sejak diusulkan pertama kali oleh presiden Jokowi sebagai bagian dari RUU
prioritas tahun 2020, namun RUU Omnibus Law cipta kerja tetap disahkan oleh DPR
menjadi Undang-Undang (UU) pada rapat paripurna yang diselenggarakan hari senin
tanggal 5 oktober 2020.
Pemerintah Indonesia berniat untuk menjadikan Indonesia sebagai 5 (lima)
besar kekuatan ekonomi dunia pada tahun 2045. Pemerintah berdalih bahwa untuk
mewujudkan rencana tersebut diperlukan peningkatan gelombang investasi. Namun
peningkatan gelombang investasi tersebut sulit diwujudkan karena kenyataan di
lapangan yang masih terjadi tumpang-tindih dan ketidak harmonisan antar undang-
undang sektoral menjadi hambatan utama untuk menciptakan iklim investasi yang
ramah bagi para investor. Atas dasar tersebut maka pemerintah dirasa perlu
melakukan deregulasi dan deregulasi tersebut diwujudkan lewat pengesahan undang-
undang cipta kerja Omnibus Law yang dianggap akan menciptakan iklim investasi
yang lebih ramah terutama terhadap investasi asing melalui langkah penyederhanaan
perizinan, kemudahan persyaratan, serta proses yang dipercepat bagi pelaku bisnis di
Indonesia dan kemudian akan mewujudkan tujuan Indonesia yaitu sebagai 5 (lima)
besar kekuatan ekonomi dunia pada tahun 2045.
Pertanyaannya adalah apakah investasi asing akan mampu mewujudkan
tujuan Indonesia sebagai 5 (lima) besar kekuatan ekonomi dunia pada tahun 2045
dan kemudian membawa kemajuan bagi rakyat Indonesia ? Jawabannya adalah tidak
sama sekali. Investasi asing langsung (Free Direct Investment/FDI) tidak memiliki
tujuan untuk membangun industri nasional Indonesia atau memajukan tenaga
produktif rakyat Indonesia melainkan memiliki tujuan pokok eksploitatif. Berharap
bahwa industri nasional akan dibangun dengan adanya investai asing tanpa
berlandaskan land-refom sejati adalah ilusi. Investasi asing langsung merupakan cara
imperialis agar terhindar dari ancaman kapitalisme dan kehancuran tenaga produktif,
selain agar tetap menjaga nilai saham dan surat utang (bond) milik perusahaan besar
asing agar tidak merosot jatuh. Selanjutnya, investasi asing tak lebih dari perampasan
super profit secara berkelanjutan, eksploitator pencipta ketimpangan dunia yang
sejati (uneven development).
Undang-undang cipta kerja Omnibus Law yang disahkan pada senin 20
oktober 2020 adalah bentuk pelimpahan beban krisis yang tengah dialami oleh
negara-negara Imperialis. Dampak konkrit dari Omnibus Law yaitu akan
menciptakan krisis kronis di Indonesia dan memperparah jurang kemerosotan
penghidupan rakyat Indonesia. Melalui undang-undang Omnibus Law, akan semakin
melestarikan karakter negara Indonesia yang tidak mempunyai kedaulatan untuk
menentukan nasibnya sendiri karena secara tidak langsung menjadikan undang-
undang cipta kerja sebagai persembahan untuk memperlancar dan memudahkan
invasi asing di Indonesia. Tujuan utama undang-undang cipta kerja Omnibus Law
adalah menyejahterakan kaum pemodal asing, pengusaha komprador, dan tuan tanah
besar di dalam negeri dengan membuka ruang eksploitasi besar-besaran atas tenaga
kerja dan kekayaan sumber daya alam Indonesia. Maka jelas, undang- undang cipta
kerja Omnibus Law diciptakan sebagai persembahan untuk kaum borjuis dan sebagai
sumber penyakit baru untuk kaum tani, klas buruh, pekerja harian, dan rakyat miskin
kota.
Undang-undang cipta kerja Omnibus Law adalah skema yang akan
memperburuk perkenomian Indonesia karena adanya penghisapan dan penindasan
bagi kaum buruh dan pekerja. Pada hakikatnya, undang-undang cipta kerja Omnibus
Law adalah skema perampasan upah yang lebih parah daripada undang-undang
ketenagakerjaan serta PP No. 78 Tahun 2015 tentang pengupahan (atau biasa disebut
PP 78). Jika keberadaan buruh outsourcing dan kontrak dilegitimasi oleh adanya UU
Ketenagakerjaan, maka fleksibilitas upah dan penetapan upah yang hanya
berdasarkan tingkat pertumbuhan ekonomi serta inflasi dilegitimasi oleh PP 78.
Dalam Omnibus Law UU Cipta Kerja, kedua skema tersebut dilanggengkan dan
bahkan disistematisasikan, sehingga pasar tenaga kerja menjadi lebih fleksibel lagi.
Diantara ketentuan-ketentuan pelanggengan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Pertama ketentuan mengenai Upah Minimum yang sebelumnya setiap
Bupati/Walikota mempunyai wewenang untuk menentukannya, seperti yang
diatur dalam pasal 89 UU Ketenagakerjaan. Maka dalam UU Cipta Kerja pasal
88C ayat (1) dan (2), Upah Minimum dapat ditetapkan oleh Gubernur dengan
syarat-syarat tertentu. Kurang lebihnya, syarat-syarat tersebut sama persis dengan
apa yang disebutkan dalam PP 78, yaitu kondisi ekonomi yang mencakup tingkat
pertumbuhan ekonomi dan inflasi, serta ketenagakerjaan. Selain itu, Omnibus Law
UU Cipta Kerja juga mengatur Upah per satuan waktu dan hasil yang disebutkan
dalam pasal 92. Dalam pasal tersebut, klas pemodal diberi kebebasan untuk
menentukan unit keluaran yang ditugaskan kepada buruh sebagai dasar
penghitungan upah. Itu berarti, bukan klas buruhlah yang menentukan skala upah
berdasarkan hasil produksi mereka, melainkan klas pemodal yang akhirnya
mematahkan perekonomian.
2. Kedua, Mengenai pesangon bagi buruh yang di-PHK, diatur dalam pasal 156
UU Cipta Kerja, dimana pesangon hanya meliputi cuti tahunan yang belum
gugur, biaya/ongkos pulang buruh ke keluarganya, dan hal-hal lain yang
diatur dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dengan maksimal penerimaan
sebesar 25 kali upah pokok per bulan. Sedangkan dalam UU
Ketenagakerjaan, selain yang telah disebutkan diatas, uang penggantian hak
juga meliputi penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan
ditetapkan 15% dari pesangon bagi yang memenuhi syarat. Dalam UU
Ketenagakerjaan juga disebutkan bahwa maksimal pesangon sebesar 32 kali
upah pokok per bulan, sehingga dapat disimpulkan bahwa nominal pesangon
di UU Cipta Kerja menurun. Sebanyak 6 dari 25 kali upah yang dibayarkan
menjadi pesangon berasal dari Jaminan Kehilangan Pekerjaan dalam naungan
BPJS Ketenagakerjaan. Sehingga dapat disimpulkan pula bahwa klas buruh
yang membayar iuran BPJS Ketenagakerjaan sendirilah yang membayar
pesangon mereka, bukan murni dari pengusaha atau anggaran negara.
3. Ketiga, mengenai cuti biologis bagi kaum perempuan seperti cuti haid (yang
diatur sebelumnya dalam pasal 81 UU Ketenagakerjaan), cuti hamil-
melahirkan (yang diatur sebelumnya dalam pasal 82 UU Ketenagakerjaan),
serta cuti menyusui (yang diatur sebelumnya dalam pasal 83 UU
Ketenagakerjaan) ditiadakan dalam UU Cipta Kerja. Selain itu, dalam pasal
80 UU Ketenagakerjaan diatur soal kesempatan untuk melakukan ibadah
yang secukupnya bagi klas buruh. Tetapi dalam UU Cipta Kerja, hal tersebut
tidak diatur sama sekali. Selain itu, cuti keagamaan juga ditiadakan dalam UU
Cipta Kerja. Sedangkan untuk cuti tahunan diatur dalam pasal 79 UU Cipta
Kerja.
4. Keempat mengenai outsourcing, UU Cipta Kerja pasal 89 menghapus pasal 65
dan mengubah pasal 66 UU Ketenagakerjaan. Ketentuan perubahan tersebut akan
berdampak semakin merajalelanya buruh outsourcing karena tidak ada lagi
pembatasan jenis pekerjaan outsourcing. Sedangkan ketentuan mengenai PKWT
(Perjanjain Kerja Waktu Tertentu) dan PKWTT (Perjanjain Kerja Waktu Tidak
Tertentu) telah diatur dalam pasal 59 UU Ketenagakerjaan dengan maksimal 2
tahun dan lalu bisa diperpanjang hingga 1 tahun, namun dalam UU Cipta Kerja
pasal 89 tidak mengatur batas maksimal waktu perjanjian kerja sementara dan
jangka waktu perpanjangan maksimum, sehingga membuka kesempatan status
buruh kontrak jadi tidak terbatas dan meneyebabkan mudahnya terjadi PHK.
5. Kelima, mengenai jam kerja, UU Ketenagakerjaan mengatur bahwa waktu
lembur maksimal 3 jam per hari dan 14 jam per minggu, namun dalam UU
Cipta Kerja pasal 89 menjadi 4 jam per hari dan 18 jam per minggu; sehingga
waktu kerja buruh semakin panjang.
6. Keenam adalah mengenai PHK sendiri juga diatur dalam pasal 151 UU
Ketenagakerjaan, dimana dalam aturan tersebut ketentuannya sangat banyak,
sedangkan dalam UU Cipta Kerja pasal 153 dan pasal 154A menghilangkan
ketentuan-ketentuan tersebut, sehingga pengusaha bisa seenaknya melakukan
PHK sepihak kepada klas buruh.
Contoh-contoh tersebut telah membuktikan bahwa Omnibus Law UU Cipta Kerja
memang menjadi landasan yang paling ekstrim untuk menghisap serta menindas klas
buruh Indonesia.
Sejak UU Cipta Kerja disahkan pada 5 Oktober lalu, rakyat Indonesia pada
akhirnya menghadapi skema baru penindasan dan penghisapan Imperialisme.
Disistematiskannya perampasan tanah, monopoli tanah, dan fleksibilitas pasar tenaga
kerja untuk memberikan karpet merah bagi investasi modal asing membuat rakyat
Indonesia semakin menderita dengan mengawetkan sistem politik upah murah.
Bahkan ketika UU Cipta Kerja belum ditandatangani oleh Jokowi pun, beberapa
kebijakannya sudah diterapkan oleh Pemerintah. Keluarnya SE Kemenaker No.
M/11/HK.04/X/2020 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2021 yang dimana
isinya menetapkan bahwa Upah Minimum tahun 2021 tidak akan naik, membuktikan
bahwa UU Cipta Kerja sudah dilaksanakan sebelum waktunya. Akibat daripada itu,
rakyat indonesia akan menghadapi kondisi penghisapan yang lebih massif lagi.
Selain itu, Menteri Agraria Sofyan Jalil juga mengatakan bahwa Pemerintah
akan memberikan karpet merah bagi investasi dengan memberlakukan penyewaan
tanah secara gratis untuk menarik investor asing masuk Indonesia. Tanpa peduli
nasib kaum tani, pemerintah melalui berbagai aparatusnya terus menerus merampas
dan memonopoli tanah mereka untuk kepentingan para investor modal asing dengan
dalih pembukaan Kawasan Ekonomi Khusus agar Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE)
Indonesia dapat meningkat. Hal ini membuktikan bahwa pemerintah
mempertahankan basis Feodalisme di pedesaan untuk terus mengakumulasikan
modal, sehingga menguntungkan kaum Imperialis, borjuasi komprador, dan tuan
tanah besar.
Krisis Imperialisme yang kronis pada akhirnya direspon oleh Imperialis
dengan meningkatkan keuntungan melalui laba super (super-profit) yang didapatkan
dari penghisapan nilai lebih atas kerja buruh, serta bunga hutang yansg terus
digelontorkan ke negeri-negeri jajahan serta semi jajahan seperti Indonesia. Maka
dari itu, rezim boneka pelayan Imperialis AS yang dipimpin oleh Jokowi merespon
krisis tersebut dengan mempercepat pengesahan Omnibus Law yang sejatinya
merupakan pesanan dari Imperialis. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya,
bahwa Omnibus Law merupakan kelanjutan dari program fleksibilitas tenaga kerja
yang telah disusun oleh Imperialis melalui Bank Dunia, IMF, dan WTO. Maka dari
itu, Omnibus Law yang bukan berasal dari aspirasi rakyat Indonesia, sama sekali
tidak berpihak kepada rakyat Indonesia, khususnya klas buruh dan kaum tani. Maka
dari itu, solusi dari krisis ekonomi yang terus akut ini hanyalah Reforma Agraria
Sejati serta pembangunan Industri Nasional yang berdaulat dan mandiri. Reforma
Agraria Sejati merupakan program pengembalian seluruh tanah dan sumber kekayaan
alam yang telah dieksploitasi oleh tuan tanah swasta maupun negara kepada kaum
tani agar dikelola secara mandiri. Reforma Agraria Sejati sendiri diadakan sebagai
dasar untuk membangun Industri Nasional yang berdaulat dan mandiri, bebas dari
intervensi kapital asing serta mampu dijalankan oleh klas buruh. Tidak ada jalan lain
bagi klas buruh, selain memimpin pembebasan rakyat Indonesia melalui kedua
program tersebut tanpa bergantung kepada klas-klas reaksi yang telah menindas klas
buruh dan seluruh rakyat tertindas di Indonesia.
Lalu bagaimana caranya untuk mencapai Reforma Agraria Sejati dan
pembangunan Industri Nasional? Cara satu-satunya untuk membebaskan klas buruh
dan kaum tani dari penindasan dan penghisapan yang dilakukan oleh Imperialis dan
sekutunya ialah perjuangan Demokrasi Nasional. Perjuangan Demokrasi Nasional
ialah perjuangan demokratis anti Feodalisme dan perjuangan pembebasan nasional
anti Imperialisme. Perjuangan Demokrasi Nasional adalah perjuangan untuk
membebaskan rakyat Indonesia yang dipimpin oleh klas buruh dengan kekuatan
pokok Kaum Tani serta golongan demokratis lainnya dari belenggu sistem Setengah
Jajahan Setengah Feodal terhadap klik reaksi yang terdiri atas Feodalisme yang
dipimpin oleh tuan tanah besar negara maupun swasta, Imperialis yang dipimpin oleh
AS, serta Kapitalis Birokrat yang menjadi pemulus jalannya penindasan dan
penghisapan yang dilakukan oleh tuan tanah dan borjuasi komprador yang dipimpin
oleh Imperialis AS. Dengan demikian, pada akhirnya nanti, perjuangan Demokrasi
Nasional juga akan menghasilkan sebuah sistem pendidikan yang diidam-idamkan
oleh pemuda-mahasiswa, yaitu sistem pendidikan yang ilmiah, demokratis, dan
mengabdi kepada rakyat. Mengapa harus begitu? Karena sistem pendidikan yang
ilmiah akan menjamin keseluruhan ilmu pengetahuan bersesuaian dengan kenyataan
konkrit rakyat. Sistem pendidikan yang demokratis juga akan menjamin kebebasan
berserikat, berpendapat, dan berorganisasi bagi pemuda-mahasiswa. Sedangkan,
sistem pendidikan yang mengabdi kepada masyarakat akan menjamin keseluruhan
ilmu pengetahuan yang dipelajari oleh pemudamahasiswa tidak sia-sia, tetapi akan
diabdikan untuk kemajuan peradaban massa rakyat.

Anda mungkin juga menyukai