ABSES PARU
DISUSUN OLEH :
Santri Adzti
SUPERVISOR PEMBIMBING:
FAKULTAS KEDOKTERAN
MAKASSAR
2018
BAB I
PENDAHULUAN
II.1. Definisi
Abses paru adalah infeksi dekstruktif berupa lesi nekrotik pada
jaringanparu yang terlokalisir sehingga membentuk kavitas yang berisi nanah
(pus) dalamparenkim paru pada satu lobus atau lebih. (2)Kavitas ini berisi material
purulen sel
radang akibat proses nekrotik parenkim paru oleh proses terinfeksi. Bila
diameterkavitas < 2 cm dan jumlahnya banyak (multiple small abscesses)
dinamakannecrotizing pneumonia.(3)
II.2. Epidemiologi
1. Faktor Predisposisi
Ada beberapa kondisi yang menyebabkan atau mendorong terjadinya absesparu.
Beberapa penelitian menyimpulkan beberapa faktor terkait, diantaranya :
Penelitian terdahulu menemukan adanya infeksi pada pasien abses paru. Darihasil
kultur sputum didapatkan adanya infeksi staphylococcus (46,%),
klebsiella(26,6%), D. pneumonia (16,6%) dan E.coli (10%). Penelitian lain
melaporkan beberapa faktor predisposisi abses paru yang terjadi pada anak-anak,
diantaranya:
(5)
2. Patofisiologi
Proses terjadinya abses paru dapat diuraikan sebagai berikut(10):
a. Merupakan proses lanjut pneumonia inhalasi bakteria pada penderita dengan
faktor predisposisi. Bakteri mengadakan multiplikasi dan merusak parenkim paru
dengan proses nekrosis. Bila berhubungan dengan bronkus, maka terbentuklah
air-fluid level bakteria masukkedalam parenkim paru selain inhalasi bisa juga
dengan penyebaranhematogen (septik emboli) atau dengan perluasan langsung
dari prosesabses ditempat lain (nesisitatum) misalnya abses hepar.
b. Kavitas yang mengalami infeksi. Pada beberapa penderita tuberculosis dengan
kavitas, akibat inhalasi bakteri mengalami proses keradangan supurasi. Pada
penderita empisema paru atau polikistik paru yang mengalami infeksi sekunder.
c. Obstruksi bronkus dapat menyebabkan pneumonia berlanjut sampai proses
abses paru. Hal ini sering terjadi pada obstruksi karena kanker bronkogenik.
Gejala yang sama juga terlihat pada aspirasi benda asing yang belum keluar.
Kadang-kadang dijumpai juga pada obstruksi karena pembesaran kelenjar limfe
peribronkial.
d. Pembentukan kavitas pada kanker paru. Pertumbuhan massa kanker
bronkogenik yang cepat tidak diimbangi peningkatan suplai pembuluh darah,
sehingga terjadi likuifikasi nekrosis sentral. Bila terjadi infeksi dapat terbentuk
abses.
Proses patogenesis abses paru secara ringkas digambarkan dalam bagan berikut(1):
Posisi Lateral : Kavitas terlihat di lobus kiri atas dengan udara dan cairan
didalamnya(panah putih).
Terjadi pada segmen apical atau posterior pada lobus atas atau segmen
superior dari lobus bawah, biasanya pada lobus atas bilateral. Kavitas
berdinding tipis, halus pada batas dalam tanpa air-fluid level
3. Empiema
Pada gambaran TK empiema tampak pemisahan pleura parietal dan visceral
(pleura split) dan kompresi paru.(15)
II.10. Penatalaksanaan
II.10.1.Terapi Medis
Abses paru merupakan kasus jarang dan beberapa dokter meningkatkan
pengetahuannya dalam penatalaksanaannya.Antibiotik tunggal tidak adakan
menghasilkan keluaran yang memuaskan kecuali pus bisa didrainase dari kavitas
abses.Pada kebanyakan pasien, drainase spontan terjadi melalui cabang bronkus,
dengan produksi sputum purulen. Hal ini mungkin terbantu melalui drainase
postural.(16)
Antibiotik
Pilihan awal biasanya dibuat jika tidak ada bakteriologi definitif, tetapi perkiraan
yang beralasan bisa dibuat berdasarkan gambaran klinis yang mendasarinya dan
pada aroma pus dan gambarannya pada pewarnaan gram.Padakebanyakan abses
paru mengandung streptokokus kelompok milleri dan anaerob, antubiotik atau
kombinasinya yang melawan organisme ini harus dipilih.Terdapat banyak
regimen awal yang mungkin diberikan. Penisilin termasuk sefalosporin,
makrolide, kloramfenikol dan klindamisin semuanya telah digunakan.
Penggunaan ampisilin atau amoksisilin tunggal harus dihindari karena beberapa
anaerob resisten terhadapnya. Kombinasi amoksisilin dan metronidazole
merupakan pilihan baik dengan efek samping yang kecil dibandingkan beberapa
obat lainnya. Dapat diberikan secara oral, kecuali pasien sangat sakit atau sulit
menelan, sementara menunggu hasil kulturdefinitifnya. Makrolide seperti
eritromisin, klaritromisin atau azitromisin harus disubstitusi untuk amoksisilin
pada pasien dengan riwayat hipersensitivitas ampisilin.(2)
Keputusan penggantian antibiotik awal dapat diterapkan ketika hasilkultur
telah diperoleh. Walaupun abses paru sering diobati dengan antibiotic selama 6
minggu, tidak terdapat percobaan klinis yang membuktikan hal itu. Periode
pengobatan yang lebih singkat mungkin cukup pada pasien dimana pus telah
kering melalui cabang bronkus, dengan berhentikan produksi sputum dan
hilangnya gambaran air-fluid level pada radiologi toraks. Antibiotik tidak perlu
dilanjutkan hingga gambaran radiologis menjelaskan bayangan parenkim.Hal ini
mungkin terjadi dalam beberapa minggu.
Drainase
Pemeriksaan tambahan harus dilakukan pada pasien yang tidak respon
terhadap antibiotik dan fisioterapi.Waktu intervensi tersebut bergantung pada
pasien.Pada pasien dengan kondisi kritis dimana tidak terdapat drainase spontan
melalui cabang bronkus, perlu dilakukan drainase.Pada sebagian pasien, demam
berlanjut lebih dari 2 minggu walaupun pemberian antibiotik sudah sesuai dan
fisioterapi menunjukkan bahwa drainase tidak adekuat sehingga perlu
dipertimbangkan peningkatan intensitas pengobatan.Drainase pada pasien abses
paru mungkin bisa dilakukan pendekatan melalui cabang bronkus atau secara
perkutaneus.Dalam teknik sebelumnya, akvitas abses paru dimasukkan langsung
dengan fibreoptic bronchoschopy ataumelalui kateter yang melewatinya.(17)
Pendekatan perkutaneus mungkin lebih baik. Kecuali abses paru berhubungan
dengan keganasan ketika terdapat peningkatan resiko fistula permanen. Pada
beberapa kasus drainase endobronkial harus dipertimbangkan. Drainase
perkutaneus biasanya tidak membantu pada abses kecil multipel dan pada mereka
yang mempunyai komplikasi yang tinggi seperti pneumotoraks dan
fistula bronkopleura. Pada masa lalu, skrening fluoroskopi merupakan teknik
konvensionaluntuk penempatan kateter tetapi USG mengizinkan lebih banyak
lokalisasispasial.CT scan telah digunakan secara luas dan memiliki keuntungan
visualisasiyang lebih baik dalam melihat struktur intratorakal lainnya, dan banyak
operatoryang mengembangkan kemampuannya dalam bidang ini, yang
mungkinbermanfaat ketika abses paru ditemukan.
Reseksi pembedahan
Dengan membandingkan dengan era sebelum antibiotik, era pembedahan
absesparu jarang diperlukan, tetapi masih dilakukan jika terdapat hemoptisis
beratatau abses paru berhubungan dengan keganasan. Pada kasus belakangan,
reseksihanya dicoba jika tumor operable melalui kriteria yang biasa, dengan tanpa
buktiadanya metastasis, keterlibatan mediastinum, fungsi pare yang tidak adekuat
ataukeadaan serius kesehatan yang menyertainya. Untuk dua indikasi utama
inimungkin perlu ditambahkan abses kronik dengan gejala menetap,
khususnyaketika mencoba untuk mendrain gagal dilakukan.Kronisitas mungkin
bersifatsementara atau patologis, abses kronik berhubungan dengan granulasi
jaringandan diikuti dengan jaringan ikat.Definisi sementara adalah bahan
perdebatan,tetapi abses yang masih menghasilkan gejala sistemik (selain produksi
sputum) 6minggu setelah munculnya gejala walaupun percobaan endobronkial
ataupercutaneus drainage, harus dipertimbangkan untuk reseksi pembedahan.(18)
II.11 Komplikasi
Keberhasilan pengobatan abses paru diindikasikan pertama melalui
resolusi demam, kedua melalui penutupan kavitas dan terakhir melalui bersihnya
gambaran radiologis infiltrat parenkim paru.Demam biasanya hilang dalam
beberapa hari, menetap dalam 2 minggu jarang terjadi dan membuktikan tidak
adekuatnya drainase. Sekitar 50% kavitas akan menutup dalam sebulan dan
meninggalkan gejala selama 4 – 8 minggu. Turunnya nilai PCR, dan pasien yang
merasa lebih baik dan berat badan yangbertambah merupakan tanda pembaikan
semua stage penanganan abses paru.Infiltrasi radiologis mungkin menetap selama
3 bulan atau lebih dan tidakmemberikan peningkatan untuk memperhatian
perkembangan pasien.Komplikasi dan sequelae jangka panjang kini tampak
kurang seringterjadi dibandingkan era sebelum antibiotik tetapi abses paru masih
berhubungandengan angka mortalitas dan morbiditas yang tinggi.Komplikasi
yang palingsering terjadi adalah empiema.(9)Pasien mungkin tidak akan datang
pada dokterhingga hal ini terjadi. Seiring membesarnya abses, ia mungkin akan
merapuhkanpembuluh darah dan memunculkan hemoptisis.(19)Jarangnya, tetapi
khusus pada pasien dengan penurunan daya tahan tubuh, nekrosis mungkin
menyebar sangat cepat melalui paru.
Abses yang telah didrainase dan disterilisasi dengan menggunakan
antibiotik mungkin membentuk kavitas yang persisten. Lini awal melaluigranulasi
jaringan, hal ini digantikan oleh jaringan fibrosa dan diikuti epitelskuamos atau
siliata.Beberapa kavitas bisa direinfeksi kembali atau dikolonisasiketika abses asli
yang dibentuk berhubungan dengan bronkus, lebih seringdaripada saluran napas
kecil, destruksi dinding bronkus diikuti epitelialisasimemunculkan bronkiektasis
sakuler lokal.Penyebaran infeksi ke dalam vena parubisa menyebabkan abses
serembral emboli, tetapi komplikasi ini sangat jarangterjadi.
II.12. Prognosis
Abses paru masih merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas yang
signifikan.Angka kematian Abses paru berkisar antara 15-20% merupakan
penurunan bila dibandingkan dengan era pre antibiotika yang berkisar antara
3040%.
Pada penderita dengan beberapa faktor predisposisi mempunyai prognosa
yang lebih jelek dibandingkan dengan penderita dengan satu faktor predisposisi.
Sekitar 80-90% penderita sembuh dengan pengobatan anti biotik.(20)
Beberapa faktor yang memperbesar angka mortalitas pada Abses paru sebagai
berikut(21):
a. Anemia dan Hipo Albuminemia
b. Abses yang besar (f > 5-6 cm) (hisberg juga)
c. Lesi obstruksi
d. Bakteri aerob, seperti :S.aureus, K.Pneumoniae and P.aeruginosa(21)
e. Immune Compromised
f. Usia tua
g. Gangguan intelegensia
h. Perawatan yang terlambat
BAB III
KESIMPULAN
Abses paru adalah infeksi dekstruktif berupa lesi nekrotik pada
jaringanparu yang terlokalisir sehingga membentuk kavitas yang berisi nanah
(pus) dalam parenkim paru pada satu lobus atau lebih.Kuman atau bakteri
penyebab terjadinya abses paru bervariasi.46% abses paru disebabkan hanya oleh
bakteri anaerob, sedangkan 43% campuran bakteri anaerob dan aerob.(2)
Untuk memastikan diagnosa dari abses paru maka dilakukan
serangkaianpemeriksaan dari anamnesa, pemeriksaan fisik hingga pemeriksaan
penunjangberupa pemeriksaan radiologi. Pemeriksaan radiologi yang dapat
dilakukan antara lain Foto Polos, Tomografi Komputer, Ultrasonografi (USG) dan
Magnetik Resonance Imaging (MRI).(3)
Dari pemeriksaan Foto dada PA dan lateral pada pasien akan dijumpai
kavitas dengan dinding tebal dengan tanda-tanda konsolidasi disekelilingnya,
lebih sering dijumpai pada paru kanan dibandingkan paru kiri. Bila terdapat
hubungan dengan bronkus maka didalam kavitas terdapat Air Fluid Level.11Tetapi
bila tidak ada hubungan maka hanya dijumpai tanda-tanda konsolidasi(opasitas).
Pada pemeriksaan Tomografi Komputer akan dijumpai kavitas
terlihatbulat dengan dinding tebal, tidak teratur dengan air-fluid level dan terletak
di daerah jaringan paru yang rusak. Tampak bronkus dan pembuluh darah paru
berakhir secara mendadak pada dinding abses, tidak tertekan atau berpindah
letak.Abses paru juga dapat membentuk sudut lancip dengan dinding dada.(11),(12)
Pemeriksaan USG jarang dianjurkan pada pasien dengan abses
paru.Namun, USG juga dapat mendeteksi abses paru.tampak lesi hipoechic bulat
dengan batas luar. Apabila terdapat kavitas, didapati adanya tambahan tanda
hiperechoic yang dihasilkan oleh gas-tissue interface.(13)
Sedangkan pemeriksaan MRI ternyata akurat untuk mendiagnosa
danmenentukan lokasi penyakit paru. Pada pasien dengan pneumonia dan abses
paru, peradangan akut berhubungan dengan peningkatan intensitas sinyal pada T2
bila dibandingkan dengan T1 weighted image.(14)
Pasien dengan beberapa faktor predisposisi abses paru memiliki prognosis
yang jelek dibandingkan yang memiliki satu faktor predisposisi. Sedangkan
pasien yang mendapatkan pengobatan antibiotik secara adekuat memiliki
prognosis yang lebih baik.(20)
Daftar Pustaka
1. Alsagaff,H., dkk. 2006. Abses Paru dalam Dasar-dasar Ilmu PenyakitParu:
Airlangga University Press, Surabaya. Halaman 136-140.
2. Rasyid, A., 2006. Abses Paru. Dalam :Sudoyo, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam.Pusat Penerbitan Departemen IPD FK-UI, Jakarta.Halaman 1052-1055.
3. Kamangar, dkk. 2009. Lung Abscess. Emedicine. Available from
http://emedicine.medscape.com/article/299425-overview [Accessed on 19
Februari 2011]
4. Kharkar RA, Ayyar VB. 2011. Aetiological aspects of lung abscess. J Postgrad
Med [serial online] 1981 [cited 2011 Mar 6];27:163. Available from:
http://www.jpgmonline.com/text.asp?1981/27/3/163/5637 cited on 6 March 2011
in Journal of Postgraduated Medicine. Available from
http://www.jpgmonline.com/article.asp?issn=0022-
3859;year=1981;volume=27;issue=3;spage=163;epage=6;aulast=Kharkar#
cited. {Accessed on 5 Maret 2011)
5. Asher, MI, 1990. Lung Abscess in Infections of Respicatory Tract; Canada.
429 – 434 dalam Asuhan Keperawatan Abses Paru. Available
fromhttp://wwwdagul88.blogspot.com/2011/02/askep-abses-paru.html[Accessed
on 20 Februari 2011]
6. Finegold, S.M.,dkk. 1998. Empyema and Lung Abscess ;in Fishman’s
pulmonary Diseases and disorders 3rded ; Philadelphia. Halaman : 2021
– 2032 dalam Asuhan Keperawatan Abses Paru. Available from
http://wwwdagul88.blogspot.com/2011/02/askep-abses-paru.html
[Accessed on 20 Februari 2011]
7. Barlett, J.G., 1992. Lung Abscess in : Cecil text book of Medicine 19 ed
;Phildelphia. Halaman : 413 – 415 dalam Asuhan Keperawatan Abses
Paru.Available from http://wwwdagul88.blogspot.com/2011/02/askep-
absesparu.html
[Accessed on 20 Februari 2011]
8. Ricaurte, K.K., dkk. 1999. Allergic broucho pulumonary aspergillosis with
multiple Streptococceus pneumonie. Lung Abscess : an unussualinsitial case
presentation. Journal of Allergy and Clinical Imonoligy 104.238 –240. 9.
Maitra,A., Kumar, V., 2007. Abses Paru. Dalam :Robbins, Buku Ajar Patologi
Edisi 7. EGC, Jakarta. Halaman 556.
10. Garry,dkk. 1993. Lung Abscess in a Lange Clinical Manual : Internal
Medicina : Diagnosis and Therapy 3rd ; Oklahoma. 119 – 120.
11. Juhl, John., dkk. Essentials of Radiologic Imaging.Mexico. Halaman 755-757.
12. Rasad, S., 2005. Radiologi Diagnostik Edisi Kedua: Fakultas Kedokteran UI,
Jakarta. Halaman 101-103.
13. Bouhemad B, Zhang M, Lu Q, Rouby JJ. 2007. Clinical review: Bedside lung
ultrasound in critical care practice. Crit Care. 11(1). Halaman 205 th
14. Cohen, M.D., Eigen, H., 2005. Magnetic resonance imaging of inflammatory
lung disorders: preliminary studies in children. Pediatr Pulmonol.Jul-
Aug;2(4):211-7
15. Stark, D.D. Differentiating lung abscess and empyema: radiography and
computed tomography. American Journal of Roentgenology, Vol 141, Issue 1.
Halaman 163-167. Available from
http://www.ajronline.org/cgi/reprint/141/1/163.pdf [Accessed on 5 Maret 2011]
16. Hammond JMJ et al ; The Ethiology and Anti Microbial Susceptibility
Patterns of Microorganism in acute Commuity – Acquired Lung Abscess ; Chest ;
108 ; 4 ; 1995 ; 937 – 41.
17. Bartelett, 2011, Treatment of anaerobic pulmonary infections, Division of
Infectious Disease.The Johns Hopkins Hospital, USA. Available from
http://jac.oxfordjournals.org/content/24/6/836.full.pdf [accessed on 21 Februari
2011]
18. Haight,dkk. Surgical Treatmenr of Peripheral Lung Abscess.Yale Journal of
Biology and Medicine.235-240. Available from
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2606313/pdf/yjbm005770030.pdf
[accessed on 21 Februari 2011]
19. Werber, Y.B., 2001. Massive hemoptysis from a lung abscess due toretained
gallstones.Ann Thorac Surg 72. 278-279. Available from
http://ats.ctsnetjournals.org/cgi/content/full/72/1/278 [accessed on 21Februali
2011]
20. Wali, S.O., dkk. 2002. Percutaneous drainage of pyogenic lung abscess. Scand
Jurnal Infection Disease 34 (9): 673-676. Available from :
http://www.kau.edu.sa/Files/140/Researches/50029_20495.pdf [accessed 21
Februari 2011]
21. Hishberg, B.,dkk 1999 Factors Predicting Mortality of Patients with Lung
Abscess. Chest. Halaman 746-752. Available from
http://chestjournal.chestpubs.org/content/115/3/746.abstract [accessed on 21
Februari 2011)