Anda di halaman 1dari 26

BAGIAN ILMU RADIOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN REFERAT

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA MEI 2018

ABSES PARU

DISUSUN OLEH :

Santri Adzti

111 2017 2015

SUPERVISOR PEMBIMBING:

dr. Andi Rompegading, Sp.Rad

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN ILMU RADIOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MAKASSAR

2018
BAB I
PENDAHULUAN

Abses paru adalah lesi paru berupa supurasi dan nekrosis


jaringan(1).Padadaerah abses, terdapat suatu daerah lokal nekrosis supurativa di
dalam parenkimparu, yang menyebabkan terbentuknya satu atau lebih kavitas
yang besar.Kemajuan ilmu kedokteran saat ini menyebabkan kejadian abses paru
menurunkarena adanya perbaikan risiko terjadinya abses paru seperti teknik
operasi dananastesi yang lebih baik dan penggunaan antibiotik lebih dini, kecuali
padakondisi-kondisi yang memudahkan untuk terjadinya aspirasi dan pada
populasi dengandaya tahan tubuh yang menurun (immunocompromised).(2)
Ada beberapa kondisi yang menyebabkan atau mendorong terjadinyaabses
paru. Beberapa penelitian menyimpulkan beberapa faktor terkait pendorong
terjadinya abses paru, diantaranya para pecandu alkohol, penderita karies
gigi,aspirasi saluran pernafasan sampai kelainan saluran pernafasan. (2),(4),
(5)
Kumanatau bakteri penyebab terjadinya abses paru bervariasi. 46% abses
parudisebabkan hanya oleh bakteri anaerob, sedangkan 43% campuran bakteri
anaerob
dan aerob.(2)Kemudian pada anak-anak ditemukan faktor predisposisi dari abses
paru dapat disebabkan oleh infeksi berat hingga imunodefisiensi.(5)
Untuk melihat lokasi dan bentuk lesi maka dilakukan
pemeriksaanradiologik sebagai pemeriksaan penunjang abses paru. Pemeriksaan
radiologicyang akan digunakan antara lain Foto polos, Tomografi Komputer
(TK),Ultrasonografi (USG) dan Magnetik Resonance Imaging
(MRI).Padapemeriksaan foto polos sangat membantu untuk melihat lokasi lesi
dan bentukabses paru.(11)Sedangkan pada TK dapat menunjukkan lesi yang tidak
terlihatpada pemeriksaan foto polos dan dapat membantu menentukan lokasi
dindingdalam dan luar kavitas abses.(12) Pemeriksaan radiologik lain seperti
ultrasonografi
(USG)(13)danMagnetic Resonance Imaging (MRI)(14) juga dapat
menentukandiagnosis meskipun jarang digunakan.
Abses paru merupakan kasus jarang dan beberapa dokter meningkatkan
pengetahuannya dalam penatalaksanaannya.(16)(1)(3) Antibiotik tunggal tidak
menghasilkan hasil yang memuaskan kecuali pus bisa di drainase dari
kavitasabses. Pada kebanyakan pasien, drainase spontan terjadi melalui cabang
bronkus,dengan produksi sputum purulen. Hal ini mungkin terbantu melalui
drainasepostural.(17)
Abses paru masih merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas
yangsignifikan. Angka kematian abses paru berkisar antara 15-20%
merupakanpenurunan bila dibandingkan dengan era pre antibiotika yang berkisar
antara 30-40%.(20)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Definisi
Abses paru adalah infeksi dekstruktif berupa lesi nekrotik pada
jaringanparu yang terlokalisir sehingga membentuk kavitas yang berisi nanah
(pus) dalamparenkim paru pada satu lobus atau lebih. (2)Kavitas ini berisi material
purulen sel
radang akibat proses nekrotik parenkim paru oleh proses terinfeksi. Bila
diameterkavitas < 2 cm dan jumlahnya banyak (multiple small abscesses)
dinamakannecrotizing pneumonia.(3)

II.2. Epidemiologi
1. Faktor Predisposisi
Ada beberapa kondisi yang menyebabkan atau mendorong terjadinya absesparu.
Beberapa penelitian menyimpulkan beberapa faktor terkait, diantaranya :

Penelitian terdahulu menemukan adanya infeksi pada pasien abses paru. Darihasil
kultur sputum didapatkan adanya infeksi staphylococcus (46,%),
klebsiella(26,6%), D. pneumonia (16,6%) dan E.coli (10%). Penelitian lain
melaporkan beberapa faktor predisposisi abses paru yang terjadi pada anak-anak,
diantaranya:
(5)

Aspirasi pada daerah orofaring merupakan penyebab utama terjadinya abses.


Faktor predisposisi yang menyebabkan aspirasi orofaring seperti tabel 2.3,kadang-
kadang satu orang lebih dari satu faktor.
II.3. Etiologi
Kuman atau bakteri penyebab terjadinya abses paru bervariasi.46%
absesparu disebabkan hanya oleh bakteri anaerob, sedangkan 43% campuran
bakteri anaerob dan aerob. Disebut abses primer apabila infeksi diakibatkan
aspirasi atau pneumonia yang terjadi pada orang normal, sedangkan abses
sekunder apabila infeksi terjadi pada orang yang sebelumnya sudah mempunyai
kondisi seperti obstruksi, bronkektasis dan gangguan imunitas.(2)
Terjadinya abses paru biasanya melalui dua cara, yaitu aspirasi dan
hematogen.(2)Yang paling sering ditemukan adalah abses paru bronkogenik akibat
aspirasi. Hal ini dapat disebabkan oleh kelainan anatomis, sumbatan bronkus
maupun tumor.Sedangkan abses paru melalui hematogen biasanya berhubungan
dengan infeksi.
II.4. Patogenesis
1. Patologi
Abses paru timbul bila parenkim paru terjadi obstruksi, infeksi kemudian
menimbulkan proses supurasi dan nekrosis. Perubahan reaksi radang pertama
dimulai dari supurasi dan trombosis pembuluh darah lokal, yang menimbulkan
nekrosis dan likuifikasi. Pembentukan jaringan granulasi terjadi mengelilingi
abses, melokalisir proses abses dengan jaringan fibrotik.(1),(7),(8)
Seiring dengan membesarnya fokus supurasi, abses akhirnya akan pecah ke
saluran nafas. Oleh karena itu, eksudat yang terkandung di dalamnya mungkin
keluar sebagian, menghasilkan batas udara-air (air-fluid level) pada pemeriksaan
radiografik Abses yang pecah akan keluar bersama batuk sehingga terjadi aspirasi
pada bagian lain dan akhirnya membentuk abses paru yang baru.. Kadang-kadang
abses pecah ke dalam rongga pleura dan menghasilkan fistula bronkopleura, yang
menyebabkan pneumotoraks atau empiema.(9)

2. Patofisiologi
Proses terjadinya abses paru dapat diuraikan sebagai berikut(10):
a. Merupakan proses lanjut pneumonia inhalasi bakteria pada penderita dengan
faktor predisposisi. Bakteri mengadakan multiplikasi dan merusak parenkim paru
dengan proses nekrosis. Bila berhubungan dengan bronkus, maka terbentuklah
air-fluid level bakteria masukkedalam parenkim paru selain inhalasi bisa juga
dengan penyebaranhematogen (septik emboli) atau dengan perluasan langsung
dari prosesabses ditempat lain (nesisitatum) misalnya abses hepar.
b. Kavitas yang mengalami infeksi. Pada beberapa penderita tuberculosis dengan
kavitas, akibat inhalasi bakteri mengalami proses keradangan supurasi. Pada
penderita empisema paru atau polikistik paru yang mengalami infeksi sekunder.
c. Obstruksi bronkus dapat menyebabkan pneumonia berlanjut sampai proses
abses paru. Hal ini sering terjadi pada obstruksi karena kanker bronkogenik.
Gejala yang sama juga terlihat pada aspirasi benda asing yang belum keluar.
Kadang-kadang dijumpai juga pada obstruksi karena pembesaran kelenjar limfe
peribronkial.
d. Pembentukan kavitas pada kanker paru. Pertumbuhan massa kanker
bronkogenik yang cepat tidak diimbangi peningkatan suplai pembuluh darah,
sehingga terjadi likuifikasi nekrosis sentral. Bila terjadi infeksi dapat terbentuk
abses.
Proses patogenesis abses paru secara ringkas digambarkan dalam bagan berikut(1):

II.5. Manifestasi/ Gambaran Klinis


1. Gejala klinis1,6,7,9,10
Gejala penyakit timbul satu sampai tiga hari setelah aspirasi. Gejalanya
menyerupai pneumonia pada umumnya, diantaranya :
a. Panas badan
Dijumpai berkisar 70% - 80% penderita abses paru. Kadang dijumpai dengan
temperatur > 40oC disertai menggigil, bahkan “rigor”.
b. Batuk, pada stadium awal non produktif. Bila terjadi hubungan rongga abses
dengan bronkus batuknya menjadi meningkat dengan bau busukyang khas (Foetor
ex oroe (40-75%).
c. Produksi sputum yang meningkat dan Foetor ex oero dijumpai berkisar 40 –
75% penderita abses paru.
d. Nyeri dada (± 50% kasus)
e. Batuk darah (± 25% kasus)
f. Gejala tambahan lain seperti lelah, penurunan nafsu makan dan berat badan.Jari
tabuh dapat timbul dalam beberapa minggu terutama biladrainase tidak baik.

II.6. Pemeriksaan fisik


Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai kelainan seperti nyeri tekan
lokal,tanda-tanda konsolidasi seperti redup pada perkusi, suara bronchial dengan
ronki basah atau krepitasi di tempat abses, mungkin ditambah dengan tanda-tanda
efusi pleura.(1)
Apabila abses luas dan letaknya dekat dengan dinding dadakadang-
kadangterdengar suara amforik, usara nafas bronchial atau amforik terjadi bila
kavitasnya besar dank arena bronkus masih tetap dalam keadaan terbuka disertai
oleh adanya konsolidasi sekitar abses dan drainase abses yang baik.
Apabila abses paru letaknya dekat pleura dan pecah akan terjadi
piotoraks(empiema toraks) sehingga pada pemeriksaan fisik ditemukan
pergerakan dinding dada tertinggal di tempat lesi, fremitus vocal menghilang,
perkusi redup/pekak, bunyi nafas menghilang, dan terdapat tanda-tanda
pendorongan mediastinum terutama pendorongan jantung kearah kontralateral
tempat lesi.(2)

II.7. Pemeriksaan laboratorium


a. Pada pemeriksaan darah rutin. Ditentukan leukositosis, meningkat lebih dari
12.000/mm3 (90% kasus) bahkan pernah dilaporkanpeningkatan sampai dengan
32.700/mm3. Laju endap darah ditemukanmeningkat > 58 mm / 1 jam. Pada
hitung jenis sel darah putihdidapatkan pergeseran shit to the left.(1)
b. Pemeriksaan sputum dengan pengecatan gram tahan asam dan KOH merupakan
pemeriksaan awal untuk menentukan pemilihan antibioticsecara tepat.(1)
c. Pemeriksaan kultur bakteri dan test kepekaan antibiotikan merupakan cara
terbaik dalam menegakkan diagnosa klinis dan etiologis.(2)

II.8. Pemeriksaan Radiologik


II.8.1. Foto polos
Foto dada PA dan lateral sangat membantu untuk melihat lokasi lesi dan
bentuk abses paru.Pada hari-hari pertama penyakit, foto dada
hanyamenggambarkan gambaran opak dari satu ataupun lebih segmen paru, atau
hanya berupa gambaran densitas homogen yang berbentuk bulat. Kemudian akan
ditemukan gambaran radiolusen dalam bayangan infiltrat yang padat.(10)
Selanjutnya bila abses tersebut mengalami ruptur sehingga terjadi drainase
abses yang tidak sempurna ke dalam bronkus, maka akan tampak kavitas
irregular dengan batas cairan dan permukaan udara (air-fluid level) di dalamnya.
Kavitas ini berukuran f 2 – 20 cm.(11)Gambaran spesifik ini tampak dengan mudah
bila kita melakukan foto dada PA dengan posisi berdiri. Khas pada paru anaerobik
kavitasnya singel (soliter) yang biasanya ditemukan pada infeksi paru primer,
sedangkan abses paru sekunder (aerobik, nosokomial atau hematogen) lesinya
bisa multipel.(2)

Posisi Posterior-Anterior (PA) :


Terdapat area berbatas tegas transparan di lobus kiri atas (panah putih).
Kavitas diisi oleh cairan dan udara (air-fluid level) (panah hitam).

Posisi Lateral : Kavitas terlihat di lobus kiri atas dengan udara dan cairan
didalamnya(panah putih).

II.8.2. Tomografi Komputer (TK)


TK merupakan scan evaluasi dengan kontras menjadi pilihan untuk tujuan
skreening dan sebagai alat bantu untuk prosedur aspirasi perkutan dan drainase
(percutaneous catheter drainage). TK dapat menunjukkan lesi yang tidak terlihat
pada pemeriksaan foto polos dan dapat membantu menentukan lokasi dinding
dalam dan luar kavitas abses.(11)

Pemeriksaan ini membantu membedakan abses paru dengan diagnosis


banding lainnya. Pada gambaran TK, kavitas terlihat bulat dengan dinding tebal,
tidak teratur dengan air-fluid level dan terletak di daerah jaringan paru yang rusak.
Tampak bronkus dan pembuluh darah paru berakhir secara mendadak pada
dinding abses, tidak tertekan atau berpindah letak.Abses paru juga dapat
membentuk sudut lancip dengan dinding dada.
Gambaran CT scan contrast-enhanced axial menunjukkan lesi kavitas yang
besar di lobus bawah kiri dengan dinding yang relatif tebal(black arrow).
Kavitas memiliki batas dalam yang halus dan air-fluid level(white
arrow).Terdapat reaksi inflamasi pada sekitar paru-paru
(yellowarrow).Terlihat adanya sudut lancip dengan dinding posterior dada.

II.8.3. Ultrasonografi (USG)


Pemeriksaan USG jarang dianjurkan pada pasien dengan abses
paru.Namun, USG juga dapat mendeteksi abses paru.tampak lesi hipoechic
bulatdengan batas luar. Apabila terdapat kavitas, didapati adanya tambahan tanda
hiperechoic yang dihasilkan oleh gas-tissue interface.2

Terletak dekat dengan dinding thoraks, proses di dalam paru kira-kira


sebesar 2,5x2x2 cm (pointed angle between pleura and process) dengan
dinding membran. Setelah pengobatan, hanya terdapat sisa
gambaranhipoechoic di tempat abses sebelumnya (setelah beberapa minggu)
II.8.4. Magnetik Resonance Imaging (MRI)
MRI berhasil mengidentifikasi penyakit paru secara akurat untukmenentukan
lokalisasi penyakit pada lapangan paru. Pada pasien denganpneumonia dan abses
paru, peradangan akut berhubungan dengan peningkatanintensitas sinyal pada T2
bila dibandingkan dengan T1 weighted image. Pasiendengan inflamasi
pseudotumor menunjukkan peningkatan yang lebih kecil dalamintensitas sinyal
pada T2 weuighted image daripada yang terlihat di pneumoniaakut.Kavitas abses
adalah rongga yang diidentifikasi sepanjang dinding yangmenebal. Pada pasien
dengan penyakit paru difus (diffuse histoplasmosis, TBCmilier, penyakit Letterer-
Siwe, dan alveolitis alergi), masing-masing penyakitmuncul dengan gambaran
MRI yang berbeda..Studi-studi terdahulu menunjukkanbahwa Magnetic
Resonance Imaging efektif untuk mengidentifikasi penyakit parupada anak-anak
dan dapat meningkatkan kemampuan ahli radiologi untukmembedakan gangguan
paru.(14)

Setelah pengobatan: perubahan sudut menunjukkan peningkatan sinyal


pada daerah pleura kanan.ini merupakan sisa abses membran

II.9. Diagnosa Banding


1. Karsimoma bronkogenik yang mengalami kavitasi.(1),(11)
Pada penyakit ini biasanya dinding kavitas tebal dan tidak rata.Diagnosis pasti
dengan pemeriksaan sitologi/patologi.

2. Tuberkulosis paru atau infeksi jamur.(1),(11)


Gejala klinisnya hampir sama atau lebih menahun daripada abses paru. Pada
tuberculosis didapatkan BTA dan pada infeksi jamur ditemukan jamur. Pada
penyakit aktif, dapat dijumpai gambaran bercak-bercak berawan dan kavitas,
sedangkan pada keadaan tidak aktif dapat dijumpai
kalsifikasi yang berbentuk garis.

Terjadi pada segmen apical atau posterior pada lobus atas atau segmen
superior dari lobus bawah, biasanya pada lobus atas bilateral. Kavitas
berdinding tipis, halus pada batas dalam tanpa air-fluid level
3. Empiema
Pada gambaran TK empiema tampak pemisahan pleura parietal dan visceral
(pleura split) dan kompresi paru.(15)

Potongan coronal dada pada gambar CT menunjukkan adanya lesi pada


lobus atas kanan dengan internal air-filled cavity, dinding tebal tidak
beraturan (panah warna hijau) dan lesi lain di sebelah bawah paru
kiridengan internal fluid, dinding tipis (panah warna kuning) kompresi pada

II.10. Penatalaksanaan
II.10.1.Terapi Medis
Abses paru merupakan kasus jarang dan beberapa dokter meningkatkan
pengetahuannya dalam penatalaksanaannya.Antibiotik tunggal tidak adakan
menghasilkan keluaran yang memuaskan kecuali pus bisa didrainase dari kavitas
abses.Pada kebanyakan pasien, drainase spontan terjadi melalui cabang bronkus,
dengan produksi sputum purulen. Hal ini mungkin terbantu melalui drainase
postural.(16)

Antibiotik
Pilihan awal biasanya dibuat jika tidak ada bakteriologi definitif, tetapi perkiraan
yang beralasan bisa dibuat berdasarkan gambaran klinis yang mendasarinya dan
pada aroma pus dan gambarannya pada pewarnaan gram.Padakebanyakan abses
paru mengandung streptokokus kelompok milleri dan anaerob, antubiotik atau
kombinasinya yang melawan organisme ini harus dipilih.Terdapat banyak
regimen awal yang mungkin diberikan. Penisilin termasuk sefalosporin,
makrolide, kloramfenikol dan klindamisin semuanya telah digunakan.
Penggunaan ampisilin atau amoksisilin tunggal harus dihindari karena beberapa
anaerob resisten terhadapnya. Kombinasi amoksisilin dan metronidazole
merupakan pilihan baik dengan efek samping yang kecil dibandingkan beberapa
obat lainnya. Dapat diberikan secara oral, kecuali pasien sangat sakit atau sulit
menelan, sementara menunggu hasil kulturdefinitifnya. Makrolide seperti
eritromisin, klaritromisin atau azitromisin harus disubstitusi untuk amoksisilin
pada pasien dengan riwayat hipersensitivitas ampisilin.(2)
Keputusan penggantian antibiotik awal dapat diterapkan ketika hasilkultur
telah diperoleh. Walaupun abses paru sering diobati dengan antibiotic selama 6
minggu, tidak terdapat percobaan klinis yang membuktikan hal itu. Periode
pengobatan yang lebih singkat mungkin cukup pada pasien dimana pus telah
kering melalui cabang bronkus, dengan berhentikan produksi sputum dan
hilangnya gambaran air-fluid level pada radiologi toraks. Antibiotik tidak perlu
dilanjutkan hingga gambaran radiologis menjelaskan bayangan parenkim.Hal ini
mungkin terjadi dalam beberapa minggu.

Drainase
Pemeriksaan tambahan harus dilakukan pada pasien yang tidak respon
terhadap antibiotik dan fisioterapi.Waktu intervensi tersebut bergantung pada
pasien.Pada pasien dengan kondisi kritis dimana tidak terdapat drainase spontan
melalui cabang bronkus, perlu dilakukan drainase.Pada sebagian pasien, demam
berlanjut lebih dari 2 minggu walaupun pemberian antibiotik sudah sesuai dan
fisioterapi menunjukkan bahwa drainase tidak adekuat sehingga perlu
dipertimbangkan peningkatan intensitas pengobatan.Drainase pada pasien abses
paru mungkin bisa dilakukan pendekatan melalui cabang bronkus atau secara
perkutaneus.Dalam teknik sebelumnya, akvitas abses paru dimasukkan langsung
dengan fibreoptic bronchoschopy ataumelalui kateter yang melewatinya.(17)
Pendekatan perkutaneus mungkin lebih baik. Kecuali abses paru berhubungan
dengan keganasan ketika terdapat peningkatan resiko fistula permanen. Pada
beberapa kasus drainase endobronkial harus dipertimbangkan. Drainase
perkutaneus biasanya tidak membantu pada abses kecil multipel dan pada mereka
yang mempunyai komplikasi yang tinggi seperti pneumotoraks dan
fistula bronkopleura. Pada masa lalu, skrening fluoroskopi merupakan teknik
konvensionaluntuk penempatan kateter tetapi USG mengizinkan lebih banyak
lokalisasispasial.CT scan telah digunakan secara luas dan memiliki keuntungan
visualisasiyang lebih baik dalam melihat struktur intratorakal lainnya, dan banyak
operatoryang mengembangkan kemampuannya dalam bidang ini, yang
mungkinbermanfaat ketika abses paru ditemukan.

Reseksi pembedahan
Dengan membandingkan dengan era sebelum antibiotik, era pembedahan
absesparu jarang diperlukan, tetapi masih dilakukan jika terdapat hemoptisis
beratatau abses paru berhubungan dengan keganasan. Pada kasus belakangan,
reseksihanya dicoba jika tumor operable melalui kriteria yang biasa, dengan tanpa
buktiadanya metastasis, keterlibatan mediastinum, fungsi pare yang tidak adekuat
ataukeadaan serius kesehatan yang menyertainya. Untuk dua indikasi utama
inimungkin perlu ditambahkan abses kronik dengan gejala menetap,
khususnyaketika mencoba untuk mendrain gagal dilakukan.Kronisitas mungkin
bersifatsementara atau patologis, abses kronik berhubungan dengan granulasi
jaringandan diikuti dengan jaringan ikat.Definisi sementara adalah bahan
perdebatan,tetapi abses yang masih menghasilkan gejala sistemik (selain produksi
sputum) 6minggu setelah munculnya gejala walaupun percobaan endobronkial
ataupercutaneus drainage, harus dipertimbangkan untuk reseksi pembedahan.(18)

II.11 Komplikasi
Keberhasilan pengobatan abses paru diindikasikan pertama melalui
resolusi demam, kedua melalui penutupan kavitas dan terakhir melalui bersihnya
gambaran radiologis infiltrat parenkim paru.Demam biasanya hilang dalam
beberapa hari, menetap dalam 2 minggu jarang terjadi dan membuktikan tidak
adekuatnya drainase. Sekitar 50% kavitas akan menutup dalam sebulan dan
meninggalkan gejala selama 4 – 8 minggu. Turunnya nilai PCR, dan pasien yang
merasa lebih baik dan berat badan yangbertambah merupakan tanda pembaikan
semua stage penanganan abses paru.Infiltrasi radiologis mungkin menetap selama
3 bulan atau lebih dan tidakmemberikan peningkatan untuk memperhatian
perkembangan pasien.Komplikasi dan sequelae jangka panjang kini tampak
kurang seringterjadi dibandingkan era sebelum antibiotik tetapi abses paru masih
berhubungandengan angka mortalitas dan morbiditas yang tinggi.Komplikasi
yang palingsering terjadi adalah empiema.(9)Pasien mungkin tidak akan datang
pada dokterhingga hal ini terjadi. Seiring membesarnya abses, ia mungkin akan
merapuhkanpembuluh darah dan memunculkan hemoptisis.(19)Jarangnya, tetapi
khusus pada pasien dengan penurunan daya tahan tubuh, nekrosis mungkin
menyebar sangat cepat melalui paru.
Abses yang telah didrainase dan disterilisasi dengan menggunakan
antibiotik mungkin membentuk kavitas yang persisten. Lini awal melaluigranulasi
jaringan, hal ini digantikan oleh jaringan fibrosa dan diikuti epitelskuamos atau
siliata.Beberapa kavitas bisa direinfeksi kembali atau dikolonisasiketika abses asli
yang dibentuk berhubungan dengan bronkus, lebih seringdaripada saluran napas
kecil, destruksi dinding bronkus diikuti epitelialisasimemunculkan bronkiektasis
sakuler lokal.Penyebaran infeksi ke dalam vena parubisa menyebabkan abses
serembral emboli, tetapi komplikasi ini sangat jarangterjadi.

II.12. Prognosis
Abses paru masih merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas yang
signifikan.Angka kematian Abses paru berkisar antara 15-20% merupakan
penurunan bila dibandingkan dengan era pre antibiotika yang berkisar antara
3040%.
Pada penderita dengan beberapa faktor predisposisi mempunyai prognosa
yang lebih jelek dibandingkan dengan penderita dengan satu faktor predisposisi.
Sekitar 80-90% penderita sembuh dengan pengobatan anti biotik.(20)
Beberapa faktor yang memperbesar angka mortalitas pada Abses paru sebagai
berikut(21):
a. Anemia dan Hipo Albuminemia
b. Abses yang besar (f > 5-6 cm) (hisberg juga)
c. Lesi obstruksi
d. Bakteri aerob, seperti :S.aureus, K.Pneumoniae and P.aeruginosa(21)
e. Immune Compromised
f. Usia tua
g. Gangguan intelegensia
h. Perawatan yang terlambat
BAB III
KESIMPULAN
Abses paru adalah infeksi dekstruktif berupa lesi nekrotik pada
jaringanparu yang terlokalisir sehingga membentuk kavitas yang berisi nanah
(pus) dalam parenkim paru pada satu lobus atau lebih.Kuman atau bakteri
penyebab terjadinya abses paru bervariasi.46% abses paru disebabkan hanya oleh
bakteri anaerob, sedangkan 43% campuran bakteri anaerob dan aerob.(2)
Untuk memastikan diagnosa dari abses paru maka dilakukan
serangkaianpemeriksaan dari anamnesa, pemeriksaan fisik hingga pemeriksaan
penunjangberupa pemeriksaan radiologi. Pemeriksaan radiologi yang dapat
dilakukan antara lain Foto Polos, Tomografi Komputer, Ultrasonografi (USG) dan
Magnetik Resonance Imaging (MRI).(3)
Dari pemeriksaan Foto dada PA dan lateral pada pasien akan dijumpai
kavitas dengan dinding tebal dengan tanda-tanda konsolidasi disekelilingnya,
lebih sering dijumpai pada paru kanan dibandingkan paru kiri. Bila terdapat
hubungan dengan bronkus maka didalam kavitas terdapat Air Fluid Level.11Tetapi
bila tidak ada hubungan maka hanya dijumpai tanda-tanda konsolidasi(opasitas).
Pada pemeriksaan Tomografi Komputer akan dijumpai kavitas
terlihatbulat dengan dinding tebal, tidak teratur dengan air-fluid level dan terletak
di daerah jaringan paru yang rusak. Tampak bronkus dan pembuluh darah paru
berakhir secara mendadak pada dinding abses, tidak tertekan atau berpindah
letak.Abses paru juga dapat membentuk sudut lancip dengan dinding dada.(11),(12)
Pemeriksaan USG jarang dianjurkan pada pasien dengan abses
paru.Namun, USG juga dapat mendeteksi abses paru.tampak lesi hipoechic bulat
dengan batas luar. Apabila terdapat kavitas, didapati adanya tambahan tanda
hiperechoic yang dihasilkan oleh gas-tissue interface.(13)
Sedangkan pemeriksaan MRI ternyata akurat untuk mendiagnosa
danmenentukan lokasi penyakit paru. Pada pasien dengan pneumonia dan abses
paru, peradangan akut berhubungan dengan peningkatan intensitas sinyal pada T2
bila dibandingkan dengan T1 weighted image.(14)
Pasien dengan beberapa faktor predisposisi abses paru memiliki prognosis
yang jelek dibandingkan yang memiliki satu faktor predisposisi. Sedangkan
pasien yang mendapatkan pengobatan antibiotik secara adekuat memiliki
prognosis yang lebih baik.(20)
Daftar Pustaka
1. Alsagaff,H., dkk. 2006. Abses Paru dalam Dasar-dasar Ilmu PenyakitParu:
Airlangga University Press, Surabaya. Halaman 136-140.
2. Rasyid, A., 2006. Abses Paru. Dalam :Sudoyo, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam.Pusat Penerbitan Departemen IPD FK-UI, Jakarta.Halaman 1052-1055.
3. Kamangar, dkk. 2009. Lung Abscess. Emedicine. Available from
http://emedicine.medscape.com/article/299425-overview [Accessed on 19
Februari 2011]
4. Kharkar RA, Ayyar VB. 2011. Aetiological aspects of lung abscess. J Postgrad
Med [serial online] 1981 [cited 2011 Mar 6];27:163. Available from:
http://www.jpgmonline.com/text.asp?1981/27/3/163/5637 cited on 6 March 2011
in Journal of Postgraduated Medicine. Available from
http://www.jpgmonline.com/article.asp?issn=0022-
3859;year=1981;volume=27;issue=3;spage=163;epage=6;aulast=Kharkar#
cited. {Accessed on 5 Maret 2011)
5. Asher, MI, 1990. Lung Abscess in Infections of Respicatory Tract; Canada.
429 – 434 dalam Asuhan Keperawatan Abses Paru. Available
fromhttp://wwwdagul88.blogspot.com/2011/02/askep-abses-paru.html[Accessed
on 20 Februari 2011]
6. Finegold, S.M.,dkk. 1998. Empyema and Lung Abscess ;in Fishman’s
pulmonary Diseases and disorders 3rded ; Philadelphia. Halaman : 2021
– 2032 dalam Asuhan Keperawatan Abses Paru. Available from
http://wwwdagul88.blogspot.com/2011/02/askep-abses-paru.html
[Accessed on 20 Februari 2011]
7. Barlett, J.G., 1992. Lung Abscess in : Cecil text book of Medicine 19 ed
;Phildelphia. Halaman : 413 – 415 dalam Asuhan Keperawatan Abses
Paru.Available from http://wwwdagul88.blogspot.com/2011/02/askep-
absesparu.html
[Accessed on 20 Februari 2011]
8. Ricaurte, K.K., dkk. 1999. Allergic broucho pulumonary aspergillosis with
multiple Streptococceus pneumonie. Lung Abscess : an unussualinsitial case
presentation. Journal of Allergy and Clinical Imonoligy 104.238 –240. 9.
Maitra,A., Kumar, V., 2007. Abses Paru. Dalam :Robbins, Buku Ajar Patologi
Edisi 7. EGC, Jakarta. Halaman 556.
10. Garry,dkk. 1993. Lung Abscess in a Lange Clinical Manual : Internal
Medicina : Diagnosis and Therapy 3rd ; Oklahoma. 119 – 120.
11. Juhl, John., dkk. Essentials of Radiologic Imaging.Mexico. Halaman 755-757.
12. Rasad, S., 2005. Radiologi Diagnostik Edisi Kedua: Fakultas Kedokteran UI,
Jakarta. Halaman 101-103.
13. Bouhemad B, Zhang M, Lu Q, Rouby JJ. 2007. Clinical review: Bedside lung
ultrasound in critical care practice. Crit Care. 11(1). Halaman 205 th
14. Cohen, M.D., Eigen, H., 2005. Magnetic resonance imaging of inflammatory
lung disorders: preliminary studies in children. Pediatr Pulmonol.Jul-
Aug;2(4):211-7
15. Stark, D.D. Differentiating lung abscess and empyema: radiography and
computed tomography. American Journal of Roentgenology, Vol 141, Issue 1.
Halaman 163-167. Available from
http://www.ajronline.org/cgi/reprint/141/1/163.pdf [Accessed on 5 Maret 2011]
16. Hammond JMJ et al ; The Ethiology and Anti Microbial Susceptibility
Patterns of Microorganism in acute Commuity – Acquired Lung Abscess ; Chest ;
108 ; 4 ; 1995 ; 937 – 41.
17. Bartelett, 2011, Treatment of anaerobic pulmonary infections, Division of
Infectious Disease.The Johns Hopkins Hospital, USA. Available from
http://jac.oxfordjournals.org/content/24/6/836.full.pdf [accessed on 21 Februari
2011]
18. Haight,dkk. Surgical Treatmenr of Peripheral Lung Abscess.Yale Journal of
Biology and Medicine.235-240. Available from
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2606313/pdf/yjbm005770030.pdf
[accessed on 21 Februari 2011]
19. Werber, Y.B., 2001. Massive hemoptysis from a lung abscess due toretained
gallstones.Ann Thorac Surg 72. 278-279. Available from
http://ats.ctsnetjournals.org/cgi/content/full/72/1/278 [accessed on 21Februali
2011]
20. Wali, S.O., dkk. 2002. Percutaneous drainage of pyogenic lung abscess. Scand
Jurnal Infection Disease 34 (9): 673-676. Available from :
http://www.kau.edu.sa/Files/140/Researches/50029_20495.pdf [accessed 21
Februari 2011]
21. Hishberg, B.,dkk 1999 Factors Predicting Mortality of Patients with Lung
Abscess. Chest. Halaman 746-752. Available from
http://chestjournal.chestpubs.org/content/115/3/746.abstract [accessed on 21
Februari 2011)

Anda mungkin juga menyukai