Anda di halaman 1dari 82

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kasua adaik merupakan sebuah atribut adat yang berada di rumah-

rumah penduduk di Nagari Batipuah, Kabupaten Tanah Datar. Kasua

adaik bukan seperti kasur biasanya, melainkan berbentuk peti bertingkat

yang dirancang khusus. Kasua adaik memiliki tiga tingkatan yang masing-

masing tingkatannya memiliki ragam dan warna yang berbeda, warna

tersebut meliputi warna hitam, merah maroon, hijau, dan hitam. Untuk

setiap warnanya ada yang berwarna polos dan ada yang diberi motif bunga

dan beberapa motif lainnya. Sedangkan untuk tingkatan kasua adaik dapat

terlihat pada kasua panjang, banta, dan kasua bunta. Kasua panjang1

terdapat pada tingkatan pertama, untuk panghulu andiko kasua panjang ini

berjumlah 3 lapis, sedangkan untuk panghulu pucuak berjumlah 4 lapis.

Tingkatan kedua terdiri dari banta2, banta terdiri dari beberapa mato

banta, untuk panghulu andiko mato banta berjumlah 9 buah, sedangkan

untuk panghulu pucuak berjumlah 12 buah. Di tingkatan terakhir ada

kasua bunta3, untuk panghulu andiko kasua bunta berjumlah 6 lapis,

sedangkan untuk panghulu pucuak berjumlah 7 lapis. Jumlah tingkatan

1
Kasua panjang ini merupakan bagian pertama dari kasua adat yang terdiri dari 3 tingkatan
(panghulu andiko) dan 4 tingkatan (panghulu pucuak) dengan motif dan warna yang berbeda
2
Mato banta merupakan bagian kedua dari kasua adat, terdiri dari 9 buah (panghulu andiko) dan
12 buah (panghulu pucuak) dengan ragam yang berbeda disetiap barisnya, setiap baris terdiri dari
3 buah yang memiliki ragam yang sama,
3
Kasua bunta merupakan bagian terakhir dari kasua adat, yang terdiri dari 6 tingkatan (panghulu
andiko) dan 7 tingkatan (panghulu pucuak) dengan motif dan warna yang berbeda

1
dan jumlah lapisan Kasua adaik sudah diatur oleh KAN di Nagari

Batipuah.

Penggunaan kasua adaik ini dipengaruhi oleh struktur sosial dalam

masyarakat Batipuah. Struktur sosial ini terlihat pada sistem matrilineal

dan sistem kelarasan yang dianut oleh masyarakat Batipuah. Pada

dasarnya masyarakat Batipuah menganut sistem Kelarasan Koto Piliang.

Oleh karena itu kepemimpinan penghulu di Nagari Batipuah berjenjang

jenjang, seperti falsafah adat yang berbunyi “bajanjang naiak, batanggo

turun”.

Kasua adaik wajib dimiliki oleh setiap kemenakan penghulu.

Walaupun penghulu memiliki beberapa kemenakan, setiap kemenakan

perempuan diharuskan memiliki kasua adaik dirumahnya. Jika kemenakan

penghulu seorang laki-laki maka tidak diharuskan memiliki kasua adaik.

Karena pada dasarnya seorang kemenakan laki-laki akan menjadi

sumando di dalam keluarga istrinya.

Untuk aturan tingkat kasua adaik tetap diatur oleh KAN. Aturan

untuk tingkatan kasua adaik tidak boleh dilebihkan maupun dikurangkan.

Meskipun kemenakan penghulu memiliki kekayaan yang berlebih, mereka

harus tetap mematuhi aturan yang telah dibuat oleh KAN setempat.

Tingkatan tersebut harus sesuai dengan kedudukan penghulu mereka

didalam kaum. Aturan tersebut juga diberlakukan untuk semua suku yang

ada di Nagari Batipuah.

2
Kasua adaik dipakai pada upacara perkawinan dan kematian di

Batipuah. Pertama, saat upacara perkawinan kemenakan penghulu Kasua

adaik harus selalu ada dan tidak boleh di tutup dengan pelaminan 4. Kedua,

saat upacara kematian penghulu. Untuk penyelenggaraan jenazah hampir

sama dengan orang lain pada umumnya yaitu memandikan, mengafani,

menyolatkan, dan menguburkan. Selain pelaksanaan secara syari’at islam,

upacara kematian di Nagari Batipuah juga diiringi secara adat. Secara adat

rangkaian upacara kematian terdiri dari beberapa proses yaitu mayik

tabujua ditangah rumah, panguburan dan upacara setelah panguburan.

Pada saat mayik tabujua ditangah rumah, untuk orang biasa yang

meninggal akan dibujurkan diatas kasur kapas biasa, namun jika yang

meninggal merupakan penghulu maka jenazah penghulu akan di

semayamkan diatas kasua adaik.

Dari rangkaian upacara kematian penghulu di Nagari Batipuah,

peneliti tertarik untuk meneliti bagian-bagian yang terdapat pada Kasua

adaik dan makna yang terdapat dalam penggunaan Kasua adaik pada saat

upacara perkawinan dan upacara kematian penghulu. Kasua adaik hanya

dipakai jika penghulu yang meninggal dan tidak dipakai jika yang

meninggal bukan penghulu. Dalam kajian makna simbolik, penelitian yang

sama mengkaji makna yaitu penelitian yang dilakukan oleh Reni Oktavia

dan Tuti Anggraini.

4
Pelaminan adalah tempat pengantin dipersandingkan pada waktu upacara perkawinan. Anwar
Ibrahim, 1984, Arti Lambang dan Fungsi Tata Rias Pengantin dalam Menanamkan Nilai-nilai
Budaya Provinsi Sumatera Barat, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, hal.151

3
Penelitian yang relevan dengan penelitian ini dilakukan oleh Reni

Oktavia5. Pada penelitian ini, Reni Oktavia mengkaji makna simbolik

pemakaian kain songket bagi masyarakat Pandai Sikek. Adapun

pertanyaan penelitiannya adalah: Apa makna simbolik pemakaian kain

songket bagi masyarakat Pandai Sikek? Adapun hasil dari penelitiannya

sebagai berikut; pertama, dalam proses perkawinan: (1) acara batando

merupakan simbol identitas budaya pandai sikek (cultural identity), (2)

acara bali pisang memiliki simbolik untuk menunjukan status sosial

keluarga suami, dan (3) pesta perkawinan (baralek) mempunyai dua

simbol yaitu membedakan perempuan sudah menikah dengan belum

menikah dan menunjukkan status sosial ekonomi seseorang dalam

masyarakat.

Kedua, dalam acara batagak rumah menunjukan bahwa rumah yang

didirikan diperuntukan bagi kaum perempuan dan setiap yang ada di

rumah tersebut nantinya harus pandai menenun songket. Ketiga, dalam

acara batagak pangulu menunjukan bahwa pangulu memiliki kedudukan

paling tinggi dalam adat dan mempunyai tanggung jawab besar terhadap

anak kemenakan.

Keempat, makna simbolik songket dalam acara penguburan jenazah

kepala adat/ penghulu menunjukan bahwa penghulu memiliki status sosial

yang tinggi dalam suku serta sebagai simbol ungkapan penghormatan

terakhir bagi kepala adat. Kelima, makna songket dalam acara wisuda
5
Reni Oktavia. (2005). “Makna Simbolik Pemakaian Kain Songket Bagi Masyarakat Nagari
Pandai Sikek”. Skripsi: Jurusan Sosiologi. Fakultas Ilmu Sosial. Universitas Negeri Padang.

4
yaitu suatu kebanggaan bagi mahasiswa Pandai Sikek bisa menggunakan

songket buatannya sendiri dan sebagai sarana promosi songket Pandai

Sikek kepada masyarakat umum.

Penelitian di atas sama-sama mengkaji makna simbolik,

perbedaannya terletak pada objek kajiannya. Reni Oktavia mengkaji

makna simbolik dari pemakaian kain songket, sementara peneliti mengkaji

tentang makna simbolik Kasua Adat.

Kedua yaitu penelitian yang dilakukan oleh Tuti Anggraini 6 yang

membahas tentang makna simbolik dari atribut dan aktivitas ketika mayat

terbujur diatas rumah pada upacara kematian di Nagari Salayo Kecamatan

Kubung Kabupaten Solok. Penelitian ini mengkaji tentang penggunaan

suntiang bungo sanggua dan saluak pada upacara kematian di Nagari

Salayo. Hasil penelitiannya mengungkapkan makna simbol dari

penggunaan suntiang bungo sanggua dan saluak pada upacara kematian

memiliki makna sebagai penghormatan bagi anggota keluarga yang

meninggal. Selain itu ada juga terdapat simbol lain berupa pakaian rumah

yang terdiri dari kain tabie, kain langik-langik, banta, marawa, payuang

panji yang memiliki makna bahwa penyelenggara kematian tando urang

baradaik atau tanda orang beradat. Selain itu aktivitas induak bako yang

membawa kain batuduang juga memiliki makna bahwa hubungan

kekeluargaan itu tidak akan pernah putus, meskipun anggota keluarganya

6
Tuti Anggraini. (2013). “Suntiang Bungo Sanggua dan Saluak dalam Upacara Kematian di
Nagari Salayo Kecamatan Kubung Kabupaten Solok”. Skripsi: Jurusan Sosiologi. Fakultas Ilmu
Sosial. Universitas Negeri Padang.

5
telah meninggal. Dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa makna

yang dipahami oleh masyarakat Salayo yaitu adanya stratifikasi sosial,

memperkuat solidaritas kekeluargaan, dan menunjukkan identitas baik

mayat, pelayat maupun identitas kebudayaan masyarakat Salayo.

Penelitian di atas sama-sama mengkaji makna simbolik,

perbedaannya terletak pada objek kajiannya. Tuti mengkaji makna

simbolik dari pemakaian suntiang bungo sanggua dan saluak pada upacara

kematian, sementara peneliti mengkaji tentang makna simbolik Kasua

adaik secara keseluruhan, baik dalam upacara kematian maupun upacara

pernikahan.

Penelitian simbolik yang peneliti bahas yaitu makna Kasua adaik

serta hal-hal lain yang berkaitan dengan kasua adaik, mulai dari bentuk,

fungsi, simbol atau lambang-lambang yang terdapat pada kasua adat, serta

aturan dan bertahannya kasua adaik di era modern saat ini.

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Fokus kajian dalam penelitian ini adalah keberadaan kasua adaik

yang menjadi salah satu aspek budaya masyarakat Batipuah. Untuk aturan

membuat kasua adaik tidak boleh sembarangan, karena sudah diatur oleh

KAN setempat. Warga masyarakat yang melanggar aturan akan dikenakan

sanksi, baik sanksi materi maupun non materi. Kasua adaik digunakan saat

upacara kematian penghulu di Nagari Batipuah dan tidak boleh ditutup

pada saat upacara perkawinan. Penggunaan kasua adaik pada upacara

6
perkawinan tidak terlihat secara fisik, akan tetapi jika kasua adaik tertutup

oleh pelaminan maka Niniak Mamak yang diundang tidak akan naik ke

rumah. Sementara untuk upacara kematian, penggunaan kasua adaik

hanya untuk penghulu yang meninggal. Apabila yang meninggal warga

biasa, jenazahnya tidak diperkenankan berbujur di atas kasua adaik.

Permasalahan penelitiannya yaitu pada zaman sekarang nuansa egaliterian

sudah masuk ke tengah-tengah masyarakat, tapi dalam konteks seperti itu

masyarakat Batipuah tetap mempertahan kasua adaik, baik dari yang

kalangan bawah maupun kalangan atas. Berdasarkan pokok persoalan di

atas maka yang menjadi pertanyaan penelitian: Apa makna kasua adaik

pada masyarakat Nagari Batipuah?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan masalah yang telah peneliti jabarkan di atas maka

tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini yaitu: “untuk

mendeskripsikan dan menjelaskan makna dari kasua adaik pada Nagari

Batipuah”.

D. Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan di atas, maka manfaat penelitian ini secara

teoritis yaitu dapat menghasilkan karya tulis ilmiah tentang Kasua adaik di

Nagari Batipuah, Kecamatan Batipuah, Kabupaten Tanah Datar. Selain itu,

penelitian ini dapat dijadikan landasan bagi guru antropologi dalam

mengajar di sekolah. Manfaat praktis dari penelitian ini adalah untuk

7
bahan masukan bagi KAN (Kerapatan Adat Nagari) dalam menambah

dokumen mengenai adat nagari Batipuah.

E. Kerangka Teoritis

Untuk mengkaji mengenai makna simbolik Kasua adaik pada

masyarakat Batipuah peneliti menganalisis dengan teori interpretative

yang dikemukakan oleh Clifford Geertz. Geertz memulai teori

interpretative dengan pemahamannya mengenai konsep kebudayaan.

Kebudayaan dilihat sebagai sistem yang saling terkait sebagai tanda-tanda

yang dapat ditafsirkan, dengan kata lain kebudayaan merupakan sebuah

konteks, dan sesuatu di dalamnya dapat dijelaskan secara mendalam7.

Geertz mengemukakan suatu defenisi kebudayaan sebagai: (1)

suatu sistem keteraturan dari makna dan simbol-simbol, yang dengan

makna dan simbol tersebut individu-individu mendefenisikan dunia

mereka, mengekspresikan perasaan-perasaan mereka, dan membuat

penilaian mereka; (2) suatu pola makna-makna yang ditransmisikan secara

historis yang terkandung dalam bentuk-bentuk simbolik, yang melalui

bentuk-bentuk simbolik tersebut manusia berkomunikasi, memantapkan

dan mengembangkan pengetahuan mereka mengenai dan bersikap dalam

kehidupan; (3) suatu peralatan simbolik bagi mengontrol perilaku, sumber-

sumber ekstrasomatik dari informasi; dan (4) oleh karena kebudayaan

adalah suatu sistem simbol, maka proses kebudayaan harus dipahami,

diterjemahkan, dan diinterpretasi8. Kebudayaan sebagai simbol, dan

7
Clifford, Geertz. 1992. Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta. Kanisius. Hal: 17
8
Ahmad, F Saifuddin. 2005. Antropologi Kontemporer. Jakarta. Kencana. Hal: 288

8
simbol adalah bersifat publik, memberikan alternatif yang penting bagi

memahami kebudayaan dan masyarakat melalui tindakan sosial, praktik

sosial, dan makna9.

Dari defenisi di atas dapat dipahami bahwa setiap aktivitas-

aktivitas maupun tradisi-tradisi dalam masyarakat memiliki berbagai

maksud dan makna. Keberadaan kasua adaik di Batipuah memiliki makna

tersendiri. Penggunaannya berawal dari penafsiran masyarakat itu sendiri,

serta tercermin pada aktivitas yang berhubungan dengan tradisi di Nagari

tersebut.

Geertz mengemukakan pendekatan interpretasi menekankan arti

penting partikularitas berbagai kebudayaan, dan berpendirian bahwa

sasaran sentral dari kajian sosial adalah interpretasi dari praktik-praktik

manusia yang bermakna. Teori interpretatif dihubungkan dengan konsep

simbol, sehingga Geertz mengembangkan teori interpretivisme simbolik

memandang manusia sebagai pembawa dan produk, sebagai subjek

sekaligus objek, dari suatu sistem tanda dan simbol yang berlaku sebagai

sarana komunikasi untuk menyampaikan pengetahuan dan pesan-pesan.

Simbol memberikan landasan bagi tindakan dan prilaku selain gagasan

dan nilai-nilai10.

Bagi masyarakat Batipuah penggunaan Kasua adaik merupakan

wujud penghormatan kepada penghulu yang meninggal. Setelah itu kasua

adaik mencerminkan kedudukan penghulu di Batipuah.

9
Ibid.,hal. 319.
10
Ibid. ,hal. 291.

9
F. Penjelasan Konsep

1. Simbol

Simbol adalah objek, kejadian, bunyi bicara, atau bentuk-bentuk

tertulis yang diberi makna oleh manusia. Bentuk primer dari

simbolisasi oleh manusia adalah melalui bahasa. Tetapi, manusia juga

berkomunikasi dengan menggunakan tanda dan simbol dalam lukisan,

tarian, musik, arsitektur, mimik wajah, gerak gerik, postur tubuh,

perhiasan, pakaian, ritus, agama, kekerabatan, nasionalitas, tata ruang,

pemilikan barang, dan banyak lagi lainnya. Manusia dapat

memberikan makna kepada setiap kejadian, tindakan, atau objek yang

berkaitan dengan pikiran, gagasan, dan emosi11.

Ada empat pendekatan terakhir terhadap masalah kebudayaan.

Pendekatan pertama yang memandang kebudayaan sebagai sistem

adaptif dari keyakinan dan perilaku yang dipelajari yang fungsi

primernya adalah menyesuaikan masyarakat manusia dengan

lingkungannya. Kedua, adalah memandang kebudayaan sebagai sistem

kognitif yang tersusun dari apapun yang diketahui dalam berpikir

menurut cara tertentu, yang dapat diterima bagi warga kebudayaan

yang diteliti. Ketiga, adalah yang memandang kebudayaan sebagai

sistem struktur dari simbol-simbol yang dimiliki bersama yang

memiliki analogi dengan struktur pemikiran manusia. Keempat, yang

memandang kebudayaan sebagai sistem simbol yang terdiri dari

simbol-simbol dan makna-makna yang dimiliki bersama, yang dapat


11
Ahmad, F Saifuddin. 2005. Antropologi Kontemporer. Jakarta: Kencana. Hal: 290

10
diidentifikasi, dan bersifat publik12. Adapun simbol yang dimaksud

dalam penelitian ini simbol yang terdapat pada kasua adaik di Nagari

Batipuah.

2. Kasua adaik

Kasua adaik merupakan salah satu atribut yang ada di setiap

rumah penduduk di Batipuah. Secara fisik, kasua adaik tidak

berbentuk kasur seperti pada umumnya, akan tetapi kasua adaik

berbentuk sebuah persegi panjang bertingkat yang di desain secara

khusus. kasua adaik ini di bungkus dengan kain beludru. Warna kain

beludrunya juga beragam, ada yang berwarna hitam, merah maroon,

selain itu juga ada yang bermotif. Motif yang ada pada kain beludru

terbuat dari benang yang berwarna keemasan. Kasua adaik di pakai

pada upacara-upacara adat di Batipuah. Upacara tersebut meliputi

Batagak Panghulu, Kematian Panghulu, dan Baralek. Kasua adaik ini

biasanya di buatkan oleh orang tertentu, harga untuk pembuatan satu

buah Kasua adaik sekitar 1 Juta-1,5 Juta Rupiah. Untuk aturan

tingkatannya ditentukan oleh KAN Nagari Batipuah.

3. Penghulu

Dalam masyarakat adat Minangkabau penghulu merupakan

sebutan kepada ninik mamak pemangku adat yang bergelar datuk.

Sebagai pimpinan penghulu bertanggung jawab dan berkewajiban

memelihara anggota kaum, suku, dan nagarinya. Kedudukan penghulu


12
Robert M Keesing (1974: 74-79) dalam Ibid. ,hal. 83-84.

11
tidak sama dengan kedudukan dan fungsi seorang feodal. Penghulu

tidak dipusakai oleh anaknya seperti dalam masyarakat feodal,

melainkan oleh kemenakannya yang bertali darah13. Namun ada

beberapa alasan duduknya seseorang menjadi seorang penghulu:

a. Gadangnya memang karena turun-temurun sebagai mana

mamang adat, “ anak Rajo turun timurun, Anak Putih sunduik

basunduik”. Artinya seseorang itu punya gelar pusako sejah

dahulu dan telah di warisi oleh kaumnya secara turun-temurun

b. Gadang Balega, artinya sako atau gelar itu dipalegakan artinya

dipakai secara berganti-gantian diantara orang yang berhak atas

Sako itu. Namun hanya berlaku dalam kaum antara paruik yang

sama dulunya.

c. Gadang Basilieh, hal ini berlaku bila belum ada kamanakan

laki-laki yang bertali darah untuk menjujung gala Panghulu,

sedangkan situasi dan kondisi menuntut adanya penghulu

sebagai pemimpin. Maka disiliehkan atau boleh dipakaikan

Sako/ gelar Panghulu itu kepada yang bertali adat, karena yang

bertali adat ini didalam adat dinyatakan sebagai terdekat ke-2

setelah yang bertali darah.14

Gelar Datuak termasuk kelompok gelar pusaka dari setiap suku

yang diberikan secara turun-temurun oleh suku bersangkutan dari

mamak kepada kemenakan sesuai rumusan adat “Karambie tumbuah


13
Ibrahim, Dt. Sanggoeno Diradjo. 2009. Tambo Alam Minangkabau. Bukittinggi: Kristal
Multimedia. Hal: 171
14
S.T.S. Dt. Rajo Indo. 2010. Seluk Beluk Hukum Adat Minangkabau.

12
dimatonyo, batuang tumbuah dibukunyo” atau sesuai rumusan adat

“gadang balega”, bila tidak ada kemenakan dibawah dagu dalam suku

itu. Bila tidak ada kemenakan yang pantas atau bila tidak ada

kesepakatan dalam suku untuk mengangkat seorang Penghulu suku

yang membawa gelar itu, maka gelar pusako itu dilipek15 sementara,

sampai ada kesepakatan atau sampai ada kemenakan yang pantas

memikul gelar pusako tersebut16.

Jabatan penghulu itu diperoleh oleh seseorang karena diangkat

oleh anggota kaumnya sendiri. Tingginya dianjung, besarnya

dipelihara, dengan pengertian sebelum dia diangkat dan memegang

jabatan penghulu dia sudah besar dan tinggi juga dalam kaumnya17.

Penghulu yang ada di Batipuah yaitu panghulu pucuak, panghulu

andiko, panungkek, dan tuo kampuang. Penghulu yang dimaksud

dalam penelitian ini yaitu panghulu pucuak dan andiko yang ada di

Batipuah.

G. Metode Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di Nagari Batipuah, Kecamatan

Batipuah, Kabupaten Tanah Datar. Lokasi ini dipilih karena

Batipuah merupakan satu-satunya Nagari yang memiliki Kasua

15
Dilipek atau ditangguhkan
16
Amir MS. 2007. Masyarakat Adat Minangkabau. Jakarta: Citra Harta Prima. Hal: 80
17
Ibid,. 172

13
adaik. Oleh karena itu, peneliti memilih Nagari Batipuah sebagai

lokasi penelitian.

2. Pendekatan dan Tipe Penelitian

Dalam penelitian ini peneliti melakukan pendekatan kualitatif.

Pendekatan kualitatif merupakan penelitian yang menghasilkan data

deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan

fenomena yang diamati18. Peneliti memilih pendekatan ini karena

pendekatan ini mampu mendeskripsikan makna kasua adaik yang

ada di Nagari Batipuah. Melalui penelitian kualitatif didapatkan

informasi yang lebih mendalam berupa ungkapan dan penuturan

langsung dari informan yang diteliti.

Dilihat dari tipenya penelitian ini termasuk penelitian

etnografi. Etnografi merupakan pekerjaan mendeskripsikan suatu

kebudayaan dari sudut pandang penduduk asli. Menurut pandangan

Malinowski dan Redcliffe-Brown, tujuan dari sebuah penelitian

etnografi adalah untuk mendeskripsikan dan membangun struktur

sosial dan budaya suatu masyarakat19

3. Teknik Pemilihan Informan

Informan dalam penelitian ini diambil dengan menggunakan

teknik sampling, yaitu snowball sampling. Snowball sampling yaitu

teknik pengambilan informan yang awalnya jumlahnya sedikit,

18
Bagong Suyanto dan Sutinah. 2005. Metode Penelitian Sosial Berbagai Alternatif Pendekatan.
Jakarta: Kencana Hml 66
19
James P Spradley. 1997. Metode Etnografi. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, hlm4

14
lama-lama menjadi besar. Artinya jumlah informan akan semakin

besar, layaknya bola salju yang menggelinding, lama-lama menjadi

besar.

Pada teknik sampel bola salju (snowball sampling)

keberadaan informan kunci adalah sebuah keharusan. Berdasarkan

informasi dari informan kunci tersebut, peneliti akan mendapatkan

informan lain20. Dalam penelitian ini peneliti memilih Bapak Sy.

Dt. Gadang Majolelo yang berperan sebagai Dewan Pertimbangan

Adat KAN sebagai informan kunci, karena menurut peneliti beliau

lebih mengetahui siapa saja yang bisa peneliti jadikan informan

terkait makna kasua adaik pada masyarakat Nagari Batipuah.

Tidak hanya menjadi informan kunci, dari beliau peneliti dapat

menggali informasi mengenai kasua adaik.

4. Teknik Pengumpulan Data

a. Observasi Partisipasif

Pengamatan dalam penelitian ini dilakukan dengan metode

observasi partisipasi pasif atau passive participation, Karena

peneliti tidak ikut terlibat dalam pelaksanaan upacara di Nagari

Batipuah. Dalam kegiatan observasi ini peneliti mengunjungi

rumah yang didalamnya terdapat kasua adaik dan peneliti mulai


20
Nanang, Martono. 2016. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Rajawali Pers, hlm118

15
bertanya sedikit-sedikit mengenai kasua adaik. Pada saat observasi

peneliti melihat pada rumah- rumah penduduk terdapat sebuah peti

persegi panjang bertingkat yang dibungkus dengan kain beludru

dan kain tersebut dihiasi dengan beberapa warna, motif dan pernak

pernik. Peneliti juga mengamati tingkatan-tingkatan yang terdapat

pada kasua adaik. Menurut peneliti kasua adaik memiliki tingkatan

yang berbeda-beda satu sama lain. Setelah itu peneliti

mendokumentasikan foto kasua adaik dan bercengkrama dengan

orang-orang yang memahami topik yang akan diteliti. Peneliti juga

merekam percakapan tersebut dengan alat perekam. Setelah itu

peneliti akan mentranskrip rekaman tersebut dalam bentuk sebuah

catatan lapangan.

b. Wawancara Mendalam

Selain observasi, proses pengumpulan data juga dilakukan

dengan teknik wawancara. Wawancara yang dilakukan yaitu

wawancara mendalam (in-depth interview)21. Pelaksanaan

wawancara tidak hanya sekali atau dua kali, melainkan berulang-

ulang dengan intensitas yang tinggi. Teknik ini dimaksud untuk

menggali informasi mendalam tentang makna simbolik Kasua

adaik pada upacara-upacara tradisional di Nagari Batipuah.

Ketika melakukan wawancara peneliti mengajukan pertanyaan

berdasarkan pedoman wawancara. Data yang diperoleh dari hasil

21
Afrizal. 2014. “Metode Penelitian Kualitatif”. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Hal: 135

16
wawancara akan ditulis pada field note yaitu catatan harian

peneliti yang selalu dibawa pada saat wawancara.

Wawancara dilakukan dengan mengunjungi rumah

informan yang telah ditentukan. Disini peneliti akan melakukan

wawancara terbuka, dimana narasumber mengetahui bahwa

mereka sedang diwawancara dan mengetahui maksud dan tujuan

wawancara. Dalam hal ini peneliti agak kesulitan menemukan

informan yang akan diwawancarai karena tidak banyak yang

mengetahui secara detail informasi mengenai kasua adaik ini.

Namun setelah mendapatkan informan yang akan di wawancarai,

peneliti mudah mendapatkan data yang peneliti butuhkan, para

informan juga terbuka memberikan informasi kepada peneliti,

sehingga peneliti tidak mengalami kendala berarti pada saat

mencari informasi mengenai kasua adaik. Untuk mendapatkan

informasi tersebut, peneliti tidak mengalami kesulitan karena

semua informan yang diwawancarai bersedia memberikan

informasi.

Saat peneliti mendatangi tokoh adat dan masyarakat yang

ada di Nagari Batipuah, selain memberikan informasi yang sesuai

dengan pertanyaan penelitian mereka juga memberi tahu siapa

yang lebih tepat untuk diwawancarai selanjutnya. Mereka

memberikan informasi dan pengetahuan yang mereka miliki

mengenai kasua adaik yang ada di Nagari Batipuah, hal ini

17
disebabkan karena mereka sangat senang ada yang melakukan

penelitian sehubungan dengan adat di Nagari Batipuah. Karena

pada saat sekarang ini sangat sulit menemukan kemenakan yang

benar-benar ingin mengetahui seluk beluk adat istiadat yang ada

di Nagari Batipuah.

c. Dokumentasi

Pada dokumentasi ini, penulis hanya menemukan satu

literatur mengenai topik yang akan penulis teliti, dan peneliti

tidak menemukan skripsi ataupun artikel mengenai kasua adaik

ini. Akan tetapi agar para pembaca dapat mengetahui gambaran

tentang kasua adaik, peneliti akan melampirkan beberapa foto

mengenai kasua adaik pada lampiran skripsi ini. Untuk

melengkapi skripsi ini, peneliti menggunakan dokumen yang

diberikan oleh KAN dan petugas kantor Wali Nagari yang

berisikan tentang monografi dan demografi Nagari.

H. Triangulasi Data

Agar data yang diperoleh lebih valid, maka penulis melakukan

teknik triangulasi data. Triangulasi dilakukan dengan menguji apakah

proses dan metode yang dilakukan sudah berjalan dengan baik, yaitu (1)

penulis mengumpulkan informasi dari masing-masing informan melalui

wawancara dan observasi, dan penulis akan memastikan apakah data yang

penulis dapatkan sudah dihimpun dalam catatan harian wawancara; (2)

setelah itu dilakukan uji silang terhadap meteri catatan harian untuk

18
memastikan tidak ada informasi yang bertentangan dengan catatan harian

wawancara, jika ditemukan perbedaan maka penulis harus

mengkonfirmasi kembali data tersebut kepada informan; (3) hasil

konfirmasi perlu diuji lagi dengan informasi-informasi sebelumnya hingga

data yang diperoleh dapat dianggap valid.

I. Teknik Analisis Data

Data yang terkumpul selanjutknya akan diolah dan dianalisis untuk

menjawab masalah penelitian. Penelitian ini akan dianalisis menggunakan

model analisis etnografi yang diperkenalkan oleh Geertz22 dengan langkah-

langkah sebagai berikut:

a. Hermeneutik data

Pada tahap ini peneliti berusaha memperoleh sebanyak-

banyaknya variasi data yang terkait dengan permasalahan

penelitian. Peneliti memperoleh pengetahuan tradisi ini

dimulai dari dasar pengetahuan orang-orang yang dikaji

(the native). Selanjutnya dilakukan proses merinci data,

memeriksa data, membandingkan data, dan

mengkategorikan data yang muncul dari hasil catatan

22
Suwardi Endraswara, 2012, Metodologi Penelitian Kebudayaan, Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, hal.123

19
lapangan mengenai Kasua adaik yang ada di Nagari

Batipuah. Hermeneutik data berlangsung terus menerus

baik pada saat pengumpulan data dan berlanjut terus

sesudah penelitian lapangan sampai penulisan laporan

terakhir.

b. Menginterpretasikan data

Menginterpretasikan data dilakukan supaya menemukan

makna setiap simbol. Geertz mengungkapkan makna dalam

masyarakat harus berasal dari native point of view. Dengan

demikian pada tahap ini dilakukan analisis hubungan antar

kategori yang diperoleh dari hermeneutik data untuk

kemudian disusun, diatur sesuai pokok permasalahan

sehingga memudahkan menemukan makna pada setiap

kategori.

c. Interpretatif direpresentasikan

Interpretatif direpresentasikan sesuai kenyataan yang

dipaparkan yaitu apa yang dipahami oleh pelaku budaya

sehingga berakibat terhadap pemaparan berbagai ungkapan

mengenai Kasua adaik yang adadi Nagari Batipuah secara

panjang lebar yang disebut dengan thick description atau

deskripsi tebal. Deskripsi tebal dapat menggambarkan

20
secara mendalam berbagai peristiwa dan berikut makna-

makna yang terkandung didalamnya23.

Tahap-tahap di atas merupakan sesuatu yang menjalin,

berulang dan terus menerus selama dan sesudah pengumpulan data.

Dalam penelitian ini peneliti memahami makna kasua adaik yang

ada di Nagari Batipuah dari sudut pandang emik maka selaku

peneliti, peneliti berupaya menemukan makna dan kemudian hasil

dari penelitian akan dipaparkan mengacu pada teori yang peneliti

gunakan. Hasil dari pemahaman peneliti akan disusun dalam

bentuk laporan skripsi, yang mengungkap makna kasua adaik pada

masyarakat Nagari Batipuah.

BAB II
NAGARI BATIPUAH DAN KASUA ADAIK
A. Gambaran Nagari Batipuah
1. Sejarah Singkat Nagari Batipuah

Nagari Batipuah merupakan sebuah nagari yang terletak di

Kecamatan Batipuah. Batipuah terbagi atas 2 bagian yaitu Batipuah Ateh

dan Batipuah Baruah, meskipun berbeda nama tetapi daerah ini tidak dapat

dipisahkan karena kapalo koto berada di Batipuah Ateh sedangkan ikua

23
Nur Syam. 2007. Mahzab-mahzab Antropologi. Yogyakarta: LkiS, hal. 94

21
koto berada di Batipuah Baruah seperti falsafah yang terdapat di Batipuah

“ gantiang nan tak putuih, biang nan tak cabiak di Batipuah”. Oleh

karena itu daerah Batipuah tetap disebut Batipuah Nagari Gadang.

Nama nagari Batipuah berasal dari nama sebatang kayu yang

beripuh yang kemudian menjadi Batipuh. Nagari Batipuh dahulunya

memiliki wilayah dari Kapalo Koto sampai ke Ekor Koto, yang ditempati

oleh 14 niniak yang berasal dari Pariyangan, 7 Niniak di Kapalo Koto dan

7 Niniak di Ekor Koto. Sekitar tahun 1840 dibagi menjadi dua kewalian

yaitu Batipuah Ateh (Kapalo Koto) dan Batipuah Baruah (Ekor koto).

Niniak nan 7 di Batipuah Ateh menjadi Niniak Mamak nan 12 (urang duo

kali anam) yang terdiri dari tujuh suku. Niniak Mamak nan 12 menjadi

panghulu nan 60.

Di versi lain asal usul Batipuah pada awal nya orang terdahulu

berjalan di tengah padang dan mereka melihat kayu yang sangat bagus,

kayu itu bernama kayu ipuah, akan tetapi tidak ada jalan yang bagus untuk

menuju ke arah kayu tersebut dan konon katanya kayu itu merupakan kayu

sakti sehingga sulit untuk mendekatinya. Munculah beberapa anggapan

mengenai nama Batipuah ini, mulai dari Satipuah, Patipuah hingga

terakhir masyarakat memberi nama daerah itu Batipuah.

22
Gambar 1.Peta Kecamatan Batipuah
Sumber : BPS Tanah Datar

2. Kondisi Geografi

Sebelum era kolonial, Batipuah merupakan sebuah Nagari di

Minangkabau. Kemudian pada saat Belanda berkuasa, Batipuah di bagi

menjadi dua wilayah Nagari pada tahun 1840, yaitu: Batipuah Ateh dan

Batipuah Baruah.

a. Batipuah Ateh

Secara geografis Nagari Batipuah Ateh terletak dilereng Gunung

Merapi yang membujur dari arah Timur ke Barat yang dilewati oleh

sebuah sungai besar, yaitu Batang Sabu. Nagari Batipuah Ateh

terpotong menjadi 2 bahagian yang sampai ini belum ada sarana

perhubungan atau jembatan yang memadai sehingga sangat menjadi

kendala bagi masyarakat Batipuah Ateh. Nagari Batipuah Ateh salah

23
satu dari delapan nagari yang ada di Kecamatan Batipuh dengan luas +

8230 ha terdiri dari 5 jorong yaitu: (1) Jorong Balai Mato Aia; (2)

Jorong Jambu; (3) Jorong Balai Sabuah; (4) Jorong Subarang; dan (5)

Jorong Sawah Diujung.

PETA NAGARI BATIPUAH ATEH

Gambar 2. Peta Nagari Batipuah Ateh


Sumber:Arsip Monografi Nagari Batipuah ateh

Peta di atas menggambarkan bahwa batas-batas Nagari

Batipuah Ateh adalah sebagai berikut: (1) Sebelah Utara berbatas

dengan Nagari Sabu dan Andaleh; (2) Sebelah Selatan berbatas dengan

Nagari Batipuah Baruah; (3) Sebelah Barat berbatas dengan Nagari

Batipuah Baruah dan Andaleh; dan (4) Sebelah Timur berbatas dengan

Kecamatan Pariangan dan Nagari Pitalah.

b. Batipuah Baruah

Secara geografis Nagari Batipuah Baruah terletak kaki Gunung

Merapi yang membujur dari arah Timur ke Barat yang dilewati oleh

24
satu buah sungai besar yaitu Batang Lubuk Pinago dan beberapa

sungai kecil lainnya yang membagi Nagari Batipuah Baruah menjadi

beberapa bahagian.

Nagari Batipuah Baruah merupakan salah satu nagari dari delapan

nagari yang terdapat di Kecamatan Batipuh dengan luas ± 5121 Km²

terdiri dari 11 jorong, yaitu: (1) Jorong Kubu Karambie; (2) Jorong

Subang Anak; (3) Jorong Lubuak Bauak; (4) Jorong Batang Gadih; (5)

Jorong Kubu Nan Limo; (6) Jorong Kubu Nan Ampek; (7) Jorong

Ladang Laweh; (8) Jorong Batu Lipai; (9) Jorong Pincuran Tujuah;

(10) Jorong Payo; dan (11) Jorong Gunuang Bungsu.

PETA NAGARI BATIPUAH BARUAH

25
Gambar 3. Peta Nagari Batipuah Baruah
Sumber:Arsip Monografi Nagari Batipuah Baruah

Adapun Batas-batas Nagari Batipuah Baruah adalah, (1)

Sebelah Timur berbatasan dengan Nagari Gunung Rajo dan Nagari

Pitalah; (2) Sebelah Barat berbatasan dengan Nagari Jaho dan

Nagari Tambangan; (3) Sebelah Utara Berbatasan dengan Nagari

Batipuh Atas; Nagari Paninjauan dan Nagari Andaleh; dan (4)

Sebelah Selatan Berbatasan dengan Nagari Padang Laweh dan

Nagari Induring.

3. Demografi Nagari Batipuah

26
Batipuah terbagi menjadi dua nagari saat ini, yaitu: Batipuah Ateh

dan Batipuah Baruah. Oleh karena itu peniliti akan menggambarkan

demografi penduduk dari kedua Nagari

Tabel 1: Jumlah Penduduk di Nagari Batipuah

No Nagari Jorong Luas Penduduk


Area(KM2)
1. Batipuah Balai Mato 1,35 838
Ateh Aie
Balai Sabuah 1,51 591
Subarang 2,12 902
Jambu 1,61 640
Sawah 1,65 749
Diujuang
2. Batipuah Kubu 2,59 844
Baruah Karambie
Lubuak 2,36 993
Bauak
Subang 3,74 827
Anak
Batu Lipai 1,63 407
Kubu Nan 3,29 1684
Limo
Batang 2,58 1022
Gadih
Kubu Nan 5,33 852
Ampek
Ladang 5,03 1540
Laweh
Pincuran 7,04 482
Tujuah
Gunuang 8,22 417
Bungsu
Payo 9,41 478
Jumlah 59,44 13.266

27
Sumber: Badan Pusat Statistik Tanah Datar, Batipuh Subdistrict in
Figures 2017
Dari tabel diatas dapat dilihat jumlah penduduk Nagari Batipuah

pada tahun 2017 sebanyak 13.266 orang. Jumlah tersebut terdiri dari 6.426

orang laki-laki dan 6.840 orang perempuan24.

4. Mata Pencaharian Penduduk

Perekonomian penduduk Nagari Batipuah pada umumnya ialah

berada disektor pertanian baik itu menanam padi disawah ataupun

menanam sayuran di ladang. Kegiatan bertani sudah diwariskan sejak

zaman dahulu oleh nenek moyang karena didukung juga oleh kondisi dan

bentuk alam Nagari Batipuah. Batipuah dikelilingi oleh wilayah

perbukitan sehingga dapat dimanfaat oleh masyarakat untuk berladang.

Tabel 2. Mata Pencaharian Penduduk di Nagari Batipuah

No Pekerjaan Jumlah
B.Ateh B.Baruah Jumlah
1. Petani 998 2.870 3.868
2. Pedagang 590 1.241 1.831
3. Montir 20 39 59
4. PNS 569 1.434 2.003
5. Peternak 56 589 645
6. Tenaga Kesehatan 11 1 12
7. Buruh 345 1.254 1.599
8. Belum Bekerja 1.131 2.118 3.249
Sumber: Kantor Wali Nagari

5. Struktur Masyarakat

Unit struktur sosial terkecil dalam masyarakat Batipuah yaitu

samande (seibu), saparuik, sajurai, sakampuang, sasuku, sanagari. Selain

24
Badan Pusat Statistik Tanah Datar, Batipuh Subdistrict in Figures 2017

28
itu, masyarakat Batipuah juga menganut sistem matrilineal25. Dengan

demikian, seorang anak otomatis termasuk dalam kerabat ibunya dan

mempunyai hak atas harta pusaka kerabat ibunya. Seorang anak laki-laki

apabila telah menikah akan bertempat tinggal di rumah istri atau

lingkungan kerabat istri26. Dalam sistem kekerabatan matrilineal ini, ayah

bukanlah anggota dari garis keturunan anak-anaknya. Dia dipandang tamu

dan diperlakukan sebagai tamu dalam keluarga dan berstatus sebagai

urang sumando bagi kerabat istrinya. Tempat yang sah adalah dalam garis

keturunan ibunya dimana dia berfungsi sebagai pelindung atas harta benda

dari kaumnya27

Kelompok kekerabatan terkecil di Nagari Batipuah yaitu samande

(se-ibu) yaitu mereka yang lahir dari ibu yang sama dengan pimpinan

saudara laki-laki ibu yang biasa disebut mamak. Selanjutnya gabungan

samande disebut jurai, kemudian gabungan jurai disebut saparuik yang

biasa dihitung sampai lima keturunan yang dipimpin oleh tungganai. Suku

terdiri dari beberapa paruik, suku merupakan unit utama dari struktur

sosial Minangkabau, dan seseorang tidak dipandang sebagai orang

Minangkabau kalau tidak memiliki suku. Suku ini kemudian akan

membentuk Nagari, syarat untuk berdirinya Nagari yaitu harus memiliki

25
Matrilineal, memperhitungkan hubungan kekerabatan melalui garis keturunan wanita sehingga
semua kaum kerabat ibu termasuk dalam batas kekerabatannya, sehingga semua kaum kerabat
ayah berada di luar batas itu. Koentjaraningrat, 2002, Pengantar Antropologi II: Pokok- pokok
Etnografi, Jakarta: PT Rineka Cipta, hlm. 104
26
Uxorilokal merupakan adat menetap sepasang suami istri menetap dikediaman kaum kerabat
istri juga disebut dengan matrilokal. Koentjaraningrat, 2002, Pengantar Antropologi II: Pokok-
pokok Etnografi, Jakarta: PT Rineka Cipta, hlm. 106
27
Mochtar Naim. 1984. Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau. Yogyakarta: UGM Press.
Hlm 19

29
empat buah suku. Suku asal yang terdapat di Nagari Batipuah pada

mulanya yaitu Sikumbang, Jambak, Koto, Pisang. Suku yang sekarang

terdapat di Batipuah berjumlah tujuh suku, yaitu: (1) Koto; (2) Melayu; (3)

Sikumbang; (4) Panyalai; (5) Guci; (6) Pisang; (7) Jambak.

Kepemimpinan dalam sebuah suku dipimpin oleh seorang penghulu.

Keputusan Urang Nan 14 (Ampek Baleh) didalam persidangan yang

dilaksanakan di Balai Gadang Urang Nan Ampek Baleh ini dibagi menjadi

dua, 7 orang ke bukit (Kewalian Batipuah Ateh) yang diketuai oleh Dt.

Sinaro Alam Nan Hitam, setelah itu 7 orang ke Baruah (Kewalian

Batipuah Baruah) yang diketuai oleh Dt. Basa28.

Unit kepeminpinan dalam suku di mulai dari penghulu suku. Gelar

penghulu tersebut didapat dengan cara turun temurun. Penghulu suku bisa

juga disebut penghulu andiko yang dijabat oleh laki-laki yang dipilih oleh

segenap anggota keluarga dalam suku. Penghulu andiko ini di bantu oleh

panungkek atau bisa disebut wakil. Jadi yang mengurus segala hal yang

berkaitan dengan adat jika penghulu adiko tidak ada ialah panungkek.

Pada dasarnya tugas penghulu hanya mengangguk dan menggeleng,

namun didalam mengangguk dan menggeleng tersebut tesirat tanggung

jawab besar yang harus dipikul. Unit tertinggi dalam kepemimpinan suku

di pegang oleh Penghulu Pucuk. Setiap suku memiliki pimpinan pucuk

masing-masing. Apabila ada masalah kemenakan yang tak mampu

28
Nama-nama Penghulu pucuk peneliti paparkan pada lampiran (p.76)

30
diselesaikan oleh Penghulu Andiko maka Penghulu Pucuk lah yang akan

menyelesaikan.

Kepemimpinan yang terdapat di Batipuah yaitu, pertama

kepemimpinan berbasis Pemerintahan Nagari. Struktur pemerintahan

nagari dipimpin oleh seorang Wali Nagari dan dibantu Perangkat Nagari

sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Nagari29. Pada setiap Nagari

dibentuk Kerapatan Adat Nagari yang keanggotaannya terdiri dari

Perwakilan Niniak Mamak, dan unsur Alim Ulama Nagari, Cadiak

Pandai, unsur Bundo Kanduang, dan unsur Parik paga dalam Nagari yang

bersangkutan dengan Adat Salingka Nagari30. Pada setiap Nagari dibentuk

Kerapatan Adat Nagari sebagai lembaga permusyawaratan tertinggi dalam

penyelenggaraan Pemerintahan Nagari. KAN memiliki wewenang dalam

memilih dan mengangkat Wali Nagari secara musyawarah dan mufakat.

Kedua, kepemimpinan berbasis tradisional. Minangkabau

mengenal dua model kepemimpinan, dikenal dengan istilah laras, yaitu

laras Bodi Caniago dan laras Koto Piliang. Batipuah menganut laras Koto

Piliang, pondasi sistem pemerintahan laras ini didasarkan pada pepatah

“bapucuak bulek, titiak dari ateh (berpucuk bulat, titik dari atas)” dan

bentuk pemerintahannya adalah “batanggo turun (bertangga turun)”,

pepatah tersebut mengartikan bahwa semua keputusan bermula dari level

29
Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat No 7 Tahun 2018 Tentang Nagari hal 4
30
Adat Salingka Nagari adalah adat yang berlaku dalam suatu Nagari sesuai dengan prinsipadat
yang berlaku secara umum atau adat sebatang panjang dan diwarisi secara turun temurun di
Minangkabau, Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat No 7 Tahun 2018 Tentang Nagari hal 4

31
atas ke level bawah, dengan kata lain keputusan terakhir berada pada

pemegang otoritas tertinggi yaitu Penghulu Pucuk31.

B. Kasua adaik

1. Asal usul kasua adaik

Kasua adaik merupakan sebuah peti yang berukuran panjang 2 m,

lebar 90 cm dan tinggi 1.5 m. Kasua adaik itu biasanya di rumah-rumah

kemenakan perempuan seorang penghulu. Asal usul munculnya kasua

adaik tidak diketahui oleh masyarakat Batipuah, pada dasarnya masyarakat

Batipuah melestarikan aspek-aspek budaya yang telah diwarisi oleh nenek

moyang zaman dahulu. Tidak ada sumber atau catatan yang menjelaskan

mengenai asal usul kasua adaik secara jelas. Namun kasua adaik ini telah

ada sejak pelaminan muncul. Diduga kasua adaik sudah ada pada abad ke-

19 M.

Munculnya kasua adaik ini berawal dari masa Tuan Gadang di

Batipuah. Pada Nagari Minangkabau lamo, Tuan Gadang bertugas

manambah, mangarek, mangurangi adaik di Minangkabau, maksudnya

disini yaitu Tuan Gadang lah yang menilai benar salahnya orang dalam

beradat. Karena Tuan Gadang yang menilai salah benar adat orang di

Minangkabau lama, oleh karena itu di Nagari Batipuah tidak boleh

memakai pelaminan sementara di Nagari selain Batipuah boleh memakai

pelaminan. Pelaminan tersebutlah yang diganti dengan kasua adaik. Orang

31
Mina Elfira, “Model Kepemimpinan Berbasis Kearifan Lokal di Minangkabau dan Bugis”,
2013, hal 17 Prosiding The 5th International Conference on Indonesian Studies: “Ethnicity and
Globalization”

32
Batipuah pada dasarnya memiliki sandaran. Analoginya kasua adaik

menjadi tempat bersandar urang sumando. Karena dari darah daging

urang sumandolah calon panghulu dan calon bundo kanduang di rumah

orang lain. Namun pada saat ini karena Tuan Gadang Batipuah sudah tidak

ada maka orang Batipuah memakai pelaminan32dan kasua adaik tetap ada

di rumah

2. Pemilik kasua adaik

Kasua adaik dimiliki oleh kemenakan perempuan seorang

penghulu. Walaupun Penghulu memiliki banyak kemenakan, setiap

kemenakan wajib memiliki kasua adaik. Keluarga yang tidak memiliki

anak perempuan tidak diwajibkan memiliki kasua adaik di rumahnya.

Setiap penduduk yang memiliki Mamak akan memiliki kasua adaik

dirumahnya. Jika penduduk Nagari Batipuah bukan penduduk asli maka

tidak diharuskan memiliki kasua adaik. Karena dipastikan masyarakat

pendatang tidak memiliki mamak di Batipuah, kecuali mereka sudah

malakok atau yang biasa disebut mangaku bamamak di Batipuah33.

Setelah itu kemenakan penghulu harus menyesuaikan tingkat kasua adaik

dengan kedudukan penghulunya, meskipun secara sosial seorang penghulu

itu merupakan orang kaya di Nagarinya, namun tingkatan kasua adaik

tetap harus di kondisikan sebagaimana kedudukannya di dalam kaum34.


32
Musra Dahrizal Kt. Rajo Mangkuto , 69 th, Budayawan Minangkabau, wawancara 04 September
2018, di Aia Angek Cottage
33
Jumi Adriani, 46 th, Masyarakat Biasa, wawancara 27 Mei 2018, dirumah beliau di Jorong
Subarang, peneliti memilih wawancara hari minggu karena di hari minggu buk jumi tidak ada
kegiatan, hal serupa juga juga diungkapkan oleh informan lain
34
Yanti, 43 th, masyarakat biasa, 22 Juli 2018, di kedai beliau, saat itu kedai ibu yanti sedang
lengang, jadi peneliti memiliki kesempatan untuk menggali informasi, hal serupa juga
diungkapkan oleh Wiwid (32) Asmaniar (68) Jumiral (40)

33
3. Fungsi kasua adaik

Fungsi kasua adaik bagi masyarakat Batipuah, pertama yaitu

fungsi kasua adaik pada upacara perkawinan. Fungsi kasua adaik pada

upacara perkawinan yaitu memperlihatkan kedudukan sebuah keluarga,

bahwa sebuah keluarga tersebut memiliki Mamak di Nagari Batipuah.

Mamak dalam artian disini yaitu mamak kapalo suku atau yang biasa

disebut mamak andiko dan mamak kaampek suku atau mamak pucuak

Setelah itu kasua adat berfungsi simbol kedudukan Niniak Mamak di

Batipuah sehingga pada saat upacara perkawinan kasua adaik ditutup

dengan pelaminan maka pelaminan tersebut harus dipindahkan, jika tidak

Niniak Mamak yang diundang tidak akan naik kerumah, dan hal itu akan

membuat keluarga malu dan keluarga yang bersangkutan akan merasa

hina35. Dalam hal ini kasua adaik memiliki fungsi simbolik pada saat

upacara upacara adat.

Kedua pada saat upacara kematian Penghulu. Ketika Penghulu

meninggal dunia, penghulu akan di baringkan di kasua adaik. Penghulu

akan di baringkan diatas kasua adaik menjelang Penghulu di mandikan.

Letak kasua adaik pada saat itu juga diposisikan menghadap kiblat. Pada

saat di baringkan jenazah Penghulu tetap dialas dengan kasur36

4. Aturan mengenai kasua adaik


35
Rajudin Dt. Tan Marakan, 58 th, Penghulu Andiko, wawancara tanggal 07 juli 2018, dirumah
beliau di Balai Mato Aia, peneliti mewawancarai beliau saat hari sudah sore, karena disiang hari
bapak Rajudin pergi ke lading, dan hari minggu juga ada kegiatan berburu Babi.
36
Azizman Dt. Sinaro Nan Putiah, 59 th Wali Nagari Batipuah Baruah , Penghulu Pucuak
wawancara tanggal 14 juli 2018, dirumah beliau di Kalumpang, Jorong Subarang, peneliti disuruh
ke rumah beliau pada saat malam hari, karena beliau merupakan Wali Nagari, jadi disiang hari
beliau tidak ada waktu untuk memberikan informasi

34
Kasua adaik memiliki warna dan ragam yang sangat menarik.

Warna dasar kain beludru yang terpasang pada kasua adaik memiliki tiga

warna dasar yaitu merah, hitam, dan kuning. Warna dasar tersebut di ambil

dari warna marawa yang melambangkan tiga luhak di Minangkabau.

Untuk warna lain dapat dikombinasikan dengan syarat harus mengacu ke

warna dasar dan tidak boleh terlalu mencolok. Aturan mengenai warna dan

ragam kasua adaik tidak diatur secara jelas oleh Niniak Mamak di nagari

Batipuah, akan tetapi pada umumnya masyarakat mencontoh yang sudah

ada sejak dulunya37.

Berbicara tentang kasua adaik, kita tidak hanya bicara mengenai

warna dan ragamnya, akan tetapi kita juga bicara tentang bentuk, bagian,

dan jenis dari kasua adaik tersebut. Kasua adaik memiliki 3 jenis

tingkatan. Tingkatan ini dipengaruhi oleh kedudukan seorang penghulu

didalam kaumnya. Namun saat ini di Batipuah hanya 2 tingkatan yang

masih di pakai oleh masyarakat38. Aturan mengenai tingkatan ini sudah

diatur oleh KAN setempat, baik itu mengenai jumlah tingkatan kasua

panjang, jumlah mato banta maupun jumlah kasua bunta. Jumlah

tingkatan kasua adaik terdiri atas:

a. Niniak Mamak Pucuak

37
Mardalis Dt. Itam, 65 th, Wali Nagari Batipuah Baruah, Penghulu Pucuak, wawancara tanggal
20 Juli 2018, di kantor Wali Nagari Batipuah Ateh, peneliti agak kesulitan bertemu dengan bapak
Mardalis karena beliau merupakan Wali Nagari, beliau sering tidak berada dikantor, peneliti
menemui bapak mardalis pada jam kantor.
38
Asmawati, 50 th, Bundo Kanduang, wawancara 15 Juli 2018, dirumah beliau di bonjoe, peneliti
melakukan wawancara hari minggu, karena biasanya diahri minggu adalah waktu yang santai
untuk wawancara, saat ditemui ibuk As sangat bersedia memberikan peneliti informasi

35
Dirumah kemenakan Niniak Mamak Pucuak jumlah kasua panjangnya

4 batang, mato banta berjumlah 12 buah, dan kasua bunta berjumlah 7

buah.

b. Niniak Mamak Andiko

Dirumah kemenakan Niniak Mamak Andiko jumlah tingkatan ini

adalah yang terkecil. Kasua panjang berjumlah 3 batang, 9 buah mato

banta dan 6 buah kasua bunta.

Tingkatan kasua adaik pada rumah-rumah kemenakan penghulu

harus sesuai dengan aturan yang telah di buat oleh KAN. Bila terjadi

pelanggaran, akan ada sanksi untuk keluarga ataupun Niniak Mamak yang

bersangkutan. Meskipun secara ekonomi sebuah keluarga mampu

membuat tingkatan lebih, akan tetapi mereka dilarang membuat kasua

adaik lebih tinggi dari seharusnya. Karena pada aturan KAN yang berhak

membuat kasua adaik dengan tingkatan lebih tinggi adalah kemenakan

Penghulu Pucuk, meskipun kemenakan Penghulu Pucuk bukanlah orang

yang mampu secara ekonomi, namun demi menjaga harkat dan martabat

Penghulunya mereka akan membuat kasua adaik sesuai dengan yang

sudah ditentukan oleh KAN.

Pelanggaran yang biasa terjadi berkaitan dengan kasua adaik.

Pertama, jumlah kasua adaik yang berlebih dari biasanya, pada umumnya

masyarakat zaman sekarang banyak yang salah kaprah, karena tidak

mengetahui adat yang sebenarnya. Masyarakat kebanyakan menganggap

apabila anak perempuannya akan menikah harus memiliki kasua adaik dan

36
jumlah kasua akan terus bertambah seiring bertambahnya menantu

mereka39. Namun pada dasarnya bukan seperti itu, tiap rumah kemenakan

penghulu hanya dibolehkan satu buah kasua adaik40.

Kedua, jumlah tingkatan kasua adaik yang tidak sesuai dengan

kedudukan penghulu yang ada di rumah mereka. Namun saat sekarang ini

masyarakat sudah mengetahui aturan mengenai kasua adaik tersebut

secara jelas. Sanksi yang didapat apabila melanggar terkait dengan kasua

adaik ini yaitu berupa sanksi moril dan materil, jika ada pelanggaran

mengenai kasua adaik, Niniak Mamak yang bersangkutan tidak diikut

sertakan dalam rapat adat, sampai Niniak Mamak tersebut membayar

denda sebanyak satu pikul beras (100 L) dan uang adat sebesar 40 riyal

(Rp.120.000,-) 41.

Sanksi untuk keluarga yang melanggar yaitu pada saat upacara-

upacara adat, Niniak Mamak yang diundang tidak akan naik kerumah

sampai keluarga yang bersangkutan memperbaiki kesalahannya42. Seperti

kesalahan yang terjadi pada upacara perkawinan, jika ada yang menutup

kasua adaik dengan pelaminan, maka pelaminan harus dipindahkan saat

39
Efi Mutia, 46 th, masyarakat biasa, wawancara 03 Juli 2018, di Huller , Batipuah Baruah, pada
saat itu ibuk efi sedang menjemur di Huller, pada saat istirahat, peneliti mengajak ibuk efi
bercengkrama mengenai kasua adaik. Hal serupa juga diungkapkan oleh Jumi Adriani 46th yang
bekerja sehari-hari sebagai PNS, peneliti wawancara dirumah ibuk jumi pada hari minggu 27 Mei
2018 pukul 14.30 dirumah beliau di bawah labuah
40
Erosen Adera St.Sati, 42 th, mantan ketua pemuda, 28 Juli 2018 , dirumah beliau di torok, pada
saat itu bapak erosen tidak keberatan memberikan informasi kepada peneliti.hal serupa juga
diungkapkan oleh Amrizal Dt.Sampono Kayo 61 th,Panungkek , wawancara tanggal 17 Juli 2018,
dirumah beliau.
41
Rajudin Dt.Tan Marakan, 58 th, Wakil Ketua KAN B.Ateh, tanggal 18 Juli 2018, wawancara,
peneliti kembali mendatangi rumah bapak Rajudin disore hari.
42
Amrizal Dt. Sampono Kayo, 61 th, Panungkek tanggal 16 Juli 2018, wawancara, dirumah beliau
di batang arau

37
itu juga, kalau tidak dipindahkan Niniak Mamak yang diundang tidak akan

naik ke rumah, walaupun rumahnya bagus. Pada dasarnya pelaminan

merupakan barang yang datang, jadi jika kasua adaik ditutup dengan

pelaminan sama saja menjatuhkan harga diri penghulu43.

BAB III

MAKNA KASUA ADAIK

A. Makna Simbol Bentuk Kasua adaik

Bentuk kasua adaik berbentuk persegi panjang yang dibuat bertingkat.

Ukuran panjangnya sekitar 2 meter dan lebarnya berukuran 90 cm,

untuk tinggi kasua adaik berkisar antara 1,5 meter sampai 2 meter.

Ukuran tingkatan kasua adaik disesuaikan dengan kedudukan

penghulu dalam masyarakat.

Kasua adaik terdiri dari 3 bagian , seperti gambar di bawah ini:

43
Sy. Dt. Gadang Majolelo, 78 th, Penghulu Andiko dan Anggota Dewan Pertimbangan Adat
KAN Batipuah Ateh, tanggal 3 juli 2018, wawancara, dirumah beliau di Balai Mato Aia, pada saat
ditanya beliau dengan senang hati menjawab pertanyaan penelitian yang peneliti ajukan

38
2
2. Banta 3.Kasua Bunta
1. Kasua 2
Panjang 2

Mato Banta
3

Ga
mbar 4: Kerangka Kasua adaik
Sumber: Karya sendiri

Penjelasan Gambar:
1. Kasua Panjang
Kasua Panjang merupakan bagian pertama kasua adaik.

Kasua panjang secara fisik di analogikan seperti sebuah kasur dan

filosofinya berkaitan erat dengan banta. Secara simbolik kasua

panjang memiliki makna bahwasanya dalam beruding kita tidak

boleh menyalahkan pendapat orang lain. Seperti yang diungkapkan

Mak Katik44

“kalau jo kasua ko sanang badan lalok deknyo ndak,


awak dalam barundiang jo urang, awak harus
manyanangan hati urang, ndak pangananyo se nan
sanang do, badannyo harus sanang lo, jikok bedo
pandapeknyo jo awak, latak an se nyo di tampeknyo,
lalok an se nyo dipikirannyo”
Artinya:
“kalau dengan kasua ini senang badan tidurkan, kita
dalam berunding dengan orang lain, kita harus
menyenangkan hati orang, tidak pikirannya saja yang
disenangkan, badannya juga harus disenangkan, jika

44
Musra Dahrizal Kt.Rajo Mangkut,69 th, Budayawan Minangkabau,wawancara 4 September
2018 di Aia Angek Cottage

39
ia berbeda pendapat dengan kita, letakkan saja ia
ditempatnya, tidurkan ia dipikirannya”

Jadi pada dasarnya hakikat dari kasua panjang yaitu

menghindari pertikaian. Makna kasua panjang secara keseluruhan

yaitu meletakkan sesuatu di tempatnya dimana dalam hal ini kita

harus bisa menghargai pendapat orang lain.

Kasua panjang memiliki beberapa warna yaitu kuning,

merah dan hitam. Namun aturan ini tidak baku, akan tetapi masih

tetap mengacu ke warna marawa. Warnanya boleh dikombinasikan

asalkan tidak terlalu mencolok dari warna kasua adaik biasanya

2. Banta

Banta ini berada di tingkat yang kedua dari kasua adaik.

Hakikatnya banta ini dianalogikan seperti bantal yang disusun.

Secara lahir bantal digunakan untuk menyenangkan kepala. Secara

batin jika kepala udah senang maka pikiran akan senang juga.

Seperti yang diungkapkan oleh Mak Katik45

“sacaro batin kalau kapalo lah sanang, pikiran


sanang lo dan pangana ndak kusuik lai, itu makonyo
kasua adaik nan ado di tampek baralek supayo
sanang se pangana urang deknyo”
Artinya:
“secara batin jika kepala sudah senang maka pikiran
senang juga dan pikiran tidak kusut lagi, itu makanya
kasua adaik yang ada di tempat orang baralek supaya
senang juga pikiran orang karenanya”

Jadi makna banta secara simbolik yaitu banta dianggap sebagai

penyenang pikiran. Banta terdiri dari beberapa mato banta. Mato


45
Musra Dahrizal Kt.Rajo Mangkut,69 th, Budayawan Minangkabau,wawancara 4 September
2018 di Aia Angek Cottage

40
banta ini mempunyai bentuk yang berbeda-beda, warna mato

banta ini hanya berwarna emas dan perak. Khusus untuk banta ini,

membuat kerangkanya terpisah, agar mudah di angkat pada saat

upacara kematian penghulu. Pada saat upacara kematian penghulu

banta ini dipisahkan letaknya, agar jenazah penghulu dapat

berbaring di atas kasua adaik

3. Kasua Bunta

Kasua bunta pada awalnya muncul karena pertikaian yang

terjadi antara Dt. Katumangguangan (Koto Piliang) dan Dt.

Parpatiah Nan Sabatang ( Bodi Caniago) dan pertikaian itu di lerai

oleh adik beliau yang bernama Dt. Nan Banego Nego. Setelah itu

lahirlah Lareh Nan Panjang. Ketika ketiga adat itu dipakai maka di

namakanlah Lareh Nan Bunta. Dari tiga lareh itulah kasua bunta

dinamakan. Kasua bunta berada di tingkat yang ketiga namun juga

berkaitan dengan kasua panjang dan mato banta. Kasua bunta juga

memiliki beberapa tingkatan seperti kasua panjang. Untuk lebih

jelasnya gambar kasua adaik bisa dilihat pada gambar dibawah ini:

41
Gambar 5 : Kasua adaik Kemenakan Penghulu Andiko
Sumber: Dokumentasi Pribadi

Simbol tingkatan kasua adaik ini melambangkan

kedudukan penghulu di Nagari Batipuah. Seperti yang

diungkapkan oleh Rajudin Dt. Tan Marakan46.

“basonyo manuruik gaek salaku Niniak Mamak di


Batipuah, kasua adaik ko malambangkan kadudukan
Niniak Mamak di Batipuah, di rumah kamanakan
padusi gaek pasti ado kasua adaik, karano disitu
gaek bisa mancaliak, lai indaknyo kamanakan
maharagoi gaek, mode gaek kini ko ha, gaek
marupokan panghulu andiko didalam kaum gaek,
kalau panghulu andiko 3 tingkek kasua panjangnyo
nyo”
Artinya:
“bahwasanya menurut gaek selaku Niniak Mamak di
Batipuah, kasua adaik ini melambangkan kedudukan
Niniak Mamak di Batipuah, di rumah kemenakan
gaek pasti ada kasua adaik, karena disanalah gaek
bisa melihat, ada tidaknya kemenakan menghargai
gaek, seperti gaek sekarang ini, gaek merupakan
penghulu andiko didalam kaum gaek, kalau penghulu
andiko hanya 3 tingkat kasua panjangnya”

46
Rajudin Dt. Tan Marakan, 58 th, Wakil Ketua KAN B. Ateh tanggal 18 Juli 2018, hal serupa
juga diungkapkan oleh Lahmoeddin Dt. Indomo Marajo (79) Dewan Pertimbangan Adat KAN dan
Mantan Sekretaris LKAAM Sumbar, Sy. Dt. Gadang Majolelo (78) Penghulu Andiko dan
Anggota Dewan Pertimbangan Adat KAN Batipuah Ateh

42
Hal senada juga diungkapkan oleh Mardalis Dt. Itam47

“kasua adaik di Batipuah ko marupokan simbol


kadudukan panghulu di Batipuah, baa kadudukan
panghulu di Batipuah bisa di caliak dari tingkek
kasua adaik di rumah kamanakan panghulu tu,
contohnyo ambo sebagai panghulu pucuak di dalam
kaum ambo, di rumah kamanakan ambo 4 tingkek
kasua panjangnyo”
Artinya:
“kasua adaik di Batipuah ini merupakan simbol
kedudukan penghulu di Batipuah, bagaimana
kedudukan penghulu di Batipuah bisa dilihat dari
tingkat kasua adaik di rumah kemenakan penghulu
tersebut, contohnya saya sebagai penghulu pucuak di
dalam kaum saya, di rumah kemenakan saya ada 4
tingkat kasua panjangnya”

Begitu juga yang diungkapkan oleh Ernawati48

“ manuruik amak, kasua adaik nan ado di batipuah


ko malambangkan tingginyo kadudukan panghulu di
Batipuah, satalah tu kasua adaik ko tando awak
urang Batipuah, karano satau amak kasua adaik ko
di Batipuah se adonyo nyo”

Artinya:
“ menurut amak, kasua adaik yang ada di Batipuah
ini melambangkan tingginya kedudukan penghulu di
Batipuah, setelah itu kasua adaik ini tanda orang
Batipuah, karena setau amak kasua adaik ini hanya
ada di Batipuah

Dilihat dari tingkatannya kasua adaik memiliki makna sebagai

berikut. Jika jumlah tingkat kasua panjang hanya 3 tingkat, maka

kedudukan penghulunya adalah penghulu andiko. Sementara jika tingkat

47
Mardalis Dt. Itam, 65 th, Penghulu Pucuak dan Wali Nagari Batipuah Baruah, wawancara
tanggal 20 Juli 2018, hal senada juga diungkapkan oleh Azizman Dt. Sinaro Nan Putiah (59)
Penghulu Pucuak dan Mantan Ketua KAN Batipuah Ateh, A. Dt. Bagindo Ratu (68) Penghulu
Pucuak
48
Ernawati, 57 th, Masyarakat biasa, wawancara tanggal 03 Juni 2018, dirumah beliau di kubu nan
IV, hal serupa juga diungkapkan oleh Asmaniar (68) Bertani dan masyarakat biasa, Rosnaili (49)
Bertani dan masyarakat biasa.

43
kasua panjangnya 4 tingkat maka, penghulunya berada pada kedudukan

tertinggi, yaitu penghulu pucuak. Makna pertama yang dipahami oleh

masyarakat Batipuah yaitu kasua adaik sebagai cerminan kedudukan

penghulu yang ada di Batipuah, semakin tinggi tingkat kasua adaik maka

semakin tinggi kedudukan penghulu di nagari. Menurut teori interpretative

Geertz bahwa kebudayaan terdiri dari sistem simbol yang memungkinkan

pemaknaan atau interpretasi. Secara umum orang di luar Batipuah hanya

melihat kasua adaik sebagai hiasan rumah yang berbentuk bertingkat,

namun bagi masyarakat Batipuah kasua adaik adalah simbol status sosial

suatu keluarga dalam masyarakat.

B. Makna jumlah atribut dan tingkatan pada kasua adaik

1. Penghulu Pucuk

Kasua adaik pada rumah kemenakan penghulu pucuk

memiliki tingkatan yang lebih tinggi dari tingkat penghulu andiko.

Pertama, kasua panjang untuk penghulu pucuk berjumlah 4 lapis.

Pada upacara kematian penghulu di kasua panjang itulah jenazah

penghulu dibaringkan, jika tidak mencukupi maka akan ditambah

dengan meja yang ukurannya sesuai dengan tinggi kasua panjang.

Jadi semakin tinggi tingkatan kasua panjang semakin tinggi pula

jabatan dan status penghulu tersebut didalam masyarakat. Jumlah

ini bermakna bahwa panghulu termasuk urang nan ampek suku,

seperti yang diungkapkan oleh Dt. Bagindo Ratu49

49
A. Dt. Bagindo Ratu, 68 th, Penghulu Pucuak, wawancara 17 Juli 2018, dirumah beliau di kubu
nan IV, hal yang sama juga diungkapkan oleh Azizman Dt. Sinaro Nan Putiah (59) Penghulu

44
“ panghulu pucuak ko mako 4 kasua panjangnyo
malambangkan basonyo panghulu ko tamasuak
urang nan ampek suku, makna nyo urang nan ampek
suku ko ndak bisa dipisahkan, karano mereka punyo
keterkaitan satu jo nan lain salain itu Batipuah ko
pado mulonyo hanyo ado 4 suku”

Artinya:

“ penghulu pucuak ini maka 4 kasua panjangnya


melambangkan bahwasanya penghulu termasuk
urang nan ampek suku, maknanya urang nan ampek
suku ini tidak bisa dipisahkan, karena mereka
memliki keterkaitan satu dengan yang lain selain itu
Batipuah ini pada mulanya hanya ada 4 suku”

Selain itu menurut pemahaman masyarakat bahwasanya

kasua panjang ini berjumlah 4 tingkat karena mengacu kepada sifat

nabi, seperti wawancara dengan Dedi Surya50

“setau da kalau 4 tingkek kasua panjang ko


malambangkan 4 sipaik nabi, maknanyo sipaik tu lo
lah nan dituntuik ado lo pado diri seorang panghulu,
basonyo panghulu tu harus basipaik siddiq, amanah,
tabligh, fathonah”

Artinya:
“ setahu uda kalau 4 tingkat kasua panjang ini
melambangkan 4 sifat nabi, maknanya sifat itulah
yang dituntut ada pada diri seorang penghulu,
bahwasanya panghulu itu harus bersifat siddiq,
amanah, tabligh, fathonah”

Kedua, mato banta pada kasua adaik yang berada di rumah

kemenakan penghulu pucuk berjumlah 12 buah. 12 mato banta ini

memiliki makna pembagian penghulu di Batipuah, karena terjadi

Pucuak dan Mantan Ketua KAN Batipuah Ateh (14 Juli 2018, 19.45, dirumah beliau), Asmawati
(50)Bundo Kanduang (15 Juli 2018, 16.00, dirumah beliau), Ernawati (57) masyarakat biasa (03
Juni 2018, 14.00, dirumah beliau)
50
Dedi Surya, 24 th, Ketua Pemuda, wawancara 21 Juli 2018, di kedai, hal serupa juga
diungkapkan oleh Wiwid (32), Rajudin (58)

45
pemekaran suku, maka penghulu di bagi menjadi 12: 6 penghulu di

Ateh51 dan 6 penghulu di Baruah52. Seperti yang diungkapkan oleh

Erosen Adera53

“setau apak kalau jumlah mato banta mamiliki


makna basonyo ado pambagaian panghulu di
Batipuah karano ado pemekaran suku, jadi pado
mulonyo ado 12 satalah itu dibagi 6 di ateh dan 6 di
baruah salain itu jikok panghulu baralek, nan
mairiangan marapulai baliau bajumlah 12 urang”
Artinya:

“setahu apak kalau jumlah mato banta memiliki


makna bahwasanya ada pembagian penghulu di
Batipuah karena ada pemekaran suku, jadi pada
mulanya ada 12 penghulu setelah itu dibagi 6 diatas
dan 6 di baruah selain itu jika penghulu baralek, yang
mengiringi beliau bajumlah 12 urang”

Ketiga, kasua bunta pada penghulu pucuk berjumlah 7

tingkat. Hal ini penghulu yang paling pucuk berjumlah 7 orang dan

juga jumlah suku yang ada di Batipuah juga 7 buah suku, seperti

yang diungkapkan Yanti54

“manuruik etek kasua bunta nan 7 tu malambangkan


7 buah suku di Batipuah, sudah tu panghulu pucuak
di Batipuah bajumlah 7 lo”

Artinya:

51
Enam buah suku yang berada diatas yaitu Malayu, Koto, Sikumbang, Panyalai, Guci, Pisang
52
Enam buah suku yang berada diatas yaitu Koto, Sikumbang, Panyalai, Guci, Pisang, Jambak
53
Erosen Adera St. Sati, 42 th, PNS di Dinas Perdagangan dan Koperasi Padang Panjang dan
mantan ketua pemuda, 28 Juli 2018, dirumah beliau di torok pada jam 14.00. Hal serupa juga
diungkapkan oleh Rajudin Dt.Tan Marakan (58) Penghulu andiko dan Wakil Ketua KAN Batipuah
Ateh (07 Juli 2018, 16.30, dirumah beliau).
54
Yanti, 43 th, masyarakat biasa, 22 Juli 2018 dikedai pada pukul 14.20.Hal serupa juga
diungkapkan oleh Jumi Adriani (46) PNS (27 Mei 2018, 14.15, dirumah beliau di bawah labuah),
Efi Mutia (46) Bertani (03 Juli 2018, 10.35, di Huller Guguak Lijau)

46
“Menurut etek kasua bunta yang 7 itu melambangkan
7 buah suku di Batipuah, setelah itu penghulu pucuak
di Batipuah berjumlah 7 juga”

2. Penghulu Andiko

Kasua adaik pada rumah kemenakan penghulu andiko

memiliki tingkatan yang lebih rendah dari tingkat penghulu pucuk.

Pertama, kasua panjang untuk penghulu pucuk berjumlah 3 lapis.

Makna kasua panjang yang berjumlah tiga batang ini menurut

Lahmoeddin Dt. Indomo Marajo55

“3 lampih kasua panjang ko malambangkan tali tigo


sapilin,maknanyo saurang panghulu harus bapegang
pado syarak, adaik jo undang-undang untuak
mancapai kasajahtaraan dalam mamimpin kaum”

Artinya:
“3 batang kasua panjang ini melambangkan tali tigo
sapilin, maknanya seorang penghulu harus berpegang
pada syarak, adat dan undang-undang untuk mencapai
kesejahteraan dalam memimpin kaum”

Kedua, mato banta pada kasua adaik yang berada dirumah

kemenakan penghulu andiko berjumlah 9 buah. Jumlah ini

memiliki lambang bahwasanya ketika penghulu baralek maka yang

mengiringi marapulai paling banyak ialah 9 orang, seperti yang

diungkapkan oleh Asmawati56

“manuruik umi, mato banta nan 9 tu malambangkan


jumlah urang nan mairiangan panghulu katiko

55
Lahmoeddin Dt. Indomo Marajo, 79 th, Dewan Pertimbangan Adat KAN dan Penghulu Andiko,
wawancara tanggal 23 Juni 2018 dirumah beliau di Balai Gadang. Hal serupa juga diungkapkan
oleh Rajudin Dt. Tan Marakan, 58 th, Wakil Ketua KAN B. Ateh tanggal 18 Juli 2018 17.00
dirumah beliau di Balai Mato Aia, Sy. Dt. Gadang Majolelo (78) Penghulu Andiko dan Anggota
Dewan Pertimbangan Adat KAN Batipuah Ateh, 03 Juli 2018 14.00 di rumah beliau di Balai Mato
Aia
56
Asmawati, 50 th, Bundo Kanduang, wawancara 15 Juli 2018

47
baralek, kalau baralek panghulu, 9 urang pangiriang
marapulainyo nyo”

Artinya:

“menurut umi, mato banta yang 9 itu melambangkan


jumlah orang yang mengiringi penghulu ketika
baralek, kalau penghulu baralek, 9 orang pengiring
marapulainya57”

Ketiga, kasua bunta pada penghulu andiko berjumlah 6

tingkat, hal ini dikarenakan penghulu berjumlah 6 orang di ateh

dan 6 orang dibawah. Seperti yang diungkapkan oleh Azizman Dt.

Sinaro Nan Putiah58

“ kasua bunta nan bajumlah 6 pado kasua adaik


malambangkan basonyo dibawah pucuak nan 7
panghulu di nagari batipuah di bagi lo, namonyo di
Batipuah ko Niniak Mamak duo kali anam, dari
situlah asa angko anam diambiak”

Artinya:

“ kasua bunta yang berjumlah 6 pada kasua adaik


melambangkan bahwasanya dibawah pucuk yang 7
penghulu di Nagari Batipuah dibagi juga, namanya di
Batipuah ini Niniak Mamak dua kali enam, dari
situlah asal angka enam diambil”

Secara umum, kasua adaik merupakan simbol Niniak Mamak yang

ada di Nagari Batipuah. Adapun jumlah tingkatan-tingkatan kasua adaik

mencerminkan status mamak yang ada di Nagari Batipuah. Semakin tinggi


57
Marapulai merupakan sebutan untuk mempelai laki-laki
58
Azizman Dt. Sinaro Nan Putiah (59) Wali Nagari Batipuah dan Penghulu Pucuak, 14 Juli 2018
pukul 19.45 dirumah beliau di Kalumpang. Hal serupa juga diungkapkan oleh Lahmoeddin Dt.
Indomo Marajo (79) Dewan Pertimbangan Adat KAN dan Penghulu Andiko, wawancara tanggal
23 Juni 2018 dirumah beliau di Balai Gadang, Rajudin Dt. Tan Marakan (58) Wakil Ketua KAN
B. Ateh tanggal 18 Juli 2018 17.00 dirumah beliau di Balai Mato Aia, Sy. Dt. Gadang Majolelo
(78) Penghulu Andiko dan Anggota Dewan Pertimbangan Adat KAN Batipuah Ateh, 03 Juli 2018
14.00 di rumah beliau di Balai Mato Aia

48
tingkatan kasua adaik,maka semakin tinggi pula status seorang penghulu

tersebut di dalam masyarakat dan juga jumlah tersebut melambangkan

jumlah-jumlah penghulu yang terdapat di Nagari Batipuah. Setelah itu

bagian kasua adaik juga melambangkan kedudukan penghulu didalam

masyarakat. Geertz mengemukakan bahwa pendekatan interpretasi

menekankan arti partikularitas berbagai kebudayaan dan berpendirian

bahwa sasaran sentral dari kajian sosial adalah interpretasi dari praktik-

praktik manusia yang bermakna. Kasua adaik sebagai salah satu aspek

budaya di Batipuah memiliki makna yang bisa diinterpretasikan.

C. Makna simbol atribut pada kasua adaik

1. Kain Biludu

Kain biludu merupakan kain yang sangat bagus pada zaman

dahulu. Orang-orang jaman dahulu menyebutnya kain saisuak.

Menurut kepercayaan Niniak Mamak di Batipuah, kain beludru

berasal dari Mekah, seperti yang di ungkapkan oleh Sy. Dt.

Gadang Majolelo59.

“alasannyo kasua adaik ko mangko mamakai kain


biludu partamonyo kain biludu ko kecek urang
saisuak kain dari Makah, tu kain biludu tu
kualitasnyo rancak, kalau untuak kagadangan
panghulu tu dipakaian kain nan rancak
Artinya:
“alasannya kasua adaik ini memakai kain beludru
pertama kain beludru ini menurut orang tua-tua
59
Sy. Dt. Gadang Majolelo, 78 th Penghulu Andiko dan Anggota Dewan Pertimbangan Adat KAN
wawancara tanggal 28 Juli 2018 pukul 14.30 dirumah beliau di Balai Mato Aia. Hal serupa juga
diungkapkan oleh Azizman Dt. Sinaro Nan Putiah (59) Wali Nagari Batipuah dan Penghulu
Pucuak, 14 Juli 2018 pukul 19.45 dirumah beliau di Kalumpang, Lahmoeddin Dt. Indomo Marajo
(79) Dewan Pertimbangan Adat KAN dan Penghulu Andiko, wawancara tanggal 23 Juni 2018
dirumah beliau di Balai Gadang, Rajudin Dt. Tan Marakan (58) Wakil Ketua KAN B. Ateh
tanggal 18 Juli 2018 17.00 dirumah beliau di Balai Mato Aia

49
dahulu merupakan kain yang datang dari Mekah,
setelah itu kain beludru pada zaman dulu merupakan
kain yang berkualitas bagus,jadi kalau untuk
kebesaran penghulu jelas dipakaikan kain yang bagus.

Hal senada juga diungkapkan oleh L. Dt. Indomo Marajo60

“kain beludru ko sangkek dulunyo alah tapakai juo,


baiak untuak kalambu, tirai,maupun kasua adaik ko,
jadi dari saisuak kasua adaik ko lah pakai kain
beludru juo, jadi ndak do nan mangganti kain
beludru ko jo kain lain do”
Artinya:
“Kain beludru ini sejak dulunya sudah dipakai juga,
baik untuk kelambu, tirai, maupun kasua adaik ini,
jadi dari dahulunya kasua adaik ini sudah pakai kain
beludru juga, jadi tidak ada yang mengganti kain
beludru ini dengan kain yang lain”

Dari hasil wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa pada

dasarnya, kain yang digunakan untuk simbol kebesaran penghulu

ialah kain yang berkualitas, mengingat penghulu merupakan orang

yang dihargai di dalam masyarakat. Setelah itu kain beludru ini

sudah dipakai juga sejak dahulunya untuk menutupi kerangka

kasua adaik. Masyarakat Batipuah pada dasarnya “mancontoh ka

nan sudah” maksudnya masyarakat Batipuah meniru kepada yang

sudah-sudah. Seperti yang diungkapkan oleh Rosnaili61

“baa dek kasua adaik ko pakai kain beludru, karano


enek mancaliak ka nan sudah-sudah, enek mancaliak

60
L. Dt. Indomo Marajo, 79 th, Dewan Pertimbangan Adat KAN B. Ateh dan Penghulu Andiko,
wawancara tanggal 29 Juli 2018 pukul 09.30 dirumah beliau di Balai Gadang. Sy. Dt. Gadang
Majolelo, 78 th Penghulu Andiko dan Anggota Dewan Pertimbangan Adat KAN wawancara
tanggal 28 Juli 2018 pukul 14.30 dirumah beliau di Balai Mato Aia. Azizman Dt. Sinaro Nan
Putiah (59) Wali Nagari Batipuah dan Penghulu Pucuak, 14 Juli 2018 pukul 19.45 dirumah beliau
di Kalumpang,
61
Rosnaili, 49 th, masyarakat biasa, wawancara 12 Juli 2018 dirumah beliau di Guguak Lijau. Hal
serupa juga diungkapkan oleh Yanti, 43 th, masyarakat biasa, 22 Juli 2018 dikedai pada pukul
14.20, Jumi Adriani (46) PNS (27 Mei 2018, 14.15, dirumah beliau di bawah labuah), Efi Mutia
(46) Bertani (03 Juli 2018, 10.35, di Huller Guguak Lijau)

50
dirumah urang nan gaek-gaek dari enek kasua adaik
nyo pakai kain beludru enek pakai lo nan kain nan
mode tu”

Artinya:

“kenapa kasua adaik ini pakai kain beludru, karena


nenek melihat kepada yang sudah, nenek melihat
dirumah orang-orang yang lebih tua dari nenek kasua
adaik mereka memakai kain beludru,nenek pakai juga
kain beludru”

2. Mato Banta

Mato banta ini mempunyai bentuk yang berbeda-beda,

warna mato banta ini hanya berwarna emas dan perak. Untuk

membuat mato banta ini dibutuhkan pengrajin khusus. Karena

mato banta ini tidak dapat dibeli ditempat lain selain di Batipuah.

Untuk orang yang akan membuat kasua adaik, mereka biasanya

memesan kain dan mato banta ini di Jorong Batang Gadih,

Batipuah Baruah.

Khusus untuk banta ini, membuat kerangkanya terpisah,

agar mudah diangkat pada saat upacara kematian penghulu. Pada

saat upacara kematian penghulu banta ini di pisahkan letaknya,

agar jenazah penghulu dapat berbaring di atas kasua adaik.

51
Gambar 6. Banta yang terpisah dari kasua adaik
Sumber : dokumentasi pribadi

Pada bagian banta ini terdapat mato banta dengan berbagai

motif. Motif ragam hias ini diambil dari motif-motif Rumah

Gadang. Nama-nama motif ini di ambil dari nama tumbuh-

tumbuhan, hewan dan benda yang dipakai sehari-hari. Semua jenis

ukiran tersebut menunjukan bahwa unsur penting pembentuk

budaya Minangkabau bercerminkan kepada apa yang ada di alam.

Semua motif memiliki filosofi dan makna tersendiri. Seperti

macam-macam motif yang terdapat pada mato banta juga memiliki

filosofi dan makna bagi masyarakat Batipuah. Motif tersebut yaitu,

Pertama, Pucuak Rabuang, Pucuak Rabuang merupakan salah satu

motif yang terdapat pada mato banta. Pucuak Rabuang memiliki

bentuk yang indah, selain itu manfaatnya juga besar. Seperti yang

diungkapkan oleh Sy. Dt. Gadang Majolelo62.


62
Sy. Dt. Gadang Majolelo, 78 th, Penghulu Andiko dan Dewan Pertimbangan Adat KAN B.
Ateh, wawancara tanggal 28 Juli 2018 pukul 14.30 dirumah beliau di Balai Mato Aia Lahmoeddin
Dt. Indomo Marajo, 79 th, Dewan Pertimbangan Adat KAN dan Penghulu Andiko, wawancara
tanggal 23 Juni 2018 dirumah beliau di Balai Gadang, Rajudin Dt. Tan Marakan, 58 th, Wakil

52
“pucuak rabuang ko aratinyo sadari keteknyo baguno
sampai lah tumbuah gadang, wakatu ketek nyo
paguno ka pambuek gulai, katiko gadang manjadi
batuang nan bisa digunoan untuak kaparaluan
masyarakaik sarupo mambuek pondok sawah, rumah,
dan kaparaluan lain”

Artinya:

“pucuk rebung ini artinya dari kecil sampai tumbuh


besar ia berguna. Waktu masih jadi anak bambu ia
berguna untuk membuat gulai, ketika tumbuh
menjadi bambu ia juga bisa digunakan untuk
keperluan masyarakat seperti membuat pondok,
rumah, dan keperluan lain”

Hal senada juga diungkapkan oleh Asmaniar63

“pucuak rabuang ko manuruik enek aratinyo dari


ketek rabuang baguno sampai lah tumbuah gadang,
wakatu ketek nyo paguno ka pambuek gulai, katiko
gadang manjadi batuang nan bisa digunoan untuak
kaparaluan masyarakaik sarupo mambuek rumah
dan kaparaluan lain”

Artinya:

“pucuk rebung ini menurut nenek artinya dari kecil


rebung berguna sampai sudah tumbuh besar. Waktu
masih jadi anak bambu ia berguna untuk membuat
gulai, ketika tumbuh menjadi bambu ia juga bisa
digunakan untuk keperluan masyarakat seperti
membuat rumah dan keperluan lain”

Ketua KAN B. Ateh tanggal 18 Juli 2018 17.00 dirumah beliau di Balai Mato Aia
63
Asmaniar, 68 th, masyarakat biasa, wawancara 30 Juni 2018, dirumah beliau di Guguak Lijau,
peneliti mewawancarai beliau saat beliau pulang dari ladang. Hal serupa juga disampaikan oleh
Rosnaili, 49 th, masyarakat biasa, wawancara 12 Juli 2018 dirumah beliau di Guguak Lijau, Yanti,
43 th, masyarakat biasa, 22 Juli 2018 dikedai pada pukul 14.20, Jumi Adriani (46) PNS (27 Mei
2018, 14.15, dirumah beliau di bawah labuah), Efi Mutia (46) Bertani (03 Juli 2018, 10.35, di
Huller Guguak Lijau)

53
Gambar 7. Motif Pucuak Rabuang pada mato banta
Sumber:dokumentasi pribadi tanggal 28 Juli 2018

Motif ini merupakan simbol kehidupan dinamis yang

diumpamakan dengan bambu. Dimana ketika bambu masih muda

ia tumbuh menjulang keatas merupakan simbol bagi yang muda

untuk menuntut ilmu dan meraih cita-cita dan ketika sudah besar

ujung bambu mulai merunduk ke bawah yang bermakna apabila

telah berilmu tidaklah menjadi orang yang sombong. Begitu juga

yang diharapkan seorang Penghulu terhadap kemenakannya,

Penghulu berharap kemenakannya bisa berguna seumur hidupnya.

Kedua, motif bungo kiambang atau teratai. Namun kadang

ada yang menyebutnya berbentuk pinyaram64. Bunga kiambang

yaitu bunga yang biasa hidup di air. Makna simbolik yang terdapat

pada motif ini yaitu bahwa kaya miskinnya masyarakat hendaknya

mereka harus bersahaja dan tidak sombong. Seperti yang

diungkapkan Mak Katik65

64
Pinyaram merupakan penghulu kue pada upacara-upacara di Nagari Batipuah.
65
Musra Dahrizal Kt.Rajo Mangkut,69 th, Budayawan Minangkabau,wawancara 4 September
2018 di Aia Angek Cottage

54
“bungo kiambang ko naiak suruik aia nan
bantuaknyo di parmukaan tatok mode tu, maknanyo
adolah kayo bansaik handaknyo ndak sombong wak
do”
Artinya:
“bunga kiambang ini kalau air surut maupun naik
yang bentuknya dipermukaan tetap seperti itu,
maknanya ialah kaya miskin hendaknya kita tidak
sombong”

Gambar 8. Motif Bungo Kiambang pada Mato Banta


Sumber: dokumentasi pribadi tanggal 28 Juli 2018

Ketiga, Wajik atau ajik66, wajik berbentuk diamond yang

memanjang. Jika dilipat maka wajik akan membentuk segitiga.

Filosofinya yaitu sebelum islam masuk ke Minangkabau, keilmuan

itu ada tiga yaitu aku, Adam, dan Tuhan. Setelah islam masuk

berganti menjadi api, air, angin, dan tanah. Bentuk wajik ini juga

dianalogikan menjadi bentuk layar kapal. Layar kapal yang berada

dipermukaan air akan terlihat bayangannya di dalam air. Seperti

yang diungkapkan Mak Katik67

“layia kapa pasti Nampak bayangannyo dalam aia


ndak, itulah bantuak hubungan manusia jo Tuhan,
jikok ndak Tuhan yang manggarikkan awak, ndak
manggarik gai awak do”
Artinya:

“layar kapal pasti Nampak oleh kita bayangannya, itu


lah bentuk hubungan kita dengan Tuhan, jika bukan

66
Ajik merupakan makanan tradisionalBatipuah yang harus ada pada saat upacara Batagak
Panghulu
67
Musra Dahrizal Kt.Rajo Mangkut,69 th, Budayawan Minangkabau,wawancara 4 September
2018 di Aia Angek Cottage

55
Tuhan yang menggerakkan kita, tidak akan bergerak
kita”

Jadi wajik memiliki makna bahwasanya kita memiliki

hubungan yang erat dengan sang khalik. Jika bukan tuhan yang

menggerakkan kita, kita tidak akan bisa bergerak sendiri.

Gambar 9. Motif Wajik pada mato banta


Sumber: dokumentasi pribadi tanggal 28 Juli 2018

3. Mato kasua

Mato kasua merupakan hiasan yang terbuat dari emas, mato kasua

ini di susun sedemikian rupa pada kasua panjang. Makna yang

terkandung pada mato kasua yaitu bahwasanya Batipuah memiliki

kekayaan alam yang berlimpah. Seperti yang diungkapkan oleh Efi

Mutia68

“ makna mato kasua nan ado di kasua panjang ko


manuruik etek malambangkan Batipuah ko punyo
kekayaan alam nan balimpah, salain itu dek kasua
adaik ko talatak di rumah kamanakan panghulu,
kamanakan panghulu ko lah nan berhak mengelola
harato pusako”

Artinya:
“makna mato kasua yang ada di kasua panjang ini
menurut etek melambangkan Batipuah memeiliki
kekayaan alam berlimpah, selain itu karna kasua
adaik terletak di rumah kemenakan penghulu,

68
Efi Mutia, 46 th, masyarakat biasa, wawancara 03 Juli 2018 pukul 10.30 di Huller Guguak Lijau.
Hal senada juga diungkapkan oleh Rosnaili, 49 th, masyarakat biasa, wawancara 12 Juli 2018
dirumah beliau di Guguak Lijau, Yanti, 43 th, masyarakat biasa, 22 Juli 2018 dikedai pada pukul
14.20, Jumi Adriani (46) PNS (27 Mei 2018, 14.15, dirumah beliau di bawah labuah)

56
kemenakan penghulu lah yang berhak mengelola
harta pusaka”

Hal senada juga diungkapkan oleh Musril69

“ makna mato kasua nan ado di kasua panjang ko yaitu


dek kasua adaik ko talatak di rumah kamanakan panghulu,
kamanakan panghulu ko lah nan berhak mengelola harato
pusako, salain itu, mato kasua ko mampunyoi makna
basonyo mamak ko ndak kayo jo harato kamanakannyo do
malainkan jo harato baliau sorang”
Artinya:
“makna mato kasua yang ada di kasua panjang ini yaitu
karna kasua adaik terletak dirumah kemenakan penghulu,
kemenakan penghulu lah yang berhak mengelola harta
pusaka, selain itu, mato kasua ini memiliki makna
bahwasanya mamak tidak kaya dengan harta
kemenakannya melainkan dengan harta beliau sendiri”

Makna mato kasua yang dipahami masyarakat yaitu

melambangkan kekayaan berlimpah yang ada di Nagari Batipuah,

setelah itu karena letak kasua adaik berada dirumah kemenakan, maka

kemenakan lah yang berhak mengelola harta pusaka. Namun pada

hakikatnya makna mato kasua berbeda dengan yang dipahami

masyarakat. Bahwasanya pada dahulunya mato kasua berbentuk

seperti bintang dan berwarna perak. Bintang ini diibaratkan sebagai

Rukun Islam. Seperti yang diungkapkan oleh Mak Katik70

“mato kasua pado kasua panjang diibaraik an jo


rukun islam, baa mako dikasua panjang lataknyo?
Karano kasua panjang tampek kasandaran dek urang
Batipuah, makna nyo satiok nan dikecek an dan
dikarajoan harus barlandaskan kapado agamo”
Artinya:
69
Musril, 59 th, masyarakat biasa, wawancara 07 Juli 2018 pukul 14.00 dirumah beliau di Batang
Arau. Hal serupajuga diungkapkan oleh Jumiral (40) Bertani (10 Juli 2018, pukul 16.00 dirumah
beliau di Kubu Nan IV), Dedi Surya (24) Pegawai Swasta (21 Juli 2018, pukul 14.45 dirumah
beliau di Bonjoe)
70
Musra Dahrizal Kt.Rajo Mangkut,69 th, Budayawan Minangkabau,wawancara 4 September
2018 di Aia Angek Cottage

57
“mato kasua pada kasua panjang diibaratkan dengan
rukun islam, kenapa dikasua panjang letaknya?
Karena kasua panjang tempat bersandar orang
Batipuah, maknanya setiap yang dibicarakan dan
dikerjakan harus berlandaskan kepada agama”

Mato kasua memiliki makna bahwasanya setiap tindakan yang

dilakukan harus berlandaskan pada agama. Karena pada dasarnya

agama menjadi landasan orang Minangkabau dalam bertindak,

seperti falsafah Minangkabau yang berbunyi, “Adat Basandi

Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”

Gambar 10. Mato Kasua pada Kasua Panjang


Sumber: Dokumentasi pribadi

D. Makna Simbol Warna pada Kasua adaik

Warna yang terdapat pada kasua adaik didominasi oleh

warna-warna yang mengacu pada warna marawa. Seperti warna

58
kuning, merah, dan hitam. Asal usul warna ini berasal dari pepatah

dibawah ini

Maso di koto Pariangan


Mulo di alam Minangkabau
Rajo batigo naiak nobaik
Suatu rajo dalam buo
Kaduo rajo sumpua kuduih
Katigo rajo Pagaruyuang
Jikoknyo rajo dalam buo
Mamacik adaik jo limbago
Mangganggam taraju nan bagatok
Lambangnyo sirah basuku ka induak

Jikoknyo rajo sumpua kuduih


Mamacik buku kitab Allah
Manuruik surahan Nabi
Amal taat bukan kapalang
Bagala rajo ibadaik
Lambangnyo itam basuku ka ayah

Koknyo rajo Pagaruyuang


Itulah rajo sa’i alam
Rajo badiri sandirinyo
Sambahan alam Minangkabau
Lakek papatah ibaraiknyo
Warnanyo kuniang tigo tungku sajarangan
Tali nan tigo sapilin
Nan bagala cadiak tahu pandai

Warna marawa ini sudah ada sebelum islam masuk. Pada

era itu marawa dijadikan simbol pembatas pagar pada saat pesta

atau kenduri. Merah, hitam dan kuning merupakan simbol warna

syaiton. Semakin banyak marawa maka semakin mewah

kendurinya. Warna ini juga terdapat pada pangkal pusat anak bayi

yang baru lahir yang disebut “uli barih katuban darah”. Seperti

yang diungkapkan Mak Katik71


71
Musra Dahrizal Kt.Rajo Mangkut,69 th, Budayawan Minangkabau,wawancara 4 September
2018 di Aia Angek Cottage

59
“karek an pusek anak tu uli barih katuban darah, nyo
jadi setan tu, tumako mintak karilaan mangarek
pusek tu,ndak sumbarang karek do”
Artinya:
“Putusan pusat anak itu uli barih katuban darah, dia
akan jadi setan, itu makanya mintak kerelaan pada
saat memotong pusat anak”

Makna warna-warna pada kasua adaik yaitu pertama,

warna hitam. Hitam merupakan simbol agama. Hitam

artinya tahan tapo dan memiliki sifat sabar.

Kedua, Sirah merupakan simbol basuku ka ibu.

Ketiga, kuning merupakan simbol cadiak pandai. Tiga

domain dalam sastra Indonesia yaitu kognitif, afektif dan

psikomotor. Tiga domain dalam sastra Minangkabau yaitu

cadiak, tahu, pandai. Maknanya bahwa setiap masyarakat

hendaknya memiliki ketiga domain tersebut dalam dirinya.

Karena tidak ada gunanya tahu bila tidak pandai dan tidak

ada gunanya cadiak bila tidah tahu. Tahu diibaratkan dengan

agama, kita harus tahu mana yang baik dan yang buruk.

E. Makna Simbol Kepemilikan Kasua adaik

Kasua adaik dimiliki oleh kemenakan penghulu yang perempuan.

Walaupun Penghulu memiliki banyak kemenakan, setiap kemenakan

wajib memiliki kasua adaik.

60
Makna yang dipahami masyarakat mengenai kasua adaik yaitu

kasua adaik sebagai identitas masyarakat Batipuah. Makna kasua

adaik ini diungkapkan oleh Wiwid Febriani72

“ manuruik kak kasua adaik ko tando urang


batipuah, karano yang nampak dek kak, di sakitaran
rumah kak tu ado urang punyo kasua adaik sadonyo,
jadi manuruik kak kasua adaik ko identitas urang
Batipuah”
Artinya:
“ Menurut kak kasua adaik ini tanda orang Batipuah,
karena yang kak lihat, di sekitar rumah kak orang
mempunyai kasua adaik semuanya, jadi menurut kak
kasua adaik ini identitas orang Batipuah”

Hal senada juga diungkapkan oleh Bustamam73

“ ..Kasua adaik ko tando urang Batipuah, yang ndak


punyo kasua adaik biasonyo urang pandatang, kalau
urang asli Batipuah pado umumnyo punyo kasua
adaik, kecuali katurunan Niniak Mamak alah punah,
ndak ado kamanakan padusinyo lai”
Artinya:
“kasua adaik ini tanda orang Batipuah, yang tidak
punya kasua adaik biasanya orang pendatang, kalau
orang asli Batipuah pada umumnya memiliki kasua
adaik, kecuali keturunan Niniak Mamak sudah punah,
tidak ada lagi kemenakan beliau yang perempuan”

Makna yang dipahami masyarakat yaitu kasua adaik merupakan

tanda orang Batipuah. Pada umumnya orang yang asli orang Batipuah

72
Wiwid Febriani, 32 th , staff di Kantor Wali Nagari Batipuah Baruah. Wawancara tanggal 02
Juni 2018, dirumah di Kubu Nan V. Hal serupa juga disampaikan oleh Rosnaili, 49 th, masyarakat
biasa, wawancara 12 Juli 2018 dirumah beliau di Guguak Lijau, Yanti, 43 th, masyarakat biasa, 22
Juli 2018 dikedai pada pukul 14.20, Jumi Adriani (46) PNS (27 Mei 2018, 14.15, dirumah beliau
di bawah labuah), Efi Mutia (46) Bertani (03 Juli 2018, 10.35, di Huller Guguak Lijau)
73
Bustamam Dt. Sidi Mangkuto, 60 th , tuo kampuang wawancara 17 Juli 2018, drumah beliau di
Batang arau pukul 14.25. Hal serupa juga diungkapkan oleh Lahmoeddin Dt. Indomo Marajo, 79
th, Dewan Pertimbangan Adat KAN dan Penghulu Andiko, wawancara tanggal 23 Juni 2018
dirumah beliau di Balai Gadang, Rajudin Dt. Tan Marakan, 58 th, Wakil Ketua KAN B. Ateh
tanggal 18 Juli 2018 17.00 dirumah beliau di Balai Mato Aia, Sy. Dt. Gadang Majolelo (78)
Penghulu Andiko dan Anggota Dewan Pertimbangan Adat KAN Batipuah Ateh, 03 Juli 2018
14.00 di rumah beliau di Balai Mato Aia

61
memiliki kasua adaik. Sebuah keluarga boleh tidak memiliki kasua

adaik apabila keturunannya sudah punah.

Makna selanjutnya yang dipahami oleh masyarakat Batipuah

bahwa yang memiliki kasua adaik tandanya ia memiliki mamak di

Batipuah. Setiap penduduk yang memiliki Mamak akan memiliki

kasua adaik dirumahnya. Jika penduduk Nagari Batipuah bukan

penduduk asli maka tidak diharuskan memiliki kasua adaik. Karena

dipastikan masyarakat pendatang tidak memiliki mamak di Batipuah,

kecuali mereka sudah malakok atau yang biasa disebut mangaku

bamamak di Batipuah. Makna kepemilikan kasua adaik ini di

sampaikan oleh Jumiral74

“ manuruik om kasua adaik ko tando urang lai ba


Mamak di Batipuah,urang nan punyo kasua adaik ko
pastinyo punyo Mamak di Batipuah,maskipun urang
pandatang nan hanyo mangaku bamamak ka
Batipuah ko, nyo pasti punyo kasua adaik”

Artinya:

“menurut om kasua adaik ini tanda orang memiliki


Mamak di Batipuah, orang yang memiliki kasua
adaik ini pastinya memiliki Mamak di Batipuah,
meskipun orang pendatang yang hanya mengaku ber
Mamak ke Batipuah ini, pasti dia memiliki kasua
adaik”

Makna kasua adaik ini di sampaikan oleh A. Dt. Bagindo Ratu75

“ manuruik ambo kasua adaik ko tando urang punyo


Mamak, karano di kasua adaik ko wak bisa
mancaliak basonyo urang nan punyo kasua adaik ko
74
Jumiral, 40 th, masyarakat biasa, wawancara tanggal 10 Juli 2018 pukul 16.00 dirumah beliau di
Kubu Nan IV
75
A. Dt Bagindo Ratu, 68 th, Penghulu Pucuak, wawancara tanggal 17 Juli 2018, dirumah beliau
di kubu nan IV,

62
pastinyo punyo Mamak di Batipuah,maskipun urang
pandatang nan hanyo mangaku bamamak ka
Batipuah ko, nyo pasti punyo kasua adaik”
Artinya:
“menurut saya kasua adaik ini tanda orang memiliki
Mamak, karena dari kasua adaik ini kita bisa melihat
bahwasanya orang yang memiliki kasua adaik ini
pasti memiliki Mamak di Batipuah, meskipun orang
pendatang yang hanya mengaku ber Mamak ke
Batipuah ini, pasti dia memiliki kasua adaik”

Hal senada juga diungkapkan oleh Amrizal Dt. Sampono Kayo76

“kasua adaik ko tando urang lai ba Mamak di


Batipuah ko mah, sabab kasua adaik ko marupokan
kagadangan Mamak di Batipuah, Jikok ndak ba
Mamak nyo di Batipuah ko kaha deknyo kasua adaik
ko”
Artinya:
“kasua adaik ini tanda orang ber Mamak di Batipuah,
sebab kasua adaik ini merupakan kebesaran Mamak
di Batipuah, Jika ia tidak memiliki Mamak di
Batipuah, maka apa gunanya kasua adaik olehnya”

Dari hasil wawancara di atas dapat dilihat bahwasanya

makna kasua adaik bagi masyarakat Batipuah ialah tanda orang

memiliki Mamak di Batipuah. Pada hakikatnya kasua adaik

merupakan simbol kebesaran Niniak Mamak yang ada di Batipuah.

Jika mamak sudah meninggal maka gelar sako akan turun otomatis

kepada kemenakan beliau. Kemenakan yang ditunjuk yaitu

kemenakan yang bertali darah, jika tidak ada kemenakan maka

akan diturunkan kepada garis keturunan terdekat dari mamak.

Setiap warga pendatang juga dibolehkan memiliki kasua adaik

dengan syarat sudah melengkapi syarat untuk mengaku bamamak

di Batipuah. Temuan ini di analisis oleh teori interpretative Geertz


76
Amrizal Dt. Sampono Kayo, 61 th, Panungkek, wawancara tanggal 16 Juli 2018

63
yang mengungkapkan bahwa dalam kebudayaan, makna tidak

bersifat individual tetapi publik. Kasua adaik dimaknai oleh

seluruh masyarakat Batipuah sebagai identitas kebudayaan mereka.

Karena sistem makna menjadi milik kolektif dari suatu kelompok

masyarakat.

F. Makna Simbol Kasua Adat Secara Etik

1. Stratifikasi Sosial

Kasua adaik melambangkan kedudukan penghulu di

Batipuah, kasua adaik ini memiliki makna bahwasanya ada yang

dihargai pada diri seorang penghulu. Selain itu kasua adaik juga

melambangkan tinggi rendahnya status sosial sebuah keluarga di

dalam masyarakat. Hal ini terlihat pada tingkat-tingkat yang

terdapat pada kasua adaik. Keberadaan kasua adaik pada rumah-

rumah kemenakan penghulu ini mencerminkan adanya stratifikasi

sosial di Batipuah. seperti yang diungkapkan oleh Dedi Surya77

“ manuruik da, sebagai anak mudo , da mancaliak


kasua adaik ko batingkek-tingkek, tu kalau 3 tingkek
kasua adaik nyo kanakan panghulu andiko nan
punyo, kalau 4 tu tandonyo kanakan panghulu
pucuaknyo tu, bisa da simpulkan basonyo kasua
adaik ko manunjuak an ado stratifikasi di Batipuah
ko, dasar pambantuaknyo tu jabatan saurang
panghulu”

Artinya:

77
Dedi Surya, 24 th, Ketua Pemuda, Pegawai Swasta (21 Juli 2018, pukul 14.45 dirumah beliau di
Bonjoe). Hal serupa juga diungkapkan oleh Erosen Adera St. Sati, 42 th, PNS di Dinas
Perdagangan dan Koperasi Padang Panjang dan mantan ketua pemuda, 28 Juli 2018, dirumah
beliau di torok pada jam 14.00

64
“menurut uda, sebagai anak muda,uda melihat kasua
adaik ini bertingkat-tingkat, setelah itu kalau tiga
tingkat kasua adaiknya kemenakan penghulu andiko
yang punya, kalau empat itu tandanya kemenakan
penghulu pucuak dia itu, bisa uda simpulkan
bahwasanya kasua adaik ini menunjukan ada
stratifikasi di Batipuah ini, dasar pembentukan
stratifikasi nya yaitu jabatan seorang penghulu”

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Wiwid Febriani78

“ kasua adaik ko mancaliak an baa status panghulu


di Batipuah, samakin tinggi kasua adaik nyo samakin
gadang kekuasaannyo dan samakin diharagoi di
masyarakaik”
Artinya:
“ kasua adaik ini memperlihatkan bagaimana status
Penghulu di Batipuah, semakin tinggi kasua adaiknya
semakin besar kekuasaannya dan semakin dihargai di
masyarakat”

Bertolak dari ungkapan di atas dapat dilihat bahwasanya

kasua adaik mencermikan adanya stratifikasi sosial di Batipuah,

hal ini terlihat pada tingkatan-tingkatan kasua adaik yang

mencerminkan posisi seorang penghulu didalam suatu kaum. Dasar

pembentukan stratifikasinya yaitu jabatan, kekuasaan, dan

keturunan. Stratifikasi yang ada di Batipuah ini bersifat tertutup,

dimana jabatan seorang penghulu akan otomatis turun ke

kemenakannya. Seperti yang diungkapkan oleh Bustamam79

“gala panghulu ko ndak buliah dilakek an ka


sumbarang urang do, karano nan berhak manarimo
gala panghulu tu iyolah kamanakannyo sandiri,
karano Batipuah manganuik lareh koto pili mako
gala panghulu nan baru alun buliah dilakekan
sabalum panghulu nan lamo maningga”
78
Wiwid Febriani, 32 th , staff di Kantor Wali Nagari Batipuah Baruah. Wawancara tanggal 02
Juni 2018
79
Bustamam Dt. Sidi Mangkuto, 60 th , tuo kampuang wawancara 17 Juli 2018

65
Artinya:
“gelar penghulu ini tidak boleh diberikan kepada
sembarang orang, karena yang berhak menerima gelar
penghulu iyalah kemenakannya sendiri, karena
Batipuah menganut Kelarasan Koto Piliang maka
gelar penghulu yang baru belum boleh diberikan
sebelum penghulu yang lama meninggal”

Berdasarkan hasil wawancara diatas dapat disimpulkan

bahwasanya keberadaan kasua adaik menyiratkan adanya

stratifikasi di Batipuah. Stratifikasi ini dipengaruhi oleh jabatan,

kekuasaan dan kedudukan, hal ini tidak terlepas dari kelarasan

yang dianut oleh masyarakat Batipuah bahwa Batipuah menganut

Sistem Kelarasan Koto Piliang. Sistem kelarasan ini

mempengaruhi sistem kepemimpinan tradisional yang ada di

Batipuah, dimana penghulu memiliki tingkatan-tingkatan didalam

masyarakat. Pemegang kekuasaan tertinggi berada di tangan

Penghulu Pucuak.

2. Identitas Masyarakat Batipuah

Kasua adaik merupakan identitas masyarakat Batipuah. karena

kasua adaik hanya dapat ditemukan di Batipuah, hal yang

dipahami oleh masyarakat setempat yaitu bahwasanya dari 8

Nagari yang ada di Kecamatan Batipuh, hanya 2 Nagari yang

memiliki kasua adaik. Hal ini diungkapkan oleh Rosnaili80

“kasua adaik ko di Batipuah Ateh Batipuah Baruah


se nan ado nyo, salain dari itu ndak punyo kasua
adaik do, satalah itu kasua adaik ko marupokan
tando awak ko urang Batipuah, enek kalau ndak ado
80
Rosnaili, 49 th, masyarakat biasa, wawancara 12 Juli 2018

66
kasua adaik talatak dirumah nek, malu nek rasonyo,
raso ndk urang batipuah rasonyo do”
Artinya:
“kasua adaik ini hanya ada di Batipuah Ateh dan
Batipuah Baruah, selain dariitu tidak punya kasua
adaik. Setelah itu kasua adaik ini merupakan tanda
kita orang Batipuah, nenek kalau tidak ada kasua
adaik terletak dirumah nek, malu nek deknyo, raso
ndak urang Batipuah rasonyo”

Hal senada juga diungkapkan oleh yanti81

“kasua adaik ko tando urang batipuah ko mah, malu


wak kalau ndak ado kasua adaik dirumah wak, tek
waktu tu ndak lo bakasua adaik do, tu etek utangan
pitih untuak mambuek kasua adaik ko”
Artinya:
“kasua adaik ini adalah tanda orang Batipuah, malu
kita kalau tidak ada kasua adaik di rumah kita, etek
waktu itu tidak punya kasua adaik, terus etek
berhutang untuk membuat kasua adaik”

Dari wawancara diatas dapat peneliti ambil kesimpulan

bahwasanya kasua adaik merupakan identitas masyarakat

Batipuah. Jika berbicara mengenai kasua adaik dikhalayak ramai,

orang-orang pasti biacara kalau kasua adaik itu tanda orang

Batipuah, seperti yang diungkapkan oleh Epi82

“tentang a penelitian e, tu peneliti jawek, tentang


kasua adaik, oo kasue adek, ka Tipuah Ateh Tipuah
Baruah batanyo ndak e tu, sabok disinan nan ado
kasue adek nyo”
Artinya:
“tentang apa penelitian nya, terus peneliti jawab,
tentang kasua adaik, ke Batipuah Ateh Batipuah
Baruah bertanya hendaknya, sebab disitu yang ada
kasua adaik”
81
Yanti, 43 th, masyarakat biasa, 22 Juli 2018
82
Epi, disini peneliti tidak memasukkan buk epi ke daftar informan karena peneliti hanya
bercengkrama sesaat dengan ibuk epi pada saat peneliti naik mobil Pita Bunga Jurusan Padang
Panjang-Tanjung Mutiara saat itu bertepatan pada hari Jumat tanggal 20 Juli 2018 pukul 10.00
pagi dimana peneliti akan pergi ke kantor Wali Nagari Batipuah Baruah untuk mewawancarai
Mardalis Dt.Itam

67
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Yulimar83

“batua tu, kasua adaik tu di Batipuah Ateh Batipuah


Baruah senyo, Pitalah kan masuak kecamatan
Batipuah lo tu, pi ndak do pitalah makai kasua adaik
tu do”
Artinya:
Betul itu, kasua adaik itu hanya ada di Batipuah Ateh
dan Batipuah Baruah, Pitalah kan juga masuk
kecamatan Batipuah, tapi tidak ada pitalah memakai
kasua adaik”

Bertolak dari hasil wawancara di atas, peneliti memahami

bahwasanya kasua adaik merupakan milik bersama Nagari

Batipuah Ateh dan Batipuah Baruah, dimana hanya daerah

tersebutlah yang memiliki kasua adaik. Bisa disimpulkan

bahwasanya kasua adaik ini merupakan identitas dari masyarakat

Batipuah

3. Tando lai baMamak

Makna ketiga yang di pahami mengenai kasua adaik yaitu

jika sebuah keluarga memiliki kasua adaik, tandanya ia memiliki

mamak di Batipuah. Seperti yang di sampaikan oleh Ernawati84

“kasua adaik tu tando lai ba mamak nyo di Batipuah


tu, urang pandatang ndak buliah sumbarang-
sumbarang se malakek an kasua adaik ko do, harus
mangaku bamamak nyo ka Batipuah lu”
Artinya:
“ kasua adaik ini tanda lai ba mamak di Batipuah,
orang pendatang tidak boleh sembarang memakai
83
Yulimar, disini peneliti tidak memasukkan buk yulimar ke daftar informan karena peneliti hanya
bercengkrama sesaat dengan ibuk yulimar pada saat peneliti bercengkrama dengan buk epi, setelah
saling bertanya ternyata buk yulimar ini bertempat tinggal di pitalah pada hari Jumat tanggal 20
Juli 2018 pukul 10.00 pagi dimana peneliti akan pergi ke kantor Wali Nagari Batipuah Baruah
untuk mewawancarai Mardalis Dt.Itam
84
Ernawati, 57 th, Masyarakat biasa, wawancara tanggal 03 Juni 2018

68
kasua adaik dirumahnya, mereka harus mengaku ba
mamak ke Batipuah”

Pernyataan yang sama juga diungkapkan oleh Jumi85.

“kasua adaik ko nak, tando nyo lai ba mamak wak di


kampuang nak, kalau urang pandatang nyo, ndak
buliah nyo mamakaian kasua adaik dirumahnyo do,
sabab kasua adaik ko bukan pakaian inyo, lah
mangaku bamamaknyo baru bisa dilakek an kasua
adaik dirumahnyo”
Artinya:
“kasua adaik ini nak, tanda punya mamak di
kampung nak, kalau orang pendatang nyo, tidak boleh
dia memakai kan kasua adaik dirumahnya, sebab
kasua adaik ini bukan pakaian dia, sudah mengaku ba
mamak dia, baru dia bisa memasang kasua adaik
dirumahnya”

Dapat disimpulkan bahwasanya orang yang tinggal di

Batipuah akan tetapi belum mengaku ba mamak maka ia belum

bisa memasang kasua adaik dirumahnya. Karena menurut peneliti

pada dasarnya kasua adaik merupakan kebesaran Niniak Mamak

yang ada di Batipuah. Jadi yang berhak memiliki kasua adaik ialah

kemenakan Niniak Mamak itu sendiri.

Geertz mengungkapkan bahwasanya kebudayaan dilihat

sebagai sistem yang saling terkait sebagai tanda-tanda yang dapat

ditafsirkan, dengan kata lain kebudayaan merupakan sebuah

konteks, dan sesuatu di dalamnya yang dapat dijelaskan secara

mendalam86. Geertz juga memandang manusia sebagai pembawa

dan produk, sebagai subjek sekaligus objek, dari suatu sistem tanda

85
Jumi Adriani, 46 th, Masyarakat Biasa, wawancara 27 Mei 2018
86
Clifford, Geertz. 1992. Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta. Kanisius. Hal 17

69
dan simbol yang berlaku sebagai sarana komunikasi untuk

menyampaikan pengetahuan dan pesan-pesan. Simbol memberikan

landasan bagi tindakan dan prilaku selain gagasan dan nilai-nilai87.

Bagi masyarakat Batipuah keberadaan kasua adaik sebagai

sebuah simbol yang memiliki makna. Makna yang terkandung

dalam kepemilikan kasua adaik yaitu (1) adanya stratifikasi sosial

(2) sebagai identitas masyarakat Batipuah dan (3) sebagai tanda lai

ba mamak di Batipuah.

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
87
Ibid., hal. 291

70
Kasua adaik merupakan sebuah atribut adat yang ada di rumah-

rumah penduduk di Batipuah. Kasua adaik pada dasarnya bukan

berbentuk kasur biasa, akan tetapi berbentuk seperti peti persegi

panjang yang bertingkat-tingkat. Kasua adaik dianggap masyarakat

sebagai simbol kebesaran Niniak Mamak di Batipuah.

Makna yang terkandung dalam kepemilikan kasua adaik yaitu

(1) adanya stratifikasi sosial, kasua adaik mencerminkan tinggi

rendahnya kedudukan sebuah keluarga ditengah-tengah masyarakat,

semakin tinggi tingkatan kasua adaik maka semakin tinggi juga status

sebuah keluarga di dalam masyarakat (2) sebagai identitas

masyarakat Batipuah, kasua adaik dianggap sebagai identitas karena

kasua adaik hanya ada di Batipuah saja, setelah itu kasua adaik

merupakan salah satu aspek budaya yang menjadi milik semua

masyarakat Batipuah dan (3) sebagai tanda lai ba mamak di Batipuah.

selain menjadi simbol stratifikasi sebuah keluarga, kasua adaik juga

menjadi tolak ukur tinggi rendahnya kedudukan Niniak Mamak di

Batipuah, jadi yang berhak memiliki kasua adat ialah kemenakan

perempuan seorang Penghulu. Setiap pendatang yang tinggal di

Batipuah tidak berhak memiliki kasua adaik kecuali sudah mangaku

bamamak di Batipuah.

B. Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan mengenai kasua

adaik di Nagari Batipuah, peneliti memberi saran. Pertama, kepada

71
peneliti selanjutnya hendaklah dapat melakukan penelitian lebih

mendalam lagi mengenai kasua adaik. Kedua, kepada KAN setempat

agar lebih banyak membuat dokumen mengenai adat-adat tentang

nagari Batipuah, agar bukti tertulis mengenai adat ini dapat

terpublikasi lebih luas.

BAB V

DAFTAR PUSTAKA

72
Afrizal. 2014. “Metode Penelitian Kualitatif”. Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada.

Anggraini, Tuti. (2013). “Suntiang Bungo Sanggua dan Saluak dalam Upacara
Kematian di Nagari Salayo Kecamatan Kubung Kabupaten Solok”.
Skripsi: Jurusan Sosiologi. Fakultas Ilmu Sosial. Universitas Negeri
Padang.

Elfira, Mina. 2013. “Model Kepemimpinan Berbasis Kearifan Lokal di


Minangkabau dan Bugis”

Emzir. 2010. “Analisis Data: Metode Penelitian Kualitatif”. Jakarta : PT Raja


Grafindo Persada.

Endraswara, Suwardi. 2102. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta:


Gajah Mada University Press.

Ibrahim, Anwar. 1984, Arti Lambang dan Fungsi Tata Rias Pengantin dalam
Menanamkan Nilai-nilai Budaya Provinsi Sumatera Barat, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.

Geertz, Clifford. 1992. Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta. Kanisius.

Hadikusuma, Hilman. 2003. Hukum Waris Adat. Bandung. PT. Citra Aditya Bakti

Ibrahim. 2009. Tambo Alam Minangkabau. Bukittinggi: Kristal Multimedia.

Koentjaraningrat. 2002, Pengantar Antropologi II: Pokok- pokok Etnografi,


Jakarta: PT Rineka Cipta

Martono, Nanang. 2016. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Rajawali Pers.

Mochtar Naim. 1984. Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau. Yogyakarta:


UGM Press.

MS, Amir. 2007. Masyarakat Adat Minangkabau. Jakarta: Citra Harta Prima.

Oktavia, Reni. (2005). “Makna Simbolik Pemakaian Kain Songket Bagi


Masyarakat Nagari Pandai Sikek”. Skripsi: Jurusan Sosiologi. Fakultas
Ilmu Sosial. Universitas Negeri Padang.

Saifuddin, Ahmad F. 2005. Antropologi Kontemporer. Jakarta. Kencana.

Spradley, James P. 1997. Metode Etnografi. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya

73
Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung:
Alfabeta
Suyanto, Bagong dan Sutinah. 2005. Metode Penelitian Sosial Berbagai
Alternatif Pendekatan. Jakarta: Kencana.
Syam, Nur. 2007. Mahzab-mahzab Antropologi. Yogyakarta: LkiS

Zainuddin, Musyair. 2008. Implementasi Pemerintahan Nagari Berdasarkan Hak


Asal Usul Adat Minangkabau. Yogyakarta: Ombak

Perda:

Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat No 7 Tahun 2018 Tentang Nagari

LAMPIRAN 1

74
DAFTAR INFORMAN

No. Nama Umur Jenis Status Dalam Tanggal


Kelamin Masyarakat Wawancara
1. Musra Dahrizal Kt. 69 L Budayawan 4 September 2018
Rajo Mangkuto Minangkabau
2. Sy. H. Dt. 78 L Penghulu 26 Agustus 2017
Gadang Majolelo Andiko/Dewan 03 Juli 2018
Pertimbangan Adat
KAN
3. Jumi Adriani 46 P Masyarakat Biasa 27 Mei 2018
14 Juli 2018
4. Azizman Dt. Sinaro 59 L Penghulu Pucuak/ 30 Juni 2018
Alam Nan Putiah Mantan Ketua KAN 14 Juli 2018
B.Ateh
5. Bustamam Dt. Sidi 60 L Tuo Kampuang 07 Juli 2018
Mangkuto 17 Juli 2018
6. Amrizal Dt. 61 L Panungkek 17 Juli 2018
Sampono Kayo
7. A. Dt. Bagindo 68 L Penghulu Pucuk 17 Juli 2018
Ratu
8. Rajudin Dt. 58 L Penghulu Andiko 07 Juli 2018
Tan Marakan 18 Juli 2018
9. Mardalis Dt. Itam 65 L Penghulu Pucuak 20 Juli 2018
10. Lahmoedin Dt. 79 L Penghulu Andiko/ 23 Juni 2018
Indomo Marajo DPA KAN 29 Juli 2018
11. Ernawati 57 P Masyarakat Biasa 03 Juni 2018
12. Wiwid Febriani 32 P Masyarakat Biasa 02 Juni 2018
S.E
13. Asmaniar 68 P Masyarakat Biasa 30 Juni 2018
14. Efi Mutia 46 P Masyarakat Biasa 03 Juli 2018
15. Musril 59 L Masyarakat Biasa 07 Juli 2018
16. Jumiral 40 L Masyarakat Biasa 10 Juli 2018
17. Rosnaili 49 P Masyarakat Biasa 12 Juli 2018
18. Asmawati 50 P Bundo Kanduang 15 Juli 2018
19. Dedi Surya, S.Pd 24 L Ketua Pemuda 21 Juli 2018
20. Yanti 43 P Masyarakat Biasa 22 Juli 2018
21. Erosen Adera St. 42 L Mantan Ketua 28 Juli 2018
Sati Pemuda/ Masyarakat
Biasa

Lampiran 2

PEDOMAN WAWANCARA

75
KASUA ADAT DI NAGARI BATIPUAH KABUPATEN
TANAH DATAR
A. Data informan
1. Nama :
2. Jenis kelamin :
3. Usia :
4. Pekerjaan :
5. Status/ fungsi dalam masyarakat :
6. Latar belakang pendidikan :
7. Alamat :
8. Tanggal wawancara :
B. Sistem dan Struktur Sosial Masyarakat Batipuah
1. Sejarah singkat Batipuah
2. Struktur masyarakat
3. Pola kepemimpinan dalam masyarakat
a. Formal
b. Non Formal
4. Kepemimpinan dalam suku
a. Jumlah suku
b. Struktur kepemimpinan dalam suku
c. Unit kepemimpinan suku
C. Kasua Adaik
1. Apa itu kasua adaik
2. Apa fungsi kasua adaik pada masyarakat Batipuah
3. Apa saja varian kasua adaik
4. Apa dan bagaimana kasua adaik
5. Siapa yang membuat kasua adaik
6. Bagaimana aturan/ragam hias kasua adaik
7. Bagaimana jika terjadi pelanggaran berkaitan dengan kasua adaik
8. Apakah pada setiap rumah ada kasua adaik
9. Dimana kasua adaik ditempatkan dan apakah ditempatkan secara permanen
10. Bagaimana kalau di sebuah rumah (keluarga) tidak memiliki kasua adaik
11. Mengapa kasua adaik tetap dijaga keberadaannya oleh masyarakat di era
modern ini
Dari poin-poin penting pertanyaan di atas, dapat dikembangkan lagi
tergantung dari suasana wawancara dan informasi yang diberikan oleh informan,
sampai diperoleh data yang banyak dan lengkap agar data penelitian mampu
menjawab pertanyaan penelitian, sehingga data penelitian akan valid dan dapat
dipertanggung jawabkan.
Lampiran 3

Nama-nama Penghulu Pucuak di Nagari Batipuah

76
a. 7 (tujuh) orang ke bukit (kewalian Batipuh Atas sekarang)

Diketuai oleh Dt.Sinaro Nan Hitam.

No Gelar/ Sako Suku

1. Dt. Sinaro Alam Nan Itam Panyalai

2. Dt. Sinaro Nan Putiah Panyalai

3. Dt. Batuah Nan Teleang Sikumbang

4. Dt. Rajo Imam Mulia Sikumbang

5. Dt. Tumangguang Majolelo Koto

6. Dt. Simajolelo Nan Putiah Pisang

7. Dt. Manangguang Basa Malayu

b. 7 (tujuh) Orang ke baruh (Kewalian Batipuah Baruah

Sekarang) Diketuai oleh Dt. Basa.

No Gelar/ Sako Suku

1. Dt. Basa Jambak

2. Dt. Lubang Jajak Sikumbang

3. Dt. Tumalik Rajo Dirajo Koto

4. Dt. Rajo Mulia Sikumbang

5. Dt. Kayo Jambak

6. Dt. Penghulu Basa Jambak

7. Dt. Maharajo Basa Jambak

Lampiran 4

Wawancara dengan Mak Katik ( Musra Dahrizal Kt. Rajo Mangkuto)

77
Wawancara di rumah Sy. Dt. Gadang Majolelo

Sumber: Dok.03 Juli 2018

78
Kasua Adaik di rumah Kemenakan Penghulu Pucuk

Sumber: Dok. 17 Juli 2018

Kasua Adaik di rumah Kemenakan Penghulu Andiko

Sumber: Dok. 25 Juli 2018

Kasua Panjang

79
Penghulu Pucuak

Penghulu Andiko

Banta

Penghulu Pucuak

80
Penghulu Andiko

Kasua Bunta

Penghulu Pucuak

81
Penghulu Andiko

Lampiran 5

82

Anda mungkin juga menyukai