Anda di halaman 1dari 16

KLIPING HARI RAYA AGAMA BUDDHA

Nama : Guna Nanda Ardi Prasetyo


Kelas : X Otomotif 3
SMK NEGERI 3 SALATIGA
Majelis Theravada

1. Hari Raya Magha Puja

2. Hari Raya Waisak

Hari Trisuci Waisak : memperingati 3 Peristiwa Agung yg terjadi pada kehidupan Sang
Buddha Gotama +- 2600 thn yg lalu. Referensi Hari Waisak ini dpt dilihat pada Kitab
Suci Tipitaka, bgn Jakataka (J.i), Kitab Buddhavamsa (Bu.A. 248) &Mahavamsa(Mhv.
Iii.2), 3 Peristiwa tsb adalah : 1. Bodhisattva (Calon Buddha) yg bnama Pangeran
Siddharta Gotama dilahirkan di Taman Lumbini, Nepal pada thn 623 SM 2. Pangeran
Siddharta, yg kmdn mjadi pertapa, dibwh Pohon Bodhi di Bodhgaya-India, mcapai
Penerangan Sempurna & mjadi Buddha pada thn 588 SM di usia 35th 3. Sesdh 45 thn
lamanya mberi bimbingan Dhamma kpd Para Dewa&Manusia, Sang Buddha wafat pada
usia 80th di bwh pohon sala kembar di Kusinara-India & mcapai Parinibbana pada thn
543SM Menurut Tradisi Mahayana dlm merayakan Hari Trisuci Waisak pada wkt yg
berbeda2 : [disebabkan perhitungan berdasar penanggalan Cina] 1.Lahirnya
Bodhisattva Siddharta pada tgl 8 bln 4 Imlek. 2.Pencapaian Penerangan Sempurna
(mjadi Buddha) pada tgl 8 bln 12 Imlek. 3.Wafatnya Sang Buddha Gotama pada tgl 15
bln 2 Imlek. Sesuai dgn Resolusi Kongres Persaudaraan Sangha Sedunia Ke4 No.RES/5
tgl.10Jan 1986 menyatakan bhw hari bln purnama di bln Mei setiap thn sbg “Hari
Buddha” Hari Waisak di Indonesia dittpkan mjadi Hari Libur Nasional bdasarkan SK
Presiden RI No.09/1983 tgl 19Jan 1983.
3. Hari Raya Asadha

Menurut penanggalan Buddhis Theravada, Hari Asalha berarti pertanda akan dimulainya
masa Vassa pada keesokan harinya. Kata 'vassa' artinya `hujan', jadi masa vassa bagi
para bhikkhu adalah menetap di suatu tempat (vihara, cetiya bila ada kuti atau di
tempat tertentu), selama tiga bulan musim hujan. Pada masa ini para Bhikkhu belajar,
mendalami, menghayati dan mengamalkan Dhamma. Di samping itu mereka
mengajarkan dan membina umat yang datang ke vihara (tempat ber-vassa) atau
membina umat dengan cara mengunjungi para umat yang ada di daerah sekitar tempat
ber-vassa. Menurut peraturan kebhikkhuan, selama masa vassa,. para bhikkhu tidak
diizinkan untuk meninggalkan tempat ber-vassa, namun bila ada urusan penting maka
seorang bhikkhu dapat meninggalkan tempat ber-vassa selama tujuh hari.

Masa vassa adalah selama 3 bulan dimulai dari bulan Asalha / Asadha hingga sampai
bulan Kathina. Seorang Bhikkhu setiap satu tahun sekali menjalani Vassa selama tiga
bulan berturut-turut di suatu tempat. Tempat yang sangat baik untuk melakukan Vassa
adalah tempat yang sunyi dan hening di mana umat biasa (orang awam) yagn datang
dan pergi sangat sedikit sehingga suasana keheningan itu terjamin. Pada masa hidup
Sang Buddha di mana anggota Sangha masih berjumlah sedikit, peraturan untuk
mengendalikan Sangha tidak begitu diperlukan, semua savaka (siswa) melaksanakan
dan mengikuti jejak Sang Buddha dan mengetahui dengan baik ajaran Sang Buddha.
Namun ketika jumlah bhikkhu makin bertambah dan tersebar di mana-mana, peraturan
untuk pengendalian diri untuk para bhikkhu menjadi lebih diperlukan. Sehingga ketika
itu Sang Buddha mempunyai padangan bahwa seorang bhikkhu haruslah berdiam di
suatu tempat selama tiga bulan untuk berdiam diri serta merenungkan segala
perbuatan yang diperbuatnya selama satu tahun.
4. Hari Raya Kathina

Peringatan hari kathina yang merupakan upacara khusus pemberian dana, bagi para
umat kepada bhikkhu Sangha. Masa kathina berlangsung satu bulan setelah para
bhikkhu menyelesaikan massa vassa selama tiga bulan. Dalam masa vassa tersebut
para bhikkhu melaksanakan tekadnya untuk berdiam di suatu vihara, dan membabarkan
Dhamma. Selama tiga bulan dalam massa vassa, para Bhikkhu tidak boleh pergi
kemana-mana kecuali ada keperluan yang penting, itu pun dibatasi paling lama
meninggalkan vihara tempat bervassa selama tujuh malam. Umat Buddha walaupun
mereka berada dimana saja, meski hidupnya dalam keadaan ekonomi lemah, sebaiknya
berusaha untuk ikut berdana di hari kathina, dana dapat berbentuk barang atau uang,
meskipun nilainya kecil asal disertai dengan keyakinan. Berarti benih-benih kebaikan
telah ditanam. Hari kathina mempunyai makna khusus dan hari kathina ini saat yang
ditunggu-tunggu baik oleh para bhikkhu maupun umat Buddha, yaitu saat kesempatan
yang hanya satu tahun sekali dalam mempersembahkan civara/jubah dan barang-
barang kebutuhan sangha. Sebagian umat Buddha dengan jumlah yang tidak sedikit,
belum mengetahui asal mula terjadinya hari kathina, maka pada kesempatan ini ada
baiknya penulis menguraikan cerita singkat tentang hari kathina, agar mereka yang
belum mengerti marilah kita bersama memperingati dan ikut berpartisipasi membantu
para anggota sangha.

Di kalangan umat Buddha Terutama Tradisi Teravada, hari Kathina dirayakan pada
bulan Oktober dan November, di akhir masa Vassa, yakni di akhir masa musim hujan di
negara Buddhis. Selama musim hujan ini, para Sangha (persekutuan Bhikkhu Buddhis)
akan menyendirikan/mengasingkan diri mereka sendiri untuk mengasah dan mengolah
pengetahuan Dhamma mereka dan ber-Meditasi (bisa di dalam satu vihara saja atau di
dalam hutan), dan juga berusaha untuk tidak keluar dari tempat pengasingan mereka
kecuali diharuskan/diperlukan sekali. Musim hujan biasanya di mulai 3 bulan sebelum
bulan Oktober, yaitu dari bulan Juli (berdasarkan tanggalan di negara Buddhis). Setelah
para Bhikkhu menyelesaikan pengasingan diri mereka selama musim hujan ini, mereka
akan keluar kembali ke masyarakat umum, dan pada umumnya para umat Buddhis
akan merayakan hal tersebut dengan mempersembahkan kain/jubah dan segala
kebutuhan dasar kepada para Bhikkhu, dan masa itu lah yang dinamakan dengan Hari
Kathina, yang terkadang sering disebut sebagai Berkah Kathina. Hari Kathina ini
biasanya dirayakan oleh semua umat Buddhis dari bulan Oktober sampai November.

Majelis Mahayana

1. Lunar Bulan 01 Hari ke-01 - HUT Bodhisattva Maitreya

Dalam agama Buddha, Bodhisattva Maitreya adalah Buddha yang akan datang. Dalam
bahasa Tionghoa, Maitreya terkenal sebagai Mile Pusa ( 彌 勒 菩 薩 ). Dalam agama Buddha
diajarkan bahwa buddha merupakan sebuah gelar, sehingga Buddha bukanlah menunjuk
kepada Buddha Sakyamuni saja. Buddha yang akan datang setelah Buddha Sakyamuni
adalah Buddha Maitreya yang sekarang ini masih bergelar sebagai bodhisattva (calon
Buddha). Maitreya bertempat tinggal di surga Tusita, yang merupakan tempat tinggal bagi
para bodhisatva sebelum mencapai tingkat ke-buddha-an. Buddha Sakyamuni juga
bertempat tinggal di sini sebelum terlahir sebagai Siddharta Gautama di dunia.

2. Lunar Bulan 02 Hari ke-08 - Buddha Sakyamuni Meninggalkan Keduniawian


Sakyamuni Buddha adalah seorang Putra Mahkota yang kelak akan menjadi raja, tentu
memiliki banyak harta kekayaan, hidup pernikahannya juga sangat indah, memiliki istri yang
sangat cantik dan memiliki putra, tapi mengapa Dia meninggalkan keduniawian ? Suatu hari
Pangeran Siddharta meminta ijin untuk berjalan di luar istana, dimana pada kesempatan
yang berbeda dilihatnya Empat Kondisi yang sangat berarti, yaitu orang tua, orang sakit,
orang mati dan orang suci. Sehingga Pangeran Siddharta bersedih dan menanyakan kepada
dirinya sendiri, ” Apa arti kehidupan ini, kalau semuanya akan menderita sakit, umur tua dan
kematian. Lebih-lebih mereka yang minta pertolongan kepada orang yang tidak mengerti,
yang sama-sama tidak tahu dan terikat dengan segala sesuatu yang sifatnya sementara ini !
“. Pangeran Siddharta berpikir bahwa hanya kehidupan suci yang akan memberikan semua
jawaban tersebut. Pergolakan batin Pangeran Siddharta berjalan terus sampai berusia 29
tahun, tepat pada saat putra tunggalnya Rahula lahir. Pada suatu malam, Pangeran
Siddharta memutuskan untuk meninggalkan istananya dan dengan ditemani oleh kusirnya
Canna. Tekadnya telah bulat untuk melakukan Pelepasan Agung dengan menjalani hidup
sebagai pertapa.

3. Lunar Bulan 02 Hari ke-15 - Buddha Sakyamuni Memasuki Parinirvana

Tahun berganti tahun, tibalah waktunya, Hyang Buddha berada di Vaisali. Ditepi kolam
Markata, Beliau duduk di bawah pohon Sala. Dari tubuh-Nya memancarkan Sinar
Keagungan. Tiba-tiba Mara muncul, dan berkata kepada-Nya, “ Dahulu di tepi sungai
Nairanjana, saya pernah berbicara kepada-Mu di saat akan memperoleh Penerangan.” “Oh,
Orang Bijaksana, Engkau telah memperoleh apa yang hendak diperoleh yaitu Penerangan
Sempurna. Engkau telah mengerjakan apa yang harus dikerjakan. Sekarang masukilah
Nirvana,” kata Mara kepada Yang Maha Bijaksana. Yang Maha Bijaksana menjawab, “Saya
tidak akan memasuki Nirvana terakhir sebelum mereka yang menderita karena kekotoran
batin diselamatkan. Sekarang diantara mereka telah banyak yang diselamatkan, sebagian
lagi berkeinginan untuk diselamatkan, dan lainnya sedang diselamatkan, “ demikian ucapan
selanjutnya dari Yang Maha Bijaksana. Yang Maha Bijaksana, Guru Agung itu menjawab, “
Dalam tiga bulan lagi sejak sekarang, Saya akan memasuki Nirvana terakhir, Saya
mengetahui kapan saat yang paling tepat bagi Saya memasuki Maha Parinirvana, tapi
engkau janganlah tidak sabar.” Janji ini meyakinkan Mara bahwa keinginannya akan
terkabul. Mara bersorak kegirangan lalu menghilang. Tathagata mempunyai kekuatan untuk
hidup sampai akhir kalpa. Tetapi Pertapa Agung itu sekarang sudah memasuki suatu
keadaan yang tenang sempurna. Beliau akan menyerahkan fisik-Nya yang masih menjadi
hak-Nya. Sesudah itu, beliau akan melanjutkan untuk hidup dalam suatu cara yang unik
dengan kemampuan dan kekuatan fisik-Nya yang menakjubkan. Tibalah pada waktunya,
disaat-saat beliau segera akan memasuki Maha Parinirvana, bumi bergetar-getar dan batu
pijar berjatuhan dari angkasa. Halilintar Indra menyambar tiada henti-hentinya dengan
turunnya hujan api dibarengi kilat. Di mana-mana api berkobar, seolah-olah dunia akan
berakhir dengan lautan api alam semesta. Puncak-puncak gunung beruntuhan dan jatuh
menimpa pohon-pohon yang tumbang dan patah. Terdengar suara yang sangat dahsyat dan
menggetarkan oleh tambur-tambur di langit yang bergemuruh di angkasa. Selama
kegaduhan ini terjadi, hal ini sangat mempegaruhi bumi yang dihuni oleh manusia, langit,
dan angkasa. Yang Maha Bijaksana bangun dari meditasi-Nya dengan ketenangan sempurna
namun dalam keadaan mahasadar. Kemudian Beliau mengucapkan kata-kata ini: “Sekarang
Saya telah menyerahkan hak saya untuk hidup sampai akhir kalpa. Tubuh Saya harus
berjalan secara perlahan-lahan dengan kekuatan yang saya miliki, bagaikan sebuah kereta
perang bila rodanya telah dilepaskan. Untuk waktu selanjutnya secara pasti, Saya telah
bebas dari segala ikatan bagaikan penjelmaan dari seekor burung yang sedang mengerami,
yang telah pecah seluruh kulit telurnya.” Ketika Ananda melihat kegaduhan dalam dunia ini,
rambutnya sampai berdiri tegak. Dia heran, apakah gerangan yang terjadi. Seluruh
keberanian dan ketenangannya hilang. Ananda bertanya kepada Yang Maha Tahu, yang
berpengalaman dan telah menemukan Hukum Sebab dan Akibat, untuk mencari sebab-
akibat dari peristiwa ini. Yang Maha Bijaksana menjawab, “Gempa Bumi ini menunjukan
bahwa Saya telah menyerahkan sisa-sisa tahun kehidupan yang menjadi hak Saya. Hanya
selama tiga bulan saja, terhitung sejak hari ini, Saya akan meninggalkan kehidupan Saya.”
Setelah mendengar penjelasan ini dari Yang Maha Tahu, Ananda sangat pilu dan air
matanya mengalir deras keluar. 1.25. Berpisah Dengan Vaisali, Tulisan Terakhir, Perintah
Kepada Mallas Tiga bulan sesudah peristiwa tersebut, Yang Maha Bijaksana datang melihat
ke kota Vaisali, dan mengucapkan kata-kata ini, “Oh, Vaisali ini adalah terakhir kalinya Aku
melihat, Sebab kita akan berpisah dan Saya pergi ke Nirvana.” Kemudian Beliau pergi ke
Kusinagara, mandi di sungai dan memberikan pesan berikut kepada Ananda, “Susunlah
sebuah tulisan untuk Saya di antara pohon kembar Sala itu. Pada waktu malam ini,
Tathagata akan memasuki Maha Parinirvana.” Ketika Ananda mendengar kata-kata ini, air
matanya berlinang. Ananda sambil mengatur tempat peristirahatan terakhir bagi Yang Maha
Bijaksana, masih terus meratap memberitahu kepada Beliau bahwa dia telah mengerjakan
semuanya sebagaimana yang dipesan. Dengan langkah yang teratur, Yang Terbaik dari
manusia berjalan perlahan menuju tempat peristirahatan-Nya yang terakhir, untuk tidak
kembali lahir. Dengan pandangan biasa yang penuh perhatian dari para siswa-Nya, Beliau
berbaring dengan tenang di bawah pohon di antara pohon kembar Sala. Beliau berbaring
dengan sisi kanan-Nya, kepalanya-Nya disangga dengan tangan kanan-Nya. Pada saat-saat
itu semua burung diam dengan kepala merunduk dan tubuh tidak bergerak sedikit pun.para
siswa-Nya semua duduk dengan tubuh yang lemas. Angin berhenti berhembus, bagaikan
mengucurkan air mata, daun-daun dari pepohonan jatuh berguguran dan bunga-bunga
menjadi layu terlepas dari pohonnya. Dalam suasana penuh keharuan, Yang Maha
mengetahui sambil berbaring di tempat peristirahatan-Nya yang terakhir, berkata kepada
Ananda yang sedang bersedih hati dan menangis. “Waktunya telah tiba bagi Saya memasuki
Maha Parinirvana. Engkau pergilah dan katakanlah kepada Mallas tentang hal ini. Karena
mereka akan menyesalinya di kemudian hari, jika mereka sekarang tidak datang
menyaksikan Nirvana.” Ananda hampir jatuh pingsan karena sangat duka. Bagaimanapun
pesanya, Ananda mematuhi perintah itu dan dia pergi untuk mengatakan kepada Mallas
bahwa Yang Maha Bijaksana sedang berbaring di atas tempat peristirahatan-Nya yang
terakhir. Setelah mendengar ucapan Ananda, Mallas dengan muka sedih dan air matanya
mengalir, dia datang melihat Yang Maha Bijaksana. Mereka semua memberi penghormatan
kepada-Nya, dan dengan sedih mendalam mereka berdiri mengelilingi-Nya. Yang Maha
Bijaksana berkata kepada mereka, “Dalam waktu senang adalah tidak tepat untuk berduka .
Kalian merasa putus asa sungguh tidak pada tempatnya, kalian harus memperoleh kembali
ketenangan kalian. Tujuan itu, sangatlah sulit dicapai. Selama beberapa kalpa Saya telah
menginginkannya, sekarang tujuan itu akhirnya sampai juga. Bila telah tiba waktunya, dan
telah dimenangkan semuanya, maka tiada lagi unsur tanah, air, api, dan angin.
Kebahagiaan sempurna yang abadi berada diluar alam non-materi, di luar semua hakekat
perasaan, suatu kedamaian yang sulit bagi seseorang untuk dapat memperolehnya. Sesuatu
yang paling tinggi adanya. Bagaimana masih ada waktu dan ruang untuk berduka dalam
pikiran kalian? Di gaya, pada waktu Saya mengalahkan godaan Mara, memperoleh
Penerangan Sempurna, Saya telah memutuskan mata rantai sebab-Musabab yang saling
bergantungan, yang mana bukanlah apa-apa melainkan hanya suatu kelompok ular berbisa
dan jahat. Sekarang waktunya telah semakin dekat, bila Saya sebentar lagi akan berpisah
dari tubuh ini, yang merupakan rumah tempat tinggal dari perbuatan atau karmadari masa
lampau. Sekarang, akhirnya tubuh ini yang mempunyai begitu banyak penderitaan, telah
menemukan jalan keluarnya. Dan juga, bahaya yang sangat menakutkan dari penciptaan itu
akhirnya dapat dipadamkan. Akhirnya sekarang Saya keluar dari penderitaan yang sangat
banyak itu dan tanpa akhir. Apakah itu waktunya kalian berduka?” Yang Maha Bijaksana dari
suku Shakya dengan mengucapkan demikian, dibarengi dengan gemuruh dari suara-Nya,
yang telah menjelaskan kepada mereka segala sesuatunya secara maha bijaksana, dengan
ketenangan sempurna Beliau sebentar lagi akan memasuki Maha Parinirvana. Yang Maha
Terbaik dan Teragung dari para dewa dan manusia mencapai kesejahteraan dan
kesentosaan, menyampaikan kepada mereka pesan-pesan terakhir yang penuh arti. “sudah
tentu adalah suatu kenyataan bahwa pengolahan diri tidak dapat datang dari hanya melihat-
Ku. Tetapi jika seseorang telah mengerti dan menghayati serta menjalankan seluruh Buddha
Dharma-Ku, dia tidak melihatku, tetapi bila dia telah mengerti dan menghayati serta
menjalankan Buddha Dharma-Ku, dia sudah pasti akan terbebas dari segala penderitaan.
Sekalipun dia tidak melihat-Ku, tetapi bila dia telah mengerti dan menghayati serta
menjalankan Buddha Dharma-Ku, dia telah melihatku. Bila seseorang sakit, dia haruslah
memakan obat supaya sembuh, hanya melihat kepada dokter saja tidaklah cukup. Demikian
juga hanya melihat kepada Saya tidak mungkin seseorang menaklukan penderitaan tingkat
tertinggi perihal kebenaran spiritual sebagaimana yang telah Saya khotbahkan. Karena itu
bergiatlah, bertekunlah dan mencoba mengendalikan pikiranmu! Lakukanlah perbuatan yang
baik, dan cobalah menangkan kesadaran! Karena kehidupan ini selalu digoyahkan oleh
berbagai macam penderitaan sebagaimana nyala dari sebuah pelita yang dapat padam
karena ditiup angin.” Dalam keadaan ini, Yang Maha Bijaksana, Yang Terbaik dari para dewa
dan manusia serta semuanya yang pernah hidup, memperkuat pikiran mereka semua.
Namun airmata masih tetap mengalir dari mata meraka, dan pikiran-pikiran mereka yang
gelisah kembali ke Kusinagara. Setiap orang merasa tidak berdaya dan tidak terlindungi.
Mereka seolah-olah sedang menyeberang di tengah-tengah sungai yang sangat dalam. 1.26.
Maha Parinirvana Sesudah itu, Hyang Buddha mengalihkan perhatian kepada para siswa-
Nya, dan berkata kepada mereka, “Segala sesuatu datang pada akhirnya, walaupun itu
berlangsung selama satu kalpa. Waktu berpisah pasti datang pula pada akhirnya. Sekarang
Saya telah mengerjakan apa yang harus saya kerjakan. Kedua-duanya baik untuk Saya
sendiri maupun orang lain. Untuk tinggal disini, sekarang dan selanjutnya harus dengan
suatu tujuan. Saya telah berdisiplin dan saya telah membawa mereka cara yang sama.
Selanjutnya inilah Dharma Saya, Oh para bhiksu, kalian harus mematuhi Dharma-Ku untuk
sekarang dan seterusnya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Karena itu kenalilah
hakekat yang sebenarnya dari kehidupan dunia. Janganlah cemas, karena perpisahaan
tidaklah mungkin dapat dihindari. Kenalilah juga bahwa semua yang hidup adalah berpokok
pada Hukum Kesunyataan ini, dan berjuanglah mulai hari ini dan seterusnya sampai
kehidupan itu tidak ada lagi! Bila penerangan yang Saya babarkan sudah menghalau
kegelapan karena ketidaktahuan, bila semua eksistensi yang telah terlihat semua dengan
tanpa substansi. Kedamaian akan terjadi pada akhirnya bila mengerti kehidupan ini, yang
dapat mengobati penyakit yang telah lama ada. Pada akhirnya, segala sesuatunya, apakah
yang dapat bergerak, dipastikan akan binasa. Karena itu, ingatlah dan waspadalah!
Sekarang telah tiba saatnya bagi Saya untuk memasuki Maha Parinirvana! Inilah kata-kata
Saya yang terakhir.” Ketika yang Maha Bijaksana memasuki Maha Parinirvana – pada
tanggal 15 bulan 2 (lunar, menurut versi Mahayana) – bumi bergetar-getar, mendadak
turun hujan badai, batu pijar berjatuhan dari angkasa, langit bagaikan disulut api yang
menyala-nyala tanpa bahan bakar, tanpa asap, tanpa tiupan angin. Halilintar yang
menakutkan menggelegar-gelegar, kemudian datanglah angin kencang mengamuk di
angkasa. Sinar bulan meredup, angkasa gelap gulita. Suatu kegelapan aneh sekali menutupi
dimana-mana. Air sungai di mana saja bagaikan air mendidih mengatasi kesedihannya.
Bunga-bunga yang indah merekah di luar musimnya pada pepohonan Sala dan membentuk
tulisan di atas tempat pembaringan Hyang Buddha. Pohon-pohon merunduk memayungi Dia
dan menaburi tubuh keemasan-Nya dengan bunga-bunga beraneka warna nan indah.
Tampak di angkasa, para dewa dan dewi, lima pimpinan Naga berdiri dengan tidak bergerak
sedikit pun. Mata mereka merah karena duka, surai mereka menutup tapi mereka tetap
tegak berdiri. Dengan kesayangan yang amat mendalam, mereka memandang tubuh Yang
Maha Bijaksana. Tetapi mereka yang telah mendalami Dharma dan mengolah diri, para
dewa yang mengelilingi raja Vaishravana tidaklah berduka dan mengeluarkan air mata,
sebab mereka telah menghayati Dharma yang cukup mendalam. Para dewa yang mendiami
semua temapt suci juga hadir untuk memberikan penghormatan terakhir kepada Pertapa
agung itu yang telah mencapai Samyak Sam Buddha. Mereka tetap tenang , dan pikiran
mereka terpengaruh lagi oleh suka dan duka, karena mereka telah mengetahui semua hal di
dunia ini yang penuh kekotoran. Para raja dari Gandharvas, Nagas, Yakshas, dan Devas,
semua berdiri di angkasa, turut berkabung dan menahan duka yang dalam. Pda saat-saat
terakhir, ketika Buddha Shayamuni akan memasuki Maha Parinirvana, Beliau memberikan
Khotbah-Nya yang terakhir kepada para siswa-Nya agar mereka sejahtera. Beliau
membabarkan intisari ajaran-Nya itu yang terdapat dalam kitab Mahayana Buddha
Pacchimovada Pari Nirvana Sutra. Sutra ini menjelaskan ajaran Hyang Buddha mengenai : 1.
Pematuhan pada sila-sila Hyang buddha 2. Pengendalian Pikiran 3. Masalah makan, tidur 4.
Mengedalikan amarah dan hawa nafsu 5. Melenyapkan kesombongan 6. Menghindari pujian
7. Mengurangi keinginan 8. Rasa Puas 9. Menyendiri 10. Tekun berusaha 11. Mengendalikan
pikiran 12. Dhyana dan samadhi 13. Prajna 14. Menghindari perdebatan 15. Waspada 16.
Keragu-raguan 17. Menyelamatkan setiap manusia 18. Dharmakaya yang kekal.
4. Lunar Bulan 02 Hari ke-19 - HUT Bodhisattva Avalokitesvara 

Bodhisattva Avalokitesvara merupakan perwujudan sifat welas asih dari semua Buddha. Ia
adalah salah satu Bodhisattva yang paling dimuliakan dalam tradisi Mahayana.
5. Lunar Bulan 02 Hari ke-21 - HUT Bodhisattva Samantabhadra

Dalam bahasa sansekerta, Samantabhadra Bodhisattva mempunyai makna yaitu “Pribadi


Maha Agung Yang Layak Memperoleh Penghormatan Secara Universal”. Menurut Sutra
Buddhis, dikatakan bahwa Samantabhadra Bodhisattva mendampingi Hyang Buddha
Shakyamuni di sisi sebelah kanan dengan menunggangi seekor gajah putih dengan 6 gading
yang merupakan simbol dari "Praktek Agung". Sedangkan yang mendampingi Hyang Buddha
Shakyamuni di sisi sebelah kiri adalah Manjushri Bodhisattva yang menunggangi seekor
singa. Bodhisattva Manjushri melambangkan intelegensi, kebijaksanaan dan lulusnya
seseorang dalam menempuh ujian kehidupan dan memperoleh ijazah spiritual pada
tingkatan tertentu. Sedangkan Bodhisattva Samanthabadra mewakili doktrin atau ajaran
agama. Di dalam kegiatan pembinaan diri, Bodhisattva Manjushri menggaris bawahi
"Prajna", sedangkan Bodhisattva Samantabhadra, menggaris bawahi "Samadhi", kebajikan
dan praktek. Dari kedua tokoh Bodhisattva ini, melambangkan kesempurnaan dalam prinsip
Buddha Mahayana tingkatan paling tinggi. Samantabhadra Bodhisattva sangat dihormati
sebagai seorang pelindung bagi para pelaku Dharma. Dimana Beliau kemudian membuat
"10 Sumpah Agung" sesuai dengan yang tertulis dalam Sutra Avatamsaka yaitu: 1. Untuk
memuliakan dan menghormati para Buddha 2. Untuk memuja Sang Tathagata 3. Untuk
memberikan persembahan kepada para Buddha, dimana persembahan yang sangat berarti
adalah dengan mempraktekkan ajaran Sang Buddha sehingga dapat memberikan manfaat
kepada diri sendiri dan orang lain. 4. Untuk melakukan pertobatan dan menyesali semua
perbuatan buruk pada masa lalu baik dari pikiran, ucapan maupun tindakan dan
memperbaikinya 5. Untuk menghayati kegembiraan di dalam (melakukan) penimbunan jasa-
jasa kebajikan. 6. Untuk selalu berusaha agar "Roda Dharma" (ajaran Buddha) akan selalu
lestari dan diteruskan kepada orang lain 7. Untuk memohon agar Sang Buddha tetap berada
di dunia fana agar dapat memberikan manfaat kepada orang banyak 8. Untuk selalu
mengikuti jalan ke-Buddha-an (ajaran Buddha) agar depat mencapai pencerahan 9. Untuk
selalu dapat hidup secara harmonis dengan semua makhluk 10. Untuk dapat selalu
menyalurkan semua manfaat dan kebajikan yang dikumpulkan demi keselamatan semua
makhluk Tempat suci Samantabhadra Bodhisattva adalah di gunung E Mei Shan di propinsi
Si Chuan di sebelah Barat, yang merupakan salah satu dari empat gunung suci agama
Buddha di Tiongkok. Di Jepang ia sering kali dipuja oleh para pengikutnya untuk
memperoleh kemakmuran dan panjang umur, bahkan sebagian pihak menganggap ia
sebagai pelindung pengobatan.
6. Lunar Bulan 04 Hari ke-04 - HUT Bodhisattva Manjusri 

Manjusri (bahasa Tionghoa: 文殊 Wénshū atau 文殊師利菩薩 Wénshūshili Púsà ); Jepang:


Monju; Tibet: Jampelyang; Nepal: मंजुश्री Manjushree) adalah seorang Bodhisattva (individu
yang tercerahkan) dalam tradisi Agama Buddha Mahayana dan Vajrayana. Manjusri adalah
seorang bodhisattva yang dikaitkan dengan kebijaksanaan, pengajaran dan kesadaran dan
dalam tradisi Vajrayana merupakan dewa meditasi (yidam), yang menggambarkan
kebijaksanaan yang tercerahkan. Menurut sejarah, kitab suci Mahayana menjelaskan bahwa
Manjusri adalah seorang pengikut Buddha Gautama, walaupun ia tidak disebutkan dalam
kitab suci Pali. Istilah Sanskerta akan Mañjuśrī dapat diartikan sebagai "Kemuliaan Baik Hati"
(Gentle Glory). Mañjuśrī juga dikenal dengan nama Sanskerta yang lebih lengkap yakni
Mañjuśrī-kumāra-bhūta.
7. Lunar Bulan 04 Hari ke-08 - HUT Buddha Sakyamuni

Setelah mengalahkan Mara, dengan kebulatan tekad dan ketenangannya, Bodhisattva


Gautama berhasil meneruskan meditasinya. Akhirnya Bodhisattva Gautama secara berturut-
turut telah mengalami : Ketika Bodhisattva Gautama mampu mengalahkan para pengikut
Mara, beliau telah mengalami yang pertama kali dari empat tingkatan dhyana. Pengamatan
pertama malam itu: Dengan kekuatan mata batinnya yang luar biasa (divyacaksus), Dia
menghancurkan kegelapan (tamas) dan menghasilkan terang (alokam). Dalam pengamatan
menengah, Dia mengingat kehidupan masa lampaunya dan memperoleh pengetahuan
seperti itu (vidya). Dan pengamatan ketiga, ketika fajar menyingsing, Dia menyadari dan
memperoleh pengetahuan mengenai penghancuran dari asravas. Selanjutnya, dia
merenungkan sampai tiga kali tentang 12 jenis pratitya samutpada. Pertama-tama, dia
mulai dengan usia tua dan kematian, dan berpikir, “Apa yang terjadi mengenai jaramarana?
Apakah penyebabnya?” Dia mengulangi pertayaan itu sampai pada avidya. Yang kedua kali,
dia mulai dengan avidya, dan berpikir demikian, Samakara timbul dari avidya sebagai
penyebabnya, dan seterusnya, sampai pada hubungan mata rantai pratitya-samutpada yang
terakhir. Yang ketiga kali, dia mulai dengan jara-marana dan berpikir demikian, “Apa yang
tidak bereksistensi, jara-marana tidak akan terjadi? Apa yang menyebabkan penghentian
jara-marana? Dia meneruskan dengan cara ini dan berakhir pada avidya. Kemudian Dia
menyadari bahwa Pengetahuan, Penglihatan ke dalam, Kebijaksanaan, dan Penerangan
telah timbul dalam dirinya. Dia telah mengetahui fakta dan hakekat dari penderitaan itu,
mengenai asravas, dan perihal 12 faktor tentang sebab-musabab yang saling bergantungan.
Dia mengetahui pula tentang asal mula dan sebab penghentian semua itu, dan juga jalan
menuju ke Penghentian itu. Jadi Dia memperoleh Pengetahuan kelipatan tiga dan
memperoleh Penerangan sempurna yang tertinggi. Dia mengetahui, mengerti, menyaksikan,
dan merealisasikan semua yang di ketahui, dimengerti, disaksikan, dan direalisasikan. Dia
kemudian bangun dan melompat ke angkasa dengan ketinggian tujuh kali pohon bodhi. Dia
berbuat demikian untuk meyakinkan para deva bahwa Dia telah memperoleh Penerangan.
Dia mengucapkan sajak berikut ini : “Jalan itu telah diputuskan; debu itu telah dihilangkan;
Asravas telah dikeringkan, mereka tidak akan mengalir lagi. Bila jalan itu telah diputuskan,
dia tidak kembali lagi, Ini dinamakan akhir dari Penderitaan.” Semua Buddha harus
menunjukkan tanda-tanda kemampuan seperti itu. Para dewa menaburi aneka bunga
kepada-Nya dan mengakui ke-Buddha-an-Nya. Penerangan dan kebahagiaan menyebar ke
seluruh alam semesta, dan sampai menggoncangkan enam alam. Semua Buddha memuji
Buddha yang baru itu dan menghadiahkan Dia payung permata yang mengeluarkan sinar
penerangan. Semua Bodhisattva dan deva gembira dan memuji Buddha itu. (Penerangan ini
diterjemahkan dari Penerangan yang di edit oleh P.Ghosa, Calcutta, 1902-13, Bibliotheca
Indita, Catasahasrika Prajna Paramita, Bab I-XII) Menurut versi Hinayana, beliau
memperoleh Penerangan atau Pencerahan Agung dan menjadi Buddha (Samyak-Sam-
Buddha) dibawah pohon Bodhi di Bodh-Gaya, pada saat bulan Purnama Sidhi pada hari
Waisak, pada usia 35 tahun. Sedangkan menurut versi Mahayana, Beliau mencapai
Penerangan atau menjadi Buddha Shakyamuni (Samyak-Sam-Buddha) pada tanggal 8 bulan
12 (lunar). Setelah Beliau mencapai Penerangan Sempurna dan menjadi Buddha, dari tubuh
suci Beliau memancarkan enam sinar yang disebut Buddharasmi atau Sinar Buddha. Sejak
saat itu dan selama hidup-Nya, Beliau dapat memancarkan enam sinar suci itu bilamana
dikehendaki-Nya. Kadang-kadang Beliau mengirim sinar suci-Nya dengan warna-warna itu
untuk mengubah tabiat para manusia. Enam warna sinar-Nya adalah : 1. Nila = biru. Berarti
bakti atau pengabdian. Dia telah menjadi Buddha mempunyai sifat bakti dan pengabdian
yang tiada taranya kepada manusia yang menderita. 2. Pita = kuning. Berarti
kebijaksanaan, mahatahu, seorang Buddha adalah berpengetahuan luas dan mahatahu
(Sarvakarajnata). 3. Rohita = merah. Berarti kasih sayang dan welas asih. Seorang Buddha
mempunyai rasa maha kasih sayang dan maha welas asih yang tidak terbatas terhadap
semua makhluk. Pada seorang Buddha sudah tidak ada lagi rasa benci, sentimen, kejam, iri
hati, dan dengki, yang ada pada diri-Nya hanya maha welas asih kasihan tanpa perbedaan
dan perasaan bahagia bila mengetahui atau melihat orang lain dapat hidup senang dan
bahagia. 4. Avadata = putih Berarti suci. Seorang Buddha telah suci batin-Nya dan pikiran-
Nya tidak dapat dikotori lagi oleh segala macam kekotoran dunia. Maka dari itu seorang
Buddha atau Bodhisattva dilukiskan sebagai mutiara yang berada di atas bunga teratai
(mani-padma). Bunga teratai meskipun tumbuh dirawa yang penuh lumpur, diatas bunga
teratai itulah seorang Buddha atau Bodhisattva duduk atau berdiri laksana mutiara yang
putih berkilauan, yang bebas dari segala kekotoran dan tidak dapat kena kotoran karena
dialasi bunga teratai. 5. Manjistha = orange, jingga. Berarti giat, Seorang Buddha
mempunyai semangat yang luar biasa, giat menyebar Dharma kepada dewa dan manusia
serta melakukan segala perbuatan baik yang berfaedah bagi orang banyak dan makhluk-
makhluk lainnya. 6. Prabhasvara = bersinar-sinar, sangat terang, cemerlang merupakan
warna campuran dari kelima warna tersebut diatas; berarti campuran dari kelima sifat
tersebut diatas. Selama tujuh hari Beliau meneruskan meditasinya di tempat yang sama.
Tubuh-Nya tidak memberikan kesusahan pada-Nya, matanya tidak pernah tertutup, dan
pikiran-Nya terus bekerja. Dia merenung, “Di tempat inilah saya menemukan Pembebasan.”
Dia mengetahui kemauan-Nya akhirnya terpenuhi. Ketika itu Indra dan Brahma sebagai dua
kepala Deva yang tinggal di langit, telah mengerti kemauan Tathagata Sugata (Shakyamuni)
untuk memprokamirkan jalan itu untuk kedamaian. Tubuh mereka yang bercahaya terang
mendatangi Dia, dengan hormat dan ramah berkata kepada-Nya, “Harap jangan
menyalahkan semua makhluk sebagai tidak berguna, disebabkan keinginan harta benda
seperti itu didunia ini! Jadi dengan tidak membeda-bedakan mereka adalah amal Wiyata.
Sementara sebagian dari mereka masih memiliki hawa nafsu, sebagian lainnya hanya
memiliki sedikit hawa nafsu. Sekarang Engkau, oh Yang Maha Bijaksana,telah ber-
Penerangan dan menyeberangi lautan Samsara ini, tolonglah menyelamatkan juga makhluk
lain yang telah tenggelam sebegitu jauh dalam penderitaan.” Kedua deva itu bersabda
demikian, karena mereka tahu bahwa dengan mata batin yang dimiliki seorang Buddha,
Beliau telah melihat dalam dunia itu banyak makhluk berpandangan rendah dan hidup
secara keliru, jiwanya tertutup tebal oleh kekotoran hawa nafsu. Dari sisi lain, dia menyadari
banyak kepelikan dari Dharma-Nya tentang Pembebasan. Dia cenderung untuk tidak
mengajarkan Dharma, namun ketika Dia cenderung untuk tidak mengajarkan Dharma,
namun ketika Dia mempertimbangkan arti dan janji-Nya untuk memberikan Penerangan
kepada semua makhluk, yang telah dia ucapkan pada masa lampau, dia mempertimbangkan
kembali untuk memproklamirkan Jalan itu untuk Kedamaian. Sesudah membuat permintaan
ini kepada Yang Maha Bijaksana kedua deva itu memohon diri dan kembali ke surga tempat
mereka. Yang Maha Bijaksana mempertimbangkan kembali dengan hati-hati atas kata-kata
mereka. Akhirnya keputusan-Nya, Dia menyetujui untuk membebaskan dunia ini dari
Penderitaan.Dia menyetujui untuk membebaskan dunia ini dari Penderitaan. Yang Maha
Bijaksana teringat akan Arada dan Undraka Ramaputra adalah dua orang yang terbaik dan
cocok untuk memahami Dharma-Nya. Namun dengan mata batin-Nya, Dia melihat kedua
pertapa itu telah meninggal dan berdiam diantara para deva dilangit. Pikiran-Nya kemudian
ditujukan kepada lima orang pertapa yang dahulu pernah bersama-sama Beliau menjalani
tapa yang sangat ekstrim. Sebelum Beliau pergi sendiri ke kota Kashi, sekali lagi Beliau
memandang ke pohon Bodhi itu sebagai tanda ucapan terima kasih karena di tempat inilah
Beliau mencapai Penerangan.
8. Lunar Bulan 06 Hari ke-03 - HUT Bodhisattva Skanda 

Wei Tuo adalah Bodhisattva pelindung Dharma yang biasanya kita dapat kita jumpai
arcanya di samping Buddha Sakyamuni atau di samping Maitreya Bodhisattva. Bodhisattva
ini digambarkan dengan pakaian perang lengkap dan tangannya memegang gada penakluk
iblis, dengan wajah tampan dan mengenakan seragam dewa perang dengan memegang
sebilah ruyung yaitu sejenis pedang yang berjeruji dan mengenakan selendang dewata. Wei
Tuo sering juga ditampilkan sebagai malaikat pintu yang menjaga vihara-vihara atau
kelenteng-kelenteng Buddha, berdampingan dengan Cie Lan yang bermuka hitam dan
berjenggot, memegang kampak. Kadang-kadang Wei Tuo juga dipuja tersendiri. Menurut
buku-buku ajaran Buddha, Wei Tuo adalah putra seorang raja langit (Tien Wang) yang
karena kebajikannya, Sakyamuni Buddha mengangkat putranya sebagai pelindung Dharma
ketika menaiki nirvana. Sebab itu ia berkewajiban melindungi anggota-anggota Sangha
apabila mereka mengalami ganguan mara, si penggoda. Dan apabila terjadi perselisihan
antara berbagai sekte. Wei Tuo menjalankan tugasnya secara damai. Dalam bahasa
sansekerta, Wei Tuo disebut Skandha. Arcanya sering ditemukan di candi-candi kecil yang
terletak di tikungan jalan, untuk melindungi si pemakai dari gangguan iblis. Wei Tuo adalah
satu-satunya dewa yang mendapat gelar “Bodhisattva (phu sa). Ini disebabkan karena
beliau diramalkan di masa yang akan datang, akan diangkat menjadi Buddha; Rucika, yang
merupakan Buddha terakhir dari ribuan Buddha jaman ini.
9. Lunar Bulan 06 Hari ke-19 - Bodhisattva Avalokitesvara Mencapai
Pencerahan

10. Lunar Bulan 07 Hari ke-13 - HUT Bodhisattva Mahasthamaprapta

11. Lunar Bulan 07 Hari ke-24 - HUT Bodhisattva Nagarjuna


Nagarjuna adalah patriarch dari 9 aliran exoterik dan esoterik. Beliau lahir 700 tahun
sesudah Sang Buddha Parinirvana. Beliau adalah murid dari Yang Arya Kapimala, dan
Kapimala sendiri adalah murid dari Asvaghosa. Sebagaimana kita ketahui Nagarjuna yang
juga guru dari Kanadeva/Devabodhisattva adalah orang yang datang ke “Istana Naga”
untuk mendapatkan “Maha Avatamsaka Sutra”, beliau pulalah orang yang pertama kali
membabarkan ajaran-ajaran esoteris (Tantra) di negeri India bagian selatan. Saya sangat
tertarik pada sebab-musabab dari latar belakang Nagarjuna sehingga ia memilih jalan hidup
sebagai seorang biarawan. Dalam biografi Nagarjuna tertulis: Kitab-kitab yang pernah
dibaca oleh Nagarjuna sangatlah banyak, ia hafal dan mengerti betul ajaran-ajaran dan ilmu
yang diuraikan dalam semua kitab-kitab itu. Bersama dengan 3 orang sahabatnya,
Nagarjuna pernah menuntu ilmu kepada seorang pertapa untuk mendalami ilmu sirap (ilmu
menghilangkan diri). Setelah berhasil menguasai ilmu sirap, mereka menyelinap ke dalam
istana, dan melakukan pencabulan serta berzinah dengan para dayang dan selir raja.
Perbuatan mereka ini tercium oleh Sang Raja, maka atas perintah raja semua pintu keluar
masuk istana ditutup rapat-rapat, dan seluruh pengawal istana mengibas-ibaskan
pedangnya ke seluruh ruangan dalam istana. Maka ketika orang sahabat Nagarjuna pun
mati tersambar kibasan pedang para pengawal istana itu, satu-satunya yang selamat adalah
Nagarjuna sendiri. Ia sangat cerdik, ketika para pengawal istana mengibas-ibaskan pedang
mereka, ia selalu mengikuti kemana arah sang raja bergerak, dan kepalanya tidak pernah
jauh dari samping kepala Sang Raja. Dengan cara demikianlah, akhirnya Nagarjuna luput
dari kematian. Dan sejak kejadian itu pula, Nagarjuna menjadi sadar bahwa keinginan-
keinginan yang sifatnya duniawi (tanha) adalah sumber dari segala macam malapetaka.”
“dengan kesadaran bahwa keinginan duniawi serta tanha merupakan seumber dari segala
macam malapetaka, sumber daripada penderitaan, maka beliaupun menetapkan hati,
membulatkan tekad menjadi seorang biarawan dengan berdiam diri di sebuah pagoda di
atas gunung. Setelah menerima upasampada berturut-turut selama 90 hari, beliau
mengurung diri di dalam pagoda untuk mempelajari dan mendalami Tripitaka, yang akhirnya
membawa beliau menjadi seorang ahli Dharma.” Kalimat-kalimat biografi tersebut diatas
mengingatkan saya pada sebuah pertanyaan yang pernah dilontarkan oleh Manjusri
bodhisattva kepada Sang Buddha. “Seseorang yang pernah berbuat karma buruk di masa
mudanya, tetapi kemudian bertobat dan mendalami serta melatih diri dalam bimbingan
Dharma di masa tuanya. Akaha itu akan membawanya pada pencapaian keBuddhaan dalam
hidup ini?” Jawaban yang diberikan oleh Sang Buddha adalah; “lautan samsara tak berujung
dan tak bertepi, berhenti mengarunginya dan segera berbalik diri, maka di belakang sana
pantai daratan telah menunggu. Siapapun orangnya, asalkan ia telah bertekad
meninggalkan perbuatan-perbuatan jahat, berusaha memperbanyak perbuatan baik serta
menetapkan hati dan berjalan di atas jalan Dharma, maka tidak peduli tua maupun muda,
pria dan wanita, semuanya akan mencapai kebuddhaan.” Hal penting yang ingin saya
katakan disini adalah bahwa sebetulnya pada masa-masa kehidupan yang lalu Yang Arya
Nagarjuna telah mencapai kebuddhaan dengan nama “Miao yun Isvara Raja Tatthagata.
Kedatangan beliau kembali ke dunia saha ini dapat disamakan seperti sebuah perjalanan
pariwisata, semua ini dapat dibuktikan dengan catatan-catatan yang nyata dan rinci dalam
Mahavyuha Samaya Sutra.” Dua kalimat dibawah ini merupakan kata-kata mutiara yang
saya sukai; “Tanha adalah sumber penderitaan”, “Karena tanha merupakan akar dari segala
malapetaka.” Mudah-mudahan kedua kalimat tersebut juga dapat diingat dan dijadikan
pedoman hidup bagi para umat. Oleh : Maha Acarya Liansheng Huofo Lu Shen Yen.
12. Lunar Bulan 09 Hari ke-30 - HUT Buddha Bhaisajyaguru

13. Lunar Bulan 11 Hari ke-17 - HUT Buddha Amitabha

14. Lunar Bulan 12 Hari ke-08 - Buddha Sakyamuni Mencapai KeBuddhaan

Anda mungkin juga menyukai