782-Article Text-2905-2-10-20200902
782-Article Text-2905-2-10-20200902
ABSTRAK
Penerapan Terapi Social Skill Training merupakan terapi yang digunakan untuk mengatasi
masalah isolasi sosial pasien skizofrenia. Karya Ilmiah Akhir ini bertujuan memberikan
gambaran manajemen kasus spesialis keperawatan jiwa pada klien isolasi sosial melalui
pendekatan konsep teori Hildegrad Peplau di Ruang Arimbi Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki
Mahdi Bogor. Metode yang digunakan adalah analisis terhadap penerapan manajemen kasus
pasien isolasi sosial menggunakan pendekatan konsep teori Hildegard Peplau di Ruang Arimbi
Rumah Sakit dr Marzoeki Mahdi Bogor pada 32 pasien. Hasil yang ditemukan Social Skill
Training efektif dalam menurunkan gejala dan meningkatkan kemampuan pasien isolasi sosial
yang ditunjukkan melalui respon kognitif, afektif, fisiologis, perilaku dan sosial.
Kata kunci: isolasi social; social skill training; teori hildegard peplau
ABSTRACT
Application of Social Skill Training (SST) Therapy is a therapy used to overcome the problem of social
isolation in schizophrenia patients. This Final Scientific Work aims to provide an overview of mental
nursing specialist case management in social isolation clients through a model and the concept of
Hildegrad Peplau's theory approach at Arimbi room at Dr. H. Marzoeki Mahdi Hospital in Bogor.
The method used is an analysis of the application of social isolation patient case management using
the concept of Hildegard Peplau's theory at Arimbi Room of Dr. H. Marzoeki Mahdi Hospital in
Bogor on 32 patients. The results found Social Skill Training is effective in reducing symptoms and
increasing the patient's ability to social isolation which is shown through cognitive, affective,
physiological, behavioral and social responses.
327
Jurnal Keperawatan Volume 12 No 2, Hal 327 - 340, September 2020 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal
328
Jurnal Keperawatan Volume 12 No 2, Hal 327 - 340, September 2020 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal
isolasi sosial sudah uji expert validity psikologis, dan sosiokultural. Pada klien
oleh pakar keperawatan jiwa (Prof. Dr. yang mengalami masalah isolasi sosial
Budi Anna Keliat, SKp, M. App.Sc). yang sebanyak 32 orang akan
diidentifikasi berdasarkan tiga aspek
Stantart assesment respon atau tanda dan tersebut.
gejala ini terdiri 37 pernyataan,
pernyataan respon kognitif sebanyak 13 Berdasarkan hasil distribusi faktor
item, respon afektif sebanyak 10 item, prediposisi dapat dijelaskan bahwa pada
respon fisiologis sebanyak 3 item, respon faktor predisposisi aspek biologis
perilaku sebanyak 6 item dan respon terbanyak yaitu adanya riwayat gangguan
sosial sebanyak 5 item. Pengukuran untuk jiwa sebelumnya sebanyak 32 klien
mengevaluasi kemampuan pasien isolasi (100%). Gangguan konsep diri sebanyak
sosial dengan menggunakan standart 32 klien (100%) pada aspek psikologis.
assesment (evaluasi kemampuan dalam Sedangkan sosial kultural sebanyak 30
melaksanakan SST). Standart assesment klien (93.7%) jarang terlibat dalam
yang diberikan pada klien isolasi sosial kegiatan sosial. Faktor presipitasi
adalah Stantart assesment kemampuan merupakan stimulus internal maupun
terapi SST ini terdiri 39 pernyataan, eksternal yang mengancam individu.
pernyataan untuk sesi 1 sebanyak 8 item, Sesuai dengan model adaptasi Stuart,
sesi 2 sebanyak 10 item, sesi 3 sebanyak faktor ini dapat bersifat biologis,
3 item, sesi 4 sebanyak 6 item dan sesi 5 psikologis maupun sosialbudaya dan
sebanyak 18 item. aspek yang dikaji meliputi sifat stresor,
asal stresor, waktu dan jumlah stresor.
HASIL Fakrtor presipitasi terjadinya masalah
Pelaksanaan asuhan keperawatan isolasi sosial.
spesialis jiwa pada 32 klien yang
mengalami isolasi sosial ini dilakukan di Berdasarkan hasil faktor presipitasi
Ruang Arimbi RS Dr Marzoeki Mahdi klien diperoleh bahwa berdasarkan sifat
Bogor. Karakteristik klien stresor pada 32 klien isolasi sosial
dikelompokkan berdasarkan usia, jenis ditemukan stresor presipitasi biologis
kelamin, pekerjaan, pendidikan, status sebagian besar berupa riwayat putus
pernikahan dan tingkat kemandirian. obat sebanyak 32 klien (100%). Stresor
Secara rinci dapat dilihat pada instrument tersebut berasal dari faktor internal
karakteristik klien. Berdasarkan hasil klien yaitu merasa bosan minum obat,
distribusi karakteristik klien diperoleh obat terasa pahit, merasa sudah
bahwa klien berada dalam rentang usia sembuh, merasa tidak cocok karena jika
19-35 sebanyak 18 klien (56.2%) dan minum obat badan menjadi lemas dan
berjenis perempuan (100%). Klien mengantuk sehingga tidak dapat bekerja
memiliki latar belakang pendidikan serta rasa khawatir adanya
menengah sebanyak 12 klien (37.5%), ketergantungan akan obat sehingga klien
tidak bekerja sebanyak 29 (90.6%), dan tidak patuh terhadap program
status pernikahan sebanyak 14 klien pengobatannya. Stresor biologis yang
(43.7%) belum menikah dan tingkat dialami klien kurang dari 6 (<6) bulan.
ketergantungan mayoritas partial care Faktor presipitasi klien yang bersifat
sebanyak 24 klien (75%). Menurut Stuart psikologis semuanya bersumber dari
(2013) faktor predisposisi merupakan internal klien. Pada stresor psikologis
faktor risiko yang dipengaruhi oleh jenis sebagian besar disebabkan karena
dan jumlah sumber risiko yang dapat keinginan tidak terpenuhi pada 28 klien
menyebabkan individu mengalami stres. (87.5%), kegagalan membina hubungan
Faktor predisposisi ini meliputi biologis, dengan lawan jenis pada 12 orang klien
329
Jurnal Keperawatan Volume 12 No 2, Hal 327 - 340, September 2020 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal
330
Jurnal Keperawatan Volume 12 No 2, Hal 327 - 340, September 2020 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal
masalah yang dihadapi pada saat sebelum diberikan latihan SST sebesar
bekerja sama dalam tim seperti klien 2.30 dan setelah diberikan SST menjadi
tidak marah ketika mendapatkan kritik 0.23.
dari anggota tim terkait dengan kinerja
klien dalam kelompok. Pengukuran Berdasarkan nilai terhadap penilaian
dilakukan saat pengkajian atau sebelum stresor pada respon fisiologis
diberikan terapi dan setelah diberikan menunjukkan penurunan respon
terapi spesilis keperawatan SST pada fisiologis sebesar 2,07 setelah diberikan
32 pasien dapat dilihat pada tabel 1. latihan SST. Rata-rata respon pasien
dengan isolasi sosial terjadi perbedaan
Dapat dilihat tabel 1. bahwa respon pasien setelah diberikan SST dimana rata-rata
dengan isolasi sosial terjadi perbedaan respon perilaku sebelum diberikan
rata- rata setelah diberikan SST dimana latihan SST sebesar 3,57 dan setelah
rata-rata respon kognitif sebelum diberikan SST menjadi 0.73. Berdasarkan
diberikan SST sebesar 8.78 dan setelah nilai terhadap penilaian stresor pada
diberikan latihan SST menjadi 1.27. respon fisiologis menunjukkan
Berdasarkan nilai terhadap penilaian penurunan respon fisiologis sebesar 2,84
stresor pada respon kognitif setelah diberikan latihan SST. Rata-rata
menunjukkan penurunan respon kognitif respon pasien dengan isolasi sosial
pasien isolasi sosial sebesar 7.51 setelah terjadi perbedaan setelah diberikan SST
mendapatkan SST. Rata-rata respon dimana rata-rata respon sosial sebelum
pasien dengan isolasi sosial terjadi diberikan latihan SST sebesar 3,19 dan
perbedaan setelah diberikan SST dimana setelah diberikan SST menjadi 0.23.
rata-rata respon afektif sebelum diberikan Berdasarkan nilai terhadap penilaian
latihan SST sebesar 5.23 dan setelah stresor pada respon fisiologis
diberikan SST menjadi 1.08. Berdasarkan menunjukkan penurunan respon
nilai terhadap penilaian stresor pada fisiologis sebesar 2,96 setelah diberikan
respon afektif menunjukkan penurunan latihan SST.
respon afektif pasein isolasi sosial sebesar
4.15 setelah mendapatkan SST. Pengukuran dilakukan saat pengkajian
atau sebelum diberikan terapi dan
Rata-rata respon pasien dengan isolasi setelah diberikan terapi spesilis
sosial terjadi perbedaan setelah diberikan keperawatan SST pada 32 pasien.
SST dimana rata-rata respon fisiologis Dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 1.
Distribusi Evaluasi Respon terhadap Stressor Klien Isolasi sosial Sebelum dan
Sesudah Pemberian SST (n=32)
Penilaian Terhadap Stresor Mean Sebelum Mean setelah Mean selisih
Respon kognitif 8.78 1.27 7.51
Respon Afektif 5.23 1.08 4.15
Respon Fisiologis 2.30 0.23 2.07
Respon Perilaku 3.57 0.73 2.84
Respon Sosial 3.19 0.23 2.96
Komposit 23.07(%) 3.54(%) 19.53(%)
331
Jurnal Keperawatan Volume 12 No 2, Hal 327 - 340, September 2020 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal
Tabel 2.
Kemampuan terapi SST Sebelum dan Sesudah diberikan Pada Pasien Isolasi Sosial
(n=32)
SST Sesi 1 Sesi 2 Sesi 3 Sesi 4 Sesi 5 Komposit
Kemampuan 8 4 3 6 18 39
Sebelum 2.27 0.42 0.69 1.46 3.88 8.46
Sesudah 6.84 3.23 2.30 4.76 14.73 32.6
Selisih 4.57( 2.81(%) 1.61(%) 3.3(%) 10.85(%) 24.14(%)
%)
332
Jurnal Keperawatan Volume 12 No 2, Hal 327 - 340, September 2020 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal
bahwa resiko tinggi terjadinya gangguan dimiliki klien sehingga lebih mudah
jiwa yaitu pada usia dewasa. Hasil diatas untuk mengetahui klien mempunyai
sesuai dengan penelitian yang dilakukan pengetahuan yang baik atau tidak.
Renidayati (2008) menunjukkan usia semakin tinggi pendidikan dan
klien isolasi sosial berada dalam rentang pengetahuan seseorang akan
usia 28 - 35 tahun. berkorelasi positif dengan keterampilan
koping yang dimiliki.
Penelitian Jumaini, Keliat, & Daulima
(2010) menunjukkan hasil rata-rata usia Sesuai dengan pendapat Stuart (2013)
pasien yang mengalami isolasi sosial menyatakan bahwa aspek intelektual
adalah 33 tahun. Stuart (2013) adalah salah satu faktor penyebab
berpendapat bahwa frekuensi tertinggi terjadinya gangguan jiwa karena
usia seseorang berisiko mengalami berhubungan dengan kemampuan
gangguan jiwa yaitu pada usia 25-44 seseorang untuk menyampaikan idea
tahun. Sehingga bisa dikatakan usia atau pendapatnya, selanjutnya akan
pasien yang mengalami gangguan jiwa berpengaruh pada kemampuan klien
dengan masalah isolasi sosial dalam untuk memenuhi harapan dan keinginan
pemaparan di atas termasuk dalam yang ingin dicapai dalam kehidupannya
kategori usia dewasa (McQuaid et al, sehingga sangat mempengaruhi
2000). Jenis kelamin klien dengan isolasi terjadinya isolasi sosial. Pendidikan
sosial adalah 100% wanita karena merupakan salah satu sumber koping
ruangan yang digunakan dalam seseorang dalam menyelesaikan
pengambilan data merupakan ruang rawat masalahnya. Semakin tinggi pendidikan
wanita (Ruang Arimbi RSMM Bogor). dan pengetahuan seseorang akan
Prevalensi gangguan jiwa berat berkorelasi positif dengan keterampilan
berdasarkan jenis kelamin, ras dan koping yang dimiliki.
budaya adalah sama. Wanita dapat
mengalami gejala gangguan jiwa karena Klien isolasi sosial yang dirawat
tanggung jawab dan peran dalam sebagian besar tidak bekerja (90.6%).
keluarga. Hal ini menunjukan klien tidak
produktif yang merupakan proses
Pasien dengan masalah isolasi sosial terjadinya gangguan jiwa dari faktor
yang dirawat sebagian besar memiliki predisposisi dan presipitasi sosial
latar belakang pendidikan Sekolah budaya. Kondisi tidak memiliki
Menengah Pertama (37.5%). Klien pekerjaan pada kasus kelolaan ini
isolasi sosial yang dirawat mempunyai semakin membuat klien mengkritik diri,
pendidikan yang rendah, pendidikan merasa tidak berguna atau tidak
SD sebanyak 8 klien (25 %) dari berharga dan akhirnya individu merasa
delapan klien ada 2 klien juga yang frustasi dengan kondisinya dan merasa
belum menamatkan pendidikannya iri jika melihat kemampuan orang lain,
sehingga dalam menerapkan terapi klien merasa malu dan marah pada diri
yang akan diberikan harus memiliki sendiri, orang lain dan lingkungan.
tehnik yang dapat membantu proses Towsend (2014) juga mengatakan sosial
pemberian terapi terhadap klien. Pasien ekonomi yang rendah merupakan salah
yang mendapatkan SST, klien yang satu faktor sosial yang menyebabkan
masih mudah di arahkan dan dari segi tingginya angka gangguan jiwa
kognitif masih mampu dengan mudah termasuk skizofrenia.
mengikuti terapi. Sebelum terapi
diberikan klien juga diberikan pre test Berdasarkan status pernikahan dari 32
untuk mengetahui kemampuan yang klien isolasi sosial yang dirawat ada
333
Jurnal Keperawatan Volume 12 No 2, Hal 327 - 340, September 2020 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal
43.7% klien belum menikah dan klien sudah lama tidak patuh minum
bercerai (janda) ada 31.3% yang obat, klien terkadang minum obat dan
disebabkan karena pengalaman terkadang tidak mau minum serta klien
kegagalan dalam membina hubungan sering keluyuran dan terkadang klien
dengan lawan jenis. Klien mengatakan tidak pulang kerumah sehingga klien
dirinya belum menikah disebabkan tidak m minum obat, itulah yang
trauma karena sudah berkali-kali membuat klien tidak sembuh dan
membina hubungan tetapi selalu gagal, mempunyai riwayat gangguan jiwa.
ada yang ditinggal menikah, ada yang
ditinggal karena meninggal dan ada Faktor predisposisi pada aspek psikologis
yang dipermainkan saja. Hal inilah teridentifikasi bahwa 81.2 % klien
yang membuat klien menjadi belum memiliki kepribadian introvert/ tertutup
menikah sehingga bisa dikatakan dan 100% klien mengalami riwayat
menjadi sumber stresor pada klien. kegagalan atau kehilangan sesuatu. Hal
Klien yang gagal membina hubungan ini sesuai dengan pendapat Stuart (2013)
rumah tangga juga bisa menjadi sumber bahwa faktor psikologis, yang meliputi
stres, terbukti dari beberapa klien yang konsep diri, intelektualitas, kepribadian,
mengatakan trauma dalam pernikahan moralitas, pengalaman masa lalu, koping
karena suami menikah lagi dengan dan keterampilan komunikasi secara
perempuan lain, suami yang selalu verbal mempengaruhi perilaku seseorang
bersikap kasar, ada juga suami yang dalam hubungannya dengan orang lain.
tidak pernah menafkahi keluarga dan Kepribadian seseorang dengan tipe
ada juga tidak pernah perduli dengan kepribadian introvert, menutup diri dari
rumah tangganya tetapi lebih perduli kemungkinan orang-orang yang
pada orang tuanya. memperhatikannya, sehingga tidak
memiliki orang terdekat atau orang yang
Berdasarakan hasil pengkajian pada 32 berarti dalam hidupnya.
klien isolasi sosial bahwa 100% pasien
secara biologis ditemukan memiliki Sesuai dengan pendapat Hurlock (2000)
riwayat gangguan jiwa sebelumnya dan bahwa kegagalan dalam melaksanakan
klien yang mengalami trauma atau tugas perkembangan dapat
penyakit fisik 53.1%, klien dengan mengakibatkan individu tidak percaya
riwayat herediter 18.8%, serta riwayat diri, tidak percaya pada orang lain, ragu,
menggunakan NAPZA sebesar 6.2%. takut salah, pesisimis, putus asa,
Keseluruhan klien isolasi sosial yang menghindar dari orang lain, tidak mampu
dirawat di ruang Arimbi memiliki merumuskan keinginan, dan merasa
riwayat gangguan jiwa sebelumnya tertekan. Isolasi sosial diperoleh dari dua
karena ada pengaruh putus obat. sumber, yaitu dari faktor internal (diri
sendiri) dan faktor eksternal (orang lain).
Berdasarkan pengkajian yang dilakukan Faktor yang mempengaruhi isolasi sosial
pada 32 klien, sebagian besar klien yang berasal dari diri sendiri seperti
mengatakan putus obat karena sudah kegagalan yang berulang kali, kurang
merasa bosan minum obat terus mempunyai tanggung jawab personal,
menerus setiap harinya, obat yang ketergantungan pada orang lain, dan ideal
diminum membuat kepala pusing, obat diri yang tidak realistis, sedangkan yang
terasa pahit, dan obat membuat klien berasal dari orang lain adalah penolakan
mengantuk. Wawancara dilakukan pada orang tua, harapan orang tua yang tidak
beberapa keluarga saat mengunjungi realistis.
klien di ruang Arimbi, keluarga
mengatakan klien putus obat karena
334
Jurnal Keperawatan Volume 12 No 2, Hal 327 - 340, September 2020 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal
335
Jurnal Keperawatan Volume 12 No 2, Hal 327 - 340, September 2020 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal
336
Jurnal Keperawatan Volume 12 No 2, Hal 327 - 340, September 2020 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal
Model dan konsep teori merupakan klien. Ditahap ini perawat dan klien
sebuah sistem yang terstruktur dan melakukan kontrak awal untuk
berdasarkan pemikiran rasional dalam membangun kepercayaan dan terjadi
bertindak dan menjadi landasan untuk proses pengumpulan data. Fase
menentukan tindakan keperawatan yang orientasi dimulai diawal pertama sekali
diberikan pada klien. Aplikasi model dan perawat dan klien bertemu dimana
konsep teori yang sesuai, maka proses perawat berperan sebagai orang asing
keperawatan yang diberikan pada klien bagi klien. Perawat harus
lebih terarah dan akan diperoleh hasil menempatkan klien dengan penuh
asuhan keperawatan yang berkualitas dan perasaan dan secara sopan serta
mempunyai nilai profesionalisme. menerima keberadaan klien apa adanya
sebagai manusia yang utuh (Peplau,
Asuhan keperawatan pada klien isolasi 1991). Fase ini diharapkan klien
sosial dengan pemberian Social Skill menyadari bahwa dirinya
Training (SST) menggunakan proses membutuhkan pertolongan atau
keperawatan yang meliputi pengkajian, bantuan dari perawat terhadap masalah
penegakan diagnosa keperawatan, yang dialaminya sehingga perawat
menetapkan rencana tindakan dapat menolong dan menentukan apa
keperawatan, melakukan tindakan yang terbaik untuk mengatasi masalah
keperawatan dan melakukan evaluasi klien (Peplau, 1991). Penggunaan diri
terhadap hasil dari tindakan yang sudah secara terapeutik dan kemampuan
dilakukan. melakukan tehnik terapeutik dalam
berhubungan sehingga memiliki
Aplikasi teori interpersonal Peplau pengaruh yang besar membina
digunakan dalam melakukan asuhan hubungan saling percaya. Sehingga
keperawatan dengan tujuan dapat dapat disimpulkan kemampuan
membantu meningkatkan keterampilan melakukan tehnik terapeutik yang baik
kognitif, perilaku dan berkomunikasi dan empati merupakan cara yang dapat
pada klien isolasi sosial (Peplau, 1991), menciptakan hubungan saling percaya
didukung dengan tujuan dan harapan antara perawat dan klien.
Henderson bahwa klien harus
ditingkatkan pengetahuan, keinginan, dan Henderson mengatakan bila hubungan
kekuatannya (Fitzpatrick & Whall, 1989) tercipta dengan baik antara perawat dan
sehingga hubungan interaksi antara klien harus mempergunakan interaksi
perawat dan klien berjalan dengan baik yang baik tercapailah tujuan dan
dan asuhan keperawatan yang diberikan harapan, dimana diharapkan klien
mampu mengurangi gejala dan mempunyai pengetahuan, keinginan
meningkatkan kemampuan klien isolasi dan kekuatan sehingga terapi
sosial. keperawatan yang diberikan perawat
kepada klien tersampaikan yang pada
Model teori Peplau menggunakan 4 akhirnya klien bisa sembuh dari
fase dari hubungan perawat dan klien sakitnya. Klien yang mengalami isolasi
yaitu orientasi, identifikasi, eksploitasi sosial akan sulit berhubungan dan
dan resolusi (Aligood, 2014). Fase berinteraksi dengan orang lain sehingga
orientasi lebih difokuskan untuk dengan menggunakan teori Peplau
membantu klien menyadari dapat membantu klien untuk
ketersediaan bantuan dan rasa percaya berhubungan dengan orang lain
terhadap kemampuan perawat untuk (hubungan perawat dan klien).
berperan serta secara efektif dalam
pemberian asuhan keperawatan pada
337
Jurnal Keperawatan Volume 12 No 2, Hal 327 - 340, September 2020 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal
338
Jurnal Keperawatan Volume 12 No 2, Hal 327 - 340, September 2020 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal
339
Jurnal Keperawatan Volume 12 No 2, Hal 327 - 340, September 2020 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal
Ketidakpatuhan Anggota
Keluarga Dengan Skizoprenia
Dalam Mengikuti Regimen
Terapeutik : Pengobatan.
Tesis.Tidak Dipublikasikan
340