Anda di halaman 1dari 13

HEGEMONI LAKI-LAKI TERHADAP PEREMPUAN PADA NOVEL PEREMPUAN

DI TITIK NOL KARYA NAWAL EL SAADAWI


Suci Ambarwati
20/467150/PSA/19833

Magister Ilmu Sastra, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gajah Mada


Email: suciambarwati0296@gmail.com

Abstrak

Penelitian ini menggunakan novel Perempuan di Titik Nol Karya Nawal El Saadawi
dengan pendekatan Hegemoni Gramci. Novel ini merupakan hasil dari wawancara
pengarang dengan seorang perempuan dari balik penjara. Novel ini menceritakan
gambaran kenyataan yang ada dalam kehidupan masyarakat Mesir pada masanya yang
mengembangkan patriarki. Sedangkan metode yang penulis pakai adalah metode
pembacaan intensif, analisis data, dan penyajian hasil analisis data. Hasil penelitian ini
adalah bentuk hegemoni tokoh laki-laki terhadap tokoh perempuan yaitu; kekerasan
terselubung yang dilakukan tokoh laki-laki kepada perempuan, pemerkosaan, tindakan
pemukulan dan serangan fisik, penyiksaan yang mengarah pada organ kelamin, dan
pelecehan seksual. Sementara itu, bentuk perlawanan tokoh perempuan terhadap
hegemoni tokoh laki-laki yaitu; melawan hegemoni untuk mendapatkan pendidikan,
mendapatkan perekonomian yang layak, dan kehidupan yang layak.

Kata kunci; Hegemoni, Gramci, Perempuan di Titik Nol.

1
Pendahuluan

Sebagai salah satu wadah masyarakat dalam berekspresi, Karya sastra erat
hubungannya dengan persoalan-persoalan sosial yang muncul pada saat itu. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa berbagai persoalan sosial memiliki andil yang cukup
kuat dalam lahirnya karya sastra. Karya sastra menyajikan sebuah fakta dari kehidupan
sosial tertentu, hanya saja dibumbui oleh fiksi untuk menambah ketertarikan dalam cerita.
Karya sastra lahir dari keresahan-keresahan seorang pengarang yang ingin
disampaikannya dalam memandang atau melihat suatu fenomena sosial
Berbagai tema-tema yang diangkat dalam karya sastra seperti hal-hal yang
berkaitan dengan religiusitas, kekuasaan, kekerasan, emansipasi, dan lainnya merupakan
bentuk-bentuk persoalan yang biasa ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Gambaran
dari permasalahan sekaligus menjadi sebuah citraan kehidupan manusia baik dari segi
budaya, ekonomi, politik, hukum dan aspek kemasyarakatan lainnya. Dari setiap aspek
yang telah disebutkan tersebut tentu sangat memungkinkan sekali hadirnya permasalahan
yang dikarenakan adanya perbedaan kelas sosial dalam masyarakat tersebut. Berdasarkan
atas adanya kelas sosial tersebut, maka akan menghadirkan potensi munculnya unsur atau
kelompok masyarakat yang lebih dominan dibandingkan dengan masyarakat yang lain.
Pendominasian terhadap masyarakat yang didominasi tersebut ada yang terpaksa
dilakukan karena tidak punya pilihan lain dan ada juga yang telah diterima secara
sukarela sebagai bentuk hegemoni.
Salah satu tokoh yang fokus membahas hegemoni ialah Antonio Gramsci. Teori
yang dikemukakannya sering juga disebut sebagai teori kultur atau ideologis general yang
biasanya digunakan sebagai alat untuk memahami bentuk-bentuk politik, kultural, dan
ideologi yang diangap memiliki kekuatan untuk memformasi masyarakat. 1 ia menyatakan
bahwa suatu kelas berkuasa menjalankan kepemimpinan baik melalui kekerasan maupun
persetujuan.
Dewasa ini, keresahan kaum perempuan atas hegemoni yang terjadi pada mereka
mulai semakin banyak disuarakan oleh berbagi media dalam bentuk yang beragam. Hal
tersebut menandakan bahwa mulai meningkatnya kesadaran kaum perempuan dalam
memperjuangkan hak-haknya serta untuk menunjukkan eksistensi mereka. Seperti yang
kita ketahui, bahwasannya di Negeri Arab begitu dikenal sebagai salah satu negara yang
kondisi perempuannya amat terbelakang, hal tersebut dilatarbelakangi oleh adanya
budaya patriarki, yang mana banyak perempuan yang menjadi korban dari kebudayaan
tersebut. Posisi tersebut menyempitkan sudut pandang laki-laki terhadap perempuan, baik

1
Wiyatmi, Sosiologi Sastra (Teori dan Kajian terhadap Sastra Indonesia), (Yogyakarta : Kanwa
Publisher, 2008), h.67
2
itu laki-laki yang memiliki otoritas langsung terhadap perempuan maupun tidak langsung
juga sudut pandang perempuan tentang dirinya. Pada kenyataannya, banyak laki-laki
menganggap dirinya punya otoritas, dan banyak perempuan yang menganggap dirinya
hamba pengabdi dari lelaki pemegang otoritas atas dirinya.
Nawal El Saadawi merupakan salah satu tokoh yang mempelopori bangkitnya
perjuangan perempuan untuk mengambil kembali hak-haknya. Ia adalah seorang doktor
berkebangsaan Mesir sekaligus penulis yang begitu bersemangat dalam menghadirkan
tulisan-tulisan yang menunjukkan perjuangan perempuan Mesir untuk merebut
kedudukan dan hak-hak yang sama dan untuk mendapatkan perubahan nilai dan sikap
laki-laki Mesir terhadap perempuan yang sepenuhnya belum tercapai.
Salah satu karyanya yang syarat akan perjuangan perempuan untuk bangkit dari
hegemoni laki-laki adalah novel Perempuan di Titik Nol. Novel ini seperti sebuah
sindiran terhadap manusia dan hubungan antarmanusia, juga manusia dengan
masyarakatnya. Sang penulis berusaha untuk membongkar ”kemapanan” dengan
mengajak berefleksi tentang segala sesuatu yang selama ini dianggap bukan sebagai
masalah, termasuk merefleksikan masalah perempuan. Masalah ketimpangan dan
ketidakadilan gender bukan sekedar masalah perempuan an sich tapi merupakan masalah
kemanusiaan seluruhnya.
Melalui teori hegemoni yang dikemukakan Antonia Gramsci, penulis berusaha
menampilkan sedikit mengenai bagaimana konsep dari teori hegemoni Gramsci tersebut
serta hasil secara umum dari pengaplikasiannya terdahap novel Perempuan di Titik Nol.

Pembahasan

1. Antonio Gramsci dan Teori Hegemoninya

Antonio Gramsci lahir pada tanggal 22 Januari 1891 di kota Ales, yakni sebuah
kota kecil yang berada di Sardinia, Italia dan kemudian ia meninggal di Roma pada
tanggal 27 April 1937.2 Sebagai pemikir Marxis Italia setelah Marx, pemikirannya
banyak berhubungan dengan masalah politik praktis sehingga pandangan Gramsci yang
paling dominan adalah hegemoni.

2
Antonio Gramsci, Prison Notebooks; Catatan-catatan dari Penjara, Terj. Teguh Wahyu
Utomo, (Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2013), h. XXVII
3
Hegemoni berasal dari bahasa Yunani, hegeisthai yang berarti memimpin,
kepemimpinan, kekuasaan, yang melebihi kekuasaan yang lain. Jadi, dapat dikatakan
bahwa hegemoni berarti “Kepemimpinan”.3
Hegemoni adalah sebuah dominasi oleh satu kelompok yang lain, tanpa ancaman
kekerasan, sebagai ide-ide yang dituntun oleh kelompok dominasi terhadap kelompok
yang didominasi atau dikuasai, diterima sebagai sesuatu yang wajar dan tidak
memberatkan. Hegemoni membuat masyarakat percaya dengan prinsip-prinsip, aturan-
aturan dan hukum yang dianggap dapat mensejahterakan bersama, meskipun sebenarnya
tidak. Gramsci berpegang teguh pada penyatuan kedua aspek tersebut secara bersama-
sama. Salah satu cara yang di dalamnya “pemimpin” dan “dipimpin” disatukan adalah
lewat “kepercayaan-kepercayaan populer”.4
Selain itu, Bellamy juga mendefinisikan hegemoni sebagai hal yang merujuk pada
kedudukan ideologis satu atau lebih kelompok atau kelas dalam masyarakat sipil yang
lebih tinggi lainnya. 5
Teori hegemoni Gramcsi merupakan penyempurnaan teori kelas Marx yang belum
berhasil merumuskan teori politik yang memadai. Titik awal konsep Gramcsi tentang
hegemoni adalah bahwa suatu kelas dan anggotanya menjalankan kekuasaan terhadap
kelas-kelas di bawahnya dengan cara kekerasan dan persuasi.6
Dalam kerangka teori hegemoni Gramsci, kesusastraan, menjadi salah satu bagian
dari dunia gagasan, kebudayaan, superstruktur yang tidak hanya sebagai refleksi dari
struktur kelas ekonomi atau infrastruktur yang bersifat material, melainkan sebagai salah
satu kekuatan material itu sendiri.7 Hadirnya Teori Hegemoni yang digagas oleh penerus
Karl Marx ini merupakan sebagai sebuah dimensi baru dalam studi sosiologi mengenai
sastra. Dengan teori tersebut, sastra kemudian dipahami sebagai kekuatan sosial politik
dan kultural yang berdiri sendiri yang mempunyai sistem sendiri, meskipun tidak terlepas
dari infrastrukturnya.
Terdapat lima konsep dalam teori Gramsci, diantaranya ialah sebagai berikut :
1. Culture atau Kebudayaan
Dalam pandangannya, kebudayaan dinilai merupakan sebagai organisasi, disiplin
batiniah seseorang, yang merupakan pencapaian suatu kesadaraan yang lebih tinggi, yang
3
Nyoman Kutha Ratna, Sastra dan Cultural Studies (Representasi Fiksi da Fakta), (Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 2005),h.180
4
Faruk, Pengantar Sosiologi Sastra-dari Strukturalisme Genetik sampai Post-modernisme.
(Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2010), h. 143-144
5
Nezar Patria, dan Andi Arief, Andi.. Antonio Gramsci Negara & Hegemoni.(Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 2009), h.121
6
Roger Simon, Gagasan-Gagasan Politik Gramsci. (Yogyakarta:INSIST, 2004), h.19
7
Faruk,. Pengantar Sosiologi Sastra (Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2003), h.61-63
4
dengan peran dari hal tersebut, seseorang akan mampu memahami memahami nilai
historis dalam dirinya, fungsi ia dalam kehidupan, serta memahami apa saja hak-hak dan
kewajibannya. Gramsci menilai bahwasannya konsep serupa tidak dapat muncul secara
sepontan, melainkan melalui serangkaian aksi dan reaksi yang lepas dari kehendak
seseorang.8
Gramsci mengatakan bahwa gagasan yang bersangkutan dengan kesadaran akan
sebab-sebab adanya kondisi tertentu dan bagaimana membalikkan fakta-fakta kebudayaan
menjadi sinyal-sinyal pemberontakan dan revolusi sosial. Dengan demikian, jika
menginginkan adanya revolusi sosial, maka harus pula diawali dengan mulainya revolusi
kebudayaan atau revolusi ideologis. Karena revolusi kebudayaan itu tidaklah berlangsung
secara alamiah, namun banyak melibatkan berbagai faktor, khususnya faktor kultural
yang menjadi pendukung terjadinya revolusi tersebut.9

2. Hegemoni
Poin selanjutnya setelah Kebudayaan ialah Hegemoni, yang menurutnya
merupakans sesuatu yang kompleks juga memiliki sifat ekonomik dan etis politik.
Menurutnya, supermasi suatu kelompok sosial menyatakan dirinya dalam dua cara, yakni
sebagai "dominasi" dan sebagai "kepemimpinan moral dan intelektual". suatu kelompok
sosial mendominasi kelompok-kelompok antagonistik yang cenderung ia "hancurkan",
atau bahkan ia taklukkan dengan kekuatan tentara.10
Gramsci membagi hegemoni kedalam tiga tingkatan, diantaranya : 11
- hegemoni total (integral), yaitu hegemoni yang ditandai dengan afiliasi massa yang
mendekati totalitas masyarakat menunjukkan tingkat kesatuan moral dan
intelektual kokoh hal ini tampak dalam hubungan organis antara pemerintah dan
yang diperintah.
- hegemoni merosot (decadent hegemoni), masyarakat kapitalis moderen dominasi
ekonomis kaum borjuis menghadapi tantangan berat yang menunjukkan adanya
potensi diintegrasi yang dapat menimbulkan konflik tersembunyi di bawah
kenyataan sosial.
- hegemoni minimum (minimal hegemoni) bentuk hegemoni yang paling rendah
dibanding dua bentuk sebelumnya, hegemoni ini bersandar pada kesatuan
ideologis antara elit ekonomis, politik, dan intelektual yang terjadi secara

8
Faruk,. Pengantar Sosiologi Sastra, h.65
9
Faruk,. Pengantar Sosiologi Sastra, h.66
10
Faruk,. Pengantar Sosiologi Sastra, h.68
11
Nezar Patria, dan Andi Arief, Andi.. Antonio Gramsci Negara & Hegemoni., h.128
5
bersamaan akan tetapi enggan untuk mendapat campur tangan massa dalam hidup
bernegara.

3. Ideologi, Kepercayaan, dan Kebiasaan Umum


Gramsci mengemukakan bahwa dalam upaya menyebarkan gagasan-gagasan atau
sebuah filsafat, terdapat tiga cara12 yang dapat dilakukan, diantaranya adalah :
- Bahasa, merupakan sarana utama yang memiliki pengaruh besar terhadap tersebarnya
suatu konsep. Semakin banyak dan luas bahasa yang dikuasai, maka akan semakin mudah
pula usaha menyebarkan ideologi tersebut.
- Common Sense, atau yang biasa disebut dengan pendapat umum ini bersifat
kolektif.walaupun tidak sistematis, namun sifat persuasif didalamnya cukup kuat.
Gramsci menyatakan bahwa pendapat umum dan budaya pop telah menjadi arena penting
dalam pertarungan ideologi, yang fungsinya ialah sebagai alat atau sarana untuk melawan
ideologi yang lainya.
- Folklore, diantaranya ialah sistem kepercayaan, tahayul dan opini. Ketiganya memiliki
peran dalam mewadahi hegemoni. Folklore menjadi salah satu kekuatan yang berfungsi
untuk mengikat tanpa disertai dengan kekerasan.13
Bagi Gramsci, konsepsi mengenai dunia bukanlah hanya persoalan akademik,
melainkan juga persoalan politik. Ia berpendapat bahwa filsafat telah menjadi suatu
gerakan kebudayaan, suatu ideologi dalam pengertian luas, sebagai suatu konsepsi
mengenai dunia yang secara implisit memanifestasikan dirinya dalam seni, hukum,
aktivitas ekonomi dan dalam kehidupan individual maupun kolektif. Selain itu sebagai
sebuah ideologi, filsafat dimanfaatkan sebagai sebuah alat pemersatu antara kekuatan-
kekuatan sosial yang sesungguhnya bertentangan.14

4. Kaum intelektual
Guna mencapai sebuah hegemoni, ideologi haruslah disebarkan. dan dalam
penyebarannya dibutuhkan lembaga-lembaga sosial tertentu yang menjadi pusatnya.
Yang dipahami sebagai Intelektual dalam teori ini ialah suatu strata sosial yang
menyeluruh yang menjalankan suatu fungsi organisasional dalam pengertian yang luas,
baik dalam lapangan produksi, kebudayaan, ataupun dalam administrasi politik. Tiap-tiap
kelompok sosial tersebut biasanya menciptakan satu atau lebih strata intelektual, yang

12
Faruk,. Pengantar Sosiologi Sastra, h.70
13
Nyoman Kutha Ratna, Sastra dan Cultural Studies (Representasi Fiksi da Fakta) ,h.188
14
Faruk,. Pengantar Sosiologi Sastra, h.72
6
terdapat homogenitas didalamnya serta adanya sebuah kesadaran akan fungsinya yang
tidak hanya dalam lapangan ekonomi, tetapi juga dalam lapangan sosial dan politik. 15

5. Negara
Konsep yang terakhir ialah mengenai Negara, dalam hal ini Gramsci membedakan
negara menjadi dua wilayah yakni, Dunia Masyarakat Sipil dan Masyarakat Politik.
Dunia masyarakat sipil, sebagai wilayah pertama begitu penting bagi konsep hegemoni,
karena itu merupakan wilayah "kesetujuan" dan "kehendak bebas". sedangkan wilayah
kedua merupakan dunia kekerasan, pemaksaan, dan intervensi.16

2. Teori Hegemoni dalam Dunia Sastra

Dalam kerangka teori ini, kesusastraan adalah bagian dari dunia gagasan,
kebudayaan, dan superstruktur, yang bukan hanya bayangan atau refleksi dari struktur
kelas ekonomi atau infrastuktur yang bersifat material, namun menjadi kekuatan dari
material itu sendiri yang juga memiliki fungsi sebagai sarana dalam mengorganisasi masa
manusia, dan menciptakan tempat yang diatasnya manusia itu bergerak.17
Dengan menyandang status sebagai sebuah situs hegemoni, karya sastra mendapat
tempat sebagai bagian integral dalam sebuah kebudayaan. Yang mana pengarang akan
dinobatkan sebagai salah satu aparat hegemonik, yakni kaum intelektual.18 Dengan
demikian, dalam berbagai bentuk aktivitas kultural yang didalamnya sastra merupakan
bagiannya, akan mengarah pada satu sasaran utama, yaitu penciptaan sebuah iklim
kultural yang melalui beberapa proses yang dinilai rumit.19
Selain itu, sebagai salah satu situs hegemonik, karya sastra juga berperan sebagai
sebuah ajang pertarungan dalam pembentukkan blok-blok historis secara hegemonik.
Yang mana fungsi utamanya ialah sebagai pemersatu blok-blok sosial yang menyeluruh,
juga sebagai media penguat bagi kekuatan-kekuatan sosial yang saling bersaing.
Kemudian, karya sastra juga menjadi sebuah ajang kompetisi tindakan kolektif
bagi para kelompok subordinat, untuk membalikan hegemoni tersebut atau biasa disebut
sebagai Counter Hegemonic.karena selain berfungsi sebagai pemersatu, ia juga memiliki
fungsi untuk para kelompok subordinat menolak berbagai unsur ideologis yang datang
dari luar kelompok mereka.20

15
Faruk,. Pengantar Sosiologi Sastra, h.74
16
Faruk,. Pengantar Sosiologi Sastra, h.77
17
Faruk,. Pengantar Sosiologi Sastra, h.61-63
18
Faruk,. Pengantar Sosiologi Sastra, h.67
19
Nurhadi, Analisis Hegemoni Pada Iblis tidak pernah mati-karya Seno Gumira Ajidarma, (Jurnal
Litera : FBS UNY, Vol. 3 No. 2), h. 242-255
20
Faruk,. Pengantar Sosiologi Sastra, h.74
7
3. Novel ”Perempuan di Titik Nol” dalam Perspektif Teori Hegemoni

A.Ringkasan Novel Perempuan di Titik Nol


Karya sastra yang lahir di lingkungan masyarakat merupakan pengungkapan jiwa
pengarang tentang kehidupan, peristiwa, serta pengalaman hidup yang telah dihayati,
sehingga karya sastra yang baik adalah karya sastra yang mampu mencerminkan prinsip
kemanusiaan. Novel adalah salah satu bentuk karya sastra yang menyampaikan
permasalahan kehidupan yang kompleks. Biasanya tema yang di angkat, diambil dari
kehidupan yang pernah pengarang alami sendiri, pengalaman orang lain yang pengarang
lihat dan dengar, ataupun hasil imajinasi pengarang.
Nawal El-Saadawi adalah salah seorang perempuan berkebangsaan Mesir yang
terkenal sebagai pengarang novel dan pejuang hak-hak wanita. Karya-karya yang
dihasilkannya tidak terlepas dari tema tentang feminisme. Salah satu tujuan dari
pengangkatan tema feminisme adalah ingin menyuarakan aspirasinya untuk menyamakan
kedudukan perempuan dengan laki-laki.
Salah satu karyanya yang juga menyuarakan kisah perjuangan perempuan di
Mesir ialah novel Perempuan di Titik Nol. Novel ini merupakan kisah seorang perempuan
dalam sebuah penjara yang akan dihukum gantung pada 10 hari mendatang. Perempuan
ini sangat berbeda dengan perempuan-perempuan yang ada disana, ia tidak mau
menerima grasi dari presiden untuk menurunkan hukumannya. Ia tak mau berbicara
dengan siapapun, tak tidur saat malam, dan tak mau makan. Namun akhirnya, ia mau
menyuarakan tentang ceritanya dan alasan mengapa ia mendekam di penjara.
Novel ini mengisahkan tentang kisah hidup perempuan bernama Firdaus yang
memilih jalan hidupnya menjadi seorang pelacur. Saat kecil, Firdaus adalah seorang anak
perempuan yang penurut dan pintar, hidup dalam keluarga miskin dengan seorang ayah
yang lebih mementingkan dirinya sendiri daripada anaknya. Firdaus kecil selalu
membantu ibunya menggilas gandum, mengambil air dan memberi makan ternak di
kebun. Namun, sejak masa kecil ini pulalah ia mendapatka perlakuan tak senonoh dari
teman dan pamannya.
Saat ayah dan ibunya telah meninggal, ia dibawa oleh pamannya ke Kairo dan
disekolahkan pada asrama putri disana. Setelah selesai sekolah menengah pertama, ia
kembali ke rumah pamannya dan mendapati bahwa pamannya telah menikah dan
memiliki anak. Atas kekhawatiran istri pamannya, Firdaus dinikahkan dengan seorang
pensiunan tua yang setelah menikahinya ia selalu diperlakukan dengan kasar.
Karena merasa sangat tersiksa, ia memutuskan untuk pergi dan mencari pekerjaan.
Karena ia tak kunjung mendapatkan pekerjaan, akhirnya pada suatu hari ia ditolong oleh
8
seorang laki-laki dan menginap dirumahnya. Mereka berlaku layaknya suami istri, yang
pada akhirnya Firdaus tidak nyaman dengan hubungannya lalu memberontak pergi.
hingga akhirnya ia bertemu dengan seorang germo yang memperkerjakannya sebagai
pelacur. Ia diberikan penghidupan yang layak dengan pakaian, tempat tidur dan makanan
yang nyaman.
Hari-harinya dihabiskan untuk melayani tiap laki-laki yang menjadi pelanggan.
Karena merasa bosan dengan perlakuan dan tindakan yang semena-mena, Firdaus hendak
melarikan diri namun saat ditahan ia diancam dengan sebuah pisau. Tapi, yang terjadi
adalah kebalikannya, Ia membunuh germo itu dengan menancapkan pisau itu berkali-kali
ditubuhnya. Itulah yang menyebabkannya mendekam dipenjara dengan hukuman
gantung.

B. Unsur Hegemoni dalam Novel


Seperti yang telah dibahas sebelumnya, bahwa hegemoni adalah sebuah dominasi
oleh satu kelompok yang lain, tanpa ancaman kekerasan, sebagai ide-ide yang dituntun
oleh kelompok dominasi terhadap kelompok yang didominasi atau dikuasai, diterima
sebagai sesuatu yang wajar dan tidak memberatkan.
Dalam novel tersebut gambaran penguasa yang menghegemoni digambarkan
secara jelas. Dalam hal ini, kaum yang lemah diwakilkan oleh sosok Firdaus yang
diperlakukan secara tidak baik dengan cara menghegemoninya agar para penguasa
mendapatkan sebuah kepuasan. Alasan dari terjadinya hegemoni tersebut lantaran kaum
lemah tidak bisa melakukan pembelaan diri karena terikat sebuah tradisi masyarakat,
yang mana telah kita ketahui bersama bahwa tradisi di Mesir begitu kuat akan budaya
patriarkinya juga mereka dilarang untuk menantang para penguasa.
Berikut gambaran umum dari aspek-aspek hegemoni yang nampak dalam novel
Perempuan di Titik Nol yang diungkap berdasarkan Teori hegemoni Antonio Gramsci :

1. Kebudayaan
Negara Mesir menjadi latar tempat dalam novel tersebut, yang mana Mesir
merupakan negara yang dikenal memiliki budaya Patriarki yang kental. Dari kondisi
perempuan yang amat terbelakang tersebut hadir cerita mengenai kaum lemah yang
merupakan korban budaya para penguasa. Pembagian peran yang sengat diskriminatif
antara laki-laki dan perempuan lahir dikarenakan sistem kekuasaan yang ada memiliki
ciri laki-laki memiliki otoritas untuk menguasai dan mendominasi kehidupan perempuan
di segala bidang, baik politik, ekonomi, agama maupun sosial. Relasi antara laki-laki dan
perempuan masih didominasi ideologi dan sistem patriarki.

9
Dalam budaya patriarki seorang perempuan dianggap sebagai makhluk nomor dua
atau yang disebut liyan oleh Simone De Beauvoir. Konstruksi masyarakat yang
menganggap bahwa wilayah perempuan adalah pada arena domestik menciptakan suatu
hubungan yang terdominasi dan tersubordinasi, hubungan antara perempuan dan laki-laki
bersifat hierarkis, yakni laki-laki berada pada kedudukan yang dominan sedangkan
perempuan subordinat (laki-laki menentukan, perempuan ditentukan).
“Apa yang akan kau perbuat di Kairo, Firdaus?”
Lalu saya menjawab: “saya ingin ke El Azhar dan belajar seperti paman.”
Kemudian paman tertawa dan menjelaskan bahwa El Azhar hanya untuk kaum
pria saja.21

2. Sosial dan Ekonomi


Melihat dari lemahnya kondisi ekonomi keluarga Firdaus, maka kerap kali ia
mendapatkan perlakuan kurang baik dan juga berbagai bentuk penindasan. Dengan alasan
tersebut, maka keluarganya memutuskan untuk menikahkannya dengan orang kaya agar
perekonomian keluarganya bisa membaik. Dari aspek sosial, yang menjadi alasan
dinikahkannya juga karena faktor sosial masyarakat disekitarnya, yang mengatakan
bahwa anak dari keluarga miskin harus dapat membalas budi kedua orang tuanya dengan
menjadi istri para penguasa yang kaya raya.

Beberapa bentuk hegemoni dalam novel


Tokoh utama mengalami berbagai bentuk hegemoni dalam hidupnya, berikut
sekilas bentuk hegemoni yang dialaminya :
a. Hegemoni dalam bentuk Kekerrasan dan Pelecehan Seksual
Perempuan pada negara berkebudayaan patriarki selalu dianggap makhluk kelas
dua. Dan mereka juga sering mendapatkan pelecehan-pelecehan dari para penguasa (laki-
laki). Dirinya diperlakukan tidak selayaknya sebagai seorang perempuan, justru hanya
dianggap sebagai pemuas nafsu libido seorang penguasa saja.
Menurut Fakih (via Suci,2013: 6) : memegang atau menyentuh bagian tertentu
dari tubuh perempuan dengan berbagai cara dan kesempatan tanpa kerelaan si pemilik
tubuh. Jenis kekerasan ini sering terjadi di tempat pekerjaan ataupun di tempat umum.
“Galabeya saya acapkali menggelosor sehingga paha saya
terbuka, tetapi tidak saya perhatikan, sampai pada suatu saat
saya melihat tangan paman saya pelan-pelan bergerak dari
balik buku yang sedang ia baca menyentuh kaki saya. Saat

21
Nawal El-Saadawi, Novel Perempuan di Titik Nol. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003) ,h.
22&30
10
berikutnya saya dapat merasakan tangan itu menjelajahi kaki
saya sampai paha dengan gerakan yang gemetaran dan sangat
berhati- hati”22.
Salah satu tindakan kejahatan terhadap perempuan yang paling marak dilakukan
dimasyarakat ialah pelecehan seksual. Misalnya, menyampaikan lelucon jorok, menyakiti
seseorang dengan omongan kotor, meminta imbalan seksual dalam rangka janji untuk
mendapatkan kerja atau yang lainnya. Dalam hal ini, tokoh utama sering kali mendapat
umpatan-umpatan yang melecehkannya.
"Pelacur, perempuan jalang." Kemudian dia menghina ibu saya
dengan kata-kata yang tak sanggup saya ikuti. Kemudian, ketika
saya berusaha mengucapkannya, saya tak sanggup. Tetapi
setelah malam itu, kata-kata itu seringkali saya dengar dari
Bayoumi, dan kawan-kawan Bayoumi. Maka saya pun terbiasa
dengan kata- kata mereka.23

22
Nawal El-Saadawi, Novel Perempuan di Titik Nol, h.20
23
Nawal El-Saadawi, Novel Perempuan di Titik Nol, h.73
11
Penutup

Kesimpulan
Dalam kerangka teori hegemoni Gramsci, kesusastraan, menjadi salah satu bagian dari
dunia gagasan, kebudayaan, superstruktur yang tidak hanya sebagai refleksi dari struktur kelas
ekonomi atau infrastruktur yang bersifat material, melainkan sebagai salah satu kekuatan material
itu sendiri.Hegemoni tidak hanya merupakan hubungan dominasi dengan menggunakan
kekuasaan, melainkan hubungan persetujuan dengan menggunakan kepemimpinan politik dan
ideologis.
Sebagai sebuah situs hegemoni, karya sastra mendapat tempat sebagai bagian
integral dalam sebuah kebudayaan. Yang mana pengarang akan dinobatkan sebagai salah
satu aparat hegemonik, yakni kaum intelektual. Dengan demikian, dalam berbagai bentuk
aktivitas kultural yang didalamnya sastra merupakan bagiannya, akan mengarah pada satu
sasaran utama, yaitu penciptaan sebuah ikllim kultural yang melalui beberapa proses yang
dinilai rumit.
Karya sastra yang lahir di lingkungan masyarakat merupakan pengungkapan jiwa
pengarang tentang kehidupan, peristiwa, serta pengalaman hidup yang telah dihayati,
sehingga karya sastra yang baik adalah karya sastra yang mampu mencerminkan prinsip
kemanusiaan.
Dalam novel Perempuan di Titik Nol, unsur hegemoni begitu terasa. Hegemoni
tokoh laki-laki terhadap tokoh perempuan (Firdaus) timbul karena berbagai faktor mulai
dari faktor kebudayaan di negara tersebut, hingga aspek sosial dan ekonomi kaum
subordinat itu sendiri. Bentuk-bentuk hegemoninya seperti adanya kekerasan dan
pelecehan seksual yang ia alami dan lain sebagainya.

12
Daftar Pustaka

El-Saadawi, Nawal. 2003. Novel Perempuan di Titik Nol. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia
Faruk, Pengantar Sosiologi Sastra Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2003
_____, Pengantar Sosiologi Sastra-dari Strukturalisme Genetik sampai Post-
modernisme. (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2010
Gramsci, Antonio. Prison Notebooks; Catatan-catatan dari Penjara, Terj. Teguh
Wahyu Utomo, .Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2013
Nurhadi, Analisis Hegemoni Pada Iblis tidak pernah mati-karya Seno Gumira Ajidarma,
(Jurnal Litera : FBS UNY, Vol. 3 No. 2
Patria, Nezar dan Arief, Andi.. Antonio Gramsci Negara & Hegemoni.Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 2009
Ratna , Nyoman Kutha, Sastra dan Cultural Studies (Representasi Fiksi da Fakta),
Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005
Simon, Roger. Gagasan-Gagasan Politik Gramsci. Yogyakarta:INSIST, 2004
Wiyatmi, Sosiologi Sastra .Teori dan Kajian terhadap Sastra Indonesia), Yogyakarta :
Kanwa Publisher, 2008

13

Anda mungkin juga menyukai