Anda di halaman 1dari 45

PENGARUH PENGGUNAAN CITICOLIN TERHADAP

KADAR BDNF PADA PENDERITA


CEDERA OTAK BERAT (COB)
KARYA AKHIR
PROPOSAL

Oleh:

dr. Bherllian Napitupulu

Pembimbing : Dr. dr. Farhad Bal’afif, Sp. BS (K)

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALISASI I

PROGRAM STUDI ILMU BEDAH

UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG

2020
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN
HALAMAN PERNYATAAN
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Cedera otak adalah cedera otak yang disebabkan oleh benturan atau

pukulan, atau cedera kepala tembus dengan nilai GCS (Glasgow Coma Scale)

kurang dari 8. Setiap tahunnya terdapat sekitar 30 juta orang yang datang ke

IGD, perawatan RS serta kematian terkait cedera di Amerika Serikat. Sekitar

sepertiga yang meninggal dikarenakan COB sebagai penyebab langsung ataupun

penyebab yang mendasari. (report to congress TBI in US cdc, 2015). Pada tahun

2013, di Amerika Serikat, sekitar 2,8 juta pasien tercatat sebagai pasienCOB

yang datang ke IGD, rawat inap dan meninggal yang terdiri dari sekitar 2,5 juta

kunjungan ke IGD, 282.000 rawat inap dan 56.000 kematian terkait COB.

Jumlah pasien yang didiagnosis COB sekitar 2,8 juta (1,9%) dari total 149 juta

pasien yang datang dengan cedera (Traumatic brain injury MMWR, 2017, cdc).

KUTIPAN KEPUSTAKAAN JIKA MENGGUNAKAN SISTEM

HARVARD ADALAH NAMA DAN TAHUN. Misal Bafadal (2019)

mengatakan …. Atau ………. (Bafadal, 2019)

Data kejadian COB di Indonesia belum tersedia secara detail. Beberapa

penelitian dilakukan di beberapa RS di Indonesia. Penelitian di RS Fatmawati

selama tahun 2010-2014 didapatkan data bahwa sekitar 10% pasien meninggal

dari jumlah pasien yang dirawat karena kecelakaan dan penyebab kematian

terbesar adalah cedera kepala dengan rata-rata 50%. (Gambaran kecelakaan lalu
lintas Indonesia, Puslitbang) Penelitian yang dilakukan di ICU RSUP Prof. Dr.

Kandou Manado didapatkan data bahwa sekitar 45% pasien meninggal karena

cedera otak berat (Epid cedera samrutalangi manado, 2016).

Semakin meningkatnya kejadian COB dengan mortalitas yang tinggi

ataupun dampak kualitas hidup pasien dan keluarga, diharapkan perhatian lebih

mendalam dalam penanganannya. Salah satu dampak yang cukup berat adalah

gangguan fungsi kognitif karena cedera kepala yang bersifat kronis berhubungan

dengan kemampuan regenerasi, plastisitas sel dan proses belajar (hubungan bdnf

dan fungsi kofnitif, 2015). Brain Derived Neurotrophic Factor (BDNF)

merupakan salah satu faktor neurotropik yang berperan penting dalam plastisitas

sel, proses belajar dan gangguan afektif (AMS dan labinformation, 2016). BDNF

adalah mediator sentral dari efek stres ke plastisitas neuron berhubungan dengan

stres, gangguan afektif serta penyakit somatik. Fungsi neurotropik BDNF

mempengaruhi kelangsungan hidup neuron dan fungsi semut impor sebagai

pembelajaran, memori, nafsu makan dan tidur.Pada penelitian yang dilakukan di

RSUP Dr Djamil Padang didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan bermakna

kadar serum BDNF saat cedera kepala dengan gangguan fungsi kognitif paska

cedera kepala (hubungan bdnf dan fungsi kofnitif, 2015).

Penatalaksanaan COB mengalami peningkatan dalam beberapa tahun ini

sehingga berdampak pada penurunan angka mortalitas. Akan tetapi, dampak lain

yang dihadapi adalah kualitas hidup pasien pasca COB antara lain gangguan

kognisi. Pendekatan farmakologis yang sering digunakan adalah pemberian


neuroprotektif yaitu citicolin yang profil keamanan dan efikasi obatnya sesuai

dengan penatalaksanaan lesi otak yang disebabkan karena cedera kepala, iskemia

maupun penuaan. Walaupun peran citicolin dalam pengobatan COB juga

dipertanyakan setelah publikasi CORBRIT Trial. (Journal of Trauma and

Treatment, Spain, 2014)

Penelitian mengenai hubungan antara pemberian citicolin dan kadar BDNF

pada pasien dengan COB jarang dilakukan. Studi kepustakaan tetang hubungan

pemberian citicolin dengan BDNF secara langsung belum didapatkan. Persamaan

mekanisme kerja pada keduanya dengan perbedaan bentuk molekul Prekursor

gliserofosfolipid fosfatidikolin (PC) dan BDNF, sehingga molekul PC tidak

berikatan dengan reseptor yang sama dengan BDNF. Kemungkinan PC

memodulasi produksi neurothropin sehingga ekspresi BDNF meningkat.

Peningkatan ini memblokir caspase-3 sehingga caspase dependent pathways

terinhibisi jalur anti apoptosis tercapai.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa BDNF adalah molekul kunci

untuk neuroplastisitas terjadi. Sesuai dengan penelitian ini, dinyatakan bahwa

peningkatan BDNF di saraf pusat merupakan respon tertentu terhadap

rangsangan inflamasi, yaitu sebagai pelindung saraf khusus. Seperti halnya

pemberian citicholine juga menyebabkan penurunan pelepasan asam arakhidonat,

kardiolipin dan sphingomyelin yang berarti mencegah terjadinya proses

inflamasi.
1.2. Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang dipaparkan maka rumusan masalah dalam tugas akhir

ini adalah “Apakah pemberian Citicolin berpengaruh pada kadar BDNF pada

pasien dengan cedera otak berat?”.

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui pengaruh pemberian citicolin terhadap kadar BDNF pada

pasien cedera otak berat di RSUD dr Saiful Anwar Malang.

1.3.2 Tujuan Khusus

a) Mengetahui apakah pemberian citicholin dapat meningkatkan kadar

BDNF cairan serobrospinal pada pasien cedera otak berat.

b) Mengetahui apakah peningkatan kadar BDNF cairan serebrospinal

dapat meningkatkan perbaikan klinis pasien cedera otak berat.

c) Mengetahui apakah ada hubungan antara pemberian citicholin dengan

perbaikan klinis pasien cedera otak berat.

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Akademik

Penelitian ini dapat digunakan untuk menjadi dasar penelitian untuk

sampel yang lebih besar. Hasil penelitian ini dapat menambah konsep

pengobatan COB, yaitu dengan pemberian citicoline.

1.4.2 Manfaat Praktis


Penelitan dapat bermanfaat untuk mengetahui tentang keefektifan

pemberian citicolin pada pasien post operasi yang terpasang ICP dengan

diagnosis COB.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Cedera Otak Berat (COB)

2.1.1 Epidemiologi

Cedera kepala memiliki angka kejadian yang cukup tinggi sebagai salah

satu penyebab kecacatan dan kematian akibat trauma. Menurut Survei Kesehatan

Rumah Tangga (SKRT) tahun 2004 didapatkan antara 132−367 kejadian trauma

kepala dalam 100.000 populasi. Sebagian besar penderita cedera kepala adalah

laki-laki dengan usia terbanyak antara 15-24 tahun (Kraus et al., 20000; Mattox

et al., 2003; Japardi, 2004).

Dari jumlah kasus cedera kepala yang terjadi, 30% adalah kasus cedera

otak berat yang 30 sampai 36 persennya meninggal dunia, 5 persen hidup dengan

status vegetatif, 15 persen cacat berat, 15 sampai 20 persen cacat sedang dan

sisanya memiliki recovery yang bagus. Ditinjau dari kerusakan jaringan yang

terjadi, cedera kepala dapat melibatkan seluruh komponen kepala, mulai dari:

kulit, tengkorak hingga jaringan otak beserta pembuluh darah dan selaputnya.

Cedera kepala yang langsung disebabkan oleh benturan disebut cedera primer,

sedangkan yang merupakan dampak lanjutan dari benturan langsung disebut

cedera sekunder.
2.1.2 . Patofisiologi

Derajat kerusakan pada cedera kepala ditentukan oleh mekanisme cedera,

besarnya gaya, arah gaya dan pengulangan gaya akan menimbulkan perbedaan

pada derajat kerusakan yang terjadi. Cedera kepala primer todak hanya terjadi

pada sisi trauma akan tetapi dapat terjadi pada seberang sisi trauma ataupun

sepanjang arah yang dilewati gaya akibat trauma. Kerusakan yang timbul dapa

terjdi akibat mekanisme percepatan dan perlambatan, arah dan gaya rotasi,

ataupun shock wave phenomenon (Graham and Gennarelli, 2000; Holland, 2003;

Japardi, 2004).

Cedera kepala meliputi spektrum luas dari cedera mulai cedera ringan

hingga parah. Untuk pasien yang selamat dari cedera primer, morbiditas dan

mortalitas sebagian besar ditentukan oleh keparahan cedera sekunder yang

dihasilkan dari proses patofisiologisyang menyebabkan kematian saraf. Cedera

awal pada memicu pelepasan glutamat yang menyebabkan hiperaktifasi reseptor

tipe-N-metil-D-aspartat (NMDA) (NMDAR), kalsium (Ca 2+) berlebihan, dan

kematian sekunder neuron dikarenakan eksitotoksisitas. Namun, pengobatan

anti-eksitotoksik dengan antagonis NMDAR belum menghasilkan manfaat secara

klinis. Selanjutnya, aktivitas NMDAR memainkan peran kunci dalam kognisi,

menjadi penting untuk potensiasi jangka panjang (LTP), yang bergantung pada

aktivitas sinapsis glutamatergik. Strategi terbaru untuk melemahkan pensinyalan

eksitotoksik telah menggunakan senyawa peptida yang bekerja mengganggu

interaksi reseptor ion glutamat ionotropik. Kematian neuron kortikal tergantung


NMDAR terganggu oleh peptida yang meniru ligand NR2B PDZ (TAT-

NR2B9c). PSD-95 juga menghubungkan reseptor kainite (GRIK2) dengan

aktivasi c-Jun-N-terminal kinase (JNK), dan peptida yang dirancang melawan

terminal-CGRIK2, Tat-GluR6-9c, menunjukkan efek perlindungan terhadap

kematian neuron yang disebabkan oleh iskemia serebral atau gangguan reperfusi.

(Scientific report, TRKB enhancer, 2017)

Cedera kepala sedang dan berat dapat menyebabkan kerusakan otak yang

lebih berat dibandingkan dengan yang ringan. Cedera kepala sedang dan berat

berdampak lanjutan pada saat benturan terjadi. Kasus cedera kepala berat didapati

ada tingkat primer dan sekunder. Kejadian cedera kepala sekunder menimbulkan

dampak yang lebih berat dibandingkan dengan yang primer. Proses cedera kepala

sekunder harus dicegah untuk mendapatkan hasil pengobatan yang terbaik. Di

samping itu ada kesulitan untuk menentukan apakah cedera kepala sekunder ini

sudah begitu berat, sehingga pengobatan akan memberikan hasil yang percuma

atau cederanya ini masih dalam tahap yang layak untuk ditolong, agar

memberikan hasil yang baik. Dalam tatalaksana pengobatan diperlukan penentuan

peramalan perjalanan penyakit yang teliti.

2.1.3. Cedera Kepala Primer

Kerusakan primer bisa bersifat lokal maupun difus, hal ini dibedakan

berasarkan luas kerusakan yang terjadi. Apabila kerusakan yang terjadi hanya

mengenai bagian-bagian tertentu dari otak maka kerusakan yang terjadi bersifat
fokal. Kerusakan fokal dapat berupa [1] Kontusio serebri [2] Laserasi serebri dan

[3] Perdarahan intrakranial. Sedangkan apabila kondisi patologis penderita tidak

sadar dan tidak disertai adanya SOL (space ocuupying lesion) pada CT-Scan atau

MRI maka kerusakan tersebut bersifat difus, adapun kerusakan yang mencakup

kerusakan difus antara lain [1] Diffuse axonal injury (DAI) dan [2] Diffuse

vascular Injury (DVI).

2.1.4. Cedera Kepala Sekunder

Gangguan perfusi yang berkepanjanan dan peningkatan tekanan intrakranial

akan menyebabkan kerusakan sekunder yang berkelanjutan , kerusakan otak

sekunder dikelompokkan berdasarkan mekanismenya dan terbagi menjadi [1]

Diffuse hypoxic-Ischemic damage yang mana kerusakan terjadi akibat adanya

keadaan hipoksia, iskemia serta hipotensi dan [2] Diffuse brain swelling, pada

keadaan ini terjadi peningkatan kandungan air dalam jaringan otak atau terjadi

peningkatan volume darah atau bahkan keduanya terjadi bersamaan.

2.1.5. Proses Kematian Sel pada Cedera Kepala

Cedera kepala akhirnya menyebabkan:

2.1.5.1 Nekrosis

Sel neuron yang mengalami nekrosis akan mengalami pembengkakan

di fase awal, akan tetapi tidak ada perubahan kromatin. Sedangkan

mitokondria mengalami perubahan morfolog dan membran sel pecah


yang akan menyebabkan isi sel keluar ke rongga ekstra seluler. Hal ini

akan memicu reaksi peradangan (Slemmer et,al, 2004).

Iskemia dan hipoksia yang menyertai cedera kepala memicu terjadiya

mekanisme influx ca2+ kedalam sel yang mengakibatkan terjadinya

penumpukan ion ca2+ yang akan mengaktifkan berbagai enzim, seperti

protease, lipase, endonuclease yang akan mengakibatkan perubahan pada

membran sel. Selanjutnya asam arakhidonat yang diproses oleh

lipoksigenase dan siklooksigenase dalam sitosol akan menjadi leukoriens,

prostaglandin dan tromboxan, proses ini juga disertai dengan pelepasan

radikal bebas yang memicu pecahnya membra sel dan isi sel menjadi

tumpah keluar dan neuron mengalami nekrosis (Slemmer et,al, 2004).

2.1.5.2. Apoptosis

Apoptosis yang terjadi pada sel tidak terjadi secara berkelompok, pada

proses apoptosis diawali dengan sel yang megalami nekrosis akan

mengecil/mengerucut, memisahkan diri dari sel sekitar, kromatin

mengalami kondensasi menjdi piknotik, membran sel mengalami

penggelembungan (blebbing). Isi sel mengalami fragmentasi , selanjutnya

endogenous endonuklease dan ICE like protease mengalami aktivasi dan

menyebabkan degradasi nucleus dan sel itu sendiri dan sel terbelah

menjadi beberapa belahan yang terbungkus oleh membran sel yang utuh

yang disebut apoptotic bodies yang kemudian di fagositosis oleh


makrofag atau sel lain disekitarnya. (Nijhawan et al., 2000; Slemmer et

al., 2004).

2.2. Brain Derived Neutrophic Factor (BDNF)

Brain derived neurotrophic factor (BDNF) merupakan salah satu dari 4

neurotrophin yang termasuk kedalam golongan neurotropic factor selain dari

nerve growth factor (NGF) , neurotrophin 3 (NT-3) dan neurotrophin-4 (NT-4).

Brain derived neurotrophic factor merupakan neurotropin yang tersebar luas di

susunan saraf pusat (Teixeira et al., 2010). Brain derived neurotrophic factor

memiliki beberapa fungsi, termasuk regulasi aksonal, pertumbuhan dendritik,

berperan dalam pelepasan neurotransmitter, dan long term potentiation (LTP).

Sesuai dengan fungsi terebut, BDNF memiliki peran sebagai pengatur utama

plastisitas sinaptik (Marosi and Mattson,2013).

Brain derived neurotrophic factor diekspresikan pada sistem saraf pusat dan

perifer mamalia dewasa, terutama di hipokampus dan korteks. Studi klinis telah

menunjukkan bahwa kadar BDNF serum dan penurunan volume hipokampus

lansia berkorelasi erat dengan gangguan memori dan gangguan neuropsikiatri.

Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa kadar BDNF yang rendah dapat

menyebabkan volume hipokampus menurun yang diduga menyebabkan defisit

memori spasial terkait dengan usia. Brain derived neurotrophic factor berkorelasi

dengan penyakit neurodegeneratif termasuk penyakit Alzheimer dan juga


memiliki korelasi kuat dengan gangguan psikiatri lainnya dalam hal ini termasuk

depresi (Zhang, 2012).

Pada penelitian Li Jie, et al (2014), pasien dengan depresi berat menunjukkan

tingkat BDNF serum yang lebih rendah (8,1 ng/ml) dibanding saat onset (13,7

ng/ml). Analisis multivariat didapatkan BDNF serum merupakan prediktor

depresi pasca stroke (PSD) yang independen pada 3 bulan pasca stroke. Kadar

BDNF serum <10.2 ng / ml secara independen terkait dengan post stroke

depresi(Li J et al, 2014).

Penelitian lain yang dilakukan Yang, et al (2011), mendapatkan adanya

peningkatan BDNF yang signifikan lebih awal setelah stroke iskemik. BDNF

serum pada hari pertama onset dapat memprediksi risiko PSD berikutnya. Yang,et

al menemukan 37 pasien (37,0%) yang didiagnosis depresi berat pada akhir

follow up. BDNF serum pada hari pertama onset secara signifikan lebih tinggi

pada pasien stroke non-PSD daripada kontrol normal, sementara pada pasien PSD

secara signifikan menurunkan BDNF dibandingkan pasien non-PSD. Serum

BDNF <5.86ng / ml pada hari pertama secara independen dikaitkan dengan

kejadian PSD pada tahap akut stroke (Yang et al.2011). Zhou, et al meneliti kadar

BDNF pada onset 7 hari stroke iskemik dan melakukan follow up pada 3-6 bulan

pasca stroke, didapatkan kadar BDNF yang menurun pada kelompok PSD. Pada 7

hari sebesar 29,1±11,4 ng/ml dan pada follow up sebesar 21.7±10.3 ng/ml , nilai

ini jauh lebih rendah jika dibandingkan kelompok kontrol sehat sebesar 26.2±8.4

ng/ml dan kelompok stroke tanpa PSD sebesar 28.6±9.6 ng/ml (Zhou,et al,2011).
Jimenez et al mendapatkan sebanyak 23 orang (22,1%) dari 104 pasien stroke

iskemik akut dengan onset pertama kalinya, mengalami depresi pada satu bulan

pasca stroke. Penelitian ini mendapatkan kadar BDNF pada kelompok depresi

lebih rendah dari kelompok tanpa depresi, namun tidak ada hubungan yang

signifikan antara kadar BDNF dengan terjadinya depresi pada satu bulan pasca

stroke. Pada pengukuran 7 ± 2 hari, didapatkan kadar BDNF pada kelompok

tanpa depresi sebesar 12,9 (10,6-16,1) ng/ml dan pada kelompok depresi sebesar

13,6 (9,8-201) ng/ml dengan nilai p= 0,565. Sementara itu pada pengukuran 1

bulan didapatkan 30 ± 7 hari, didapatkan kadar BDNF pada kelompok tanpa

depresi sebesar 13,5 (11,6-16,1) ng/ml dan pada kelompok depresi sebesar 11.4

(9.6–19.8) ng/ml dengan nilai p= 0,365 (Jimenez et al, 2009).

Brain Derived Neurotrophic Factor (BDNF) sebagai faktor pertumbuhan dam

merupakan bagian dari neurotropin. BDNF adalah pusatmediator efek stres pada

plastisitas neuron dan berkaitan dengan stres serta gangguan afektif juga

penyakit somatik. Fungsi neurotropik BDNF mempengaruhi kelangsungan hidup

neuron dan karenanya penting fungsinya untuk pembelajaran, memori, nafsu

makan dan tidur. (BDNF, Lab information). BDNF diproduksi terutama oleh

sistem saraf pusat,terutama oleh hipokampus. Produksinya kemungkinan besar

dirangsang oleh kortisol. BDNF menghambat apoptosis (kematian sel) neuron. Ini

mengaktifkan sinyal intraselulermengalir dengan mengikat reseptor TrkB-

tyrosinase.Ini mengarah pada aktivasi sinyal bertahan hidup pada di satu sisi, di

sisi lain, sinyal pro-apoptosisberkurang. Dengan demikian, BDNF


mempromosikan kelangsungan hidup neuron dan plastisitas neuron di pusat

dewasa sistem saraf. Fungsi biologisnya sinergis dengan serotonin, karena kedua

zat ini memicu transkripsi yang serupafaktor melalui kaskade sinyal serotonin. Itu

Gen-polimorfisme BDNF ditandai oleh ekspresi dari varian BDNF prematur yang

kurang aktifdan dihadiri oleh ketakutan, depresi danbunuh diri.BDNF juga

mempengaruhi organ perifer dan diproduksie. g. oleh sel-sel otot, sel-sel sistem

kekebalan tubuh dan trombosit. Dalam kasus dermatitis atopik BDNF miliki telah

ditemukan terikat pada granulosit eosinofil dikulit, meningkatkan akumulasi dan

menstimulasi pelepasan mediator sitotoksik. Selanjutnya, BDNF cenderung

memainkan peran dalam persepsi pruritus melalui interaksi dengan serabut saraf

sensorik. BDNF melewati penghalang darah-otak sehingga kadar di pinggiranjuga

mencerminkan konsentrasi pusat. Pengurangan hippocampus menyebabkan

berkurangnya serum BDNF konsentrasi.

Beberapa penelitian dapat menunjukkan bahwa stres dan depresiperiode

terkait dengan penurunan konsentrasi serum BDNF. Selanjutnya, konsentrasi

serum BDNF meningkatpada pasien yang menjalani terapi. Karena itu,hasil

terapeutik dapat diperkirakan dengan penentuandari BDNF.

Indikasi untuk penentuan BDNF:

a. Stres kronis, kelelahan, gangguan tidur, kelelahansindroma

b. Dugaan depresi

c. Kontrol dan pemantauan terapi antidepresan

d. Penyakit neurodegeneratif
e. Dermatitis atopik: Konfirmasi statuspenyakit (terutama pruritus) dan

pemantauan dari keberhasilan terapi

Faktor yang dapat menstimulasi BDNF adalah pembatasan kalori, latihan fisik

dan olahraga, pengurangan stres, terapi dengan antidepresan, penggunaan

serotonin prekursor, asam lemak omega-3, seng, dan vitamin E.Stres kronis,

insomnia, latihan fisik yang berlebihan,usia lanjut, gangguan hormonal (mis.

defisit estradiol) serta banyak psikis dan neurodegeneratif penyakit mengurangi

konsentrasi serum BDNF. Meskipun konsentrasi serum BDNF ditemukan pada

pria dan wanita tidak berbeda secara umum, ada ketergantungan ke status

hormonal. Studi lain menunjukkan diurnal irama juga variasi musiman dalam

konsentrasi serumdari BDNF.

Serum harus disampel di pagi hari dan seharusnyatiba di laboratorium pada hari

yang sama. Jika ini tidak mungkin, lebih baik dikirim dalam serum beku.

(Labinformasi)

Faktor neurotropik yang diturunkan dari otak (BDNF) adalah salah satu dari

neurotropik faktor yang mendukung diferensiasi [1], pematangan [2], dan

kelangsungan hidupneuron dalam sistem saraf [3] dan menunjukkan efek

perlindungan saraf dalam kondisi buruk, seperti stimulasi glutamatergik,

otakiskemia, hipoglikemia, dan neurotoksisitas [4]. BDNF merangsang

danmengontrol pertumbuhan neuron baru dari sel induk saraf (neurogenesis)[5,

6], dan protein BDNF dan mRNA telah diidentifikasi di sebagian besar otak area

termasuk bohlam penciuman, korteks, hippocampus, otak depan basal,


mesencephalon, hipotalamus, batang otak dan sumsum tulang belakang. Tingkat

BDNF menurun pada banyak penyakit neurodegeneratif seperti penyakit

Parkinson (PD) [7], multiple sclerosis (MS) [8] dan Huntingtonpenyakit [9].

Selain efek neuroprotektif, BDNF memainkan peran utama dalam homeostasis

energi. Administrasi BDNF secara perifer atau intracerebroventrikular (ICV)

menekan asupan energi dan mengurangi tubuhberat [10]. (BDNF,2015, state of

paper)

BDNF adalah anggota keluarga neurotropin dari faktor pertumbuhan bersama

dengan faktor pertumbuhan saraf(NGF); neurotrophins-3 (NT-3), NT4 / 5 dan

NT-6. BDNF disintesis dalam retikulum endoplasma (ER) sebagai protein

prekursor 32-35 kDa (pro BDNF) yang bergerak melalui aparat Golgi dan

jaringan trans-Golgi (TGN). Di hadapanlipid rakit terkait penyortiran peptidase

karboksi reseptor E (CPE), pro-BDNF diurutkan berdasarkan vesikel dan

kemudian diangkut ke aktivitas-tergantung sekresi oleh dendrit pasca-sinaptik

(Gambar 1). Domain terminal pro-BDNF dibelah oleh enzim protein convertase

yang berbeda untuk terbentuk 13 kDa BDNF dewasa aktif secara biologis

(mBDNF)[10–12].

2.2.1 Level BDNF pada Cedera Otak Berat

Cedera Otak Berat (COB) merupakan kesehatan masalah msyarakat global,

sebanyak 10 juta orang mengalami COB setiap tahunnya yang menyebabkan

kecacatan hingga kematian. COB bisa didiagnosa dari gejala dan tanda eksternal
yang bisa menggambarkan adanya kerusakan pembuluh darah akson, euron dan

glia yang merupakan dampak dari kerusakan primer yang merupakan dampak dari

gangguan eksternal dan kemudian diikuti oleh ganguan biokimiawi yang

merupakan kerusakan sekunder yang menginduksi kerusakan secara fungsional.

Dalam hal ini dibutuhkan peramalan perjalanan penyakit COB yang dapat

menggambarkan pemeriksaan penunjang yang bisa menggambarkan kondisi

intrasel dalam otak termasuk keadaan patologis sel saraf dan bimarka tingkat

selular dapat menggambarkan hal tersebut, salah satu biomarka yang sedang

berkembang adalah Brain Derived Neurotrophic Factor (BDNF) yang diambil

dari cairan serebrospinal. Hal ini di yakini memberikan gambaran yang lebih baik

terkait gambaran keadan intrasel diotak dibandingkan dengan biomarker yang

diambil dari serum.

BDNF adalah sejenis protein yang merupakan bagian dari neurotropin dan

merupakan keluarga dari Nerve growth Factor. BDNF memiliki peran penting

pada kelangsungan hidup sel pada kasus TBI, karena perannya dalam diferensiasi

neuronal, kelangsungan hidup dan plastisitas sel, oleh karena itu kadar BDNF

meningkat secara signifikan pada daerah korteks dan hipokampus yang terluka

sesaat setelah COB terjadi (Wurzelman, et.al, 2017).

Pada pasien cedera kepala berat terjadi peningkatan kadar BDNF dalam cairan

serebrospinal. Peningkatan kadar BDNF adalah respons perbaikan terhadap

kondisi cedera otak pasien. Pemeriksaan kadar BDNF 48 jam pascacedera kepala
adalah tolok ukur yang bermakna sebagai respons perbaikan yang menentukan

GOS pasien terjadi.

Menurut penelitian Faila et.al Kadar BDNF di cairan serebrospinal pada

pasien COB hari ke 1 hingga hari ke 6 pasca trauma berkisar 0,01-0,20 ng/ml

dibandingkan dengan kontrolnya yang hanya berkisar 0.02-0,14 ng/ml, kadar

BDNF yang meningkat pada kasus COB mungkin berhubungan dengan peran

BDNF dalam kelangsungan hidup neuronal, sinyal apoptosis dan sistem

reaktivitas saraf otonom (Failla et.al, 2016)

Dalam penelitian yang dilakukan Dharmajaya didapatkan hasil kadar BDNF

meningkat pada 24 jam pertama yaitu dengan angka rata-rata berkisar 7,04 - 0,89

pg/ml dan kemudian semakin meningkat pada jam pemeriksaan berikutnya,

sehingga akhirnya menurun pada pemeriksaan 120 jam pasca cedera dengan

angka rata-rata berkisar 5,89-8,53pg/ml. Hal ini adalah sebagai penanda tertentu

bahwa telah terjadi perbaikan khas dan respon tubuh terhadap cedera

(Dharmawijaya, 2014)

Ridha Dharmajaya dalam penelitiannya pada pasien cedera kepala berat

melakukan perbandingkan kekuatan dari waktu, yaitu setelah 24, 48, 72 dan 120

jam mendapat cedera. Di subjek penelitian dipasang monitor tekanan intrakranial

pada 24 jam pertama pascacedera kepala. Pengambilan sampel cairan

serebrospinal, untuk pemeriksaan Brain Derived Neurotrophic Factor (BDNF)

dilakukan dalam empat kesempatan, yaitu pada 24 jam, 48, 72 dan 120 pasca

cedera kepala. Pengukuran BDNF dilakukan dengan menggunakan Enzyme


linked immunosorbent assay. Seluruh subjek penelitian dinilai derajat hasil hanya

dengan menggunakan penggolongan Glasgow Outcome Scale (GOS) setelah tiga

bulan pasca cedera kepala. Hasil mengukur BDNF 48 jam pasca cedera kepala,

menunjukkan perbedaan yang bermakna, yaitu p6,16pg/mL, memiliki peramalan

perjalanan penyakit yang baik.

Peningkatan kadar BDNF pascacedera kepala adalah petanda tertentu bahwa

telah terjadi perbaikan khas dan respons tubuh terhadap cedera. Jika tidak

diberikan aturan makan dengan penggantian khusus, kadar BDNF endogen

terpakai dan menurun pada pemeriksaan 120 jam pascacedera. Kadar BDNF yang

menurun pada pemeriksaan 120 jam pascacedera masih tetap di atas kadar normal

BDNF. Hal ini menunjukkan respons tubuh untuk penyembuhan tetap

berlangsung.

2.3. Citicolin

Citicolin, Cytidine 5 diphospocholine, adalah senyawa endogen yang

terbentuk secara alami. Telah dilaporkan bahwa perubahan konsentrasi

citicolindapat mengubah sintesis 80% fosfolipid sistem saraf pusat (CNS).

Prekursor kolin adalah molekul eksogen yang dikonversi dalam tubuh. Dosis oral

citicolin sebenarnya diserap dengan cepat dan kemudian dihidrolisis di dinding

usus dan hati menjadi kolin dan sitidin. Baik kolin maupun sitidin memasuki

sirkulasi sistemik, melewati sawar darah-otak, dan bergabung membentuk

citicholine di dalam SSP di mana ia meningkatkan biosintesis fosfolipid.


Citicolin merangsang sintesis fosfatidilkolin, melemahkan pelepasan Asam

Lemak Bebas (FFA). Selanjutnya, citicoline membangun kembali kadar

komponen fosfolipid kardiolipin dari membran mitokondria bagian dalam (aksi

struktural). (Citicholine fact galukoma, 2015 )

Karya Kennedy dan kolaborator pada 1950-an menunjukkan bahwa

nukleotida kolin terfosforilasi ini adalah sebuah prekursor gliserofosfolipid

fosfatidilkolin (PC). PC dan senyawa kembarannya, phosphatidylethanolamine

(PEt) adalah dua fosfolipid yang paling melimpah dalam sel eukariotik, terhitung

lebih dari setengah dari totalkonten fosfolipid dalam membran. Jalur sintesis

denovo PC, jalur CDP-choline (Gbr. 1), termasuk enzim cytidine kinase (CK),

kolin fosfatcytidilyltransferase (CCT) dan CDP-choline: 1,2-diacylglycerol

choline phosphotransferase (CPT) [2].Enzim ini terletak secara intraseluler, di

endoplasma retikulum dan inti sel [3]. Kolin yang digunakan untuk sintesis

fosfatidilkolin melalui jalur CDPcholine berasal dari pengangkutan eksogenkolin

ke dalam sel atau dari fosfolipase D-dimediasipergantian PC. (Neuroprotective

Properties of Citicoline: Facts, Doubts and Unresolved Issues, Pawel Grab 2014)
Gambar 1. Jalur cytidine-50-diphosphocholine (CDP-choline) dari

sintesis enzimatik fosfatidilkolin

Pada literatur dahulu, sekitar tahun 1970-an, istilah 'CDP-choline' ditunjuk

metabolit alami disintesis di dalam sel (suatu zatasal endogen), istilah 'citicoline'

tidak ada sampai zat itu digunakan sebagai obat. Citicolin menampilkan

toksisitas yang kecil. Senyawa ini cepat di atabolisasi (Gbr. 2), dan produk yang

muncul dapat melalui beragam jalur biosintesis yang pada akhirnya akan

diekskresikan sebagai karbon dioksida. Kurangnya toksisitas akut dan kronis

citicoline telah berulang kali dikonfirmasi pada hewan pengerat dan anjing,

Contoh yang mengesankan adalah median dosis mematikan/lethal dose (LD50)

dari pemberian citicoline intravena tunggal akut, yangmasing-masing sama

dengan 4.600 dan 4.150 mg / kg mice dan rat. LD50 untuk menelan citicolin

bahkan lebih tinggi sekitar 8 g / kg pada tikus dan tikus. Untuk perbandingan,

pada tikus, LD50 dari dosis intravena tunggal akut.

2.4. Citicolin dan BDNF sebagai Nouroprotector serta Neurorepair pada COB

Citicholin digunakan sebagai dalam dunia medis mulai dianjurkan sejak

tahun 1974, menurut literatur medis Anglophone, citicholine mulai dipergunakan

pada kasus parkinson oleh Manaka et al. dari jepang, selanjutnya horrocks

memunculkan gagasan citicholine sebagai neuroptotectan yang membahas

reversibilitas fosfotransferase diotak. Dosis citicholin yang biasanya diberikan


kepada pasien sebagai neuroprotektan adalah 500-2000 mg atau 7-8mg/kg bb

(Becades, 2014)

Citicholin memiliki peranan penting dalam mendukung fungsi dari otak

dalam konteks yang lebih luas, seperti motorik, memori, fungsi kognitif, berpikir dna

proses pengambilan keputusan. Hal ini terjadi karena citicolin memainkan peranan

penting dalam mendukung perbaikan dan menjaga membran sel dari kerusakan,

pembentukan bahan kimia dan propragasi impuls listrik (Taufiqurrohman and Mery,

2016) .

Kerusakan otak yang terjadi akibat sistemik dapat dicegah dengan

memperbaiki sirkulasi kedaerah yang infark, menjaga keutuhan dan memperbaiki

komponen membran sel itu sendiri yang bisa menurunkan aktifitas fosfolipase

sehingga menjaga keutuhan fosfolipid dan meningkatkan pembentukan

fosfotidilkolin yang merupakan komponen membran sel. selain itu cara lain untuk

mencegah kerusakan otak akibat iskemik adalah dengan mencegah enzim fosfolipase

yang berperan dalam pemecahan fosfolipid dan pembentukan asam arakhidonat serta

mecegah terjadi pembentukan radikal bebas (Taufiqurrohman and Mery, 2016) .

Citicolin yang merupakan senyawa endogen yang bersifat neuroprotektor

dengan cara meningkatkan sintesis fosfatidilkolin pada otak yang cedera, selain itu

kemampuan neuroprotektifnya juga mempotensiasi pemulihan saraf yang cedera.

Pada trauma kepala terjadi pelepasan oksigen reaktif (ROS) dan menyebabkan

kerusakan jaringan yang signifikan. Pemberian citicolin pada cedera otak berat dapat

meningkatan kadar gluthatione yang merupakan antioksidan kuat, pemberian


citicholine juga menyebabkan penurunan pelepasan asam arakhidonat, kardiolipin

dan sphingomyelin yang berarti mencegah terjadinya proses inflamasi. Citicolin juga

mencegah kerusakan sel neuron dihipokampus, menurunkan volume kortikal

kontusio, dan meningkatkan pemulihan sel neuron (Zafonteet,al, 2009).

Selain berperan sebagai neuroprotektor, citicolin juga memiliki potensi

mengurangi kerusakan otak akut dan meningkatkan pemulihan fungsional. Hal ini

disebabkan karena fosfatidilkolin dalam citicolin bisa menggenerasi biosintesis

fosfolipid membran, yang terdegradasi selama iskemia otak oleh asam lemak dan

radikal bebas. Selain itu, citicolin juga mengembalikan aktivitas ATPase, untuk

menghambat aktivitas ATPase mitokondia dan memberan Na1K1 ATPase, untuk

menghambat aktivasi fosfolipase A2 serta memicu reabsorpsi edema serebral lebih

cepat (Zafonteet,al, 2009).

Brain Derived Neurotrophic Factor (BDNF) sebagai faktor pertumbuhan

dam merupakan bagian dari neurotropin. BDNF adalah pusatmediator efek stres

pada plastisitas neuron dan berkaitan dengan stres serta gangguan afektif juga

penyakit somatik. Fungsi neurotropik BDNF mempengaruhi kelangsungan hidup

neuron dan karenanya penting fungsinya untuk pembelajaran, memori, nafsu makan

dan tidur. (BDNF, Lab information).

BDNF menghambat apoptosis (kematian sel) neuron. Ini mengaktifkan sinyal

intraselulermengalir dengan mengikat reseptor TrkB-tyrosinase.Ini mengarah pada

aktivasi sinyal bertahan hidup pada di satu sisi, di sisi lain, sinyal pro-apoptosis

berkurang. Dengan demikian, BDNF mempromosikan kelangsungan hidup neuron


dan plastisitas neuron di pusat dewasa sistem saraf. BDNF adalah sejenis protein

yang merupakan bagian dari neurotropin dan merupakan keluarga dari Nerve growth

Factor. BDNF memiliki peran penting pada kelangsungan hidup sel pada kasus

COB, karena perannya dalam diferensiasi neuronal, kelangsungan hidup dan

plastisitas sel, oleh karena itu kadar BDNF meningkat secara signifikan pada daerah

korteks dan hipokampus yang terluka sesaat setelah COB terjadi (Wurzelman, et.al,

2017).

Faktor neurotropik yang diturunkan dari otak (BDNF) adalah salah satu dari

neurotropik faktor yang mendukung diferensiasi [1], pematangan [2], dan

kelangsungan hidupneuron dalam sistem saraf [3] dan menunjukkan efek

perlindungan saraf dalam kondisi buruk, seperti stimulasi glutamatergik,

otakiskemia, hipoglikemia, dan neurotoksisitas [4]. BDNF merangsang

danmengontrol pertumbuhan neuron baru dari sel induk saraf (neurogenesis)[5, 6],

dan protein BDNF dan mRNA telah diidentifikasi di sebagian besar otak area

termasuk bohlam penciuman, korteks, hippocampus, otak depan

basal,mesencephalon, hipotalamus, batang otak dan sumsum tulang belakang.

Beberapa telitian menunjukkan bahwa BDNF adalah molekul kunci untuk

neuroplastisitas terjadi. Sesuai dengan penelitian ini, dinyatakan bahwa peningkatan

BDNF di saraf pusat merupakan respons tertentu terhadap rangsangan inflamasi,

yaitu sebagai pelindung saraf khusus. Seperti halnya pemberian citicholine juga

menyebabkan penurunan pelepasan asam arakhidonat, kardiolipin dan

sphingomyelin yang berarti mencegah terjadinya proses inflamasi.


Studi kepustakaan tetang hubungan pemberian citicolin dengan BDNF secara

langsung belum didapatkan. Persamaan mekanisme kerja pada keduanya dengan

perbedaan bentuk molekul PC dan BDNF, sehingga molekul PC tidak berikatan

dengan reseptor yang sama dengan BDNF, Kemungkinan PC memodulasi produksi

neurothropin sehingga ekspresi BDNF meningkat. Peningkatan ini memblokir

caspase-3 sehingga caspase dependent pathways terinhibisi jalur anti apoptosis

tercapai.
Kerangka Teori

Cedera Kepala Pelepasan Influks


Glutamat Kalsium

Menghasilkan ROS, iNOS, CAMK


Nitrit Oxide eNOS, nNOS

Kerusakan
Keluarnya DNA
TNFα, IL-
1, IL-3 dan Kerusakan
IL-6 Gen p53
BDNF

Fas/ CD95

Caspase 8
MAP Kinase
P13 Kinase
Sitrokom C
Neurogenesis dan
Caspase 9 Proliferasi
Neuron

Caspase 3 Pertumbuhan neuron


di ganglion radiks
dorsal, korteks dan
hippokampus
Apoptosis

Perbaikan Kondisi
Citicholin Klinis
BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Konsep

Cedera kepala meliputi spektrum luas dari cedera mulai cedera ringan

hingga parah. Cedera awal pada memicu pelepasan glutamat yang menyebabkan

hiperaktifasi reseptor tipe-N-metil-D-aspartat (NMDA) (NMDAR), kalsium

(Ca2+) berlebihan, dan kematian sekunder neuron dikarenakan eksitotoksisitas.

Namun, pengobatan anti-eksitotoksik dengan antagonis NMDAR belum

menghasilkan manfaat secara klinis. Selanjutnya, aktivitas NMDAR memainkan

peran kunci dalam kognisi, menjadi penting untuk potensiasi jangka panjang

(LTP), yang bergantung pada aktivitas sinapsis glutamatergik. Strategi terbaru

untuk melemahkan pensinyalan eksitotoksik telah menggunakan senyawa peptida

yang bekerja mengganggu interaksi reseptor ion glutamat ionotropik. Kematian

neuron kortikal tergantung NMDAR terganggu oleh peptida yang meniru ligand

NR2B PDZ (TAT-NR2B9c). PSD-95 juga menghubungkan reseptor kainite

(GRIK2) dengan aktivasi c-Jun-N-terminal kinase (JNK), dan peptida yang

dirancang melawan terminal-CGRIK2, Tat-GluR6-9c, menunjukkan efek

perlindungan terhadap kematian neuron yang disebabkan oleh iskemia serebral

atau gangguan reperfusi.

Proses kematian sel setelah cedera kepala meliputi nekrosis dan apoptosis.

Sel neuron yang mengalami nekrosis akan mengalami pembengkakan di fase


awal, akan tetapi tidak ada perubahan kromatin. Sedangkan mitokondria

mengalami perubahan morfolog dan membran sel pecah yang akan menyebabkan

isi sel keluar ke rongga ekstra seluler. Hal ini akan memicu reaksi peradangan

(Slemmer et,al, 2004). Iskemia dan hipoksia yang menyertai cedera kepala

memicu terjadiya mekanisme influx ca2+ kedalam sel yang mengakibatkan

terjadinya penumpukan ion ca2+ yang akan mengaktifkan berbagai enzim, seperti

protease, lipase, endonuclease yang akan mengakibatkan perubahan pada

membran sel. Selanjutnya asam arakhidonat yang diproses oleh lipoksigenase

dan siklooksigenase dalam sitosol akan menjadi leukoriens, prostaglandin dan

tromboxan, proses ini juga disertai dengan pelepasan radikal bebas yang memicu

pecahnya membra sel dan isi sel menjadi tumpah keluar dan neuron mengalami

nekrosis (Slemmer et,al, 2004).

Apoptosis yang terjadi pada sel tidak terjadi secara berkelompok, pada

proses apoptosis diawali dengan sel yang megalami nekrosis akan

mengecil/mengerucut, memisahkan diri dari sel sekitar, kromatin mengalami

kondensasi menjdi piknotik, membran sel mengalami penggelembungan

(blebbing). Isi sel mengalami fragmentasi , selanjutnya endogenous

endonuklease dan ICE like protease mengalami aktivasi dan menyebabkan

degradasi nucleus dan sel itu sendiri dan sel terbelah menjadi beberapa belahan

yang terbungkus oleh membran sel yang utuh yang disebut apoptotic bodies yang

kemudian di fagositosis oleh makrofag atau sel lain disekitarnya. (Nijhawan et

al., 2000; Slemmer et al., 2004).


Penelitian mengenai hubungan antara pemberian citicolin dan kadar BDNF

pada pasien dengan COB jarang dilakukan. Studi kepustakaan tetang hubungan

pemberian citicolin dengan BDNF secara langsung belum didapatkan. Persamaan

mekanisme kerja pada keduanya dengan perbedaan bentuk molekul prekursor

gliserofosfolipid fosfatidicolin (PC) dan BDNF, sehingga molekul PC tidak

berikatan dengan reseptor yang sama dengan BDNF. Kemungkinan PC

memodulasi produksi neurothropin sehingga ekspresi BDNF meningkat.

Peningkatan ini memblokir caspase-3 sehingga caspase dependent pathways

terinhibisi jalur anti apoptosis tercapai.


Cedera Otak
Berat

Aktivasi
Pelepasan Mobilisasi
Protease, Apoptosis
Glutamat Asam
Lipase,
Arakhidonat
Endonuklease

NMDA
Reseptor Citicholi
n

Influx BDN Perbaikan


Kalsium F Kondisi Klinis

Aktivasi Apoptosis
Capcase

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian

Keterangan :

: Bagian yang akan diteliti


3.2 Hipotesis Penelitian

a. Pemberian citicholin dapat meningkatkan kadar BDNF cairan serobrospinal

pada pasien cedera otak berat.

b. Peningkatan kadar BDNF cairan serebrospinal dapat meningkatkan perbaikan

klinis pasien cedera otak berat.

c. Ada hubungan antara pemberian citicholin dengan perbaikan klinis pasien

cedera otak berat.


BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian ini menggunakan randomized controlled trial (RCT)

double blind pre and post test design, yaitu desain yang paling kuat untuk

mengevaluasi intervensi yang digunakan untuk menunjukkan bahwa intervensi

yang digunakan benar-benar layak. Intervensi (perlakuan) pada penelitian adalah

pemberian citicolin pada pasien cedera otak berat di RSUD dr Saiful Anwar

Malang.

4.2. Populasi dan Sampel

4.2.1. Populasi Penelitian

4.2.1.1 Populasi Target

Populasi target penelitian ini adalah pasien dengan diagnosis

cedera otak berat.

4.2.1.2 Populasi Terjangkau

Populasi terjangkau penelitian ini adalah pasien dengan diagnosis

cedera otak beratdi RSUD dr. Saiful Anwar Malang.

4.2.2. Sampel Penelitian

4.2.2.1 Kriteria Inklusi dan Eksklusi

Pengambilan sampel dalam penelitan ini sesuai dengan kriteria

berikut:
4.2.2.1.1 Kriteria Inklusi

1. Pasien COB yang telah dilakukan operasi dan terpasang CVP

4.2.2.1.2 Kriteria Eksklusi

1. Menolak menjadi subjek penelitian

2. Dropout dari penelitian (pasien meninggal)

3. Tidak ada keluarga inti (ayah/ibu/anak kandung)

4. Didapatkan kelainan-kelainan yang dapat menyebabkan

second hit pada cedera kepala, antara lain:

a. Riwayat stroke

b. Terjadi infeksi intrakranial

c. Kelainan degeneratif otak sebelumnya (Alzaemer)

d. Tumor Otak

4.2.2.2 Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel dilakukan secara random, bagi pasien

menjadi kelompok control dan kelompok intervensi (perlakuan), mulai

dari pasien yang datang pertama sampai dengan diperoleh sampel secara

keseluruhan.

4.2.2.3 Besar Sampel

Perhitungan besar sampel minimal dengan menggunakan rumus besar

sampel untuk penelitian RCT.

(zα+ zβ ) s
n1= n2 = 2[ ( x 1−x 2) ] 2
Keterangan:

n1 = besar sampel kelompok control (diberi aquabides)

n2 = besar sampel kelompok intervensi/perlakukan (diberi citicolin)

zα = 1,645 (adalah deviat baku pada 0,05)

zβ = 1,282 (adalah deviat baku 0,10)

s = simpang baku, diambil dari kepustakaan sebesar 4,08

α = derajat kemaknaan = 0,05 (95%)

β = power penelitian = 0,10 (90%)

x1-x2 = perbedaan klinis yang dianggap bermakna (clinical judgement)

=4

Dari perhitungan dengan rumus diatas maka diperoleh besar sampel:

n1 =18 dan n2 = 18

Dengan mempertimbangkan kriteria putus uji 10% maka:

n1= 20 dan n2 = 20

4.3. Variabel Penelitian

4.3.1. Variabel Independen

Variabel independen pada penelitian ini adalah citicholin

4.3.2. Variabel Dependen

Variabel dependen pada penelitian ini adalah kadar BDNF CSF dan

perbaikan klinis.
4.4. Lokasi dan Waktu Penelitian

4.4.1. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Bangsal Bedah Rumah Sakit dr. Saiful Anwar

Malang dan Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas

Brawijaya Malang

4.4.2. Waktu Penelitian

Dilakukan sampai dengan jumlah sampel terpenuhi mulai dari Bulan

Tahun

4.5. Bahan, Alat/Instrumen Penelitian, Cara Pengukuran

4.5.1. Bahan

Citicolin 250 mg

Sampel cairan intracranial

Reagensia menggunakan Ray Bio® BDNF Elisa Kit, Ray Biotech Inc,

terdiri dari:

1. BDNF microplate

2. Buffer concentrate

3. Standards: Recombinant BDNF

4. Assay diluent A

5. Assay diluents B

6. Detection Antibody BDNF

7. HRP Streptavidin Concentrate

8. Tetramethyl benzidine (TMB) One Step Substrate Reagent


9. Stop Solution

4.5.2. Alat

1. Central Vebous Pressure (CVP) monitor

2. Alat pemeriksaan BDNF set

3. Disposible spuit 10ml merk Terumo®

4.5.3. Cara Pengukuran BDNF

BDNF diperiksa dengan ELISA menurut Ray Biotech, Inc.

1. Wells yang memiliki antibody diteteskan dengan standard dan sampel,

diman sampel dan standar telah disiapkan sebanyak 100 ul.

2. Diinkubasi selama 150 menit, dalam adukan pada suhu kamar, selanjutnya

dicuci dengan buffer

3. Wells yang telah dicuci diteteskan larutan antibody label biotin sebanyak

100u, kemudian diinkubasi selama 60 menit, dalam adukan suhu kamar.

4. Selanjutnya ditambahkan streptavidin sebanyak 100ul, diinkubasi selama 45

menit dalam adukan dan suhu kamar kemudian dilakukan pencucian

5. Wells yang telah dicuci tersebut ditambahkan larutan substract 100ul

diinkubasi selama 30 menit, selanjutnya diberikan stopsolution 50ul.

6. Wells dibacakan dalam elisa reader dengan panjang gelombang 450 nm.

4.6. Definisi Operasional

Tabel 2. Definisi Operasional


Variabel bebas Definisi operasional Hasil ukur Skala
BDNF Diukur hari pertama dan BDNF dalam ng/mL Numerik
kelima perawatan
menggunakan metode ELISA
Variabelterikat Definisi operasional Hasil ukur Skala
Perlakuan: Pemberian citicoline pada Pemberian citicoline / Ordinal
pemberian subjek penelitian. placebo
citicoline
Variabel perancu Definisi operasional Hasil ukur Skala
Usia Usia subjek penelitian terukur Usia dalam tahun Numerik
saat pengambilan sampel
Derajat Trauma Derajat / tingkat keparahan CKR/CKS/CKB Ordinal
trauma yang dialami subjek
penelitian

4.7. Prosedur Penelitian/ Pengumpulan Data

4.7.1. Tahap Pertama

 Penderita COB dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok C dan

K. Masing-masing terdiri dari 20 pasien.

 Kedua kelompok tetap diberikan terapi standar pada pasien COB

antara lain oksigen, cairan intravena, analgetik, antibiotik, proton

pump inhibitor/ anti H2 receptor.

 Pada kedua kelompok yang telah dilakukan operasi kepala dan

dipasangCVP diambil sampel darah saat melakukan insersi selang

monitor tekanan vena sentral untuk diukur kadar BDNF serum awal.

4.7.2. Tahap Kedua


Kelompok C diberikan terapi citicolin sebanyak … / … jam selama lima

hari, sedangkan kelompok K diberikan aquabides dengan jumlah yang

sama sebagai plasebo.

4.7.3. Tahap Ketiga

Kedua kelompok diambil sampel cairan serebrospinal pada hari kelima

melalui monitor CVP sebelum dilepas untuk diukur kadar BDNF serum.

4.7.4. Tahap Keempat

Memeriksa kadar BDNF pada kedua kelompok, untuk selanjutnya

dilakukan input dan Analisa data.

4.8. Alur Penelitian


Penderita COB

Informed consent

Diberikan terapi standar pada pasien COB: oksigen, cairan intravena, analgetik, antibiotik,
proton pump inhibitor/ anti H2 receptor.

Setelah dilakukan operasi kepala dan dipasang ICP diambil sampel LCS saat melakukan
insersi selang monitor tekanan intracranial

Diukur kadar BDNF awal.

Double blind sampling

Kelompok C (20 pasien) K (20 pasien)

Kelompok C diberikan terapi citicolin Sedangkan kelompok K diberikan aquabides


sebanyak … / … jam selama lima hari dengan jumlah yang sama sebagai plasebo.

Ambil sampel LCS pada hari kelima melalui monitor ICP sebelum dilepas

Ukur kadar BDNF

Input dan Analisa data

4.9. Analisa Data

Data yang terkumpul akan dilakukan pemeriksaan kebenaran dan

kelengkapan data. Data selanjutnya ditabulasi, diberi kode dan dimasukkan ke

dalam komputer melalui program Microsoft Excel for Windows. Analisis data
meliputi analisis deskriptif dan uji hipotesis. Pada analisis deskriptif data yang

berskala kategorial seperti jenis kelamin akan dinyatakan sebagai frekuensi dan

persentase. Data yang berskala kontinyu seperti usia, dan sebagainya akan

dinyatakan sebagai rerata ± simpang baku (SB) apabila berdistribusi normal.

Pengujian hipotesis dilakukan sebagai berikut:

1) Hipotesis a. diuji dengan t-test

2) Hipotesis b. dianalisis menggunakan regresi

3) Hipptesis c. dianalisis menggunakan koefisien korelasi Rank Spearman

Uji asumsi normalitas data diperlukan pada pengujian hipotesis a. dan b.,

dilakukan dengan uji Kolmogorov-Smirnov. Hasil pengujian hipotesis

dikatakan signifikan jika sig. (p) <0,05. Proses analisis data dilakukan

dengan menggunakan program komputer SPSS.

HARUS DILENGKAPI DAFTAR PUSTAKA


DAFTAR ISI, TABEL, GAMBAR

Anda mungkin juga menyukai