Anda di halaman 1dari 8

Sejar

ah Riwayat Hidup Pahlawan


Kalimantan Barat

Indon
esia

Disusun oleh :
Nessa Aqila Zulfahmi Putri (XII MIPA 2)

SMA Negeri 1 Pontianak


Tahun Ajaran 2018/2019
Mohammad Ali Anyang

Dari Perawat Menjadi Pejuang

Namanya aslinya Anjang atau dibaca Anyang, putra dari pasangan suami-istri Lakak dan
Liang. Anyang lahir pada 20 Oktober 1920 di Desa Nanga Menantak, suatu permukiman
Suku Dayak Uud Danum yang terletak di pedalaman Sintang, Kalimantan Barat. Ia anak
paling bontot dari 7 bersaudara.

Ketika Anyang berusia 8 tahun, ia diangkat anak oleh seorang kepala sekolah di Sintang
bernama Raden Mas Suadi Djoyomiharjo. Dari namanya, sosok ini termasuk bangsawan
tinggi Jawa yang entah bagaimana bisa bermukim di wilayah yang terletak sisi barat Pulau
Borneo itu.

Anyang kemudian masuk Islam, mengikuti agama keluarga barunya. Sang ayah angkat pun
memberinya nama anyar: Mohammad Ali. Tapi, Anyang tidak lantas menghilangkan nama
asli pemberian orangtua kandungnya. Jadilah ia dikenal sebagai Mohammad Ali Anyang.

Keluarga Raden Mas Suadi Djoyomiharjo memperlakukan Anyang dengan sangat baik,
termasuk dengan menyekolahkannya di Holland Inlandsche School (HIS) Pontianak. Ini
adalah sekolah dasar yang dikelola pemerintah kolonial dan diperuntukkan bagi anak-anak
priyayi dan anak-anak dari keluarga berada (Soewarsono, Berbareng Bergerak, 2000:41).

Anyang ingin mengabdikan hidupnya untuk orang-orang yang butuh pertolongan, ia ingin
jadi tenaga medis. Raden Mas Suadi Djoyomiharjo merespons keinginan mulia itu dengan
mengirimkan Anyang jauh ke Semarang, Jawa Tengah, untuk melanjutkan pendidikan di
Sekolah Juru Rawat bernama Centrale Burgerlijke Ziekem Inrichting (CBZ).

Setelah lulus, ia sempat membantu di Rumah Sakit Umum Semarang sebelum akhirnya
pulang ke Kalimantan Barat untuk bekerja sebagai perawat di Rumah Sakit Umum Sei Jawi
Pontianak selama beberapa tahun.

Pengawal Martabat RI di Borneo

Tanda-tanda kekalahan Jepang di Perang Asia Timur Raya semakin kentara di medio tahun
1945 itu. Para pemuda di berbagai daerah di tanah air pun mencermati perkembangan situasi
dan bersiap-siap jika akhirnya Jepang benar-benar kalah dari Sekutu. Jika itu terjadi, mimpi
Indonesia untuk merdeka bisa saja terwujud.

Maka, kaum muda pun mendirikan suatu panitia untuk menyambut kemerdekaan itu dengan
nama Panitia Penyongsong Republik Indonesia (PPRI) walaupun pada mulanya secara diam-
diam (Alqadrie & Sastrowardoyo, Sejarah Sosial Daerah Kotamadya Pontianak, 1984:90).
Dan, akhirnya Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.

Ali Anyang, yang semula bekerja sebagai petugas medis di rumah sakit itu, ternyata turut
terlibat dalam pembentukan PPRI di Pontianak. Salah satu tugas utama PPRI Pontianak
adalah untuk menyebarluaskan kabar kemerdekaan Indonesia ke seluruh Kalimantan Barat
sekaligus untuk menjaga situasi agar tidak terjadi perebutan kekuasaan lantaran kekosongan
pemerintahan usai kekalahan Jepang.

Namun, udara kemerdekaan tidak terlalu lama dihirup oleh masyarakat Kalimantan Barat,
dan juga wilayah-wilayah lainnya di tanah air. Pada 29 September 1945, datang tentara
Australia yang diboncengi pasukan Belanda (NICA) di Pontianak, mereka adalah bagian dari
Sekutu. Dengan segera, Belanda mengambil-alih kekuasaan di Kalimantan Barat.

Tak urung situasi ini membuat para pemuda bergolak. Ali Anyang bersama laskar pejuang
rakyat pun menyerbu ke tangsi dan gudang amunisi Belanda di Pontianak pada 12 November
1945. Beberapa pemuda gugur, sementara Ali Anyang ditangkap dan ditahan oleh NICA.

Beruntung, pada Februari 1946 ia dibebaskan. Namun, perjuangan belum selesai. Atas
perintah Dokter Soedarso sebagai Ketua PPRI, Ali Anyang memimpin pasukan pejuang
republik untuk terus melakukan perlawanan di berbagai titik di Kalimantan Barat, termasuk
Pontianak, Mempawah, Singkawang, hingga Sambas.

Saat Barisan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI) —dengan maksud melakukan


pemberontakan/perlawanan terhadap NICA/Belanda —dibentuk, Ali Anyang ditunjuk
sebagai komandan untuk wilayah Kalimantan Barat. Ia lalu memprakarsai Barisan
Pemberontak Indonesia Kalbar (BPIKB) sebagai kepanjangan tangan dari BPRI.

Serangan demi serangan digencarkan, termasuk perebutan Bengkayang yang membuat NICA
murka hingga menggelar sayembara berhadiah uang demi menangkap Ali Anyang itu.
Peperangan baru terhenti ketika Belanda mengaku kedaulatan Indonesia secara penuh pada
27 Desember 1949.
Ali Anyang tidak hanya bertugas di Kalbar. Ia dan istrinya juga pernah ditugaskan ke Ciawi,
Indramayu, Banjarmasin, Cililitan. Namun pada akhirnya Ali Anyang kembali ditugaskan ke
Kalbar.

Dari pernikahannya Siti Hajir, Ali Anyang dikaruniai delapan orang anak. Masing-masing Sri
Endang Ratna Juwita, Ida Triwati, Mohammad Armin Ali Anyang, Rina Yulia, Rita Nuriati,
Rini Nuraini, Siti Wahyuni, dan Diah Purnama Wati.

Semasa hidupnya, Ali Anyang pernah menjadi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) II Kabupaten Sambas di Singkawang. Saat mengemban jabatannya tersebut, pada 7
April 1970 Ali Anyang meninggal dunia karena sakit. Jenazahnya dimakamkan di Taman
Makam Pahlawan Bambu Runcing, Singkawang.

Akhir Hayat Sang Wakil Rakyat

Setelah perang mempertahankan kemerdekaan usai, Ali Anyang memerintahkan kepada


seluruh anggota pasukannya untuk kembali ke kampung halaman masing-masing. Ali
Anyang sendiri tak lama berselang menikahi pujaan hatinya, seorang gadis asal Sambas
bernama Siti Hajir, yang kebetulan berprofesi sebagai perawat.

Pulang ke Kalimantan Barat, Ali Anyang melanjutkan kiprahnya dengan mengabdi sebagai
wakil rakyat dan masuk ke parlemen daerah. Ia meniti karier di parlemen dengan sangat baik
hingga terpilih sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Sambas.

Sayangnya, usia Ali Anyang tidak sempat menyentuh angka setengah abad. Pada umur 49
tahun, ia wafat, meninggalkan istrinya tercinta, Siti Hajir, dan 8 orang anak. Tepat tanggal 7
April 1970 atau 47 tahun lalu, sang putra Dayak penegak kedaulatan NKRI itu meninggal
dunia dan dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Bambu Runcing, Singkawang.

Nama Ali Anyang mengabadi hingga kini dan sangat meninggalkan kesan bagi masyarakat
Kalimantan Barat sehingga diabadikan sebagai nama salah satu jalan utama di Kota
Singkawang. Tak hanya itu, sebagai pengingat jasa baktinya, dibangunlah Monumen Ali
Anyang dan diresmikan Panglima TNI Agus Suhartono pada Oktober 2011.

Usai masa perang kemerdekaan, pada tahun 1950 Ali Anyang menikah dengan Siti Hajir
seorang gadis asal Sambas. Dikarenakan tugasnya sebagai seorang perawat, Ali Anyang dan
istrinya sering berpindah-pindah tempat.

Sumber : tirto.id
Pangsuma

Tragedi Mandor Berdarah

Pang Suma (‘Pang’ artinya ‘bapak’ dan Suma adalah nama anaknya, Pang Suma: bapak-nya
Suma) berasal dari Dusun Nek Bindang, Desa Baru Lombak, Kecamatan Meliau, Kabupaten
Sanggau, Kalimantan Barat. Panggilan ‘Pang’ merupakan satu kebiasaan penduduk setempat
agar lebih sopan dan hormat kepada seseorang. Pang Suma merupakan anak ketiga dari enam
bersaudara. Pang Suma memiliki nama asli Bendera bin Dulung, namun ada pula yang
menyebutya Menera. Tidak ada yang tahu pasti kapan dan di mana Pang Suma dilahirkan.
Namun, dari cerita yang tersebar di masyarakat, Pang Suma tinggal di Nek Bindang yang ada
di tepian Sungai Kapuas.

Saat Jepang menduduki Kalimantan Barat, beberapa perusahan kayu Jepang juga berdiri dan
mengeruk kekayaan kayu Kalimantan. Perusahaan seperti SSKK (Sumitomo Shokusan
Kabushiki Kaisan) dan KKK (entah apa kepanjangannya, yang jelas perusahaan kayu dari
Jepang) mempekerjakan – lebih tepatnya memperbudak – masyarakat untuk bekerja dengan
keras tanpa mempedulikan upah bahkan keselamatan para pekerja tersebut. Banyak
diantaranya yang dipaksa untuk meninggalkan anak dan istrinya untuk bekerja di perusahaan
tersebut. Para pekerja tersebut bahkan tidak diberi makan oleh perusahaan.

Romusha – kerja paksa – Jepang ini menimbulkan gejolak di masyarakat Dayak. Jepang
melihat gejolak yang umumnya dipicu oleh kaum feodal lokal, cendikiawan, ambtenar
(pegawai pemerintahan), politisi, tokoh masyarakat, dan tokoh agama dari berbagai etnik,
suku maupun agama sebagai ancaman serius. Maka, terjadilah peristiwa penculikan dan
pembantaian besar-besaran yang dikenal dengan ‘Tragedi Mandor’ yang terjadi di Kecamatan
Mandor, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat. Diperkirakan ada sekitar 21 ribu orang yang
dibantai Jepang – walau Jepang sendiri mengklaim hanya membantai 1.000 orang.

Pembantaian bukan hanya terjadi kepada kaum cendekiawan dan feodal lokal, tetapi juga
kepada rakyat jelata. Tragedi yang terjadi antara September 1943 hingga pertengahan tahun
1944 tersebut membawa dampak pada lahirnya perlawanan di berbagai wilayah, termasuk di
daerah tempat Pang Suma tinggal. Pemerintah daerah Kalimantan Barat menetapkan tanggal
28 Juni sebagai Hari Berkabung Daerah Provinsi Kalimantan Barat melalui Peraturan Daerah
(Perda) Nomor 5 Tahun 2007 tentang Peristiwa Mandor sebagai apresiasi terhadap
perjuangan pergerakan nasional yang terjadi di Mandor.

Perang Dayak Desa

Pang Suma dan para pejuang Suku Dayak Desa (kelompok Suku Dayak pedalaman)
menganggap kerja paksa dan berbagai pembantaian yang dilakukan oleh Jepang sudah
berlebihan dan menyiksa rakyat. Puncaknya adalah ketika seorang pimpinan perusahaan kayu
bernama Osaki ingin menikahi seorang gadis Dayak bernama Linggan, namun ditolak oleh
ayah Linggan. Tidak terima, Osaki mengancam akan memancung ayah Linggan (Pang
Linggan). Mengetahui hal tersebut, Pang Linggan dan  beberapa tokoh termasuk Pang Suma,
bersepakat untuk melawan dan menyerang Jepang.

Dalam bukunya yang berjudul ‘Peristiwa Mandor Berdarah’, Syafaruddin Usman dan
Isnawita Din menuturkan bahwa Osaki dan kelompoknya akhirnya berhasil dibunuh oleh
Pang Suma dan Pang Linggan dalam sebuah perkelahian. Mendengar kabar tersebut, pihak
Jepang kaget mengingat masyarakat Dayak tidak memiliki persenjataan dan teknik modern,
namun bisa mengalahkan orang Jepang yang punya senjata modern.

Setelah peristiwa tersebut, masyarakat Dayak dari berbagai kelompok berkumpul. Mereka
menjawab panggilan ‘mangkok merah’ – sebutan untuk arahan para arwah – untuk melawan
Jepang. Untuk mencegah perluasan pemberontakan, pemerintah Jepang mengirimkan
ekspedisi ke Meliau yang dipimpin oleh Letnan Takeo Nagatani. ‘Mangkok merah’ yang
disebarkan menyatukan kelompok rakyat Dayak dalam perjuangan untuk melawan Jepang.
Saat pasukan Nagatani tiba di Umbuan Kunyil, mereka mendapat serangan dari rakyat
dipimpin oleh Pang Suma, Pang Rati, Pang Iyo, dan Djampi. Dalam serangan ini, Letnan
Nagatani tewas dibunuh oleh Pang Suma.

Terbunuhnya Nagatani membuat pejabat militer Jepang terkejut dan ketakutan. Nagatani
dikenal sebagai perwira yang cakap dan tangguh, namun dalam peristiwa itu ia tidak mampu
melawan serangan senjata tradisional orang-orang Dayak pedalaman yang dipimpin
oleh Pang Suma. Selanjutnya, pada 24 Juni 1945, Pang Suma memasuki Meliau dan
bertempur mati-matian melawan Jepang. Pertempuran terjadi hingga akhirnya pada 17 Juli
1945, Pang Suma tertembak di paha kirinya dan tewas di dekat sebuah jembatan.

Tuah Mandau Naibor: Apa yang Bisa Dipetik?

Sosok Pang Suma dianggap sebagai ksatria yang hebat. Kemampuannya mengalahkan
pimpinan militer Jepang membuat Jepang ketakutan. Apalagi, senjata yang digunakannya
hanyalah sebuah naibor (nyabur atau sabur), yakni sejenis mandau (senjata tradisional Dayak
berbentuk seperti parang) yang memiliki pengait.

Cerita yang beredar juga menyebut Pang Suma sebagai sosok yang sakti dan hanya mampu
dikalahkan jika ditembak pahanya – hal yang juga menjelaskan bagaimana hidupnya
berakhir. Pang Suma juga dianggap sebagai sosok yang kuat oleh masyarakat Dayak karena
berani melawan tentara Jepang dan memenggal kepala pimpinannya untuk dibawa pulang.

Ketakutan tentara Jepang ini membuat Jepang mengupayakan berbagai cara untuk
mengalahkan Pang Suma – tidak sedikit cerita yang beredar bahwa Jepang harus membayar
rekan seperjuangan Pang Suma agar dapat mengetahui kelemahnnya dan mengalahkannya.
Yang jelas, kegigihan dan keberanian Pang Suma dalam melawan tentara Jepang berhasil
membangkitkan semangat masyarakat Kalimantan Barat untuk mengusir tentara Jepang.

Terkait akhir hidupnya, Pang Suma disebut telah memprediksi kematiannya. Beberapa kisah
menyebutkan bahwa menjelang akhir hayatnya, Pang Suma mendapat pertanda buruk. Ujung
mandau naibor miliknya patah sebelum menyerang markas Jepang di Kantor Gunco (camat)
di Meliau pada 17 Juli 1945. Pertanda itu pun menjadi kenyataan. Sebuah peluru menembus
pahanya yang konon merupakan rahasia kekuatan dari panglima perang ini. Pang Suma
meninggal di bawah jembatan, yang saat ini berlokasi di sebelah dermaga Meliau. Tidak jauh
dari tempat itulah Pang Suma dimakamkan. Di tempat itu saat ini berdiri sebuah tugu yang
diberi nama Tugu Pang Suma.

Sumber : pinterpolitik.com

Rahadi Oesman
Rahadi Usman telah di lahirkan di Pontianak pada 1 Agustus 1920 lalu. Pada masa
kependudukan Belanda dan Jepang di Indonesia, Rahadi Usman merupakan mahasiswa
jurusan Fakultas Kedokteran di Jakarta. Mendengar Kalimantan Barat telah di kuasai oleh
Belanda pasca kemerdekaan, Rahadi Usman bertekad bulat untuk kembali ke Kalimantan
Barat dan mempelopori perjuangan rakyat Ketapang dalam melawan Belanda.

Untuk merealisasikan hal tersebut, Rahadi Usman bersama bersama rombongannya berangkat
dari pelabuhan Tegal, Jawa Tengah menuju Ketapang, Kalimantan Barat. Pada 30 November
1945 dengan di pimpin oleh Rahadi Usman, rombongan tersebut telah tiba di sekitar
Kampung Sungai Besar, Matan Hilir, Ketapang. Untuk menjalankan siasatnya, Rahadi
Usman terlebih dahulu mempelajari situasi kedudukan Belanda di Kota Ketapang.

Rombongan yang di pimpin oleh Rahadi Usman tersebut telah tiba di sekitar Kampung
Sungai Besar, Matan Hilir, Ketapang dan di terima dengan baik oleh Kepala Kampung
Sungai Besar, bernama Haji Abdul Rahim. Setelah mempelajari situasi di Kota Ketapang dan
telah berkonsultasinya dengan pemuka kampung Sungai Besar, maka rencana penyerangan
terhadap markas Belanda akan di laksanakan pada 6 Desember 1945. Akan tetapi, rencana
penyerangan tersebut telah di ketahui terlebih dahulu oleh pihak Belanda dan menyerang
markas rombongan Rahadi Usman di Kampung Sungai Besar pada 5 Desember 1945.

Rahadi Usman yang bertekad melawan Belanda, dengan semboyan “Merdeka” atau “Mati”,
tidak menyianyiakan kesempatan tersebut. Ketika persembunyiannya hampir di dekati oleh
Belanda, ia keluar dari celah- celah pepohonan. Dengan bersenjatakan sebilah parang, Rahadi
Usman menyerang ketengah- tengah pasukan Belanda. Melihat Rahadi Usman menyerang,
Tamat juga mengikuti Rahadi Usman dari belakang untuk menyerang Belanda. Hasilnya,
penyerangan tersebut menewaskan seorang tentara Belanda dan beberapa di antaranya luka-
luka. Di sebabkan karena perlengkapan Belanda lebih lengkap dan telah siap dalam
pertempuran, Rahadi Usman dan Tamat di berondoli peluru sepanan mesin oleh pasukan
Belanda. Akibat dari tembakan- tembakan tersebut, Rahadi Usman gugur dengan tembakan
peluru yang menembus dadanya serta tikaman sangkur Belanda, akhirnya Rahadi Usman
gugur di tempat.

Rahadi Usman telah gugur dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia di Ketapang.


Beliau rela meninggalkan bangku kuliahnya demi mempertahankan kemerdekaan Indonesia
dan mengorbankan Jiwa dan raganya demi kehormatan Indonesia. Di hari itu juga, Rahadi
Usman telah di makamkan di Sungai Besar, Ketapang.

Sumber : morimanjusri.com

Anda mungkin juga menyukai