PRESIDENSIAL DI INDONESIA
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa, dengan Rahmat,
Taufiq, dan hidayah-Nya, penulis telah dapat menyelesaikan makalah Pemilu serentak 2019 dan
upaya pembenahan system presodensial di indonesia.
Makalah ini terselesaikan sesuai dengan pembelajaran mata kuliah Pancasila. Makalah ini
berisikan tentang Pemilu serentak 2019 dan upaya pembenahan system presodensial di
indonesia. Penulis menyadari sepenuhnya dengan keterbatasan kemampuan pada diri penulis
bahwa penulisan ini masih jauh dengan apa yang dikatakan sempurna. Karena itu, penulis
mengharapkan adanya kritik dan saran dari para pembaca demi tercapainya kesempurnaan
makalah ini.
Penulis tak lupakan menyampaikan ucapan terimakasih kepada semua pihak yang
membantu terselesaikannya makalah ini. Semoga makalah ini benara-benar bermanfaat bagi
semua pembaca. Amin.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Perlu diketahui, bahwa pilihan pada sistem Presidensial dalam konstitusi bukan
didasarkan kepada kesempurnaan sistem, melainkan pada situasi dan kondisi dalam negeri
kala itu. Karena sistem presidensial itu sendiri memiliki kelemahan-kelemahan yang dapat
menggagalkan dan mengurangi keefektifan kerja lembaga-lembaga tinggi negara. Diantara
kelemahan-kelemahan dari sistem Presidensial seperti yang dipaparkan Mainwaring
salahsatunya adalah kemungkinan munculnya kelumpuhan ataupun kebuntuan politik antara
eksekutif dan legislatif, terutama di negara dengan sistem yang multipartai. Kemudian,
Presiden tidak dapat diganti ditengah jalan, karena jabatannya yang sudah diatur, sekalipun
kinerjanya tidak memuaskan. Sementara riset Juan Linz melihat, sistem Presidensial tidak
cocok untuk negara-negara Demokrasi baru dikarenakan pemisahan kekuasaan legislatif dan
eksekutif cenderung menimbulkan polarisasi.
Persoalan yang muncul kemudian adalah bahwa Indonesia yang ingin mengadopsi
secara utuh sistem Presidensial, pada kenyataannya justru membuka lebar-lebar peluang
tumbuh dan bermunculannya partai-partai politik baru. Kondisi multipartai inilah yang jelas
menjadi penghambat dilaksanakannya sistem Presidensial secara utuh. Untuk mengatasi
persoalan presidensial dan multipartai tersebut, berdasarkan hasil penelitiannya, Mark P.
Jones menyarankan untuk membuat kombinasi yang ideal dari variabel-variabel yang
mungkin terjadi pada sistem presidensial dengan multipartai.
Dengan melihat kepada kombinasi variabel yang dibuat oleh Jones tersebut, yang harus
dilakukan kemudian adalah menguji apakah dengan melaksanakan sistem Pemilu Serentak
dimana Sistem Presidensial harus dikombinasikan dengan multi partai dapat menjadi cara
pembenahan yang tepat untuk memperkuat sistem Presidensial yang sudah berjalan.
Senada dengan Ikrar Nusa Bakti yang mendukung terselenggaranya Pemilu Serentak,
Pakar Psikologi Politik Universitas Indonesia Hamdi Muluk berpendapat “dengan sistem
penyelenggaran pemilu yang sekarang, presiden selalu 'tersandera' dengan koalisi yang
dibangun dalam dukungan saat pencalonannya.” Mendukung kedua pernyataan diatas,
Pengamat Politik Ray Rangkuti dan Fadjroel Rachman juga menilai bahwa Pemilu Serentak
2019 selain menguntungkan dari segi efisiensi anggaran, juga menjaga psikologis pemilih
serta menghindari terjadinya konflik sosial yang berkepanjangan. Sebagaimana dikatakan
Rachman "orang jadi tidak lagi melihat koalisi harus berdasarkan jumlah kursi atau jumlah
uang yang dimiliki. Tapi mengembalikan demokrasi pada nilai-nilai yang substantif, yaitu
visi nilai dan program."
Prof. Maswadi Rauf, Pakar Ilmu Politik dari Universitas Indonesia misalnya,
beranggapan bahwa pelaksanaan Pemilu Serentak di 2019 akan menimbulkan ketegangan
dan keramaian dimana rakyat menjadi bingung dalam memilih calon anggota legislatif dan
calon presiden yang menurutnya terbaik dikarenakan Caleg yang banyak harus dipilih, juga
Capres itu sendiri. Hal ini juga berpotensi untuk munculnya lebih banyak partai politik,
karena ambisi dari segelintir orang yang ingin menjadi pemimpin dinegeri ini. Sebagaimana
diungkapkannya “sebaliknya sistem Pemilu serentak tidak akan berdampak kepada cita-cita
memperkuat sistem presidensial sebagaimana diharapkan.” Berangkat dari pentingnya
kriteria kepemimpinan, Maswadi Rauf juga menekankan tentang perlunya memilih Capres
secara sangat selektif, karena posisi Kepemimpinan Negara membutuhkan figur yang benar-
benar mumpuni. Sementara Pemilu Serentak membuka ruang kepada Partai untuk
menentukan Capres-Capres nya. Dengan demikian akan ada banyak nama bermunculan
dalam bursa pemilihan Presiden, apalagi jika tidak dibatasi dengan batas ambang
(Presidential threshold) yang jelas.
Diantara kelemahan sistem pemilu serentak yang dikumpulkan oleh para peneliti LIPI
dari tinjauan serta pengalaman mereka dilapangan, dapat diringkas antara lain:
1. Sulitnya para pemilih untuk mengetahui dan memilih para calon pejabat
publik, eksekutif dan legislatif, dari begitu banyaknya nama calon-
calon.
2. Waktu yang diperlukan dibilik suara akan menjadi lebih lama.
3. Kertas suara akan menjadi sangat tebal
4. Persiapan logistik Pemilu yang lebih sulit
5. Perhitungan suara pemilu juga akan memakan waktu yang cukup lama,
lebih dari dua minggu
Karena di dunia ini, tidak ada sistem yang sempurna, maka diperlukan betul upaya
mempertimbangkan segala macam kelemahan dan kelebihan dari berbagai macam sistem
Pemilu. Pada akhirnya keputusan ini dikembalikan kepada proses politik para Penentu
Kebijakan, dan sebagaimana diperlihatkan di Indonesia, MK telah memenangkan mereka
para Pengusung Pemilu Serentak.
Untuk melaksanakan Pemilu serentak di 2019, terlebih dahulu DPR memiliki tugas
berat dalam merang Undang Undang Pemilu yang baru. Sesungguhnya terdapat tiga hal yang
sangat krusial dalam pembahasan rancangan Undang Undang Pemilu, yaitu pertama sistem
pemilihan proporsional terbuka dan proporsional tertutup; kedua, aturan ambang batas atau
apa yang disebut dengan threshold dan terakhir pengalokasian kursi anggota legislatif
disetiap daerah pemilihan. Menurut Syamsuddin Harris, beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam pembuatan Undang Undang Pemilu antara lain:
PENUTUP
Kesimpulan
Buku
Gaffar, Janedri M. Politik Hukum Pemilu, Jakarta: Konpress Konstitusi, 2012. Hal. 28.
Geys, Benny. “Explaining Voter Turnout: A Review of Aggregate –level Research.”
Dalam Electoral Studies 25 (2006): hal. 652.
Haris, Syamsuddin; Surbakti, Ramlan; Isra, Saldi; Bakti, Ikrar Nusa (dkk). Pemilu
Nasional Serentak 2009 (Position Paper). Jakarta: Electoral Institute LIPI, 2014.
Jones, Mark P. Electoral Laws and the Survival of Presidential Democracies. Notre
Dame: University of Notre Dame Press, 1995.
Media Online: