Anda di halaman 1dari 9

ANALISIS PERMOHONAN PENGUJIAN

PASAL 7 AYAT (1) UU NOMOR 12 TAHUN 2011

TERHADAP PASAL 1 AYAT (1, 2, dan 3) UUD NRI 1945

KEPADA MAHKAMAH KONSTITUSI

NAMA : SANG AYU MADE DHIRA V.

NIM : 1604551168

MATA KULIAH : HUKUM PERADILAN KONSTITUSI

KELAS :C

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2018
PERMOHONAN PENGUJIAN PASAL 7 AYAT (1) UNDANG-UNDANG NOMOR 12
TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
TEHADAP PASAL 1 AYAT 1, 2, 3 UNDANG-UNDANG DASAR 1945

Dalam setiap negara pasti memiliki peraturan perundang-undangan tertulis untuk


menertibkan tata pergaulan masyarakat di negaranya. Di Indonesia sendiri terdapat beberapa
peraturan perundang-undangan yang telah tercantum dalam sebuah hierarki atau tata peraturan
perundang-undangan sebagaimana merujuk ke Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang terdiri atas:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;


b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Namun, hierarki peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan ini sebenarnya
terus menimbulkan konflik dan perbedaan pendapat di kalangan masyarakat. Salah satunya dari
beberapa mahasiswa yang mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi agar hierarki
peraturan perundang-undangan diubah.

ANALISIS LEGAL STANDING

Menurut Harjono di dalam bukunya Konstitusi Sebagai Rumah Bangsa Pemikiran


Hukum, Legal standing adalah keadaan dimana seseorang atau suatu pihak ditentukan memenuhi
syarat dan oleh karena itu mempunyai hak untuk mengajukan permohonan perselisihan atau
sengketa atau perkara di depan Mahmakah Konstitusi. Legal standing adalah adaptasi dari
istilah  personae standi in judicio yang artinya  adalah hak untuk mengajukan gugatan atau
permohonan di depan pengadilan. Legal Standing menjadi Syarat Mutlak Untuk Mengajukan
Perkara Di Mahkamah Konstitusi oleh setiap pemohon sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51
ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi jo. Pasal 3 Peraturan Mahkamah Konstitusi No.
06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang yang
menyebutkan:

Pasal 51 Ayat (1) “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:

a. perorangan warga negara Indonesia;

b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-
undang;

c. badan hukum publik atau privat; atau

d. lembaga negara.”

Konsep tentang orang dalam hukum memegang kedudukan sentral, karena semua konsep
yang lain seperti hak, kewajiban, pemilikan, hubungan hukum dan seterusnya, pada akhirnya
berpusat pada konsep mengenai orang. Orang inilah yang menjadi pembawa hak, yang bisa
dikenai kewajiban, dimana seorang yang mempunyai hak oleh hukum diberi kekuasaan untuk
mewujudkan haknya itu, yaitu dengan cara meminta pihak lain untuk menjalankan kewajiban
tertentu. Termasuk dalam kriteria perorangan disini adalah kelompok orang yang memiliki
kepentingan yang sama. Seperti yang dirumuskan dalam Pasal 51 Undang-Undang Mahkamah
Konstitusi, orang disini adalah Warga Negara Indonesia, yang dibuktikan dengan Kartu Tanda
Penduduk (KTP). Melihat dari legal standing yang dikemukakan diatas, semua pemohon dalam
permohonan pengujian pasal 7 ayat (1) undang-undang nomor 12 tahun 2011 tentang
pembentukan peraturan perundang-undangan tehadap pasal 1 ayat 1, 2, 3 undang-undang dasar
Negara Republik Indonesia tahun 1945 ini telah memenuhi syarat dalam Pasal 5 Ayat (1)
tersebut yaitu kesebelas mahasiswa adalah Warga Negara Indonesia sebagaimana tercantum
dalam identitas masing-masing pemohon yang terdapat di bagian awal permohonan ini. Itu
berarti para pemohon ini dikualifikasikan sebagai warga Negara Indonesia dan legal standing
pertama telah terpenuhi.
Kemudian, pada legal standing yang kedua yaitu mengenai hak konstitusional yang
dirugikan dengan diberlakukannya suatu undang-undang sebagaimana pada Pasal 51 Ayat (2)
yang menyatakan bahwa “Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya
tentang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1).” Di
dalam penjelasan Pasal 51 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahmakah Konstitusi
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2011 tentang Perubahan UU No. 24 Tahun
2003 Tentang Mahkamah Konstitusi dinyatakan bahwa “Yang dimaksud Hak konstitusional
adalah hak-hak yang diatur dalam UUD NRI 1945.” Maka dapat dilihat bahwa UUD NRI 1945
telah mengatur mengenai hak konstitusional yang dimiliki Warga Negara Indonesia yang harus
dipenuhi untuk mengajukan permohonan. Namun, dilihat dari penjelasan mengenai hak
konstitusional yang dilanggar menurut para pemohon dirasa kurang tepat. Yang pertama, para
pemohon berpendapat bahwa dengan ditempatkannya posisi Undang-Undang Dasar 1945
sebagai hierarki tertinggi dalam peraturan perundang-undangan dan tidak menempatkan
Pancasila sebagai peraturan tertinggi menjadikannya bertentangan dengan hak konstitusional
warga negara dengan merujuk pada ketentuan bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945
yang menyatakan “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut ketentuan
Undang-Undang.” Pasal tersebut jika dikorelasikan dengan kerugian hak konstitusional pemohon
menurut saya kurang tepat karena sejatinya tidak ada kerugian terhadap kedaulatan rakyat
apabila Pancasila tidak menjadi hierarki tertinggi. Memang kedaulatan rakyat mempunyai arti
kekuasaan itu berada di tangan rakyat, namun perlu disimak lagi bahwa kekuasaan tersebut tetap
dibatasi dengan dibuatnya lembaga yang berwenang seperti Dewan Perwakilan Rakyat yang
dipilih langsung oleh rakyat sendiri dan fungsinya untuk mewakili suara seluruh rakyat dalam
tata negara. Karena tidaklah efektif jika berjuta-juta rakyat Indonesia dengan banyaknya
perbedaan pendapat bisa menyelesaikan urusan negara dengan baik, maka dibuatkanlah DPR
sebagai perwakilan rakyat untuk menyalurkan kedualatan rakyat terhadap pembentukan Undang-
Undang. Untuk tetap mempertahankan kedaulatan rakyat pun masyarakat juga diberikan hak
untuk memberikan masukan secara tertulis maupun secara lisan menurut Pasal 96 Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011. Perlu disimak lagi bahwa pelaksanaan kedaulatan rakyat
tersebut dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar yang mengandung arti bahwa Kedaulatan
Rakyat dilaksanakan oleh lembaga-lembaga negara yang kewenangannya ditetapkan dalam
Undang-Undang Dasar, salah satunya DPR. Dapat dikatakan argumen yang digunakan pemohon
tidak valid karena kedaulatan rakyat tidak dijalankan sepenuhnya namun dibatasi oleh Undang-
Undang Dasar. Walaupun pasal 1 ayat (2) UUD 1945 dijadikan dasar oleh pemohon untuk
mengajukan permohonan kepada mahkamah konstitusi yang merupakan penyampaian pendapat
sebagai bagian dalam kedaulatan rakyat, namun jika dikaitkan dengan kerugian hak
konstitusional dengan tidak dicantumkannya Pancasila sebagai herarki tertinggi pada pasal 7 ayat
(1) UU Nomor 12 Tahun 2011 maka sudah jelas legal standing yang digunakan tidak relevan.
Kemudian pada penjelasan kerugian hak konstitusional yang kedua, menurut para
pemohon disebutkan bahwa dengan tidak menempatkan Pancasila dalam posisi teratas hirarki
perundang-undang menyebabkan keadilan hukum menjadi kabur atau sumir karena telah
dikangkangi oleh kepentingan politik dengan mengatasnamakan demokrasi. Hal ini sudah jelas
hanya opini tanpa fakta yang konkrit untuk mendukung argumen dari perspektif pemohon.
Karena dalam permohonan tersebut tidak dijelaskan lebih lanjut apa contoh kepentingan politik
yang mengatasnamakan demokrasi sehingga menyebabkan kaburnya keadilan hukum di
Indonesia jika tidak ditempatkan Pancasila sebagai hierarki tertinggi. Padahal sesuai Pasal 51
Ayat (2) , “Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang hak
dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1).” Yang berarti
penjelasan secara rinci dan jelas mengenai anggapan pemohon tersebut sangat penting untuk
menentukan hak konstitusional apa yang sebenarnya dilanggar jika tidak menempatkan Pancasila
sebagai posisi tertinggi hierarki peraturan perundang-undangan. Maka dari itu, legal standing
yang dikemukakan menjaid kurang kuat.

Dengan melihat analisis legal standing diatas, perlu ditegaskan lagi bahwa pentingnya
memperhatikan kerugian konstitusional terkait dengan hak gugat seseorang atau legal
standing terhadap keberlakuan suatu Undang-Undang. Jika tidak memenuhi kerugian
konstitusional, permohonan pengujian Undang-Undang akan dinyatakan tidak dapat diterima.
Mahkamah Konstitusi kembali mengingatkan pentingnya memenuhi syarat kerugian
konstitusional tersebut dan menegaskan tentang lima syarat untuk tercapainya kerugian
konstitusional mengacu pada penafsiran ketentuan pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah
Konstitusi serta Putusan MK No 006/ PUU-III/ 2005 dan Putusan MK No. 010 / PUU–III/2005
yang telah menjadi yurisprudensi di Mahkamah Konstitusi. Pertama, adanya hak konstitusional
pemohon yang diberikan oleh UUD 1945. Kedua, bahwa hak konstitusional pemohon tersebut
dianggap oleh pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji. Ketiga, bahwa
kerugian konstitusional pemohon yang dimaksud bersifat spesifik dan aktual, atau setidaknya
bersifat potensial yang menurut penalaran wajar dapat dipastikan akan terjadi. Keempat, adanya
hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang
dimohonkan untuk diuji. Dan kelima, adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya
permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Sebagaimana telah dipaparkan di atas, bahwa memang hak konstitusional apa yang dimiliki telah
dijelaskan melalui ketentuan pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 berkaitan dengan prinsip
demokrasi atau kedaulatan berada di tangan rakyat. Namun, ketentuan tersebut tentunya tidak
dapat dijadikan dasar karena sama sekali tidak ada korelasi dengan permohonan pengujian
tersebut. Sehingga syarat-syarat kerugian konstitusional lainnya tidak dapat terpenuhi. Dan juga
mengenai penjelasan dampak yang ditimbulkan terhadap tidak ditempatkannya Pancasila dalam
puncak hirarki perundang-undangan juga dijelaskan dengan tidak jelas dan rinci. Sehingga
meskipun dalam permohonan tersebut telah memaparkan mengenai bagian dari dasar hukum hak
dan kewenangan konstitusional serta kedudukan pemohon untuk mengajukan permohonan
tersebut kepada Mahkamah Konstitusi, namun dengan tidak jelasnya pemaparan tersebut dan
tidak rincinya penjelasan kerugian terhadap hak dan kewenangan konstitusional apa yang
sebenarnya ditimbulkan melalui ketentuan pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 maka dapat dikatakan bahwa legal standing yang dikemukakan para pemohon tidak
mendapat respon positif dengan kata lain kurang kuat untuk bias dilanjutkan ke tahap
selanjutnya.

ANALISIS MELALUI PERSPEKTIF PEMERINTAH

Inti dari pengajuan permohonan ini mempersoalkan 1 (satu) hal yakni ikhwal kekaburan
Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan pada klausula “Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Hirarki Tertinggi”
yang mana para pemohon menganggap Pasal 7 ayat (1) tersebut isinya telah bertentangan dengan
Pasal 1 ayat 1, 2, dan 3 UUD NRI 1945 yaitu:

(1) Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik.

(2) Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar dan

(3) Negara Indonesia adalah negara hukum.

Namun, inti permasalahan yang mereka ajukan sama sekali tidak ada korelasinya dengan
Pasal 1 ayat 1, 2, dan 3 UUD NRI 1945. Pada ayat (1), dalam pengertian dasar,
sebuah republik adalah sebuah negara di mana tampuk pemerintahan akhirnya bercabang
dari rakyat, bukan dari prinsip keturunan bangsawan dan sering dipimpin atau dikepalai oleh
seorang presiden. Memang bentuk pemerintahan Negara Indonesia adalah republik yang berasal
dari rakyat, namun penggerak dari urusan negara itu dilaksanakan oleh lembaga-lembaga negara
seperti MPR, DPR dan lain-lain sebagai perwakilan suara rakyat, yang berarti kedaulatan rakyat
tetaplah ada. Sama halnya dengan ayat (2), kedaulatan yang berarti kekuasaan tertinggi berada di
tangan rakyat yang dilaksanakan menurut UUD. Seperti yang telah dijelaskan dalam penjelasan
legal standing diatas, dilaksanakan menurut UUD berarti rakyat tidak serta merta mempunyai
kekuasaan penuh namun suara dari rakyat ditampung dan diselenggarakan oleh lembaga negara.
Dan pada ayat ketiga, Indonesia adalah negara hukum yang berarti penyelenggaraan kekuasaan
pemerintahannya didasarkan atas hukum. Di dalamnya negara dan lembaga-lembaga lain dalam
melaksanakan tindakan apapun harus dilandasi oleh hukum dan dapat dipertanggung jawabkan 
secara hukum. Dalam negara hukum, kekuasaan menjalankan pemerintahan berdasarkan
kedaulatan hukum (supremasi hukum) dan bertujuan untuk menyelenggarakan ketertiban hukum.
(Mustafa Kamal Pasha,2003). Sudah jelas bahwa peraturan perundang-undanganlah yang
menjadikan negara hukum dapat berjalan sesuai fungsinya. Melalui bunyi ketentuan pasal 1 ayat
(1,2, dan 3) UUD NRI 1945 tersebut sejatinya memang berkenaan dengan kedaulatan rakyat,
namun tetap saja tidak terdapat relevansi dengan ketentuan pasal 7 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun
2011 terutama pertentangan antara kedua ketentuan tersebut apalagi jika membahas untuk
mengganti posisi Pancasila sebagai hierarki tertinggi. Dengan ditempatkan atau ditempatkannya
Pancasila sebagai puncak hirarki tertinggi peraturan perundang-undangan ataupun UUD NRI
1945 menjadi puncak tertinggi hirarki perundang-undangan sama sekali tidak bertentangan
dengan pasal 1 ayat (1,2, dan 3) UUD NRI 1945 tersebut. Sehingga permohonan pengujian
tersebut tidak memiliki legal standing dan substansi yang kuat untuk dikabulkan oleh mahkamah
konstitusi.

Pancasila merupakan dasar yang fundamental bagi Negara Indonesia. Kehidupan NKRI
ini tergantung kepada seberapa besar penghargaan warga Negara terhadap Pancasila, baik dari
segi pengkajian dan pegamalan Pancasila itu sendiri dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Norma hukum pokok dan disebut pokok kaidah fundamental daripada negara itu dalam hukum
mempunyai hakikat dan kedudukan yang tetap, kuat, dan tak berubah bagi negara yang dibentuk.
Dengan perkataan lain, dengan jalan hukum tidak dapat diubah. Fungsi dan kedudukan Pancasila
sebagai pokok kaidah yang fundamental. Hal ini penting sekali karena UUD harus bersumber
dan berada di bawah pokok kaidah negara yang fundamental itu. Sebagai dasar negara Pancasila
dipergunakan untuk mengatur seluruh tatanan kehidupan bangsa dan negara Indonesia, artinya
segala sesuatu yang berhubungan dengan pelaksanaan sistem ketatanegaraan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) harus berdasarkan Pancasila. Ketetapan mengenai pancasila sebagai
ideologi negara tercantum dalam ketetapan MPR No. 18 Tahun 1998 tentang pencabutan dari
ketetapan MPR No. 2 tahun 1978 mengenai Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
dan Penetapan tentang Penegasan Pancasila sebagai Dasar Negara. Melalui penetapan tersebut
sebenarnya diharapkan bahwa nilai-nilai Pancasila menjadi pedoman bagi rakyat Indonesia
dalam bertingkah laku dalam kehidupan sehari-hari sekaligus menjadi sumber dari segala sumber
hukum di Indonesia sebagaimana diatur dalam pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2011. Hal ini berarti
juga bahwa semua peraturan yang berlaku di negara Republik Indonesia harus bersumberkan
kepada Pancasila.

Namun, hal itu tidak serta merta menjadikan Pancasila sebagai puncak hierarki tertinggi
dalam peraturan perundang-undangan. Karena Pancasila telah tersirat dalam pembukaan UUD
NRI 1945 yang berarti UUD telah berpegang teguh pada kelima sila Pancasila. Pancasila sebagai
dasar negara sesuai dengan bunyi Pembukaan UUD 1945 pada alinea keempat “........,maka
disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara
indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa;
kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia”. Meskipun di dalam Pembukaan UUD 1945 tersebut tidak
tercantum kata Pancasila, namun bangsa Indonesia sudah bersepakat bahwa lima prinsip yang
menjadi dasar negara Republik Indonesia disebut Pancasila. Kesepakatan tersebut tercantum pula
dalam berbagai Ketetapan MPR-RI di antaranya adalah: Ketetapan MPR-RI No.
XVIII/MPR/1998, pasal 1 menyebutkan bahwa “Pasal sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 adalah dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
harus dilaksakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara”. Ketetapan MPR No.
III/MPR/2000, diantaranya menyebutkan: sumber hukum dasar nasional yang tertulis dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa; kemanusiaan yang
adil dan beradab; persatuan Indonesia kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia. Ini berarti, peraturan perundang-undangan dibawah UUD NRI 1945 juga
otomatis tersirat nilai-nilai Pancasila karena mengikuti substansi dari puncak hierarki yaitu UUD
NRI 1945. Sehingga, Pancasila tidak perlu lagi dimasukkan kedalam hierarki karena mempunyai
tingkatan yang lebih tinggi. Apalagi Pancasila yamg merupakan ideologi dan dasar negara berarti
tidak dapat diubah sama sekali karena jika mengganti sila Pancasila akan mengubah cita-cita dan
tujuan bangsa Indonesia yang sudah turun temurun diajarkan. Dengan tidak ditempatkannya
Pancasila dalam hirarki peraturan perundang-undangan menandakan bahwa butir-butir Pancasila
bersifat fundamental dan tidak dapat diubah dan tentu saja Pancasila yang merupakan falsafah
bangsa Indonesia mempunyai kedudukannya sendiri bukan termasuk di dalam hierarki
perundang-undangan. Hal ini tentunya bahkan mencegah terjadinya penyimpangan pasal 1 ayat
(2) UUD NRI sendiri dimana kedaulatan rakyat yang diberikan kepada lembaga dan pejabat
yang berwenang dapat menimbulkan “Kekuasaan Dapat Membatalkan Hukum”. Ini tidak sama
dengan peraturan perundang-undangan yang dapat diubah, seperti misalnya UUD NRI 1945
yang telah mengalami empat kali amandemen, Maka dari itu, walaupun Pancasila adalah sumber
dari segala hukum, namun, Pancasila mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada
peraturan perundang-undangan yang terdapat dalam hierarki, karena bukan saja sebagai norma
hukum melainkan juga sebagai pedoman bangsa yang tidak akan pernah berubah.

Kesimpulannya, permohonan pengujian pasal 7 ayat (1) undang-undang nomor 12 tahun


2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan tehadap pasal 1 ayat 1, 2, 3 undang-
undang dasar 1945 tidak dapat dikabulkan karena kurang kuatnya legal standing yang digunakan
dan penjelaan atas legal standing yang dikemukakan.

Anda mungkin juga menyukai