Anda di halaman 1dari 52

PERUBAHAN IKLIM DAN DAMPAK

POLUSI UDARA TERHADAP KESEHATAN


Ditujukan sebagai salah satu Tugas Mata Kuliah Lingkungan dan Kesehatan Global

Disusun oleh :

Hendro Saputro 1906335905

M. Irwan Syamputra 1906336132

Maman Saputra 1906336044

Manda Hafni Permana 1906336050

Theresa F Napitupulu 1906336435

Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Tahun 2019


Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI

BAB I. PENDAHULUAN

1.1.................................................................................................................Latar Belakang
........................................................................................................................................2
1.2...............................................................................................................................Tujuan
........................................................................................................................................3
1.3.............................................................................................................Rumusan Masalah
........................................................................................................................................3

BAB II. PEMBAHASAN


2.1. Perubahan Iklim dan Pencemaran Lingkungan............................................................4
2.1.1. Masalah Pencemaran.................................................................................................4
2.1.2. Gambaran Pencemaran Lingkungan........................................................................11
2.1.3. Deteksi terjadinya Polusi Udara...............................................................................15
2.1.4. Komponen Polusi Udara Yang Menyebabkan Gangguan Kesehatan......................23
2.1.5. Sumber Data untuk Mengenali Terjadinya Polusi Udara........................................27
2.1.6. Identifikasi Dampak Kesehatan akibat Polusi Udara...............................................31
2.2. Pengendalian Pencemaran Lingkungan dan Dampaknya bagi Kesehatan.................35
2.2.1. Pencegahan dan Pengendalian Polusi Udara...........................................................36
2.2.2. Dampak Polusi Udara terhadap Kesehatan pada Level Mitigasi dan Adaptasi.......41
2.2.3. Identifikasi Berbagai Lembaga/Kementerian/Institusi Yang Bisa Berperan
Aktif dalam Pencegahan dan Pengendalian Polusi
Udara .................................................. 42
2.2.4. Cara Berkontribusi Dalam Pencegahan Dan Pengendalian Polusi Udara dan
Dampaknya .......................................................................................................................45
BAB III. PENUTUP

1
3.1. Kesimpulan.................................................................................................................48
3.2. Saran...........................................................................................................................48
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Laju pertumbuhan penduduk yang berjalan sangat cepat dan kebutuhan


ekonomi masyarakat yang sangat meningkat akan menimbulkan dampak samping
yang sangat memungkinkan merusak lingkungan, seperti: kerusakan hutan, saluran
air yang tersumbat oleh banyak sampah, tempat penampungan air yang sudah banyak
berubah menjadi perumahan, pencemaran air dan udara. Berbagai bencana alam
semakin sering terjadi, seperti banjir, tanah longsor dan rob. Banyak bencana alam
yang menimbulkan kerugian harta benda serta korban manusia yang tidak sedikit,
membuat orang semakin sadar betapa pentingnya upaya yang harus segera dilakukan
guna mengembalikan fungsi lungkungan sebagai penyangga kehidupan. Banyak
faktor yang menyebabkan kerusakan lingkungan, baik karena perubahan kondisi alam
misalnya efek dari erupsi (gunung meletus) atau perbuatan manusia itu sendiri,
misalnya eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan, penambangan liar,
pembalakan hutan, membuang sampah secara sembarangan dan kebiasaan buruk
lainnya. Sangat sedikit masyarakat yang menyadari bahwa akibat semua itu dapat
merugikan masyarakat itu sendiri.

Memperhatikan kondisi di atas, berbagai strategi perlu terus diupayakan guna


menyadarkan betapa pentingnya upaya terhadap pelestarian lingkungan
(konservasi). Semua lapisan masyarakat baik di pedesaan maupun perkotaan, di
pegunungan maupun pesisir mempunyai kewajiban untuk melestarikan lingkungan.
Salah satu di antara upaya pelestarian lingkungan yaitu meminimalkan pencemaran

2
lingkungan (polusi). Salah satu upaya menumbuhkembangkan kepedulian
masyarakat terhadap upaya meminimalkan polusi adalah peningkatan wawasan
masyarakat untuk meminimalkan pencemaran udara dan lingkungan sekitar.

1.2 Tujuan

Mengerti bagaimana perubahan iklim dan polusi udara mempengaruhi pencemaran


lingkungan, serta dampaknya terhadap kesehatan dan upaya pencegahan beserta
pengendaliannya.

1.3 Rumusan Masalah

1. Jelaskan gambaran secara global, seberapa besar kontribusi polusi udara relatif
terhadap total seluruh pencemaran (tanah, air, makanan-minuman, limbah, dll.)?
Bagaimana dengan di Indonesia?
2. Jelaskan Bagaimana cara deteksi terjadinya polusi udara untuk early warning
system dan long term monitoring?
3. Apa saja komponen polusi udara yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan
masyarakat?
4. Sebutkan berbagai sumber data yang bisa dimanfaatkan untuk mengenali
terjadinya polusi udara.
5. Bagaimana mengidentifikasi dampak kesehatan akibat polusi udara?
6. Uraikan cara-cara pencegahan dan pengendalian polusi udara dan terjadinya
dampak kesehatan di level mitigasi dan adaptasi.
7. Identifikasi berbagai lembaga/kementerian/institusi yang seharusnya bisa
berperan aktif dalam pencegahan dan pengendalian polusi udara.
8. Bagaimana kita bisa berkontribusi dalam pencegahan dan pengendalian polusi
udara dan dampaknya?

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Perubahan Iklim dan Pencemaran Lingkungan

Isu tentang pencemaran (polusi) dalam dasawarsa terakhir ini semakin hangat
dibicarakan Hal ini terkait dengan realitas perubahan alam dan iklim yang dirasakan
oleh penduduk bumi. Adanya fenomena pemanasan global (global warming) dengan
segala dampak yang ditimbulkannya benar-benar dirasakan oleh umat manusia.
Beberapa dampak yang ditimbulkan oleh pemanasan global antara lain: 1)
Mencairnya es di kutub Utara dan Kutub Selatan yang mengakibatkan naiknya
permukaan air laut; 2) Naiknya permukaan air laut berakibat pada tenggelamnya
daerah pesisir, rob dan tenggelamnya pulau-pulau kecil; 3) Pergeseran musim atau
musim yang tidak menentu dan sulit diprediksi; 4) Terjadinya krisis pangan akibat
gagal panen dan krisis air bersih; 5) Meluasnya penyebaran penyakit tropis (malaria,
demam berdarah, diare); 6) Hilangnya jutaan spesies flora dan fauna akibat tidak
dapat beradaptasi dengan perubahan suhu bumi.

Hal ini tidak lepas dari kegiatan manusia, di samping faktor alam, antara lain:
peristiwa alam, pertumbuhan penduduk yang begitu pesat, pemanfaatkan sumber daya
alam yang berlebihan, industrialisasi, dan transportasi. Meningkatnya industrialisasi
dengan dampak polusi udara, utamanya karena pembakaran bahan bakar fosil yang
tidak sempurna (mendukung terjadinya pemanasan global) serta kegiatan lain yang
merusak lingkungan misalnya pembalakan liar, pembakaran hutan (mendukung
terjadinya pemanasan global.

2.1.1. Masalah Pencemaran

Adanya bahan pencemar atau polutan dalam sebuah ekosistem dapat


menimbulkan masalah pencemaran (Gambar 1). Masalah pencemaran adalah
keadaan yang terjadi sebagai akibat dari adanya bahan pencemar di suatu ekosistem

4
yang dapat dinetralisasikan. Sesungguhnya secara alami ekosistem memiliki potensi
untuk melakukan pemurnian kembali bahanbahan pencemar yang ada sehingga
keseimbangan, keserasian, dan keharmonisan kehidupan tetap terjaga. Alam
memiliki jasad renik yang berperan sebagai pengurai.

Gambar 1. Pencemaran Air oleh Limbah Rumah Tangga

Namun demikian, apabila ekosistem mampu membersihkannya sendiri


(recycle atau renewable atau degradable) tidak akan terjadi masalah pencemaran.
Akan tetapi apabila alam tidak mampu memperbaiki sendiri (non-recycle atau non-
renewable atau non-degradable) bahan pencemar maka akan timbul masalah
pencemaran. Masalah pencemaran terjadi bila jumlah bahan pencemar atau
kandungan bahan pencemar dalam suatu lingkungan melampaui batas kemampuan
ekosistem untuk memulihkannya sendiri atau dengan istilah lain melampaui daya
dukung lingkungan.
Bahan pencemar di alam dapat dilihat dari bahaya yang dapat ditimbulkan bagi
manusia atau makhluk hidup lain memiliki sifat yang berbeda-beda. Bahan pencemar
tersebut dapat bersifat racun, radioaktif, karsinogenik, serta dapat pula bersifat
patogenik yang membahayakan kesehatan dan kehidupan manusia. Banyak bahan
pencemar yang mudah diuraikan atau dinetralisasi oleh alam, namun banyak juga
bahan pencemar yang tidak bisa dinetralisasi oleh alam. Bahan pencemar yang tidak
bisa dinetralisasi oleh alam, di antaranya ada yang tidak bisa dinetralisasi oleh

5
teknologi yang ditemukan oleh manusia pada dewasa ini. Untuk jenis bahan
pencemar tersebut harus dicegah masuknya ke dalam lingkungan hidup.

Secara umum masalah pencemaran dilihat dari media yang dicemari, dapat
digolongkan menjadi 3 kelompok, yaitu pencemaran udara (air pollution),
pencemaran air (water pollution), dan pencemaran tanah (soil pollution). Adapun
berbagai masalah pencemaran lingkungan adalah sebagai berikut:

a. Pencemaran Udara

Pencemaran udara adalah adanya bahan pencemar (pollutant) di udara yang


kemudian mempengaruhi kualitas udara di suatu wilayah tertentu. Pencemaran
udara merupakan kualitas kimia (gas), fisika (debu), mikroorganisme di udara,
tingkat radiasi, dan derajat kebisingan. Pertumbuhan industri adalah merupakan
keberhasilan pembangunan yang diupayakan oleh semua bangsa di dunia
termasuk Indonesia. Seiring dengan pertumbuhan industri, diikuti oleh
meningkatnya sumber pencemaran dan meningkat pula bahan pencemar yang
relatif penting di udara. Keadaan ini diindikasikan dengan meningkatnya kadar
pencemaran udara setiap tahun secara signifikan.

Jenis pencemaran udara (G.Tyler Miller Jr, 1979) utamanya berupa: carbon
oxides (CO dan CO2), sulfur oxides (SO2 dan SO3), nitrogen oxides (N2O, NO
dan NO2), hydrocarbons (CH4, C4H10 dan C6H6), photochemical oxidants (O3,
PAN dan berbagai aldehid), particulates (asap, debu, kabut, jelaga, asbestos, Pb,
Be, Cd, minyak, semprotan, garam sulfat), other inorganic compounds (asbestos,
HF, H2S, NH3, H2SO4, HNO3), other organic compounds (pestisida, herbisida,
berbagai alkohol, asam, bahan kimia lain), radioactive substances (tritium, radon,
emisi dari BBM, instalasi pembangkit listrik), heat, dan noise.

Pencemaran udara juga menimbulkan reaksi sinergistik yang luar biasa


antara bahan pencemar yang dibuang ke udara dengan bahan pencemar lain di

6
udara, yang disebut dengan reaksi sekunder. Sebagai contoh adalah adanya
komponen bahan pencemar yang dihasilkan oleh knalpot mobil atau cerobong
asap mesin yang menggunakan BBM, yaitu oksida nitrogen dan karbon
hidroksida. Kedua bahan kimia tersebut di udara dengan bantuan radiasi sinar
ultra violet matahari akan membentuk zat yang lebih agresif dan lebih beracun
yang dikenal dengan photochemical smog sebagai berikut :

UV
Oksida nitrogen + Karbon hidroksida > PAN (Perokxy Acetyl Nitrate) + Ozon

Bahan pencemar lain hasil photochemical yang bersifat karsinogenik adalah


PAH (Polynuclear Aromatic Hydrocarbons). Bahan pencemar yang dibuang ke
udara yang mengandung SO2, bila bereaksi dengan uap air H2O di udara akan
membentuk asam sulfat. Keadaan yang buruk ini merupakan ancaman serius bagi
kehidupan dengan terjadinya hujan asam. Tidak kalah pentingnya adalah
pencemaran oleh asap rokok. Asap rokok yang berada di lingkungan sekitar kita
bukan hanya membahayakan perokoknya, tetapi juga orang yang menghirup asap
rokok meskipun tidak merokok.

b. Pencemaran Air

Pencemaran air adalah adanya polutan yang masuk ke dalam suatu wilayah
perairan dan menurunkan kualitas air di wilayah perairan tersebut . Pencemaran air
merupakan kualitas kimia, fisika, daya hantar listrik, mikroorganisme di air, dan
tingkat radiasi sesuai dengan peruntukan air tersebut. Insektisida dan herbisida
merupakan bahan pencemar yang paling banyak dijumpai di lingkungan
permukiman, lingkungan pertanian, dan lingkungan perkebunan. Insektisida jenis
Chlorinated Hydrocarbons merupakan penyebaran bahan kimia sintetik yang
membahayakan kehidupan. Tingkat racun dari insektisida ini sangat potensial

7
untuk memberikan akibat biologis pada semua makhluk hidup, bukan hanya pada
serangga.

Jenis bahan pencemar air (G. Tyler Miller Jr, 1979) utamanya berupa
oxygen demanding wastes (limbah rumah tangga, kotoran hewan, dan beberapa
limbah industri), diseases causing agents (fungi, bakteri, dan virus), inorganic
chemicals and minerals (asam, garam, dan logam beracun), organic chemicals
(pestisida, plastik, deterjen, limbah industri dan minyak), plant nutrients (nitrat
dan fosfat), sediments (tanah, lumpur dan benda padat yang dibawa erosi),
radioactive substances, dan heat (berasal dan industri dan air pendingin dari
instalasi pembangkit listrik).

c. Pencemaran Minyak

Pencemaran minyak merupakan konsekuensi logis dari cepatnya pertumbuhan


penduduk dunia yang membutuhkan minyak mentah. Beberapa bahan kimia,
bahan sintetis, kontainer plastik, dan banyak lagi lainnya dibuat dari bahan baku
minyak mentah. Sumber-sumber atau sumur-sumur minyak semakin jauh dari
hunian manusia. Karenanya perlu kapal-kapal tanker pengangkut untuk jarak jauh
dan tentu sangat berisiko kecelakaan. Pencemaran perairan oleh tumpahan minyak
sangat merusak ekosistem dan tidak mudah ditanggulangi. Efluen dari proses
pengilangan minyak sangat berpotensi mencemari lingkungan kehidupan.
Pencemaran panas juga diakibatkan oleh instalasi penyulingan, oleh proses
pendinginan instalasi pembangkit listrik, dan oleh proses pendinginan industri
logam dan industri lainnya.

d. Pencemaran Industri

Pencemaran limbah industri kertas (paper) dan bubur kertas (pulp) yang
belum menerapkan “clean industry” masih terus berlangsung di berbagai daerah.
Industri ini banyak menggunakan air dalam prosesnya. Limbah cair tersebut masih

8
banyak yang dibuang begitu saja di suatu hamparan ekosistem dan mencemari
tanah di lahan tersebut. Atau langsung dibuang ke sungai, danau, atau laut yang
mengakibatkan bertambahnya akumulasi bahan pencemar di perairan.

e. Pencemaran Tanah

Pencemaran tanah (Gambar 1.2) adalah adanya polutan di suatu lahan.


Pencemaran Tanah, yaitu benda asing yang ditambahkan di suatu areal lahan yang
menyebabkan kualitas tanah di areal lahan tersebut kualitasnya menurun atau
membahayakan makhluk hidup yang memanfaatkan tanah tersebut. Jenis bahan
pencemar tanah dapat berupa bahan kimia, mikroorganisme, bahan radioaktif.
Semua bahan pencemar yang ada dalam air juga mencemari tanah yang berkontak
langsung dengan air tercemar tersebut. Pencemaran tanah adalah merupakan
kualitas kimia, fisika, mikroorganisme, dan tingkat radiasi sesuai dengan
penggunaan lahannya (land use). Masalah pencemaran seperti pembuangan
sampah (limbah padat) masih menjadi masalah sangat serius di kota-kota besar di
dunia termasuk DKI Jakarta.

Gambar 2. Masalah Pencemaran Tanah oleh Limbah Padat


Masalah pencemaran lingkungan (tanah) di TPA (Tempat Pembuangan
Sampah Akhir) Bantar Gebang Bekasi sampai tahun 2005 masih tak kunjung dapat
diselesaikan, meskipun Pemerintah Kota Bekasi telah menerima dana kompensasi

9
sebesar 11 miliar rupiah setiap tahun dari Pemerintah DKI Jakarta. TPST (Tempat
Pengolahan Sampah Terpadu) modern yang dibangun di desa Bojong Gede,
Kecamatan Cileungsi, Kabupaten Bogor, dengan investasi besar juga belum bisa
diterima oleh masyarakat sekitarnya.
Masalah pencemaran dari bahan pencemar insektisida dan herbisida cukup
banyak dijumpai sebagai bahan pencemar di tanah. Ekses penggunaan herbisida
adalah pencemaran tanah di tempat yang telah disemprot dengan herbisida.
Sebagian dari herbisida jenis 2,4-D (2,4-Dichlorophenoxyacetic acid) dan 2,4,5-T
(2,4,5- Trichlorophenoxyacetic acid) sangat beracun yang tertinggal di tanah yang
membahayakan ekosistem. Herbisida jenis cacodylic acid (mengandung 50%
arsenik) yang digunakan oleh AS pada perang Vietnam (1962-1970) banyak
menyisakan arsenik yang beracun di tanah.

f. Pencemaran Radiasi

Pencemaran Radiasi yaitu adanya bahan bersifat radioaktif yang memiliki


kekuatan radiasi melampaui Nilai Ambang Batas yang ditentukan (radiasi bahan
radioaktif), atau adanya panas yang menimbulkan radiasi panas yang melebihi
temperatur normal di suatu lingkungan (radiasi panas). Pencemaran radiasi
merupakan konsekuensi dari pembangunan instalasi nuklir yang dibangun untuk
memenuhi kebutuhan energi listrik manusia yang terus meningkat. Rumah sakit
kelas B dan kelas A serta laboratorium penelitian menggunakan bahan radioaktif
dan tentunya mereka harus membuang sisa bahan radioaktif yang tidak digunakan.
Pada saat ini pencemaran radiasi bahan radioaktif mungkin belum menjadi
masalah bagi sebagian besar manusia. Akan tetapi dalam waktu dekat seiring
dengan penggunaan bahan radioaktif yang semakin meningkat, pencemaran
radiasi akan menjadi masalah yang sangat serius bagi lingkungan hidup yang
memerlukan penanganan yang tepat dan cermat, karena sifatnya yang sangat
berbahaya.

10
g. Pencemaran Bahan Kimia Organik

Pencemaran bahan kimia organik seperti nitrogen dan fosfor di perairan


(sungai atau danau) akan berakibat pada besarnya pengendapan bahan organik
tersebut sehingga berdampak pada tumbuh suburnya plankton dan juga gulma
(eutrofikasi). Sebenarnya pertumbuhan plankton pada lapisan epilimnion dan
thermocline sangat dibutuhkan dalam menjaga produktivitas ekosistem perairan.
Plankton adalah makanan nekton yang hidup di lapisan hypolimnion dan
thermocline di perairan tersebut. Akibatnya di perairan tersebut memungkinkan
besarnya kehidupan ikan dan juga fauna akuatik lain. Tumbuhnya gulma
mengindikasikan peningkatan proses produktivitas ekosistem. Pertumbuhan
gulma terjadi bila rata-rata total dissolve solid melampaui 1.000 ppm (Willian A.
Andrew, 1972). Akan tetapi jika terjadi eutrofikasi tumbuhnya gulma sangat
merugikan pertumbuhan plankton dan nekton. Pertumbuhan plankton terganggu
karena penetrasi sinar matahari banyak tertahan oleh gulma yang tumbuh di
lapisan epilimnion. Pertumbuhan nekton terganggu karena penggunaan oksigen
yang berlebihan. Gulma yang sering ditemukan di perairan yang mengalami
eutrofikasi adalah ganggang dan tumbuhan air, misalnya Eichornia crassipes
(enceng gondok). Apabila hal ini terjadi dapat berakibat pendangkalan pada
perairan tersebut.

2.1.2. Gambaran Pencemaran Lingkungan secara Global

Polusi udara masih menjadi masalah global sebagai salah satu akibat
aktivitas manusia. Mengingat dampak negatifnya bagi kesehatan manusia, tidak
ada pilihan lain untuk mencegah peningkatan polusi udara. Polusi udara membawa
dampak negatif bagi lingkungan dan kesehatan manusia. Pada tingkat pencemaran
tertentu, zat-zat pencemar udara dapat berakibat langsung pada kesehatan, mulai
dari iritasi, alergi kulit, hingga gangguan saluran pernapasan dan paru-paru.

11
Bahaya polusi udara mulai tercatat dan disadari manusia sejak era revolusi
industri.
Jepang mengalami isu polusi udara besar-besaran sejak munculnya pabrik-
pabrik besar selama periode 1870-1880-an. Osaka yang menjadi kota industri
pernah mendapat julukan ”Smoke Capital”. Disamping itu, di Amerika Serikat,
bencana polutan Donora pada 1948 yang menewaskan 20 orang dan 7.000 orang
sakit karena polusi udara pabrik baja menyadarkan pemerintah bahwa polusi udara
merupakan isu penting nasional.
Penggunaan kendaraan bermotor menyebabkan lebih banyak polusi udara
daripada kegiatan lain apapun, menimbulkan hampir sebagian oksida nitrogen
yang diakibatkan ulah manusia, dua pertiga karbon monoksida, dan sebagian
hidrokarbon di kota kota industri, di samping hampir seluruh timah di udara di
Negara-negara berkembang. Di sebagian besar Negara berkembang, sumber
pembangkit tenaga pemanas menimbulkan sampai dua pertiga emisi sulfur
dioksida dan antara sepertiga sampai setengah emisi total polutan udara yang lain.
Bahkan di kota-kota yang masih “didominasi”oleh sepeda, jumlah mobil kini
semakin meningkat. Lebih dari 500 juta mobil dan kendaraan umum umum kini
memadati jalan-jalan dunia, 10 kali lebih lipat jumlah pada 1950 dan menurut
proyeksi terbaru, jumlah kendaraan di dunia akan berlipat dua dalam 40 tahun
mendatang, sampai kira-kira satu miliar. Kebanyakan pertambahan ini akan terjadi
di Negara-negara berkembang, yang permintaan mobilnya di perkirakan
meningkat 200 % di akhir abad ini; dengan demikian sangat memperburuk
masalah pencemaran saat ini, terutama di perkotaan.
Organisasi kesehatan dunia (WHO) memperkirakan bahwa 70 % penduduk
kota di dunia pernah sesekali menghirup udara yang tidak sehat, sedangkan 10 %
lain menghirup udara yang bersifat “marjinal”. Studi oleh para peneliti di
Universitas Harvard menunjukan bahwa kematian akibat pencemaran udara
berjumlah antara 50.000 dan 100.000 pertahun. Pencemaran lebih mempengaruhi
anak-anak miskin yang terjangkit pada banyak jenis polutan dan tingkat

12
pencemaran yang lebih tinggi di kota dengan tingkat pencemaran udara lebih
tinggi mempunyai paru-paru lebih kecil, sering tidak bersekolah karena sakit.
Rendahnya berat badan anak-anak dan kecilnya organ-organ pertumbuhan mereka
memberi resiko yang lebih tinggi pula bagi mereka. Demikian pula kebiasaan
mereka : bayi menghisap sembarang benda-benda yang tercemar, anak-anak yang
lebih besar bermain-main di jalananan yang di penuhi asap kendaraan dan
buangan hasil pembakaran bermuatan timah. Di daerah-daerah yang jauh dari
fasilitas industri, pencemaran udara juga dapat menyebabkan kerusakan, para
ilmuan melaporkan adanya tingkat hujan asam dank abut asap kemungkinan
karena pembakran rutin untuk melapangkan tanah.

Indonesia baru mengangkat isu polusi udara jauh setelah beberapa peristiwa
dunia tersebut terjadi. Tepatnya saat industrialisasi dan penggunaan transportasi
modern marak di negeri ini. Kota-kota di Indonesia tumbuh dengan pembangunan
besar-besaran. Industri menggeser lahan hijau. Kendaraan bertambah pesat di
jalan-jalan. Kualitas udara di Indonesia pun semakin buruk, tidak hanya di kota-
kota besar, tetapi juga hampir di semua daerah. Hal ini ditunjukkan dari
pengukuran kandungan PM 2,5 di udara. PM 2,5 merupakan partikel halus
(particulate matter/PM) berukuran lebih kecil dari 2,5 mikron per meter kubik.
Partikel ini dianggap menjadi komponen paling berbahaya di udara sebab partikel
ini dapat menembus jauh ke dalam paru-paru serta memasuki sistem darah.
Paparan partikel halus PM 2,5 dalam jangka panjang memicu gangguan paru dan
penyakit pernapasan serta meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular, seperti
penyakit jantung iskemik dan stroke.

Kandungan konsentrat PM 2,5 di Indonesia meningkat. Dari negara yang


didaulat menjadi paru-paru dunia dan sempat menyandang julukan negara yang
memiliki udara bersih, Indonesia (khususnya Jakarta) dinobatkan menjadi kota
dengan kualitas terburuk nomor tiga di dunia menurut Program Lingkungan PBB
(UNEP). Tingkat kualitas udara Jakarta berdasarkan parameter PM 2,5 mencapai

13
160 mikrogram per meter kubik. Padahal, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
menetapkan ambang batas PM 2,5 di udara dalam kurun 24 jam sebesar 25
mikrogram per meter kubik. Menurunnya kualitas udara juga tidak hanya terjadi di
Jakarta saja. Setidaknya, pada 2016, terdapat 155 daerah dari 256 daerah titik
pengamatan yang memiliki rata-rata kandungan PM 2,5 di atas standar WHO
sebesar 10 mikrogram per meter kubik. Artinya, daerah-daerah lain juga
terdampak pencemaran udara. Jika dilihat dari sebaran wilayahnya, daerah-daerah
dengan tingkat polusi udara di atas standar WHO mayoritas berdasarkan
pengukuran PM 2,5 oleh AQLI pada 2016 berada di Pulau Jawa, Sumatera, dan
Kalimantan. Dari ketiga provinsi tersebut, 10 daerah dengan tingkat polusi
tertinggi berada di Sumatera (Ogan Komering Ilir, Siak, Palembang, Ogan
Komering Ulu Timur, Tulang Bawang, Dumai, Bengkalis, Pelalawan, dan
Banyuasin) dan Kalimantan (Pulang Pisau). Tingginya polutan PM 2,5 di daerah-
daerah tersebut disebabkan karena kebakaran hutan dan lahan. Daerah-daerah
tersebut ditutupi lahan gambut cukup luas sehingga sangat rawan kebakaran.

Pada Tahun 2015, terjadi kebakaran hutan dan lahan besar-besaran yang
berdampak terhadap hangusnya 2,6 juta hektar lahan di seluruh Indonesia, yang
sebagian besar terjadi di Sumatera dan Kalimantan. Kebakaran hutan merupakan
salah satu bagian dari deforestasi yang menyebabkan hilangnya tutupan area hijau
di daratan. Global Forest Watch mencatat, dari tahun 2001-2015, sebanyak 89
persen tutupan pohon hilang di area yang terdampak deforestasi. Setidaknya, 61
persen tutupan pohon yang hilang pada periode tersebut karena deforestasi di
wilayah Riau, Bangka Belitung, Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Selatan,
Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Alhasil, tak heran jika daerah di
Sumatera dan Kalimantan menurun kualitas udaranya. Bahkan, berdasarkan data
AQLI, penduduk di 10 daerah dengan tingkat PM 2,5 tertinggi berpotensi
kehilangan 5 tahun usia harapan hidupnya. Tingginya polusi udara di suatu daerah
tidak hanya disebabkan oleh faktor antropogenik dan bencana alam saja. Kondisi

14
alam, seperti topografi dan meteorologi, juga turut berkontribusi terhadap siklus
persebaran polutan di udara.

Ditenggarai, 50% dari angka kesakitan di Indonesia saat inipun terkait dengan
polusi udara. Jumlah penyakit yang terkait dengan kasus pencemaran udara telah
diprediksi lebih tinggi dan lebih parah pada Tahun 2050. Hal ini dikatakan oleh
Guru BesarTetap Bidang Ilmu Kesehatan Lingkungan dari Fakultas Kesehatan
Masyarakat UI (FKM UI), Prof. Dr. R. Budi Haryanto, SKM., M.Kes, M.Sc. pada
Pidato Pengukuhannya sebagai Guru Besar yang berjudul “Perubahan Iklim dan
Polusi Udara di Indonesia: Dampak Kesehatan dan Strategi Pengendaliannya”, di
Balai Sidang UI, Depok. Menurutnya, ada banyak sektor yang berpengaruh pada
peningkatan emisi polusi udara. Sektor transportasi berkontribusi paling banyak,
hingga 80%, diikuti oleh emisi dan industri, kebakaran hutan, dan kegiatan rumah
tangga. Polusi udara terjadi melalui proses alamiah dan hasil kegiatan manusia saat
teremisikan bersama dengan gas rumah kaca maupun sebagai akibat dinamika
perubahan iklim. Emisi polutan udara sarana transportasi lebih dominan
dibandingkan dari sumber industri, kebakaran lahan dan hutan, maupun dari
sumber kegiatan di perumahan atau rumah tangga.

2.1.3. Cara Deteksi Terjadinya Polusi

Deteksi polusi udara di Indonesia tergolong sangat buruk. Lebih dari 10


tahun yang lalu pengawasan (monitoring) kualitas udara di Indonesia hanya
menggunakan Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) yang jumlahnya sangat
terbatas. ISPU (bahasa Inggris: Air Pollution Index, disingkat API) adalah laporan
kualitas udara kepada masyarakat untuk menerangkan seberapa bersih atau
tercemarnya kualitas udara dan bagaimana dampaknya terhadap kesehatan setelah
menghirup udara tersebut selama beberapa jam atau hari. Penetapan ISPU ini

15
mempertimbangkan tingkat mutu udara terhadap kesehatan manusia, hewan,
tumbuhan, bangunan, dan nilai estetika (Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan, 1999).

ISPU ditetapkan berdasarkan 5 pencemar utama, yaitu karbon monoksida


(CO), sulfur dioksida (SO2), nitrogen dioksida (NO2), Ozon permukaan (O3), dan
partikel debu (PM10). CO diukur 8 jam pada periode pengukuran rata-rata, O3 dan
NO2 diukur selama 1 jam, dan PM10 dan SO2 diukur selama 24 jam pada periode
pengukuran rata-rata, Berikut adalah tabel ISPU.
Tabel 1. Kategori Level Pencemaran Udara Berdasarkan ISPU
ISPU Level Pencemaran Udara Dampak Kesehatan
tidak memberikan dampak bagi
0 - 50 Baik
kesehatan manusia atau hewan.
tidak berpengaruh pada kesehatan
manusia ataupun hewan tetapi
51 - 100 Sedang
berpengaruh pada tumbuhan yang
peka.
bersifat merugikan pada manusia
ataupun kelompok hewan yang
101 - 199 Tidak Sehat peka atau dapat menimbulkan
kerusakan pada tumbuhan ataupun
nilai estetika.
kualitas udara yang dapat
merugikan kesehatan pada
200 - 299 Sangat Tidak Sehat
sejumlah segmen populasi yang
terpapar.
300 - lebih Berbahaya kualitas udara berbahaya yang
secara umum dapat merugikan
kesehatan yang serius pada
populasi (misalnya iritasi mata,

16
batuk, dahak dan sakit
tenggorokan).
Pemantauan kualitas udara menggunakan ISPU yang jumlahnya sangat
terbatas, tentu sangat ketinggalan dan tidak baik untuk early warning system
maupun long time monitoring. Bahkan ISPU hanya mengukur sampai pada PM10.
Sedangkan polusi udara di Indonesia, khususnya di kota – kota besar banyak yang
berasal dari asap kendaraan bermotor dan hasil pembakaran timbal (PM 2,5) atau
debu yang berukuran 2,5 mikron atau kurang. Partikulat udara yang berukuran
kurang dari 2,5 µm (PM) 2,5 disebut dengan partikulat halus. Peneliti
epidemiologi berpendapat bahwa partikulat halus ini sangat berbahaya karena
dapat berpenetrasi menembus bagian terdalam dari paru-paru dan sistem jantung.
Partikulat halus diperkirakan memberi kontribusi besar pada angka kematian yang
diakibatkan oleh gangguan kesehatan terkait pencemaran udara (Dockery et al.,
1993; Katsouyanni, 2005).

Untuk dapat mengetahui kondisi ataupun tingkat kebersihan udara dari


gas-gas polutan yang membahayakan manusia dibutuhkan suatu alat khusus
yang mampu mendeteksidan mengukur konsentrasi gas polutan di lingkungan
tersebut. Dengan tingkat kemajuan teknologi yang berkembang pesat di
bidang teknologi sensor, elektronika, dan komputer dapatdibuat sebuah alat
pendeteksi polutan udara berupa alat yang mampu melakukan deteksi dan
monitoring polusi udara yang berbasis array sensor gasmetal oksida. Sensor
metal oksida adalah sensor gas dengan harga yang sangat terjangkau dan
memiliki sensitivitas yang cukup baik pada beberapa jenis gas sekaligus.
Larik (array) sensor gas berfungsi sebagai perangkat yang melakukan
pendeteksian gas-gaspolutan sedangkanperangkat mikrokontrolerberfungsi sebagai
pengolahdata yang berupa besar tegangan keluaran setiap sensor saat terpapar
ke gas polutan tertentu. Sensor-sensor dengan kemampuan mendeteksi gas-
gas yang sejenis pada larik sensor dapat digunakan untuk meningkatkan akurasi

17
pedeteksian. Pada perangkat mikrokontroler yang sudah di-install program
untuk menjalankan algoritma deteksi dan pengukuran tingkat polutan, akan
dilakukan analisis mengenai jenis polutan dan tingkat konsentrasinya. Hasil
analisis ini kemudian ditampilkan pada layar LCD sehingga pengguna dapat
langsung membaca hasil pengukuran polutan di tempat tersebut. Sistem Deteksi
dan Monitoring Polusi Udara Berbasis Array Sensor Gas dapat digunakan
untuk melakukan deteksi dan monitoring gas-gas polutan hidrogen sulfida
(H2S), karbon monoksida (CO), karbon dioksida (CO2), etanol (C2H5OH),
amoniak (NH3), butana (C4H10), dan hidrogen (H2) dengan menampilkan
hasil deteksi pengukuran pada layar LCD 16x2 karakter (Jati & Lelono, 2013).

Penelitian (Prahardis, Syauqi, & Akbar, 2018) merancang sebuah alat yang
mampu memonitor kondisi udara pada kota. Alat ini menerapkan metode Finite
State Machine (FSM) sebagai aksi sistem dalam bekerja. Tujuan dengan
menerapkan metode Finite State Machine ini adalah untuk pengambilan keputusan
cerdas sistem dan dapat menghemat kinerja sistem. Informasi dari kondisi udara
akan diterima pengguna melalui sebuah aplikasi. Pengguna tidak harus terkoneksi
dengan Internet untuk mendapatkan data. Sistem ini menggunakan server lokal
yang dapat diakses menggunakan layanan WiFi dari ESP tanpa harus terkoneksi
dengan internet. Tujuannya karena untuk pemerataan peletakan alat, jadi ketika
alat terpasang di daerah yang susah mendapatkan koneksi internet maka pengguna
hanya menyalakan WiFi yang telah disediakan oleh ESP. Alat ini bukan hanya
dapat mewujudkan sebuah lingkungan yang bersih, sehat dan layak huni, akan
tetapi juga dapat meningkatkan kualitas dari kesehatan masyarakat

Penelitian mengenai pengembangan sistem pengawasan kualitas udara


menggunakan perangkat sensor telah beberapa kali dilakukan. Sebagian besar
(Devarakonda et al., 2013; Rada et al., 2012; Sivaraman, Carrapetta, Hu, &
Gallego, 2013; Zappi, Bales, Park, Griswold, & Šimuni, 2012) menitikberatkan

18
pada partisipasi masyarakat dalam memberikan fasilitas seperti ruang untuk
penggunaan perangkat sensor kualitas udara. Di beberapa penelitian yang lain
(Devarakonda et al., 2013; Sivaraman et al., 2013; Zappi et al., 2012), perangkat
sensor mobile lebih diminati karena mampu merekam area yang lebih luas namun
fleksibel. Pada setiap pekerjaan yang telah dilakukan, visualisasi data melalui web
menjadi metode untuk menyampaikan informasi akhir kualitas udara. Banyak
peneliti (Khedo, Rajiv, & Avinash, 2010; Sivaraman et al., 2013; Zappi et al.,
2012) yang menggunakan fasilitas peta online sumber terbuka untuk menjaga
biaya pengembangan tetap rendah dan terjangkau.

Penelitian (Widianjaya et al., n.d.) menyajikan desain dan hasil implementasi


sistem monitoring kualitas udara kota Surabaya berbasis web dengan
menggunakan perangkat sensor berbasis mikrokontroler. Penelitian ini
menggunakan pendekatan terhadap solusi bagi mahalnya perangkat sensor kualitas
udara melalui pengembangan perangkat sensor rendah biaya. Web dan jaringan
internet menjadi media informasi dengan mempertimbangkan aspek biaya
pengembangan, perawatan, dan aksesbilitas masyarakat terhadap informasi.
Penduduk kota yang sebagian besar telah mengkonsumsi internet cukup lama
menjadi target utama dari sistem monitoring kualitas udara berbasis web.

Banyak negara di seluruh dunia yang memiliki monitoring system untuk


mengukur tingkat polutan yang berbeda di udara. Jaringan-jaringan ini secara
mendasar terstruktur dalam kebijakan suatu negara untuk melaporkan data kualitas
udara yang dipantau dan memodelkan prediksi sesuai dengan persyaratan nasional,
undang-undang regional dan lokal. Misalnya, arahan Uni Eropa menentukan
polutan yang diukur, kontrol kualitas, teknik pemantauan, dan jumlah serta lokasi
(sisi jalan, latar belakang perkotaan, pedesaan) dari lokasi. Di luar kerangka
peraturan ini, jaringan pemantauan yang berbeda memiliki tujuan, ruang lingkup
dan cakupan yang spesifik, dengan beberapa menyediakan data waktu nyata bagi
publik, yang lain memberikan rincian kimia atau komposisi dari polusi udara,

19
sedangkan beberapa akan mengukur konsentrasi selama sehari atau sebulan (Kelly,
Fuller, Walton, & Fussell, 2012).

Teknik pemodelan kualitas udara digunakan untuk melengkapi monitoring


system dengan mampu memprediksi konsentrasi polutan udara dan ini pada
gilirannya, memungkinkan kualitas udara untuk dinilai di wilayah geografis yang
lebih besar daripada yang mungkin dengan data pemantauan saja. Sebagai contoh,
peramalan kualitas udara dari transportasi jarak jauh memberikan pengetahuan
tentang sumber-sumber polusi yang berjarak ratusan kilometer dari lokasi
perkiraan. Selain itu, penilaian kualitas udara di daerah pedesaan sangat sering
bergantung pada model, sementara kombinasi antara pemantauan dan pemodelan
dapat membantu peramalan kualitas udara di lokasi perkotaan yang sangat
diperdagangkan. Berbagai pendekatan peramalan, dengan berbagai kompleksitas
digunakan di seluruh dunia. Ini dapat secara luas dibagi menjadi pendekatan
statistik dan model deterministik. Yang pertama memanfaatkan keahlian manusia
dan hubungan statistik antara meteorologi dan episode polusi. Yang terakhir
menggunakan informasi metrologi dan emisi untuk memodelkan proses kimia dan
fisik dan ini pada gilirannya, menentukan konsentrasi polusi. Baru-baru ini,
kemajuan dalam daya komputasi telah memungkinkan model deterministik
ditingkatkan untuk dikembangkan seperti sistem Prevair yang beroperasi di
Perancis dan sistem US AirNow (Kelly et al., 2012).

Early warning system polusi udara adalah sistem yang secara proaktif
memperingatkan pengguna terdaftar tentang peristiwa polusi udara yang akan
terjadi, dengan memberikan kepada pengguna untuk menemukan informasi di
tempat lain. Alat-alat informasi ini ditargetkan untuk kelompok yang rentan dalam
suatu komunitas atau individu yang memiliki akses terbatas ke media yang secara
rutin melaporkan informasi AQI. Contoh sistem tersebut adalah airALERT dan
airTEXT yang beroperasi di Inggris, Luftkvalitet di Swedia dan EnviroFlash yang

20
berbasis di Amerika. Mereka yang mendaftar ke layanan ini dapat memilih untuk
menerima peringatan melalui telepon rumah (pesan suara), telepon seluler
(layanan pesan singkat, aplikasi ponsel pintar) atau komputer (umpan Sindikasi
Really Simple atau email). Metode pengiriman informasi lainnya adalah melalui
aplikasi ponsel pintar, contohnya adalah 'London Air', yang dikembangkan oleh
Environmental Research Group di King's College London untuk pasar iphone dan
Android. 'London Air' menampilkan konsentrasi polusi dalam waktu nyata dari
100 stasiun pemantauan yang berlokasi di Greater London dan sepenuhnya
terintegrasi dengan Google Maps yang memungkinkan fitur 'pencari' dan 'pencari
kode pos' yang ramah pengguna. Pengguna juga dapat berlangganan untuk

menerima pemberitahuan ketika polusi melebihi konsentrasi 'Sedang' di suatu


lokasi pilihan mereka, dan diberi tahu bagaimana kinerja suatu situs setiap tahun
sehubungan dengan sasaran kualitas udara Inggris.

21
Gambar 3. Aplikasi iPhone 'London Air'. (a) Peta termasuk 'temukan saya', satelit
dan tampilan hybrid dan pencarian kode pos London. (B) Pemberitahuan
pemberitahuan ketika tingkat polusi berubah. (C) Kinerja dalam kaitannya dengan
tujuan kualitas udara Inggris.

Pemantauan, perkiraan dan pelaporan kualitas udara semakin canggih dan


akurat dan ini tidak diragukan lagi akan berlanjut ke masa depan dengan
menggunakan langkah-langkah paparan yang lebih individual. AQI dan sistem
peringatan yang bersumber dari situs pemantauan akan selalu dibatasi oleh lokasi,
jarak, dan kepadatan. Di dalam wilayah perkotaan, keandalan ramalan akan
meningkat dengan meningkatkan jumlah lokasi tetapi jaringan pemantauan jarang
mencapai kepadatan yang mencerminkan distribusi khusus polutan di kota.
Ditambah dengan ini, tren yang meningkat di kalangan masyarakat untuk
informasi lebih lanjut mungkin berarti bahwa jenis data yang disediakan oleh
sistem saat ini akan diperlukan kedepannya. Misalnya, kita harus menggunakan
pemetaan canggih yang lebih besar yang tergabung dalam layanan peringatan
proaktif, memungkinkan orang untuk mendapatkan umpan balik mengenai
kegiatan luar yang sesuai untuk dilakukan pada hari tertentu atau rute apa yang
harus diambil anak-anak mereka ke dan dari sekolah. Meskipun situs web rute
berjalan perkotaan jika sudah memberikan beberapa saran, informasi ini perlu
menjangkau pengguna secara proaktif dan dihubungkan dengan pengukuran
kualitas udara real-time (Kelly et al., 2012).
Tabel 2. Perhitungan Indeks Kualitas Udara yang Dianjurkan

22
Karena tingkat polusi udara dapat bervariasi secara dramatis pada jarak
pendek dan skala waktu, ada kebutuhan untuk ukuran yang lebih tepat dan dinamis
dari pola aktivitas waktu dalam kaitannya dengan paparan. Jawaban yang jelas
adalah penggunaan teknologi ponsel pintar yang terintegrasi dengan sensor
kualitas udara murah. Ponsel pintar adalah sumber platform komputasi di mana-
mana dengan perangkat internal yang kaya dan infrastruktur komunikasi yang
mampu menangkap data secara interaktif atau mandiri.

2.1.4. Komponen Polusi Udara Yang Menyebabkan Gangguan Kesehatan


Polutan udara yang dipantau untuk melindungi efek kesehatan jangka
pendek adalah O3, PM, NO2, SO2 dan karbon monoksida (CO). Berikut adalah
penjelasannya :

1. O3 (Ozon)
O3 adalah gas polutan sekunder, yang dihasilkan di permukaan bumi dengan
reaksi atmosfer dari sinar UV dengan NO x dan hidrokarbon yang dihasilkan
oleh kendaraan bermotor, industri dan tanaman. Konsentrasi tertinggi selama
musim semi dan musim panas dan terendah di musim dingin, sedangkan pola
diurnal yang konsisten biasanya berarti bahwa O3 mencapai konsentrasi

23
puncaknya pada sore hari. Setelah dihasilkan, O3 dan prekursornya dapat
melakukan perjalanan jarak jauh, misalnya ke daerah yang kurang tercemar, di
mana ia dapat menumpuk dan mencapai konsentrasi tinggi yang jauh dari
sumber polusi asli. Lebih lanjut, karena oksida nitrat (NO) yang dihasilkan di
kota-kota dapat menurunkan O3 lokal melalui reaksi yang menghasilkan NO2,
Konsentrasi O3 sering lebih tinggi di lokasi pedesaan dibandingkan dengan
lingkungan perkotaan (Kelly et al., 2012).

2. NO2
NO 2 adalah gas yang dihasilkan ketika oksigen atau O3 di udara mengoksidasi
NO, meskipun sekarang juga dipancarkan langsung dari knalpot kendaraan
tertentu. Pada waktunya, NO2 di udara sekitar dioksidasi menjadi asam nitrat
dan nitrat, dengan yang terakhir berkontribusi terhadap PM sekunder. Di udara
luar, sumber utama NO2 adalah pembakaran bahan bakar fosil, terutama dari
kendaraan bermotor, dan juga dari pembangkit listrik dan pabrik. Konsentrasi
NO 2 umumnya lebih tinggi di daerah musim dingin dan perkotaan (Kelly et
al., 2012).

3. PM
PM adalah istilah umum yang mengacu pada campuran kompleks padatan atau
cairan yang bervariasi dalam jumlah, ukuran, bentuk, luas permukaan,
komposisi kimia, kelarutan dan asal. PM 10 mengacu pada konsentrasi massa
(dinyatakan dalam μg / m 3) dari PM yang umumnya kurang dari 10 juta meter
(10 μm) dengan diameter. 1 PM 2.5 mengacu pada konsentrasi massa partikel
yang berdiameter kurang dari 2,5 μm. Partikel primer dilepaskan langsung dari
sumbernya, sedangkan partikel sekunder terbentuk di dalam atmosfer sebagai
akibat dari polutan lain seperti SO2 dan NO2 menjalani reaksi kimia. Sumber
utama PM di daerah perkotaan adalah transportasi jalan selain pembakaran
bahan bakar fosil di pembangkit listrik dan pabrik. Komponen PM yang berasal
dari lalu lintas adalah emisi engine, rem dan keausan ban dan debu dari

24
permukaan jalan. Sumber utama PM lainnya adalah proses industri (produksi
logam, semen, kapur, bahan kimia), pekerjaan konstruksi, penggalian dan
kegiatan penambangan. Darat dan laut merupakan sumber tambahan, melalui
debu yang tertiup angin, garam laut, serbuk sari, spora jamur, dan partikel
tanah. Polusi PM dapat tinggi setiap saat, terutama di dekat jalan yang sibuk
selama jam sibuk pagi dan sore hari. Musim ditentukan oleh banyak faktor
termasuk emisi, dispersi, sinar matahari untuk mendorong pembentukan dan
suhu PM sekunder, yang dapat mempartisi PM yang mudah menguap ke dalam
fase gas (Kelly et al., 2012).

4. SO2
SO 2 diproduksi selama pembakaran bahan bakar yang mengandung belerang
seperti batubara dan minyak. SO 2 ada sebagai gas atau larut dalam air, dan
mudah teroksidasi untuk menghasilkan tetesan asam sulfat di atmosfer atau
sulfat, sehingga berkontribusi terhadap PM sekunder. Di Eropa dan Amerika
Serikat, pembakaran batu bara telah menurun, digantikan oleh listrik yang
dihasilkan dari pusat dan penggunaan gas alam di tempat-tempat komersial dan
rumah-rumah. Pergeseran ini, ditambah dengan langkah-langkah pengurangan
emisi di pembangkit listrik dan industri serta penggunaan bahan bakar sulfur
rendah dalam kendaraan bermotor, telah secara dramatis mengurangi
konsentrasi SO2 yang pernah dialami di daerah perkotaan dunia barat. Sumber
alami SO2 termasuk gunung berapi aktif dan kebakaran hutan (Kelly et al.,
2012).

5. CO
CO adalah gas yang tidak berwarna, tidak berbau dan tidak berasa yang
dihasilkan oleh pembakaran bahan bakar karbon dan hidrogen yang tidak
lengkap. Risiko pajanan utama berasal dari sumber dalam ruangan, seperti
peralatan memasak dan pemanas yang tidak dipasang dengan benar dan / atau
tidak terpelihara dengan baik. Mesin bensin pernah mengeluarkan CO dalam

25
jumlah yang signifikan tetapi pengenalan catalytic converter menyebabkan
pengurangan substansial pada level CO ambien. Konsentrasi biasanya tinggi
selama cuaca dingin, karena pembalikan suhu, menjebak polusi di dekat tanah.
Di daerah perkotaan, konsentrasi lebih tinggi selama jam-jam sibuk, di jalan
yang sibuk dan khususnya di ngarai jalanan (Kelly et al., 2012).

Urbanisasi global terus berlanjut dan dengan itu, muncullah konsumsi


energi yang lebih besar dan peningkatan emisi dari sumber transportasi dan
industri. Akibatnya, orang-orang di negara maju dan berkembang terpapar pada
beragam variasi polutan udara dan di banyak daerah perkotaan, konsentrasi
banyak polutan yang tidak sehat. Temuan-temuan dari penelitian epidemiologis
dan toksikologis mengenai dampak pencemaran udara sekitar pada kesehatan
masyarakat telah mengkonfirmasi dampak jangka panjang dan jangka pendek
yang merugikan pada mortalitas dan morbiditas akibat penyakit
kardiopulmoner (Michelle L Bell, Dominici, & Samet, 2005; COMEAP, 2009;
Committee on the Medical Effects of Air Pollution (COMEAP), 2006; Delfino,
Zeiger, Seltzer, & Street, 1998; Jerrett et al., 2009). Selanjutnya, semakin
banyak penelitian yang menyelidiki potensi polusi udara untuk memberikan
ancaman yang lebih luas, dengan, misalnya, secara negatif mempengaruhi
sistem reproduksi (Darrow et al., 2009) dan kesehatan neurologis (Dales,
Cakmak, & Vidal, 2009).

Selain dampak kesehatan yang disebabkan oleh konsentrasi pencemaran


udara di perkotaan, kematian dini dan morbiditas dialami selama dan setelah
'episode' pencemaran - periode konsentrasi satu atau lebih pencemar udara luar
yang berkepanjangan dan abnormal. Mereka muncul sebagai konsekuensi dari
kondisi dispersi atmosfer buruk yang dihasilkan oleh udara dan atau emisi yang
masih sangat tinggi menyusul insiden seperti kebakaran hutan, badai debu,
kemacetan lalu lintas lokal dan konstruksi, serta jangka panjang (1000 km atau

26
lebih) trans -boundary polusi udara. Episode musim dingin ditandai dengan
peningkatan konsentrasi partikel (PM), nitrogen dioksida (NO2) dan/atau sulfur
dioksida (SO2). Contoh penting adalah yang dialami oleh London pada tahun
1952 dan 1991 dan bagian dari Jerman Barat pada tahun 1985, mengklaim
nyawa sebelum waktunya dan peningkatan morbiditas dari penyebab
pernapasan dan kardiovaskular (Anderson et al., 1995; M L Bell & Davis,
2001; Logan, 1953; Wichmann et al., 1989). Contoh episode musim panas
adalah kabut fotokimia, yang timbul dari aksi sinar matahari pada oksida
nitrogen (NOx) dan hidrokarbon yang dilepaskan dari knalpot kendaraan.
Episode-episode ini, ditandai dengan peningkatan ozon ambien (O3) dan
konsentrasi PM, juga dikaitkan dengan kematian yang berlebihan, sebagaimana
dicontohkan oleh dampak gelombang panas yang mempengaruhi sebagian besar
Eropa pada tahun 2003 (Fischer, Hoek, Brunekreef, Verhoeff, & van Wijnen,
2003; Johnson et al., 2005; Stedman, 2004). Berbagai jenis episode polusi
disebabkan oleh kebakaran hutan dan badai debu, yang membawa polusi
partikulat lebih dari beberapa ribu kilometer dan berdampak pada kesehatan di
wilayah geografis yang luas. Ada hubungan antara partikulat api dan kelebihan
keluhan pernapasan dan/atau rawat inap di Australia (Morgan et al., 2010),
Lithuania (Ovadnevaite, Kvietkus, & Marsalka, 2006), Amerika Serikat
(Delfino et al., 2009; Duclos, Sanderson, & Lipsett, 1990), dan Asia Tenggara
(Kunii et al., 2002; Mott et al., 2005). Hubungan yang dilaporkan dengan
mortalitas dan hasil kardiovaskular kurang konsisten (Morgan et al., 2010; Mott
et al., 2005). Badai debu disebabkan oleh kondisi cuaca tertentu, di mana
misalnya pasir yang berasal dari padang pasir Mongolia dan Cina dibawa ke
arah timur oleh sistem tekanan dingin, menciptakan episode PM yang meninggi
di Taiwan. Studi yang menyelidiki dampak kesehatan dari peristiwa debu ini di
ibukota Taiwan, Tapai, telah mengamati efek signifikan pada kunjungan darurat
untuk penyakit kardiovaskular (Yang, Chen, Chiu, & Goggins, 2005) dan tren

27
peningkatan mortalitas (Chen et al., 2004) dan kunjungan rumah sakit (Chiu et
al., 2008). Seperti yang diulas oleh (Brunekreef & Forsberg, 2005), data yang
berasal dari Amerika Serikat dan Eropa tentang badai debu dan debu yang
ditiup angin menunjukkan hubungan dengan kunjungan rawat jalan dan
perawatan di rumah sakit untuk kondisi pernapasan.

2.1.5. Sumber Data untuk Mengenali Terjadinya Polusi Udara


Semakin pesatnya kemajuan ekonomi mendorong semakin bertambahnya
kebutuhan akan transportasi, dilain sisi lingkungan alam yang mendukung hajat
hidup manusia semakin terancam kualitasnya, efek negatif pencemaran udara
kepada kehidupan manusia kian hari kian bertambah. Berikut adalah beberapa
sumber data untuk mengenali terjadinya polusi udara, yaitu:

a. Sumber Pencemaran Udara


Pencemaran udara adalah masuknya, atau tercampurnya unsur-unsur
berbahaya ke dalam atmosfir yang dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan
lingkungan, gangguan pada kesehatan manusia secara umum serta
menurunkan kualitas lingkungan. Pencemaran ini sering disebut pencemaran
dalam ruangan (indoor pollution). Sementara itu pencemaran di luar ruangan
(outdoor pollution) berasal dari emisi kendaraan bermotor, industri,
perkapalan, dan proses alami oleh makhluk hidup. Sumber pencemar udara
dapat diklasifikasikan menjadi sumber diam dan sumber bergerak. Sumber
diam terdiri dari pembangkit listrik, industri dan rumah tangga. Sedangkan
sumber bergerak adalah aktifitas lalu lintas kendaraan bermotor dan
tranportasi laut.

Sumber utama emisi di Indonesia adalah dari pembakaran bahan bakar


fosil (batu bara, minyak, dan gas alam) dan deforestasi tropis. Sebagai
akuntansi untuk 37,5% dari total permintaan energi primer kawasan pada
tahun 2011 (IEA 2013), Indonesia adalah konsumen energi terbesar di

28
ASEAN dan dunia saat ini. Berdasarkan data deret waktu terkini terkait emisi
di Indonesia dari tahun 1990 hingga 2010 yang dilaporkan oleh Kementerian
Lingkungan Hidup; Badan Nasional untuk Meteorologi, Klimatologi, dan
Geofisika; Biro Pusat Statistik; Kementerian Perindustrian; Kementrian
Pertanian; Menteri Kesehatan; Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam;
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia; universitas; dan stasiun pemantauan
lingkungan potensial lainnya, Pusat Penelitian untuk Perubahan Iklim
Universitas Indonesia (RCCC-UI) dari tahun 2013 hingga 2016 menganalisis
prediksi polutan udara umum dan gas rumah kaca menggunakan model
GAINS (greenhouse gases – air pollution interaction and synergies)
yang dikembangkan oleh International Institute for Applied Systems
Analysis (IIASA) Austria (http: // gain.iiasa.ac.at). GAINS menggambarkan
jalur polusi atmosfer dari kekuatan pendorong antropogenik ke dampak
lingkungan yang paling relevan (Amann et al. 2004). Ini menyatukan
informasi tentang pembangunan ekonomi, energi, dan pertanian di masa
depan, potensi dan biaya pengendalian emisi, penyebaran atmosfer, dan
kepekaan lingkungan terhadap polusi udara. Model ini membahas ancaman
terhadap kesehatan manusia yang ditimbulkan oleh partikel halus dan ozon di
permukaan tanah, risiko kerusakan ekosistem akibat pengasaman, kelebihan
endapan nitrogen (eutrofikasi), paparan pada tingkat ozon yang tinggi, dan
pemaksaan radiasi jangka panjang. Dampak-dampak ini dipertimbangkan
dalam konteks multi-polutan, mengukur kontribusi sulfur dioksida (SO2),
nitrogen oksida (NOx), amonia (NH3), senyawa organik volatil non-metana
(VOC), dan emisi primer denda (PM2). 5) dan partikel kasar (PM2.5-PM10).
GAINS juga memperhitungkan emisi enam gas rumah kaca yang termasuk
dalam Protokol Kyoto, yaitu karbon dioksida (CO2,), metana (CH4), nitro
oksida (N2O), dan tiga gas-F. Skenario pengurangan emisi juga telah
dianalisis menggunakan model GAINS.

29
Tabel 3. Sumber dan Standar Kesehatan Emisi Gas Buang

b. Pemantauan dan Pemodelan Kualitas Udara

Banyak negara memiliki jaringan pemantauan untuk mengukur tingkat


polutan yang berbeda di udara. Jaringan-jaringan ini secara mendasar
terstruktur di sekitar kewajiban peraturan suatu negara untuk melaporkan data
kualitas udara yang dipantau dan memodelkan prediksi sesuai dengan
persyaratan nasional / Eropa (dalam kasus anggota UE), undang-undang
regional dan lokal. Sebagai contoh, arahan UE mendikte polutan yang diukur,
kontrol kualitas, teknik pemantauan dan jumlah dan lokasi (pinggir jalan, latar
belakang perkotaan, pedesaan) dari lokasi. Di luar kerangka peraturan ini,
jaringan pemantauan yang berbeda memiliki tujuan, ruang lingkup, dan
cakupan yang spesifik, dengan beberapa menyediakan data real-time untuk
publik, yang lain memberikan rincian kimia atau komposisi pencemaran,
sedangkan beberapa akan mengukur konsentrasi selama sehari atau sebulan. ,
dengan demikian menyediakan data yang tak ternilai untuk menilai tingkat

30
dan dampak di area yang lebih luas.

Teknik pemodelan kualitas udara melengkapi jaringan pemantauan


dengan mampu memprediksi konsentrasi polutan udara dan ini pada
gilirannya, memungkinkan kualitas udara untuk dinilai di wilayah geografis
yang lebih besar daripada yang mungkin dengan data pemantauan saja.
Misalnya, prakiraan kualitas udara untuk transportasi jarak jauh memberikan
pengetahuan tentang sumber polusi yang ratusan kilometer dari lokasi
prakiraan. Selain itu, penilaian kualitas udara di daerah pedesaan sangat sering
bergantung pada model, sementara kombinasi antara pemantauan dan
pemodelan dapat membantu peramalan kualitas udara di lokasi perkotaan
yang sangat diperdagangkan. Berbagai pendekatan peramalan, dengan
berbagai kompleksitas digunakan di seluruh dunia. Ini dapat secara luas dibagi
menjadi pendekatan statistik dan model deterministik. Yang pertama
memanfaatkan keahlian manusia dan hubungan statistik antara meteorologi
dan episode polusi. Yang terakhir menggunakan informasi metrologi dan
emisi untuk memodelkan proses kimia dan fisik dan ini pada gilirannya,
menentukan konsentrasi polusi. Baru-baru ini, kemajuan dalam kekuatan
komputer telah memungkinkan model deterministik yang lebih baik untuk
dikembangkan seperti sistem Prevair yang beroperasi di Perancis43 dan
sistem AirNow AS.

2.1.6. Identifikasi Dampak Kesehatan akibat Polusi Udara


Peristiwa polusi udara sporadis, seperti kabut London yang bersejarah pada
tahun 1952 dan sejumlah studi epidemiologi jangka pendek dan panjang
menyelidiki efek dari perubahan kualitas udara pada kesehatan manusia. Temuan
konstan adalah bahwa polutan udara berkontribusi terhadap peningkatan angka
kematian dan perawatan di rumah sakit (Brunekreef dan Holgate, 2002). Komposisi
berbeda dari polutan udara, dosis dan waktu pemaparan dan fakta bahwa manusia

31
biasanya terpapar pada campuran polutan daripada zat tunggal, dapat menyebabkan
beragam dampak pada kesehatan manusia. Efek kesehatan manusia dapat berkisar
dari mual dan kesulitan bernafas atau iritasi kulit, hingga kanker. Mereka juga
termasuk cacat lahir, keterlambatan perkembangan serius pada anak-anak, dan
berkurangnya aktivitas sistem kekebalan tubuh, yang mengarah ke sejumlah
penyakit. Selain itu, ada beberapa faktor kerentanan seperti usia, status nasional dan
kondisi predisposisi. Efek kesehatan dapat dibedakan menjadi akut, kronis, tidak
termasuk kanker dan kanker. Data model epidemiologis dan hewan menunjukkan
bahwa sistem yang paling terpengaruh adalah sistem kardiovaskular dan
pernapasan. Namun, fungsi beberapa organ lain juga dapat dipengaruhi (Cohen et
al., 2005; Huang dan Ghio, 2006; Kunzli dan Tager, 2005; Sharma dan Agrawal,
2005).

Banyak studi epidemiologis telah mengindikasikan bahwa polutan udara


seperti partikel (PM), nitrogen dioksida (NO2), sulfur dioksida (SO2), dan ozon
(O3) bertanggung jawab untuk meningkatkan mortalitas dan morbiditas pada
populasi yang berbeda di seluruh dunia, terutama dari pernapasan dan penyakit
kardiovaskular (CVD) (Rowshand et al. 2009; Samet dan Krewski 2007; Tsai et al.
2014; Tsangari et al. 2016). Sebuah studi global tentang beban penyakit pada tahun
2000 menunjukkan bahwa hampir dua pertiga dari kira-kira 800.000 kematian dan
4,6 juta tahun yang hilang dari hidup sehat di seluruh dunia disebabkan oleh
paparan polusi udara pada tahun itu di negara-negara berkembang di Asia (WHO,
2002), dan fenomena ini berlanjut hingga baru-baru ini (WHO, 2014). Polusi udara
di kota-kota besar, terutama di negara-negara berkembang, telah mencapai titik
krisis. Kualitas udara yang buruk bertanggung jawab atas kematian tiga juta orang
setiap tahun dan menghadirkan dilema bagi jutaan orang di seluruh dunia yang
menderita asma, penyakit pernapasan akut, penyakit kardiovaskular, dan kanker
paru-paru (MOE dan KPBB 2006). Di Indonesia, paparan polusi udara dapat
memiliki banyak efek kesehatan yang serius, terutama setelah episode polusi parah.

32
Paparan jangka panjang pada tingkat polusi udara yang tinggi mungkin memiliki
efek kesehatan yang lebih besar daripada paparan akut. Masalah polusi udara saat
ini adalah yang terbesar di Indonesia karena menyebabkan 50% morbiditas di
seluruh negeri (Haryanto dan Franklin 2011). Adapun beberapa efek polusi udara
pada berbagai organ dan system, antara lain:

a. Sistem Pernapasan
Sejumlah penelitian menggambarkan bahwa semua jenis polusi udara, pada
konsentrasi tinggi, dapat mempengaruhi saluran udara. Namun demikian, efek
serupa juga diamati dengan paparan jangka panjang dengan konsentrasi polutan
yang lebih rendah. Gejala-gejala seperti iritasi hidung dan tenggorokan, diikuti
oleh bronkokonstriksi dan dyspnoea, terutama pada individu penderita asma,
biasanya dialami setelah terpapar dengan meningkatnya kadar sulfur dioksida
(Balmes et al., 1987), nitrogen oksida (Kagawa, 1985) , dan logam berat
tertentu seperti arsenik, nikel atau vanadium. Selain itu, partikel yang
menembus epitel alveolar (Ghio dan Huang, 2004) dan ozon memicu
peradangan paru-paru (Uysal dan Schapira, 2003). Pada pasien dengan lesi paru
atau penyakit paru-paru, inflamasi yang diprakarsai oleh polutan akan
memperburuk kondisi mereka. Terlebih lagi, polusi udara seperti nitrogen
oksida meningkatkan kerentanan terhadap infeksi pernapasan (Chauhan et al.,
1998). Akhirnya paparan kronis terhadap ozon dan logam berat tertentu
mengurangi fungsi paru-paru (Rastogi et al., 1991; Tager et al., 2005),
sedangkan yang belakangan juga bertanggung jawab atas asma, emfisema, dan
bahkan kanker paru-paru (Kuo et al., 2006 ; Nawrot et al., 2006). Lesi mirip
emfisema juga telah diamati pada tikus yang terpapar nitrogen dioksida
(Wegmann et al., 2005).

b. Sistem Kardiovaskular
Karbon monoksida berikatan dengan hemoglobin yang memodifikasi

33
konformasi dan mengurangi kapasitasnya untuk mentransfer oksigen (Badman
dan Jaffe, 1996). Ketersediaan oksigen yang berkurang ini dapat mempengaruhi
fungsi organ yang berbeda (dan terutama organ yang mengonsumsi oksigen
tinggi seperti otak dan jantung), yang mengakibatkan gangguan konsentrasi,
refleks yang lambat, dan kebingungan. Terlepas dari peradangan paru-paru,
perubahan peradangan sistemik dipengaruhi oleh partikel, yang mempengaruhi
koagulasi darah yang sama (Riediker et al., 2004). Polusi udara yang
menyebabkan iritasi paru-paru dan perubahan dalam pembekuan darah dapat
menyumbat pembuluh darah (jantung), yang menyebabkan angina atau bahkan
pada pelanggaran miokard (Vermylen et al., 2005). Gejala seperti takikardia,
peningkatan tekanan darah dan anemia karena efek penghambatan pada
hematopoiesis telah diamati sebagai konsekuensi dari polusi logam berat
(khususnya merkuri, nikel dan arsenik) (Huang dan Ghio, 2006). Akhirnya,
studi epidemiologi telah mengaitkan paparan dioksin dengan peningkatan
mortalitas yang disebabkan oleh penyakit jantung iskemik, sementara pada
tikus, ditunjukkan bahwa logam berat juga dapat meningkatkan kadar
trigliserida (Dalton et al., 2001).

c. Sistem Saraf
Sistem saraf terutama dipengaruhi oleh logam berat (timbal, merkuri dan
arsenik) dan dioksin. Neurotoksisitas yang mengarah ke neuropati, dengan
gejala seperti gangguan memori, gangguan tidur, kemarahan, kelelahan,
tremor tangan, penglihatan kabur, dan bicara tidak jelas, telah diamati setelah
arsenik, paparan timbal dan merkuri (Ewan dan Pamphlett, 1996; Ratnaike,
2003) . Terutama, paparan timbal menyebabkan cedera pada sistem dopamin,
sistem glutamat, dan kompleks reseptor N-metil-D-Aspartat (NMDA), yang
memainkan peran penting dalam fungsi memori (Lasley dan Gilbert, 2000;
Lasley et al., 2001) . Merury juga bertanggung jawab untuk kasus-kasus
tertentu dari kanker saraf. Dioksin mengurangi kecepatan konduksi saraf dan

34
gangguan perkembangan mental anak-anak (Thomke et al., 1999; Walkowiak
et al., 2001).
d. Sistem Urinari
Logam berat dapat menyebabkan kerusakan ginjal seperti disfungsi tubular
awal yang dibuktikan dengan peningkatan ekskresi protein dengan berat
molekul rendah, yang berkembang menjadi penurunan laju filtrasi glomerulus
(GFR). Selain itu mereka meningkatkan risiko pembentukan batu atau
nephrocalcinosis (Damek-Poprawa dan Sawicka-Kapusta, 2003; Jarup, 2003;
Loghman-Adham, 1997) dan kanker ginjal (Boffetta et al., 1993; Vamvakas et
al., 1993) .
e. Sistem Pencernaan
Dioksin menginduksi kerusakan sel hati (Kimbrough et al., 1977), seperti
yang ditunjukkan oleh peningkatan kadar enzim tertentu dalam darah (lihat
diskusi berikut tentang mekanisme aksi seluler yang mendasari), serta kanker
gastrointestinal dan hati (Mandal, 2005).
f. Paparan selama Kehamilan
Penting untuk menyebutkan bahwa polusi udara juga dapat mempengaruhi
perkembangan janin (Schell et al., 2006). Paparan ibu terhadap logam berat
dan terutama untuk memimpin, meningkatkan risiko aborsi spontan dan
mengurangi pertumbuhan janin (persalinan prematur, berat lahir rendah). Ada
juga bukti yang menunjukkan bahwa paparan timbal orang tua juga
bertanggung jawab untuk malformasi kongenital (Bellinger, 2005), dan lesi
pada sistem saraf yang berkembang, menyebabkan gangguan penting pada
kemampuan motorik dan kognitif bayi baru lahir (Garza et al., 2006).
Demikian pula, dioksin ditemukan ditransfer dari ibu ke janin melalui
plasenta. Mereka bertindak sebagai pengganggu endokrin dan mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan sistem saraf pusat janin (Wang et al., 2004).
Dalam hal ini, TCDD dianggap sebagai racun perkembangan pada semua
spesies yang diperiksa.

35
Gambar 4. Mekanisme Dasar Karsinogenesis

2.2. Pengendalian Pencemaran Lingkungan dan Dampaknya terhadap Kesehatan


Upaya pengendalian pencemaran lingkungan khususnya udara saat ini masih
bersifat sektoral, baik legislatif maupun institusinya . Peraturan perundangan dalam
kaitannya dengan upaya penanggulangan pencemaran yang bersifat nasional adalah
Undang - Undang no. 4 tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan lingkungan
Hidup. Beberapa peraturan tentang upaya pengendalian pencemaran misalnya yang
diterapkan untuk: Sektor industri, Sektor pertambangan, Sektor transportasi,
Teknologi pengendalian pencemaran Upaya teknologi pengendalian pencemaran
udara dapat dilakukan melalui: Pengendalian pada sumbernya, meliputi
pengendalian pencemaran debupartikel, gas, dan buangan kendaraan bermotor
Pengendalian lingkungan, usaha pengendalian pencemaran perlu dilengkapi dengan
usaha teknik pengendalian agar sesuai dengan fungsinya1.

2.2.1. Pencegahan Dan Pengendalian Polusi Udara


Pengendalian pencemaran udara dapat dilakukan melalui: Penelitian dan
pemantauan, Pengendalian pengelolaan perlu mempertimbangkan keserasian antara

36
faktor sumber emisi, dampak,kondisi sosial, ekonomi, dan politik serta melakukan
pengukuran lapangan sesuai dengan kondisi. Langkah pertama, dalam pengelolaan
pencemaran udara adalah dengan melakukan pengkajian/identifikasi mengenal
macam sumber, model dan pola penyebaran serta pengaruhnya / dampaknya.
Sumber pencemaran udara yang sering dikenal dengan sumber emisi adalah tempat
dimana pencemaran udara mulai dipancarkan keudara. Model dan pola penyebaran
dapat diperkirakan melalui studi pengenai kondisi fisik sumber (tinggi cerobong,
bentuk, lubang pengeluaran dan besarnya emisi), kondisi awal kualitas udara
setempat (latar belakang), kondisi meteorologi dan topografi. Studi dampak
pencemaran udara dilakukan terhadap kesehatan manusia, hewan dan tumbuhan,
material, estetika dan terhadap kemungkinan adanya perubahan iklim setempat
(lokal) maupun regional. Langkah selanjutnya adalah mengetahui dan
mengkomunikasikan tentang pentingnya pengelolaan pencemaran udara dengan
mempertimbangkan keadaan sosial lingkungannya, yang behubungan dengan
demografi, kondisi sosial ekonomi, sosial budaya dan psikologis serta pertimbangan
ekonomi, juga perlunya dukungan politik, baik dari segi hukum, peraturan,
kebijakan maupun administrasi untuk melindungi pelaksanaan pemantauan,
pengendalian dan pengawasan. Untuk melakukan pengukuran lapangan dalam
rangka pemantauan pencemaran udara diperlukan pemilihan metoda secara tepat
sesuai dengan kemampuan jaringan pengamatan, penempatan peralatan yang
diperlukan untuk mengambil sampel dan kebutuhan peralatan beserta ahlinya untuk
keperluan analisis.

37
Gambar 5. Pengendalian Pencemaran Udara

Metode pengendalian polusi udara dapat dibagi menjadi dua kategori: kontrol
emisi partikulat dan kontrol emisi gas. Istilah partikulat mengacu pada partikel kecil
materi seperti asap, jelaga, dan debu yang dilepaskan selama industri, pertanian,
atau kegiatan lainnya. Emisi gas adalah produk industri seperti sulfur dioksida,
karbon monoksida, dan oksida nitrogen yang juga dikeluarkan selama berbagai
operasi manufaktur.
a. Kontrol partikulat, metode untuk kontrol partikulat cenderung beroperasi
berdasarkan prinsip umum. Partikel padat dipisahkan dari gas di mana mereka
terkandung oleh prosedur fisik seperti melewati ruang pengendapan. Berikut ini
adalah alat alat yang digunakan sebagai pengendali patrikulat2:
1. Gravity Settling Chambers

Gambar 6. Gravity Settling Chambers


Alat diatas digunakan sebagai penangkap debu awal untuk
menghilangkan (menangkap) partikel dengan ukuran besar. Prinsip

38
penyisihan partikulat dalam Gravity Settler adalah gas yang mengandung
partikulat dialirkan melalui suatu ruang (chamber) dengan kecepatan rendah
sehingga memberikan waktu yang cukup bagi partikulat untuk mengendap
secara gravitasi ke bagian pengumpul debu (dust collecting hoppers).
2. Cyclone (Mechanical Collector)
Menyisihkan partikulat dengan gaya inersia partikel, dimana udara
berputar seperti siklon.

Gambar 7. Cyclone (Mechanical Collector)


3. Wet Scrubbers
Alat ini menggunakan gaya inersia partikulet dan droplet untuk
mentransfer partikulat dari aliran gas ke liquid.

Gambar 8. Wet Scrubbers

4. Electrostatic precipitator (ESP)


Alat ini menggunakan medan listrik voltase tinggi untuk memberikan
muatan listrik terhadap partikulat. Partikulat yang sudah bermuatan bergerak

39
melewati permukaan pelat pengumpul yang bermuatan berlawanan, sehingga
partikulat akan tertarik dan menempel di pelat pengumpul.

Gambar 9. Electrostatic precipitator (ESP)


b. Kontrol Emisi Gas
1. Absorpsi, mekanisme dimana satu atau lebih zat pencemar dalam aliran gas
dieliminasi dengan cara melarutkannya dalam liquid (cair).

Gambar 10. Kontrol Emisi Gas dengan Proses Absorpsi


2. Adsorpsi : Proses dimana gas/uap pencemar tertahan pada permukaan
padat

Gambar 11. Kontrol Emisi Gas dengan Proses Adsorpsi

40
3. Kondensasi, Proses penyisihan gas pencemar dengan cara merubah fasa
(gas ke cair) dengan metode penurunan temperatur/kenaikan
tekanan/keduanya.

Gambar 12. Kontrol Emisi Gas dengan Proses Kondensasi


4. Biofilter, Proses penyisihan gas pencemar dengan memanfaatkan
aktivitas mikroorganisme, (biasanya untuk menghilangkan bau).

Gambar 13. Kontrol Emisi Gas dengan Proses Biofilter

Selain cara cara yang dapat digunakan sebagai pengendalian polusi


udara, terdapat kebijakan pemerintah dalah pengendalian polusi udara
sebagai berikut:

1. Mendorong kebijaksanaan energi dalam penggunaan bahan bakar yang


lebih bersih bagi lingkungan hidup;
2. Mengembangkan teknologi bersih dalam proses industri yang
terencana;
3. Mengembangkan penaatan lingkungan hidup bagi kegiatan
pembangunan yang potensial pencemar udara;
4. Menumbuhkan kesadaran dan partisipasi masyarakat.
5. Pengujian emisi gas buang pada kendaraan bermotor.

41
2.2.2. Dampak Polusi Udara terhadap Kesehatan pada Level Mitigasi dan
Adaptasi
Ketika polutan udara memasuki tubuh, mereka dapat memiliki efek pada
berbagai organ dan sistem yang berbeda, bukan hanya pada sistem
pernapasan. Adapun berbagai dampak pencemaran udara bagi kesehatan
manusia, antara lain:
a. Karbon monoksida (CO)
CO mampu mengikat Hb (hemoglobin) sehingga pasokan O2 ke jaringan
tubuh terhambat. Hal tersebut menimbulkan gangguan kesehatan berupa;
rasa sakit pada dada, nafas pendek, sakit kepala, mual, menurunnya
pendengaran dan penglihatan menjadi kabur. Selain itu, fungsi dan
koordinasi motorik menjadi lemah. Bila keracunan berat (70 – 80 % Hb
dalam darah telah mengikat CO), dapat menyebabkan pingsan dan diikuti
dengan kematian3.
b. Nitrogen dioksida (SO2)
SO2 dapat menyebabkan timbulnya serangan asma. Asma adalah suatu
kondisi peradangan jangka panjang dari saluran udara penghantar paru-
paru, menyebabkan batuk, mengi, sesak dada, dan sesak napas. Gejala
asma pada mereka yang memiliki kondisi tersebut dapat diperburuk oleh
berbagai stresor, termasuk infeksi virus pernapasan, paparan alergen, dan
episode polusi udara yang meningkat.
c. Hidrokarbon (HC)
Ada bukti kuat untuk efek paparan jangka pendek dan jangka panjang
terhadap polusi udara pada CVD pada orang dewasa.  Efek Paparan Jangka
Panjang terhadap Polusi Udara Sekitar pada Morbiditas Kardiovaskular:
Bukti Mekanis, merinci mekanisme efek polutan udara karena berdampak
pada morbiditas kardiovaskular. Risiko gagal jantung, infark miokard
(serangan jantung), aritmia (irama jantung yang tidak normal) dan stroke
meningkat baik oleh paparan jangka pendek dan jangka panjang terhadap

42
polusi udara pada individu yang rentan. Ini termasuk orang tua dan
individu dengan kondisi kardiovaskular dan pernapasan yang sudah ada
sebelumnya.
d. Chlorofluorocarbon (CFC)
Menyebabkan melanoma (kanker kulit) khususnya bagi orang-orang
berkulit terang, katarak dan melemahnya sistem daya tahan tubuh.
e. Timbal (Pb)
Menyebabkan gangguan pada tahap awal pertumbuhan fisik dan mental
serta mempengaruhi kecerdasan otak.
f. Ozon (O3)
Menyebabkan iritasi pada hidung, tenggorokan terasa terbakar dan
memperkecil paru-paru.
g. Nox
Menyebabkan iritasi pada paru-paru, mata dan hidung.

2.2.3. Identifikasi Berbagai Lembaga/Kementerian/Institusi Yang Bisa Berperan


Aktif dalam Pencegahan dan Pengendalian Polusi Udara
Berdasarkan UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, Perpres RI No. 16/2015 (Pasal 2, 3, 4), Permen LHK No.
P.18/MenLHK-II/2015 (Bab I, II, III), berikut adalah lembaga-lembaga yang
berkaitan dengan pengelolaan lingkungan di Indonesia.

1. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)


Dipimpin oleh seorang menteri dan bertanggung jawab langsung kepada
Presiden. Fungsinya membantu Presiden dalam penyelenggaraan urusan
pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan kehutanan. KLHK memiliki
beberapa Direktorat Jenderal yang mengurus bidang berbeda:
a) Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan
b) Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem

43
c) Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung
d) Pengelolaan Hutan Produksi Lestari
e) Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan
f) Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Beracun Berbahaya
g) Pengendalian Perubahan Iklim
h) Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan
i) Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan

2. Badan Lingkungan Hidup (BLH)


Setiap daerah/provinsi memiliki BLH sendiri dan bertanggung jawab
kepada kepala daerah/provinsi masing-masing. Misalnya, BLH tingkat
provinsi bertanggung jawab kepada gubernur, sedangkan BLH tingkat
kabupaten/kota bertanggung jawab pada bupati/walikota. Fungsinya kurang
lebih sama, yakni membantu kepala daerah dalam penyelenggaraan
perlindungan dan pelestarian lingkungan hidup di lingkup daerah masing-
masing secara otonomi.

3. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)


Bekerja sama dengan KLHK dalam pengawasan lingkungan hidup berskala
nasional dengan mencegah terjadinya kerusakan lingkungan akibat
pemanfaatan kekayaan alam negara. Bertanggung jawab dalam
pengembangan sumber energi baru dan terbarukan untuk menjamin
lingkungan yang bersih.

4. Badan Restorasi Gambut (BRG)


Dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 1/2016, lembaga non-
struktural ini bertanggung jawab kepada Presiden dan dipimpin oleh
seorang kepala. Fungsi BRG ialah untuk koordinasi dan fasilitasi restorasi
lahan gambut di berbagai provinsi di Indonesia: Riau, Jambi, Sumatera

44
Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan
Papua.

5. Badan Informasi Geospasial (BIG)


Geospasial adalah lokasi atau posisi objek yang berada di bawah, pada,
atau di atas permukaan bumi yang mengacu pada sistem koordinat
nasional. Sebelumnya, BIG bernama Badan Koordinasi Survei dan
Pemetaan Nasional (Bakosurtanal). Dalam menjalankan kegiatan survei
dan pemetaan untuk menyediakan informasi geospasial, BIG dipimpin oleh
seorang kepala yang bertanggung jawab kepada Presiden melalui
koordinasi Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional.

6. Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional


Fungsinya sebagai perumus dan pelaksana kebijakan nasional di bidang
tata ruang, infrastruktur keagrariaan/pertanahan, hubungan hukum
keagrariaan/pertanahan, penataan agraria/pertanahan, pengadaan tanah,
pengendalian pemanfaatan ruang dan penguasaan tanah, penanganan
masalah agraria/pertanahan, serta pemanfaatan ruang dan tanah.

7. Kementerian Dalam Negeri


Kementerian ini memiliki tugas membuat peraturan dan menerapkan
kebijakan pengelolaan barang milik/kekayaan negara. Setelah itu,
bertanggung jawab dalam pengawasan dan pelaksanaan peraturan tersebut.

8. Kementerian Pertanian
Pertanian sangat erat hubungannya dengan lingkungan hidup. Maka dari
itu, pengelolaan barang milik/kekayaan negara menjadi tanggung jawab
Kementan sebagai pembantu Presiden pada skala nasional.

9. Kementerian PU

45
Bertanggung jawab dalam sistem pengelolaan air limbah dan drainase
lingkungan serta persampahan dan pembinaan jasa konstruksi. Tugasnya
mencakup perumusan, penetapan, serta pelaksanaan kebijakan.

10. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)


Menyusun rencana pembangunan nasional sebagai acuan penetapan
program dan kegiatan yang diadakan oleh
kementerian/lembaga/pemerintah daerah yang berkaitan dengan
lingkungan. Semua kegiatan akan direncanakan dengan baik melalui
analisis investasi proyek pembangunan.

11. Kementerian Keuangan


Setiap program pembangunan, perlindungan, dan pelestarian lingkungan
pasti butuh dana. Kementerian inilah yang mengatur dan bertanggung
jawab atas perumusan dan pelaksanaan anggaran belanja terkait program
pelestarian lingkungan.

12. Dirjen Pajak


Sumber dana yang digunakan untuk perlindungan dan pelestarian
lingkungan hidup bersumber dari pajak yang dibayarkan oleh masyarakat.
Dalam hal ini, pengumpulan dana dari rakyat merupakan tanggung jawab
Dirjen Pajak. Maka dari itu, taatlah membayar pajak demi pembangunan
negara.

13. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)


Meski tidak secara langsung terlibat dalam pengelolaan lingkungan hidup
dan kehutanan, KPK memiliki posisi sebagai penyeimbang yang
mendukung percepatan kawasan hutan melalui harmonisasi kebijakan,
penegakan hukum, pemantauan perizinan, dan segala hal yang berkaitan
dengan perlindungan dan pelestarian lingkungan. Segala bentuk
penyelewengan dana akan diusut oleh KPK.

46
2.2.4. Cara Berkontribusi Dalam Pencegahan Dan Pengendalian Polusi Udara
dan Dampaknya

Ada berbagai upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi dampak dan
mengurangi potensi terjadinya polusi udara, diantaranya:
a. Mengembangkan teknologi yang ramah lingkungan dan dapat
diperbaharui diantaranya Fuel Cell dan Solar Cell.
b. Menghemat Energi yang digunakan.
c. Menjaga kebersihan lingkungan tempat tinggal.
d. Menempatkan daerah industri atau pabrik jauh dari daerah perumahan
atau pemukiman penduduk, khususnya limbah gas diatur sehingga tidak
mencemari lingkungan atau ekosistem.
e. Pengawasan terhadap penggunaan jenis-jenis pestisida dan zat kimia lain
yang dapat menimbulkan pencemaran lingkungan.
f. Memperluas gerakan penghijauan, Tidak melakukan penebangan hutan,
pohon dan tumbuhan liar secara sembarangan.
g. Tindakan tegas terhadap pelaku pencemaran lingkungan.
h. Memberikan kesadaran terhadap masyarakat tentang arti lingkungan
hidup sehingga manusia lebih mencintai lingkungan hidupnya dengan
mensosialisasikan pelajaran lingkungan hidup (PLH) di sekolah dan
masyarakat.
i. Menanam dan merawat tumbuhan di sekitar lingkungan kita. Berapa pun
luas area kosong di rumah atau di tempat kerja kita, tanamilah dengan
tumbuhan. Hal ini berguna untuk menyejukkan dan mengurangi jumlah
polusi udara di sekitar kita.
j. Gunakan transportasi umum. Jika tidak perlu sekali, simpan kendaraan
pribadi Anda di rumah dan gunakan transportasi umum yang ada. Ini akan
membantu mengurangi jumlah kendaraan yang membuang polusinya
setiap hari ke angkasa.

47
k. Gunakan kendaraan yang ramah lingkungan seperti becak, sepeda, dokar
atau delman. Jika menggunakan mobil atau motor, sebaiknya selalu
lakukan pengecekan supaya mesin kendaraan bagus dan mengurangi
polusi udara dengan memastikan emisi pembuangan di kendaraan Anda
baik.
l. Mengurangi pemakaian bahan bakar fosil terutama yang mengandung
asap serta gas-gas polutan lainnya agar tidak mencemarkan lingkungan.
m. Melakukan penyaringan asap sebelum asap dibuang ke udara dengan cara
memasang bahan penyerap polutan atau saringan.
n. Mengalirkan gas buangan ke dalam air atau dalam lauratan pengikat
sebelum dibebaskan ke air. Atau dengan cara penurunan suhu sebelum
gas buang ke udara bebas.
o. Mewajibkan dilakukannya AMDAL (Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan) bagi industri atau usaha yang menghasilkan limbah.
p. Tidak membakar sampah di pekarangan rumah.
q. Tidak menggunakan kulkas yang memakai CFC (freon), Menghentikan
penggunaan busa plastik yang mengandung CFC, dan membatasi
penggunaan AC dalam kehidupan sehari-hari.
r. Tidak merokok.
s. Mengurangi atau menghentikan penggunaan zat aerosol dalam
penyemprotan ruang.

48
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Pencemaran Lingkungan adalah adanya sebuah konsentrasi suatu bahan


pencemar dalam media yang bisa berupa air atau cairan ataupun udara. Nilai
Ambang Batas pencemaran merupakan besarnya kadar bahan pencemar di
udara yang masih tidak membahayakan kehidupan makhluk hidup di sekitarnya
yang sebaiknya tidak dilampaui. Namun apabila nilai ambang batas pencemaran
yang sudah ditetapkan untuk masing-masing polutan dilampaui akan
menimbulkan masalah pada komponen lingkungan tertentu, terlebih lagi
berbagai masalah yang dapat berdampak bagi kesehatan manusia. Terdapat
berbagai upaya yang telah dilakukan stakeholder terkait dalam pencegahan dan
pengendalian lingkungan, seperti melalui kontrol emisi partikulat dan kontrol
emisi gas.

3.2. Saran
Memperhatikan kondisi di atas, berbagai strategi perlu terus diupayakan guna
menyadarkan betapa pentingnya upaya terhadap pelestarian lingkungan
(konservasi). Semua lapisan masyarakat baik di pedesaan maupun perkotaan, di
pegunungan maupun pesisir mempunyai kewajiban untuk melestarikan
lingkungan. Salah satu di antara upaya pelestarian lingkungan yaitu
meminimalkan pencemaran lingkungan (polusi). Salah satu upaya menumbuh

49
kembangkan kepedulian masyarakat terhadap upaya meminimalkan polusi
adalah peningkatan wawasan masyarakat untuk meminimalkan pencemaran
udara dan lingkungan sekitar, serta adanya peningkatan implementasi hukuman
yang tepat untuk pelaku pencemaran lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA

Andrews WA. (1972). A Guide to the Study of Environmental Pollution. New Jersey:
Prentice-Hall, Inc.
Brook RD, Rajagopalan S, Pope CA 3rd et al. Particulate matter air pollution and
cardiovascular disease: An update to the scientific statement from the American
Heart Association. Circulation 2010; 121 (21): 2331-2378.
Benor James, 1994. Agricultur Extension The Trainning and Vis System.
Washington: The World Bank
Chiras Daniel D 1991, Environmental Science: Action for A Sustainable
Future Redwood City: The Benyamin/Communigs Publishing Company Inc
Darmono. (2001). Lingkungan Hidup dan Pencemaran: Hubungannya dengan
Toksikologi Senyawa Logam. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Ginting, Perdana. 2007. Sistem Pengelolaan Lingkungan dan Limbah Industri.
Bandung: CV. Krama Widya.
Hardjasumantri Koesnadi, 1999. Hukum Tata Lingkungan. Yogyakarta:
UGM Press.
Kemen LHK RI. Hutan Adat dan Hutan Hak. Peratur. Menteri LHK 35 (2019).
Miller, GT, Jr. (1979). Living in the Environment. 2nd Edition. Belmont, California:
Wadsworth Publishing Company.
Ratnani, R.D. Teknik Pengendalian Pencemaran Udara yang Diakibatkan oleh
Partikel. Momentum. Vol. 4, No. 2, Oktober 2008 : 27 - 32

50
Odum, EP. (1971). Fundamentals of Ecology. 3rd edition. Tokyo: Toppan Company,
Ltd.
Usher, Robin and Bryant, 1989. Adult Education as Theory Practice and Research:
The Captivetriangle. London and New York: Routledge

Vesilind, P. Aarne. (1978). Environmental Pollution and Control. 5th printing.


Durham, North Carolina: Ann Arbor Science Publishing Inc.

Wardhana, Wisnu Arya. (2001). Dampak Pencemaran Lingkungan. Edisi Revisi.


Yogyakarta: Penerbit Andi. XWidianjaya, A., Handoko, R. N., Firmanda, D.,
Ardiansyah, A. Y., Widi, R., Studi, P., & Komputer, T. (n.d.). “Green Map”
Sistem Monitoring Dan Peta Visualisasi Distribusi Kualitas Udara Berbasis
Web.
Yang, C.-Y., Chen, Y.-S., Chiu, H.-F., & Goggins, W. B. (2005). Effects of Asian
dust storm events on daily stroke admissions in Taipei, Taiwan. Environmental
Research, 99(1), 79–84. https://doi.org/10.1016/j.envres.2004.12.009
Zappi, P., Bales, E., Park, J. H., Griswold, W., & Šimuni, T. (2012). The CitiSense
Air Quality Monitoring Mobile Sensor Node. Proceedings of the 11th
ACM/IEEE Conference on Information Processing in Sensor Networks.

51

Anda mungkin juga menyukai