Anda di halaman 1dari 17

Jeanny Ivones available ^_^

 E-Book Gratis!
 Galery Photo
 Materi Kuliah
 Tentang aku

Akan ku tulis hal yang ku suka dan mudah-mudahan


bermanfaat bagi kita semua.

PENCEGAHAN KEKAMBUHAN PADA KLIEN DENGAN


GANGGUAN JIWA

Juni 8, 2013

Pengertian Kekambuhan

Kekambuhan adalah suatu keadaan dimana timbulnya kembali suatu penyakit yang sudah
sembuh dan disebabkan oleh berbagai macam faktor penyebab. Pencegahan kekambuhan
adalah mencegah terjadinya peristiwa timbulnya kembali gejala-gejala yang sebelumnya
sudah memperoleh kemajuan. Pada gangguan jiwa kronis diperkirakan mengalami
kekambuhan 50% pada tahun pertama, dan 79% pada tahun ke dua. Kekambuhan biasa
terjadi karena adanya kejadian-kejadian buruk sebelum mereka kambuh.

 PREVALENSI KEKAMBUHAN

Masalah kesehatan jiwa atau gangguan jiwa juga masih menjadi masalah kesehatan di
Indonesia. Data Profil Kesehatan Indonesia (2008) menunjukkan bahwa dari 1000 penduduk
terdapat 185 penduduk mengalami gangguan jiwa. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) Tahun 2007, diketahui bahwa prevalensi  gangguan jiwa per 1000 anggota rumah
tangga terdapat 140/1000 penduduk usia 15 tahun ke atas, dan diperkirakan sejak awal tahun
2009 jumlah penduduk yang mengalami gangguan jiwa sebesar 25% dari populasi penduduk
di Indonesia.

Secara global angkan kekambuhan pada pasien gangguan jiwa ini mencapai 50% hingga 92%
yang disebabkan karena ketidakpatuhan dalam berobat maupun karena kurangnya dukungan
dan kondisi kehidupan yang rentan dengan meningkatan stress.(Sheewangisaw, 2012)
DAMPAK KEKAMBUHAN

Dampak gangguan jiwa bagi keluarga sangat besar, apalagi ada beberapa anggota keluarga
yang mengalami gangguan jiwa. Dampak dari anggota yang menderita gangguan jiwa bagi
keluarga diantaranya keluarga belum terbiasa dengan adanya gangguan jiwa. Dampak-
dampak gangguan jiwa bagi keluarga, seperti:

Penolakan

Sering terjadi dan timbul ketika ada keluarga yang menderita gangguan jiwa, pihak anggota
keluarga lain menolak penderita tersebut dan menyakini memiliki penyakit berkelanjutan.
Selama episode akut anggota keluarga akan khawatir dengan apa yang terjadi pada mereka
cintai. Pada proses awal, keluarga akan melindungi orang yang sakit dari orang lain dan
menyalahkan dan merendahkan orang yang sakit untuk perilaku tidak dapat diterima dan
kurangnya prestasi. Sikap ini mengarah pada ketegangan dalam keluarga, dan isolasi dan
kehilangan hubungan yang bermakna dengan keluarga yang tidak mendukung orang yang
sakit.

Tanpa informasi untuk membantu keluarga belajar untuk mengatasi penyakit mental,
keluarga dapat menjadi sangat pesimis tentang masa depan. Sangat penting bahwa keluarga
menemukan sumber informasi yang membantu mereka untuk memahami bagaimana penyakit
itu mempengaruhi orang tersebut. Mereka perlu tahu bahwa dengan pengobatan, psikoterapi
atau kombinasi keduanya, mayoritas orang kembali ke gaya kehidupan normal.

Stigma

Informasi dan pengetahuan tentang gangguan jiwa tidak semua dalam anggota keluarga
mengetahuinya. Keluarga menganggap penderita tidak dapat berkomunikasi layaknya orang
normal lainnya. Menyebabkan beberapa keluarga merasa tidak nyaman untuk mengundang
penderita dalam kegiatan tertentu. Hasil stigma dalam begitu banyak di kehidupan sehari-
hari, Tidak mengherankan, semua ini dapat mengakibatkan penarikan dari aktif berpartisipasi
dalam kehidupan sehari-hari.

Frustrasi, Tidak berdaya dan Kecemasan

Sulit bagi siapa saja untuk menangani dengan pemikiran aneh dan tingkah laku aneh dan tak
terduga. Hal ini membingungkan, menakutkan dan melelahkan. Bahkan ketika orang itu
stabil pada obat, apatis dan kurangnya motivasi bisa membuat frustasi. Anggota keluarga
memahami kesulitan yang penderita miliki. Keluarga dapat menjadi marah marah, cemas, dan
frustasi karena berjuang untuk mendapatkan kembali ke rutinitas yang sebelumnya penderita
lakukan.

Kelelahan dan Burnout

Seringkali keluarga menjadi putus asa berhadapan dengan orang yang dicintai yang memiliki
penyakit mental. Mereka mungkin mulai merasa tidak mampu mengatasi dengan hidup
dengan orang yang sakit yang harus terus-menerus dirawat. Namun seringkali, mereka
merasa terjebak dan lelah oleh tekanan dari perjuangan sehari-hari, terutama jika hanya ada
satu anggota keluarga mungkin merasa benar-benar di luar kendali. Hal ini bisa terjadi karena
orang yang sakit ini tidak memiliki batas yang ditetapkan di tingkah lakunya. Keluarga dalam
hal ini perlu dijelaskan kembali bahwa dalam merawat penderita tidak boleh merasa letih,
karena dukungan keluarga tidak boleh berhenti untuk selalu men-support penderita.

Duka

Kesedihan bagi keluarga di mana orang yang dicintai memiliki penyakit mental. Penyakit ini
mengganggu kemampuan seseorang untuk berfungsi dan berpartisipasi dalam kegiatan
normal dari kehidupan sehari-hari, dan penurunan yang dapat terus-menerus. Keluarga dapat
menerima kenyataan penyakit yang dapat diobati, tetapi tidak dapat disembuhkan. Keluarga
berduka ketika orang yang dicintai sulit untuk disembuhkan dan melihat penderita memiliki
potensi berkurang secara substansial bukan sebagai yang memiliki potensi berubah.

Kebutuhan Pribadi dan Mengembangkan Sumber Daya Pribadi

Jika anggota keluarga memburuk akibat stres dan terlalu banyak pekerjaan, dapat
menghasilkan anggota keluarga yang sakit tidak memiliki sistem pendukung yang sedang
berlangsung. Oleh karena itu, keluarga harus diingatkan bahwa mereka harus menjaga diri
secara fisik, mental dan spiritual yang sehat. Memang ini bisa sangat sulit ketika menghadapi
anggota keluarga yang sakit mereka. Namun, dapat menjadi bantuan yang luar biasa bagi
keluarga untuk menyadari bahwa kebutuhan mereka tidak boleh diabaikan.

 PENYEBAB KEKAMBUHAN

Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya kekambuhan  pada penderita gangguan jiwa
menurut Keliat, 1996 adalah :

1. Faktor penderita.

Penderita yang tidak teratur dalam meminum obat dapat menyebabkan kekambuhan
gangguan jiwa. Menurut penelitian, 25%-50% penderita yang pulang dari rumah sakit jiwa
tidak meminum obat secara teratur.

1. Faktor dokter.

Pemakaian obat secara teratur dapat mengurungi kekambuhan, tetapi pemakain obat
neuroleptik dalam jangka lama dapat menyebabkan efek samping berupa Tardive Diskinesia
(gerakan tidak terkontrol)yang dapat mengganggu hubungan social.

1. Factor penanggung jawab klien ( case manajer)

Setelah klien pulang kerumah setelah dirawat di Rumah sakit, maka perawat Puskesmas
bertanggung jawab terhadap adaptasi klien dirumah

1.  Faktor keluarga.

Menurut penelitian (di Inggris dan Amerika),  keluarga dengan ekspresi emosi yang tinggi
seperti bermusuhan, mengkritik, tidak ramah, banyak menekan dan menyalahkan,
menyebabkan 57% penderita kembali kambuh dalam waktu 9 bulan. Sebaliknya keluarga
dengan ekspresi emosi yang rendah, hanya 17% penderita yang kambuh. Selain itu faktor
yang berpengaruh juga adalah perubahan stres, baik yang menyenangkan maupun yang
menyedihkan.

1. Faktor masyarakat.

Faktor masyarakat lebih banyak berkaitan dengan stigma negatif yang tertuju kepada
penderita gangguan kejiwaan. Penderita dijuluki orang gila atau stres, dianggap
membahayakan, menakutkan, dan menjadi bahan olok-olokan. Semua stigma itu, justru
mempersempit kehidupan sosial mereka yang semestinya dibantu dan diperbaiki. Mereka
menjadi sulit mendapat pekerjaan, merasa malu bergaul, takut salah, dan merasa tidak
berguna.

Menurut Murphy,MF & Moller, MD (1993), faktor resiko yang menyebabkan kekambuhan
pasien gangguan jiwa adalah :

1. Faktor resiko kesehatan.


1. Gangguan sebab dan akibat berpikir.
2. Gangguan proses informasi.
3. Gizi buruk.
4. Kurang tidur.
5. Keletihan.
6. Kurang olah raga.
7. Efek samping pengobatan yang tidak dapat ditoleransi.
8. Faktor resiko lingkungan.
1. Kesulitan keuangan.
2. Kesulitan keuangan.
3. Perubahan yang menimbulkan stress dengan peristiwa kehidupan.
4. Ketrampilan kerja yang buruk.
5. Tidak memiliki transportasi.
6. Ketrampilan sosial yang buruk, isolasi, social, dan kesepian.
7. Kesulitan interpersonal.
8. Faktor  resiko perilaku dan emosional.
1. Tidak ada kontrol dan perilaku agresif.
2. Perubahan mood.
3. Pengobatan dan penatalaksanaan gejala yang buruk.
4. Konsep diri yang rendah.
5. Penampilan dan tindakan yang berbeda.
6. Perasaan putus asa.

 E.     PENCEGAHAN KEKAMBUHAN

1.
1. Aktivitas teratur/terjadual
2. Perhatikan kegiatan sehari-hari pasien
3. Jadualkan kegiatan sehari-hari pasien (menyapu, mengepel, mencuci pakaian
sendiri, dll)
4. Beri pujian jika pasien berhasil
1. Minum obat teratur dan sesuai aturan
2. Perhatikan dosis, cara, dan waktu minum obat
3.  Dorong pasien untuk meminum obat secara mandiri
4. Beri pujian jika pasien bisa minum obat secara mandiri
5.  Kontrol teratur
6. Lakukan kontrol secara teratur ke RS sebelum obat habis
1. Dukungan keluarga
2. Dukung pasien dalam segala aktivitas yang positif
3. Tetap memberi semangat kepada pasien
4. Dukung pasien untuk kontrol teratur

 DAFTAR PUSTAKA

Nadeed, M., Akter, K. A., Tabassum, F., Malwa, R., & Rahman, M. (2012). Factors
contributing the outcome of Schizophrenia in developing and developed countries: A brief
review. International Current Pharmateutical Journal, 1(2), 81-85.

Sheewangisaw, Z. (2012). Prevalence and Associated Factors of Relapse in Patent with


Schizophernia At Amanuel Mental Specialized Hospital. Congress on Public Health, 1(1), 1-
10.
 

Cynthia M. Taylor, Diagnosis Keperawatan dengan Rencana Asuhan, EGC, Jakarta, 2010

Intansari Nurjanah, Pedoman Gangguan Jiwa, Mocomedia, Yogyakarta, 2004

Nanda International, Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2009-2011, EGC,


Jakarta, 2010.

127
Berdasarkan
T
abel 3.9.1, terlihat bahwa prevalensi psikosis tertinggi di DI Yogyakarta
dan Aceh
(masing
-
masing 2,7‰
), sedangkan yang te
rendah di Kalimantan Bar
at (0,7

). Prevalensi
gangguan jiwa
berat nasional sebesar 1,7 per
mil. Prevalensi gangguan jiwa berat berdasarkan
tempat tinggal dan kuintil indeks kepemilikan dipaparkan pada
buku
Riskesdas
2013 dalam
Angka.
Angka prevalensi seumur hidup skizofrenia di dunia bervariasi berkisar 4
permil sampai dengan
1,4 persen (Lewis
et al
.,2001). Beberapa kepustakaan menyebutkan secara umum prevalensi
skizofrenia sebesar 1 persen penduduk. Selanjutnya dipaparkan proporsi RT
yang pernah
melakukan pemasungan terhadap ART dengan gangguan jiwa berat.
Tabel 3.9.2
Proporsi rumah tangga yang memiliki ARTgangguan jiwa berat yang pernah
dipasung menurut
tempat tinggal dan kuintil indeks
kepemilikan, Indonesia 2013
Karakteristik
RT dengan riwayat pemasungan ART (%)
Tempat tinggal
Perkotaan
10,7
Perdesaan
18,2
Kuintil indeks kepemilikan
Terbawah
19,5
Menengah bawah
17,3
Menengah
12,7
Menengah atas
7,3
Teratas
7,4
Indonesia
14,3

1
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Gangguan jiwa
(
mental
disorder
)
merupakan salah satu dari empat
masalah kesehatan utama di
negara
-
negara maju, moder
n
dan industr
i
penyakit degeneratif, kanker, gangguan jiwa, dan kecelakaan.
Gangguan jiwa
tidak dianggap sebagai gangguan yang menyebabkan kematian
secara
langsung, namun beratnya gangguan tersebut dalam arti
ketidakmampuan
serta invaliditas baik secara individu maupun kelompok akan
menghambat
pembangunan, karena mereka tidak pro
duktif dan tidak efisien
(Hawari,
2006)
.
Kesehatan jiwa bukan sekedar
terbebas dari gangguan jiwa, akan tetapi
merupakan suatu hal yang dibutuhkan oleh semua orang.
Kesehatan jiwa
adalah perasaan sehat dan bahagia serta mampu
mengatasi
masalah
kehidupan
,
dapat menerima orang lain sebagaimana adanya, serta mempunyai
sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain.
(Hawari, 2006)
.
Di Amerika penyakit ini menimpa kurang lebih 1% dari jumlah
penduduk
. Lebih dari 2 juta orang Amerika menderita skizofrenia pada waktu
tertentu, dan 100,000
-
200,000 tahun baru diagnosedevery peopleare. Separuh
dari pasien gangguan jiwa yang di rawat di RS Jiwa adalah pasien
dengan
skizofrenia. Jumlah penduduk Indonesia pad
a tahun 2010, 237,6 juta. Dengan
asumsi angka 1 % tersebut di atas maka jumlah penderita di
Indonesia pada
tahun 2012 ini sekitar 2.377.600 orang
(Januarti, 2008)
.
Departemen Kesehatan menyebutkan jumlah penderita ganggua
n jiwa
berat sebesar 2,5 Juta jiwa, yang diambil dari data RSJ se
-
Indonesi
a.
Sementara itu 10% dar
i
p
opulasi mengalami masalah kesehatan jiwa maka
harus mendapatkan perhatian karena termasuk rawan kesehatan
jiwa.
Di Jawa
Tengah sendiri terdapat 3 orang per
seribu penduduk yang mengalami
gangguan jiwa dan 50% adalah akibat dari kehilangan pekerjaan.
Dengan
demikian dari 32.952.040 penduduk Jawa Tengah terdapat sekitar
98.856
Pencegahan Kekambuhan Gangguan Jiwa

Pe
ncegahan Kekambuhan adalah mencegah terjadinya peristiwa timbulnya kembali gejala-
gejala yang sebelumnya sudah memperoleh kemajuan. Pada gangguan jiwa kronis
diperkirakan mengalami kekambuhan 50% pada tahun pertama, dan 79% pada tahun ke dua.
Kekambuhan biasa terjadi karena adanya kejadian-kejadian buruk sebelum mereka kambuh.

Empat faktor penyebab klien kambuh dan perlu dirawat di rumah sakit, menurut Sullinger
(1988) :

  Klien: Sudah umum diketahui bahwa klien yang gagal memakan obat secara teratur
mempunyai kecenderungan untuk kambuh. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan
25% sampai 50% klien yang pulang dari rumah sakit tidak memakan obat secara
teratur.

  Dokter (pemberi resep): Makan obat yang teratur dapat mengurangi kambuh, namun
pemakaian obat neuroleptic yang lama dapat menimbulkan efek samping Tardive
Diskinesia yang dapat mengganggu hubungan sosial seperti gerakan yang tidak
terkontrol.

  Penanggung jawab klien: Setelah klien pulang ke rumah maka perawat puskesmas
tetap bertanggung jawab atas program adaptasi klien di rumah.

   Keluarga: Berdasarkan penelitian di Inggris dan Amerika keluarga dengan ekspresi


emosi yang tinggi (bermusuhan, mengkritik, tidak ramah, banyak menekan dan
menyalahkan), hasilnya 57% kembali dirawat dari keluarga dengan ekspresi emosi
yang tinggi dan 17% kembali dirawat dari keluarga dengan ekspresi emosi keluarga
yang rendah. Selain itu klien juga mudah dipengaruhi oleh stress yang menyenangkan
(naik pangkat, menikah) maupun yang menyedihkan (kematian/kecelakaan). Dengan
terapi keluarga klien dan keluarga dapat mengatasi dan mengurangi stress. Cara terapi
bisanya: Mengumpulkan semua anggota keluarga dan memberi  kesempatan
menyampaikan perasaan-perasaannya.Memberi kesempatan untuk menambah ilmu
dan wawasan baru kepada klien ganguan jiwa, memfasilitasi untuk hijrah menemukan
situasi dan pengalaman baru.
Beberapa gejala kambuh yang perlu diidentifikasi oleh klien dan keluarganya yaitu :

1. Menjadi ragu-ragu dan serba takut (nervous)

2. Tidak nafsu makan

3. Sukar konsentrasi

4. Sulit tidur

5. Depresi

6. Tidak ada minat

7. Menarik diri

Setelah klien pulang ke rumah, sebaiknya klien melakukan perawatan lanjutan pada
puskesmas di wilayahnya yang mempunyai program kesehatan jiwa. Perawat komuniti yang
menangani klien dapat menganggap rumah klien sebagai “ruangan perawatan”. Perawat,
klien dan keluarga besar sama untuk membantu proses adaptasi klien di dalam keluarga dan
masyarakat. Perawat dapat membuat kontrak dengan keluarga tentang jadwal kunjungan
rumah dan after care di puskesmas.

Keluarga merupakan unit yang paling dekat dengan klien dan merupakan “perawat utama”
bagi klien. Keluarga berperan dalam menentukan cara atau asuhan yang diperlukan klien di
rumah. Keberhasilan perawat di rumah sakit dapat sia-sia jika tidak diteruskan di rumah yang
kemudian mengakibatkan klien harus dirawat kembali (kambuh). Peran serta keluarga sejak
awal asuhan di RS akan meningkatkan kemampuan keluarga merawat klien di rumah
sehingga kemungkinan dapat dicegah.

Pentingnya peran serta keluarga dalam klien gangguan jiwa dapat dipandang dari berbagai
segi. Pertama, keluarga merupakan tempat dimana individu memulai hubungan interpersonal
dengan lingkungannya. Keluarga merupakan “institusi” pendidikan utama bagi individu
untuk belajar dan mengembangkan nilai, keyakinan, sikap dan perilaku. Individu menguji
coba perilakunya di dalam keluarga, dan umpan balik keluarga mempengaruhi individu
dalam mengadopsi perilaku tertentu. Semua ini merupakan persiapan individu untuk berperan
di masyarakat.

Jika keluarga dipandang sebagai suatu sistem maka gangguan yang terjadi pada salah satu
anggota merupakan dapat mempengaruhi seluruh sistem, sebaliknya disfungsi keluarga
merupakan salah satu penyebab gangguan pada anggota. Bila ayah sakit maka akan
mempengaruhi perilaku anak, dan istrinya, termasuk keluarga lainnya. Salah satu faktor
penyebab kambuh gangguan jiwa adalah; keluarga yang tidak tahu cara menangani perilaku
klien di rumah. Klien dengan diagnosa skizofrenia diperkirakan akan kambuh 50% pada
tahun pertama, 70% pada tahun kedua dan 100% pada tahun kelima setelah pulang dari
rumah sakit karena perlakuan yang salah selama di rumah atau di masyarakat.

Share this:

 Twitter
 Facebook

Leave a Reply

Jeanny Ivones available ^_^


 E-Book Gratis!
 Galery Photo
 Materi Kuliah
 Tentang aku

Akan ku tulis hal yang ku suka dan mudah-mudahan


bermanfaat bagi kita semua.

PENCEGAHAN KEKAMBUHAN PADA KLIEN DENGAN


GANGGUAN JIWA

Juni 8, 2013

Pengertian Kekambuhan

Kekambuhan adalah suatu keadaan dimana timbulnya kembali suatu penyakit yang sudah
sembuh dan disebabkan oleh berbagai macam faktor penyebab. Pencegahan kekambuhan
adalah mencegah terjadinya peristiwa timbulnya kembali gejala-gejala yang sebelumnya
sudah memperoleh kemajuan. Pada gangguan jiwa kronis diperkirakan mengalami
kekambuhan 50% pada tahun pertama, dan 79% pada tahun ke dua. Kekambuhan biasa
terjadi karena adanya kejadian-kejadian buruk sebelum mereka kambuh.

 PREVALENSI KEKAMBUHAN

Masalah kesehatan jiwa atau gangguan jiwa juga masih menjadi masalah kesehatan di
Indonesia. Data Profil Kesehatan Indonesia (2008) menunjukkan bahwa dari 1000 penduduk
terdapat 185 penduduk mengalami gangguan jiwa. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) Tahun 2007, diketahui bahwa prevalensi  gangguan jiwa per 1000 anggota rumah
tangga terdapat 140/1000 penduduk usia 15 tahun ke atas, dan diperkirakan sejak awal tahun
2009 jumlah penduduk yang mengalami gangguan jiwa sebesar 25% dari populasi penduduk
di Indonesia.

Secara global angkan kekambuhan pada pasien gangguan jiwa ini mencapai 50% hingga 92%
yang disebabkan karena ketidakpatuhan dalam berobat maupun karena kurangnya dukungan
dan kondisi kehidupan yang rentan dengan meningkatan stress.(Sheewangisaw, 2012)

DAMPAK KEKAMBUHAN

Dampak gangguan jiwa bagi keluarga sangat besar, apalagi ada beberapa anggota keluarga
yang mengalami gangguan jiwa. Dampak dari anggota yang menderita gangguan jiwa bagi
keluarga diantaranya keluarga belum terbiasa dengan adanya gangguan jiwa. Dampak-
dampak gangguan jiwa bagi keluarga, seperti:

Penolakan

Sering terjadi dan timbul ketika ada keluarga yang menderita gangguan jiwa, pihak anggota
keluarga lain menolak penderita tersebut dan menyakini memiliki penyakit berkelanjutan.
Selama episode akut anggota keluarga akan khawatir dengan apa yang terjadi pada mereka
cintai. Pada proses awal, keluarga akan melindungi orang yang sakit dari orang lain dan
menyalahkan dan merendahkan orang yang sakit untuk perilaku tidak dapat diterima dan
kurangnya prestasi. Sikap ini mengarah pada ketegangan dalam keluarga, dan isolasi dan
kehilangan hubungan yang bermakna dengan keluarga yang tidak mendukung orang yang
sakit.

Tanpa informasi untuk membantu keluarga belajar untuk mengatasi penyakit mental,
keluarga dapat menjadi sangat pesimis tentang masa depan. Sangat penting bahwa keluarga
menemukan sumber informasi yang membantu mereka untuk memahami bagaimana penyakit
itu mempengaruhi orang tersebut. Mereka perlu tahu bahwa dengan pengobatan, psikoterapi
atau kombinasi keduanya, mayoritas orang kembali ke gaya kehidupan normal.

Stigma

Informasi dan pengetahuan tentang gangguan jiwa tidak semua dalam anggota keluarga
mengetahuinya. Keluarga menganggap penderita tidak dapat berkomunikasi layaknya orang
normal lainnya. Menyebabkan beberapa keluarga merasa tidak nyaman untuk mengundang
penderita dalam kegiatan tertentu. Hasil stigma dalam begitu banyak di kehidupan sehari-
hari, Tidak mengherankan, semua ini dapat mengakibatkan penarikan dari aktif berpartisipasi
dalam kehidupan sehari-hari.

Frustrasi, Tidak berdaya dan Kecemasan

Sulit bagi siapa saja untuk menangani dengan pemikiran aneh dan tingkah laku aneh dan tak
terduga. Hal ini membingungkan, menakutkan dan melelahkan. Bahkan ketika orang itu
stabil pada obat, apatis dan kurangnya motivasi bisa membuat frustasi. Anggota keluarga
memahami kesulitan yang penderita miliki. Keluarga dapat menjadi marah marah, cemas, dan
frustasi karena berjuang untuk mendapatkan kembali ke rutinitas yang sebelumnya penderita
lakukan.

Kelelahan dan Burnout


Seringkali keluarga menjadi putus asa berhadapan dengan orang yang dicintai yang memiliki
penyakit mental. Mereka mungkin mulai merasa tidak mampu mengatasi dengan hidup
dengan orang yang sakit yang harus terus-menerus dirawat. Namun seringkali, mereka
merasa terjebak dan lelah oleh tekanan dari perjuangan sehari-hari, terutama jika hanya ada
satu anggota keluarga mungkin merasa benar-benar di luar kendali. Hal ini bisa terjadi karena
orang yang sakit ini tidak memiliki batas yang ditetapkan di tingkah lakunya. Keluarga dalam
hal ini perlu dijelaskan kembali bahwa dalam merawat penderita tidak boleh merasa letih,
karena dukungan keluarga tidak boleh berhenti untuk selalu men-support penderita.

Duka

Kesedihan bagi keluarga di mana orang yang dicintai memiliki penyakit mental. Penyakit ini
mengganggu kemampuan seseorang untuk berfungsi dan berpartisipasi dalam kegiatan
normal dari kehidupan sehari-hari, dan penurunan yang dapat terus-menerus. Keluarga dapat
menerima kenyataan penyakit yang dapat diobati, tetapi tidak dapat disembuhkan. Keluarga
berduka ketika orang yang dicintai sulit untuk disembuhkan dan melihat penderita memiliki
potensi berkurang secara substansial bukan sebagai yang memiliki potensi berubah.

Kebutuhan Pribadi dan Mengembangkan Sumber Daya Pribadi

Jika anggota keluarga memburuk akibat stres dan terlalu banyak pekerjaan, dapat
menghasilkan anggota keluarga yang sakit tidak memiliki sistem pendukung yang sedang
berlangsung. Oleh karena itu, keluarga harus diingatkan bahwa mereka harus menjaga diri
secara fisik, mental dan spiritual yang sehat. Memang ini bisa sangat sulit ketika menghadapi
anggota keluarga yang sakit mereka. Namun, dapat menjadi bantuan yang luar biasa bagi
keluarga untuk menyadari bahwa kebutuhan mereka tidak boleh diabaikan.

 PENYEBAB KEKAMBUHAN

Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya kekambuhan  pada penderita gangguan jiwa
menurut Keliat, 1996 adalah :

1. Faktor penderita.

Penderita yang tidak teratur dalam meminum obat dapat menyebabkan kekambuhan
gangguan jiwa. Menurut penelitian, 25%-50% penderita yang pulang dari rumah sakit jiwa
tidak meminum obat secara teratur.

1. Faktor dokter.

Pemakaian obat secara teratur dapat mengurungi kekambuhan, tetapi pemakain obat
neuroleptik dalam jangka lama dapat menyebabkan efek samping berupa Tardive Diskinesia
(gerakan tidak terkontrol)yang dapat mengganggu hubungan social.

1. Factor penanggung jawab klien ( case manajer)

Setelah klien pulang kerumah setelah dirawat di Rumah sakit, maka perawat Puskesmas
bertanggung jawab terhadap adaptasi klien dirumah
1.  Faktor keluarga.

Menurut penelitian (di Inggris dan Amerika),  keluarga dengan ekspresi emosi yang tinggi
seperti bermusuhan, mengkritik, tidak ramah, banyak menekan dan menyalahkan,
menyebabkan 57% penderita kembali kambuh dalam waktu 9 bulan. Sebaliknya keluarga
dengan ekspresi emosi yang rendah, hanya 17% penderita yang kambuh. Selain itu faktor
yang berpengaruh juga adalah perubahan stres, baik yang menyenangkan maupun yang
menyedihkan.

1. Faktor masyarakat.

Faktor masyarakat lebih banyak berkaitan dengan stigma negatif yang tertuju kepada
penderita gangguan kejiwaan. Penderita dijuluki orang gila atau stres, dianggap
membahayakan, menakutkan, dan menjadi bahan olok-olokan. Semua stigma itu, justru
mempersempit kehidupan sosial mereka yang semestinya dibantu dan diperbaiki. Mereka
menjadi sulit mendapat pekerjaan, merasa malu bergaul, takut salah, dan merasa tidak
berguna.

Menurut Murphy,MF & Moller, MD (1993), faktor resiko yang menyebabkan kekambuhan
pasien gangguan jiwa adalah :

1. Faktor resiko kesehatan.


1. Gangguan sebab dan akibat berpikir.
2. Gangguan proses informasi.
3. Gizi buruk.
4. Kurang tidur.
5. Keletihan.
6. Kurang olah raga.
7. Efek samping pengobatan yang tidak dapat ditoleransi.
8. Faktor resiko lingkungan.
1. Kesulitan keuangan.
2. Kesulitan keuangan.
3. Perubahan yang menimbulkan stress dengan peristiwa kehidupan.
4. Ketrampilan kerja yang buruk.
5. Tidak memiliki transportasi.
6. Ketrampilan sosial yang buruk, isolasi, social, dan kesepian.
7. Kesulitan interpersonal.
8. Faktor  resiko perilaku dan emosional.
1. Tidak ada kontrol dan perilaku agresif.
2. Perubahan mood.
3. Pengobatan dan penatalaksanaan gejala yang buruk.
4. Konsep diri yang rendah.
5. Penampilan dan tindakan yang berbeda.
6. Perasaan putus asa.

 E.     PENCEGAHAN KEKAMBUHAN

1.
1. Aktivitas teratur/terjadual
2. Perhatikan kegiatan sehari-hari pasien
3. Jadualkan kegiatan sehari-hari pasien (menyapu, mengepel, mencuci pakaian
sendiri, dll)
4. Beri pujian jika pasien berhasil
1. Minum obat teratur dan sesuai aturan
2. Perhatikan dosis, cara, dan waktu minum obat
3.  Dorong pasien untuk meminum obat secara mandiri
4. Beri pujian jika pasien bisa minum obat secara mandiri
5.  Kontrol teratur
6. Lakukan kontrol secara teratur ke RS sebelum obat habis
1. Dukungan keluarga
2. Dukung pasien dalam segala aktivitas yang positif
3. Tetap memberi semangat kepada pasien
4. Dukung pasien untuk kontrol teratur

 DAFTAR PUSTAKA

Nadeed, M., Akter, K. A., Tabassum, F., Malwa, R., & Rahman, M. (2012). Factors
contributing the outcome of Schizophrenia in developing and developed countries: A brief
review. International Current Pharmateutical Journal, 1(2), 81-85.

 
Sheewangisaw, Z. (2012). Prevalence and Associated Factors of Relapse in Patent with
Schizophernia At Amanuel Mental Specialized Hospital. Congress on Public Health, 1(1), 1-
10.

Cynthia M. Taylor, Diagnosis Keperawatan dengan Rencana Asuhan, EGC, Jakarta, 2010

Intansari Nurjanah, Pedoman Gangguan Jiwa, Mocomedia, Yogyakarta, 2004

Nanda International, Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2009-2011, EGC,


Jakarta, 2010.

Anda mungkin juga menyukai