Dari defenisi yang berbeda-beda diatas tersimpul satu makna ibadah yang bersifat umum, yaitu :
ِ اَل ِْعب
َ ادةُ ا ْس ٌم َج ِام ٌع لِّ َما يُ ِحبُّهُ اهللُ َو َي ْر
ضاهُ َق ْواًل َكا َن اَ ْوفِ ْعالً َجلِيًّا َكا َن اَ ْو َخ ِفيًّا ََ
”Ibadah meliputi segala yang disukai Allah dan yang diridhai-Nya, baik berupa perkataan, maupun berupa
perbuatan, baik terang, maupun tersembunyi”
Dalam makna yang lebih luas, ibadah juga disebutkan dengan kata syari’ah, yang secara etimologi berarti
aturan, ketentuan atau undang-undang Allah SWT yang berisi tata cara pengaturan perilaku manusia dalam
melakukan hubungan dengan Allah SWT, dengan sesama manusia dan dengan alam lingkungannya untuk
mencapai keridhaan Allah SWT, yaitu keselamatan/kebahagiaan (hasanah) di dunia dan keselamatan/kebahagiaan
(hasanah) di akhirat. Hal tersebut sebagaimana maksud firman Allah SWT, antara lain :
”Dia telah mensyariatkan kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang
telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu:
Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama
yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi
petunjuk kepada (agama) -Nya orang yang kembali (kepada-Nya)”. (QS. Asy-Syuraa/42: 13)
B.HAKIKAT IBADAH
Yusuf al-Qordhowi, seorang ulama Islam kontemporer di Mesir menyatakan bahwa menurut ulama fiqih,
ibadah hanya boleh ditujukan kepada Allah SWT, tidak kepada yang lain. Menurut Muhammad Abduh, ulama
pembaharu di Mesir, perbedaan antara ibadah kepada Allah SWT dan ibadah kepada selain Allah SWT bukan
terletak pada tingkatan ketundukan atau ketaatan, tetapi pada tempat munculnya (sumber) perasaan tunduk dan taat
tersebut. Apabila sumber atau penyebabnya adalah sesuatu yang bersifat lahiriah, seperti kekuatan dan kekuasaan
yang bukan dari Allah SWT, maka ketundukan dan ketaatan tersebut bukan merupakan ibadah. Apabila sumber
ketundukan dan ketaatan yang dimaksud adalah sesuatu keyakinan (al-i’tiqad) bahwa yang disembah (al-ma’bud)
memiliki keagungan maka ketundukan dan ketaatan tersebut dinamakan ibadah.
Hakikat ibadah adalah :
ِ ِ ِ ِ ِ الروح َعن اِستِ ْشعا ِر اْل َقل
ُادا بِاَ َّن لل َْعال َِم ُس ْلطَانًا اَل يُ ْد ِر ُكهُ ال َْع ْق ُل َح ِق ْي َقتَه
ً لم ْعُب ْو ِد َو َعظَّ َمتِ ِه ا ْعتِ َق
َ ْْب ب َم َحبَّة ا َ ْ ْ ُ ْ ُّ ُض ْوع ُ ُخ
”Ketundukan jiwa yang timbul karena perasaan cinta akan Tuhan yang ma’bud dan merasakan kebesaran-
Nya, lantaran beri’tikad bahwa bagi alam ini ada kekuasaan, yang akal tidak dapat mengetahui hakikatnya”.
Dalam rumusan yang lain juga dikatakan bahwa :
Menurut istilah (terminologi) syari’ah, shalat berarti tindakan atau perbuatan khusus seorang Muslim dalam
rangka mengabdi dan memuliakan Allah SWT, yang berisi kata-kata/ucapan (bacaan-bacaan) dan perbuatan
(gerakan-gerakan) yang dimulai dengan lafaz takbir dan diakhiri dengan salam dengan mengikuti atau memenuhi
syarat-syarat dan ketentuan tertentu. Pengertian shalat secara hakiki (bathin) adalah menghadapkan hati (jiwa)
kepada Allah SWT menurut cara yang mendatangkan rasa takut (khauf) kepada-Nya, serta menumbuhkan di dalam
jiwa rasa kagum akan kebesaran dan kesempurnaan kekuasaan-Nya.
Perintah shalat disampaikan secara tegas oleh Allah SWT dalam banyak sekali ayat-ayat Al-Quran, antara
lain :
”Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan
dirikanlah shalat untuk mengingat Aku”.(QS. Thahaa/20: 14)
Shalat adalah bentuk peribadatan yang paling pokok dan utama. Al-Quran mengungkapkan bahwa shalat
bukan hanya kewajiban yang difardhukan kepada nabi Muhammad SAW dan umatnya saja, tetapi juga telah
difardhukan kepada nabi-nabi terdahulu, misalnya kepada Nabi Ibrahim AS, sebagaimana firman Allah SWT:
”Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak
mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu)
agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah
mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur”. (QS. Ibrahim/14: 37)
Ibadah shalat merupakan satu-satunya ibadah yang dijemput langsung oleh Nabi Muhammad SAW ke
hadhirat Allah SWT dalam satu peristiwa monumental yakni Isra’ Mi’raj Nabi Besar Muhammad SAW. Karena itu
hakikat shalat adalah bermunajat, berdo’a dan menghadapkan diri dan jiwa kepada Allah SWT. Pelaksanaan shalat
harus mengikuti syarat dan rukunnya dan dikerjakan dengan khusyu’ dan dengan cara-cara yang benar
sebagaimana petunjuk dan yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
Shalat terdiri dari atas shalat fardhu, yakni shalat Dzuhur, Ashar, Maghrib, Isya dan Subuh. Shalat 5 (lima)
waktu dalam sehari semalam ini merupakan fardhu ’ain, dalam arti kewajiban atau tanggung jawab perorangan,
yang bila ditinggalkan maka yang bersangkutan atau yang meninggalkan akan mendapat dosa. Ada lagi shalat yang
merupakan fardhu kifayah, dalam arti wajib bagi setiap orang secara kelompok, bila ada sebagian orang yang
mengerjakan maka semua atau sekelompok orang di satu tempat itu gugur atau lepas kewajibannya, tetapi bila tidak
satupun orang yang mengerjakannya, maka semua atau sekelompok orang di satu tempat itu menjadi berdosa,
shalat ini yakni shalat janazah. Shalat janazah yaitu menshalatkan mayat seorang Muslim sebelum dimakamkan.
Mengenai shalat-shalat fardhu dan shalat sunnat beserta tata caranya dijelaskan dalam bab terakhir tentang prektek
ibadah.
c. Puasa (Shiyam)
Puasa secara etimologi berarti menahan diri dari segala sesuatu. Sedangkan secara terminologi berarti
menahan diri dari makan, minum, berjima’ dan hal-hal yang membatalkan puasa sejak terbit fajar hingga terbenam
matahari. Puasa terdiri dari (1) puasa wajib/fardhu, yakni puasa ramadhan, yang mulai diwajibkan kepada kaum
Muslimin pada hari Senin tanggal 2 Sya’ban tahun kedua Hijrah, puasa kafarat(karena pelanggaran) dan puasa
nazar,dan (2) puasa sunnat, seperti puasa hari Senin dan Kamis, puasa 6 (enam) hari di bulan syawal, puasa
tanggal 8 dan 9 Dzulhijjah dan lain-lain, ada juga puasa yang makruh dan bahkan puasa yang haram, yaitu puasa
pada hari Raya Idul Fithri, Idul Adha dan hari-hari tasyrik.Perintah puasa bagi umat Islam dijelaskan oleh Allah SWT
dalam Al-Baqarah/2 ayat: 183
”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang
sebelum kamu agar kamu bertakwa”. (QS. Al-Baqarah/2: 183)
Puasa pada bulan Ramadhan bagi umat Islam merupakan kewajiban dan salah satu dari Rukun Islam.
Rasulullah SAW sendiri telah mengerjakan puasa Ramadhan sembilan kali, delapan kali 29 hari dan satu kali cukup
30 hari. Puasa ini diwajibkan bagi semua umat Muslim yang mukallaf (Islam, baligh, berakal dan mampu berpuasa),
sedangkan wanita hendaklah ia suci dari haidh dan nifas. Karena itu tidak diwajibkan berpuasa bagi orang non-
Muslim, anak-anak dan orang gila, serta ada keringanan (rukhshah) bagi orang yang sakit, musafir, orang tua yang
sudah uzhur (tidak kuat berpuasa), perempuan yang haidh, nifas, hamil dan menyusui.
Bagi anak-anak, kendatipun mereka tidak diwajibkan berpuasa, tetapi sangat baik bila para orang tua
melatih anaknya untuk melaksanakan puasa sebagai upaya agar anak-anak Muslim menjadi terbiasa dan senang
berpuasa, dalamarti yang lebih luas, mereka senang beramal ibadah, senang melaksanakan ajaran Islam dan patuh
kepada perintah Allah SWT sejak usia dini. Dalam hal ini puasa dijadikan sarana pendidikan sekaligus menciptakan
suasana islami dalam keluarga. Bila dirasa perlu, boleh juga untuk memberikan janji atau reward kepada mereka,
bila mereka dapat mencapai derajat-derajat tertentu dalam ibadah puasanya, seperti jika mereka sanggup puasa
sampai zhuhur, atau puasa sampai sore (berbuka) ataupun puasa penuh selama 1 (satu) bulan, tetapi dengan
maksud untuk memberikan motivasi, jangan terus menerus apalagi membiasakan anak menjadi pamrih dalam
beramal.
Rukhshah atau orang yang diberi keringanan untuk tidak berpuasa, kemudian kewajiban satu persatunya
adalah sebagai berikut :
1). Wajib tidak berpuasa dan wajib mengqadha.
Yaitu bagi para wanita yang sedang haidh dan nifas. Para ulama sepakat bahwa bagi mereka tidak boleh
berpuasa bahkan haram hukumnya. Tetapi mereka diwajibkan untuk meng qadha puasa sebanyak jumlah hari
yang mereka tinggalkan. Ketentuan ini didasarkan hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan dari Aisyah RA,
yang artinya : ”Kami berhaidh di masa rasulullah SAW, maka kami disuruh mengqadha puasa dan tidak disuruh
mengqadha shalat” (HR. Bukhari dan Muslim)
2). Boleh tidak berpuasa dan wajib mengqadha.
Yaitu (1) bagi orang yang sakit yang masih ada harapan sembuhnya, atau apabila berpuasa akan bertambah
sakitnya, atau akan melambatkan sembuhnya menurut keterangan dokter (orang yang ahli dalam hal itu), maka
boleh dia tidak berpuasa dan wajib atasnya meng qadha (menggantikan puasa sebanyak hari puasa yang
ditinggalkan) apabila dia sudah sembuh. Dan (2) orang yang musafir (dalam perjalanan jauh), boleh dia berbuka
dan mengqadha puasanya setelah selesai/habis bulan Ramadhan. Kebolehan tidak berpuasa bukan merupakan
suatu keharusan, jika seorang musafir merasa sanggup berpuasa, maka tetap dibolehkan baginya untuk
berpuasa, apalagi di masa sekarang, seseorang bisa berjalan dalam waktu dan jarak yang jauh, tanpa harus
merasa bekerja berat dan mengeluarkan tenaga seperti dengan pesawat, kereta api dan lain-lain. Ketentuan
mengenai hal ini terdapat dalam firman Allah SWT:
”(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari
yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah,
(yaitu): memberi makan seorang miskin. Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka
itulah yang lebihbaik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”. (QS. Al-Baqarah/2: 184)
3). Boleh tidak berpuasa dan wajib mengqadha dan membayar fidyah.
Bagi perempuan yang hamil dan menyusui dibolehkan tidak berpuasa, dengan ketentuan (i) jika ia takut akan
menjadi mudharat kepada dirinya sendiri atau beserta anaknya, maka wajib ia meng qadha sebagaimana orang
yang sakit, tetapi (ii) jika ia hanya takut mudharat kepada anaknya, misalnya takut keguguran (bagi orang yang
hamil) atau takut kurang air susu yang membawa anak kurus atau sakit (bagi ibu yang menyusui), maka
keduanya boleh meninggalkan puasa, dan wajib bagi keduanya mengqadha dan membayar fidyah (bersedekah)
yakni memberi makan fakit miskin ¾ liter perhari atau yang sama dengan itu (makanan pokok yang
mengenyangkan).
4). Boleh tidak berpuasa dan wajib membayar fidyah
Yakni bagi orang tua yang sudah uzhur, lemah dan tidak sanggup lagi berpuasa karena tuanya, sebagaimana
maksud ayat 184 QS. Al-Baqarah di atas,atau karena memang lemah dari kejadian atau lahirnya, bukan karena
tua, maka boleh tidak berpuasa dan wajib membayar fidyah saja tanpa harus mengqadha.
Puasa di bulan Ramadhan, bagi umat Islam adalah satu kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan, dan tidak
ada alasan bagi orang yang meninggalkan puasa tanpa petunjuk yang dibolehkan syari’at. Sebagaimana hadits
Rasulullah SAW yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, yang artinya ;
” Siapa yang berbuka puasa pada satu hari dari bulan Ramadhan tanpa ada keringanan (rukhshah) yang
diberikan oleh Allah SWT kepadanya, tiadalah akan dapat dibayar oleh puasa sepanjang masa walau dilakukannya.
” (HR. Abu Daud, Ibn Majah dan At-Turmudzi). ”Berkata Imam Bukhari: Ada pula yang disebutkan dari Abu Hurairah
secara marfu’; Siapa yang berbuka pada satu hari dari bulan Ramadhan tanpa uzur atau sakit, maka tidaklah akan
terbayar oleh puasa sepanjang masa walaupun dilakukannya. Dan ini juga menjadi pendapat Ibnu Mas’ud, berkata
Dzahabi: Dan bagi kaum mulminin telah ketetapan bahwa oarng yang meninggalkan puasa bahkan mereka
meragukan keislamannya dan mencurigainya sebagai zindiq dan tanggal dari agamanya. ”
d. Zakat
Ibadah zakat, baik zakat fithrah ataupun zakat maal dapat juga dikategorikan ke dalam ibadah sosial
(ghairu mahdhah) karena memiliki dimensi dan nilai-nilai sosial yang tinggi, bahkan dapat disebut sebagai sokoguru
kepedulian sosial di dalam Islam, namun demikian zakat juga dapat digolongkan ke dalam ibadah mahdhah, karena
di samping merupakan rukun Islam yang ke tiga, juga ibadah zakat berpungsi sebagai penyuci jiwa, diri dan harta
seseorang serta merupakan bentuk kepatuhan seorang Muslim kepada Tuhannya. Sebagaimana firman Allah SWT
dalam QS. At-Taubah/9: 103
”Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan
mereka, dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan
Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Zakat menurut bahasa berarti suci, sedangkan menurut syari’at berarti memberikan sebagian (kadar) harta
kepada orang yang berhak menerimanya (mustahiq) sesuai dengan ketentuan syari’at, sebagaimana firman Allah
SWT dalam QS. At-Taubah/9: 60
”Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus
zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan
Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
Dalam pelaksanaannya, zakat yang wajib terbagi dua, zakat fithrah dan zakat maal, selain dari kedua
macam zakat wajib tersebut, maka pemberian seseorang kepada orang lain, terutama dari yang mampu kepada
kurang mampu disebut infaq atau sedekah. Zakat fithrah adalah zakat yang diwajibkan kepada setiap jiwa/individu
Muslim, laki-laki atau perempuan, tua atau muda, besar atau kecil pada setiap hari raya Idul Fitri. Zakat fithrah
dibayarkan dengan makanan pokok yang mengenyangkan di negeri setempat sebanyak 1 sha’ (2,5 kg/3,1 liter),
yang untuk ukuran mayoritas umat Islam Indonesia yakni berupa beras.
Sedangkan zakat maal (harta), terbagi pula kepada beberapa bagian harta yang dizakatkan apabila sudah
mencapai nishabnya, yakni batas minimum kepemilikan harta yang wajib dizakatkan. Adapun harta yang wajib
dikeluarkan zakatnya, yaitu :
1). Binatang ternak
Yaitu binatang peliharaan, seperti onta, kerbau, sapi, kambing dan domba, apabila telah mencapai nishab
dan jumlah tertentu yang menjadi ukuran sampai nishabnya, maka wajiblah bagi pemilik binatang ternak itu
mengeluarkan zakat sesuai dengan jumlah dan aturan yang telah ditetapkan oleh syara’, umpamanya apabila sudah
memiliki 30 ekor sapi, maka wajib mengeluarkan zakat sebanyak 1 ekor sapi yang berumur 2 tahun atau lebih.
2). Emas dan Perak
Yakni harta/barang, yang saat ini disebut sebagai barang perhiasan. Apabila sudah sampai nishabnya,
yakni seberat 96 gram, maka wajib dikeluarkan zakatnya sebanyak 2,5 % (QS. At-Taubah/9: 34)
....“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka
beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih”. (QS. At-Taubah/9: 34)
Jika tanggung jawab sosial dari seseorang, termasuk dengan harta bendanya, adalah apa yang lebih dari
kebutuhannya, maka betapapun progresifnya, zakat pasti hanya merupakan sebagian saja dari realisasi tanggung
jawab itu. Atas dasar ini, umat Islam sepakat sejak mula bahwa zakat bukanlah satu-satunya bentuk sedekah,
sabagai realisasi tanggung jawab sosial seseorang dengan materi. Dalam salah satu riwayat, Rasulullah
mengatakan bahwa di atas harta orang mukmin ada beban lain di luar zakat.
e. Ibadah Haji
Rukun Islam yang kelima yakni ibadah haji, memenuhi panggilan Allah SWT ke tanah suci Makkah Al-
Mukarramah. Ibadah haji wajib hukumnya bagi umat Islam yang mampu, sebagaimana firman Allah SWT:
”Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan
perjalanan ke Baitullah; Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak
memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS. Ali Imran/3: 97)
Pengertian kuasa/mampu melaksanakan ibadah haji, yakni dua macam :
1). Kuasa mengerjakan haji dengan sendirinya, dengan beberapa syarat sebagai berikut :
a). Mempunyai bekal (belanja) yang cukup untuk pergi ke Makkah dan kembalinya.
b). Ada kendaraan untuk sampai ke Makkah.
c). Aman dalam perjalanan pergi dan pulangnya.
d). Sehat dan kuat badan untuk perjalanan dan mengikuti ritual ibadah haji.
e). Bagi perempuan, harus bersama-sama muhrimnya, atau suaminya, atau perempuan yang dipercayai.
2). Kuasa mengerjakan haji yang bukan dikerjakan oleh orang yang bersangkutan, tetapi dengan jalan digantikan
oleh orang lain (Badal Haji). Umpamanya seorang yang telah meninggal dunia, sedangkan dia waktu hidupnya
telah mencukupi syarat-syarat wajib haji, maka hajinya wajib dikerjakan oleh orang lain. Ongkos
mengerjakannya diambil dari harta peninggalannya. Dan ahli warisnya wajib mengurus semua kepentingan
untuk pelaksanaan haji itu.
Bagi orang yang lemah, yang tidak kuat pergi mengerjakan ibadah haji karena sudah tua, atau karena
penyakit lemah dan tidak berdaya, atau sebab lain, maka kalau ia mampu membayar ongkos kepada orang yang
akan menggantikannya melaksanakan ibadah haji, maka ia wajib haji karena terhitung orang yang kuasa dengan
jalan mengongkosi orang.
Pelaksanaan ibadah haji dan umrah dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu:
1). Haji Ifrad
Yaitu melaksanakan haji terlebih dahulu. Setelah melakukan thawaf qudum (thawaf kedatangan ke makkah)
dengan berpakaian ihram, tidak bertahallul, tetapi berpakaian ihram kemudian langsung melaksanakan ibadah haji,
sedangkan umroh dilaksanakan setelah melaksanakan haji.
2). Haji Tamattu’
Yaitu mendahulukan umrod daripada haji dalam waktu haji. Caranya ihram mula-mula untuk umroh dari
miqat negerinya; diselesaikan semua urusan umroh, kemudian ihram lagi dari Makkah untuk haji.
3). Haji Qiran
Yaitu mengerjakan haji dan umroh serentak (sekaligus). Caranya seseorang melakukan ihram untuk
keduanya pada waktu ihram haji, dan mengerjakan sekalian urusan haji. Urusan umrah dengan sendirinya termasuk
dalam pekerjaan haji.
Ibadah haji harus dilaksanakan mengikuti rukun-rukun haji, wajib-wajib haji, dan sunnat-sunnat haji serta
meninggalkan larangan-larangan yang tidak boleh dilakukan oleh orang yang sedang dalam ihram haji atau umroh,
yang terlarang bagi laki-laki saja, atau bagi perempuan saja, atau terlarang bagi keduanya (laki-laki dan perempuan).
Semua hal tersebut mampu memperkuat komitmen kita terhadap Allah, Islam, dan hal-hal yang berkaitan
dengannya sehingga akan membentuk karakter muslim yang berkomitmen tinggi sehingga apa saja yang
menyangkut kebenaran dan kebaikan dapat dilaksanakan dan dipertanggungjawabkan sebaik-baiknya di dunia dan
akhirat. Dan menjauhi segala perbuatan yang dapat menjerumuskan kita kepada hal-hal yang dapat membatalkan
syahadatain kita seperti syirik, mendatangi dukun, atau percaya pada hal-hal tidak syar’i.
Tujuan utama adalah ridha Allah, maka luruskan niat dan memperbaiki amal dan aktivitas kehidupan
hanyalah untuk Allah.