Anda di halaman 1dari 13

Nama : Sendra Erfa Satria

NIM :1707123019
Prodi : Teknik Kimia S1
Tugas : Bioteknologi Lingkungan

Judul : Penyisihan Fosfat Dengan Proses Kristalisasi Dalam Reaktor


Terfluidisasi Menggunakan Media Pasir Silika
Penulis : Devina Fitrika Dewi dan Ali Masduqi
Tahun Terbit : 2003
Ringkasan
Kehadiran fosfat dalam air menimbulkan permasalahan terhadap kualitas air,
misalnya terjadinya eutrofikasi. Untuk memecahkan masalah tersebut dengan
mengurangi masukan fosfat ke dalam badan air, misalnya dengan mengurangi
pemakaian bahan yang menghasilkan limbah fosfat dan melakukan pengolahan limbah
fosfat. Salah satu metoda yang tengah dikembangkan adalah memanfaatkan
kemampuan fosfat untuk membentuk kristal dengan penambahan reaktan. Fosfat
membentuk kristal hydroxyapatite dengan penambahan Ca (Hirasawa dan Toya, 1990;
Seckler dkk., 1996) dan kristal struvite dengan penambahan Mg (Munch dan Barr,
2001).
Kristalisasi adalah peristiwa pembentukan partikelpartikel zat padat dalam dalam
suatu fase homogen (McCabe dkk, 1991). Kristalisasi dari larutan dapat terjadi jika
padatan terlarut dalam keadaan berlebih (di luar kesetimbangan, maka sistem akan
mencapai kesetimbangan dengan cara mengkristalkan padatan terlarut (Tai dkk, 1999).
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pembentukan kristal dari larutan
homogen tidak terjadi tepat pada harga konsentrasi ion sesuai dengan hasil kali
kelarutan, tetapi baru akan terjadi saat konsentrasi zat terlarut jauh lebih tinggi daripada
konsentrasi larutan jenuhnya. Makin tinggi derajat lewat jenuh, makin besar
kemungkinan membentuk inti baru.
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Larutan fosfat, yaitu
larutan yang digunakan sebagai limbah artifisial yang mengandung kadar fosfat mula-
mula 10 mg/l. Dalam penelitian ini, pH larutan divariasikan, yaitu 9, 10, dan 11. Untuk
pengaturan nilai pH digunakan larutan NaOH.
Larutan reaktan yang digunakan adalah larutan CaCl2 yang akan direaksikan
dengan fosfat sehingga terbentuk kristal. Kadar CaCl2 yang digunakan dalam pene-
litian ini dinyatakan dalam perbandingan molar antara Ca dan PO4. Variasi
perbandingan yang dilakukan adalah 7:5, 13:5, dan 19:5. Seed material, yaitu pasir
silika yang difluidisasi dan menjadi media tempat terbentuknya kristal.
Proses kristalisasi untuk penyisihan fosfat dilakukan dalam reaktor terfluidisasi
dengan media pasir silika. Reaktor terbuat dari tabung kaca berdiameter 50 mm. Influen
limbah dan influen reaktan berada di bagian bawah reaktor, sementara efluen berada di
bagian atas.
Pada percobaan untuk mengetahui kondisi optimum yang diperlukan bagi proses
kristalisasi, diperoleh hasil bahwa kondisi pH reaktor sangat berpengaruh terhadap
efisiensi penyisihan fosfat. Kondisi pH yang paling optimum dengan memberikan nilai
penyisihan terbesar adalah pH 10 dengan persentase penyisihan fosfat 76,5%.
Pengaruh perbandingan molar Ca/PO4, ternyata cukup besar terhadap penyisihan
fosfat. Perbandingan molar yang memberikan nilai penyisihan terbesar adalah 19/5
dengan persentase penyisihan fosfat yang diperoleh sebesar 72,11%. Hal ini
membuktikan bahwa semakin jenuh larutan, yaitu semakin tinggi perbandingan molar,
maka semakin besar penyisihan fosfat.
Judul : Biodegradasi Fosfat pada Limbah Laundry menggunakan Bakteri
Consorsium Pelarut Fosfat
Penulis : Zairinayati1 Dan Heri Shatriadi
Tahun Terbit : 2019
Ringkasan
Setiap aktivitas yang dilakukan manusia akan menghasilkan limbah, limbah ini
dalam skala kecil tidak akan menimbulkan masalah karena alam memiliki kemampuan
untuk menguraikan kembali komponen-komponen yang terkandung dalam limbah.
Namun bila terakumulasi dalam skala besar, akan timbul permasalahan yang dapat
menggangu keseimbangan lingkungan hidup. Permasalahan lingkungan saat ini yang
dominan adalah limbah cair yang berasal dari hasil kegiatan rumah tangga dan industri.
Limbah cair yang tidak dikelola akan menimbulkan dampak pada perairan. Dampak
yang ditimbulkan akibat membuang limbah secara langsung ke lingkungan, badan air
tanpa adanya pengolahan terlebih dahulu yaitu gangguan terhadap kesehatan,
gangguan terhadap biota perairan dan juga gangguan estetika serta menimbulkan
kurang efisien biaya hidup
Pengelolaan limbah cair dalam proses produksi dimaksudkan untuk
meminimalkan limbah yang terjadi, serta untuk menghilangkan atau menurunkan kadar
bahan pencemar yang terkandung di dalam perairan. Bentuk pencemaran lingkungan
dari kegiatan rumah tangga salah satunya bersumber dari pemakaian deterjen.
Penggunaan bahan pembersih ini semakin lama semakin meningkat sejalan dengan laju
pertumbuhan penduduk setiap tahun, artinya semakin meningkat pendapatan
masyarakat maka konsumsi deterjen juga meningkat. Dampak yang ditimbulkan bila
air buangan yang mengandung deterjen berlebihan adalah terjadinya pencemaran dan
menggangu ekosistem biota yang terdapat diperairan. Limbah laundry dominan berasal
dari pelembut pakaian dan deterjen. Bahan aktif yang banyak terkandung pada
pelembut pakaian dan deterjen adalah ammonium klorida, LAS, sodium dodecyl
benzene sulfonate, natrium karbonat, natrium sulfat, alkilbenzena sulfonate. Bahan-
bahan tersebut merupakan bahan yang tidak ramah lingkungan (non-biodegraduble).
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen. Sampel air limbah laundry
diambil dari 3 tempat usaha jasa laundry yang berada dikawasan Silaberanti
Palembang. Lokasi penelitian ini berada tidak jauh dari area kampus dengan jarak ±500
meter, pemilihan lokasi ini denagn pertimbangan bahwa di lingkungan ini banyak
ditemui usaha laundry.
Dalam penelitian ini terjadi peningkatan jumlah kadar fosfat sebelum dilakukan
proses biodegradasi yakni 9,8 m/L sebelum dilakukan penambahan bakteri menjadi
Rata-rata kadar fosfat pada penambahan bakteri 50 ml adalah 27,1333 dengan standar
deviasi 2,73008. Pada dosis penambahan bakteri 100 ml ratarata kadar fosfat adalah
23,8667 dengan standar deviasi 2,08167 dan pada dosis penambahan bakteri 150 ml
rata-rata kadar fosfat 22,6222 dengan standar deviasi 4,40606, dan hasil uji statistic
didapat nilai p = 0,306 berarti pada alpha 5% dapat disimpulkan tidak ada perbedaan
penambahan bakteri dengan berbagai dosis dengan kadar fosfat pada air limbah
laundry.
Tidak adanya perbedaan penambahan bakteri dalam mendegradasi fosfat dapat
dimungkin karena tidak dijalankannya proses pengolahan air limbah tahap demi tahap
yang seharusnya diawali dengan tahap primary treatment yaitu proses filtrasi dan
sedimentasi yang bertujuan untuk memisahkan zat padat dan zat cair, tahap kedua
adalah secondary treatment stabilisasi zat organik, baru masuk ke tahap tertiary
treatment untuk menghilangkan unsure hara pada penelitian ini yang dilakukan adalah
menghilangkan kadar fosfat pada air limbah tanpa proses pengolahan awal dan kedua.
Penelitian dengan judul Biodegradasi Kadar Fosfat Limbah Laundry dengan
menggunakan Bakteri menghasilkan suatu kesimpulan 1. Kadar fosfat pada air limbah
laundry sebelum dilakukan biodegradasi dengan bakteri adalah sebesar 9,8 mg/L. 2.
Kadar fosfat air limbah laundry setelah melalui proses biodegradasi dengan bakteri
yaitu pada perlakuan pemberian 50 ml bakteri kedalam 2 liter air limbah laundry
diketahui kadar fosfat rata-rata adalah 27 mg/L, untuk perlakuan pemberian bakteri 100
ml dalam 2 liter air limbah laudry diketahui kadar fosfat rata-rata adalah 23,86 mg/L
dan untuk perlakukan pemberikan bakteri 150 ml dalam 2 liter air limbah laundry rata-
rata kadar fosfat adalah 22,68 mg/L. 3. Hasil ujian analisis statistic dengan uji analisis
varian didapat nilai p = 0,306 berarti pada alpha 5% dapat disimpulkan tidak ada
perbedaan penambahan bakteri dengan berbagai dosis dengan kadar fosfat pada air
limbah laundry.

Judul : Pemindahan dan Pemulihan Fosfor dari Air Limbah menggunakan


FeDosing Bioreactor and Cofermentation: Investigasi dengan X-ray
Absorption Near-Edge Structure Spectroscopy
Penulis : Ruo-hong Li, Jin-li Cui, Xiang-dong, dan Xiao-yan Li
Tahun Terbit : 2018

Ringkasan
Teknologi bioreaktor membran (MBR) semakin banyak digunakan untuk
pengolahan air limbah biologis dan penggunaan kembali, karena keuntungan seperti
tapak kecil, tingkat pemuatan organik yang tinggi, dan kualitas limbah yang sangat
baik. Namun, proses MBR tipikal berkinerja buruk dalam penghilangan fosfor (P).
Fosfor adalah salah satu elemen nutrisi utama dalam badan air dan bertanggung jawab
atas eutrofikasi dan masalah kualitas air permukaan terkait. Untuk menghilangkan
fosfor dari air limbah, MBR dapat digunakan dalam kombinasi dengan proses
penghilangan fosfor kimiawi (CPR). 1,2 CPR telah diterapkan secara luas dalam
pengolahan air limbah untuk menghilangkan P yang efektif dan stabil. Dalam proses
ini, garam logam dimasukkan ke dalam air limbah untuk membentuk padatan yang
dimasukkan P, dan besi klorida (FeCl3) adalah bahan kimia yang paling umum
digunakan untuk CPR.3 Pemberian zat besi ke dalam influen MBR dapat menurunkan
konsentrasi total fosfor (TP) di limbah hingga di bawah 0,5 mg / L.1,2
Fosfor juga merupakan sumber daya yang berharga dan tidak dapat digantikan
untuk produksi pertanian. Menipisnya cadangan P alam secara cepat akan sangat
mengancam ketahanan pangan global.4 Oleh karena itu, pemulihan dan daur ulang P
dari semua sumber yang memungkinkan, termasuk air limbah dan lumpur, sangat
mendesak. Kabinet Jerman baru-baru ini mengesahkan peraturan lumpur limbah yang
mengharuskan semua pabrik pengolahan air limbah besar di Jerman untuk memulihkan
P dari lumpur limbah.5 Proses pembuangan dan pemulihan P yang ada mengadopsi
pendekatan biologis atau kimiawi. Penghilangan fosfor dari air limbah dapat dicapai
dengan proses penghilangan P biologis (EBPR) yang ditingkatkan. Namun, EBPR
sangat bergantung pada perkembangbiakan organisme pengumpul polifosfat (PAO),
yang sulit dicapai dan dipelihara dalam aplikasi skala penuh.3 Sebagai perbandingan,
pengendapan kimiawi lebih efektif dan dapat diandalkan untuk meningkatkan
penghilangan P dari air limbah. Setelah penghilangan P yang cukup dan konsentrasi
yang cukup ke dalam lumpur, penguraian anaerobik dapat diterapkan untuk
menghidrolisis berbagai bentuk fosfor menjadi ortofosfat untuk kemungkinan
perolehan P.6 Namun, fraksi pelepasan P ke dalam fase cair lumpur agak terbatas.
Fe-Dosing MBR dan Sludge Asidogenesis System untuk Enhanced P Removal
and Recovery. Proses kimia-biologis baru dikembangkan untuk penghilangan dan
pemulihan P yang efisien dalam pengolahan air limbah kota. Seperti yang ditunjukkan
pada Gambar 1, proses tersebut melibatkan tiga langkah utama. (1) P andal

Penghapusan Fosfor yang Ditingkatkan Fe dengan MBR. Smith dkk. 13


mengusulkan jalur spesifik berikut untuk penghilangan Feenhanced P: (i) adsorpsi
fosfat ke ferihidrit, (ii) kopresipitasi spesies fosfat ke dalam struktur ferihidrit, (iii)
pengendapan fosfat besi, dan (iv) pengendapan campuran kation fosfat. Dalam MBR
dosis Fe saat ini, lebih dari 98% TP telah dikeluarkan dari influen air limbah. Menurut
analisis LCF XANES, P yang teradsorpsi dibentuk oleh jalur (i) dan (ii) menyumbang
60,3% TP dalam campuran lumpur, dan besi fosfat dari jalur (iii) menyumbang 24,2%.
Jalur (iv) hampir dapat diabaikan karena tingginya dosis zat besi. Penghilangan P yang
tersisa dapat dikaitkan dengan asimilasi mikroba untuk pertumbuhan biomassa.41
Fraksi penghilangan P yang lebih tinggi tampaknya dapat dikaitkan dengan P yang
teradsorpsi daripada presipitasi FePO4 dalam MBR dosis-Fe. Ketika FeCl3
ditambahkan ke dalam air limbah, ia terhidrolisis dan diendapkan secara cepat dengan
ion hidroksil atau ion fosfat. Analisis kelarutan Fe (OH) 3 dan FePO4 dalam sistem air
simulasi diberikan pada Gambar S5 berdasarkan kemungkinan reaksi yang dirangkum
dalam Tabel S8. Di bawah pH 5, FePO4 memiliki kelarutan relatif terendah. Di atas
pH 5, Fe (OH) 3 menjadi lebih stabil daripada FePO4 dan mengontrol kelarutan
senyawa Fe (III). Alkalinitas air limbah (> 100 mg CaCO3 / L) cukup untuk menjaga
pH larutan di atas 6 selama dosis dan flokulasi FeCl3. Hasilnya, setelah penambahan
FeCl3 ke dalam influen air limbah, Fe (OH) 3 adalah spesies besi yang dominan dalam
campuran lumpur MBR, dan adsorpsi oleh ferihidrit merupakan jalur utama
penghilangan P.
A. Fermentasi Asidogenik.
Proses pencernaan anaerobik yang khas termasuk hidrolisis, asidogenesis, dan
metanogenesis. Fermentasi asidogenik membatasi proses pencernaan ke dua langkah
pertama dengan menghambat metanogenesis dalam kondisi asam (pH <5) .43 Limbah
makanan terbukti menjadi sumber karbon yang diinginkan untuk asidogenesis karena
biodegradabilitasnya yang tinggi.21 Sebagian besar organik (∼ 90%) dalam sisa
makanan dapat difermentasi dalam 3 hari karena hidrolisis kandungan pati yang
efisien. Selama kofermentasi, zat organik terlarut bertindak sebagai donor elektron
untuk reduksi besi.44 Selain itu, sejumlah besar VFA (1786 mgCOD / L) diproduksi
melalui asidogenesis, yang menurunkan pH larutan menjadi 4,85 dan karenanya
meningkatkan pelarutan senyawa Fe (II) . Secara keseluruhan, kofermentasi asidogenik
di aliran samping penting untuk ekstraksi P dari lumpur MBR melalui reduksi besi
mikroba dan pelarutan kompleks Fe-P.
B.Pengurangan Besi Mikroba.
Ketika kompleks Fe (III) −P dalam lumpur aktif diumpankan ke dalam fermentor,
reduksi besi mikroba terjadi dengan cepat dalam kondisi anaerobik. Tanpa penambahan
sisa makanan (control sludge), 31,7% dari total besi diubah menjadi Fe (II), termasuk
23,6% vivianite dan 7% ferrous hydroxide, yang menunjukkan bahwa ferrihydrite dan
ferric phosphate dapat berperan sebagai akseptor elektron dalam aktivitas metabolisme.
.39 Namun, konsentrasi Fe (III) total dalam lumpur tampaknya terlalu tinggi untuk
dikurangi secara substansial dengan aktivitas metabolik saja. Dengan penambahan sisa
makanan untuk kofermentasi, donor elektron yang cukup disediakan oleh produksi
VFA untuk meningkatkan rasio reduksi besi menjadi 69,7%.

Judul : Penghapusan nitrogen dan fosfor dari limbah air limbah kota
menggunakan biofilm mikroalga
Penulis : N.C. Boelee, H. Temmink, M. Janssen, C.J.N. Buisman R.H. Wijffels
Tahun Terbit : 2011
Ringkasan
Mikroalga telah digunakan untuk mengolah air limbah di kolam besar selama
bertahun-tahun. Ketertarikan pada mikroalga dan pengolahan air limbah telah
diperbarui dengan temuan terbaru yang menunjukkan bahwa produksi biofuel
mikroalga dapat dibuat layak secara ekonomi dan berkelanjutan ketika menggunakan
air limbah sebagai pasokan nutrisi (Clarens et al., 2010; Pittman et al., 2011; Wijffels
et al. , 2010). Biaya pemanenan mikroalga dari suspensi yang diencerkan telah
mengarah pada penyelidikan sistem mikroalga alternatif, termasuk biofilm (Shi et al.,
2007). Sistem biofilm mikroalga memiliki keunggulan yaitu mampu mempertahankan
biomassa, sambil beroperasi pada waktu retensi hidrolik yang singkat. Diharapkan juga
bahwa sedikit atau tidak ada pemisahan mikroalga dan air yang diperlukan sebelum
membuang limbah (Roeselers et al., 2008; Schumacher et al., 2003), mungkin
membuat pemanenan jauh lebih mudah daripada di sistem yang ditangguhkan. Selain
itu, tidak diperlukan pengadukan dalam sistem, yang menghasilkan kebutuhan energi
yang lebih rendah dibandingkan dengan sistem mikroalga tersuspensi. Namun
demikian, kinerja sistem algalbiofilm dapat dibatasi oleh photoinhibition dan
keterbatasan difusi nutrisi atau karbondioksida (CO2) (Liehr et al., 1988; Murata et al.,
2007).
A. Pengaturan Eksperimen
Semua percobaan dilakukan dalam sistem yang terdiri dari sel aliran (produk
STT b.v.) dengan aliran masuk limbah cair (sintetis), dan wadah daur ulang dengan
aliran keluar limbah dan aliran daur ulang kembali ke sel aliran. Sistem ini ditunjukkan
pada Gambar. 1. Dalam flow cell, lapisan air 2 cm dialirkan di atas lembaran plastik
berukuran 1 mm (PVC 0,018 m2), tempat tumbuhnya biofilm mikroalga. Biofilm
mikroalga terus diterangi oleh kumpulan lampu fluoresen (Sylvania, CF-LE 55W /
840) pada intensitas cahaya 230 mmol / m2 / s (foton PAR, 400e700 nm). Intensitas
cahaya diukur dengan sensor kuantum PAR LI-COR SA190 2p pada level permukaan
biofilm. Bagian atas flow cell yang transparan berisi saluran keluar yang ditutupi oleh
septum, di mana gas yang terbentuk selama percobaan diambil sampelnya dan dibuang.
Dalam wadah daur ulang 400 mL, pH diukur (Endress þ Hauser CPS11D-7AA21) dan
dikontrol pada pH 7 dengan penambahan gas CO2 yang bijaksana. Temperatur
dikontrol pada 22 C dengan water jacket dari recycle vessel. Konsentrasi oksigen
terlarut diukur secara kontinyu (Mettler Toledo InPro 6050/120) di inlet dan outlet flow
cell. Menggunakan pengukuran oksigen di saluran masuk sel aliran, konsentrasi
oksigen terlarut dalam air limbah sintetis yang masuk dikontrol pada 35% saturasi
udara dengan penambahan gas N2 ke bejana daur ulang. Masuknya limbah cair sintetis
disesuaikan antara 0,3 mL / menit dan 5 mL / menit, tergantung pada nitrogen dan
beban fosfor yang diinginkan. Aliran daur ulang adalah 40 mL / menit, memberikan
kecepatan aliran laminar sekitar 0,6 mm / s dan waktu retensi di dalam sel aliran sekitar
9 menit. Berdasarkan aliran daur ulang yang besar yang tercampur secara efisien
dengan influen sebelum memasuki flow cell, dan berdasarkan pengamatan visual,
dapat diasumsikan dengan aman bahwa semua biofilm terpapar pada laju pembebanan
yang sama. Aliran limbah dikumpulkan dan disimpan selama maksimum 24 jam pada
suhu 2 C, untuk mengukur berat kering mikroalga dalam limbah. Untuk mencegah
pertumbuhan mikroalga dalam sistem di luar sel aliran, semua pipa berwarna hitam,
peralatan gelas berwarna coklat dan semua peralatan gelas dan sambungan ditutup
dengan aluminium foil. Tabel 1 menunjukkan 18 percobaan dengan tingkat
pembebanan, durasi, dan waktu retensi hidrolik yang sesuai. Konsentrasi NO 3 -N dan
PO3 4 -P diukur setiap hari di dalam influen dan limbah dan padatan tersuspensi diukur
setiap hari dalam limbah. Di akhir percobaan, biomassa dipanen dengan cara mengikis
biofilm dari lembaran plastik. Dari 11 percobaan biomassa mikroalga basah ini
dibekukan pada suhu 80 C hingga dilakukan analisis untuk menentukan jumlah total
biomassa dan kandungan C, N, P-nya.
B. Budidaya Biofilm Mikroalga
Mikroalga dikikis dari permukaan tangki pengendapan limbah pabrik
pengolahan air limbah kota di Leeuwarden, Belanda. Mikroalga ini ditumbuhkan pada
empat lembar lembaran PVC dalam labu Erlenmeyer 250 mL yang berisi 100 mL
limbah cair sintetis. Erlenmeyers disimpan dalam ruang pertumbuhan (New Brunswick
Scientific Innova 44) pada pengocok orbital (100 rpm) pada suhu 25 C. Ruang
pertumbuhan terus diterangi dengan 40 mmol foton / m2 / s, dan konsentrasi 2% CO2
dipertahankan dalam fase gas. Setiap dua minggu, limbah cair sintetis diganti dan
sebagian besar biofilm mikroalga dikerok dari lembaran plastik untuk memungkinkan
biofilm mikroalga tumbuh kembali dan menjaga kultur tetap hidup. Lembaran plastik
flow cell digores dengan amplas sebelum prosedur inokulasi sebelum percobaan.
Memulai prosedur ini, potongan inokulum dari ruang pertumbuhan digosok di atas
flow cell sheet. Setelah itu, flow cell sheet dibiarkan dalam buangan air limbah sintetis
minimal 2 jam sebelum dimasukkan ke flow cell.
Penelitian ini telah menunjukkan bahwa mikroalga biofilm dapat digunakan
untuk mengolah limbah cair kota dan menghilangkan sisa NO 3 -N dan PO3 4 -P ke
kebutuhan pembuangan yang lebih rendah yaitu 2,2 mg N / L dan 0,15 mg P / L.
Kapasitas penyerapan maksimum ditemukan pada beban 1.0 g NO 3 -N / m2 / d dan
0.13 g PO3 4 -P / m2 / d di bawah intensitas cahaya 230 mmol / m2 / s. Hingga kapasitas
serapan maksimum ini, kandungan N dan P internal mikroalga bergantung pada
kecepatan pemuatan. Ini menyiratkan bahwa mikroalga dapat mengasimilasi nitrogen
dan fosfor pada rasio N: P yang ada dalam limbah air limbah. Selain itu, diperkirakan
bahwa sistem pasca-pengolahan biofilm mikroalga skala penuh untuk 100.000
penduduk akan menjadi sekitar 10 ha, menghasilkan 2 ton biomassa per hari.

Judul : Penyisihan Kadar Fosfat Pada Limbah Cair Laundry Menggunakan


Biokoagulan Cangkang Kepiting (Brachyura)
Penulis : Siti Mashitah, Syarfi Daud Dan Jecky Asmura
Tahun Terbit : 2017
Ringkasan
Cangkang kepiting yang mengandung senyawa kimia kitin dan kitosan
merupakan limbah yang mudah didapat dan tersedia dalam jumlah yang banyak, yang
selama ini belum termanfaatkan secara optimal.Kitosan yang diisolasi dari cangkang
kepiting dapat digunakan sebagai koagulan. Kitosan memiliki dua gugus aktif yaitu
±NH2 dan ± OH pada pH tertentu, kedua gugus aktif ini dapat saja mengalami
protonasi ataupun deprotonasi yang mestinya akan menghasilkan muatan yang
berbeda.
Khitin merupakan senyawa golongan polisakarida yang merupakan polimer
linier dari anhidro N-Asetil D-Glukosamin.Kitosan adalah turunan dari kitin yang
diperoleh dengan deasetilasi yang merupakan polisakarida terbanyak kedua setelah
selulosa dan dapat ditemukan pada eksoskeleton invertebrate.Kitosan memiliki gugus
amina (NH2) yang kuat yang menyebabkan kitosan dapat digunakan sebagai
poliektrolit yang bersifat multifungsi dan berperan dalam pembentukan flok.
Kandungan kitin terbanyak terdapat pada cangkang kepiting yaitu mencapai 50%-
60%, cangkang udang mencapai 42%-57%, dan cangkang cumi-cumi dan kerang
masing-masing 40% dan 14-35% (Farihin dkk, 2008).
Limbah cair laundry juga memiliki kadar fosfat yang cukup tinggi, dimana dari
pengukuran yang dilakukan pada limbah awal nilai fosfat mencapai 6,0291 mg/l.
Setelah dilakukan proses penambahan biokoagulan dalam proses koagulasi
flokulasi terjadi penurunan nilai fosfat yang sangat signifikan.
Grafik Hubungan Dosis Dengan Konsentrasi Fosfat
Dari Gambar 2diatas menunjukkan bahwa kadar fosfat pada tiap dosis koagulan
mendapat nilai fosfat yang cenderung naik turun. Pada dosis koagulan 150 mg/L,
didapatkan nilai efisiensi 58,87%, 200 mg/l mendapatkan efisiensi 81,84% , 250
mg/lmendapatkan efisensi 69,41% dan 300 mendapatkan efisiensi 67,21%. Maka dari
itu bisa dikatakan bahwa dosis optimum Jom FTEKNIK Volume 4 No. 2 Oktober 2017
4 pada konsentrasi fosfat yaitu pada dosis konsentrasi 200 mg/l.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan maka dapat
disimpulkan sebagai berikut :
1. Efisiensi penyisihan maksimum Fosfat 81,84% yang didapat pada dosis
optimum 200 mg/l dengan kecepatan pengadukan 150 rpm selama 15 menit dan
60 rpm selama 15 menit.
2. Penyisihan konsentrasi Fosfat dari 6,0291 mg/L menjadi 1,0946 mg/L. Jika
dibandingkan dengan baku mutu PERMENLH/5/2014 untuk konsentrasi Fosfat
dinyatakan telah memenuhi baku mutu limbah cair.
DAFTAR PUSTAKA

Mashitah S., Daud S., Dan Asmura J., 2017, Enyisihan Kadar Fosfat Pada Limbah Cair
Laundry Menggunakan Biokoagulan Cangkang Kepiting (Brachyura),
Jom FTEKNIK, Universitas Riau, Pekanbaru.
Zairinayati, Dan Shatriadi H., 2019, Biodegradasi Fosfat pada Limbah Laundry
menggunakan Bakteri Consorsium Pelarut Fosfat, Jurnal Kesehatan
Lingkungan Indonesia, STIKes Muhammadiyah, Palembang.
Hong Li R., Cui J., Li X., Dan Li X., 2018, Pemindahan dan Pemulihan Fosfor dari Air
Limbah menggunakan FeDosing Bioreactor and Cofermentation:
Investigasi dengan X-ray Absorption Near-Edge Structure Spectroscopy,
University of Hong Kong, Hong Kong.
Boelee, N. C., Temmink H., Janssen M., Buisman C. J. N., Dan Wijffels R. H., 2011,
Penghapusan nitrogen dan fosfor dari limbah air limbah kota
menggunakan biofilm mikroalga, Wageningen University, Wageningen.
Dewi F. D., Dan Masduqi A., 2003, Penyisihan Fosfat Dengan Proses Kristalisasi
Dalam Reaktor Terfluidisasi Menggunakan Media Pasir Silika, Institut
Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya.

Anda mungkin juga menyukai