Anda di halaman 1dari 3

1.

Herpesviruses and COVID19 : increased complications

Tindakan Virus Herpes dalam sistem kekebalan:

Mengembangkan latensi herpesvirus adalah salah satu di mana sebagian besar kompartemen
sel T inang khusus untuk antigen virus herpes, dan sel-sel ini secara berkala terpapar dengan
antigen virus yang diekspresikan. selama reaktivasi virus yang sering di situs mukosa.
Kapasitas sel-sel ini untuk mengawasi latensi, dan untuk membatasi replikasi melalui
mekanisme sitotoksik atau non sitotoksik, adalah penting untuk menjaga hubungan virus-host
yang jinak. Namun, berdasarkan fungsi efektor sel T spesifik herpesvirus, permukaan mukosa
manusia berulang kali terpapar pada respons inflamasi, dengan potensi untuk mengubah
respons imun yang tampaknya tidak terkait yang terjadi di lokasi tersebut. Selain itu, proporsi
yang signifikan dari sel T spesifik herpesvirus menjadi diaktifkan secara sementara sebagai
tanggapan terhadap beragam infeksi sekunder, dan menghasilkan sitokin efektor, termasuk
IFNγ, yang dapat memiliki efek imunomodulator yang mendalam. Di bawah ini, kami
membahas bukti yang berkembang bahwa latensi virus herpes sebenarnya memodulasi respon
imun manusia terhadap antigen lain dengan cara yang relevan secara fisiologis.

Apakah latensi virus herpes melindungi manusia dari atopi dan alergi?

Di antara banyak penelitian yang menunjukkan bahwa peradangan yang digerakkan oleh
virus herpes dapat memperburuk penyakit manusia, ada saran bahwa peristiwa-peristiwa
modulatory yang sama ini - jika disampaikan pada waktu yang tepat - dapat memberikan
petunjuk perkembangan yang bermanfaat bagi sistem kekebalan manusia. Beberapa data
yang paling menarik bahwa infeksi herpes dini mengubah respons kekebalan terhadap
antigen heterolog pada manusia dengan cara yang berpotensi menguntungkan berasal dari
studi di mana para peneliti mengamati korelasi terbalik antara seropositifitas EBV dan risiko
atopi. Misalnya, Nilsson et al. diuji antibodi terhadap berbagai virus (termasuk HCMV, EBV,
HSV, HHV6, dan VZV) pada anak berusia dua tahun. Dalam kohort yang sama, mereka
mengukur kadar IgE serum dan melakukan pengujian kulit terhadap sejumlah makanan dan
alergen inhalan untuk mendeteksi sensitisasi IgE. Sensitisasi IgE berkurang secara signifikan
pada anak-anak yang seropositif untuk EBV. Infeksi sebelumnya dengan HCMV saja tidak
memberikan perlindungan terhadap sensitisasi IgE, tetapi koinfeksi dengan EBV dan HCMV
mengurangi risiko sensitisasi IgE ke tingkat yang lebih besar daripada infeksi EBV saja.
Dalam studi tindak lanjut, infeksi dini dengan EBV (sebelum usia dua tahun) berkorelasi
dengan penurunan risiko kepekaan IgE sementara infeksi yang terlambat dengan EBV
(setelah usia dua tetapi sebelum usia lima) memberikan peningkatan risiko. Bahwa infeksi
HCMV tidak memiliki efek yang sama dengan EBV, serta temuan bahwa efek perlindungan
diamati pada anak-anak yang lebih muda tetapi tidak pada kohort yang lebih tua, telah
diamati oleh orang lain juga. Saghafian-Hedengren et al. juga meneliti fungsi limfosit dan
sitokin serum pada anak-anak yang terinfeksi EBV atau koinfeksi dengan EBV dan HCMV
dan menemukan bahwa keberadaan virus berkorelasi dengan lebih sedikit sel NK yang
memproduksi IFNγ dan mengurangi serum IFNγ di perifer. Sementara beberapa studi
sebelumnya tidak mengamati peran perlindungan potensial untuk EBV dalam atopi, sebagian
besar data yang tersedia sampai saat ini menunjukkan perubahan yang jelas dalam sistem
kekebalan manusia yang disebabkan oleh latensi virus herpes dan membenarkan pemeriksaan
yang lebih dekat dari infeksi EBV sebelum dan setelah dua tahun. usia sehubungan dengan
risiko atopi, serta produksi sitokin dan fungsi limfosit di situs anatomi di mana reaktivasi
herpesvirus adalah umum dan sensitisasi alergi dimulai ..

Karena atopi dikaitkan dengan asma, dan kejadian asma meningkat secara bersamaan dengan
peningkatan pada usia serokonversi EBV dan CMV, masuk akal untuk bertanya apakah
infeksi dini dengan EBV dan / atau CMV dapat melindungi terhadap asma. Sebuah penelitian
terbaru dari Wu et al. menambahkan dimensi lain pada pertanyaan menarik ini. Para penulis
ini mempelajari lebih dari 95.000 bayi dan menemukan bahwa risiko mereka terkena asma
bervariasi sesuai dengan usia mereka pada saat puncak infeksi virus musim dingin. Bayi yang
lahir empat bulan sebelum puncak musim virus musim dingin lebih mungkin terserang asma
dibandingkan bayi yang lahir dua belas bulan sebelum puncak. Mereka berspekulasi bahwa
satu penjelasan untuk temuan ini berkaitan dengan waktu akuisisi virus herpes pada bayi
relatif terhadap paparan mereka terhadap virus musim dingin (asthmogenik). Yaitu, infeksi
herpesvirus, yang diperoleh sebelum musim virus musim dingin, mungkin melindungi
terhadap asma dengan mengubah respons kekebalan terhadap virus musim dingin seperti
virus syncytial pernapasan. Sebaliknya, dihipotesiskan bahwa virus musim dingin lebih
mungkin menyebabkan asma pada bayi yang sebelumnya tidak terpapar infeksi herpesvirus.

Kesimpulan:

Meskipun tidak ada hubungan langsung seperti infeksi COVID19 dengan virus herpes laten.
Karena mereka memiliki respon imun yang dimediasi sel-T, infeksi herpes lebih cenderung
memperburuk kondisi tersebut. Mereka menunjukkan keterkaitannya dengan atopi dan
peradangan serta melemahkan sistem kekebalan dengan menghentikan respons kekebalan,
sehingga orang-orang dengan herpes zoster yang laten atau bergejala memiliki risiko lebih
tinggi untuk terinfeksi atau mungkin memperburuk situasi.

2. Infeksi herpes simpleks virus 1 rekuren dengan faktor predisposisi stres


emosional

Infeksi Herpes simpleks virus 1 (HSV 1) intraoral rekuren atau Recurrent Intraoral Herpes
(RIH) merupakan infeksi HSV 1 rekuren yang ditandai adanya lepuh yang sakit dan gatal
serta vesikel pada mukosa oral. Lesi didahului rasa sakit, kesemutan, gatal, dimulai sebagai
makula yang cepat berubah menjadi papula, lalu vesikel selama sekitar 48 jam, kemudian
menjadi ulser yang akan pecah menjadi ulser dan keropeng dalam 72-96 jam serta sembuh
tanpa jaringan parut. Lesi yang luas dapat muncul pada pasien immunokompromis.

Infeksi HSV 1 disebabkan α-herpes virus 1 ditularkan melalui kontak dengan air liur yang
terinfeksi dan mengalami inkubasi selama 4-7 hari. HSV 1 ditularkan melalui kontak dari
orang yang terinfeksi. Virus HSV 1 akan menembus permukaan mukosa atau kulit yang
terluka (kulit yang tidak terluka bersifat resisten, ditransmisikan melalui sekresi oral,
menyebar melalui droplet pernapasan atau melalui kontak langsung dengan air liur yang
terinfeksi. Virus herpes simpleks masuk ke dalam sel hospes melalui proses interaksi dari
beberapa glikoprotein pada permukaan amplop virus dengan reseptor permukaan sel hospes.
Glikoprotein B (gB) pada virus akan berikatan dengan reseptor heparin sulfat (HS) pada sel
hospes. Virus HSV 1 akan menetap di dorsal ganglia terutama ganglion saraf trigeminal dan
dapat reaktif apabila ada pemicu. Rekurensi penyakit terjadi bila dipicu oleh stres,
menstruasi, demam, terpapar sinar matahari, trauma saraf dan keadaan imunosupresi.

Manifestasi klinis RIH ada 3 macam yaitu infeksi herpes labialis, ulserasi intra oral dan
herpes ulserasi intra oral berulang yang pada umumnya asimptomatik. RIH dapat berulang
dengan jarak dan waktu yang bervariasi serta di lokasi yang sama akan tetapi kekambuhan
pada setiap orang berbeda-beda. Lesi ulseratif RIH membutuhkan waktu lebih lama untuk
sembuh. RIH diawali gejala kesemutan, rasa terbakar diikuti pembentukan vesikel di area
distribusi sensorik, ulserasi dengan tepi eritema dan durasi lebih pendek bila dibandingkan
dengan infeksi primer. Terjadinya lesi RIH melalui beberapa tahap yaitu prodromal,
kemerahan, papula, vesikuler, ulser, krusta, pengelupasan krusta dan epitelisasi lengkap
(sembuh). Pemeriksaan serologis untuk konfirmasi infeksi HSV 1 dengan melihat terjadinya
kenaikan titer anti HSV1 IgM untuk fase akut dan anti HSV 1 IgG untuk kondisi kronis,
kultur atau PCR (Polymerase Chain Reaction)sebagai pembuktian lini pertama. Diagnosis
banding RIH adalah ulser traumatik, penyakit tangan, kaki dan mulut yang telah mengalami
ulserasi yang luas sedangkan pada pasien imunokompromis apabila terdapat keterlibatan
gingiva didiagnosis banding dengan Necrotizing Ulcerative Gingivitis (NUG).

3. Penatalaksanaan infeksi herpes simpleks oral rekuren

Infeksi herpes simpleks oral rekuren merupakan bentuk sekunder atau rekuren dari infeksi
herpes simpleks primer. Herpes simpleks adalah penyakit yang disebabkan oleh virus herpes
simpleks (VHS) yang merupakan virus DNA.Virus ini terdiri dari dua kelompok utama yang
dapat menginfeksi manusia, yaitu VHS tipe 1 dan tipe 2. Pada manusia, VHS bersifat laten
atau dormant dan dapat mengalami reaktivasi. Kemungkinan terjadi rekurensi lesi sebesar 30-
40%. Lesi infeksi rekuren bermanifestasi dalam dua bentuk,yaitu lesi yang sering terjadi pada
daerah di dekat bibir yang dikenal dengan nama herpes labialis atau cold sore, dan lesi pada
rongga mulut yang disebut infeksi herpes simpleks intraoral rekuren. Lesi rekuren di daerah
sekitar wajah lebih sering dijumpai dibanding lesi intraoral.

Anda mungkin juga menyukai