Anda di halaman 1dari 43

KEBIJAKAN FISKAL DAN MONETER

“KEBIJAKAN FISKAL DARI MASA KE MASA”

NAMA KELOMPOK 10 :

Ni Putu Andari Yudastini (1807511138)


Ni Kadek Reza Arya Yuniari (1807511140)

PROGRAM STUDI EKONOMI REGULER


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANA
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan
rahmat dan karunianya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
”Perkembangan Kebijakan Fiskal dari masa ke masa”. Kami juga mengucapkan
terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Dr. I Nyoman Mahaendra Yasa,
S.E., M.Si selaku dosen mata kuliah kebijakan fiskal dan moneter yang sudah
memberikan kepercayaan kepada kami untuk menyelesaikan tugas ini. Kami sangat
berharap makalah ini dapat bermanfaat dalam rangka menambah pengetahuan juga
wawasan mengenai Perkembangan Kebijakan Fiskal dari masa ke masa. Kami pun
menyadari bahwa di dalam makalah ini masih terdapat banyak kekurangan dan jauh
dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami mengharapkan adanya kritik dan saran demi
perbaikan makalah yang akan kami buat di masa yang akan datang. Mudah-mudahan
makalah sederhana ini dapat dipahami oleh semua orang khususnya bagi para
pembaca. Kami mohon maaf yang sebesar-besarnya jika terdapat kata-kata yang
kurang berkenan.

Denpasar, 24 September 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................................

1.1 Latar Belakang Masalah..................................................................................................

1.2 Rumusan Masalah.........................................................................................................

1.3 Tujuan Penulisan............................................................................................................

BAB II
PEMBAHASAN.........................................................................................................................

2.1 Kebijakan Fiskal Di Indonesia Tahun 1983 – 1997........................................................

2.1.1 Perubahan Pajak.....................................................................................................

2.2 Kebijakan Fiskal di Indonesia Tahun 1998 – Sekarang....................................................

2.2.1 Kebijakan Fiskal Tahun 1998 - 2000.....................................................................

2.2.2Kebijakan fiskal tahun 2001 - 2008 .......................................................................

2.2.3 Kebijakan Fiskal Tahun 2009 - 2011.....................................................................

2.2.4 Kebijakan Fiskal dalam menghadapi pandemi COVID-19...................................

YBAB III PENUTUP..................................................................................................................

3.1 Kesimpulan.....................................................................................................................

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kebijakan fiskal adalah kebijakan pemerintah dalam bidang anggaran dan


belanja negara yang bertujuan untuk mempengaruhi jalannya perekonomian.
Kebijakan fiskal bukan semata-mata kebijakan dalam bidang perpajakan, akan tetapi
menyangkut bagaimana mengelola pemasukan dan pengeluaran negara untuk
mempengaruhi perekonomian. Kebijakan fiskal memiliki tujuan yang persis dengan
kebijakan moneter. Perbedaan tersebut terletak pada instrument kebijakan yang
diterapkannya, yaitu dalam kebijakan moneter pemerintah mengendalikan jumlah
uang yang beredar, sedangkan dalam kebijakan fiskal pemerintah mengendalikan
penerimaan dan pengeluarannya.

Dalam catatan sejarah, memang tak bisa dipungkiri bahwa pertumbuhan


ekonomi Indonesia dari masa ke masa memang sudah melaju pesat. Namun jika
ditelusuri dalam lembaran sejarah perekonomian Indonesia, terutama pada masa orde
lama, pembangunan ekonomi Indonesia relatif statis. Berbagai ketidakstabilan politik
dan kendala keterbatasan sumber daya manusia telah menyebabkan selama waktu 20
tahun setelah kemerdekaan itu tak banyak sumberdaya yang tergarap. Tak jauh
berbeda dengan pertumbuhan ekonomi yang ditorehkan oleh renzim Orde Baru.
Indikator ini antara lain bisa dilihat pada kondisi utang luar negeri, inflasi,
pertimbuhan ekonomi, kemiskinan, defisit, dan anggaran.

Di era reformasi, bukan berarti dengan beralihnya pemegang kebijakan


beralih pula kondisi perekonomian Indonesia, dari keterpurukan menjadi
kesejahteraan. Akan tetapi persoalan-persoalan ekonomi tak akan bosan menyapa
bumi pertiwi ini. Paling tidak, terdapat tiga isu hangat yang seringkali
dperbincangkan kaitannya dengan kebijakan fiskal di Indonesia. Ketiga isu yang
dimaksud Subsidi bahan bakar minyak (BBM), Utang Luar Negeri, dan prediksi
besaran anggaran atau APBN.

1.2 Rumusan Masalah

1) Bagaimana perkembangan kebijakan fiskal tahun 1983-1997 ?


2) Bagaimana perkembangan kebijakan fiskal tahun 1998-sekarang ?

1.3 Tujuan Penulisan

1) Mengetahui tentang perkembangan kebijakan fiskal tahun 1983-1997


2) Mengetahui tentang perkembangan kebijakan fiskal tahun 1998-sekarang
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 KEBIJAKAN FISKAL DI INDONESIA TAHUN 1983 – 1997

Penentuan sistem dan keberhasilan kebijakan fiskal sangat ditentukan oleh


pengalaman dan sejarah penerapannya dalam pengelolaan suatu negara. Dalam
kenyataannya, sejarah fiscal dibentuk karena adanya situasi atau kondisi sumber
pendapatan pemerintah dari suatu periode tertentu ke periode berikutnya, baik karena
pengaruh luar negeri maupun karena pengaruh dalam negeri. Untuk sumber
pendapatan Pemerintah Indonesia dalam tahun 1951 – 1958 sebagian terbesar
bergantung dari pendapatan perdagangan luar negeri (Anne Booth). Setelah kurun
waktu ini terutama dalam tahun 1958 – 1968 pendapatan pemerintah dari pandangan
luar negeri mulai merosot di balik pendapatan lainnya belum dapat mengimbanginya
sehingga pemerintah kesulitan dalam mendapatkan dana pembangunan, kemudian
pemerintah menetapkan anggaran deficit.

Untuk menutup kedefisitkan anggaran, pemerintah mencari bantuan luar


negeri dan meminjam dana diluar negeri, yang akhirnya dengan dana luar negeri
berdampak pada kenaikan harga didalam negeri atau terjadi inflasi, yang kemudian
menjadi babak awal keruntuhan ekonomi Indonesia (RM Sundrum, 1973). Dengan
kondisi ini, mulai tahun 1969 – 1997 yang disebut era orde baru, pemerintah
Indonesia melaksanakan beberapa kebijakan :

a) Anggaran belanja negara yang tidak melebihi anggaran penerimaan dalam


negeri. Untuk itu, tabungan pemerintah diharap terus meningkat berbarengan
dengan pemulihan kondisi ekonomi.
b) Perpajakan yang masih sederhana segera diperluas pada objek pajak dan
dilakukan penyempurnaan cara penafsiran pajak dan cara pengumpulannya.
c) Pengeluaran pemerintah diusahakan untuk program yang mendapat prioritas.
d) Pengeluaran pemetintah diarakan pada sasaran untuk mendorong pemanfaatan
sumber sumber dalam negeri secara maksimal

Sehubungan dengan itu, dalam Pelita II atau tahun 1974/1975 sampai


1978/1979 pajak atas perusahaan minyak mencapai jumlah hampir 50% dari
penerimaan pusat dan hal ini memiliki konsekuensi pada kebijakan fiscal yaitu:

a) Dengan penerimaan itu terjadi kenaikan pengeluaran riil pemerintah, namun


penerimaan domestic tidak ikut meningkat karena pajak belum sempurna
b) Pajak atas perusahaan minyak yang diterima saat itu sebenarnya merupakan
bagian dari perhitungan perusahaan minyak sehingga tidak ada pengaruhnya
pada daya beli dalam negeri atau malahan menyebabkan inflasi.

Perkembangan berikutnya terutama tahun 1980-an, penghasilan pajak non


minyak mencapai jumlah kurang dari 30% dari total penghasilan pajak atau hanya
25% dari total anggaran pengeluaran (Anne Booth). Tentu hal itu sangat
mengecewakan pemerintah Indonesia karena saat itu juga terjadi penurunan
penghasilan minyak. Sampai dengan awal Pelita III atau dalam tahun 1979/80
masalah itu menjadi masalah berat bagi pemerintah Indonesia sehingga pemerintah
Indonesia mengintensifkan penetapan dan penarikan pajak. Mulai Januari 1981
pemerintah Indonesia melakukan perubahan pajak secara keseluruhan sehingga
kinerja pajak non minyak menjadi lebih baik karena dalam Pelita V atau tahun
1989/90 sampai dari 1993/94 diperkirakan akan terjadi penurunan yang tajam atas
bantuan luar negeri.

2.1.1 Perubahan Pajak

Perubahan pajak dapat dilihat dari sisi pola penerimaan pemerintah pusat,
perkembangan penerimaan domestic bukan minyak dan pembaruan kebijakan pajak.

a) Pola Penerimaan Pemerintahan Pusat


Dalam periode tahun 1967-1975 penerimaan pemerintah pusat meningkat
dengan pesatnya yaitu kira kira 10% atau menjadi lebih besar dari 20% dari
Gross Domestic Product atau GDP serta hasil keseluruhannya berasal dari
minyak (Anne Booth). Penerimaan negara ini dikelompokan menjadi :
 Penerimaan dalam negeri bukan minyak, yang terbagi dalam :
1) Pajak langsung
2) Pajak tidak langsung, dan
3) Penerimaan bukan pajak
 Penerimaan pajak minyak.
 Penerimaan dari luar negeri seperti pinjaman dan bantuan.

Dalam periode ini, pemerintah belum melakukan pinjaman dari pihak


perbankan seperti dengan penerbitan obligasi pemerintah. Dari kondisi ini,
terlibat bahwa arah pola penerimaan pajak dalam periode 1967 – 1975
adalah :

 Peningkatan pajak atas perusahaan minyak


 Masih rendahnya pajak dari bukan minyak
 Sangat rendahnya pajak tidak langsung
 Naiknya penerimaan untuk bantuan proyek dan kredit ekspor.

Dengan usaha penyempurnaan kebijakan pajak, tahun 1990-an pola penerimaan pajak
menjadi terbalik jika dibandingkan dengan periode 1967 – 1975 yaitu:

 Pajak atas perusahaan minyak menurun


 Pajak bukan minyak meningkat
 Pajak tidak langsung tidak turun
 Penerimaan untuk bantuan proyek dan kredit ekspor turun pelan-pelan
b) Perkembangan Penerimaan Domestic Nonminyak
Dalam Pelita I atau 1969/70 s/d 1973/74 pajak langsung yang berupa
pajak perseroan, MPO dan pajak penjualan mengalami peningkatan dengan
tajam tetapi pajak tidak langsung seperti Ipeda iuran pembangunan daerah)
dan pajak cukai meningkat agak lambat. Kondisi ini memberi gambaran agar
pemerintah mengintensifkan pajak atas pendapatan perorangan atau perseroan
dan pajak tanah permukiman di perkotaan. Pada periode ini tidak
dilaksanakan pajak ekspor karena untuk meningkatkan perdagangan luar
negeri di balik peningkatan pajak impor. Pajak merupakan salah satu
pendapatan pemerintah di samping bantuan luar negeri. Rata-rata bantuan luar
negeri terhadap pengeluaran pembangunan dalam Pelita I berkisar 57%, Pelita
II berkisar 36%, Pelita III berkisar 30%, dan Pelita IV berkisar 50% (Umar
Basalim, 1993).
Dalam awal Pelita III atau tahun 1979/80-1980/81 muncul harapan
yang cerah akan pendapatan pajak pendapatan atau PPn karena ditetapkannya
pembaruan pajak tahun 1981. Dalam tahun berikut, yaitu tahun 1988 atau
dalam akhir Pelita IV atau 1988/89 Pajak Pertambahan Nilai atau PPn
meningkat tiga kali dibanding dengan tahun 1983 walaupun pajak bumi dan
bangunan atau PBB masih kecil. Selama tahun 1983 hingga tahun 1988
potensi dalam meningkatkan PPN masih tinggi yaitu 53% dan PPh 35%
(Marie Muhammad, 1988).
APBN awal Pelita V atau 1989/90 sejalan dengan Paket 27 Oktober
1988 atau Pakto 27, 1988 yaitu suatu APBN yang diupayakan untuk
meningkatkan daya beli masyarakat luas atau untuk pemerataan dan
penyehatan neraca pembayaran. Pengeluaran dalam APBN ditujukan untuk
meningkatkan kemampuan golongan ekonomi lemah, penyerapan tenaga
kerja, dan peningkatan pendapatan nasional. Suatu kenyataan bahwa dalam
APBN tahun 1989/90 pengeluaran pembangunan yang dibiayai dengan
tabungan sebesar 13,75% dan 86,25% dibiayai dari pinjaman luar negeri. Oleh
karena itu, peranan kebijakan pajak masih sangat lemah sehingga kenaikan
penerimaan pajak sangat diharapkan hingga saat ini.
c) Pembaruan Kebijakan Pajak
Keadaan yang teruraikan di atas merupakan suatu tanda keberhasilan
dan pembaruan kebijakan pajak yang dimulai sejak tahun 1981. Pembaruan
ini dilakukan oleh pemerintah karena didorong oleh suatu pandangan yang
kuat bahwa dalam Pelita berikutnya khususnya mulai Pelita V atau 1989/90
s/d 1993/94 akan terjadi penurunan yang cepat dalam ketergantungan pada
bantuan luar negeri dan pada pajak minyak sehingga pengumpulan pajak
nonminyak diintensifkan. Dalam bulan Desember 1983 dan 1985 Dewan
Perwakilan Rakyat menyetujui UndangUndang Perpajakan, seperti:
a. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Peraturan dan Prosedur
Pajak Umum.
b. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pendapatan dan
Pajak Pertambahan Nilai Terhadap Barang dan Jasa serta Pajak
Penjualan Barang Mewah.
c. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang PBB.
d. d. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang pajak Materai.
Penerimaan dalam negeri yang berupa pajak sangat diandalkan oleh
pemerintah karena penerimaan dalam negeri lainnya seperti minyak
tergantung pada pasaran dunia dan kebijakan OPEC dan penerimaan ekspor
nonmigas juga tergantung pada kebijakan kuota impor, retribusi impor,
dumping, dan kebijakan lainnya. Kebijakan pajak dapat bersifat fleksibel atau
kenyal dalam pengaturan perekonomian. Reformasi perpajakan meliputi aspek
perumusan dan pembuatan peraturan perundang-undangan pajak yang
menyangkut utility ekonomi, meningkatkan keadilan, pemerataan beban,
peningkatan kepatuhan pajak, penyempurnaan administrasi pajak dengan
kepastian hukum, memberikan kemudahan dan pelayanan yang prima kepada
masyarakat wajib pajak dan berusaha meningkatkan pendapatan negara dari
pajak. Sesungguhnya jauh sebelum zaman reformasi pembaruan perpajakan
nasional I telah dilakukan yaitu dalam tahun 1983-1985, pembaruan
perpajakan yang II dilakukan dalam tahun 1994 dan 1997. Dalam pembaruan
perpajakan yang I melahirkan Undang-Undang Perpajakan:
a. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan.
b. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
c. Undang-undang nomor 8 tahun 1983 tentang PPN barang dan jasa dan
Pajak Penjualan atas barang mewah.
d. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang PBB.
e. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai.
Dalam pembaruan perpajakan yang II, melahirkan Undang-Undang
Perpajakan:
a. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1984 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan.
b. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Pajak Penghasilan.
c. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994 tentang PPN Barang dan Jasa
dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
d. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang PBB.
Pembaruan perpajakan yang III melahirkan UndangUndang Perpajakan:
a. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian
Sengketa Negara yang Mengundangkan Tata Cara Sengketa Pajak
Diantara Wajib Pajak dan Pemerintah
b. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah yang memerinci pendapatan dari pajak dan retribusi.
Jenis pajak daerah tingkat I berupa pajak kendaraan bermotor, bea
balik nama kendaraan bermotor dan pajak bahan bakar kendaraan
bermotor, serta jenis pajak daerah tingkat II berupa pajak hotel dan
restoran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak penerangan jalan, pajak
pengambilan dan pengolahan bahan galian C, dan pajak pemanfaatan
air bawah tanah dan air permukaan. Retribusi terdiri dari jasa umum,
jasa usaha dan perijinan tertentu.
c. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dan
Surat Paksa yang diterbitkan karena wajib pajak atau penanggung
tidak melunasi utang pajak sampai dengan tanggal jatuh tempo
pembayaran. Melakukan penyitaan jika wajib pajak atau penanggung
tidak memenuhi surat penagihan pajak.
d. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara
bukan Pajak yang terdiri dari penerimaan yang bersumber dari
pengelolaan dana pemerintah, penerimaan dari pemanfaatan sumber
daya alam, penerimaan dari hasil-hasil pengelolaan kekayaan negara
yang dipisahkan, penerimaan dari kegiatan pelayanan yang
dilaksanakan pemerintah, penerimaan berdasarkan keputusan
pengadilan dan berasal dari pengenaan denda administrasi, penerimaan
berupa hibah yang merupakan hak pemerintah dan penerimaan yang
diatur dalam undang-undang tersendiri.
e. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak
Atas Tanah dan Bangunan. Pajak dikenakan kepada yang menerima
(pribadi atau badan) hal atas tanah atau bangunan yang terdiri dari
pemindahan hak dan pemberian hak baru. Hak atas tanah atau
bangunan adalah hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak
pakai, hak milik atas satuan rumah susun, dan hak pengelolaan.

2.2 Kebijakan Fiskal di Indonesia Tahun 1998 – Sekarang

2.2.1 Kebijakan Fiskal Tahun 1998 – Tahun 2000

Perekonomian Indonesia menjelang tahun 2000 yang telah diwarnai oleh


krisis ekonomi yang dimunculkan dengan krisis moneter mulai tahun 1997, membuat
pemerintah harus mengatasinya dengan memulai suatu strategi kebijakan fiskal yang
baru agar masyarakat percaya dengan pengelolaan fiskal yang sehat. Langkah awal
yang dilakukan oleh pemerintah adalah konsolidasi fiskal untuk memulihkan
kepercayaan dan penurunan kebangkrutan fiskal, kemudian dilanjutkan dengan
reformasi fiskal yang lebih mengakar, reformasi perpajakan, reformasi kepabeanan,
reformasi anggaran, dan reformasi departemen keuangan (Budiono, 2004).
Krisis moneter tahun 1997 telah mengubah kondisi anggaran pendapatan dan
belanja negara menjadi defisit, ekonomi sektor riil macet dan terjadi inflasi sekitar
78%, kurs mata uang asing meningkat, dan PDB anjlog 13%. Setelah rekapitalisasi
perbankan, utang pemerintah menjadi 96% dari PDB atau sebesar Rp 1.226,1 triliun
(setara dengan US $ 60,8 miliar). Adapun Kebijakan fiskal yang ditempuh untuk
mengatasi krisis tahun 1997 antara lain dengan mengurangi ekspansi pengeluaran
pemerintah berikut merupakan kebijakan – kebijakan yang ditempuh :
1) Periode Juli – Agustus 1997 ( Temporary Adjustment)

Pemerintah melakukan konsolidasi anggaran dengan melakukan


penangguhan dan pengkajian ulang proyek BUMN yang Bermuatan impor
tinggi dan yang menggunakan sumber pendanaan luar negeri tinggi

2) Periode September – Desember 1997


Dari sisi fiskal kebijakan yang dilakukan antara lain dengan meningkatkan
disiplin anggaran yang meliputi langkah-langkah sebagai berikut,
a) Peningkatan penerimaan dari sumber non migas yang diusahakan
melalui peningkatkan pajak barang mewah serta penerimaan bukan
pajak.
b) Perbaikan administrasi dan struktur perpajakan
c) Pengurangan subsidi
d) Privatisasi BUMN
3) Periode Januari – November 1998
Kebijakan yang ditempuh antara lain mencakup pembatasan defisit
anggaran antara lain melakui pengurangan subsidi BBM, pencabutan
keringan perpajakan untuk proyek mobil nasional, dan penghentian dana
anggaran dan non-anggaran untuk proyek Industri Pesawat Terbang
Nusantara ( IPTN)
2.2.2 Kebijakan Fiskal Tahun 2001 – 2008
Kebijakan fiskal adalah kebijakan pemerintah di bidang pendapatan dan
pengeluaran negara dengan tujuan untuk perbaikan ekonomi. Kebijakan fiskal
memengaruhi kondisi perekonomian, tingkat pengangguran, inflasi, pertumbuhan
ekonomi, pendapatan per kapita, pemerataan pendidikan,dan kesehatan. Kebijakan
fiskal ditetapkan oleh pemerintah dan legislatif melalui anggaran pendapatan dan
belanja negara. Ada tiga tujuan kebijakan fiskal, yaitu:
a. Untuk memantapkan stabilitas ekonomi makro.
b. Untuk mengurangi ketergantungan pada bantuan luar negeri.
c. Untuk meningkatkan pendapatan per kapita.
Dalam tahun 2001, proses pemulihan ekonomi masih dipengaruhi oleh
ketidakpastian, kepercayaan masyarakat kepada pemerintah belum pulih, nilai tukar
rupiah terhadap mata uang asing masih lemah, inflasi cenderung meningkat, dan
pertumbuhan nilai ekspor khususnya nonmigas cenderung meningkat. Dengan
pengaruh ini, kebijakan ekonomi makro diarahkan pada upaya untuk meningkatkan
stabilitas ekonomi terutama dalam mengurangi tekanan inflasi dan melemahnya nilai
tukar rupiah serta memelihara ketahanan fiskal. Peranan pemerintah dalam
perekonomian dan pembangunan menjadi sangat penting, yaitu:
a. Merumuskan instrumen kebijakan fiskal dan pengeluaran.
b. Menganalisis pengaruh penerimaan dan pengeluaran negara terhadap
kondisi perekonomian, tingkat pengangguran, dan inflasi.
c. Mewujudkan sasaran ekonomi seperti pendapatan per kapita,
pertumbuhan ekonomi, pengurangan pengangguran, stabilitas
ekonomi, dan sasaran sosial seperti pemerataan, pendidikan, dan
kesehatan.
Setelah sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia atau
DPR-RI tanggal 30 April 2001 pandangan masyarakat terhadap ketidakpastian masih
berlaku. Ekspektasi masyarakat terhadap meningkatnya inflasi lebih didorong oleh
rencana pemerintah yang akan menaikkan harga bahan bakar minyak atau BBM, tarif
dasar listrik atau TDL, dan pajak pertambahan nilai atau PPN dalam Semester I tahun
2001.
Bersamaan dengan itu, mulai bulan Januari 2001, bangsa dan negara
Indonesia melalui babak baru penyelenggaraan pemerintahan dilakukan dengan dasar
otonomi di seluruh daerah tingkat II yang jumlahnya mencapai 336. Babak baru
tersebut menuntut peningkatan tanggung jawab penyelenggaraan pemerintahan atau
penyediaan barang publik dan pembangunan ekonomi ditingkat daerah sangat besar,
khususnya dalam bidang pendidikan yang merupakan unsur esensial dalam
pembangunan daerah yang telah menjadi salah satu bagian utama kebutuhan
penduduk. Walaupun telah digalakkan otonomi, kemampuan daerah untuk
mempertahankan dan meningkatkan penyelenggaraan pendidikan masih sangat
terbatas karena pendapatan asli daerah atau PAD masih rendah dalam penerimaan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah atau APBD daerah tingkat II dan kesiapan
sumber daya manusia serta kemampuan manajemen sektor pendidikan tingkat daerah
masih terbatas.
Secara umum, diyakini bahwa desentralisasi fiskal akan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat karena kebutuhan masyarakat daerah terhadap pendidikan
dan barang publik pada umumnya akan terpenuhi dengan lebih baik dibandingkan
bila langsung diatur oleh pemerintah pusat. Saat ini kesejahteraan masyarakat belum
terwujud karena efektivitas pengeluaran APBD tidak mampu mengimbangi
peningkatan PAD berupa pajak dan retribusi. Desentralisasi pajak di Indonesia
merupakan komponen utama dari program otonomi daerah yang dijalankan
sejaktahun 2001. Undang-Undang tentang Desentralisasi Pajak tidak mengatur
penyediaan barang publik dan pelayanan masyarakat khususnya kesehatan dan
pendidikan. Aspek penting dari sistem sosial masyarakat adalah nilai masyarakat
setempat terhadap profesi atau pedagang dan penghargaan terhadap kerja. Adapun
Manfaat dari desentralisasi fiskal adalah :
1) Efisiensi ekonomis, Anggaran daerah untuk pelayanan publik bisa lebih
mudah disesuaikan dengan preferensi masyarakat setempat dengan tingkat
akuntabilitas dan kemauan bayar yang tinggi.
2) Peluang meningkatkan penerimaan pajak dari pajak daerah, Pemerintah
daerah bisa menarik pajak dengan basis konsumsi dan aset yang tidak bisa
ditarik oleh pemerintah Pusat.

Namun desentralisasi fiskal juga mempunyai beberapa kelemahan Ada 4 (empat)


kelemahan dalam desentralisasi fiskal, yaitu :

1) Lemahnya kontrol pemerintah pusat terhadap ekonomi makro.


2) Sulitnya menerapkan kebijakan stabilitas ekonomi.
3) Sulitnya menerapkan kebijakan pembangunan ekonomi dengan pemerataan.
4) Besarnya biaya yang harus ditanggung pemerintah daerah daripada
keuntungan yang didapat.
Secara garis besar, fiskal dalam keuangan daerah dapat dibagi menjadi dua,
yaitu manajemen penerimaan daerah dan manajemen pengeluaran daerah. Kedua
komponen tersebut sangat menentukan kedudukan suatu pemerintahan daerah dalam
rangka melaksanakan otonomi. Implementasi desentralisasi fiskal dan otonomi daerah
yang didasarkan pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
Pemerintah Pusat dan Daerah yang direvisi dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 dan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004, memberikan kewenangan yang
luas dan nyata kepada pemerintah daerah untuk mengelola dan mengatur sumber daya
sesuai dengan kepentingan masyarakat daerahnya. Pemerintah daerah berwenang
untuk menetapkan prioritas pembangunan sesuai dengan potensi dan sumber daya
yang dimiliki.
Dengan adanya perubahan sistem pemerintahan sentralistik ke desentralistik
yang dimulai pada tahun anggaran 2001 ini membawa konsekuensi perlunya
diadakan perubahan pendekatan pada manajemen keuangan daerah terutama pada sisi
pengelolaan fiskal. Kebijakan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan
daerah juga perlu disesuaikan dengan semangat pelaksanaan otonomi daerah yakni
dengan menerapkan kebijakan desentralisasi fiskal.
Sementara itu, dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal, kebijakan
pengalokasian anggaran belanja daerah dalam bentuk dana perimbangan maupun
dana alokasi khusus diupayakan tetap konsisten dengan kebijakan fiskal nasional
(Abimanyu, 2003). Kebijakan dimaksud lebih diarahkan untuk memperkecil
ketimpangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah dengan tetap menjaga
netralitas fiskal, memperkecil ketimpangan, serta meningkatkan akuntabilitas,
efisiensi, dan efektivitas kinerja pemerintah daerah (Mardiasmo, Sidik, 2002). Secara
konsepsional, kebijakan pemerintah di bidang hubungan keuangan pusat dan daerah
akan mengacu pada beberapa konsep pembaruan untuk mewujudkan clean dan good
governance. Salah satunya akan dikembangkan balanced scorecard concept.
Selanjutnya, APBN tahun 2002 merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan dengan rencana pembangunan tahunan atau Repeta tahun 2002 di
samping mengacu kepada arah kebijakan yang digariskan dalam Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan
Negara atau GBHN tahun 1999-2004 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000
tentang Program Pembangunan Nasional atau Propenas tahun 2000-2004, juga
merupakan kelanjutan dari kebijakan fiskal tahun anggaran sebelumnya. APBN tahun
2002 di samping diselaraskan dengan kebijakan program pembangunan ekonomi
yang akan dilaksanakan dalam tahun anggaran 2002 juga mempertimbangkan kinerja
perekonomian dalam tahun anggaran 2001.
Dalam tahun 2002, peranan pemerintah sangat signifkan dalam pembangunan
ekonomi melalui instrumen fiskal dan moneter. Sebagaimana diketahui bahwa, tujuan
pemerintah melakukan intervensi dalam sistem perekonomian yaitu:
a. meningkatkan pertumbuhan ekonomi;
b. pemerataan hasil-hasil pembangunan
c. mempertahankan stabilisasi.
Berbagai perkembangan di bidang ekonomi dan nonekonomi memberikan
dampak yang kurang menguntungkan terhadap proses pemulihan ekonomi dalam
tahun anggaran 2001. Terhambatnya beberapa kebijakan fiskal seperti tertundanya
beberapa pelaksanaan kebijakan di bidang perpajakan, tidak dapat diberlakukannya
secara penuh rencana kebijakan kenaikan harga BBM pada awal April 2001, serta
adanya pembatalan sebagian pencairan pinjaman program untuk mendukung
pembiayaan pembangunan juga turut memperberat pelaksanaan APBN tahun
anggaran 2001.
Dengan mempertimbangkan beberapa hal di atas, kebijakan APBN tahun
anggaran 2002 diarahkan pada beberapa sasaran pokok terutama upaya untuk
mewujudkan ketahanan fiskal yang berkelanjutan, menciptakan stabilisasi ekonomi
makro, kebutuhan memberikan stimulus terhadap kegiatan perekonomian dalam
batas-batas kemampuan keuangan negara, serta mendukung proses pemulihan
ekonomi. Kebijakan ini juga diarahkan untuk memantapkan proses desentralisasi
dengan tetap mengupayakan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah yang
sepadan dengan penyerahan beberapa wewenang kepada pemerintah daerah dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI. Sejalan dengan kebijakan
ini, dana perimbangan diupayakan dapat mencerminkan asas keadilan dan
pemerataan, termasuk dalam rangka mengurangi kesenjangan fiskal antardaerah.
Dalam rangka pemenuhan kebutuhan belanja negara dan sekaligus untuk
menjaga kemantapan dan kestabilan pendapatan negara, pengerahan dan
pengendalian sumber – sumber penerimaan dalam negeri terutama dari penerimaan
perpajakan akan terus ditingkatkan melalui berbagai langkah seperti penyisiran
terhadap kegiatan usaha di sentra ekonomi – ekonomi tertentu, penyisiran terhadap
bebagai objek pajak atau transaksi tertentu yang dapat dijadikan petunjuk tingkat
kemampuan masyarakat dalam membayar pajak pengembangan sistem informasi dan
monitoring perpajakan yang terintegrasi, serta peningkatan kualitas aparatur,
pengawasan administrasi, pemeriksaan, penyidikan, penagihan secara aktif, dan
penegakan hukum. Optimalisasi sumber-sumber penerimaan negara bukan pajak atau
PNBP tetap akan dilaksanakan melalui berbagai langkah seperti peningkatan
pencegahan dan penanggulangan pencurian atau penebangan kayu secara tidak sah,
pemberantasan pencurian ikan di wilayah perairan Indonesia, peninjauan kembali
bagian pemerinah atas laba BUMN atau pay out ratio dengan tetap
mempertimbangkan kebutuhan kelangsungan investasi BUMN yang bersangkutan.
Kemudian di bidang belanja negara, kebijakan alokasi anggaran belanja
negara diarahkan untuk mendukung pelaksanaa desentralisasi fiskal, percepatan
restrukturisasi perbankan, penyediaan subsidi yang tepat sasaran dan berkaitan
langsung dengan masyarakat luas, serta pelaksanaan program-program sosial lainnya
yang diprioritaskan bagi pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat
miskin. Di sisi pengeluaran rutin, efisiensi dalam pengalokasian anggaran belanja ini
terus ditingkatkan tanpa mengabaikan penyelenggaraan kajian pemerintahan dan
upaya peningkatan kualitas pelayanan aparatur pemerintah kepada masyarakat.
Searah dengan arah kebijakan yang digariskan dalam Rencana Pembangunan
Tahunan atau Repeta tahun 2002, prioritas anggaran belanja pembangunan dalam
tahun anggaran 2002 dititikberatkan pada:
a. Pembangunan sektor pendidikan yang lebih difokuskan pada peningkatan
partisipasi pendidikan dasar melalui penuntasan program wajib belajar
pendidikan sembilan tahun dan peningkatan mutu pendidikan.
b. Pembangunan sektor kesehatan dan kesejahteraan sosial yang diarahkan
untuk meningkatkan mutu dan jangkauan pelaksanaan pelayanan
kesehatan dasar dan rujukan seluruh penduduk, terutama bagi penduduk
miskin, serta peningkatan dan perluasan pelayanan kesehatan sosial
terutama bagi penduduk miskin, anak terlantar, lanjut usia, penyandang
cacat, tunasosial, korban bencana alam, dan para pengungsi korban
kerusuhan sosial di berbagai wilayah termasuk pemukimannya kembali,
serta peningkatan mutu pelayanan kesehatan bagi pegawai negeri sipil,
Tentara Nasional Indonesia atau Kepolisian Republik Indonesia dan
Pensiunan.
c. Pembangunan sektor pertanian, kehutanan dan perikanan melalui kegiatan
yang mendukung peningkatan ketahanan pangan dan perbaikan gizi,
peningkatan kesejahteraan petani dan perbaikan kehidupan pedesaan,
pengembangan peternakan dalam rangka peningkatan gizi, pengembangan
perkebunan rakyat yang berorientasi ekspor, serta pembangunan perikanan
dan kelautan dalam rangka meningkatkan potensi ekonominya, dan
pemanfaatan sumber daya wilayah pesisir, kelautan, pulau-pulau kecil,
dan perikanan secara optimal dan berkelanjutan.
d. Pengembangan usaha skala mikro, kecil, menengah dan koperasi melalui
penciptaan iklim usaha yang kondusif, peningkatan akses kepada sumber
daya produktif, serta pengembangan kewirausahaan dan koperasi yang
memiliki keunggulan komparatif.
e. Pembangunan sektor perhubungan, dengan arah kegiatan pemeliharaan,
pembangunan dan pengembangan aksesibilitas, serta pelayanan jaringan
perhubungan dalam rangka untuk meningkatkan mobilitas barang dan
orang.
f. Pembangunan penegakan hukum, keamanan, dan ketertiban masyarakat
yang diarahkan untuk menanggulangi gangguan keamanan dan ketertiban
masyarakat melalui peningkatan kekuatan, serta kemampuan Kepolisian
Republik Indonesia dan aparat penegak hukum lainnya dengan
melaksanakan beberapa kegiatan seperti penyelenggaraan operasi
penegakan hukum dan keamanan serta ketertiban masyarakat.
g. Peningkatan ketahanan, melalui kegiatan meningkatkan profesionalisme
Tentara Nasional Indonesia dan kemampuan operasi dalam upaya
mencegah disintegrasi nasional dan menjaga keutuhan wilayah NKRI, dan
membantu Kepolisian Republik Indonesia dalam menciptakan stabilitas
dalam negeri.
h. Penguatan politik luar negeri dan diplomasi yang ditunjukan untuk
memulihkan citra Republik Indonesia di dunia internasional dalam rangka
mendukung pemulihan ekonomi nasional.

Kecenderungan peningkatan transfer dana ke daerah pada tahun 2003 dan


2004 terus terjadi baik secara absolut maupun proporsi tertentu terhadap produk
domestik bruto.Dalam tahun 2003 telah dilakukan kebijakan konsolidasi fiskal oleh
Direktorat Bea dan Cukai tentang reformasi kebijakan fiskal untuk meningkatkan
penerimaan pajak dan iklim investasi yang lebih baik, kebijakan cukai rokok untuk
mengatasi cukai palsu atas rokok sehingga penerimaan negara meningkat, reformasi
administrasi kepabeanan tentang perluasan jalur prioritas dan penyempurnaan
prosedur verifikasi kepabeanan untuk meningkatkan kepatuhan. Direktorat Jenderal
Lembaga Keuangan telah menentukan kebijakan jaring pengaman sektor keuangan
atau Finansial Safety Net dan membuat draf tentang RUU Lembaga Penjamin
Simpanan, dan membuat draf amendemen UU Bank Indonesia. Kebijakan asuransi
dan dana pensiun juga ditentukan yaitu tentang usaha perasuransian (izin, tingkat
kesehatan perusahaan asuransi, dan penyelenggara). Kebijakan kinerja BUMN juga
ditetapkan dalan hal audit BUMN dan juga kebijakan tentang pasar modal.

Dalam tahun 2004, kebijakan fiskal lebih dikaitkan dengan kebijakan


moneter, neraca pembayaran, dan sektor riil. Keterkaitan dengan kebijakan moneter
adalah karena anggaran negara merupakan salah satu komponen dari uang primer
yang perubahannya berdampak kepada jumlah uang beredar. Keterkaitannya dengan
neraca
bayaran tercermin dari sebagian komponen penerimaan negara yang berasal dari
penerimaan ekspor migas, defisit APBN, dan transaksi berjalan yang ditutup oleh
utang luar negeri dan pembayaran atas utang luar negeri juga tercermin dalam neraca
pembayaran. Keterkaitan dengan sektor riil seperti belanja rutin, dana pembangunan,
merefleksikan alokasi yang memengaruhi langsung pertumbuhan ekonomi baik dari
sisi permintaan maupun penawaran agregat.
Keterbatasan kebijakan fiskal disebabkan oleh adanya stock utang yang sangat
besar karena sebelumnya dilakukan kebijakan fiskal yang ekspansif, yaitu terlalu
besarnya defisit anggaran. Ada kekhawatiran dengan defisit anggaran yang terlalu
besar dapat menimbulkan crowding out efect sehingga mempersempit perkembangan
sektor swasta. Untuk mengatasi efek tersebut, perlu adanya pengurangan defisit
anggaran, pengurangan subsidi dan pengurangan pinjaman luar negeri secara
bertahap, peningkatan penerimaan pajak dan penghematan pengeluaran. Dalam tahun
2004, pemerintah menargetkan anggaran sekitar 1% dari Produk Domestik Bruto
serta ratio utang terhadap Produk Domestik Bruto kurang 60%. Angka ini merupakan
bagian dari konsolidasi fiskal jangka pendek yang mengupayakan anggaran
berimbang ada tahun 2005. Strategi penurunan defisit anggaran ditempuh dengan dua
langkah:
a. meningkatkan penerimaan negara terutama dari pajak,
b. pengendalian dan penajaman prioritas alokasi belanja negara.
Sementara itu, penurunan ratio utang publik terhadap PDB dilakukan dengan
cara optimalisasi pengelolaan utang dan pemilihan pembiayaan alternatif yang tepat
dan meningkatkan pertumbuhan PDB. Dari data yang ada penurunan ratio utang
dapat ditunjukkan bahwa tahun 2000 penurunan ratio utang 1,6% dari PDB, tahun
2001 penurunannya 2,8%, tahun 2002 penurunannya 1,7%, tahun 2003 penurunannya
1,8%, dan tahun 2004 diperkirakan 1%.
Permasalahan yang berat dihadapi dalam tahun 2004 sehingga pembaruan
kebijakan pajak terus dilakukan berupa pembaruan administrasi perpajakan sebagai
kelanjutan dari pembaruan administrasi perpajakan tahun 2003. Tujuan pembaruan
ini adalah untuk meningkatkan efektivitas pemungutan pajak serta memperluas basis
pajak tanpa harus menunggu perubahan Undang-Undang Perpajakan yang ada.
Pemerintah terus menggiring wajib pajak yang belum melakukan kewajiban
perpajakan dan menggiring mereka menjadi wajib pajak yang patuh. Untuk itu
dilakukan upaya :
a. Menyempurnakan peraturan perpajakan untuk mengakomodasikan
perkembangan dunia usaha dan menciptakan iklim yang kondusif
bagi masuknya investasi dan perdagangan
b. Melanjutkan program ekstensifikasi wajib pajak orang pribadi atau
badan yang telah memenuhi syarat dan ekstensifkasi yang sempat
tertunda pada tahun 2003.
c. Meningkatkan low enforcement dan intensifikasi wajib pajak.
d. Meningkatkan pelayanan terhadap wajib pajak antara lain dengan
memperluas penerapan sistem e-filling dan e-payment
e. Menegakkan kode etik di jajaran Ditjen Pajak.
Efisiensi belanja negara merupakan aspek penting dalam kebijakan fiskal
sehingga dalam tahun 2004 anggaran belanja negara difokuskan kepada:
a. Peningkatan efisiensi dan efektivitas pengelolaan belanja
negara.
b. Alokasi belanja pembangunan yang cukup untuk mendukung
pemulihan ekonomi nasional.
c. Konsolidasi pelaksanaan desentralisasi fiskal.
Anggaran belanja rutin ditujukan untuk:
a. Menjaga kelancaran penyelenggaraan pemerintahan negara
dan meningkatkan kualitas pelayanan publik.
b. Memenuhi kewajiban pembayaran bunga utang.
c. Melaksanakan program subsidi dalam rangka mengurangi
beban masyarakat miskin, membantu usaha kelompok
kecil, dan menengah.
d. Mendukung kelancaran pelaksanaan Pemilu 2004.
Prioritas alokasi pengeluaran rutin lebih diarahkan pada :
a. Pembelian kembali obligasi negara yang belum jatuh
tempo guna mengurangi stok utang.
b. Pengembangan pasar sekunder obligasi yang likuid dan
efisien.
c. Mengalihkan subsidi dari subsidi harga ke subsidi langsung
kepada masyarakat yang betul-betul membutuhkan.
d. Menyediakan dana cadangan umum untuk mengantisipasi
tidak tercapainya sasaran ekonomi makro dan untuk
menghadapi berbagai keadaan darurat seperti bencana.
Prioritas alokasi pengeluaran pembangunan dipertajam dengan
mengarahkan kepada:
a. Kegiatan penting yang bersifat mendesak untuk segera
dilaksanakan.
b. Proyek-proyek yang cepat berfungsi dan menghasilkan
manfaat bagi masyarakat.
c. Proyek-proyek yang sedang berjalan.
d. Penyediaan biaya operasional dan pemeliharaan bagi
prasarana dan sarana umum.
Dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal, kebijakan pengalokasian anggaran
belanja bagi daerah baik dalam bentuk dana perimbangan maupun dana otonomi
khusus dan penyeimbang diupayakan tetap konsisten dengan kebijakan fiskal
nasional. Kebijakan dimaksud adalah lebih diarahkan untuk memperkecil
ketimpangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dengan tetap
menjaga netralis fiskal, memperkecil ketimpangan keuangan antardaerah,
meningkatkan akuntabilitas efisiensi, dan efektivitas kinerja pemerintah daerah.
Di tahun 2005, APBN terdiri dari pola pendapatan negara dan hibah, belanja
negara, keseimbangan primer, surplus/defisit anggaran, dan pembiayaan. Kebijakan
fiskal tahun 2005 adalah kebijakan sebagai penerusan kebijakan fiskal tahun 2004
seperti kebijakan melakukan kampanye sadar dan peduli pajak melalui billboard,
videotron, highway information system, dan komik pajak untuk konsumsi anak-anak
serta melalui media elektronik, pengembangan dan pengawasan terhadap e-filling, e-
registration, e-payment, dan e-counseling, peningkatan kinerja tim optimalisasi
penerimaan pajak, dan melanjutkan program canvassing, manajemen pemeriksaan
pajak,dan penagihan tunggakan pajak. Agar kemampuan ekonomi masyarakat dapat
terdorong, telah dilakukan kebijakan intensifikasi perpajakan seperti penyesuaian
besaran penghasilan tidak kena pajak untuk tiap wajib pajak sehingga mengubah
penerimaan gaji bersih yang dibawa pulang oleh pegawai atau karyawan, pemberian
fasilitas fiskal bagi perusahaan yang membantu korban bencana alam berupa
deductible expense. Peningkatan pelayanan administrasi terus dilakukan baik dalam
bidang PPN,PBB, cukai, dan bea masuk.
2.2.3 Kebijakan Fiskal 2009 – 2011
Dalam beberapa tahun terakhir, strategi kebijakan fiskal lebih diarahkan untuk
melanjutkan dan memantapkan langkah-langkah konsolidasi fiskal dalam
mewujudkan APBN yang sehat dan berkelanjutan (fiscal sustainability), tetapi masih
dapat memberikan ruang untuk stimulus fiskal dalam batas-batas kemampuan
keuangan negara. Kebijakan fiskal secara umum adalah kearah ekspansif yang
dicerminkan dari adanya kebijakan defisit, sehingga dapat memberikan andil dalam
peningkatan pertumbuhan ekonomi.

Kebijakan fiskal tahun 2009 tetap diarahkan untuk nemberikan stimulus bagi
perekonomian domestik dengan besaran defisit yang berkesinambungan sesuai
dengan batas kemampuan keuangan negara. Situasi perekonomian global yang tidak
menentu yang diawali oleh krisis sub-prime mortgage di Amerika Serikat, naiknya
harga komoditas pangan, minyak mentah dan perlambatan ekonomi global
menyebabkan kebijakan fiskal mempunyai peran lebih strategis dalam menstimulus
pertumbuhan ekonomi dalam rangka menciptakan lapangan kerja untuk mengurangi
pengangguran dan kemiskinan.

Penyusunan APBN 2009 sangat dipengaruhi oleh situasi krisis ekonomi


global yang dimulai dari krisis finansial di Amerika dan Yunani. Kondisi ini
menimbulkan banyak pengaruh terhadap perkembangan perekonomian dunia,
termasuk Indonesia. Sebagaimana diketahui pada akhir tahun 2008 hingga awal tahun
2009, perekonomian dunia mengalami krisis keuangan yang sangat dahsyat, yang
ditandai dengan bangkrutnya lembaga-lembaga keuangan besar dunia. Perlambatan
aktivitas ekonomi yang terjadi di negara maju, juga berimbas ke negara-negara
berkembang termasuk Indonesia. Hal ini tak terhindarkan karena Indonesia memiliki
keterkaitan perdagangan dan finansial dengan negara-negara maju.

Dalam menghadapi krisis keuangan tersebut, pemerintah telah melakukan


langkah-langkah untuk mengantisipasi dampak buruk krisis tersebut. Langkah yang
diambil terutama dengan melakukan penguatan dan perlindungan terhadap
masyarakat dan pelaku ekonomi nasional dari imbas gejolak krisis ekonomi global.
Untuk meminimalkan dampak krisis ini pemerintah menetapkan berbagai kebijakan
countercyclical, yaitu kebijakan untuk mengembalikan siklus ekonomi yang sedang
menurun kearah yang lebih positif. Stimulus fiskal sebagai kebijakan countercyclical
dilakukan dalam rangka mempertahankan daya beli masyarakat, menjaga daya tahan
perusahaan/ sektor usaha, serta menciptakan kesempatan kerja dan menyerap dampak
PHK melalui kebijakan pembangunan infrastruktur padat karya.

Dalam APBN 2009, kebijakan fiskal dapat diperinci berdasarkan arah


kebijakan, strategi kebijakan, dan garis besar postur APBN 2009. Berdasarkan arah
kebijakan fiskal dimaksudkan untuk mencapai tiga prioritas utama yaitu:

a. Peningkatan pelayanan dasar dan pembangunan perdesaan


b. Percepatan pertumbuhan yang berkualitas dengan memperkuat
daya tahan ekonomi yang didukung oleh pembangunan
pertanian, infrastruktur, dan energi.
c. Peningkatan upaya antikorupsi, reformasi birokrasi, serta
pemantapan demokrasi, pertahanan dan keamanan dalam
negeri.
Sementara itu, strategi kebijakan fiskal tahun 2009 meliputi :
a. Pengendalian (capping) subsidi BBM dan listrik.
b. Memperhitungkan pelaksanaan amendemen UU PPh dan PPN.
c. Reformulasi dana perimbangan dengan memasukkan beban
subsidi BBM dan subsidi pupuk sebagai variabel penerimaan
dalam negeri (PDN) dalam perhitungan Dana Alokasi Umum
(DAU).
d. Pelaksanaan amendemen Undang-Undang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah (PDRD).
e. Belanja kementerian negara dan lembaga (K/L) Rp 322,3
triliun.

Pada Kebijakan fiskal tahun 2010, kebijakan di sektor riil pada tahun
sebelumnya dilanjutkan melalui pengucuran insentif fiskal. Menurut Sri Mulyani,
berbagai upaya pemerintah dalam menggenjot perekonomian di sektor ril pada tahun
ini diharapkan dapat menjadi angin segar untuk perekonomian nasional. Pada tahun
ini, stimulus fiskal hanya dialokasikan oleh Departemen Keuangan tidak lebih dari
1% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Angka ini relatif lebih kecil jika
dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Hal ini menggambarkan adanya kompensasi untuk penurunan belanja


pemerintah, sehingga sudah seharusnya adanya optimalisasi langkah terhadap hal ini
terutama pada sektor-sektor yang terlibat langsung dengan kebijakan ini meliputi
bidang energi,infrastruktur,industri,perdagangan,dansektor lainnya
(www.fiskal.depkeu.go.id)
Pada tahun 2010 pengeluaran negara diarahkan pada fasilitas untuk
pengembangan infrastruktur berupa peningkatan dana bagi Badan Layanan Umum
(BLU) tanah dan landcapping, pengoperasian perusahaan pembiayaan infrastruktur,
penjaminan untuk PDAM dan subsidi air bersih, dan pembangunan perumahan
rakyat. Selain belanja negara (government spending), kebijakan fiskal yang diambil
pemerintah pada tahun ini juga meliputi pemotongan pajak. Target pemotongan pajak
ini adalah untuk rumah tangga dan swasta. Berikut ini adalah beberapa kebijakan
pemerintah terkait masalah perpajakan di Indonesia pada tahun 2010:

a. Insentif perpajakan untuk rumah tangga, yaitu berupa penurunan


tarif PPh sebesar 3% dari 28% menjadi 25%. Dari sudut pandang
rumah tangga, penurunan pajak ini berarti mengurangi beban
pendapatan sehingga diharapkan dapat menaikkan kapasitas
konsumsi rumah tangga. Dari adanya peningkatan konsumsi ini
diharapkan para pelaku kegiatan produksi akan menjadi lebih
produktif untuk menyikapi perilaku konsumen tersebut, sehingga
arus perekonomian akan berputar menjadi lebih lancar. Implikasi
dari hal ini adalah memungkinkan terbukanya lapangan kerja baru
serta meningkatkan kesejahteraan pekerja dan dapat mengurangi laju
PHK yang mungkin terjadi akibat krisis global seperti krisis pada
tahun sebelumnya.
b. Insentif pajak berupa penurunan PPh bagi perusahaan (pihak
swasta) yang lebih dari 40% sahamnya dimiliki oleh publik atau
tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI). Besarnya penurunan PPh
badan untuk perusahaan yang listed di BEI adalah sebesar 5%.
Penurunan pajak badan ini dapat membuat perusahaan menjadi lebih
produktif. Dengan adanya penurunan pajak ini diharapkan
perusahaan dapat mempertahankan kapasitas produksinya, bahkan
meningkatkannya.
c. Insentif lainnya berupa penghapusan Pajak Penjualan Barang
Mewah (PPnBM) untuk mendorong berkembangnya industri
manufaktur, dan fasilitas PPh untuk sektor industri tertentu di daerah
tertentu.
d. Dimasukkannya produk pertanian primer sebagai nonbarang kena
pajak (nonBKP). Produk pertanian primer yang merupakan
kebutuhan pokok, seperti
beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, dan garam bukan merupakan
barang kena pajak
e. Insentif fiskal terkait penyediaan energi pada tahun ini ditujukan
untuk panas bumi, yaitu berupa fasilitas PPh, Pajak Pertambahan
Nilai Ditanggung Peme rintah (PPN DTP), dan pembiayaan. Untuk
migas berupa fasilitas PPN DTP untuk kegiatan eksplorasi dan untuk
minyak nabati berupa subsidi dan PPN. Pada tahun ini, pemerintah
juga memberikan penjaminan untuk pembangunan pembangkit
listrik 10.00 MW tahap II
f. Insentif sektor industri dan perdagangan meliputi pemberlakuan
National Single Window (NSW) termasuk pelayanan kepabeanan
dan pelabuhan 24 jam sehari 7 hari seminggu, Bea Masuk
Ditanggung Pemerintah (BMDTP) untuk industri tertentu, Bea
Masuk (BM) 0% untuk barang modal, dan dana revitalisasi
perkebunan dan industri gula.
g. Insentif sektor lainnya, meliputi insentif bagi daerah dengan kinerja
baik (opini wajar tanpa pengecualian dan penyelesaian APBD), dana
reformasi birokrasi di 11 kementerian/lembaga, dan tambahan modal
untuk LPEI dan Askrindo.

Perekonomian Indonesia tahun 2010 dinilai tidak memerlukan pembiayaan


defisit fiskal yang terlalu ekspansif. Perekonomian Indonesia tahun 2010 lebih
membutuhkan kebijakan fiskal yang tepat sasaran dan alternatif sumber pembiayaan
fiskal. Dalam menjalankan kebijakan ekonomi nasional pada tahun 2010, pemerintah
semakin memantapkan tujuh prioritas kebijakan yang selama ini telah dijalankan.
Secara rinci ketujuh kebijakan itu antara lain:

a. Menjaga agar sektor riil terus bergerak. Untuk itu pemerintah telah
mengeluarkan berbagai kebijakan termasuk insentif fiskal untuk
mendorong sektor riil terus tumbuh.
b. Mencegah terjadinya gelombang PHK seraya terus mengurangi
pengangguran. Hal ini dilakukan dengan berbagai kebijakan untuk
mengantisipasi akibat/dampak krisis global.
c. Menjaga stabilitas harga, terutama kebutuhan pokok yang dibutuhkan
masyarakat.
d. Menjaga daya beli masyarakat, yaitu dilakukan dengan menurunkan tarif
pajak orang pribadi, peningkatan batas penghasilan tidak kena pajak
(PTKP), penurunan harga BBM, kenaikan pengeluran pemerintah dengan
meningkatkan gaji PNS, TNI, Polri,pensiunan, serta guru/dosen dan
pemberian BLT. Kebijakan ini dilakukan karena konsumsi masyarakat
merupakan kontributor dominan terhadap pertumbuhan ekonomi.
e. Memberikan perlindungan dan menyediakan jaring pengaman sosial
kepada masyarakat lapisan bawah. Hal ini dilakukan dalam bentuk
program pro rakyat seperti BOS, Jamkesmas, PKH, beras bersubsidi, BLT
bersyarat, dan sebagainya.
f. Menjaga ketahanan pangan dan energi. Harga pangan tetap terjangkau
meskipun terjadi El-Nino yang menyebabkan terjadinya kekeringan. Hal
ini dilakukan dengan menjaga kecukupan cadangan beras Bulog,
melanjutkan program beras bersubsidi, dan juga menyediakan dana siaga
untuk menjaga stabilitas harga pangan.
g. Menjaga pertumbuhan ekonomi.

Pada tahun 2010 defisit anggaran mencapai Rp 98,0 triliun (1,6 persen dari
PDB). Target ini mengalami penurunan bila dibandingkan dengan tahun 2009. Untuk
mencapai sasaran pendapatan negara tahun 2010 pemerintah melakukan optimalisasi
penerimaan, yaitu dari penerimaan pajak maupun penerimaan negara bukan pajak
(PNBP).

Selanjutnya adalah Kebijakan fiskal tahun 2011, pada tahun 2011 pemerintah
mencanangkan delapan kebijakan untuk memperbaiki kinerja perpajakan yang
diharapkan dapat meningkatkan penerimaan serta meneruskan program reformasi
birokrasi pada Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Bea dan Cukai. Kebijakan
antara lain:

a. Untuk reformasi birokrasi, dilakukan pemisahan fungsi pembuatan


kebijakan dari Ditjen Pajak dan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) di mana
pembuatan kebijakan aturan pajak akan diambil oleh BKF dan
pelaksanaan administrasi dan pengumpulan pajak tetap dilakukan oleh
Ditjen Pajak.
b. Penerbitan Peraturan Menteri Keuangan sebagai pelaksanaan Pasal 36A
KUP yaitu penegakan sanksi bagi petugas pajak yang melakukan
pelanggaran hukum dalam melaksanakan tugasnya. Degan diterbitkannya
peraturan ini, diharapkan dapat menghentikan bentuk kejahatan dan
penyimpangan.
c. Kesepakatan antara Ditjen Pajak dan Akuntan Publik dalam rangka
pemeriksaan pajak. Hal ini berkaitan dengan masalah efisiensi dalam hal
pemeriksaan di Ditjen Pajak yang menyita waktu, sehingga dengan adanya
kerja sama ini dimungkinkan laporan keuangan wajib pajak yang
mendapat opini wajar tanpa pengecualian, tak perlu lagi diperiksa oleh
pemeriksa pajak
d. Kebijakan penyetaraan PPN antara film impor dan nasional. Hal ini
dilakukan oleh pemerintah dalam upaya meningkatkan daya saing bisnis
perfilman nasional. Aturan ini bernomor SE-03/PJ/201 tentang Pajak
Penghasilan (PPh) atas Penghasilan Berupa Royalti dan Perlakuan Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) atas film impor. Untuk menghitung besarnya
pungutan pajak film impor, tidak dilihat jenis ataupun harga dari film yang
bersangkutan. Pemerintah menetapkan secara flat tarif PPN dan PPh
impor Pasal 22 produk film impor sebesar US$ 0,43 per meter. Selain
pajak ini, film asing juga dikenakan pajak royalti (PPh pasal 26).
e. Penerbitan PP No.93/2010 tentang Sumbangan Penanggulangan Bencana
Nasional atau Kegiatan Litbang, Fasilitas Pendidikan, Sumbangan
Olahraga, dan Infrastruktur Sosial yang Bisa Dipakai Pengurangan Pajak.
Hal ini merupakan langkah khusus bagi perusahaan yang ingin melakukan
tanggung jawab sosial perusahaannya pada bidang pendidikan olah raga,
sehingga bisa memperoleh fasilitas fiskal.
f. Penerbitan PP No.94/2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak
dan Pelunasan Pph dalam Tahun Berjalan Mengenai Pembebasan PPh.
Hal ini merupakan tax holiday. Fasilitas ini diberikan kepada para investor
yang memenuhi kriteria khusus, yaitu industri pioneer yang memberikan
lapangan kerja tinggi, memperkenalkan teknologi baru, masuk di daerah-
daerah terpencil dan terbelakang, serta industri yang memberikan nilai
tambah.
g. Penyederhanaan prosedur pembebasan PPh 22 impor atas impor barang
sehingga importir tidak perlu pulang pergi menyelesaikan kegiatan impor.
h. Perlakuan perpajakan untuk penyederhanaan birokrasi dalam penyaluran
bantuan hibah sumbangan dengan pelimpahan wewenang kepada Ditjen
Bea dan Cukai, sehingga ketika ada bantuan kepada Indonesia dan
ditujukan kepada daerah bencana dapat disetujui perlakuan perpajakannya
dengan cepat.

Selain delapan kebijakan tersebut, sejak 1 Januari 2011 pemerintah


telah menghapus fiskal luar negeri. Sebelumnya, biaya fiskal ke luar negeri
tidak diberlakukan hanya bagi mereka yang memiliki nomor pokok wajib
pajak (NPWP). Kemudian selain memberikan insentif fiskal kepada
pengusaha berupa tax holiday bagi industri pioneer pada tahun 2011
pemerintah juga memberi kemudahan untuk penguncuran kredit dari
perbankan ke pengusaha, sehingga dapat mendorong percepatan pertumbuhan
ekonomi.

Pada Februari 2011 pemerintah mengeluarkan paket kebijakan yang


terdiri dari enam kebijakan yang diluncurkan oleh Menkeu dalam peraturan
keuangan kebijakan tersebut adalah sebagai berikut :

a. Pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk rumah sederhana yang


nilainya tidak lebih dari Rp 70 juta. Kebijakan ini diatur dalam Peraturan
Menteri Keuangan No. 31/PMK/03/201 1 tentang Batasan Rumah
Sederhana dan Rumah Sangat Sederhana yang atas penyerahannya
dibebaskan dari pengenaan PPN. Aturan ini mulai efektif berlaku pada
bulan Maret 2011.
b. Perlakuan PPN atas jasa maklon. Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan
Menteri Keuangan No. 30/PMK.03/2011 tentang Perubahan atas PMK
No. 70/ PMK.03/2010 tentang Batasan Kegiatan dan Jenis Jasa Kena
Pajak yang Atas Ekspornya dikenai PPN. Jasa maklon yaitu jasa
pengolahan bahan baku atau barang setengah jadi menjadi barang jadi,
yang bahan baku dan spesifikasi barang produksinya tergantung pesanan
di luar negeri. Untuk usaha manufaktur adalah kegiatan industri atau
kegiatan usaha produksi barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh atau
untuk kepentingan sendiri dan bukan berdasarkan pesanan dari pihak lain.
Kebijakan ini dilakukan dengan mem- perhitungkan restitusi pajak
masukan dalam laporan pajak keluar atas barang hasil maklon yang
diekspor.
c. Sektor lainnya yang mendapat insentif fiskal adalah fasilitas pajak
pertambahan nilai ditanggung pemerintah (PPN DTP) terhadap minyak
goreng. Peraturan ini tercatat dalam PMK No.26/PMK.01 1/201 1 yang
merupakan kelanjutan dari kebijakan serupa yang telah dimulai sejak
tahun 2008. Kebijakan ini tertuang dalam rangka perbaikan kualitas
minyak goreng yang merupakan salah satu komoditas kebutuhan pokok
masyarakat banyak yang dapat memenuhi persyaratan untuk dikonsumsi.
d. Penyederhanaan proses pemberian pembebasan bea masuk dan cukai.
Kebijakan ini diperuntukkan untuk barang kiriman hadiah untuk keperluan
ibadah umum, amal, sosial, dan kebudayaan. Peraturan ini tercatat dalam
PMK No. 27/PMK. 01 1/ 2011. Dengan adanya PMK ini akan
mempercepat proses pendistribusian yang semula dua bulan, diharapkan
dalam 10 hari dapat diselesaikan dan dapat didistribusikan. Ini berarti
yang dipangkas adalah pengurusan dokumen.
e. Ketentuan mengenai dasar pengenaan pajak dalam rangka perhitungan
Pajak Pertambahan Nilai dan pajak penjualan ada barang mewah,
khususnya tata laksana kemudahan impor tujuan ekspor.Peraturan ini
tertuang dalam PMK No.15/PMK.011/2011. Kebijakan ini bertujuan
untuk mengubah dasar perhtungan PPN dan PPNBM atas penjualan ke
Daerah Pabean Indonesia Lainnya (DPIL) atas hasil produksi sampingan,
sisa hasil produksi, hasil produksi yang rusak dan bahan baku yang rusak,
yang bahan bakunya berasal dari impor yang semula pemungutannya
didasarkaan pada harga impor, sekarang didasarkan atas harga jual
f. Kebijakan mengenai pemberian izin Bulog untuk mencairkan dana public
service obligation (PSO) untuk pengadaan beras rakyat miskin ( raskin)
Izin pencairan dana PSO itu sesuai dengan peraturan Menteri Keuangan
(PMK) No.125/PMK.02/2010.

2.2.4 Kebijakan Fiskal dalam menghadapi pandemi COVID-19

Wabah Covid-19 mempengaruhi seluruh dunia karena telah menyebar ke 199


negara. Setiap negara yang terjangkit Covid-19 mengambil tindakan yang cepat untuk
menangani Covid-19 dan mengurangi dampak sosial ekonomi. Menurut virologist
dan microbiologist, Covid-19 merupakan virus yang cepat menyebar, walaupun
fatality rate-nya rendah tidak seperti virus flu burung, atau demam berdarah. Namun,
Covid-19 berbahaya bagi penduduk berusia lanjut atau mempunyai penyakit jantung,
diabetes, darah tinggi dan penyakit pernapasan akut.

Salah satu cara memutus matarantai Covid-19 adalah dengan social


distancing, bertujuan mencegah orang sakit melakukan kontak dalam jarak tertentu
dengan orang sehat untuk mengurangi penularan. Menurut Center for Disease Control
dan Prevention (CDC) AS, social distancing adalah menjauhi perkumpulan,
menghindari pertemuan massal, dan menjaga jarak antar manusia sekitar 2 meter.
Termasuk bekerja dari rumah (work from home), menutup sekolah/kampus dengan
melakukan home schooling/belajar on line, beribadat di rumah.

Social distancing ini mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat Indonesia


yang terkenal guyub, suka bersalaman dan terbiasa berkumpul (seperti pesta
perkawinan, upacara adat, atau sekedar kongkow-kongkow). Dalam menghadapi
Covid-19, Pemerintah Indonesia melakukan pendekatan yang cepat dan prudent
untuk mengurangi dampaknya pada perekonomian. Beberapa ahli mengkhawatirkan,
dampak ekonomi yang ditimbulkan oleh Covid-19 bisa lebih besar dari dampak
kesehatan, dan pertumbuhan ekonomi akan melambat. Jika terjadi perlambatan
ekonomi, maka daya serap tenaga kerja akan berkurang, meningkatnya pengangguran
dan kemiskinan.

Sektor yang sangat terpukul dengan pandemi Covid-19 adalah pariwisata


dikarenakan adanya larangan traveling dan konsekuensi social distancing. Imbasnya
merembet ke industri perhotelan, restoran, retail, transportasi dan lainnya. Sektor
manufaktur juga terimbas karena terhambatnya supply chain bahan baku disebabkan
kelangkaan bahan baku terutama dari China dan keterlambatan kedatangan bahan
baku. Hal ini akan berdampak pada kenaikan harga produk dan memicu inflasi.

Pemerintah Indonesia mengambil kebijakan yang komprehensif di bidang


fiskal untuk menghadapi Covid-19. Di bidang fiskal, Pemerintah melakukan
kebijakan refocusing kegiatan dan realokasi anggaran. Untuk itu, Presiden RI, Joko
Widodo, menerbitkan Inpres No.4/2020, yang menginstruksikan, seluruh
Menteri/Pimpinan/Gubernur/Bupati/Walikota mempercepat refocusing kegiatan,
realokasi anggaran dan pengadaan barang jasa penanganan Covid-19.

Selanjutnya, Kementerian Keuangan akan merealokasi dana APBN sebesar


Rp62,3 triliun. Dana tersebut diambil dari anggaran perjalanan dinas, belanja non
operasional, honor-honor, untuk penanganan/pengendalian Covid-19, perlindungan
sosial (social safety net) dan insentif dunia usaha. APBD juga diharapkan di-
refocusing dan realokasi untuk 3 hal tersebut.

Penguatan penanganan Covid-19, dilakukan dengan menyediakan fasilitas


dan alat kesehatan, obat-obatan, insentif tim medis yang menangani pasien Covid-19
dan kebutuhan lainnya. Social safety net diberikan untuk meningkatkan daya beli
masyarakat melalui program keluarga harapan (PKH), Kartu Indonesia Pintar (KIP),
Kartu Sembako dan beras sejahtera. Kementerian/Lembaga/Pemda diharapkan
memperbanyak program padat karya termasuk Dana Desa. Sedangkan insentif dunia
usaha dilakukan untuk membantu pelaku usaha khususnya UMKM dan sektor
informal.

Kemenkeu juga menerbitkan PMK 23/2020 yang memberikan stimulus pajak


untuk karyawan dan dunia usaha yaitu pajak penghasilan karyawan ditangung
Pemerintah, pembebasan pajak penghasilan impor, pengurangan angsuran PPh Pasal
25. Disamping itu, pemberian insentif/fasilitas Pajak Pertambahan Nilai yang
terdampak Covid-19.

Presiden RI juga memberikan arahan agar Kementerian/Lembaga


memprioritaskan pembelian produk UMKM, mendorong BUMN memberdayakan
UMKM dan produk UMKM masuk e-catalog.

Potensi Risiko Kebijakan Fiskal dalam menghadapi pandemi covid-19.


Pelonggaran kebijakan fiskal diprakirakan dapat menahan pelemahan ekonomi yang
lebih dalam akibat COVID-19. Namun demikian, stimulus kebijakan tersebut juga
berpotensi menimbulkan risiko. Risiko Kebijakan Fiskal, Peningkatan stimulus
fiskal untuk mengatasi dampak pandemi COVID-19, telah memperlebar defisit
fiskal, di tengah penerimaan pemerintah yang menurun. Pemerintah menutupi
kebutuhan pembiayaan dengan menerbitkan surat berharga atau mencari pinjaman
sehingga berisiko pada sustainabilitas utang. Kenaikan beban fiskal terjadi baik di
negara maju maupun berkembang. Defisit fiskal Indonesia (6,3% PDB dari 2,2%).
Proses perbaikan fiskal menuju posisi sebelum COVID-19 diprakirakan berjalan
lebih lambat dari ekspektasi, dan peningkatan beban fiskal dapat memicu penurunan
prospek peringkat negara dan meningkatkan biaya pinjaman .
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

KEBIJAKAN FISKAL TAHUN 1983-1997

Dalam kenyataannya, sejarah fiscal dibentuk karena adanya situasi atau


kondisi sumber pendapatan pemerintah dari suatu periode tertentu ke periode
berikutnya, baik karena pengaruh luar negeri maupun karena pengaruh dalam negeri.
Untuk sumber pendapatan Pemerintah Indonesia dalam tahun 1951 – 1958 sebagian
terbesar bergantung dari pendapatan perdagangan luar negeri. Untuk menutup
kedefisitkan anggaran, pemerintah mencari bantuan luar negeri dan meminjam dana
diluar negeri, yang akhirnya dengan dana luar negeri berdampak pada kenaikan harga
didalam negeri atau terjadi inflasi, yang kemudian menjadi babak awal keruntuhan
ekonomi Indonesia (RM Sundrum, 1973).

Anggaran belanja negara yang tidak melebihi anggaran penerimaan dalam


negeri. Sampai dengan awal Pelita III atau dalam tahun 1979/80 masalah itu menjadi
masalah berat bagi pemerintah Indonesia sehingga pemerintah Indonesia
mengintensifkan penetapan dan penarikan pajak. Mulai Januari 1981 pemerintah
Indonesia melakukan perubahan pajak secara keseluruhan sehingga kinerja pajak non
minyak menjadi lebih baik karena dalam Pelita V atau tahun 1989/90 sampai dari
1993/94 diperkirakan akan terjadi penurunan yang tajam atas bantuan luar negeri.
Dalam periode tahun 1967-1975 penerimaan pemerintah pusat meningkat dengan
pesatnya yaitu kira kira 10% atau menjadi lebih besar dari 20% dari Gross Domestic
Product atau GDP serta hasil keseluruhannya berasal dari minyak (Anne Booth).

Dalam periode ini, pemerintah belum melakukan pinjaman dari pihak


perbankan seperti dengan penerbitan obligasi pemerintah. Dalam Pelita I atau
1969/70 s/d 1973/74 pajak langsung yang berupa pajak perseroan, MPO dan pajak
penjualan mengalami peningkatan dengan tajam tetapi pajak tidak langsung seperti
Ipeda iuran pembangunan daerah) dan pajak cukai meningkat agak lambat. Dalam
awal Pelita III atau tahun 1979/80-1980/81 muncul harapan yang cerah akan
pendapatan pajak pendapatan atau PPn karena ditetapkannya pembaruan pajak tahun
1981. APBN awal Pelita V atau 1989/90 sejalan dengan Paket 27 Oktober 1988 atau
Pakto 27, 1988 yaitu suatu APBN yang diupayakan untuk meningkatkan daya beli
masyarakat luas atau untuk pemerataan dan penyehatan neraca pembayaran. Suatu
kenyataan bahwa dalam APBN tahun 1989/90 pengeluaran pembangunan yang
dibiayai dengan tabungan sebesar 13,75% dan 86,25% dibiayai dari pinjaman luar
negeri.

Keadaan yang teruraikan di atas merupakan suatu tanda keberhasilan dan


pembaruan kebijakan pajak yang dimulai sejak tahun 1981. Penerimaan dalam negeri
yang berupa pajak sangat diandalkan oleh pemerintah karena penerimaan dalam
negeri lainnya seperti minyak tergantung pada pasaran dunia dan kebijakan OPEC
dan penerimaan ekspor nonmigas juga tergantung pada kebijakan kuota impor,
retribusi impor, dumping, dan kebijakan lainnya.

KEBIJAKAN FISKAL TAHUN 1998 – SEKARANG

Kebijakan fiskal tahun 1998-sekarang

Kebijakan fiskal tahun 1998 sampai tahun 2000 diwarnai dengan proses
perbaikan ekonomi sejak krisis moneter tahun 1997. Adapun langkah awal yang
diambil oleh pemerintah adalah konsolidasi fiskal untuk memulihkan kepercayaan
dan penurunan kebangkrutan fiskal, kemudian dilanjutkan dengan reformasi fiskal
yang lebih mengakar, reformasi perpajakan, reformasi kepabeanan, reformasi
anggaran, dan reformasi departemen keuangan. Adapun implementasi dari kebijakan
tersebut adalah Periode Juli – Agustus 1997 ( Temporary Adjustment) Pemerintah
melakukan konsolidasi anggaran dengan melakukan penangguhan dan pengkajian
ulang proyek BUMN yang Bermuatan impor tinggi dan yang menggunakan sumber
pendanaan luar negeri tinggi. Periode September – Desember 1997,Dari sisi fiskal
kebijakan yang dilakukan antara lain dengan meningkatkan disiplin anggaran yang
meliputi langkah-langkah yaitu peningkatan penerimaan dari sumber non migas yang
diusahakan melalui peningkatkan pajak barang mewah serta penerimaan bukan pajak,
perbaikan administrasi dan struktur perpajakan,pengurangan subsidi, privatisasi
BUMN Periode Januari – November 1998, Kebijakan yang ditempuh antara lain
mencakup pembatasan defisit anggaran antara lain melakui pengurangan subsidi
BBM, pencabutan keringan perpajakan untuk proyek mobil nasional, dan penghentian
dana anggaran dan non-anggaran untuk proyek Industri Pesawat Terbang Nusantara
( IPTN)

Pada tahun 2001 proses pemulihan ekonomi masih dipengaruhi oleh ketidakpastian,
kepercayaan masyarakat kepada pemerintah belum pulih, inflasi cenderung
meningkat, dan pertumbuhan nilai ekspor khususnya nonmigas cenderung meningkat.
Dengan pengaruh ini, kebijakan ekonomi makro diarahkan pada upaya untuk
meningkatkan stabilitas ekonomi terutama dalam mengurangi tekanan inflasi dan
melemahnya nilai tukar rupiah serta memelihara ketahanan fiskal. Dan pada tahun
2001 juga dilaksanakan desentralisasi fiskal penyelenggaraan pemerintahan dilakukan
dengan dasar otonomi di seluruh daerah tingkat II. Desentralisasi fiskal diyakini akan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat karena kebutuhan masyarakat daerah
terhadap pendidikan dan barang publik pada umumnya akan terpenuhi dengan lebih
baik dibandingkan bila langsung diatur oleh pemerintah pusat. Secara garis besar,
fiskal dalam keuangan daerah dapat dibagi menjadi dua, yaitu manajemen
penerimaan daerah dan manajemen pengeluaran daerah.

Pada tahun 2002 perkembangan di bidang ekonomi maupun non ekonomi


memberikan dampak yang kurang menguntungkan terhadap proses pemulihan
ekonomi dalam tahun 2002. Terhambatnya beberapa kebijakan fiskal seperti
tertundanya beberapa pelaksanaan kebijakan perpajakan, tidak dapat
diberlakukannya secara penuh rencana kenaikan harga BBM pada 2001, serta
adanya pembatalan sebagian pencairan pinjaman program untuk mendukung
pembiayaan pembangunan juga turut memperberat pelaksanaan APBN 2001.
Dengan mempertimbangkan hal tersebut kebijakan APBN tahun 2002 diarahkan
pada beberapa sasaran pokok terutama upaya untuk mewujudkan ketahanan fiskal
yang berkelanjutan, menciptakan stabilisasi ekonomi makro, kebutuhan memberikan
stimulus terhadap kegiatan perekonomian dalam batas-batas kemampuan keuangan
negara, serta mendukung proses pemulihan ekonomi.

Pada tahun 2003 Kecenderungan peningkatan transfer dana ke daerah pada tahun
2003 dan 2004 terus terjadi baik secara absolut maupun proporsi tertentu terhadap
produk domestik bruto.Maka dari itu dilakukan kebijakan konsolidasi fiskal oleh
Direktorat Bea dan Cukai tentang reformasi kebijakan fiskal untuk meningkatkan
penerimaan pajak dan iklim investasi yang lebih baik. Direktorat Jenderal Lembaga
Keuangan telah menentukan kebijakan jaring pengaman sektor keuangan atau
Finansial Safety Net dan membuat draf tentang RUU Lembaga Penjamin Simpanan,
dan membuat draf amendemen UU Bank Indonesia.

Pada tahun 2004 kebijakan fiskal lebih dikaitkan dengan kebijakan moneter, neraca
pembayaran, dan sektor riil. Keterbatasan kebijakan fiskal disebabkan oleh adanya
stock utang yang sangat besar karena sebelumnya dilakukan kebijakan fiskal yang
ekspansif, yaitu terlalu besarnya defisit anggaran. Untuk mengatasi efek tersebut,
perlu adanya pengurangan defisit anggaran, pengurangan subsidi dan pengurangan
pinjaman luar negeri secara bertahap, peningkatan penerimaan pajak dan
penghematan pengeluaran. Sementara itu, penurunan ratio utang publik terhadap PDB
dilakukan dengan cara optimalisasi pengelolaan utang dan pemilihan pembiayaan
alternatif yang tepat dan meningkatkan pertumbuhan PDB. Karena permasalah berat
terjadi pada tahun 2004 pemerintah menggalakan kebijakan pajak adapan upaya yang
dilakukan (1) penyemurnaan peraturan pajak (2) melanjutkan program esktensifikasi
wajib pajak (3) Meningkatkan low enforcement dan intensifikasi wajib pajak,
(4)Meningkatkan pelayanan terhadap wajib pajak antara lain dengan memperluas
penerapan sistem e-filling dan e-payment, (5)Menegakkan kode etik di jajaran Ditjen
Pajak.
Kebijakan fiskal tahun 2005 adalah kebijakan sebagai penerusan kebijakan fiskal
tahun 2004 seperti kebijakan melakukan kampanye sadar dan peduli pajak. Agar
kemampuan ekonomi masyarakat dapat terdorong, telah dilakukan kebijakan
intensifikasi perpajakan seperti penyesuaian besaran penghasilan tidak kena pajak
untuk tiap wajib pajak sehingga mengubah penerimaan gaji bersih yang dibawa
pulang oleh pegawai atau karyawan, pemberian fasilitas fiskal bagi perusahaan yang
membantu korban bencana alam berupa deductible expense. Peningkatan pelayanan
administrasi terus dilakukan baik dalam bidang PPN,PBB, cukai, dan bea masuk.

Kebijakan fiskal tahun 2009 Penyusunan APBN 2009 sangat dipengaruhi oleh
situasi krisis ekonomi global yang dimulai dari krisis finansial di Amerika dan
Yunani. Sebagaimana diketahui pada akhir tahun 2008 hingga awal tahun 2009,
perekonomian dunia mengalami krisis keuangan yang sangat dahsyat, yang ditandai
dengan bangkrutnya lembaga-lembaga keuangan besar dunia. Perlambatan aktivitas
ekonomi yang terjadi di negara maju, juga berimbas ke negara-negara berkembang
termasuk Indonesia. Untuk meminimalkan dampak krisis ini pemerintah menetapkan
berbagai kebijakan countercyclical, yaitu kebijakan untuk mengembalikan siklus
ekonomi yang sedang menurun kearah yang lebih positif. Stimulus fiskal sebagai
kebijakan countercyclical dilakukan dalam rangka mempertahankan daya beli
masyarakat, menjaga daya tahan perusahaan/ sektor usaha, serta menciptakan
kesempatan kerja dan menyerap dampak PHK melalui kebijakan pembangunan
infrastruktur padat karya.

Pada Kebijakan fiskal tahun 2010 Pada tahun 2010 defisit anggaran mencapai Rp
98,0 triliun (1,6 persen dari PDB). Target ini mengalami penurunan bila
dibandingkan dengan tahun 2009. Untuk mencapai sasaran pendapatan negara tahun
2010 pemerintah melakukan optimalisasi penerimaan, yaitu dari penerimaan pajak
maupun penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Kebijakan di sektor riil pada tahun
sebelumnya dilanjutkan melalui pengucuran insentif fiskal

Pada tahun 2011 pemerintah mencanangkan delapan kebijakan untuk memperbaiki


kinerja perpajakan yang diharapkan dapat meningkatkan penerimaan serta
meneruskan program reformasi birokrasi pada Direktorat Jenderal Pajak dan
Direktorat Bea dan Cukai. dimana delapan kebijakan tersebut berkaitan dengan
penyerdahaan birokrasi serta pembuata PP yang berkaitan dengan keuangan dan
pajak. Sejak 1 Januari 2011 pemerintah telah menghapus fiskal luar negeri.
Sebelumnya, biaya fiskal ke luar negeri tidak diberlakukan hanya bagi mereka yang
memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP). Selain itu, pada Februari 2011
pemerintah mengeluarkan enam kebijakan yang dikeluarkan oleh Menkeu atau
Menteri Keuangan terkait.

Pada tahun ini tahun 2020 terjadinya pandemi COVID-19 yang memberikan
dampak yang sangat besar di bidang perekonomian dan berbagai sektor lainnya
sehingga perekonomian melemah. Berkaitan dengan hal tersebut pemerintah
meluncurkan beberapa kebijakan fiskal. Pemerintah melakukan kebijakan refocusing
kegiatan dan realokasi anggaran. Untuk itu, Presiden RI, Joko Widodo, menerbitkan
Inpres No.4/2020, Kementerian Keuangan akan merealokasi dana APBN sebesar Rp
62,3 triliun, untuk penanganan/pengendalian Covid-19, perlindungan sosial (social
safety net) dan insentif dunia usaha. Kemenkeu juga menerbitkan PMK 23/2020
yang memberikan stimulus pajak untuk karyawan dan dunia usaha yaitu pajak
penghasilan karyawan ditangung Pemerintah, pembebasan pajak penghasilan impor,
pengurangan angsuran PPh Pasal 25. Disamping itu, pemberian insentif/fasilitas
Pajak Pertambahan Nilai yang terdampak Covid-19.
DAFTAR PUSTAKA

Sudirman, 2011. Kebijakan Fiskal dan Moneter, Teori&Empirikal.


Jakarta:KENCANA

https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/13017/Kebijakan-Fiskal-dan-Moneter-
Mengadapi-Dampak-Covid-19.html

https://www.researchgate.net/publication/312930860_KONDISI_DAN_RESPON_K
EBIJAKAN_EKONOMI_MAKRO_SELAMA_KRISIS_EKONOMI_TAHUN_1997
-98

Anda mungkin juga menyukai