Anda di halaman 1dari 7

Rasisme adalah masalah rasial yang mendarah daging di tengah

kehidupan masyarakat multikultur di berbagai belahan dunia. Rasisme

berkembang pesat di suatu negara seiring berkembangnya teknologi dan

perdagangan yang mengakibatkan berkembangnya tingkat kemajemukan dalam

negara tersebut. Ketertarikan akan kehidupan yang lebih baik yang ditawarkan

oleh negara dengan iklim perdagangan yang baik itulah yang kemudian

mengundang kedatangan masyarakat dari berbagai kelompok ras. Mitos-mitos

tentang ras unggul dan ras kelas bawah merupakan faktor penyebab semakin

peliknya masalah rasisme. Mereka yang dikonstruksikan sebagai ras unggul

seringkali melakukan tindakan rasisme terhadap golongan ras kelas bawah.

Tindakan-tindakan rasisme tersebut terjadi dalam berbagai bidang dalam

kehidupan bermasyarakat seperti pendidikan, pelayanan kesehatan, hiburan dan

lain sebagainya.

Realita dari pernyataan di atas dapat dilihat dari situasi negara Amerika

Serikat yang di dalamnya terdapat berbagai macam kelompok ras. Hampir semua

sektor kehidupan di Amerika Serikat dikuasai oleh warga kulit putih yang

merupakan ras kaukasoid. Pada awal kedatangannya di benua Amerika, orangorang ras kulit putih
mempunyai keinginan untuk menghabiskan semua warga

suku asli yang menempati benua Amerika pada saat itu yaitu suku Indian yang

merupakan bagian dari ras mongoloid. Usaha nyata yang dilakukan warga kulit

putih untuk menguasai Amerika yaitu dengan melakukan pembantaian massal

terhadap orang Indian yang berdampak menurunnya jumlah warga suku bangsa

Indian sejak Colombus menginjakkan kakinya di Benua Amerika dari 10juta jiwa

menjadi 400.000 jiwa. warga kulit putih juga menindas para pendatang watga

Africans-Americans yang berasal dari ras Negroid. Warga kulit putih


menempatkan warga ras negroid pada posisi terendah dalam strata ras dan etnik

berdasarkan derajat dominasi. Warga ras negroid juga dipisahkan dari warga kulit

putih dalam fasilitas sosial dan dibatasi ruang geraknya dalam bidang politik.

Rasisme yang menjangkiti suatu negara multikultur memang membawa

dampak yang cukup buruk seperti tingginya angka kriminalitas, bentrokanbentrokan, prasangka antar
golongan ras dan ketidaknyamanan dalam kehidupan

bermasyarakat. Hal itu semakin diperkeruh dengan adanya pemberitaanpemberitaan yang berpihak
pada salah satu kelompok. Sebagai alat pendorong

kohesi dosial dalam masyarakat, media seharusnya mampu memberikan informasi

dengan teknik cover both sides (meliput dua sisi yang berbeda secara berimbang).

Namun pada kenyataannya media di Amerika sering kali menyudutkan golongan

ras kuliat hitam dengan melakukan pemberitaan yang berlebihan tentang

kriminalitas yang dilakukan oleh golongan ras kulit hitam seperti perampokan,

kekerasan, peredaran dan penggunaan narkoba, serta perilaku negatif lainnya. Hal

ini sengaja dilakukan untuk membentuk persepsi masyarakat Amerika tentang

perilaku negatif yang identik dengan warga kulit hitam. Dengan demikian kita

dapat menilai bahwa dalam media massa Amerika juga terdapat tindakan rasisme

terhadap warga kulit hitam.

Selain pers, film juga merupakan media massa yang dapat membentuk

persepsi masyarakat melalui cerita yang terdapat di dalamnya karena biasanya

cerita dari sebuah film berangkat dari fenomena yang terjadi di kehidupan seharihari (film sebagai
keoleksi local content). Pengaruh film terhadap jiwa manusia

sangat kuat karena penonton tidak ganya terpengaruh dengan pesan yang

disampaikan dalam film tersebut, tetapi terus sampai waktu yang lama. Dengan

demikian film merupakan bagian dari media massa yang cukup penting dalam

menyampaikan pesan kepada khalayak, atau setidaknya untuk mempengaruhi


khalayak dalam bertindak maupun menilai sesuatu seperti gaya berpakaian dan

gaya berbicara remaja saat ini yang meniru karakter tertentu dalam sebuah film.

Karena berbagai permasalahan tersebut di atas peneliti memiliki

ketertarikan untuk meneliti sebuah film yang di dalamnya sarat akan tema

rasisme. Judul film yang dipilih oleh peneliti adalah film ―Freedom Writer‖ karya

sutradara Richard La Gravense produksi Paramount Picture. ―Freedom Writer‖

bercerita tentang perjuangan seorang guru berkulit putih bernama Erin Gruwell

yang pantang menyerah dalam menyelesaikan konflik-konflik rasis yang terjadi di

antara murid-muridnya di SMU Woodrow Wilson di kawasan Long Beach,

California. Film ini bersetting tahun 1990an dimana pada masa-masa itu

kerusuhan berbasis ras sedang terjadi di beberapa kota di California. Dalam film

ini terdapat empat golongan ras yang menonjol yaitu ras Americans-Africans

(kulit hitam), Americans-Asians, Hispanic dan ras kulit putih. Namun karakter

mereka digambarkan berbeda-beda. Secara umum Ras kulit putih digambarkan

sangat berpendidikan, santun dan selalu menjadi korban tindakan rasis orangorang diluar kulit putih,
warga Hispanic digambarkan sebagai sosok yang diamdiam menghanyutkan, warga Americans-Asians
memiliki karakter yang hampir

sama dengan ras Hispanic namun terlihat sedikit lebih santai, sedangkan orangorang kulit hitam
digambarkan sangat anarkis, rasis dan sama sekali tidak punya

sopan santun.

Dalam film ini tokoh Erin Gruwell yang diperankan oleh Hillary Swank

melakukan metode pengajaran yang lain daripada yang lain. Ia banyak melibatkan

murid-muridnya secara langsung seperti dengan adanya game yang mengharuskan

mereka bersikap jujur, Toast for Change (saat Gruwell mengajak mereka untuk

melakukan perubahan dengan memberikan tos akan perubahan yang akan mereka

lakukan dan dengan membagikan buku sebagai diary mereka), debat terbuka,
menulis kisah hidup mereka dalam sebuah diary dan lain-lain. Ia juga rela bekerja

paruh waktu sebagai pegawai di sebuah hotel dan toko pakaian dalam wanita agar

dapat membelikan murid-muidnya sejumlah buku yang berhubungan dengan

keadaan mereka saat itu seperti Diary of Anne Frank dan sebagainya. Gruwell

juga mau mengajak mereka ke Museum of Tolerance dan makan bersama dengan

korban-korban Holocaust yang masih hidup di restoran tempat ia bekerja agar

mereka benar-benar paham tentang apa yang disebut dengan Holocaust.

Kesibukannya inilah yang nantinya membuat Gruwell bercerai dengan Scott

(Patrick Dempsey), suaminya. Sejak murid-murid di ruang 203 membaca bukubuku tersebut dan paham
mengenai Holocaust, mereka berubah total. Mereka

tidak lagi mempermasalahkan ras. Mereka mulai mengenal dan dekat satu sama

lain.

Secara sepintas film ―Freedom Writer‖ seperti menggambarkan betapa

tertindasnya orang-orang ras kulit putih oleh orang-orang di luar kulit putih.

Namun peneliti memiliki kecurigaan tertentu yang terdapat dalam film tersebut

yang dapat dianalisa menggunakan teknik analisis semiotika, bahwa terdapat

makna rasisme dimana film ini sesungguhnya lebih menempatkan posisi ras kulit

putih sebagai ras yang paling hebat diantara ras-ras yang lain. Padahal jika melihat

respon masyarakat, film ini mendapat banyak sanjungan tentang pesan anti

rasisme, baik yang tertulis dalam beberapa media online maupun pendapat

langsung dari masyarakat.

Di antara beditu banyak film Holywood, terdapat beberapa film yang

selalu menggambarkan kepositifan orang kulit putih dibandingkan orang-orang

dari ras di luar kulit putih antara lain film seri ―Tintin‖ yang diputar pada tahun

1970an, ―Just Cause‖ yang bercerita tentang pembunuhan wanita kulit putih oleh
seorang ras kulit hitam, dan film box office ―Avatar‖ yang berkisah tentang

kepahlawanan Marinir AS dalam menolong alien ras kulit biru yang lemah.

Hollywood sebagai industri perfilmaan terbesar di dunia memiliki kecenderungan

untuk mengangkat tema-tema tentang kemenangan dan ke-positif-an Amerika

Serikat, yang digambarkan melalui kelompok ras kulit putih.

Dari uraian di atas peneliti dapat merumuskan sebuah judul penelitian

yaitu RASISME dalam FILM PRODUKSI AMERIKA (Analisis Semiotik dalam

Film Freedom Writer Karya Richard LaGravenese).

Rasisme adalah pandangan terhadap arti ideologi ataupun paham yang dianut oleh masyarakat yang
menolak atau tidak suka pada suatu golongan masyarakat tertentu yang biasanya berdasarkan rasnya,
derajat, dan lain sebagainya.

Bahkan di Indonesia dan berbagai belahan dunia yang memiliki masyarakat multikultural banyak kasus
terjadinya rasisme. Rasisme yang paling kita rasakan di Indonesia adalah rasisme terhadap masyarakat
Papua. Hal ini bukan lagi menjadi rahasia umum.

https://hellosehat.com/mental/mental-lainnya/penyebab-rasisme/#gref

Sebuah gagasan yang menentang Eurosentrisme, yang diusulkan oleh seorang antropolog sosial-budaya
bernama Franz Boas dapat membantu kita untuk melakukan hal ini. Ia berpendapat bahwa budaya
bukanlah sesuatu yang mutlak. Standar norma suatu budaya tertentu tidak selalu bisa berlaku untuk
mengukur budaya lain. Frans Boas mendorong pemahaman demokratis tentang budaya dan ras yang
menghormati perbedaan sehingga tidak ada satu kelompok pun yang dianggap lebih tinggi atau paling
unggul dari yang lain.

Pada tingkat individu, dalam mengatasi perspektif rasis dan menghentikan perilaku rasis dapat dimulai
dengan cara mengubah pandangan dan jagat pikir kita. Kita harus mulai menetralisir konsep tentang diri
dan lian, dan mulai memperlakukan setiap orang secara setara - tanpa peduli apa pun warna kulit
mereka. Hal ini juga dapat dimulai dengan berhenti percaya terhadap supremasi kulit putih dan
mengakhiri pandangan yang minor terhadap sesama kita yang berkulit gelap.

Pada tingkat organisasi dan masyarakat, kita harus bisa menentang ideologi populer kontemporer
tentang rasisme ilmiah. Sebagai contoh, proses penerimaan murid baru di sekolah, berbagai layanan
publik, dan perusahaan tidak boleh mendiskriminasi orang berdasarkan ras atau warna kulit mereka.
Organisasi-organisasi juga harus secara aktif mendukung orang-orang dari kelompok yang secara historis
pernah tertindas karena diskriminasi berbasis ras dan seringkali tidak terwakilkan dalam berbagai bidang
kehidupan publik.

Dalam sektor bisnis, hegemoni politik warna kulit dalam pembuatan berbagai produk mereka juga harus
diperbaiki.

Terakhir, pemerintah di seluruh dunia juga harus tetap berupaya dalam mengurangi ketidaksetaraan
struktural yang muncul akibat adanya hierarki sosial yang rasis.

Kematian George Floyd jangan sampai sia-sia. Hingga saat ini, kematiannya telah mendorong terjadinya
gerakan di seluruh dunia yang bertujuan untuk mengatasi pandemi rasisme.

Kita semua harus mendekonstruksi supremasi kulit putih, yang merupakan “normal lama” kita, dan
bergerak bersama untuk sepenuhnya percaya pada paham bahwa semua ras adalah sederajat. Artinya,
kita harus dapat menghargai setiap orang secara setara, dan juga secara alami melihat bahwa setiap
orang memiliki harkat dan martabat yang sama.
UU Nomor 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Segala warga negara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan berhak atas perlindungan terhadap setiap bentuk
diskriminasi ras dan etnis

Anda mungkin juga menyukai