Anda di halaman 1dari 2

Titutit!Titutit!Titutit!

Suara alarm weker milik Aldian terdengar begitu keras jika dibandingkan fajar yang
sedang bersiap untuk memulai hari. Aldian segera mengambil sikap duduk dan berusaha mecari
tombol yang bertuliskan “off” dengan posisi di tengah tombol. Tak butuh waktu lama ia segera
mematikan si kecil tersebut. Kakinya sekarang melangkah menuju kamar kecil untuk segera
membasuh mukanya yang masih lengkat nan kusut.
Setelah ia membasuh mukanya yang kusut ia segera menyalakan Philips nya serta
membuka korden dan jendelanya yang masih tertutup. Dingin mulai merasuki tubuh Aldian
membuatnya menggigil dan membuatnya menutup kembali jendela tersebut.
Minggu pagi ini tak banyak yang dilakukan nya ia hanya merapikan tempat tidur,
kamarnya serta rumahnya. Pagi buta ini ia awali dengan menyapu, mengepel, rumah dan
mencuci piring. Ia tak jarang melihat ke arah sticky note nya yang menemaninya selama
pandemic ini. Namun sayang, besok dia sudah mulai bersekolah dan meninggalkan sticky note
nya sendiri di rumah.
***
Pagi ini terasa sangat berbeda dari pekan sebelumnya sebelumnya. Jalana kota Chuguko
mulai dihiasi seribu warna daun membuat kota itu menjadi salah satu objek wisata. Semua orang
menyambut hari itu dengan berbagai macam aturan tak kasat mata. Seperti larangan mengendarai
kendaraan bermesin, taman kota hanya boleh dikunjungi pejalan kaki dan pesepeda. Membuat
keasrian kota terbentuk dengan sendirian.
Tok tok tok. Suara yang membuat Aldian dengan terpaksa mengalihkan pandangannya ke
arah pintu kamar utamanya. Siapa sih ganggu aja?. Ujarnya dalam hati. Dengan perasaan rada
jengkel ia melangkahkan kakinya menuju pintu berwarna coklat kayu jati. Aldian mengayunkan
tanganya ke gagang pintu nya. Perlahan-lahan ia menurunkan gagang pintunya berharap bukan
orang tak dikenalnya. Pintu mulai menampakkan setengah bagian dari tubuhnya, ia langsung
membuka pintu itu karena dia sudah tahu dari pakaiannya. Dia adalah teman dari SMP nya biasa
dibilang dia sahabat Aldian karena mereka bagaikan ikan dan laut.
“Eh Aldian! Dah lama gak Nampak, dari mana aja lu?” Ujar Hendra dengan ekspresi
yang tak dapat ditebak oleh Aldian.
“Dari rumah ajalah, mau ke mana lagi di mana – mana aja ada copid” Balas Aldian
dengan memanjangkan intonasi pada pengucapapan “copid”.
“Iya juga. Eh Di mana?” Dengan ekspresi yang tak dapat ditebak oleh Aldian. “Katanya
aku mau dikasih tahu rahasia mu? Cepetan!” Nada Hendra dengan manja dengan nada berbisik
sambal mendekatkan bibirnya ke telinga Aldian. “Masa lupa baru tadi malam kamu DM aku
lho.”
Aldian tak tahu harus menjawab apa. Mukanya pucat pasi, giginya menggigit bibir
merahnya, rasanya seakan ingin menghilang dari hadapan Hendra. Namun, ia tahu itu tak
mungkin dilalkukannya. Ia tahu ia memang bodoh harus mengorbankan rahasianya yang telah ia
simpan selama lima tahun hanya demi ingin mengetahui koleksi terbaru mulik Hendra. Nasi
telah menjadi bubur mungkin cocok untuk kondisi Aldian sekarang yang telah kepepet oleh
pertanyaan Hendra.

Anda mungkin juga menyukai