Anda di halaman 1dari 12

TUGAS KOMUNIKASI KEPERAWATAN

“KOMUNIKASI TERAPEUTIK PADA PASIEN


DENGAN GANGGUAN PENGLIHATAN”

DI SUSUN OLEH : KELOMPOK 4


NAMA NIM

RISKA ISTIANA PO7247319037


NANDA REZQIAH PO7247319032
NISMAWATI PO7247319033
NUR ANISA PO7247319034
NURHALISA SAMSUDIN PO7247319035
PARDI PO7247319036
RIZKY ANGGA BIMA PO7247319038

POLTEKKES KEMENKES PALU PRODI D-III KEPERAWATAN TOLITOLI


TAHUN AJARAN 2020/2021

BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Tunanetra merupakan suatu kondisi tidak berfungsinya indera penglihatan pada seseorang secara
sebagian (low vision) atau secara keseluruhan (totally blind). Hal ini dapat terjadi sebelum lahir, saat
lahir dan setelah lahir.
Keberadaan tunanetra di tengah-tengah masyarakat saat ini belum bisa diterima dengan baik.
Fenomena ini muncul pada kehidupan tunanetra ketika bersosialisasi dengan masyarakat secara luas
atau di lingkungan non-disabel. Hal itu akhirnya menimbulkan permasalahan yang ada di tengah-tengah
masyarakat umum. Permasalahan yang muncul di tengah-tengah masyarakat itu disebabkan oleh dua
faktor. Hal itu nampak pada lingkungan masyarakat non-disabel maupun kehidupan tunanetra tersebut.
Salah satu masalah yang ada di tengah-tengah masyarakat, penyandang tunanetra belum bisa
menempatkan diri di tengah-tengah masyarakat dengan baik, misalnya: masih ada penyandang
tunanetra yang tergantung kepada masyarakat non-disabel. Di sisi lain, masyarakat non-disabel itu
bertujuan untuk memperhatikan dan membantu para penyandang tunanetra, tetapi akhirnya menjadi
suatu ketergantungan yang terus menerus. Sehingga para penyandang tunanetra yang mempunyai
ketergantungan kepada masyarakat non disabel tersebut, pada akhirnya menjadi suatu kemalasan bagi
para penyandang tunanetra untuk berusaha memperjuangkan hidupnya.
Permasalahan yang lain yaitu dengan jumlah tunanetra yang cukup besar merupakan suatu hal yang
dilematis, di satu sisi jumlah tunanetra yang banyak tersebut dapat menjadi potensi untuk menjadi
motivator dan inspirator dalam berbagai segi kehidupan masyarakat yang harus dikembangkan. Namun,
di sisi lain menjadi kerentanan karena keterbatasan yang dialami berpotensi untuk memposisikan para
tunanetra berada pada ekonomi lemah, sehingga akses terhadap fasilitas pendidikan, kesehatan dan
kemandirian menjadi berkurang. Kondisi keterbatasan ini juga sangat rentan menjadikan para
tunanetra. Jadi, jika ditinjau kembali permasalahan-permasalahan yang terjadi di masyarakat tersebut,
hanya sebagian saja yang menjadi pandangan negative oleh masyarakat non-disabel. Tetapi hal ini
menjadi permasalahan di Indonesia yang dialami oleh semua penyandang tunanetra, mulai dari
diskriminasi dan kemiskinan yang tidak berujung, krisis energi dan sumberdaya pangan yang
mengancam di depan.
Fenomena tersebut sampai saat ini masih menjadi pemikiran semua khalayak. Karena hal itu menjadi
masalah yang ada di Indonesia yang harus dicari solusinya supaya bisa terlepas dari pandangan negative
masyarakat terhadap tunanetra. Dengan melihat keadaan yang digambarkan diatas, permasalahan yang
muncul tersebut dapat disimpulkan bahwa pandangan-pandangan negative dari masyarakat, itu
diesebabkan oleh penyandang tunanetra itu sendiri. Oleh karena itu, untuk mengubah pandangan
negative masyarakat tersebut, yang harus dilakukan oleh para penyandang tunanetra adalah
meningkatkan kwalitas untuk mempertahankan hidupnya di dalam masyarakat non disable. Karena
keberadaan tunanetra ditengah-tengah masyarakat non-disable merupakan keadaan yang minoritas,
tujuannya meningkatkan kualitas dan mempertahankan hidup para penyandang tunanetra di tengah-
tengah masyarakat non-disable tersebut supaya hal itu bisa berhasil dengan baik. Maka dari itu kami
mengangkat tema tentang tunaetra, karna masih sedikit sekali orang yang mau peduli pada
kelangsungan hidup tunanetra.
2. Tujuan
a) Dapat memahami apa itu komunikasi terapeutik
b) Dapat mengaplikasikan komunikasi terapeutik pada penderita gangguan penglihatan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Komunikasi Terapeutik
A. Definisi Komunikasi Terapeutik
Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang mendorong proses penyembuhan klien (Depkes RI,
1997). Dalam pengertian lain mengatakan bahwa komunikasi terapeutik adalah proses yang digunakan
oleh perawat memakai pendekatan yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatannya
dipusatkan pada klien.
Komunikasi terapeutik termasuk komunikasi interpersonal dengan titik tolak saling memberikan
pengertian antara perawat dengan klien. Persoalan yang mendasar dari komunikasi ini adalah adanya
saling membutuhkan antara perawat dan klien, sehingga dapat dikategorikan ke dalam komunikasi
pribadi di antara perawat dan klien, perawat membantu dan klien menerima bantuan.
1. Menurut Stuart dan Sundeen (dalam Hamid, 1996), tujuan hubungan terapeutik diarahkan pada
pertumbuhan klien meliputi :
a. Realisasi diri, penerimaan diri dan peningkatan penghormatan terhadap diri.
b. Rasa identitas personal yang jelas dan peningkatan integritas diri.
c. Kemampuan untuk membina hubungan interpersonal yang intim dan saling tergantung dengan
kapasitas untuk mencintai dan dicintai.
d. Peningkatan fungsi dan kemampuan untuk memuaskan kebutuhan serta mencapai tujuan
personal yang realistik.
2. Tujuan komunikasi terapeutik adalah :
a. Membantu klien untuk memperjelas dan mengurangi beban perasaan dan pikiran serta dapat
mengambil tindakan untuk mengubah situasi yang ada bila klien pecaya pada hal yang diperlukan.
b. Mengurangi keraguan, membantu dalam hal mengambil tindakan yang efektif dan
mempertahankan kekuatan egonya.
c. Mempengaruhi orang lain, lingkungan fisik dan dirinya sendiri.
3. Tujuan terapeutik akan tercapai bila perawat memiliki karakteristik sebagai berikut (Hamid,1998) :
a. Kesadaran diri.
b. Klarifikasi nilai.
c. Eksplorasi perasaan.
d. Kemampuan untuk menjadi model peran.
e. Motivasi altruistik.
f. Rasa tanggung jawab dan etik.
B. Komponen Komunikasi Terapeutik
Model struktural dari komunikasi mengidentifikasi lima komponen fungsional berikut (Hamid,1998) :
a. Pengirim : yang menjadi asal dari pesan.
b. Pesan : suatu unit informasi yang dipindahkan dari pengirim kepada penerima.
c. Penerima : yang mempersepsikan pesan, yang perilakunya dipengaruhi oleh pesan.
d. Umpan balik : respon dari penerima pesan kepada pengirim pesan.
e. Konteks : tatanan di mana komunikasi terjadi.
Jika perawat mengevaluasi proses komunikasi dengan menggunakan lima elemen struktur ini maka
masalah-masalah yang spesifik atau kesalahan yang potensial dapat diidentifikasi.
Menurut Roger, terdapat beberapa karakteristik dari seorang perawat yang dapat memfasilitasi
tumbuhnya hubungan yang terapeutik.Karakteristik tersebut antara lain : (Suryani,2005).
1. Kejujuran (trustworthy). Kejujuran merupakan modal utama agar dapat melakukan komunikasi
yang bernilai terapeutik, tanpa kejujuran mustahil dapat membina hubungan saling percaya. Klien
hanya akan terbuka dan jujur pula dalam memberikan informasi yang benar hanya bila yakin
bahwa perawat dapat dipercaya.
2. Tidak membingungkan dan cukup ekspresif. Dalam berkomunikasi hendaknya perawat
menggunakan kata-kata yang mudah dimengerti oleh klien. Komunikasi nonverbal harus
mendukung komunikasi verbal yang disampaikan. Ketidaksesuaian dapat menyebabkan klien
menjadi bingung.
3. Bersikap positif. Bersikap positif dapat ditunjukkan dengan sikap yang hangat, penuh perhatian
dan penghargaan terhadap klien. Roger menyatakan inti dari hubungan terapeutik adalah
kehangatan, ketulusan, pemahaman yang empati dan sikap positif.
4. Empati bukan simpati. Sikap empati sangat diperlukan dalam asuhan keperawatan, karena dengan
sikap ini perawat akan mampu merasakan dan memikirkan permasalahan klien seperti yang
dirasakan dan dipikirkan oleh klien. Dengan empati seorang perawat dapat memberikan alternatif
pemecahan masalah bagi klien, karena meskipun dia turut merasakan permasalahan yang
dirasakan kliennya, tetapi tidak larut dalam masalah tersebut sehingga perawat dapat memikirkan
masalah yang dihadapi klien secara objektif. Sikap simpati membuat perawat tidak mampu
melihat permasalahan secara objektif karena dia terlibat secara emosional dan terlarut
didalamnya.
5. Mampu melihat permasalahan klien dari kacamata klien.Dalam memberikan asuhan keperawatan
perawat harus berorientasi pada klien, (Taylor, dkk ,1997) dalam Suryani 2005. Untuk itu agar
dapat membantu memecahkan masalah klien perawat harus memandang permasalahan tersebut
dari sudut pandang klien. Untuk itu perawat harus menggunakan terkhnik active listening dan
kesabaran dalam mendengarkan ungkapan klien. Jika perawat menyimpulkan secara tergesa-gesa
dengan tidak menyimak secara keseluruhan ungkapan klien akibatnya dapat fatal, karena dapat
saja diagnosa yang dirumuskan perawat tidak sesuai dengan masalah klien dan akibatnya tindakan
yang diberikan dapat tidak membantu bahkan merusak klien.
6. Menerima klien apa adanya.Jika seseorang diterima dengan tulus, seseorang akan merasa
nyaman dan aman dalam menjalin hubungan intim terapeutik. Memberikan penilaian atau
mengkritik klien berdasarkan nilai-nilai yang diyakini perawat menunjukkan bahwa perawat tidak
menerima klien apa adanya.
7. Sensitif terhadap perasaan klien. Tanpa kemampuan ini hubungan yang terapeutik sulit terjalin
dengan baik, karena jika tidak sensitif perawat dapat saja melakukan pelanggaran batas, privasi
dan menyinggung perasaan klien.
8. Tidak mudah terpengaruh oleh masa lalu klien ataupun diri perawat sendiri. Seseorang yang selalu
menyesali tentang apa yang telah terjadi pada masa lalunya tidak akan mampu berbuat yang
terbaik hari ini. Sangat sulit bagi perawat untuk membantu klien, jika ia sendiri memiliki segudang
masalah dan ketidakpuasan dalam hidupnya.
C. Fase Hubungan Komunikasi Terapeutik.
Struktur dalam komunikasi terapeutik, menurut Stuart,G.W.,1998, terdiri dari empat fase yaitu: (1)
fase preinteraksi; (2) fase perkenalan atau orientasi; (3) fase kerja; dan (4) fase terminasi (Suryani,2005).
Dalam setiap fase terdapat tugas atau kegiatan perawat yang harus terselesaikan.
a. Fase preinteraksi
Tahap ini adalah masa persiapan sebelum memulai berhubungan dengan klien. Tugas perawat pada
fase ini yaitu :
- Mengeksplorasi perasaan,harapan dan kecemasannya;
- Menganalisa kekuatan dan kelemahan diri, dengan analisa diri ia akan terlatih untuk
memaksimalkan dirinya agar bernilai tera[eutik bagi klien, jika merasa tidak siap maka perlu
belajar kembali, diskusi teman kelompok;
- Mengumpulkan data tentang klien, sebagai dasar dalam membuat rencana interaksi;
- Membuat rencana pertemuan secara tertulis, yang akan di implementasikan saat bertemu dengan
klien.
b. Fase orientasi
Fase ini dimulai pada saat bertemu pertama kali dengan klien. Pada saat pertama kali bertemu
dengan klien fase ini digunakan perawat untuk berkenalan dengan klien dan merupakan langkah awal
dalam membina hubungan saling percaya. Tugas utama perawat pada tahap ini adalah memberikan
situasi lingkungan yang peka dan menunjukkan penerimaan, serta membantu klien dalam
mengekspresikan perasaan dan pikirannya.
1. Tugas-tugas perawat pada tahap ini antara lain :
- Membina hubungan saling percaya, menunjukkan sikap penerimaan dan komunikasi terbuka.
Untuk membina hubungan saling percaya perawat harus bersikap terbuka, jujur, ihklas, menerima
klien apa danya, menepati janji, dan menghargai klien.
- Merumuskan kontrak bersama klien. Kontrak penting untuk menjaga kelangsungan sebuah
interaksi.Kontrak yang harus disetujui bersama dengan klien yaitu, tempat, waktu dan topik
pertemuan.
- Menggali perasaan dan pikiran serta mengidentifikasi masalah klien. Untuk mendorong klien
mengekspresikan perasaannya, maka tekhnik yang digunakan adalah pertanyaan terbuka.
- Merumuskan tujuan dengan klien. Tujuan dirumuskan setelah masalah klien teridentifikasi. Bila
tahap ini gagal dicapai akan menimbulkan kegagalan pada keseluruhan interaksi (Stuart,G.W,1998
dikutip dari Suryani,2005)
2. Hal yang perlu diperhatikan pada fase ini antara lain :
- Memberikan salam terapeutik disertai mengulurkan tangan jabatan tangan
- Memperkenalkan diri perawat
- Menyepakati kontrak. Kesepakatan berkaitan dengan kesediaan klien untuk berkomunikasi, topik,
tempat, dan lamanya pertemuan.
- Melengkapi kontrak. Pada pertemuan pertama perawat perlu melengkapi penjelasan tentang
identitas serta tujuan interaksi agar klien percaya kepada perawat.
- Evaluasi dan validasi. Berisikan pengkajian keluhan utama, alasan atau kejadian yang membuat
klien meminta bantuan. Evaluasi ini juga digunakan untuk mendapatkan fokus pengkajian lebih
lanjut, kemudian dilanjutkan dengan hal-hal yang terkait dengan keluhan utama. Pada pertemuan
lanjutan evaluasi/validasi digunakan untuk mengetahui kondisi dan kemajuan klien hasil interaksi
sebelumnya.
- Menyepakati masalah. Dengan tekhnik memfokuskan perawat bersama klien mengidentifikasi
masalah dan kebutuhan klien.
Selanjutnya setiap awal pertemuan lanjutan dengan klien lakukan orientasi. Tujuan orientasi adalah
memvalidasi keakuratan data, rencana yang telah dibuat dengan keadaan klien saat ini dan
mengevaluasi tindakan pertemuan sebelumnya. Jika perawat mengevaluasi proses komunikasi dengan
menggunakan lima elemen struktur ini maka masalah-masalah yang spesifik atau kesalahan yang
potensial dapat diidentifikasi.
Menurur Roger, terdapat beberapa karakteristik dari seorang perawat yang dapat memfasilitasi
tumbuhnya hubungan yang terapeutik.Karakteristik tersebut antara lain : (Suryani,2005).
a. Kejujuran (trustworthy). Kejujuran merupakan modal utama agar dapat melakukan komunikasi
yang bernilai terapeutik, tanpa kejujuran mustahil dapat membina hubungan saling percaya. Klien
hanya akan terbuka dan jujur pula dalam memberikan informasi yang benar hanya bila yakin
bahwa perawat dapat dipercaya.
b. Tidak membingungkan dan cukup ekspresif. Dalam berkomunikasi hendaknya perawat
menggunakan kata-kata yang mudah dimengerti oleh klien. Komunikasi nonverbal harus
mendukung komunikasi verbal yang disampaikan. Ketidaksesuaian dapat menyebabkan klien
menjadi bingung.
c. Bersikap positif. Bersikap positif dapat ditunjukkan dengan sikap yang hangat, penuh perhatian
dan penghargaan terhadap klien. Roger menyatakan inti dari hubungan terapeutik adalah
kehangatan, ketulusan, pemahaman yang empati dan sikap positif.
d. Empati bukan simpati. Sikap empati sangat diperlukan dalam asuhan keperawatan, karena dengan
sikap ini perawat akan mampu merasakan dan memikirkan permasalahan klien seperti yang
dirasakan dan dipikirkan oleh klien. Dengan empati seorang perawat dapat memberikan alternatif
pemecahan masalah bagi klien, karena meskipun dia turut merasakan permasalahan yang
dirasakan kliennya, tetapi tidak larut dalam masalah tersebut sehingga perawat dapat memikirkan
masalah yang dihadapi klien secara objektif. Sikap simpati membuat perawat tidak mampu
melihat permasalahan secara objektif karena dia terlibat secara emosional dan terlarut
didalamnya.
e. Mampu melihat permasalahan klien dari kacamata klien.Dalam memberikan asuhan keperawatan
perawat harus berorientasi pada klien, (Taylor, dkk ,1997) dalam Suryani 2005. Untuk itu agar
dapat membantu memecahkan masalah klien perawat harus memandang permasalahan tersebut
dari sudut pandang klien. Untuk itu perawat harus menggunakan terkhnik active listening dan
kesabaran dalam mendengarkan ungkapan klien. Jika perawat menyimpulkan secara tergesa-gesa
dengan tidak menyimak secara keseluruhan ungkapan klien akibatnya dapat fatal, karena dapat
saja diagnosa yang dirumuskan perawat tidak sesuai dengan masalah klien dan akibatnya tindakan
yang diberikan dapat tidak membantu bahkan merusak klien.
f. Menerima klien apa adanya.Jika seseorang diterima dengan tulus, seseorang akan merasa
nyaman dan aman dalam menjalin hubungan intim terapeutik. Memberikan penilaian atau
mengkritik klien berdasarkan nilai-nilai yang diyakini perawat menunjukkan bahwa perawat tidak
menerima klien apa adanya.
g. Sensitif terhadap perasaan klien. Tanpa kemampuan ini hubungan yang terapeutik sulit terjalin
dengan baik, karena jika tidak sensitif perawat dapat saja melakukan pelanggaran batas, privasi
dan menyinggung perasaan klien.
h. Tidak mudah terpengaruh oleh masa lalu klien ataupun diri perawat sendiri. Seseorang yang selalu
menyesali tentang apa yang telah terjadi pada masa lalunya tidak akan mampu berbuat yang
terbaik hari ini. Sangat sulit bagi perawat untuk membantu klien, jika ia sendiri memiliki segudang
masalah dan ketidakpuasan dalam hidupnya.
c. Fase kerja.
Tahap ini merupakan inti dari keseluruhan proses komunikasi teraeutik.Tahap ini perawat bersama
klien mengatasi masalah yang dihadapi klien.Perawat dan klien mengeksplorasi stressor dan mendorong
perkembangan kesadaran diri dengan menghubungkan persepsi, perasaan dan perilaku klien.Tahap ini
berkaitan dengan pelaksanaan rencana asuhan yang telah ditetapkan.Tekhnik komunikasi terapeutik
yang sering digunakan perawat antara lain mengeksplorasi, mendengarkan dengan aktif, refleksi,
berbagai persepsi, memfokuskan dan menyimpulkan (Geldard,D,1996, dikutip dari Suryani, 2005).
d. Fase terminasi
Fase ini merupakan fase yang sulit dan penting, karena hubungan saling percaya sudah terbina dan
berada pada tingkat optimal. Perawat dan klien keduanya merasa kehilangan. Terminasi dapat terjadi
pada saat perawat mengakhiri tugas pada unit tertentu atau saat klien akan pulang. Perawat dan klien
bersama-sama meninjau kembali proses keperawatan yang telah dilalui dan pencapaian tujuan. Untuk
melalui fase ini dengan sukses dan bernilai terapeutik, perawat menggunakan konsep kehilangan.
Terminasi merupakan akhir dari pertemuan perawat, yang dibagi dua yaitu:
- Terminasi sementara, berarti masih ada pertemuan lanjutan;
- Terminasi akhir, terjadi jika perawat telah menyelesaikan proses keperawatan secara
menyeluruh.
Tugas perawat pada fase ini yaitu :
- Mengevaluasi pencapaian tujuan interaksi yang telah dilakukan, evaluasi ini disebut evaluasi
objektif. Brammer & Mc Donald (1996) menyatakan bahwa meminta klien menyimpulkan
tentang apa yang telah didiskusikan atau respon objektif setelah tindakan dilakukan sangat
berguna pada tahap terminasi (Suryani,2005).
- Melakukan evaluasi subjektif, dilakukan dengan menanyakan perasaan klien setalah berinteraksi
atau setelah melakukan tindakan tertentu.
- Menyepakati tindak lanjut terhadap interaksi yang telah dilakukan. Hal ini sering disebut
pekerjaan rumah (planning klien). Tindak lanjut yang diberikan harus relevan dengan interaksi
yang baru dilakukan atau yang akan dilakukan pada pertemuan berikutnya. Dengan tindak lanjut
klien tidak akan pernah kosong menerima proses keperawatan dalam 24 jam.
- Membuat kontrak untuk pertemuan berikutnya, kontrak yang perlu disepakati adalah topik,
waktu dan tempat pertemuan. Perbedaan antara terminasi sementara dan terminasi akhir,
adalah bahwa pada terminasi akhir yaitu mencakup keseluruhan hasil yang telah dicapai selama
interaksi.
D. Sikap Komunikasi Terapeutik.
Lima sikap atau cara untuk menghadirkan diri secara fisik yang dapat memfasilitasi komunikasi yang
terapeutik menurut Egan, yaitu :
1. Berhadapan. Artinya dari posisi ini adalah “Saya siap untuk anda”.
2. Mempertahankan kontak mata. Kontak mata pada level yang sama berarti menghargai klien dan
menyatakan keinginan untuk tetap berkomunikasi.
3. Membungkuk ke arah klien. Posisi ini menunjukkan keinginan untuk mengatakan atau mendengar
sesuatu.
4. Mempertahankan sikap terbuka, tidak melipat kaki atau tangan menunjukkan keterbukaan untuk
berkomunikasi
5. Tetap rileks. Tetap dapat mengontrol keseimbangan antara ketegangan dan relaksasi dalam
memberi respon kepada klien.
Selain hal-hal di atas sikap terapeutik juga dapat teridentifikasi melalui perilaku non verbal. Stuart
dan Sundeen (1998) mengatakan ada lima kategori komunikasi non verbal, yaitu :
1. Isyarat vokal, yaitu isyarat paralingustik termasuk semua kualitas bicara non verbal misalnya
tekanan suara, kualitas suara, tertawa, irama dan kecepatan bicara.
2. Isyarat tindakan, yaitu semua gerakan tubuh termasuk ekspresi wajah dan sikap tubuh.
3. Isyarat obyek, yaitu obyek yang digunakan secara sengaja atau tidak sengaja oleh seseorang
seperti pakaian dan benda pribadi lainnya.
4. Ruang memberikan isyarat tentang kedekatan hubungan antara dua orang. Hal ini didasarkan
pada norma-norma social budaya yang dimiliki.
5. Sentuhan, yaitu fisik antara dua orang dan merupakan komunikasi non verbal yang paling
personal. Respon seseorang terhadap tindakan ini sangat dipengaruhi oleh tatanan dan latar
belakang budaya, jenis hubungan, jenis kelamin, usia dan harapan.

2. Kebutaan
A. Definisi Kebutaan
Kebutaan ialah keadaan tentang kekurangan persepsi pengelihatan, akibat factor ataupun psikologi.
Berbagai skala telahpun dimajukan bagi menggambarkan tahap kehilangan penglihatan dan
mengtakrifkan “buta”. Buta sepenuhnya adalah kehilangan menyeluruh segala bentuk deria cahaya dan
direkodkan secara perubatan (klinikal) sebagai “NLP”, ringkatan kepada (“no light perception”). “Buta”
seringkali digambarkan sebagai kecacatan penglihatan teruk dengan sisa penglihatan. Untuk
menentukan mereka yang memerlukan bantuan khas disebabkan kecacatan penglihatan, pelbagai
perundangan kerajaan telah membentuk takrifan yang semakin rumit yang dirujuk sebagai disahkan
buta – (legal blindness).
Di Amerika Utara dan kebanyakan Eropah, disahkan buta ditakrifkan sebagai tahap penglihatan pada
tahap 20/200 (6/60) atau kurang dari itu pada mata terbaik dengan pembetulan sebaik mungkin. Ini
bererti individual yang disahkan buta. Ini bererti mereka yang disahkan buta perlu berdiri sejauh 20 kaki
daripada sesuatu objek bagi melihatnya sejelas apa yang orang normal mampu lihat pada jarak 200 kaki.
Pada kebanyakan kawasan, mereka dengan penglihatan tajam purata bagaimanapun mempunyai
lapangan pandangan kurang daripada 20 sudut darjah (biasanya 180 darjah) juga dikelaskan sebagai
disahkan buta. Sekitar sepuluh peratus daripada mereka yang disahkan buta, menurut mana-mana
ukuran, tidak mempunyai penglihatan. Bakinya mempunyai sedikit penglihatan, dari mengesan cahaya
kepada ketajaman yang relatively good acuity. Low vision is sometimes used to describe visual acuities
from 20/70 to 20/200.
Menurut Penilaian semula ke 10 Pengkelasan Statistik Antarabangsa, Kecederaan dan Punca
Kematian WHO, Penglihatan lemahditakrifkan sebagai ketajamanpenglihatan kurang dari 6/18, tetapi
lebih baik atau bersamaan dengan 3/60, atau bersamaan kehilangan medan penglihatan kepada kurang
daripada 20 darjah, dalam mata terbaik dengan pembetulan terbaik. Buta ditakrifkan sebagai ketajaman
penglihatan kurang dari 3/60, atau bersamaan kehilangan medan penglihatan kurang daripada 10
darjah, pada mata terbaik dengan pembetulan terbaik.
B. Komunikasi Dengan Orang Buta
Tehnik Komunikasi Pada Keadaan Khusus Buta
1. Klien dengan Gangguan Penglihatan
Gangguan penglihatan dapat terjadi baik karena kerusakan organ, misal., kornea, lensa mata,
kekeruhan humor viterius, maupun kerusakan kornea, serta kerusakan saraf penghantar impuls menuju
otak. Kerusakan di tingkat persepsi antara lain dialami klien dengan kerusakan otak. Semua ini
mengakibatkan penurunan visus hingga dapat menyebabkan kebutaan, baik parsial maupun total.
Akibat kerusakan visual, kemampuan menangkap rangsang ketika berkomunikasi sangat bergantung
pada pendengaran dan sentuhan.
Oleh karena itu, komunikasi yang dilakukan harus mengoptimalkan fungsi pendengaran dan
sentuhan karena fungsi penglihatan sedapat mungkin harus digantikan oleh informasi yang dapat
ditransfer melalui indra yang lain.
2. Teknik Komunikasi
Berikut adalah teknik-teknik yang diperhatikan selama berkomunikasi dengan klien yang mengalami
gangguan penglihatan:
a. Sedapat mungkin ambil posisi yang dapat dilihat klien bila ia mengalami kebutaan parsial atau
sampaikan secara verbal keberadaan / kehadiran perawat ketika anda berada didekatnya
b. Identifikasi diri anda dengan menyebutkan nama (dan peran) anda
c. Berbicara menggunakan nada suara normal karena kondisi klien tidak memungkinkanya
menerima pesan verbal secara visual. Nada suara anda memegang peranan besar dan bermakna
bagi klien
d. Terangkan alasan anda menyentuh atau mengucapkan kata – kata sebelum melakukan sentuhan
pada klien
e. Informasikan kepada klien ketika anda akan meninggalkanya / memutus komunikasi
f. Orientasikan klien dengan suara – suara yang terdengar disekitarnya
g. Orientasikan klien pada lingkunganya bila klien dipindah ke lingkungan / ruangan yang baru.
3. Hambatan Komunikasi Pada Klien Yang Buta
a. Buta warna :
Orang yang menderita buta warna tidak mampu membedakan warna dengan baik. Bagi seorang
penderita buta warna, yang nampak hanya warna hitam, putih , abu abu. Buta warna pada
umumnya merupakan penyakit keturunan.
b. Rabun jauh :
Orang yang menderita rabun jauh dapat melihat dengan baik benda benda yang jaraknya jauh,
tetapi tidak dapat melihat dengan baik benda benda yang jaraknya dekat. Penderita rabun jauh
dapat ditolong dengan mempergunakan kacamata dengan lensa cembung.
c. Rabun dekat :
Orang yang menderita rabun dekat, dapat melihat dengan baik benda benda yang jaraknya dekat,
tetapi tidak dapat melihat dengan baik benda benda yang jaraknya jauh. Penderita rabun dekat,
dapat ditolong dengan mempergunakan kacamata dengan lensa cekung. Perlu diingat, kebiasaan
membaca terlalu dekat pada anak anak dapat mempercepat terjadinya penyakit rabun dekat.
d. Rabun senja (Xeroptalmia) :
Orang yang menderita rabun senja, tidak dapat melihat dengan jelas mulai pada waktu senja.
Penderita rabun senja banyak menimpa anak anak balita. Pada era tahun 1960 -1970 banyak anak
anak yang menderita rabun senja. penyebabnya karena kekurangan vitamin A .
e. Astigmatis :
Orang yang menderita astigmatis, tidak dapat melihat benda dengan jelas. Semua benda yang
dilihat akan nampak kabur seperti photo yang tidak tepat fokusnya. Penyakit ini disebabkan oleh
kelainan/kerusakan dari kornea.
f. Juling :
Orang yang menderita penyakit ini mudah dikenal, karena biasanya penderita sulit mengarahkan
kedua biji matanya kesatu arah.
g. Retinopatia diabetes :
Tajam penglihatan perlahan-lahan menurun. Pada retina terlihat eksudat berwarna kekuning-
kuningan yang memperlihatkan tanda-tanda akan bergabung menjadi satu yang besar-besar dan
irregular.
h. Katarak : Penglihatan kabur/tidak jelas.
Tunanetra adalah individu yang memiliki hambatan dalam penglihatan. tunanetra dapat
diklasifikasikan kedalam dua golongan yaitu: buta total (Blind) dan low vision. Definisi Tunanetra
menurut Kaufman & Hallahan adalah individu yang memiliki lemah penglihatan atau akurasi penglihatan
kurang dari 6/60 setelah dikoreksi atau tidak lagi memiliki penglihatan. Karena tunanetra memiliki
keterbataan dalam indra penglihatan maka proses pembelajaran menekankan pada alat indra yang lain
yaitu indra peraba dan indra pendengaran. Oleh karena itu prinsip yang harus diperhatikan dalam
memberikan pengajaran kepada individu tunanetra adalah media yang digunakan harus bersifat
taktualdan bersuara, contohnya adalah penggunaan tulisan braille, gambar timbul, benda model dan
benda nyata. sedangkan media yang bersuara adalah tape recorder dan peranti lunakJAWS. Untuk
membantu tunanetra beraktivitas di sekolah luar biasa mereka belajar mengenai Orientasi dan
Mobilitas. Orientasi dan Mobilitas diantaranya mempelajari bagaimana tunanetra mengetahui tempat
dan arah serta bagaimana menggunakantongkat putih (tongkat khusus tunanetra yang terbuat dari
alumunium).
- Kesulitan melakukan komunikasi secara visual dengan bahasa tubuh
- Klien kesulitan menangkap atau memahami informasi dalam bahasa visual.
- Klien tidak dapat melihat dan mengetahui tindakan apasaja yang dilakukan padanya, dan klien
hanya dapat merasakannya saja.
C. Syarat-Syarat Komunikasi Pada Klien Dengan Gangguan Penglihatan
Dalam melakukan komunikasi terapeutik dengan pasien dengan gangguan sensori penglihatan,
perawat dituntut untuk menjadi komunikator yang baik sehingga terjalin hubungan terapeutik yang
efektif antara perawat dan klien, untuk itu syarat yang harus dimiliki oleh perawat dalam berkomunikasi
dengan pasien dengan gangguan sensori penglihatan adalah :
1. Adanya kesiapan artinya pesan atau informasi, cara penyampaian, dan saluarannya harus
dipersiapkan terlebih dahulu secara matang.
2. Kesungguhan artinya apapun ujud dari pesan atau informasi tersebut tetap harus disampaikan
secara sungguh-sungguh atau serius.
3. Ketulusan artinya sebelum individu memberikan informasi atau pesan kepada indiviu lain pemberi
informasi harus merasa yakin bahwa apa yang disampaikan itu merupakan sesuatu yang baik dan
memang perlu serta berguna untuk sipasien.
4. Kepercayaan diri artinya jika perawat mempunyai kepercayaan diri maka hal ini akan sangat
berpengaruh pada cara penyampaiannya kepada pasien.
5. Ketenangan artinya sebaik apapun dan sejelek apapun yang akan disampaikan, perawat harus
bersifat tenang, tidak emosi maupun memancing emosi pasien, karena dengan adanya
ketenangan maka iinformasi akan lebih jelas baik dan lancar.
6. Keramahan artinya bahwa keramahan ini merupakan kunci sukses dari kegiatan komunikasi,
karena dengan keramahan yang tulus tanpa dibuat-buat akan menimbulkan perasaan tenang,
senang dan aman bagi penerima.
7. Kesederhanaan artinya di dalam penyampaian informasi, sebaiknya dibuat sederhana baik
bahasa, pengungkapan dan penyampaiannya. Meskipun informasi itu panjang dan rumit akan
tetapi kalau diberikan secara sederhana, berurutan dan jelas maka akan memberikan kejelasan
informasi dengan baik.
Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan Dalam Komunikasi Pada Klien Gangguan Penglihatan
Agar komunikasi dengan orang dengan gangguan sensori penglihatan dapat berjalan lancar dan
mencapai sasarannya, maka perlu juga diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Dalam berkomunikasi pertimbangkan isi dan nada suara
2. Periksa lingkungan fisik
3. Perlu adanya ide yang jelas sebelum berkomunikasi
4. Komunikasikan pesan secara singkat
5. Komunikasikan hal-hal yang berharga saja.
6. Dalam merencanakan komunikasi, berkonsultasilah dengan pihak lain agar -memperoleh
dukungan.
D. Teknik Komunikasi Terapeutik Pada Klien Gangguan Penglihatan
Tiap klien tidak sama oleh karena itu diperlukan penerapan tehnik berkomunikasi yang berbeda pula,
diantaranya adalah :
1. Mendengarkan dengan penuh perhatian
Berusaha mendengarkan klien menyampaikan pesan non-verbal bahwa perawat perhatian
terhadap kebutuhan dan masalah klien. Mendengarkan dengan penuh perhatian merupakan
upaya untuk mengerti seluruh pesan verbal dan non-verbal yang sedang dikomunikasikan.
Ketrampilan mendengarkan sepenuh perhatian adalah dengan:
- Pandang klien ketika sedang bicara
- Pertahankan kontak mata yang memancarkan keinginan untuk mendengarkan
- tubuh yang menunjukkan perhatian dengan tidak menyilangkan kaki atau tangan
- Hindarkan gerakan yang tidak perlu
- Anggukan kepala jika klien membicarakan hal penting atau memerlukan umpan balik
- Condongkan tubuh ke arah lawan bicara.
2. Menunjukkan penerimaan
Menerima tidak berarti menyetujui. Menerima berarti bersedia untuk mendengarkan orang lain
tanpa menunjukkan keraguan atau tidak setuju. Berikut ini menunjukkan sikap perawat yang
menerima :
- Mendengarkan tanpa memutuskan pembicaraan
- Memberikan umpan balik verbal yang menapakkan pengertian
- Memastikan bahwa isyarat non-verbal cocok dengan komunikasi verbal
- Menghindarkan untuk berdebat, mengekspresikan keraguan, atau mencoba untuk mengubah
pikiran klien.
3. Menanyakan pertanyaan yang berkaitan
Tujuan perawat bertanya adalah untuk mendapatkan informasi yang spesifik mengenai klien.
Paling baik jika pertanyaan dikaitkan dengan topik yang dibicarakan dan gunakan kata-kata
dalam konteks sosial budaya klien. Selama pengkajian ajukan pertanyaan secara berurutan.
4. Mengulang ucapan klien dengan menggunakan kata-kata sendiri.
Dengan mengulang kembali ucapan klien, perawat memberikan umpan balik sehingga klien
mengetahui bahwa pesannya dimengerti dan mengharapkan komunikasi berlanjut.
5. Klarifikasi
Apabila terjadi kesalah pahaman, perawat perlu menghentikan pembicaraan untuk
mengklarifikasi dengan menyamakan pengertian, karena informasi sangat penting dalam
memberikan pelayanan keperawatan. Agar pesan dapat sampai dengan benar, perawat perlu
memberikan contoh yang konkrit dan mudah dimengerti klien.
6. Memfokuskan
Metode ini dilakukan dengan tujuan membatasi bahan pembicaraan sehingga lebih spesifik dan
dimengerti. Perawat tidak seharusnya memutus pembicaraan klien ketika menyampaikan
masalah yang penting, kecuali jika pembicaraan berlanjut tanpa informasi yang baru.
7. Menawarkan informasi
Tambahan informasi ini memungkinkan penghayatan yang lebih baik bagi klien terhadap
keadaanya. Memberikan tambahan informasi merupakan pendidikan kesehatan bagi klien.
Selain ini akan menambah rasa percaya klien terhadap perawat. Apabila ada informasi yang
ditutupi oleh dokter, perawat perlu mengklarifikasi alasannya. Perawat tidak boleh memberikan
nasehat kepada klien ketika memberikan informasi, tetapi memfasilitasi klien untuk membuat
keputusan.
8. Diam
Diam memberikan kesempatan kepada perawat dan klien untuk mengorganisir pikirannya.
Penggunaan metode diam memrlukan ketrampilan dan ketetapan waktu, jika tidak maka akan
menimbulkan perasaan tidak enak. Diam memungkinkan klien untuk berkomunikasi terhadap
dirinya sendiri, mengorganisir pikirannya, dan memproses informasi. Diam terutama berguna
pada saat klien harus mengambil keputusan .
9. Meringkas
Meringkas adalah pengulangan ide utama yang telah dikomunikasikan secara singkat. Metode
ini bermanfaat untuk membantu topik yang telah dibahas sebelum meneruskan pada
pembicaraan berikutnya. Meringkas pembicaraan membantu perawat mengulang aspek penting
dalam interaksinya, sehingga dapat melanjutkan pembicaraan dengan topik yang berkaitan.
10. Memberikan penghargaan
Memberi salam pada klien dengan menyebut namanya, menunjukkan kesadaran tentang
perubahan yang terjadi menghargai klien sebagai manusia seutuhnya yang mempunyai hak dan
tanggung jawab atas dirinya sendiri sebagai individu.
11. Menawarkan diri
Klien mungkin belum siap untuk berkomunikasi secara verbal dengan orang lain atau klien tidak
mampu untuk membuat dirinya dimengerti. Seringkali perawat hanya menawarkan
kehadirannya, rasa tertarik, tehnik komunikasi ini harus dilakukan tanpa pamrih.
12. Menganjurkan klien untuk menguraikan persepsinya
Apabila perawat ingin mengerti klien, maka ia harus melihat segala sesungguhnya dari
perspektif klien. Klien harus merasa bebas untuk menguraikan persepsinya kepada perawat.
Ketika menceritakan pengalamannya, perawat harus waspada akan timbulnya gejala ansietas.

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Anda mungkin juga menyukai