Anda di halaman 1dari 11

Antara Ikatan dan Kalung Berlian.

Karya : Laode Abdul Aziz.


Asal sekolah : SMA Negeri 4 Kendari.

Bel pulang baru saja berbunyi. Semua siswa yang bersekolah di SMA Negeri 4 Kendari
akhirnya bisa bernapas lagi. Terlihat, salah satu siswi kelas XI Mipa 1 keluar dari kelas dengan
memikul tas nya yang berwarna biru navy.

Sembari melebarkan kedua tangannya, serta menghirup udara segar, Ayu melangkahkan
kakinya dengan mantap dan berjalan menjauh dari gerbang sekolah. Perempuan berambut
panjang yang diikat dengan gaya ponytail itu memasang wajah puas karena akhirnya ia bisa
pulang ke rumah. Namun …,

“Sepertinya ada hal yang kulupakan …,” gumam Ayu dalam hati.

“Ayu!!!! Hei, jangan jalan cepat-cepat, lah!”

Teriakan dengan suara familiar itu membuat langkah kakinya terhenti. Seraya memasang
wajah menahan tawa, Ayu memutar tumit dan mendapati sosok laki laki dengan rambut hitam
yang berantakan kini tengah tertunduk terengah-engah karena lari mengejarnya.

“Ah, maaf. Aku melupakanmu ternyata,” ucap Ayu yang setelah itu tertawa melihat
ekspresi laki – laki di depannya itu. “Maafkan aku, Zi. Aku terlalu bersemangat saat mendengar
bel pulang.”

Setelah detak jantung dan napasnya kembali normal, Ozi pun berkata, “Sepertinya
kebiasaanmu yang terlalu sering rebahan itu memang harus diperbaiki.”

“Huh! Maaf saja, tapi kalau aku tidak rebahan, maka aku tidak akan bisa menulis cerita.”
Keduanya akhirnya jalan berbarengan. Jarak rumah mereka tidak terlalu jauh, oleh karenanya
mereka pasti akan berjalan pulang dan pergi ke sekolah bersama.

“Yah, setidaknya ada sisi positif dari kebiasaan burukmu,” ucap Ozi seraya mengambil
sesuatu dari tas hitamnya di punggung. “Kapan pengumuman hasil cerpen yang kau tulis?”
“Minggu depan,” ucap Ayu dengan nada tidak bersemangat.

Ozi mampu melihat hal yang membuat Ayu menjadi merasa seperti itu.

“Di mana kalung berlian milikmu?” tanya Ozi. Kalung yang biasanya melingkari leher
Ayu kini tidak terlihat. Dari yang Ozi tahu, Ayu sendiri tidak mengetahui dari mana kalung
berlian itu berasal. Bahkan, saat menanyakan hal tersebut kepada kedua orang tuanya, Ayu hanya
mendapat sebuah senyuman sebagai jawaban.

“Aku tidak tahu. Saat aku bangun tadi pagi, kalung itu sudah hilang.” Baru saja Ozi ingin
menanyakan beberapa hal, Ayu langsung memotongnya dengan kalimat yang disertai tawa kecil.
“Jangan khawatir, sebenarnya aku juga merasakan hal aneh dengan kalung itu. Orang tuaku
memang seorang tentara sedangkan ibuku hanyalah ibu rumah tangga, sangat berlebihan rasanya
bila memberiku sebuah kalung berlian.”

Melihat ekspresi teman dekatnya yang tidak bisa dijelaskan itu, Ozi pun memasang raut
wajah penasaran dengan sesuatu. Angin sore itu akhirnya menerbangkan semua pertanyaan yang
bersarang di kepala Ozi. Tanpa mengucapkan sepatah kata, mereka pun berjalan pulang.

***

“Ada apa?” tanya Ozi yang heran melihat Ayu menghentikan langkahnya tepat di depan
gerbang taman yang jaraknya tidak jauh dari kompleks perumahan mereka. Taman yang dulunya
menjadi tempat Ozi bermain sendiri sebelum akhirnya Ayu pindah ke Kendari.

Tanpa menjawab pertanyaan Ozi, pandangan Ayu terpaku pada pohon besar yang
dikelilingi Bunga Anyelir.

Gambaran kejadian masa lalu yang kurang jelas mulai memenuhi kepala Ayu.

Perlahan, pandangannya mulai berbayang. Kakinya yang sedari tadi menopang seluruh
tubuhnya mulai gemetar. Telinganya berdengung, rasa sakit perlahan menggerogoti kepalanya.
Ozi tidak tinggal diam, ia langsung membantu temannya itu berjalan dan menuntunnya ke
bangku terdekat.

Saat duduk, Ayu tidak bisa menjelaskan apa yang ia lihat dan hal itu membuat Ozi
kerepotan. Namun, satu kalimat yang dingat Ayu adalah ….
“Aku menunggumu … terus menunggumu walau hujan tidak berhenti, aku akan
menunggumu.”

***

1 minggu kemudian.

“Mau ke mana?”

Pertanyaan itu keluar dari mulut Ayah Ozi yang melihat anaknya sedang bersiap-siap
seperti ingin keluar rumah. Celana kain berwarna coklat, hoodie berwarna hitam dengan baju abu
abu polos, wajar bila sang Ayah menduga anaknya itu akan pergi setelah melihat pakaian Ozi.

“Jemput Ayu, dia sedang lomba dan sebentar lagi akan selesai,” ucap Ozi sembari
membuka pintu rumah berwarna putih.

“Hati-hati,” ucap sang Ayah mengantar kepergian Ozi.

Jam di pergelangan tangan kiri Ozi sudah menunjukkan pukul 15:46. Ia pun bergerak
cepat membuka bagasi rumahnya, menaiki motor hitam miliknya dan pergi meninggalkan rumah
dua tingkat bercat hitam putih tersebut.

Sudah seminggu berlalu. Sejak saat itu, tidak ada hal aneh yang terjadi pada Ayu. Setiap
pulang, kami juga melewati taman itu dengan normal. Namun, rasanya ada sebuah keterkaitan
antara Ayu dengan sesuatu di taman itu.

Kalimat itu mengisi pikiran Ozi yang sedang mengendarai motornya menuju tempat Ayu
lomba.

***

“Akhirnya datang juga, maaf merepotkanmu lagi, Zi,” ucap Ayu yang tengah duduk di
bangku yang berada tepat di bawah pohon rindang.

“Lupakan itu, bagaimana dengan hasilnya?” tanya Ozi selagi ia turun dari motor dan
mengambil 1 lagi helm yang ia bawa di jok motor dan menyerahkannya ke Ayu.
“Lumayan, hehehe.” Ayu pun mengeluarkan sebuah amplop dari tasnya dan tepat di
bagian depan amplop itu, tertulis ‘Juara II’. “Bagaimana kalau kita merayakannya di Kafe?”

Ozi melihat jam di tangannya sebelum menjawab, “Masih ada waktu sekitar 1 setengah
jam sebelum maghrib, ayo pergi.”

Mereka berdua pun pergi ke Kafe terdekat.

15 menit kemudian.

Keduanya turun dari motor yang sudah Ozi parkir di bawah pohon sebuah kafe
bernuansa salah satu kartun yang terkenal di Jepang, One Piece. Walau begitu, di sekitar pintu
masuk dan tempat duduk terdapat pot bunga yang membawa rasa nyaman bagi pengunjung.
Selain itu, aroma kopi khas dari kafe ini seperti telah menjadi pengharum ruangan.

Ozi dan Ayu pun memilih tempat duduk yang berada di baris paling kiri, dekat dengan
bagian terbuka dari kafe yang menunjukkan taman bunga beratapkan langit mendung.

“Bagaimana perasaanmu setelah kejadian itu? Sudah membaik?” tanya Ozi membuka
percakapan sesaat setelah keduanya duduk berhadapan. Ia menyinggung kejadian di taman
minggu lalu.

Ayu yang sedang membaca menu kafe hanya bisa menjawab dengan mata terpaku di
menu. “Hm? Iya, aku baik-baik saja. Ngomong-ngomong, kau mau pesan apa? Aku yang
traktir.”

“Kopi cappucino,” jawab Ozi singkat.

Sembari menunggu pesanan, Ayu pun bercerita tentang lomba sebelumnya. Dengan
wajahnya yang riang seolah tidak terjadi apa-apa seminggu yang lalu. Hal itu hampir membuat
Ozi melupakannya. Namun, mungkin karena Ozi sendiri menyukai hal-hal yang berbau misteri,
dan karena ia tertarik, ia ingin mengungkap masa lalu dari sahabatnya itu.

Pesanan yang dinanti pun tiba. Di atas baki perak yang di bawa oleh salah satu pelayan,
terlihat Kopi Cappucino pesanan Ozi dan nasi goreng ayam serta vanilashake pesanan Ayu.

“Terima ka—” belum sempat Ayu mengucap terima kasih, seisi kafe dikejutkan oleh
salah satu pengunjung yang duduk tepat di belakang Ozi.
Seorang perempuan dengan gaya rambut ponytail sama seperti Ayu berkata pada lelaki
berkacamata di depannya.

“Aku tidak tahu apa yang kau rasakan! Itu adalah hal yang wajar, bahkan manusia itu
sendiri terkadang tidak bisa mendeskripsikan apa yang ia rasakan. Namun! Satu hal yang pasti,
seorang anak pasti akan menangis saat salah satu orang tua nya meninggal!”

Setelah berkata seperti itu, perempuan tadi akhirnya duduk dengan wajah bangga karena
mendapat tepuk tangan dari pengunjung Kafe termasuk Ozi dan Ayu.

“Apa yang dikatakannya itu benar adanya.” Sembari menyeruput minumannya, Ozi
berkata seperti itu dengan pandangan fokus ke langit mendung. “Ada sebuah ikatan khusus yang
tidak akan pernah putus antara anak dan orang tuanya. Yah, kecuali di antara mereka benar benar
TERDAPAT rasa benci di hati.”

Penekanan kata ‘terdapat’ membuat Ayu bingung.

“Memangnya ada seorang anak yang membenci orang tua nya sendiri?” gumam Ayu
dalam hati.

“Banyak orang yang bingung dengan perasaan mereka kepada orang tua mereka. Apabila
ada sebuah masalah, terkadang mereka hanya merasa kecewa. Namun, sebenarnya mereka tidak
menaruh rasa benci sama sekali. Hanya seorang psikopat yang menaruh perasaan benci pada
orang tuanya sendiri,” jelas Ozi yang peka setelah melihat raut wajah bingung Ayu.

“Begitu … bagaimana ekspresi bingung mereka kira-kira? Aku jadi kepikiran untuk
membuat cerpen tentang ini,” tanya Ayu.

“Lihat di laki-laki berkacamata di belakang kita,” ucapnya datar. Ayu pun mengintip
melihat laki-laki itu.

Terasa ada yang aneh. Sementara perempuan di depannya bercerita dengan wajah
semangat, laki-laki berkacamata itu malah terjebak dengan pikirinnya sendiri. Seolah ia bingung
dengan kata hati yang sudah berteriak keras dari di dalam tubuhnya.
“Ia hanya tidak sadar betapa kuatnya ikatan antara manusia dengan orang tuanya sendiri.”
Dari nada bicaranya, Ayu sudah bisa menduga bahwa Ozi menaruh perasaan jengkel pada
manusia jenis seperti itu.

“Ikatan ya ….” Ayu mulai menunjukkan ekspresi yang sama dengan laki-laki
berkacamata di belakang mereka.

Melihatnya, Ozi hanya bisa menghela napas dan berkata, “Cepat habiskan makananmu.
Lebih baik kita pulang sebelum hujan turun. Tubuhmu juga butuh istirahat, Yu ….”

“Iyaaaa, Zii.”

Aku terus menunggumu ….

Kalimat dikala mendung yang terus mengganggu pikiran Ayu.

***

Ayu PoV.

Dingin, walau begitu … aku akan terus menunggumu. Hanya peluk hangat darimu yang
bisa membuatku beranjak dari penderitaan ini.

Aku terbangun. Langit-langit kamar. Dinginnya pagi. Langit mendung yang terlihat dari
jendela kamarku. Dengan malas aku pun bangun seraya meregangkan kedua tangan.

Hangat. Perasaan itu bisa kurasakan dari air yang perlahan turun melewati pipiku.
Rasanya aku baru saja bermimpi. Namun, dalam dua detik setelah terbangun, aku melupakan
segalanya.

Jari telunjuk kanan, jari yang baru saja menghapus air mataku, aku menatapnya untuk
sesaat. Aku yakin, ada hal yang kulupakan. Dan hal itu penting, sangat penting! Namun,
bagaimana bisa aku melupakannya?

Tangan kananku, aku bisa merasakannya. Dulu, aku menggenggam kalung berlianku
yang hilang dengan tangan ini sembari menangis entah untuk hal apa.

Tidak, aku tidak melupakannya! Walau cuma sedikit, aku bisa mengingat sebagian kecil
dari mimpiku semalam.
Perempuan yang tidak kukenal. Ia berusaha menggapai punggungku sembari berkata,
“Aku menyesal! Kumohon, jangan pergi! Jangan pergi! Aku akan menunggumu ….”

Sekumpulan bunga Anyelir mengelilingi sosoknya. Namun, aku tidak melihat ke


arahnya. Itu membuatnya sedih dan aku pun terbangun dari tidurku tanpa mengetahui sesuatu.

Ponsel yang berada di atas laci meja samping ranjangku, kuambil dengan malas. Dengan
cepat aku mengabari Ozi untuk menemaniku jalan-jalan di taman dekat kompleks kami sore
nanti.

Entah mengapa, aku merasa bahwa ada sesuatu yang hanya bisa kuketahui di sana.

Kalung berlianku dan … perempuan yang bersama dengan bunga Anyelir di sisinya.

***

Author Pov.

“Jangan main HP dulu, Zi. Fokus ke makananmu terlebih dahulu,” tegur Ibu Ozi yang
melihat anaknya melahap sarapannya sambil memegang Handphone.

Mendapat teguran dari Ibunya, Ozi pun menaruh kembali HP nya di sebelah piringnya
dan berkata, “Ah, maafkan aku. Aku hanya membalas chat dari Ayu. Dia mengajakku jalan-jalan
ke taman sebentar sore.”

“Hmm … kalian sudah jadian?” tanya Ibunya dengan nada seolah menggoda anaknya itu.
Pertanyaan itu bahkan membuat Ozi keselek makanannya sendiri dan membuat ibunya tertawa
saat ia dengan cepat berusaha mencari air minum.

“Tidak perlu sekaget itu, kan? Kau tinggal memberi jawaban ‘ya’ atau ‘tidak’ atas
pertanyaan ibumu, ‘kan?” ucap Ayahnya yang heran melihat tingkah laku istri dan anaknya.

Setelah mencari, Ozi pun akhirnya bisa berbicara dengan tenang setelah meminum
segelas air.
“Yah, aku memang menyukainya. Namun, ia terlihat seperti sedang terjebak dengan
sesuatu yang ia sendiri tidak mengetahuinya. Dan yang paling menjengkelkan adalah, aku seperti
tidak bisa membantunya.”

Raut kesal terlihat jelas dari wajah Ozi. Ayah dan Ibunya pun bertukar pandang untuk
sesaat. Mereka terlihat sedang mengambil keputusan untuk memberi tahu Ozi tentang sesuatu.
Setelah keduanya sepakat, ditandai dengan anggukan kepala dari Istrinya, Ayah Ozi pun
membuka suara.

“Ozi … dengarkan Ayah. Sebenarnya Ayu itu ….”

“…”

Meski malam tidak akan pernah berakhir. Ibu akan tetap menunggu fajar tiba.

Mendengar penjelasan dari Ayanya tentang Ayu, Ozi segera menghabiskan sarapannya
dan kembali ke kamarnya.

Tak lama kemudian, ia keluar dari kamarnya dengan pakaian yang dikenakannya. Bisa
ditebak oleh kedua orang tuanya, bahwa Ozi akan pergi untuk melakukan apapun yang bisa
menghibur orang yang disukainya.

“Aku pergi dulu!” teriak Ozi sebelum akhirnya menghilang dari pandangan kedua orang
tuanya.

“Anak kita ternyata sudah besar, pah,” ucap Ibu Ozi dengan senyum hangat.

***

Sore hari, taman dekat kompleks perumahan.

Ozi memberhentikan motornya di pinggir jalan. Sore itu terasa sangat aneh. Taman yang
biasanya ramai, kini sama sekali tidak terdeteksi adanya aura kehidupan.

Ozi pun akhirnya turun dari motor dan berjalan melewati gerbang sembari membawa
sesuatu yang ia beli sebelum bertemu Ayu. Saat ia menelusuri kawasan taman, tatapannya
terpaku pada sebuah pohon cemara yang menjadi inti dari taman itu jikalau dilihat dari atas.
Pohon itu cukup besar dan tinggi, di sekitarnya terdapat bunga Anyelir yang mengelilinginya.
Samar-samar, ia melihat tubuh manusia terbaring di bawah pohon cemara itu. Sosoknya
begitu indah, dengan rambut yang terurai di atas rerumputan. Saat tinggal beberapa langkah, Ozi
berhenti melangkah setelah melihat perempuan dengan baju berwarna biru tua serta celana
training berwarna hitam itu tengah menggenggam kalung berlian.

“Benar-benar sama seperti sosokmu 16 tahun yang lalu,” gumam Ayu dalam hati.

Ozi kembali mendekati Ayu yang tengah tertidur pulas. Setelah melewati bunga Anyelir,
ia pun duduk di sebelah Ayu dengan bersandar di pohon cemara itu.

Perlahan, mata Ayu mulai terbuka. Merasakan aura keberadaan orang lain di sekitarnya,
ia pun menoleh ke samping kanannya dengan pandangan masih berbayang.

“I-Ibu?” tanya Ayu memastikan penglihatannya.

Melihat wajah Ayu yang begitu polos saat ia baru bangun, Ozi pun berkata sambil
menahan tawa, “Maaf, aku bukan Ibumu. Namun, aku bisa memberikan cinta yang sama seperti
ibumu. Kuharap, kau bisa menerimanya.”

Ayu pun mulai sadar. Saat ia melihat Ozi yang kini sudah berada di sampingnya, ia pun
menangis.

“Ta-tadi! Ada seorang perempuan! Huu … dia memberiku kalung berlian ini,” ucap Ayu
sambil menangis haru, kalung berlian di tangan kanannya pun ia acungkan di depan wajah Ozi.
“Setelah itu, dia minta maaf padaku. Lalu … lalu … dia menghilang.”

Tangis Ayu semakin menjadi-jadi. Ozi hanya bisa meminjamkan dada bidangnya untuk
dijadikan wadah air mata Ayu. Benar, dia tidak bisa melakukan apa-apa bahkan untuk
menghibur Ayu, dia tidak tahu caranya. Ia teringat akan cerita Ayahnya pagi tadi.

Ayu sebenarnya berasal dari kota sini juga. Namun, saat bayi dia dibuang oleh orang
tuanya. Tepat di bawah pohon cemara, dia ditemukan oleh orang tuanya yang sekarang. Alasan
dia dibuang masih belum terungkap. Namun, ada sebuah kejadian aneh hari itu.

Tengah malam, waktu itu hujan turun sangat deras. Bahkan, Ayah sendiri takut
mengendarai mobil di bawah gemuruh petir. Saat melewati taman tempat kalian bermain waktu
Ayu pindah ke sini … Ayah sekilas melihat.
Ada seorang perempuan yang duduk meringkuk di bawah Pohon Cemara itu. Namun,
Ayah tidak berani turun dan juga ayah tidak yakin dengan penglihatan Ayah waktu itu.

Keesokan harinya, Ayah pergi ke taman itu. Saat melihat batang besar dari pohon
cemara itu, bentuknya berubah. Yang tadinya terlihat normal, kini menjadi sedikit
menggembung. Seolah batang pohon itu tengah membungkus sesuatu di dalamnya.

Dari dalam pohon itu juga samar-samar terdengar teriakan seorang perempuan,
“Jangan lupakan aku!” begitu katanya.

Ikatan antara anak dan Ibunya memang sangat kuat. Ayah sempat salah paham pada
kedua orang tua Ayu yang membawanya pindah dari kota ini sewaktu ia belum berumur 1 tahun.

“Ada yang lebih mengerikan dari kematian, yaitu dilupakan oleh seseorang yang sangat
berharga,” ucap Ozi sembari mengelus lembut kepala Ayu. “Bagaimana pun juga, setelah ia
menunggumu di sini tidak peduli apa yang terjadi padanya, kau tidak boleh sampai membenci
Ibumu sendiri karena ia membuangmu.”

Ayu hanya mengangguk. Ia sendiri sebenarnya sudah memiliki firasat bahwa perempuan
yang ada dalam mimpinya itu adalah seseorang yang berkaitan erat dengan 16 tahun hidupnya.

Anehnya lagi, bunga Anyelir tiba tiba tumbuh mengelilingi pohon cemara itu.

Bunga Anyelir.

Warna pink mengartikan cinta abadi seorang Ibu.

Warna merah mengartikan ‘aku tidak akan pernah melupakanmu.’

“Sedangkan warna putih menandakan cinta yang tulus dan murni.”

Ayu hanya tersenyum mendengarnya. Angin sejuk tiba-tiba datang. Menggerakkan daun,
bunga, dan menyejukkan suasana bagi dua sejoli yang tengah duduk di bawah pohon cemara.

“Ikatan itu tidak akan pernah putus. Kau akan selalu berada di sampingku sebagai
kalung berlian yang melingkar di leherku selama aku tidak melupakanmu. Benar begitu, kan?
Ibu?” gumam Ayu dalam batin sembari menyandarkan kepalanya di bahu Ozi.
Penantian sang Ibu telah berakhir. Pohon cemara itu akhirnya kembali ke bentuk
normalnya.

Anda mungkin juga menyukai