Anda di halaman 1dari 21

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/336764838

STRUKTUR PERUBAHAN SOSIAL DALAM MASYARAKAT INDUSTRI

Preprint · October 2019


DOI: 10.31219/osf.io/75rwj

CITATIONS READS

0 8,874

1 author:

M Chairul Basrun Umanailo


Universitas Iqra Buru
184 PUBLICATIONS   1,403 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Sosiologi politik View project

MULTILINGUAL MATERIAL DEVELOPMENT FOR PESANTREN STUDENTS View project

All content following this page was uploaded by M Chairul Basrun Umanailo on 28 October 2019.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


STRUKTUR PERUBAHAN SOSIAL
DALAM MASYARAKAT INDUSTRI

M CHAIRUL BASRUN UMANAILO


PENDAHULUAN

Masyarakat yang ada di kawasan industri terdiri dari beberapa unsur


elemen sosial yang terbentuk karena adanya perkembangan sebuah
proses industrialisasi. Permasalahan yang muncul di dalam lingkungan
masyarakat industri antara lain: hubungan atau interaksi antara atasan-
pekerja buruh-masyarakat sekitar pabrik, adanya perubahan-perubahan
yang diakibatkan kehadiran bangunan-bangunan pabrik yang berada
disekitar masyarakat baik yang bersifat sosial, budaya, ekonomi hingga
pengaruh perkembangan yang mengarah pada pemahaman atas sifat yang
materialistik.
Imbas dari adanya proses industrialisasi tidak terlepas dari adanya
permasalahan-permasalahan yang cenderung mengarah pada
kecemburuan-kecemburuan sosial, baik yang bersifat materialistik maupun
yang diakibatkan dari adanya hubungan atau interaksi yang tidak harmonis
dari setiap unsur elemen yang ada di masyarakat industri dalam bentuk
distorsi-distorsi sosial yang mana menurut penulis hal itu dinamakan
sebagai konflik dalam masyarakat industri.
Pembangunan dirancang dengan tujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan hidup masyarakat yang menuntut adanya perubahan sosial
budaya sebagai penghasil dan pendukungnya. Ranjabar (2006: 178-179)
menyatakan bahwa, “pembangunan nasional adalah suatu upaya
melakukan transformasi atau perubahan masyarakat, yaitu transformasi
dari budaya masyarakat agraris tradisional menuju budaya masyarakat
industri modern dan masyarakat informasi yang tetap berkepribadian
Indonesia”. Dahulu, masyarakat bermata pencaharian di sektor pertanian
sebagai petani dan buruh tani dengan penghasilan yang hanya cukup untuk
memenuhi kebutuhan sendiri dan keluarga saja. Mereka hidup rukun, saling
gotong royong, dan memiliki solidaritas sosial yang kuat. Namun, seiring
perkembangan jaman teknologi semakin modern.
Sebagaimana yang diungkapkan Susilo (2012: 19), bahwa lingkungan
sekarang ini masuk pada kondisi krisis dan rusak dimana-mana. Tidak
hanya krisis lingkungan fisik, seperti krisis air, tanah, udara dan iklim namun
juga krisis lingkungan biologis dan krisis lingkungan social dan itu
diakibatkan perilaku manusia dalam usaha memenuhi kebutuhan hidup
ekonomisnya yang tidak memperhatikan keseimbangan karena mengikuti
nafsu manusia yang tidak pernah puas akhirnya lingkungan menjadi
korban.
Industrialisasi yang bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat,
justru pada kenyataanya industrialisasi membawa dampak negative bagi
masyarakat. Tidak hanya dampak social, ekonomi, budaya namun juga
dampak terhadap lingkungan. Pembangunan industrialisasi menciptakan
keterasingan pada masyarakat, karena kebanyakan masyarakat tidak
mampu beradaptasi dengan iklim industrialisasi khususnya masyarakat
yang memiliki pendidikan rendah dan juga life skill rendah mereka tidak
mampu bergejolak dalam dunia industri.

KAJIAN TEORI

2.1 Perspektif Struktural Fungsional


Teori fungsionalisme struktural adalah suatu bangunan teori yang
paling besar pengaruhnya dalam ilmu sosial di abad sekarang. Tokoh-
tokoh yang pertama kali mencetuskan fungsional yaitu August Comte,
Emile Durkheim dan Herbet Spencer. Pemikiran structural fungsional
sangat dipengaruhi oleh pemikiran biologis yaitu menganggap
masyarakat sebagai organisme biologis yaitu terdiri dari organ-organ
yang saling ketergantungan, ketergantungan tersebut merupakan hasil
atau konsekuensi agar organisme tersebut tetap dapat bertahan hidup.
Sama halnya dengan pendekatan lainnya pendekatan structural
fungsional ini juga bertujuan untuk mencapai keteraturan sosial.
Teori struktural fungsional ini awalnya berangkat dari pemikiran
Emile Durkheim, dimana pemikiran Durkheim ini dipengaruhi oleh
Auguste Comte dan Herbert Spencer. Comte dengan pemikirannya
mengenai analogi organismic kemudian dikembangkan lagi oleh
Herbert Spencer dengan membandingkan dan mencari kesamaan
antara masyarakat dengan organisme, hingga akhirnya berkembang
menjadi apa yang disebut dengan requisite functionalism, dimana ini
menjadi panduan bagi analisis substantif Spencer dan penggerak
analisis fungsional. Dipengaruhi oleh kedua orang ini, studi Durkheim
tertanam kuat terminology organismik tersebut. Durkheim
mengungkapkan bahwa masyarakat adalah sebuah kesatuan dimana di
dalamnya terdapat bagian – bagian yang dibedakan. Bagian-bagian
dari sistem tersebut mempunyai fungsi masing – masing yang membuat
sistem menjadi seimbang. Bagian tersebut saling interdependensi satu
sama lain dan fungsional, sehingga jika ada yang tidak berfungsi maka
akan merusak keseimbangan sistem. Pemikiran inilah yang menjadi
sumbangsih Durkheim dalam teori Parsons dan Merton mengenai
struktural fungsional. Selain itu, antropologis fungsional-Malinowski dan
Radcliffe Brown juga membantu membentuk berbagai perspektif
fungsional modern.
Para stuktural fungsional pada awalnya memustakan pada fungsi
dalam struktru dan institusi dalam amsyarakat. Bagi
Merton hal ini tidaklah demikian, karrena dalam menganalis hal itu
, para fungsionalis awal cenderung mencampur adukna motif subjektif
individu dengan fungsi stuktur atau institusi. Analisis fungsi bukan motif
individu. Merton sendiri mendefinisikan fungsi sebagai konsekuensi-
konsekuensi yang didasari dan yang menciptakan adaptasi atau
penyesuian, karena selalu ada konsekuensi positif. Tetapi, Merton
menambahkan konsekuensi dalam fakta social yang ada tidaklah positif
tetapi ada negatifnya. Dari sini Merton mengembangkan gagasan akan
disfungsi. Ketika struktur dan fungsi dpat memberikan kontribusi pada
terpeliharanya sistem sosial tetapi dapat mengandung konsekuensi
negative pada bagian lain.
Dalam penjelasan lebih lanjut, Merton mengemukakan mengenai
fungsi manifest dan fungsi laten.Fungsi manifest adalah fungsi yang
dikehendaki, laten adalah yang tidak dikehendaki.Maka dalam stuktur
yang ada, hal-hal yang tidak relevan juga disfungso laten dipenagruhi
secara fungsional dan disfungsional. Merton menunjukan bahwa suatu
struktur disfungsional akan selalu ada.

2.2 Perspektif Konflik


Teori konflik merupakan perubahan sosial tidak terjadi melalui proses
penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi terjadi akibat
adanya konflik yang menghasilkan kompromi yang berbeda dengan
kondisi semula. Teori ini berdasarkan pada pemilikan sarana produksi
sebagai unsur pokok pemisahan kelas dalam masyarakat.
Dalam pandangan Karl Marx kehidupan sosial merupakan :
1. Masyarakat serbagai arena yang didalamnya terdapat berbagai
bentuk pertetangan.
2. Negara dipandang sebagai pihak yang terlibat aktif dalam
pertentangan dengan berbagai pihak kepada kekuatan yang
dominan.
3. Paksaan (coercion) dalam wujud hukum dipandang sebagai faktor
utama untuk memelihara lembaga-lembaga sosial, seperti milik
pribadi (property), perbudakan (slavery), kapital yang menimbulkan
ketidaksamaan hak dan kesempatan. Kesenjangan sosial terjadi
dalam masyarakat karena bekerjanya lembaga paksaan tersebut
yang bertumpu pada cara-cara kekerasan, penipuan, dan
penindasan. Dengan demikian, titik tumpu dari konflik sosial adalah
kesenjangan sosial.
4. Negara dan hukum dlihat sebagai alat penindasan yang digunakan
oleh kelas yang berkuasa (kapitalis) demi keuntungan pribadi.
5. Kelas-kelas dianggap sebagai kelompok-kelompok sosial yang
mempunyai kepentingan sendiri yang bertentangan satu sama lain.
Menurut teori Karl Marx pendekatan konflik terdiri dari 2 kelas yaitu :
Masyarakat didasarkan pada kepemilikan sarana dan alat produksi
(properti). Berdasarkan teorinya, Marx membedakan kelompok menjadi
2 yaitu :
1. Kelas Borjuis: kelompok yang memiliki sarana dan alat produksi
yaitu perusahaan sebagai modal dalam usaha.
2. Kelas Proletar: kelompok yang tidak memiliki suasana dan alat
produksi maka hanya menjual tenaga untuk memenuhi kebutuhan.
Menurut Dahrendorf tidak selalu pemilik sarana- sarana juga bertugas
sebagai pengontrol apalagi pada abad kesembilan belas. Ia
memaparkan perubahan yang terjadi di masyarakat industri semenjak
abad kesembilan belas. Diantaranya:
1. Dekomposisi modal
Menurut Dahrendorf timbulnya korporasi- korporasi dengan saham
yang dimiliki oleh orang banyak, dimana tak seorang pun memiliki
kontrol penuh merupakan contoh dari dekomposisi modal.
Dekomposisi tenaga.
2. Dekomposisi Tenaga kerja
Di abad spesialisasi sekarang ini mungkin sekali seorang atau
beberapa orang mengendalikan perusahaan yang bukan miliknya,
seperti halnya seseorang atau beberapa orang yang mempunyai
perusahaan tapi tidak mengendalikanya. Karena zaman ini adalah
zaman keahlian dan spesialisasi, manajemen perusahaan dapat
menyewa pegawai- pegawai untuk memimpin perusahaanya agar
berkembang dengan baik.
3. Timbulnya kelas menengah baru
Pada akhir abad kesembilan belas, lahir kelas pekerja dengan
susunan yang jelas, di mana para buruh terampil berada di jenjang
atas sedang buruh biasa berada di bawah.
Pertentangan kelas sebagai satu bentuk konflik dan sebagai sumber
perubahan sosial. Menurutnya, ada dasar baru bagi pembentukan
kelas yaitu sebagai pengganti konsepsi pemilikan sarana produksi dan
sebagai dasar perbedaan kelas itu. Hubungan-hubungan kekuasaan
yang menyangkut bawahan dan atasan menyediakan unsur bagi
kelahiran kelas.
Jonathan Turner merumuskan teori konflik dalam tiga pandangannya
yaitu :
a. Tidak ada definisi yang jelas tentang teori konflik sehingga tidak
dapat dibedakan karena pengunaan istilah,
b. Teori konflik mengambang karena analisisnya tidak dijelaskan
c. Teori konflik sulit terlepas dari teori fungsional karena merupakan
reaksi dari teori struktur fungsional.
Jonathan Turner menguraikan proses terjadinya konflik terdiri atas
Sembilan tahap, yaitu :
1. Sistem sosial tersusun atas sejumlah unit yang saling tergantung
satu sama lain.
2. Ada ketidaksamaan distribusi mengenai sumber-sumber langkah
yang bernilai di antara unit-unit tersebut.
3. Unit-unit yang menerima pembagian sumber-sumber secara tidak
proporsional mulai mempersoalkan legitimasi dari sistem sosial yang
ada.
4. Masyarakat yang tidak berpunya mulai menyadari bahwa ada
kepentingan bagi mereka untuk mengubah sistem lokasi sumber-
sumber yang ada.
5. Mereka yang tidak berpunyai mulai menjadi emosional.
6. Secara berkala muncul ledakan frustrasi, seringkali tidak
terorganisasi.
7. Intensitas keterlibatan mereka dalam konflik semakin meningkat dan
keterlibatan tersebut semakin emsosional.
8. Berbagai upaya dibuat untuk mengorganisasikan keterlibatan
kelompok tak berpunya dalam konflik tersebut.
9. Akhirnya, konflik terbuka dalam berbagai tingkat kekerasan terjadi
diantara mereka yang tidak berpunya dan mereka yang berpunya.
Menurut teori Coser konflik dapat menempatkan dan menjaga garis
batas antara dua atau lebih kelompok. Ia menekankan pentingnya
konflik untuk mempertahankan keutuhan kelopok. Konflik dengan
kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan
melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial sekelilingnya.
Coser melihat katup penyelamat berfungsi sebagai jalan ke luar yang
meredakan permusuhan, yang tanpa itu hubungan-hubungan di antara
pihak-pihak yang bertentangan akan semakin menajam. Katup
Penyelamat (savety-value) ialah salah satu mekanisme khusus yang
dapat dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan
konflik sosial. Katup penyelamat merupakan sebuah institusi
pengungkapan rasa tidak puas atas sebuah sistem atau struktur.
Menurut Coser konflik dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Konflik Realistis, berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan-
tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan
kemungkinan keuntungan para partisipan, dan yang ditujukan pada
obyek yang dianggap mengecewakan. Contohnya para karyawan
yang mogok kerja agar tuntutan mereka berupa kenaikan upah atau
gaji dinaikkan.
2. Konflik Non- Realistis, konflik yang bukan berasal dari tujuan- tujuan
saingan yang antagonis, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan
ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak. Coser menjelaskan
dalam masyarakat yang buta huruf pembasan dendam biasanya
melalui ilmu gaib seperti teluh, santet dan lain- lain. Sebagaimana
halnya masyarakat maju melakukan pengkambinghitaman sebagai
pengganti ketidakmampuan melawan kelompok yang seharusnya
menjadi lawan mereka.
Lewis Coser menyebutkan beberapa fungsi konflik :
1. Konflik dapat memperkuat solidaritas kelompok yang agak longgar
2. Konflik dengan kelopok lainnya dapat menghasilkan solidaritas
didalam kelompok tersebut dan solidaritas itu bisa menghantarnya
kepada aliansi-aliansi dengan kelopok lain.
3. Konflik dapat menyebabkan anggota-anggota masyarakat yang
terisolasi menjadi berperan secara aktif.
4. Konflik juga bisa berfungsi untuk berkomunikasi yaitu dengan
mengeluarkan pendapat dengan cara tukar pikiran.

2.3 Interaksionisme Simbolik


Interaksi simbolik didasarkan pada ide-ide mengenai diri dan
hubungannya dengan masyarakat. Asumsi yang mendasari symbolic
interaction dan bahwa asumsi-asumsi ini memperlihatkan tiga tema
besar:
1. Pentingnya makna bagi perilaku manusia
2. Pentingnya konsep mengenai diri
3. Hubungan antara individu dengan masyarakat
Teori interaksi simbolik berpegang bahwa individu membentuk
makna melalui proses komunikasi karena makna makna tidak bersifat
intrinsik apa pun. Dibutuhkan konstruksi interpretif di antara orang-
orang untuk menciptakan makna. Tujuan dari interaksi menurut
symbolic interaction, adalah untuk menciptakan makna yang sama. Hal
ini penting karena tanpa makna yang sama berkomunikasi akan
menjadi sulit, atau bahkan tidak mungkin.
Menurut LaRossa dan Donald C.Reitzes, tema ini mendukut tiga
asumsi Interaksi simbolik yang diambil dari karya Hebert Blumer.
Asumsi-asumsinya adalah sebagai berikut:
 Manusia bertindak terhadap manusia lainnya berdasarkan makna
yang diberikan orang lain pada mereka
 Makna diciptakan dalam interaksi antarmanusia
 Makna dimodifikasi melalui proses interpretif
Manusia bertindak terhadap manusia lainnya berdasarkan makna
yang diberikan orang lain pada mereka Asumsi ini menjelaskan prilaku
sebagai suatu rangkaian pemikiran dan perilaku yang dilakukan secara
sadar antara rangsangan dan respon orang berkaitan dengan
rangsangan tersebut.
Mereka mencari makna dengan mempelajari penjelasan
psikologis dan sosiologis mengenai perilaku. Jadi, ketika seorang SI
melakukan kajian mengenai perilaku dari Roger Thomas, mereka
melihatnya membuat makna yang sesuai dengan kekuatan sosial yang
membentuk dirinya.
Makna yang kita berikan pada simbol merupakan produk dari
interaksi simbolik dan menggambarkan kesepakatan kita untuk
menerapkan makna tertentu pada simbol tertentu pula. Mead
menekankan dasar intersubjektifitas dari makna. Makna dapat ada,
menurut Mead, hanya ketika orang-orang memiliki interpretasi yang
sama mengenai simbol yang mereka pertukarkan dalam interaksi.
Blumer menjelaskan bahwa terdapat tiga cara untuk menjelaskan asal
sebuah makna. Satu pendekatan mengatakan bahwa makna adalah
sesuatu yang bersifat intrinstik dari suatu benda.
Pendekatan kedua terhadap asal-usul makna melihat makna itu
“dibawa kepada benda oleh seseorang bagi siapa benda itu bermakna”
(Blumer,1969). Posisi ini mendukung pemikiran bahwa makna terdapat
didalam orang bukan didalam benda. Dalam sudut pandang ini, makna
dijelaskan dengan mengisolasi elemen-elemen psikologis didalam
seorang individu yang menghasilkan makna.
Interaksi simbolik mengambil pendekatan ketiga terhadap makna,
melihat makna sebagai suatu yang terjadi di antara orang-orang.
Makna adalah “produk sosial” atau “ciptaan yang dibentuk dalam dan
melalui pendefinisian aktivitas mausia ketika mereka berinteraksi
Blumer menyatakan bahwa proses intepretif ini memiliki dua
langkah. Pertama, para pelaku menentukan benda-benda yang
memiliki makna. Blumer berargumen bahwa bagian dari proses ini
berbeda dari pendekatan psikologis dan terdiri atas orang yang terlibat
didalam komunikasi dengan dirinya sendiri. Langkah kedua melibatkan
si pelaku untuk memilih, mengecek dan melakukan transformasi makna
didalam konteks dimana mereka berada.
PEMBAHASAN

3.1 Struktur masyarakat di Desa Ngringo


Industrialisasi di Indonesia bukan untuk mengganti tenaga
manusia dengan tenaga mesin, melainkan sebagai lapangan kerja
yang banyak menampung tenaga kerja. Karena itu, keterlibatan
manusia dalam industri akan memunculkan lapisan-lapisan sosial
berdasarkan fungsinya. Seperti kelas manager, kelas eksekutif, kelas
karyawan, kelas pengawas, dan kelas pekerja. Begitu pula suatu
industri satu sama lain tidak memiliki kedudukan sejajar, tergantung
pada besarnya industri, modal, kualitas dan kuantitas produk yang
dihasilkan, gaji yang diterima karyawan, serta daerah pemasaran.
Adanya perbedaan-perbedaan di setiap industri, baik berdasar-kan
lapisan sosial maupun perbedaan kedudukan industri akan
membedakan manusia yang terlibat di dalamnya, yaitu pasar kerja.
Sebagai contoh kasus bisa kita dapatkan gambaran tentang
berubahnya masyarakat desa Ngringo Kabupaten Karanganyar
dimana telah terjadi perubahan pada model dan konstruksi
masyarakat yang sebelumnya berupa masyarakat desa menjadi
sebuah model masyarakat perkotaan yang merupakan konsekuensi
dari masyarakat industry.
Hasil penelitian Umanailo (2002) menunjuk bahwasannya
perkembangan dari pembangunan industri menyebabkan pola
pekerjaan dan penghidupan masyarakat Desa Ngringo ikut bergeser,
dimana pekerjaan pada saat itu lebih didominasi oleh pekerjaan di
luar pertanian sebagai konsekuensi bertambahnya jenis pekerjaan
selain dari bertani.
Secara umum masyarakat industri memiliki Stratifikasi sosial
yang terkait berdasarkan tempat kerja atau pasar kerja. Akibatnya
masyarakat akan membedakan orang yang bekerja berdasarkan
pasar kerja utama akan berada pada lapisan yang tinggi, sedangkan
yang bekerja berdasarkan pasar kerja biasa akan berada pada
lapisan yang lebih rendah. Pasar kerja biasa dipandang masyarakat
tidak memiliki gengsi yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh dua faktor.
Faktor-faktor tersebut adalah: Pertama, karena rendahnya tingkat
manajemen atau karena faktor lingkungan, sehingga perusahaan
tidak dapat bersaing. Akibatnya perusahaan tidak dapat membayar
gaji dan memberikan jaminan sosial yang memuaskan bagi
karyawannya. Perusahaan yang demikian perlu dibantu oleh
pemerintah, karena menyangkut tenaga kerja yang banyak. Apabila
perusahaan tersebut mengalami pailit (bangkrut), maka banyak
karyawan yang akan mengalami PHK (pemutusan hubungan kerja),
sehingga akan menimbulkan masalah sosial.
Struktural fungsionalisme melihat kondisi ini berjalan melalui
individu-individu (invidu Act) sebagai aktor dengan menjalankan
fungsi dan perannya masing-masing melalui bentuk adaptasi
terhadap subsistem struktural fungsionalisme, gaya hidup maupun
pola interkasi yang terjadi di desa Ngringo merupakan dianggap
sebagai sebuah tindakan (unit aksi). Dari unit aksi inilah kemudian
terjadi sistem aksi (act system) dimana masyarakat telah
menemukan tujuan dari aksi tersebut. Sehingga terbentuklah sebuah
tatanan masyarakat dengan keunikannya tersendiri. Nantinya, akan
mengalami perubahan yang lebih kompleks.
Dahrendorf menyatakan bahwa ada dasar baru bagi
pembentukan kelas, sebagai pengganti konsepsi pemilikan sarana
produksi yang menurut Marx adalah dasar perbedaan kelas sosial.
Menurut Dahrendorf hubungan-hubungan kekuasaan (authority)
yang menyangkut bawahan dengan atasan menyediakan unsur-
unsur bagi kelahiran kelas. Artinya bahwa konstruksi masyarakat
yang terikat pada system kerja di pabrik maupun industry di desa
Ngringo akan melahirkan dikotomi antara mereka yang berkuasa dan
yang dikuasai. Dengan kata lain beberapa orang turut serta dalam
struktur kekuasaan yang ada dalam kelompok, sedang yang lain
tidak, beberapa orang memiliki kekuasaan sedang yang lain tidak.
Dahrendorf mengakui terdapat perbedaan di antara mereka yang
memiliki sedikit kekuasaan dengan mereka yang memiliki banyak
kekuasaan. Di mana perbedaan dalam tingkat dominasi itu dapat
dan selalu sangat besar.
Tetapi menurut Dahrendorf pada dasarnya tetap terdapat dua
sistem kelas sosial, yaitu mereka yang berperan serta dalam struktur
kekuasaan melalui penguasaan dengan mereka yang tidak
berpartisipasi dalam struktur kekuasaan melalui penundukan.
Demikian pula masyarakat desa Ngringo yang akan terbagi
berdasarkan kekuasaan daripada pemilikan sarana-sarana produksi.
Dalam masyarakat industri modern pemilik sarana produksi tidak
sepenting mereka yang melaksanakan pengendalian atas sarana itu.
Melihat kondisi masyarakat di Desa Ngringo, maka substansi
teori interaksionisme simbolik menganggap kehidupan
bermasyarakat itu terbentuk di sana merupakan proses komunikasi
dan interaksi antar individu dan antar kelompok dengan
menggunakan simbol-simbol yang dipahami maknanya melalui
proses belajar. Tindakan seseorang dalam proses interaksi itu bukan
semata-mata merupakan suatu tanggapan yang bersifat langsung
terhadap stimulus yang datang dari lingkungannya atau dari luar
dirinya, melainkan dari hasil sebuah proses interpretasi terhadap
stimulus. Jadi jelas, bahwa apa yang terjadi di Desa Ngringo
merupakan hasil proses belajar, dalam arti memahami simbol-
simbol, dan saling menyesuaikan makna dari simbol-simbol tersebut.
Meskipun norma-norma, nilai-nilai sosial dan makna dari simbol-
simbol itu memberikan pembatasan terhadap tindakan individu
maupun kelompok dalam masyarakat, namun dengan kemampuan
berpikir yang dimilikinya, manusia mempunyai kebebasan untuk
menentukan tindakan dan tujuan-tujuan yang hendak dicapainya.

Perubahan Pola Interaksi Masyarakat Desa Ngringo


Bergesernya masyarakat desa Ngringo dengan pola yang ke-
kotaan mengakibatkan pula berubahnya berbagai struktur social di
dalam masyarakatnya. Bahwa kebiasaan-kebiasaan yang pernah
terbentuk perlahan hilang tergantikan dengan pola interaksi maupun
hubungan yang disesuaikan dengan model masyarakat industry
yakni lebih pada individualism dan semakin berkurangnya kadar
kekeluargaan.
Secara sederhana, fungsionalisme struktural memandang
kondisi ini sebagai model sistem organik dalam ilmu biologi. Artinya,
fungsionalisme melihat masyarakat sebagai sebuah sistem dari
beberapa bagian yang saling berhubungan satu dengan lainnya.
Satu bagian tidak bisa dipahami terpisah dari keseluruhan.
Hubungan terjadi ketika manusia memasuki pola interaksi yang
relatif stabil dan berkesinambungan dan/atau saling ketergantungan
yang menguntungkan. Maka pola struktur sosial dapat dipengaruhi
oleh jumlah orang yang berbeda-beda, kedudukan seseorang dan
peran yang dimiliki individu dalam jaringan hubungan sosial.
Perlu dipahami bahwa struktur sosial merupakan lingkungan
sosial bersama di desa Ngringo yang tidak dapat diubah oleh orang
perorang. Sebab ukuran, pembagian kegiatan, penggunaan bahasa,
dan pembagian kesejahteraan didalam masyarakat merupakan
pembentuk lingkungan sosial yang bersifat struktural dan membatasi
perilaku individu dalam masyarakat. Teori Fungsionalisme Struktural
Parsons mengungkapkan suatu keyakinan yang optimis terhadap
perubahan dan kelangsungan suatu sistem. Sebagaimana yang
dinyatakan oleh Gouldner ”untuk melihat masyarakat sebagai
sebuah firma, yang dengan jelas memiliki batas-batas srukturalnya,
seperti yang dilakukan oleh teori baru Parsons, adalah tidak
bertentangan dengan pengalaman kolektif, dengan realitas personal
kehidupan sehari-hari yang sama-sama kita miliki”.
Sementara itu, teori konflik berdasar pada asumsi dasar bahwa
masyarakat atau organisasi berfungsi sedemikian di mana individu
dan kelompoknya berjuang untuk memaksimumkan keuntungan
yang diperolehnya; secara tak langsung dan tak mungkin dihindari
adalah perubahan sosial yang besar seperti revolusi dan perubahan
tatanan politik.
ada sedikitnya empat hal yang penting dalam memahami teori
konfilk sosial, antara lain:
1. Kompetisi (atas kelangkaan sumber daya seperti makanan,
kesenangan, partner seksual, dan sebagainya. Yang menjadi
dasar interaksi manusia bukanlah konsensus seperi yang
ditawarkan fungsionalisme, namun lebih kepada kompetisi.
2. Ketaksamaan struktural. Ketaksamaan dalam hal kuasa,
perolehan yang ada dalam struktur sosial.
3. Individu dan kelompok yang ingin mendapatkan keuntungan dan
berjuang untuk mencapai revolusi.
4. Perubahan sosial terjadi sebagai hasil dari konflik antara keinginan
(interes) yang saling berkompetisi dan bukan sekadar adaptasi.
Perubahan sosial sering terjadi secara cepat dan revolusioner
daripada evolusioner
Untuk perspektif Interaksi simbolik dalam melihat pola interaksi
masyarakat Ngringo adalah suatu proses individu berinteraksi
dengan dirinya sendiri dengan memilih dan menggunakan simbol-
simbol yang bermakna. Melaui proses interaksi dengan dirinya
sendiri itu, individu memilih mana diantara stimulus yang tertuju
padanya akan ditanggapinya. Bahwa symbol seragam, mobil dinas
ataupun gaya hidup adalah symbol-simbol yang ditangkap oleh
masyarakat dengan hadirnya industry di tengah-tengah desa
mereka. Dengan demikian, individu tidak secara langsung
menanggapi stimulus, tetapi terlebih dahulu memilih dan kemudian
memutuskan stimulus yang akan ditanggapinya.
Simbol atau tanda yang diberikan oleh manusia dalam
melakukan interaksi mempunyai makna-makna tertentu , sehingga
dapat menimbulkan komunikasi. Menurut Mead, komunikasi secara
murni baru terjadi bila masing-masing pihak tidak saja memberikan
makna pada perilaku mereka sendiri, tetapi memahami atau
berusaha memahami makna yang diberikan oleh pihak lain. Dalam
hubungan ini, Habermas mengemukakan dua kecendrungan
fungsional dalam argument bahasa dan komunikasi serta hubungan
dengan perkembangan manusia. Pertama, bahwa manusia dapat
mengarahkan orientasi perilaku mereka pada konsekuensi-
konsekuensi yang paling positif . Kedua, sebagai kenyataan bahwa
manusia terlibat dalam interaksi makna yang kompleks dengan
orang yang lain, dapat memaksa mereka untuk cepat berinteraksi
dengan apa yang diinginkankan orang lain.

3.2 Dinamika Perubahan Sosial Masyarakat Desa Ngringo


Secara umum, Desa Ngringo masih berstatus desa, namun
sebaliknya dengan hadirnya berbagai industry di sekitar desa
membuat dinamika masyarakat bukan lagi terbentuk sebagai
masyarakat desa namun telah berbentuk atau terkonstruksi sebagai
masyarakat perkotaan. Hal ini dapat dilihat dengan beberapa
indicator, yakni perubahan gaya hidup, pola pikir, hingga pada pola
tindakan dari masyarakat yang berda di desa Ngringo.
Dalam teori Giddens, perubahan sosial yang terjadi
memerlukan struktur sosial (recurrent social practise) sebagai sarana
dan sumber daya untuk melakukan tindakan sosial. Perubahan
sosial yang juga dipengaruhi oleh subsistem (ekonomi, budaya,
politik, dan sosialisasi) dan struktur teori fungsionalisme (norma,
organisasi ekonomi, alat pendidikan, dan politik kebijakan
pemerintah), membutuhkan jarak (space) saat praktiknya dimulai,
notabene tidak semua ritual lama ditinggalkan oleh masyarakat.
Perspektif structural fungsional melihat ini sebagai keterkaitan
antara struktur sosial dengan perilaku dan adaptasi individu. Lower
class (masyarakat bawah) misalnya, cederung memiliki kesempatan
yang lebih kecil jika dibandingkan dengan masyarakat kelas atas.
Tentu hal ini berakibat pada keresahan, frustasi, dan kekecewaan
terhadap individu – individu tertentu, sehingga dapat menghasilkan
perubahan sosial dengan adaptasi tertentu. Masih menurut Merton,
adaptasi dalam teori struktural fungsional terbagi menjadi 5 jenis
yakni conformity (keadaan tetap pada keadaan sosial yang lama),
Inovation (terdapat perubahan cara untuk menggapai tujuan dalam
masyarakat), Ritualism (bentuk penolakan terhadap pengaruh –
pengaruh baru), Retreatism (bentuk penarikan diri individu dengan
cara melakukan penyimpangan sosial), dan Rebellion yang berarti
pemberontak, dan berani mengubah tatanan struktur sosial secara
keseluruhan.
Lain halnya denga perspektif konflik yang melihat kepentingan
yang diartikan oleh Dahrendorf bersifat manifest (disadari) atau laten
(kepentingan potensial). Kepentingan laten adalah tingkah laku
potensial (undercurrents behavior) yang telah ditentukan bagi
seseorang karena ia menduduki peranan tertentu, tapi masih belum
disadari. Ini adalah perumusan psikologis yang sama sekali bukan
merupakan sasaran kajian sosiologis, kecuali mereka menjadi
tujuan-tujuan kemudian berubah menjadi tujuan-tujuan yang disadari.
Jadi orang dapat menjadi anggota suatu kelas yang tidak memiliki
kekuasaan, tetapi sebagai anggota kelompok mereka mungkin
belum menyadari kekurangan dan kelemahan mereka.
Demikian kepentingan-kepentingan yang semula tidak disadari
(laten) tersebut tampil ke permukaan dalam bentuk tujuan-tujuan
yang disadari (persamaan gaji, persamaan kesempatan kerja),
berkembanglah organisasi-organisasi yang disebut Dahrendorf
sebagai kelompok-kelompok manifest. Misalnya, lahirnya persatuan
buruh wanita di Desa Ngringo menjadi sarana mediasi akaibat
terpuruknya posisi perempuan di desa Ngringo selama ini. Jadi
pertentangan antara kaum laki-laki yang menduduki kekuasaan dan
kaum wanita yang dikuasai diatur atau diredakan lewat organisasi
struktural.
Kelompok-kelompok yang bertentangan itu, sekali mereka
ditetapkan sebagai kelompok kepentingan, akan terlibat dalam
pertentangan yang niscaya akan menimbulkan perubahan struktur
sosial. Pada gilirannya, kondisi tersebut akan terlibat dalam
pertentangan yang mengakibatkan perubahan dalam bidang hukum
serta ekonomi dan perubahan-perubahan konkret dalam sistem
pelapisan masyarakat. Timbulnya kelas menengah baru di tengah-
tengah masyarakat Desa Ngringo sebenarnya merupakan suatu
perubahan struktural yang berasal dari institusionalisasi
pertentangan kelas tersebut.
Untuk interaksi simbolik yang disampaikan oleh Mead
memandang realitas social dengan kacamata psikologi social
sebagai sesuatu proses yang dinamis, bukan statis. Manusia
maupun aturan social dalam proses “akan jadi”, bukan sebagai fakta
yang sudah lengkap dan terminasi. Mead meneliti bagaimana proses
individu menjadi anggota organisasi (masyarakat). Mead
mengawalinya dengan diri (self) yang menjalani internalisasi atau
interpretasi subjectif atas realitas struktur yang lebih luas. “Diri” ini
berkembang ketika orang belajar “ mengambil peran orang lain” atau
masuk dalam pertandingan (games) ketimbang permaianan (play).
Manusia disamping itu mampu memahami orang lain yang
memaahami diri sendiri. Hal ini ditunjang oleh penguasan bahasa
sebagai symbol dan isyarat terpenting, kerena bahasa dan isyarat itu
orang bisa melakukan ineraksi simbolik dengan dirinya sendiri.
Selain itu, Teori ini memandang hubungan interpersonal
sebagai suatu transaksi dagang. Orang berhubungan dengan orang
lain karena mengharapkan sesuatu yang memenuhi kebutuhannya.
Thibaut dan Kelley, pemuka utama dari teori ini menyimpulkan teori
ini sebagai berikut: “Asumsi dasar yang mendasari seluruh analisis
kami adalah bahwa setiap individu secara sukarela memasuki dan
tinggal dalam hubungan sosial hanya selama hubungan tersebut
cukup memuaskan ditinjau dari segi ganjaran dan biaya”.
PENUTUP

Pada akhirnya dengan adanya perubahan struktur pada masyarakat


Ngringo mengakibatkan berubah pula berbagai dimensi social di dalam
masyarakat tersebut, dari ketiga perspektif yang telah dipergunakan dalam
menganalisis permasalahan perubahan social maka dapat diajukan
beberapa kesimpulan sederhana menyangkut perubahan yang telah terjadi,
yakni;
Perspektif Structural fungsional;
Tindakan individu ini merupakan tindakan sosial yang rasional, yaitu
mencapai tujuan atau sasaran dengan sarana-sarana yang paling
tepat. Yang utama bukanlah tindakan individual, melainkan norma-
norma dan nilai-nilai sosial yang menuntun dan pengatur perilaku.
Kondisi obyektif disatukan dengan komitmen kolektif terhadap suatu
nilai akan mengembangkan suatu bentuk tindakan sosial tertentu.
Individu atau kelompok dipengaruhi oleh 3 sistem, yaitu sistem sosial,
sistem budaya dan sistem kepribadian masing-masing individu. Kita
dapat mengaitkan individu dengan sistem sosialnya melalui status dan
perannya. Dalam setiap sistem sosial individu menduduki suatu tempat
atau status tertentu dan bertindak atau berperan sesuai dengan norma
atau aturan yang dibuat oleh sistem tersebut dan perilaku individu
ditentukan pula oleh tipe kepribadiannya.

Perspektif Konflik;
Pada hakekatnya manusia adalah makhluk yang bebas, memiliki akal
budi dan memiliki nilai estetika yang tinggi. Tetapi dengan
kehadirannya pula manusia ditindas oleh kekuasaan yang dihasilkan
oleh manusia itu sendiri. Dimana penciptaan system yang kapitalistik di
dalam organisasi industry itu justru menindas dan menjadikan manusia
sebagai bahan untuk melakukan kompetitif terhadap manusia lainnya.
kekayaan, status ekonomi, dan status sosial, walau bukan merupakan
determinan kelas, benar-benar dapat mempengaruhi intensitas
pertentangan. Ia mengetengahkan proporsisi berikut ini: "semakin
rendah korelasi antara kedudukan kekuasaan dan aspek-aspek status
sosial ekonomi lainnya, semakin rendah intensitas pertentangan kelas,
dan sebaliknya". Dengan perkataan lain, kelompok-kelompok yang
menikmati status ekonomi relatif tinggi memiliki kemungkinan yang
rendah untuk terlibat dalam konflik yang keras dengan struktur
kekuasaan daripada mereka yang terbuang dari status sosial ekonomi
dan kekuasaan. Dalam masyarakat pertentangan tersebut tidak dapat
dihilangkan. Pertentangan tersebut fungsional bagi perkembangan dan
perubahan struktur sosial. Yang terpenting ialah bahwa pertentangan
itu diatur melalui institusionalisasi daripada usaha-usaha untuk
menekannya.

Perspektif Interaksi simbolik;


Tiap individu yang hidup akan memberikan tanggapan terhadap simbol-
simbol yang adasSeperti penilaian individu menanggapi suatu
rangsangan (stimulus) dari suatu yang bersifat fisik.Pemahaman
individu terhadap symbol-simbol merupakan suatu hasil pembelajaran
dalam berinteraksi di tengah masyarakat, dengan mengkomunikasikan
symbol-simbol yang ada di sekitar mereka,baik secara verbal maupun
perilaku non verbal. Pada akhirnya,proses kemampuan berkomunikasi,
belajar, serta memahami suatu makna di balik symbol-simbol yang
ada,menjadi keistimewaan tersendiri bagi manusia di bandingkan
makhluk hidup lainnya (binatang). Interaksi simbolik terletak pada
penekanan manusia dalam lansung antara stimulus response, tetapi di
dasari pada pemahaman makna yang di berikan terhadap tindakan
orang lain melalui penggunaan symbol-simbol,interpretasi,pada
akhirnya tiap andividu tersebut akan berusaha saling memahami
maksud dan tindakan masing-masing untuk mencapai kesepakatan
bersama.
DAFTAR PUSTAKA

Abraham, M. Francis, 1997, Modernisasi di Dunia Ketiga Suatu Teori Umum


Pembangunan, PT. Tiara Wacana Yogya.
Demartoto, Argyo. 2010. Strukturalisme Konflik. Jurnal Dilema. Jurusan Sosiologi
Universitas Sebelas Maret Surakarta. Vol 24 No. 1 Tahun 2010.
Aiken, Hendy D. 2002, Abad Ideologi, Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta.
Budiman, Arif. 1996. Dimensi Kritik Proses Pembangunan Di Indonesia, Gerakan
Sosial, Demokrasi Di Indonesia. Kanisius. Yogyakarta.
Cakra, Fritjof 1997. Titik Balik Peradaban, Sisi Gelap Pertumbuhan, Yayasan Bentang
Budaya, Jakarta.
Jones, Pip. 2009, Pengantar Teori-teori Sosial, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Lauer, Robert H. 1993. Perspektif Tentang Perubahan Sosial, Renika Cipta. Jakarta.
Lubis, Mochtar. 1988. Menggapai dunia damai, Jakarta. Yayasan Obor Indonesia
Poloma, Margaret M, 2003, Sosiologi Kontemporer, PT. Rajagrafindo, Jakarta
Sachs, Wolfgang. 1995. Kritik atas pembangunanisme. Telaah Pengetahuan Sebagai
Alat Penguasaan, Inflasi Konseptual Pembangunan di Dunia Ketiga . CPSM
Scott, John. 2012, Teori Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Soejono Soekanto, 1990, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Press, Jakarta.
Sztomka, Piotr, 2004, Sosiologi Perubahan Sosial, Prenada Media Grop, Jakarta.
Umanailo, M. C. B. (2014) „Pierre Bourdieu; Menyikap Kuasa Simbol‟, OSF. doi:
10.31235/osf.io/4txzu.
Umanailo, M. C. B. (2015a) „Desa Sebagai Poros Pembangunan Daerah‟. doi:
10.31219/osf.io/gp97z.
Umanailo, M. C. B. (2015b) ILMU SOSIAL BUDAYA DASAR. 1st edn. Namlea: FAM
PUBLISHING. doi: 10.17605/OSF.IO/4HPWC.
Umanailo, M. C. B. (2015c) MASYARAKAT BURU DALAM PERSPEKTIF
KONTEMPORER (Kajian Kritis Perubahan Sosial di Kabupaten Buru), Mega
Utama. doi: 10.31219/osf.io/6d2g8.
Umanailo, M. C. B. (2016a) „Keterbatasan penggunaan teknologi informasi pada
pelayanan dan pembelajaran di universitas iqra buru‟.
Umanailo, M. C. B. (2016b) Sosiologi Hukum. 1st edn, FAM Publishing. 1st edn.
Namlea: FAM PUBLISHING. doi: 10.17605/OSF.IO/KHFNU.
Umanailo, M. C. B. (2017a) „Adakah Ukuran Kemiskinan Buat Masyarakat Di
Kabupaten Buru?‟ doi: 10.31219/osf.io/8ksn2.
Umanailo, M. C. B. (2017b) „Eksistensi Waranggana Dalam Ritual Tayub‟. doi:
10.31219/osf.io/vkdb5.
Umanailo, M. C. B. (2017c) „Mengurai Kemiskinan Di Kabupaten Buru‟. doi:
10.31219/osf.io/cpgd5.
Umanailo, M. C. B. (2017d) „MEREDUKSI MULTI PARTAI UNTUK KESTABILAN
PEMBANGUNAN NASIONAL‟. doi: 10.31219/osf.io/e37fp.
Umanailo, M. C. B. (2017e) „PENCIPTAAN SUMBERDAYA MANUSIA YANG
BERKARAKTER‟. doi: 10.31219/osf.io/xnc93.
Umanailo, M. C. B. (2018) „Studi pada Masyarakat Desa Waimangit Kabupaten Buru‟,
SOCA, 12(12), pp. 63–74. doi: 10.24843/SOCA.2018.v12.i01.p05.
Umanailo, M. C. B. and Yatno, T. (2015) Kajian dan Analisis Sosiologi Dalam Bentuk
Kumpulan Essay, Makalah dan Opini. doi: 10.31219/osf.io/jd2qp.Veeger, Karel J,
1997, Pengantar Sosiologi. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Windhu, I Marsana. 1992. Kekuasaan dan Kekerasan Menurut J Galtung . Kanisius,
Yogyakarta

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai