DISUSUN OLEH:
1. MARIA KRISTINA DROSTE WEA
2. ANITA NEOLAKA
3. NORMALINA BABIS
4. NONI E. LAKAPU
5. ROBERTA ANABELA DOREGO
6. SWITA S. NATONIS
7. FASTI N. MESE
8. AVILA OKTAVIANA MUSTIKA
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNIK
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena rahmat dan anugrahnya, penulis dapat
menyelesaikan makalah ini. Adapun makalah ini merupakan salah satu tugas dari mata kuliah
Ekologi Lahan Kering. Penulis mengucapkan terimakasih kepada bapak dosen dan teman-teman
semua yang telah mendukung penulis dalam menyelesaikan makalah ini. Tetapi tidak bisa
dipungkiri bahwa dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Untuk itu
penulis memohon maafdan dengan rendah hati menerima segala kritik dan saran yang
membangun. Kiranya makalah ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua pihak.
penulis
DAFTAR ISI
COVER
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………....
BAB 1 PENDAHULUAN
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan.................................................................................................
B. Saran..........................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA………………….........................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
Hutan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam
hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungan yang satu dengan
lainnya tidak dapat dipisahkan mempunyai banyak manfaat bagi kehidupan manusia baik
langsung maupun tidak langsung.Hutan dalam fungsinya sebagai penyedia pangan (forest for
food production) diperolehmelalui pemanfaatan langsung plasma nutfah flora dan fauna untuk
pemenuhan kebutuhan pangan. Selain itu secara tidak langsung kawasan hutan juga
dimanfaatkan untuk memproduksi sumber pangan. Salah satu bentuk pemanfaatan secara tidak
langsung adalah kegiatan agroforestrysebagaisuatu sistem pengelolaan lahan hutan yang
mengkombinasikan produksi tanaman pertanian dan tanaman hutan dan/atau hewan secara
bersamaan atau berurutan pada unit lahan yang sama, dan menerapkan cara-cara pengelolaan
yang sesuai dengan kebudayaan penduduk setempat(Departemen Kehutanan, 1992). Kegiatan
agroforestrydikawasan hutan dilakukan untuk mendapatkan keuntungandalam
rangkapeningkatan kesejahteraan masyarakat di dalam dan sekitar hutan dengan tetap
mempertahankan kondisi hutan. Kegiatan agroforestryjuga dilakukan sebagai kegiatan untuk
rehabilitasi hutan karena sifat kegiatan agroforestry yang konservatif dan protektif.
Manfaat-manfaat langsung yang didapat melalui agroforestry dapat memberikan manfaat
yang bersifat jangka panjang, seperti peningkatan produktivitas tanaman, tata guna lahan yang
lebih mantap dan perbaikan konservasi lingkungan. Karena itu, bila dilaksanakan dengan baik,
sistem agroforestry dapat merupakan alat yang efektif untuk merehabilitasi dan mengelola lahan-
lahan dan menggalakkan pembangunan di pedesaan. Namun, keberhasilan pembangunan
kehutanan melalui kegiatan agroforestrysangat ditentukan oleh tingkat partisipasi masyarakat
dalam berkontribusi terhadap upaya pengelolaan hutan dan kualitas sumberdaya manusia yang
mendukungnya. Pemberdayaan masyarakat dalam upaya pengembangan kegiatan agroforestry
dan upaya rehabilitasi lahan agar maju dan mandiri sebagai pelaku pembangunan kehutanan
mutlak dilaksanakan. Dalam rangka mewujudkan masyarakat yang mandiri sebagai pelaku
pembangunan kehutanan,maka hal yang sangat penting dilaksanakan adalah membangun,
memperkuat dan mengembangkan kelembagaan masyarakat yang terkait dengan kegiatan
pembangunan kehutanan(Departemen Kehutanan, 1992). Perum Perhutani sebagai salah satu
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di bidang kehutanan telah melakukan program
pembangunan kehutanan dengan menyempurnakan pola pendekatan kesejahteraan (prosperity
approach) dalam pengelolaan hutan menjadi pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM).
Prinsip PHBM adalah membuka kesempatan dan peluang kepada semua pihak untuk mengelola
hutan dengan sistem berbagi (sharing) dengan tetap mempertahankan kelestarian hutan.
Perubahan paradigma dalam pengelolaan hutan menuntut adanya perubahan sikap, tata kerja dan
struktur kelembagaan yang terkait dengan penerapan sistem PHBM. Terlebih lagi isu dan
permasalahan yang berkaitan dengan kelestarian hutan dan lahan masih menjadi isu dan
problematik yang memerlukan penanganan tersendiri.Fenomena kerusakan hutan dan lahan
masih saja terjadi bahkan kecenderungannya meningkat. Beberapa hal yang menyebabkan ini
terjadi adalah karena :
Salah satu penyebab terjadinya hal tersebut adalah strategi yang dilaksanakan selama ini
kurang melibatkan masyarakat atau lembaga yang sudahada dalam hal ini. Lembaga masyarakat
Desa Hutan (LMDH). LMDH yang telah dibentuk untuk pengelolaan hutandianggap tidak
mewakili aspirasi dari masyarakat. Sebagai lembaga yang dibentuk, LMDH belum dilibatkan
dalam pengelolaan hutan mulai dari perencanaan, pemanfaatan dan pemasarannya. Masyarakat
hanya dilibatkan apabila ada pekerjaan-pekerjaan tanaman, produksi ataupun kegiatan
pemeliharaan, namun tidak dilibatkan dalam hal perencanaan pengelolaan maupun pemasaran.
Demikian juga sebaliknya dalam pengelolaan kegiatan pertanian yang dilakukan di kawasan
hutan (agroforestry), masyarakat melaksanakan secara sendiri-sendiri tanpa adanya pengelolaan
yang jelas mulai dari perencanaan, produksi dan pemasarannya. Persiapan bibit tanaman,
pengerjaan lahan sampai dengan pemanenan dilakukan sendiri tidak secara lembaga sehingga
hasil yang diperoleh sangat bervariasi dan pemasarannya pun dilakukan secara perseorangan.
Keuntungan yang diperoleh oleh masyarakat sebagai pesanggem masih kurang karena budidaya
dilakukan secara tradisional. Lembaga yang ada hanyalah program dari pengurus saja dan tidak
melibatkan masyarakat. Selain lembaga masyarakat, pelaksanaan pengembangan
agroforestryperlu mendapat dukungan kelembagaan lainnya yang terkait dengan pelaksanaan
kegiatan agroforestrydi lahan hutan, seperti dukungan kelembagaan kredit, penyuluhan, koperasi,
penelitian,dan pengembangan serta tata guna lahan. Agar kondisi-kondisi tersebut dersebut dapat
diatasi dan pembangunan hutan dengan tujuan masyarakat mandiri yang sejahtera serta
perbaikan hutan dapat dicapai, perludisiapkanstrategi pengembangan kelembagaan
agroforestrydan rehabilitasi hutan secara tepat agar bisa diperoleh peningkatan pendapatan
masyarakat dan perbaikan kondisi hutan.
1.3. Tujuan
c. Ada interaksi (ekonomi dan ekologi) antara tanaman berkayu dengan tanaman tidak
berkayu.
e. Minimal mempunyai satu fungsi pelayanan jasa (service function), misalnya penaung,
pelindung dari angin, penyubur tanah atau peneduh.
PEMBAHASAN
1. Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 yang berisi bahwa bumi, air, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya (termasuk di dalamnya sumber daya
hutan), dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
2. BAB V Bagian Ketiga Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan
berisikan tentang ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan pemanfaatan hutan.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2007 (PP Nomor 6 tahun 2007) tentang Tata
Hutan dan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan juncto Peraturan
Pemerintah Nomor 3 tahun 2008 (PP No. 3 tahun 2008) tentang Perubahan Peraturan
Pemerintah Nomor 6 tahun 2007.
Pemanfaatan kawasan hutan adalah kegiatan untuk memanfaatkan ruang tumbuh sehingga
diperoleh manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ekonomi secara optimal dengan tidak
mengurangi fungsi utamanya. Kegiatan ini dapat dilakukan di kawasan hutan konservasi (kecuali
pada cagar alam, zona rimba dan inti taman nasional), hutan lindung, dan hutan produksi.
Kegiatan ini dapat dilakukan apabila memiliki Izin Usaha Pemanfaatan Kawasan (IUPK).
Pemanfaatan jasa lingkungan adalah kegiatan untuk memanfaatkan potensi jasa lingkungan
dengan tidak merusak lingkungan dan mengurangi fungsi utamanya. Kegiatan ini dapat
dilakukan pada hutan konservasi (kecuali pada zona rimba dan inti suatu taman nasional serta
cagar alam), hutan lindung, dan hutan produksi.
Pengertian Agroforestri
Agroforestri adalah sistem budidaya tanaman kehutanan yang dilakukan bersama dengan
tanaman pertanian / peternakan. Tanaman kehutanan yang dimaksud adalah tanaman pepohonan,
sedangkan tanaman pertanian berkaitan dengan tanaman semusim.Pengertian agroforestri dapat
dijelaskan secara lebih luas, yaitu penggabungan sistem budidaya kehutanan, pertanian,
perikanan, dan peternakan. Istilah agroforestri berasal dari kata serapan bahasa Inggris, yakni
“agroforestry”. Agro yang berarti pertanian, sedangkan forestry berarti kehutanan.
Di Indonesia, sistem ini seringkali disebut dengan istilah “wanatani” yang merupakan
gabungan dari kata “wana” dan “tani” yang berarti hutan tani. Pada prakteknya, agroforestri ialah
suatu sistem pengelolaan lahan yang berguna untuk mengatasi masalah ketersediaan lahan dan
untuk meningkatkan produktivitas lahan.
Selain pengertian agroforestri secara umum diatas, ada beberapa definisi lain yang
dikemukakan oleh para ahli, antara lain:
Konsep Agroforestri
Konsep agroforestri merupakan rintisan dari tim Canadian International Development Centre
yang melakukan kegiatan identifikasi prioritas pembangunan dalam bidang kehutanan di negara
berkembang pada kisaran tahun 1970-an. Tim ini menyimpulkan jika hutan di kawasan
berkembang belum cukup dimanfaatkan dan hanya terbatas pada aspek, yaitu:
Oleh sebab itu, agroforestri diharapkan mampu mengoptimalkan penggunaan lahan dan
mencegah perluasan lahan terdegradasi, melestarika sumber daya hutan, meningkatkan mutu
pertanian dan menyempurnakan intensifikasi serta diversifikasi silvikultur.
Dari pengertian agroforestri maka dapat disimpulkan jika sistem ini sangat bervaraisi dan
dapat diklasifikasikan berdasarkan kriteris-kriteria sebagai berikut:
1. Secara Struktural adalah berkaitan dengan komposisi komponen, seperti sistem
agrisilvikultur, silvopastur, agrisilvopastur dan lainnya
2. Secara Fungsional adalah terkait fungsi atau peranan utama suatu sistem, terutama
komponen tanaman kayu
3. Secara Sosial Ekonomis adalah berkaitan dengan tingkat masukan dalam suatu
pengelaolan, meliputi masukan rendah atau tinggi, intensitas dan skala
pengelolaan, tujuan usaha, sub sistem, komersial dan intermedier
4. Secara Ekologis adalah menyangkut kondisi lingkungan dan kesesuaian ekologis
penerapan sistem agrisilvikultur, silvopastur, agrisilvopastur dan lainnya
Manfaat Agroforestri
Tujuan Agroforestri
Agroforestri memiliki tujuan positif, terutama bagi lingkungan hidup. Salah satunya adalah
sebagai upaya perlindungan terhadap keanekaragaman hayati. Sistem wanatani dapat
menghasilkan keanekaragaman yang tinggi, baik menyangkut produk maupun jasa.Selain itu,
agroforestri juga bertujuan untuk memperbaiki kondisi tanah serta mengelola sumber air agar
tetap lestari dan menjadi lebih baik. Program ini bermanfaat pula sebagai pohon peneduh dan
pohon pelindung, serta pagar hidup.Seluruh tujuan yang menjadi target agroforestri akan tercapai
jika pengelola atau petani mampu melakukan teknik pengembangan dengan baik.Ada beberapa
hal yang harus dilakukan agar sistem wanatani berjalandengan baik. Misalnya, mengadakan
interaksi positif antara berbagai komponen penyusun, meliputi pohon, produksi tanaman
pertanian, dan hewan atau ternak. Interaksi positif juga dapat dilakukan antara komponen-
komponen penyusun dengan lingkungannya. Interaksi tersebut sebaiknya dilakukan secara
optimal agar pengembangan agroforestri dapat berjalan dengan baik.
Agroforestri merupakan suatu teknik yang baik dan menjadi pilihan petani untuk
meningkatkan kualitas dari produktivitas lahan di tengah keterbatasan lahan. Selain itu, upaya ini
juga berdampak baik untuk lingkungan. Sebab, metode ini dapat melindungi keanekaragaman
hayati, serta tidak mengakibatkan pencemaran lingkungan.
Google
Image
Namun selain 4 sistem kombiansi diatas, masih ada sistem lain dalam agroforestri menurut
Nair (1987), yaitu:
Keunggulan Agroforestri
Ada beberapa keunggulan dari pengembangan agroforestri, antara lain rendahnya modal dan
biaya tenaga kerja yang akan digunakan. Sebab, produktivitas lahan melalui siklus unsur hara
dan perlindungan tanah mampu dilakukan dengan modal yang murah dan sedikit tenaga kerja.
Selain itu, agroforestri juga dapat meningkatkan nilai output pada suatu area lahan tertentu. Hal
ini terjadi karena adanya penanaman campuran antara pohon dan spesies lainnya. Agroforestri
juga dapat mendiversifikasi kisaran output dengan tujuan untuk meningkatkan swasembada.
Diversifikasi dapat mengurangi hilangnya pendapatan yang mungkin terjadi terutama ketika
cuaca buruk atau karena pengaruh faktor biologi dan faktor pasar. Adanya diversifikasi bertujuan
mendistribusikan kebutuhan input tenaga kerja secara lebih merata. Tentu saja hal ini tepat
dilakukan di daerah pertanian tropis seperti di Indonesia. Diversifikasi dapat pula menyediakan
produktivitas untuk lahan, tenaga kerja ataupun untuk modal yang belum sempat dimanfaatkan.
Melihat kelebihan tersebut, maka bukan tidak mungkin akan semakin banyak pengelolaan dan
pengembangan lahan untuk agroforestri sehingga mencapai hasil yang maksimal. Agroforestri
pada akhirnya akan berdampak positif pada kehidupan sosial masyarakat yang memperoleh
penghasilan dari penjualan hasil lahan.
Kelemahan Agroforestri
Rehabilitasi Hutan
Dalam Undang undang No. 41/1999 tentang Kehutanan pasal 40 disebutkan bahwa
rehabilitasi hutan dan lahan dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan, dan
meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas, dan peranannya
dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. Rehabilitasi hutan dan lahan
diselenggarakan melalui kegiatan reboisasi, penghijauan, pemeliharaan, pengayaan tanaman,
atau penerapan teknik konservasi tanah secara vegetatif dan sipil teknis, pada lahan kritis dan
tidak produktif (pasal 41 ayat (1)). Kegiatan rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan di semua hutan dan kawasan hutan kecuali cagar alam dan zona inti taman nasional.
Kegiatan reboisasi dan penghijauan merupakan bagian rehabilitasi hutan dan lahan. Kegiatan
reboisasi dilaksanakan di dalam kawasan hutan, sedangkan kegiatan penghijauan dilaksanakan di
luar kawasan hutan. Rehabilitasi hutan dan lahan diprioritaskan pada lahan kritis, terutama yang
terdapat di bagian hulu daerah aliran sungai, agar fungsi tata air serta pencegahan terhadap banjir
dan kekeringan dapat dipertahankan secara maksimal. Rehabilitasi hutan bakau dan hutan rawa
perlu mendapat perhatian yang sama sebagaimana pada hutan lainnya. (Penjelasan pasal 41 ayat
(1)). Pada cagar alam dan zona inti taman nasional tidak boleh dilakukan kegiatan rehabilitasi.
Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kekhasan, keaslian, keunikan, dan keterwakilan dari jenis
flora dan fauna serta ekosistemnya. (Penjelasan pasal 41 ayat (2)).
Dalam penggunaan istilah dan pelaksanaan kegiatan rehabilitasi hutan perlu berhati- hati
karena terdapat pasal yang tidak memberlakukan kegiatan ini. Sebagai contoh belum lama ini
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui Direktur Perencanaan dan
Evaluasi Pengendalian DAS KLHK menyebutkan bahwa pihaknya tahun 2019 ini menyiapkan
anggaran Rp52 miliar untuk program rehabilitasi Cagar Alam Cycloop dan pemulihan Danau
Sentani (harian Kompas, 24 April 2019). Pernyataan ini kurang cermat dan misleading
(menyesatkan) karena dengan jelas dalam pasal 41 ayat (2) berikut penjelasannya mengatakan
bahwa cagar alam tidak boleh/dilarang dilakukan kegiatan rehabilitasi. Pernyataan ini juga
penulis tanggapi pada surat kepada redaksi dengan judul yang sama (harian Kompas, 31 Mei
2019).
Kegiatan rehabilitasi hutan telah dilaksanakan oleh pemerintah secara massal pada
pemerintahan Orde Baru sejak terbitnya Instruksi Presiden (Inpres) Reboisasi dan Penghijauan
tahun 1976 dan dilanjutkan pada era reformasi ini dengan program Rehabilitasi Hutan dan Lahan
hingga sekarang. Maksud dari kegiatan rehabilitasi hutan ini salah satunya adalah mengurangi
luas lahan kritis dalam kawasan hutan dan menekan laju angka deforestasi yang makin cepat dan
masif.
Tanaman cendana ( L.) adalah tanaman kehutanan yangsangat istimewa karena nilai ekonomi
dan guna kayunya yang sangat tinggi. Kayuyang berbau wangi ini digunakan sebagai bahan baku
ukiran, berbagai barangkerajinan, dan minyak ini telah diperdagangkan secara mancanegara
maupun diIndonesia sejak abad ke-10. Namun, dewasa ini populasi tanaman semakin
menurundan kayunya semakin langka dalam perdagangan (Butarbutar, 2006).
Permasalahanmendasar dalam pengelolaan cendana selama ini yang menyebabkan penurunan
populasi tanaman dan kayu cendana, meliputi 3 (tiga) faktor, yakni : penguasaan teknologi
pengelolaan terutama mengenai penyemaian dan penanaman cendana oleh masyarakat yang
masih rendah, minimnya dukungan kelembagaan dan dana,serta ketidaktepatan kebijakan
pengelolaan cendana oleh pemerintah daerahterutama menyangkut tata usaha cendana (Fathoni,
2009).Beberapa data menyebutkan bahwa berdasarkan inventarisasi tahun1987/1988 sampai
tahun 1997/1998, telah terjadi penurunan populasi cendanasebesar 53,95% (Dinas Kehutanan
Nusa Tenggara Timur, 1998; Darmokusumo,2001 dalam Surata, 2006). Pada tahun 1999 sampai
tahun 2003 penebangandihentikan dan pasokan kayu cendana yang beredar berasal dari pasar
gelap. Sampaisaat ini populasi kayu cendana yang masih bertahan di Nusa Tenggara Timur
hanyaada di Pulau Sumba dan Pulau Timor, itu pun kondisinya sudah hampir punah.Penurunan
ini disebabkan oleh karena penetapan target tebangan tahunan yangtinggi, tingginya pencurian,
gangguan kebakaran dan ternak serta kurang diimbangidengan keberhasilan regenerasi, baik
melalui regenerasi hutan tanaman maupunalam (Surata, 2006). Sementara itu Susila (2006)
mengemukakan bahwa faktor-faktor penyebab langkanya cendana antara lain : keengganan
masyarakat untukmenanam cendana karena adanya peraturan daerah yang tidak
mendukung,kebakaran hutan, penebangan liar, pencurian dan persyaratan hidup cendana
yangrumit.Persoalan pertama yang seringkali dianggap sebagai biang permasalahancendana
adalah kebijakan tata usaha perdagangan kayu cendana yang dikeluarkanoleh pemerintah daerah
dinilai bertentangan dengan prinsip keadilan ekonomi sehingga menimbulkan sikap apatisme
dalam masyarakat, baik untuk menanammaupun memelihara tanaman cendana. Masyarakat di
Timor menganggap kayucendana sebagai kayu pembawa perkara, sehingga memilih mematikan
anakancendana yang tumbuh di halaman atau pekarangannya dan takut hukuman karenadapat
dianggap sebagai pencuri apabila memiliki kayu cendana
PENUTUP
Kesimpulan
Agroforestri adalah sistem budidaya tanaman kehutanan yang dilakukan bersama dengan
tanaman pertanian / peternakan. Tanaman kehutanan yang dimaksud adalah tanaman pepohonan,
sedangkan tanaman pertanian berkaitan dengan tanaman semusim.Pengertian agroforestri dapat
dijelaskan secara lebih luas, yaitu penggabungan sistem budidaya kehutanan, pertanian,
perikanan, dan peternakan.
Saran
Bagi para pembaca sekalian yang ingin memperoleh informasi lebih lengkapnya mengenai
kehutanan dan bentuk-bentuk blastulasi pada hewan, di sarankan agar mencari lagi refrensi yang
lain, karena tidak dapat kami pungkiri bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak
kekurangan yang harus di perbaiki.
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Pemerintah No.72 Tahun 2010. Tentang Perusahaan Umum Kehutanan Negara.
Perum Perhutani. Jakarta.
Perum Perhutani. 2004. Petunjuk Kerja Penanganan dan Penatausahaan Hasil Hutan Kayu Sisa
Pencurian Kayu Temuan dan Kayu Bukti. Perum Perhutani. Jakarta.
Perum Perhutani. 2008. Standar Oprasional Monitoring Pencurian Kayu Standar Oprasional
Penanganan Pencurian Kayu Standar Oprasional Pengendalian Kebakaran Hutan dan Standar
Oprasional Penggembalaan. Purworejo: Perum Perhutani.
Qirom, M.A., M.B. Saleh dan B. Kuncahyo. 2012. Aplikasi Citra Alos Palsar Untuk Pendugaan
Simpanan Karbon Di Hutan Tanaman Akasia. Bogor: Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol. 9
No. 3. September 2012, 121-134.
Soetrisno, A. 2006. Kajian Keamanan Hutan. Madiun: Pusat Pendidikan dan Pelatihan
Sumberdaya Manusia. Perum Perhutani.
Tim Penyusun Praktik Umum Fakultas Pertanian. 2016. Buku Panduan Praktik
Umum Fakultas Pertanian. Bandar Lampung: Buku. Universitas Lampung.
LAMPIRAN