Anda di halaman 1dari 28

PAJAK PENCHASILAN PASAL 4(2)

1. Pemotong PPh Pasal 4(2)


Di dalam praktik pengenaan pajak sesuai Pasal 4 ayat (2) UU PPh ini identik
dengan pemotongan pajak final, pada kenyataannya tidak semua peraturan
pelaksanaannya mengatur siapa pemotong pajaknya. Dan juga menjelaskan tentang
siapa yang menjadi pemungut pajak atau yang melakukan penyetoran pajak sendiri.
Ringkasan Objek dan Tarif Pemotongart PPh Pasal 4(2)

2. Ringkasa Objek dan Tarif Pemotongan PPh Pasal 4(2)


Pasal 4 ayat (2) UU PPh 2008 mengatur bahwa dengan pengaturan atau
berdasarkan Peraturan Pemerintah, beberapa jenis penghasilan dikenai pajak bersifat
final. Ringkasan kelompok penghasilannya mencakup jenis penghasilan sbb.:
a. penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan
surat utang negara. dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada
anggota koperasi orang pribadi,.
penghasilan berupa hadiah undian,.
c. penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang
diperdagangkan di bursa, dan transaksi penj ualan saham atau pengalihan
penyertaanmodal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan
modal ventura;
d. penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan.
usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan.,
dan
e. penghasilan tertentu lainnya.

Perlakuan tersendiri dalam pengenaan pajaknya mencakup sifat, besamya, dan


tata cara pelaksanaan pembayaran, pemotongan, atau pemungutan. Pertimbangan-
pertimbangan yang menjadi dasar dalam perlakuan khusus ini antara lain:
perlu adanya dorongan dalam rangka perkembangan investasi dan tabungan
masyarakat;
kesederhanaan dalam pemungutan pajak;
- berkurangnya beban administrasi baik bagi Wajib Pajak maupun Direktorat
Jenderal Pajak;
pemerataan dalam pengenaan pajaknya; dan
memerhatikan perkembangan ekonomi dan moneter.

Khusus untuk obligasi, pengertiannya mencakup surat utang berjangka waktu


lebih dari 12 (dua belas) bulan, seperti Medium Term Note, Floating Rate Note yang
berjangka waktu lebih dan 12 (dua belas) bulan.

❑bjek pajak dan tarif pajak yang diatur berdasarkan konsiderans Pasal 4 ayat (2)
UU PPh. Di dalam UU PPh, juga terdapat ketentuan di War pasal tersebut yang
pengenaan pajaknya juga bersifat final. Pembahasan tentang hal ini dikupas pada
mencakup surat utang berjangka waktu lebih dari 12 (dua subbab lainnya. tapi
ringkasan objek pajak final selain yang diatur di dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh
tersebut adalah:
1. PPh Pasal 21 final atas (1) Pesangon, (2) Tunjangan Hari Tua dan tebusan
pensiun yang dibayar sekaligus, serta (3) honorarium atas beban APBN/ APBa
dan
2. PPh Pasal 15 final atas persewaan kapal taut.

3. Saat Pemotongan PPh Pasal 4(2)


Saat pemotongan pajak, termasuk pemungutan dan penyetoran pajak sendiri.
Saat pemotongan/pemungutan/penyetoran ini memberikan informasi secara akuntansi
dalam bentuk kapan harus mengakui utang pajak.

4. Pemotongan PPh atas imbalan Bungs

Jika dibaca secara komprehensif objek pajak imbalan bunga di dalam UU PPh,
pengenaan pajaknya bervariasi. Tabel 1 merangkum semua objek pajak imbalan
bunga dan sifat pengenaan pajaknya.
Tabel 1 Perbandingan Objek PPh Intbalan Bunga

Sifat pengenaan
Jenis imbalan bunga Referensi
pajak
1. Bunga deposito dan tabungan dan tabungan lainnya. PPh final Pasal 4 ayat
bunga obligasi dan surat utang negara. dan bunga (2) UU PPh
simpanan yang dibayarkan oleh koperasi anggota lihat Tabel
koperasi orang pribadi 7.1)

2. Bunga yang dibayar atau terutang kepada bank Tak ada pemotongan PPh 23 ayat
PPh, taps hanya menjadi (4) UU PPh
3. Bunga terkait dengan sews yang dibayarkan atau
terutang sehubungan dengan sewa guna usaha denon objek PPh Badan

hak opsi

4. Bunga yang dibayarkan, atau telah jatuh tempo Dipotong PPh Pasal 26 PPh 26 ayat
pembayarannya, kepada Wajib Pajak luar negeri (4) UU PPh

5. Bunga selain butir 1 s.d 4 Dipotong PPh Pasal 23 PPh 23 ayat


(4) UU PPh

5. Pemotongan PPh atas Hadiah


Seperti halnya imbalan bunga, pengenaan PPh atas hadiah di dalam UU PPh juga
bervariasi. Tabel 2 merangkum semua objek pajak imbalan hadiah dan sifat
pengenaan pajaknya.

Tabel 2 Perbandingan Objek PPh Imbalan Hadiah

Sifat pengenaan
Jenis imbalan hadiah Referensi
pajak
1 Hadiah undian Dipotong PPh final Pasal 4 ayat
(2) UU PPh
lihat Tabel
7.1)

2. Hadiah langsung, yaitu hadiah dalam penjualan barang Bukan objek PPh KepDirjen
atau jasa sepanjang yang diberikan kepada semua Pajak No.
pembeli atau konsumen akhir tanpa diundi dan hadiah Kep-
tersebut diterima langsung oleh konswnen akhir pada 395/P1/200 I
saat pembelian barang atau jasa
3. Hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam Dipotong PPh Pasal 21 PerDirjen
bentuk apapun yang dibayar atau terutang kepada Pajak No.
Wajib Pajak orang pribadi dalarn negeri Per-
31/PJ/2012

4. Hadiah atau penghargaan yang dibayarkan, atau telah Dipotong PPh Pasal 23 PPh 23 ayat
jatuh tempo pembayarannya. kepada Wajib Pajak (4) UU PPh
Badan dalam negeri

5. Hadiah atau penghargaan yang dibayarkan. atau telah Dipotong PPh Pasal 26 PPh 26 ayat
jatuh tempo pembayarannya, kepada Wajib Pajak luar (4) UU PPh
negeri

6. Pemotongan PPh Final atas Transaksi Sekuritas


Pemberlakuan PPh final atas transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa
tidak berlangsung lama. PP No. 17/2009 yang menjadi dasar ketentuan PPh ini telah dis
dengan PP No. 31/2011. Ketentuan ini mengatur PPh atas penghasilan dari
transaksi derivatif berupa kontrak berjangka yang diperdagangkan di bursa.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung, sebagai hasil judicial review, dinyatakan
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi in casu Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2)
huruf c UU PPh 2008 Karena itu. ketentuan tersebut dinyatakan tidak sah dan tjdak
berlaku umum. Dalam hal ini, pengertian penghasilan tidak terpenuhi di dalam
transaksi derivatif berupa kontrak berjangka yang diperdagangkan di bursa.

7. Pembayaran PPh Final atas Transaksi Pengalihan Tanah dan/atau

Bangunan

7.1 Dasar Pengaturan yang Berubah-ubah


PPh atas transaksi pengalihan tanah dan/atau bangunan mengalami perubahan

beberapa kali. Hal ini terlihat pada Tabel 3 Sejak reformasi perpajakan pada tahun
1983, terdapat lima kali perubahan_ Khusus untuk Peraturan Pemerintah (PP) No.
48/1994, sampai tahun 2013 telah terjadi perubahan tiga kali. Dasar pertimbangan atas
perubahan tersebut bervariasi dan, jika dirangkum, terlihat sbb.:
untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban Pajak
Penghasilan atas penghasilan sehubungan dengan transaksi pengalihan tanah
dan/atau bangunan (PP No. 3/1994 dan PP No. 48/1994);
untuk lebih memberikan kepastian hokum dalam pemenuhan kewajiban pelunasan
pajak (PP No. 27/1996);
untuk lebih menyesuaikan dengan perkembangan dunia usaha khusunya industry
realestat dan sesuai dengan prinsip keadilan yang dianut undang-undang perpajakan
(PP No. 79/1999): dan
untuk lebih memberikan kemudahan dan kesederhanaan dalam menghitung Pajak
Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan,
serta mendukung program pengadaan Rumah Sederhana dan Rumah Susun
Sederhana (PP No. 27/1996).

Tabel 3 Dasar Peraturan PPh alas Pengahhan atas Tanah/Bangunan

No No. Peraturan Tanggal Sifat pengenaan pajak Referensi

1. (Peraturan 13 Pelaksanaan UU PPh 1984 1 Jan 1985 - 1

Pemerintah No. Nov.1985 Maret 1994

42/1985)

2. (Peraturan 2 Mar.1994 Pembayaran PPh dal= tahun berjalan 2 Mar - 31 Des

Pemerintah No. atas penghasilan dari pengalihan hak 1994

3/1994) atas tanah atau tanah dan bangunan

3. (Peraturan 27 Pembayaran PPh alas penghasilan dari 1 Jan 1995 - 15

Pemerintah No. Des.1994 pengalihan hak atas tanah dan/atau Apr 1996

48/1994 ) bangunan

4. (Peraturan 16 Perubahan alas PP No. 48 tahun 1994 1 Jan 1996 - 31

Pemerintah No. Apr.1996 Des 1999

27/1996)

5. (Peraturan 30 Perubahan kedua alas PP No. 48 tahun 1 Jan 2000 - 31

Pemerintah No. Sep.1999 1994 Des 2008

79/1999)

6. (Peraturan 4 Nov.2008 Perubahan ketiga atas PP No. 48 tahun 1 Jan 2009 -

Pemerintah No. 1994 slug

71/2008)
7.2 Rincian Objek PPh atas Pengalihan alas Tanah/Bangunan
Tabel 4 dan Tabel 5 memberikan gambaran tentang objek PPh atas transaksi

pengalihan atas tanah/bangunan. Untuk membaca Tabel 4 tentang objek PPh, harus
dipahami dulu Tabel 5 karena Tabel 5 ini berisi pengecualian transaksi yang tidak

dikenakan PPh.

7.2.1 Objek PITh

Tabel 4 Rincian Objek PPh alas Pengalihan Hak alas Tanah/Bangunan


Periode Rincian Objek PPh Referensi

2 Mar — 31 Penjualan. tukar menukar atau cara lain yang disepakati Pasal 1 PP
Des 1994 dengan Wajib Pajak No. 3/1994
Penjualan, tukar menukar atau cara lain yang disepakati
secara sukarela dengan Pemerintah selain untuk pelaksanaan
pembangunan untuk kepentingan urnum,.
Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah atau tanah dan
bangunan kepada Pemerintah untuk pelaksanaan
pembangunan untuk kepentingan umum.

1. Penjualan, tukar menukar, perjanjian pemindahan hak, Pasal 1 PP


pelepasan hak, penyerahan hak, lelang. hibah. atau cara lain No.
yang disepakati dengan pihak lain selain pemerintah: 48/ 1994
2. Penjualan. tukar menukar. pelepasan hak, penyerahan hak,
atau cara lain yang disepakati dengan pemerintah euna
1 Jan 1995 pelaksanaan pembangunan, termasuk pembangunan untuk
— skrg kepentingan umum yang tidak memerlukan persyaratan
dan
3. Penjualan, tukar menukar, pelepasan hak, penyerahan hak,
atau cara lain kepada pemerintah guna pelaksanaan
pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan
persyaratan khusus.
7.2.2 Non-Objek PPh

Tabel 5 Rincian Non-Objek PPh alas Pengalihan flak alas Tanah/Bangunan


Periode Rincian Objek PPh Referensi

2 Mar — 31 1. Penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Pasal 2 PP


Des 1994 Perseorangan dalam negeri yang jumlah brutonya kurang dad Rp No. 3/1994
60.000.000, dari:
a. Pengalihan hak alas tanah atau tanah dan bangunan kepada
Wajib Pajak lainnya, atau

b. Pengalihan hak alas tanah atau tanah dan bangunan kepada


Pemerintah selain untuk pelaksanaan pembangunan untuk
kepentingan umum. atau

c. Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah atau tanah dan


bangunan kepada Pemerintah untuk pelaksanaan pembangunan
untuk kepentingan tunum yang tidak memerlukan persyaratan
khusus.
2. Penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
Perseorangan dalam negeri dart pelepasan atau penyerahan hak alas
tanah atau tanah dan bangunan kepada Pemerintah dengan ganti rugi
yang akan dipergunakan untuk kepentingan tunum yang
pernbangunannya memerlukan persyaratan khusus dan dananya
bersumber dari APBN?APBD

1 Jan 1995 — 1. Penghasilan yang diterima atau diperoleh Orang Pribadi dari Pasal 5 PP
31 Des 2008 pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang jumlah brutonya No. 48/1994
kurang dad Rp 60.000.000. bukan merupakan jumlah yang
dipecah-pecah, dan terkait dengan:
a. Penjualan. tukar menukar, perjanjian pemindahan hak,
pelepasan hak. penyerahan hak, lelang. hibah, atau cara lain
yang disepakati dengan pihak lain selain pemerintah;
b. Penjualan, tukar menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, atau
cara lain yang disepakati dengan pemerintah guna pelaksanaan
pembangunan. termasuk pembangunan untuk kepentingan
um= yang tidak memerlukan persyaratan khusus.
2. Penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi dari

penjualan. tukar menukar, pelepasan hak, penyerahan hak. atau cara


lain kepada pemerintah guna pelaksanaan pembangunan untuk
kepentingan unitun yang memerlukan persyaratan khusus:
Hibah yang diberikan oleh orang pribadi atau badan kepada
keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus sate derajat, dan
kepada badan keagamaan atau barlan pendidikan atau badan sosial atau
pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh
Menkeu. sepanjang hibah tersebut tidal( ada hubungannya dengan
usaha, pekerjaan. kepemilikan. atau penguasaan antara pihak-pihak
yang bersangkutan:
Warisan

1 Jan 2009 — Pengalihan hak atas tanah atau tanah dan bangunan orang pribadi Pasal 5 PP
skrg yang mempunyai penghasilan di bawah PTKP (Penghasilan Tidak No. 71/2008
Kena Pajak) yang melakukan dengan jumlah bruto pengalihannya
kurang dart Rp 60.000.000, dan bakan merupakan jumlah yang
dipecah-pecan:

Orang Pribadi atau badan yang meneritna atau memperoleh


penghasilan dart penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak,
penyerahan hak. atau cara lain kepada pemerintah guna
pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang
memerlukan persyaratan khusus;
Hibah orang pribadi kepada keluarga sedarah dalam garis
keturunan lurus sate derajat. dan kepada badan keagamaan atau
badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk
koperasi yang ditetapkan oleh Menkeu. sepanjang hibah tersebut tidak
ada hubungannya dengan usaha. pekerjaan, kepemilikan. atau
penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
Hibah badan kepada badan keagamaan atau badan pendidikan atau
badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang
ditetapkan oleh Menkeu, sepanjang hibah tersebut tidak ada
hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan_ atau
penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan: atau
Warisan
7.3 TariiPPh atas Transaksi Pengalihan Hak atas TanahlBangunan

Sesuai dengan dasar pertimbangan yang menjadi titik tolak perubahan peraturan,
tarif PPh atas transaksi pengalihan hak atas tanah/bangunan juga berubah-ubah. Hal ini
terlihat pada tarif yang berlaku pada tahun 2013 merujuk pada Pasal 4 PP No. 71/2008.
Penentuan NJOP Jual Objek Pajak) mengacu pada SPPT (Surat
Pemberitahuan Pajak Terutang) PBB tahun yang bersangkutan. Dalam hal SPPT
tersebut belum diterima Wajib Pajak, NJOP tersebut mengacu pada SPT tahun pajak
sebelumnya yang telah diterbitkan oleh Kepala KPP yang wilayah wewenangnya
meliputi tanah atau tanah dan bangunan yang bersangkutan. Apabila tanah atau tanah
dan bangunan tersebut belum terdaftar pada KPP, NJOP yang dipakai adalah NJOP
menurut surat keterangan yang diterbitkan Kepala KPP yang wilayah wewenangnya
meliputi tanah atau tanah dan bangunan yang bersangkutan.

7.2.4 Mekanisme Pembayaran Pajak


Sejak tahun 1994 s.d. 2013, tidak ada perubahan signifikan terkait dengan
mekanisme pembayaran PPh atas transaksi pengalihan hak atas tanahlbangunan. Di ini
diuraikan mekanisme pembayaran dalam hal sumber pembayaran atas pengalihan, hak
atas tanahlbangunan berasal dari non-APBN/APBD dan berasal dari APBNIAPBD.

7.2.4.1 Dalam hal sumber pembayaran atas pengalihan hak berasal dari non
AP BN/AP BD
1. Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak
atas tanah/bangunan wajib membayar sendiri PPh yang terutang ke Bank
Persepsi atau Kantor Pos dan Giro sebelum akta, keputusan, perjanjian,
kesepakatan atau risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan ditandatangani oleh pejabat yang berwenang, yaitu:
- Notaris,
- Pejabat Pembuat Akta Tanah,
- Camat,
Pejabat Lelang, atau
- pejabat lain yang diberi wewenang sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku
2. Pejabat yang berwenang hanya menandatangani akta, keputusan, perjanjian,
kesepakatan atau risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan apabila kepadanya dibuktikan oleh Orang pribadi atau badan
dimaksud bahwa kewajiban pembayaran PPh telah dipenuhi dengan
menyerahkan fotokopi Surat Setoran Pajak yang bersangkutan dengan
menunjukkan aslinya.
3. Pejabat yang berwenang menandatangani akta, keputusan, perjanjian,
kesepakatan risalah lelang wajib menyampaikan laporan bulanan mengenai
penerbitan akta, keputusan„ perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang atas
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada Direktur Jenderal Pajak.

7.2.4.2 Dalam hal sumber pembayaran atas pengalihan hak berasal dari APBN/APBD 1.
Bendaharawan atau Pejabat yang berwenang melakukan pembayaran atau
pejabat yang menyetujui tukar-menukar memungut PPh memperhatikan
ketentuan.
2. Bendaharawan atau Pejabat yang ditunjuk wajib menyetor PPh yang telah
dipungut ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro sebelum pelaksanaan
pembayaran kepada Wajib Pajak yang berhak menerimanya atau sebelum tukar-
menukar dilaksanakan.
3. Penyetoran PPh ke kas negara dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran
Pajak atas nama Wajib Pajak yang menerima pembayaran atau yang melakukan
tukar. menukar. yang telah dipungu
4. Bendaharawan atau pejabat yang ditunjuk wajib menyampaikan laporan
mengenai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) kepada Direktur knderal Pajak
7.4 Sifat Pembayaran Pajak

Selain tarif PPh yang berubah-ubah, sifat pembayaran pajaknya juga berubah-
ubah Dalam suatu masa pembayaran PPh-nya bersifat final, tapi untuk periode yang
lain tidak final. Akan tetapi, sejak PP No. 71/2008 berlaku dan ketentuan tersebut
mengacu pada IX PPh 2008 yang berlaku mulai tahun 2009, seluruh jenis pemba PPh
atas transaksi pengalihan hak atas tanah/bangunan bersifat final.

7.5 Sekelumit Permasalahan Empirik

Jika sumber pembayaran berasal dari non-APBN/APBD, adakalanya muncul


permasalahan karena penjual tidak memahami ketentuannya. Dalam hal ini penjual
menyetorkan PPh-nya kepada notaris atau pejabat yang berwenang, padahal
seharusnya Pejabat yang berwenang hanya menandatangani akta, keputusan,
perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan. Orang pribadi atau badan yang melakukan pengalihan menyerahkan
fotokopi Surat Setoran Pajak sebagai bukti pembayaran PPh dengan menunjukkan
aslinya.
Permasalahan lainnya yang lebih marak terjadi di dalam praktik adalah nilai
transaksi yang sebenamya tidak tercatat di dalam akta jual bell properti. Kasus
fenomenal yang muncul ke permukaan adalah korupsi simulator SIM di Polri yang
ditangani KPK Ditjen Pajak pun perlu memuat berita yang bersifat advertorial di salah
satu media on-line, seperti dikutip berikut ini:

"Kasus Simulator SIM telah membuka mata sebagian dari kits tentang kasus
penghindaran pajak atas properti yang terjadi di masyarakat. Dalam persidangan
(18/06/2013) terungkap fakta mengejutkan, dimana ada penjualan rumah mewah
oleh developer kepada terdakwa, seharga Rp 7,1 miliar di Semarang namun di
akta notaris hanya tertulis Rp 940 juta atau ada selisih harga Rp 6,1 miliar.
Terdakwa simulator SIM juga membeli rumah di Depok seharga Rp 2,65 miliar
namun di akta jual beli hanya tertulis Rp 784 juta atau ada selisih Rp 1,9 miliar.
Pangkal dari timbulnya selisih tersebut, dapat saja disebabkan oleh
ketidaktahuan para pihak yang terlibat dalam transaksi tersebut. Balk penjual,
pembeli maupun notaris seringkali tidak mengetahui jumlah yang mana yang
harus dijadikan dasar perhitungan pajak-pajak terkait properti tersebut. Namun
apabila hal tersebut dilakukan dengan sengaja, maka tindakan tersebut dapat
dikategorikan sebagai tax evasion, yang merupakan tindakan melawan hokum..."
(Advertorial Detiknews, 2013).

Pembuktian perbedaan antara transaksi sebenarnya dan nilai yang tercantum di


akta jual beli sangat mudah, siapa pun yang melakukannya, baik Wajib Pajak orang
pribadi maupun badan. Untuk orang pribadi, pembuktian biasa dilakukan pada sa
verifikasi/pemeriksaan pajak karena pihak penjual akan dimintai keterangan dan buki
pendukung yang terkait dengan rekening koran dan analisis penambahan harta. Untk
badan, pembuktiannya juga terlihat dari mutasi rekening koran. Ketiga bukti dan
dokumen tersebut selanjutnya ditandingkan dengan akta jual beli yang soda
dinotariskan.

8. PPh Final atas Transaksi Penyewaan Tanah dan/atau Bangunan

Untuk men ingkatkan kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban PPh
atas transaksi penyewaan tanah/bangunan dan dan sesuai dengan Pasal 4 avat (2 1994,
pemerintah menerbitkan PP No. 2911996. Ketentuan ini selanjutnya di dengan PP No.
5/2002. Perubahan tersebut bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dan
perlakuan yang sama kepada penerima penghasilan dan persewaan tanah dan atau
bangunan, baik badan maupun orang pribadi. Perubahan tersebut terkait dengan
mekanisme pembayaran pajak dan tarif Ketentuan teknis kedua PP tersebut terdiri
dari KepMenkeu No. 394/KMK.0411996, juncto KepMenkeu No. 120/KMH.0312002
tanggal 1 April 2002 yang berlaku efektif sejak 1 Mei 2002.

8.1 Objek PPh


Sejak tahun 1996 objek PPh atas transaksi penyewaan tanah/bangunan tidak
berubah, yaitu penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dart
persewaan tanah dan/atau bangunan berupa:
1. Tanah,
2. rumah,
3. rumah susun,
4. apartemen,
5. kondominium,
6. gedung perkantoran,
7. rumah kantor,
8. toko.
9. rumah toko.
10. gudang, dan
11. bangunan industri.

8.2 Tarif PPh dan Dasar Pengenaan Pajak


Pemotongan PPh-nya bersifat final. Dasar pengenaan pajak merupakan jumlah
bruto nilai persewaan, yaitu semua jumlah yang dibayarkan atau terutang oleh
penyewa dengan nama dan dalam bentuk apa pun j uga yang berkaitan dengan tanah
dan/atau bangunan yang disewa termasuk:
biaya perawatan.
biaya pemeliharaan
biaya keamanan,
biaya fasilitas lainnya dan
"service charge"
balk yang perjanjiannya dibuat secara terpisah maupun yang disatukan.

8.3 Mekanisme Pembayaran Pajak


Di bawah ini diuraikan mekanisme pembayaran pajak sesuai dengan Kep
Menkeu No. 394/KMK.04/1996, d.d. KepMenkeu No. 120/KMK.0312002.
Berdasarkan uraian tersebut, permasalahan yang muncul di dalam praktik adalah
ketika penyewa sudah ditunjuk sebagai pemotong pajak oleh ketentuan, tapi penyewa
tersebut tidak melaksanakan kewajibannya. Pertanyaan yang muncul adalah apakah
pihak yang menyewakan wajib menyetorkan pajaknya, padahal di dalam KepMenkeu
di atas. hal ini tidak diatur.

8.3.1 Penyewa sebagai pemotong pajak


1. PPh yang terutang wajib dipotong oleh penyewa dalam hal penyewa adalah:
a. badan pemerintah,
b. Subjek Pajak badan dalam negeri,
e. penyelenggara kegiatan,
d. bentuk usaha tetap.
e. kerjasama operasi,
f perwakilan perusahaan luar negeri lainnya, dan
g. orang pribadi yang ditetapkan oleh ❑irektur Jenderal Pajak.
2. Penyewa berkewajiban untuk:
a. memotong PPh pada saat pembayaran atau terutangnya sewa;
b. memberikan Bukti Pemotongan PPh Final kepada orang atau badan yang
menyewakan pada saat dilakukannya pemotongan PPh;
c. menyetorkan PPh yang telah dipotong dengan menggunakan Surat Setoran
Pajak (SSP) pada bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro, selambat-
lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya setelah bulan pembayaran atau
terutangnya sewa;

d. melaporkan PPh yang telah dipotong dan disetor kepada Kepala KPP tempat
penyewa terdaftar sebagai Wajib Pajak, selambat-Iambatnya tanggal 20 bulan
berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya sewa,

8.3.2 Penyewa bukan sebagai pemotong pajak


1, PPh yang terutang wajib dibayar sendiri oleh pihak yang menyewakan dalam
penyewa adalah orang pribadi atau bukan Subjek Pajak Penghasilan.
2. Pihak yang menyewakan wajib membayar PPh dengan menggunakan Surat

Setoran Pajak (SSP) Final pada bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro,
selambat-lambatnya tanggal 15 bulan berikutnya setelah bulan diterima atau
diperolehnya sewa.
9. PPh Final atas Jasa Konstruksi

9.1 Dinamika Permasalahan PPh atas Jasa Konstruksi

Pengaturan PPh atas jasa konstruksi mengalami dinamika dalam hal sifat
pemotongannya antara final dan tidak final. Ketentuan PPh atas jasa konstruksi
pertama kali muncul secara eksplisit pada tahun 1996 (Peraturan Pemerintah No.
73/1996). Ketentuan tersebut berlaku mulai tanggal 1 Januari 1997. Ketentuan
tersebut di antaranya mengatur bahwa atas penghasilan Wajib Pajak yang bergerak di
bidang usaha jasa pelaksanaan konstruksi dan Wajib Pajak badan yang bergerak di
bidang usaha jast perencanaan konstruksi, jasa pengawasan konstruksi dan/atau jasa
konsultan, kecuali konsultan hukum dan konsultan pajak, dikenakan Pajak
Penghasilan yang bersifat final (Pasal 1 PP No. 73/1996).
Ketika krisis ekonomi menerpa Indonesia, pengusaha jasa konstruksi berteriak
karena harus menanggung beban ganda. Di satu sisi, industri kontraktor mengalami
keterpurukan, sedangkan di sisi lain mereka harus menanggung PPh final yang
dihitung dari penghasilan bruto. Akibatnya, mereka meminta kepada pemerintah
untuk mengubah sifat pemotongan PPh-nya menjadi tidak final,
Gayung pun bersambut dan pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah baru
(Peraturan Pemerintah No. 140/2000) yang berlaku mulai 1 Januari 2001. Di dalam
Pasal 1 PP No. 140/2000 di antaranya diatur sbb:
1. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan
bentuk usaha tetap dari usaha di bidang jasa konstruksi, dikenakan PPh
berdasarkan ketentuan umum UU PPh.
2. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memenuhi
kualifikasi sebagai usaha kecil berdasarkan sertifikat yang dikeluarkan oleh
Lembaga yang berwenang (yaitu LPJK atau Lembaga Pengembangan Jasa
Konstruksi), serta yang mempunyai nilai pengadaan sampai dengan Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), dikenakan PPh yang bersifat final.

Setelah pemberlakuan UU PPh 2000 mulai tahun 2001, termasuk di dalamnya


PP No. 140/2000, permasalahan PPh jasa konstruksi dalam format yang berbeda
kembali muncul. Pada saat pemeriksaan pajak, banyak dijumpai bahwa biaya proyek
tidak didukung dengan bukti memadai. Sebagai akibatnya, pemeriksaan pajak tersebut
menghasilkan utang pajak tambahan, padahal di dalam laporan keuangan kontraktor
utang pajak tersebut tidak ada. Sebagai ilustrasi sederhana, ketika kontraktor
melaporkan penghasilan netonya sebesar 3%, pemeriksa melakukan koreksi fiskal
sehingga penghasilan netonya menjadi 15%. Hal ini sangat memberatkan kontraktor
dan kontraktor pun meminta agar sifat pengenaan PPh atas imbalan jasa konstruksi
kembali ke final.
Gayung pun kembali bersambut. Pemerintah kembali melakukan reformasi
perpajakan, khususnya UU PPh, dengan mengesahkan (bersama DPR) UU No.
36/2008. Peraturan ini berlaku mulai 1 Januari 2009. Berdasarkan ketentuan baru ini,
pengaturan PPh atas jasa konstruksi ada di dua pasal berbeda. Menurut Pasal 23 UU
PPh 2008, imbalan jasa konstruksi merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23 (non-
fi nal). Akan tetapi, menurut Pasal 4 ayat (2) UU PPh, penghasilan dari usaha jasa
konstruksi dapat dikenakan PPh Final. Sebagai turunan pengenaan PPh final sesuai
Pasal 4 ayat (2) UU PPh tersebut, diterbitkan PP No. 51/2008, sebagaimana telah
diubah dengan PP No. 40/2009. Berikut ini kutiap pengaturan tarif PPh final sesuai PP
No. 51/2008:

"Tarif Pajak Penghasilan untuk usaha Jasa Konstruksi adalah sebagai berikut:
a. 2% (dua persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh
Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha kecil;
b. 4% (empat persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh
Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha-,
c. 3% (tiga persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh
Penyedia Jasa selain Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan
huruf b;
d. 4% (empat persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan
Konstruksi Yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi
usaha-, dan
e. 6% (enam persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan
Konstruksi Yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki
kualifikasi usaha"

Kedua peraturan pemerintah tentang PPh final atas jasa konstruksi di atas
dijaharkan lagi secara teknis dengan PerMenkeu No. 187/PMK.03/2008, sebagaimana
telah diubuh dengan PerMenkeu No. 153/PMK.03/2009. Permenkeu tersebut
mengatur tatacan pemotongan, penyetoran, pelaporan, dan penatausahaan PPh atas
penghasilan dari usaha

Pasal 23 UU PPh yang di antaranya mengatur pemotongan PPh sebesar 2% atas


jasa konstruksi dan tidak bersitht final tidak diatur lagi dengan peraturan yang lebih
teknis. Pengaturan teknis PPh Pasal 23 yang ada terkait dengan cakupan imbalan jasa
lain. Hal ini diatur di dalam PerMenkeu No. 244/PMK.03/2008 yang menyatakan
bahwa jasa lainnya mencakup jasa instalasi dan perawatanlpemeliharaan yang masih
terkait dengan jasa konstruksi, tapi pemberi jasanya tidak memiliki SIUJK (Surat Izin
Usaha Jasa Konstruksi).

Di dalam Pasal 21 UU PPh 2008, imbalan jasa tenaga ahli juga menjadi objek
pemotongan pajak. Ketentuan ini dijabarkan lagi dengan PerMenkeu No.
252/PMK.03/2008 serta PerDirjen Pajak No. Per-311PJ/2012. Per Dirjen Pajak
tersebut merupakan pengganti dari PerDirjen Pajak No. 31/1W2009 juncto PerDirien
Pa Per-57/PJ/2009. Semua PerDirjen Pajak tersebut mengatur bahwa tenaga ahli
mental di antaranya adalah arsitek. Dengan demikian, imbalan kepada arsitek sebagai
tenaga ahl merupakan objek pemotongan PPh Pasal 21.

Jadi, berdasarkan rujukan beberapa peraturan di atas, jasa konstruksi dapat


dikenakan PPh final berdasarkan Pasal 4 ayat (2) dan PP No. 51/2008 jo. PP No.
40/2009 Pada saat yang sama, jasa konstruksi dapat dikenakan pajak sebesar 2%
sesuai Pasal 23 UU PPh terkait dengan imbalan jasa konstruksi atau pun sesuai Per
Menkeu No 244/PMK.03/2008 terkait dengan imbalan jasa lainnya. Kondisi ini
berlangsung sejak 1 Januari 2009 s_d_ 29 Desember 2010.
Pada ak.hintya, penegasan pemerintah terkait dengan kesimpangsiuran
pemotongan PPh alas jasa konstruksi di atas kembali dikeluarkan melalui PP No.
9412010. Ketentuan ini berlaku sejak 30 Desember 2010. Di dalam Pasal 19 PP No.
94/2010, beserta penjelasannya, dinyatakan sbb.:

"Dalam hal penghasilan tidak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final
dengan Peraturan Pemerintah tersendiri, atas penghasilan tersebut dikenai Pajak
Penghas berdasarkan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 Undang-
Undang Pajak Penghasilan" (Pasal 19 PP No. 94/2010).

"Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak misalnya yang
bergerak di bidang usaha jasa konstruksi dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat
final dengan Peraturan Pemerintah tersendiri. Dalam hal tidak diatur dengan
Peraturan Pemerintah tersendiri yang menyatakan bahwa atas penghasilan
tersebut dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final, penghasilan tersebut
dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
17 Undang-Undang Pajak Penghasilan" (penjelasan Pasal 19 PP No. 94/2010).

Ketentuan Pasal 19 PP No. 94/2010 mengandung arti bahwa karena perpajakan


jasa konstruksi telah diatur dengan peraturan pemerintah sendiri, otomatis perlakuan
pajaknya mengacu pada peraturan tersebut. Berdasarkan uraian di atas pengenaan
pajak atas imbalan jasa konstruksi bersifat final sesuai PP No. 51/2008 jo. PP No.
40/2009 dan ketentuan jasa konstruksi pada Pasal 23 UU PPh dan PerMenkeu No.
2441PMK.03/2008 sepertinya menjadi ompong karena tidak memiliki kekuatan
hukum mengikat lagi. Demikian pula, objek PPh atas tenaga ahli arsitek menj adi tidak
efektif lagi karena jasa arsitek merupakan Bagian dari jasa konstruksi dan sudah
menjadi objek PPh Pasal 4 avat (2).

Permasalahan di dalam praktik bisa jadi tidak langsung dapat terselesaikan


karena PerMenkeu No. 244/PMK.03/2008 belum mengalami perubahan. Terlebih lagi,
PerDirjen Pajak No. Per-3 iNunoi 2 terbit setelah PP No. 94/2010. Selain itu,
permasalahan hukum yang mungkin Inuncul adalah apakah ketentuan sebuah
peraturan pemerintah dapat menganulir aturan yang lebih tinggi, padahal UU No.
12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, khususnya Pasal 7, di
antaranya menyebutkan bahwa hirarki peraturan pemerintah itu di bawah undang-
undang dan kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesu dengan hierarkinya.

Dad sudut pandang lain, sepertinya pengaturan PPh jasa konstruksi di dalam
sebuah peraturan pemerintah mengacu pada Bab IX Ketentuan Penutup Pasal 35 UU
PPh 1984 yang tidak mengalami perubahan sampai saat ini, yaitu "Hal-hal yang belum
cukup diatur dalam Undang-uridang ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah".

9.2 Objek PPh Jasa Konstruksi


Objek pajak jasa konstruksi adalah penghasilan dari usaha Jasa Konstruksi.
Pengertian yang terkait dengan istilah jasa konstruksi, pekerjaan konstruksi,
perencanaan konstruksi, pelaksunaan konstruksi, dan pengawasan konstruksi perlu
dicermati Wajib Pajak. Masalahnya, sexing ditemukan perbedaan interpretasi di dalam
praktik. Pemahaman aspek pajak harus dikaitkan dengan aturan yang merujuk pada
UU Jasa Konstruksi.

9.3 Tarif PPh Jasa Konstruksi


Mengacu pada Pasal 1 ayat 8 PP No. 51/2008, dinyatakan bahwa Penyedia Jasa
adalah orang pribad i atau badan termasuk bentuk usaha tetap, yang kegiatan usahanya
menyediakan layanan jasa konstruksi baik sebagai perencana konstruksi, pelaksana
konstruksi dan pengawas konstruksi maupun sub-subnya. Tait PPh jasa konstruksi
berbeda-beda karena tergantung pada bidang usaha jasa konstruksi dan jugs
ketersediaan sertifikat kualifikasi usaha dan LPJK.
Sebagaimana diuraikan sebelumnya, BUT ya bergerak di bidang usaha jasa
konstruksi atau kantor perwakilan BUJKA masih memiliki kendala. Di satu sisi, dia
dikelompokkan sebagai kualifikasi besar. Di sisi lain, Peraturan LPJK yang mengatur
registrasi belum mencakup sertifikasi kualifikasi untuk kantor perwakilan BUJKA di
Indonesia.
9.4 Pemotongan dan Penyetoran PPh Jasa Kontruksi
Mekanisme pembayaran PPh Jasa Konstruksi terdiri dari dua, yaitu:
1. dipotong oleh Pengguna Jasa pada saat pembayaran, dalam hal Pengguna Jasa
merupakan pemotong pajak; atau
2. disetor sendiri oleh Penyedia Jasa, dalam hal pengguna jasa bukan merupakan
pemotong pajak. atau disetor sendiri adalah:

Besamya PPh Jasa Konstruksi yang dipotong atau disetor sendiri adalah:
1. jumlah pembayaran, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai, dikalikan
Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1): atau
2. jumlah penerimaan pembayaran, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai,
dikalikan tarif Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (I)
dalam hal Pajak Penghasilan disetor sendiri oleh Penyedia Jasa.
3. Jumlah pembayaran atau jumlah penerimaan pembayaran di atas merupakan

bagian dari Nilai Kontrak Jasa Konstruksi, yaitu nilai yang tercantum dalam sate
kontrak jasa keseluruhan konstruksi secara keseluruhan

9.5 Menimbang Untung dan Rugi Pengenaan PPh Final atas Jasa Konstruksi

Untuk menggambarkan untung dan rugi pengenaan PPh Final atas jasa
konstruksi, dimisalkan PT A merupakan kontraktor dengan kualifikasi besar sehingga
sesuai dengan PP No. 51/2008 dikenakan tarif 3% dari nilai pendapatan yang diterima.
Jika dibandingkan dengan tarif PPh Badan (28%) sesuai dengan UU PPh 2008,
perbandingan bisa dihitung dengan persamaan sebagai berikut:

Tarif Pasal 17 Tarif PPh Final


= 28% x Ph neto 3% x Ph bruto
= 28% x (Y x Ph bruto) 3% x Ph bruto
= Y x (0,28 x Ph Bruto) (0,03 x Ph bruto) / (0,28 x Ph Bruto)
=Y = 0,03 / 0,28
=y 10,71%

= Ph neto 10.71% dan Ph Bruto


Berdasarkan persamaan sederhana di atas, dapat disimpulkan bahwa.
1. jika penghasilan neto PT A sama dengan 10,71% dan total pendapatan jasa
konstruksi, pajak yang dikenakan, balk final atau pun tidak final tidak berbeda; 2.
jika penghasilan netonya lebih kecil dari 10,71% dan pendapatan bruto, PT A
lebih diuntungkan jika tarif PPh Badannya tidak final karena secara persentase.
tariff pajaknya akan lebih kecil dibanding 3%;
3. jika penghasilan neto PT A lebih besar dari 10,71% dan penghasilan bruto, PT A
lebih diuntungkan jika tarif pajaknya

Dengan model persamaan yang sama, perbandingan pengenaan pajak final dan
bukan final bagi pengusaha jasa konstruksi dengan kualifikasi usaha kecil serta yang
tidak memiliki kualifikasi.

10. PPh Final 1% untuk Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

Untuk memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak yang memiliki peredaran


bruto tertentu, Pemerintah memandang perlu untuk memberikan perlakuan
tersendiri ketentuan mengenai penghitungan, penyetoran, dan pelaporan PPh yang
terutang. PPh yang tersebut tersebut bersifat final dan ditetapkan berdasarkan
pertimbangan sbb:
1, perlunya kesederhanaan dalam pemungutan pajak,
2. berkurangnya beban administrasi balk bagi Wajib Pajak maupun Ditjen Pajak,
3, memperhatikan perkembangan ekonomi dan moneter.

10.1 Dasar Hukum PPh Final 1%

Ketiga pertimbangan pemerintah di atas menjadi dasar penerbitan PP No.

46/2013. Ketentuan ini berlaku untuk Wajib Pajak Badan dan Orang Pribadi.

10.2 &tat Pemberlakuan PPh Final 1% dan Konsekuensinya


Ketentuan pada label 7.13 berlaku sejak 1 Jai 2013 dan mengakibatkan Wajib
Pajak pada tahun takwim 2013 harus membuat pembukuan yang berbeda untuk tahun
buku yang tidak dimulai sejak 1 Juli dalam hal perhitungan PPh-nya menggunakan
mekanisme normal. Hal ini berbeda dengan tahun pajak yang periodenya 1 Juli - 30
Juni. Untuk tahun pajak 2013 yang dimulai 1 Juli 2013 dan berakhir 30 Juni 2014,
Wajib Pajak dapat langsung menerapkan tarif PPh final 1% pada awal tahun pajak
2013 dalam hai kriteria yang dijelaskan di bawah ini terpenuhi.

Wajib Pajak yang tahun pajak 2013-nya mencakup periode 1 Januari-31


Desember 2013 harus menyelenggarakan pembukuan periode I Januari 2013-30 Juni
2013 dengan mekanisme perhitungan PPh normal. Artinya, perhitungan pajaknya
sesuai dengan Pasal 17 UU PPh dan penjelasan tentang hal ini telah diuraikan
sebelumnya. Contoh lainnya adalah Wajib Pajak yang memiliki periode tahun
pajaknya 1 April 30 Maret. Di tahun pajak 2013, untuk periode 1 April-30 Juni 2013,
Wajib Pajak tersebut menyelenggarakan pembukuan yang perhitungan PPh-nya
menggunakan tarif Pasal 17 UU PPh. Akan tetapi mulai 1 Juli 2013, tarif PPh Pasal
17 berubah menjadi tarif PPh final 1%.

10.3 Kriteria Subjek PPh Final 1%


Pasal 2 PP No. 46/2013 mengatur bahwa PPh final dikenakan alas penghasilan
dan usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dan badan yang
memiliki peredaran bruto tertentu. Berikut adalah uraian ringkasnya.

10.3.1 Kriteria Subjek PPh Final 1% untuk Orang Pribadi


Untuk Wajib Pajak orang pribadi, kriteria subjek PPh final 1% adalah:
1. Menerima penghasilan dan usaha dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp
4.800.000.000,00 dalam 1 (satu) Tahun Pajak.
2. Penghasiian dari usaha„ sebagaimana dimaksud pada butir 1, tidak temasuk
penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas yang mencakup
a. tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara
akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
b. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang
sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan
peragawati, pemain drama, dan penari,
c. olahragawan;
d. penasihat, pengajar, pelatih. penceramah, penyuluh, dan moderator;
e. pengarang, peneliti, dan penerjema.
f. agen iklan:

g. pengawas atau pengelola proyek;


h. perantara:
i. petugas penjaja barang dagangan;
j. agen asuransi; dan
k. distributor perusahaan pemasaran berjenjang (multilevel marketing) atau
penjualan langsung (direct selling) dan kegiatan sejenis lainnya.

Tidak termasuk Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha
perdagangan dan/atau jasa yang dalam usahanya:
a. menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik yang
menetap maupun tidak menetap (termasuk yang menggunakan gerobak); dan
b. menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang
tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan (misalnya misalnya
pedagang makanan keliling, pedagang asongan, warung tenda di trotoar, dan
sejenisnya).

10.3.2 Kriteria Subjek PPh Final 1% untuk Badan


Untuk Wajib Pajak badan, kriteria subjek PPh final 1% adalah:
1. Wajib Pajak hadan tersebut tidak termasuk bentuk usaha tetap;
2. Menerima penghasilan dart usaha dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp
4.800.000.000,00 dalam 1 (satu) Tahun l'ajak.
3. Tidak termasuk Wajib Pajak badan herikut ini:
a. Wajib Pajak badan yang belum beroperasi secara komersial; atau
b. Wajib Pajak hadan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah beroperasi
Secara komersial memperoleh peredaran bruto melebihi Rp 4.800.000.000,00
Ketentuan di atas tidak berlaku atas penghasilan dart usaha yang dikenai PPh final
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan (lihat
Pasal D No. 46/2013). Atas penghasilan selain dari usaha sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2, dikenai pajak berdasarkan Pasal 17 UU PPh (Pasal 6 PP No. 46/2013).
Di dalam Pasal 5 PP No. 46/2013. dijelaskan bahwa ketentuan Pasal 2 tersebut di
atas tidak berlaku atas penghasilan dari usaha yang dikenai PPh final berdasarkan
ketentuan Peraturan Perundang-undangan di bidang perpajakan. Atas penghasilan
selain dari usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, dikenai pajak berdasarkan
Pasal 17 UU PPh (Pasal 6 PP No. 46/2013).

10.4 Tarif PPh Final 1%


Pasal 3 PP No, 46/2013 menetapkan tarif PPh final 1% atas penghasilan dari
uaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu
di atas Tarif 1% tersebut didasarkan pada peredaran bruto dari usaha dalam 1 (sate)
tahun dari Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak yang bersangkutan. Dalam
hal peredaran bruto kumulatif Wajib Pajak pada suatu bulan telah melebihi jumlah
Rp
4.800.000.000.00 dalam suatu Tahun Pajak, Wajib Pajak tetap dikenai tarif PPh final
1% sampai dengan akhir Tahun Pajak yang bersangkutan. Selanjutnya, atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak pada Tahun Pajak berikutnya
dikenai tarif PPh berdasarkan berdasarkan Pasal 17 UU PPh.
Sebagai ilustrasi, dimisalkan Wajib Pajak orang pribadi Andik memiliki usaha
penjualan gerabah, yang berdasarkan pembukuan atau catatan pada Tahun Pajak 2013
(Januari 2013 sampai dengan Desember 2013), memiliki peredaran bruto sebesar Rp
4.000.000.000,00. Dengan demikian, atas penghasilan dari usaha yang diterima oleh
Andik pada tahun 2014 dikenai PPh final sebesar 1% karena peredaran bruto Andik
pada Tahun Pajak 2013 tidak melebihi Rp 4.800.000.000.00.
Jika Andik pada bulan Januari sampai dengan Oktober 2014 memperoleh
peredaran bruto sebesar Rp 5.000.000.000,00, atas penghasilan dari usaha yang
diterima oleh Andik sampai dengan bulan Desember 2014 (akhir Tahun Pajak 2014)
tetap dikenai tarif Pph final 1%. Jika Andik pada bulan Januari sampai dengan
Desember 2014 memperoleh peredaran bruto sebesar Rp 6.000.000.000,00,

penghasilan yang diperoleh Andik pada tahun 2015 (tahun berikutnya) dikenai PPh
sesuai ketentuan UU PPh.
10.5 Dasar Pengenaan PPh Final 1%

Di dalam Pasal 4 PP No. 46/2013, dijelaskan bahwa dasar pengenaan PPh


finalnya adalah jumlah peredaran bruto setiap bulan. PPh terutang dihitung
berdasarkan tarif 1% dikalikan dengan dasar pengenaan pajak setiap bulan. Peredaran
bruto tersebut merupakan peredaran bruto dari usaha, termasuk dari usaha cabang,
selain peredaran bruto dari usaha yang atas penghasilannya telah dikenai PPh yang
bersifat final berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan di bidang
perpajakan.

Misalnya, Rajesh merupakan pedagang tekstil yang memiliki tempat kegiatan


usaha di beberapa pasar di wilayah yang berbeda. Berdasarkan pencatatan yang
dilakukan diketahui rincian peredaran usaha di tahun 2013 adalah sebagai berikut:
a. Pasar A sebesar Rp 80.000.000,00;
b. Pasar B sebesar Rp 250.000.000,00;
c. Pasar C sebesar Rp 400.000,000,00.
Dengan demikian, peredaran bruto usaha perdagangan tekstil Rajesh sebagai dasar
pengenaan PPh yang bersifat final adalah sebesar Rp 730.000.000,00 (Rp
80.000.000,00 + Rp 250.000.000,00 + Rp 400.000.000,00
Pasal 10 PP No 46/2013 menegaskan bahwa hal khusus terkait peredaran bruto
sebagai dasar untuk dapat dikenai PPh final diatur sebagai berikut:
1 didasarkan pada jumlah peredaran bruto Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun
Pajak berlakunya Peraturan Pemerintah ini yang disetahunkan, dalam hal Tahun
Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak berlakunya Peraturan Pemerintah ini
meliputi kurang dari jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
2. didasarkan pada jumlah peredaran bruto dari bulan saat Wajib Pajak terdaftar
sampai bulan sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini yang disetahunkan,
dalam hal Wajib Pajak terdaftar pada Tahun Pajak yang sama dengan Tahun
Pajak saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini di bulan sebelum Peraturan
Permerintah ini berlalcu;
3. didasarkan pada jumlah peredaran bruto pada bulan pertama diperolehnya
penghasilan dari usaha yang disetahunkan, dalam hal Wajib Pajak yang bare
terdaftar sebagai Wajib Pajak sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini.
Di dalam Pasal 10 PP No. 46/2013.. diberikan contoh penentuan peredaran bruto
sebagai dasar pengenaan PPh final 1% dalam hal:
a. Tahun Pajak sebelumnya kurang dari 12 (dua belas) bulan:
b. Wajib Pajak aru terdaftar pada Tahun Pajak yang sama dengan tahun berlakunya
PP No 46/2013 pada bulan sebelum bulan berlakunya Peraturan Pemerintah
c. Wajib Pajak baru terdaftar setelah berlakunya Peraturan Pemerintah ini, untuk
Tahun Pajak pertama

10.6 Kredit Pajak Luar Negeri


Pasal 7 PP No. 46/2013 menjelaskan bahwa pajak yang dibayar atau terutang di
luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
dapat dikreditkan terhadap PPh yang terutang berdasarkan ketentuan UL.1 PPh dan
peraturan pelaksanaannya.

10.7 Kompensasi Rugi

Pasal 8 PP No. 46/2013 menjelaskan bahwa Wajib Pajak yang dikenai PPh
bersifat final berdasarkan PP No. 46/2013 dan menyelenggarakan pembukuan dapat
melakukan kompensasi kerugian dengan penghasilan yang tidak dikenai PPh yang
bersifat final Untuk dapat memenuhi Pasal 8 tersebut, ketentuannya adalah sebagai
berikut:
a. kompensasi kerugian dilakukan mulai Tahun Pajak berikutnya berturut-turut
sampai dengan 5 (lima) Tahun Pajak;
b. Tahun Pajak dikenakannya PPh final berdasarkan PP No. 46/2013 tetap
diperhitungkan sebagai bagian dari jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
huruf a di atas,
c kerugian pada suatu Tahun Pajak dikenakannya PPh final berdasarkan PP No.
46/2013 tidak dapat dikompensasikan pada Tahun Pa* berikutnya.
Sebagai ilustrasi perlakuan kompensasi kerugian, dimisallcan Rajesh dalam

contoh di atas mengalami kerugian pada Tahun Pajak 2010. Kerugian tersebut dapil
dikompensasikan dengan penghasilan pada Tahun Pajak 2011 sampai dengan Tahu
Pajak 2015. Jika Rajesh pada Tahun Pajak 2014 dikenai PPh yang bersifat final
berdasarkan PP No. 4612013, jangka waktu kompensasi kerugian tetap dihitung
sampai dengan Tahun Pajak 2015. Jika Rajesh pada Tahun Pajak 2014 mengalami
kerugian berdasarkan pembukuan, atas kerugian tersebut tidak dapat dikompensasikan
dengan Tahun Pajak berikutnya.

10.8 Pembayaran Pajak

10.8.1 Pembayaran Angsuran PPh


Pasal 9 PerMenkeu No. 107/PMK.011/2013 mengatur bahwa Wajib Pajak yang
hanya menerima atau memperoleh penghasilan yang dikenai PPh Final 1% tidak
diwajibkan melakukan pembayaran angsuran PPh Pasal 25. Akan tetapi, dalam hal
selain menerima atau memperoleh penghasilan yang dikenai PPh Final 1%, Wajib
Pajak juga menerima atau memperoleh penghasilan yang dikenai PPh berdasarkan
tarif urnurn UU PPh, atas penghasilan yang dikenai PPh berdasarkan tarif umum
tersebut wajib dibayar angsuran PPh Pasal 25.
Jika Wajib Pajak orang pribadi tidak dapat lagi menggunakan penghitungan PPh
sesuai PP No. 46/2013, Pasal 9 PP No. 46/2013 tersebut di antaranya mengatur bahwa
untuk tahun pertama saat penerapan tarif umum PPh dimulai, angsuran PPh dihitung
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. bagi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu, besamya angsuran PPh Pasal
25 ditetapkan oleh PerMenkeu (yaitu PerMenkeu No. 208/PMK.03t2009)
dengan tarif paling tinggi sebesar 0,75% dari peredaran bruto.
b. bagi Wajib Pajak selain huruf a di atas, penghitungan nilai angsuran PPh Pasal
25 diberlakukan seperti Wajib Pajak baru dengan dasar berupa jumlah

penghasilan neto yang disetahunkan dikurangi terlebih dahulu dengan PTK.P.


Angsuran PPh Pasal 25 dan pajak yang telah dipotong dan/atau dipungut pihak lain
boleh dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang untuk Tabun Pajak yang
bersangkutan, kecuali untuk penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final.
10.8.2 Pembayaran dan Pelaporan PPh Final 1%
Pasal 10 PerMenkeu No. 107/PMK.011/2013 mengatur bahwa Wajib Pajak
wajib menyetor PPh final 1% ke kantor pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri
Keuangan, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain
yang dipersamakan dengan Surat Setoran Pajak. Penyetoran tersebut harus mendapat
validasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN) dan dilakukan paling
lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
Wajib Pajak yang melakukan pembayaran PPh final 1% di atas berkewajiban
untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh paling lama 20 (dua
puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir. Dengan penyetoran PPh final 1% di atas.
Wajib Pajak dianggap telah menyampaikan SPT Masa PPh sesuai dengan tanggal
validasi NTPN yang tercantum pada Surat Setoran Pajak. Sementara itu, untuk SPT
Tahunan PPh, Wajib tersebut tetap berkewajiban menyampaikan SPT Tahunan PPh
sesuai dengan ketentuan umum, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU KUP dan
peraturan pelaksanaannya beserta perubahannya (Pasal 13 PerMenkeu No.
107/PMK.011/2013).
11. Formulir SPT PPh Pasal 4 Ayat (2)

SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) terbaru diatur di dalam PerDirjen Pajak No. Per-
53/PJ/2009, Selain SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2), ketentuan tersebut juga mengatur
SPT PPh Pasal 15, SPT PPh Pasal 22, SPT PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26. Masing-
masing serta bukti pemotongan/ pemungutannya. Perubahan SPT tersebut dikarenakan
SPT yang ada dan mengacu pada KepDirjen Pajak No. Kep-108/PJ.1/1996 s.t.d.t.d.
PerDirjen Pajak No. 42/PJ/2008 tidak dapat menampung ketentuan terbaru dan
informasi yang diperlukan.
Pasal 1 PerDirjen Pajak No. Per-53/PJ/2009 mengatur bahwa bentuk formulir
SPT PPh Pasal 4 ayat 2 dan Bukti Pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) serta petunjuk
pengisiannya merujuk pada Lampiran I PerDirjen Pajak No. Per-53/PJ/2009. Ada
sebagian contoh bukti potong yang tidak disertakan di dalam tulisan ini karena jarang
dipakai di dalam praktik. Khusus untuk SPT PPh final 1% sebagaimana diatur di
dalam PP No. 46/2013, pelaporan PPh-nya menggunakan mekanisme SPT PPh Orang
Pribadi atau SPT PPh Badan.

Anda mungkin juga menyukai