❑bjek pajak dan tarif pajak yang diatur berdasarkan konsiderans Pasal 4 ayat (2)
UU PPh. Di dalam UU PPh, juga terdapat ketentuan di War pasal tersebut yang
pengenaan pajaknya juga bersifat final. Pembahasan tentang hal ini dikupas pada
mencakup surat utang berjangka waktu lebih dari 12 (dua subbab lainnya. tapi
ringkasan objek pajak final selain yang diatur di dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh
tersebut adalah:
1. PPh Pasal 21 final atas (1) Pesangon, (2) Tunjangan Hari Tua dan tebusan
pensiun yang dibayar sekaligus, serta (3) honorarium atas beban APBN/ APBa
dan
2. PPh Pasal 15 final atas persewaan kapal taut.
Jika dibaca secara komprehensif objek pajak imbalan bunga di dalam UU PPh,
pengenaan pajaknya bervariasi. Tabel 1 merangkum semua objek pajak imbalan
bunga dan sifat pengenaan pajaknya.
Tabel 1 Perbandingan Objek PPh Intbalan Bunga
Sifat pengenaan
Jenis imbalan bunga Referensi
pajak
1. Bunga deposito dan tabungan dan tabungan lainnya. PPh final Pasal 4 ayat
bunga obligasi dan surat utang negara. dan bunga (2) UU PPh
simpanan yang dibayarkan oleh koperasi anggota lihat Tabel
koperasi orang pribadi 7.1)
2. Bunga yang dibayar atau terutang kepada bank Tak ada pemotongan PPh 23 ayat
PPh, taps hanya menjadi (4) UU PPh
3. Bunga terkait dengan sews yang dibayarkan atau
terutang sehubungan dengan sewa guna usaha denon objek PPh Badan
hak opsi
4. Bunga yang dibayarkan, atau telah jatuh tempo Dipotong PPh Pasal 26 PPh 26 ayat
pembayarannya, kepada Wajib Pajak luar negeri (4) UU PPh
Sifat pengenaan
Jenis imbalan hadiah Referensi
pajak
1 Hadiah undian Dipotong PPh final Pasal 4 ayat
(2) UU PPh
lihat Tabel
7.1)
2. Hadiah langsung, yaitu hadiah dalam penjualan barang Bukan objek PPh KepDirjen
atau jasa sepanjang yang diberikan kepada semua Pajak No.
pembeli atau konsumen akhir tanpa diundi dan hadiah Kep-
tersebut diterima langsung oleh konswnen akhir pada 395/P1/200 I
saat pembelian barang atau jasa
3. Hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam Dipotong PPh Pasal 21 PerDirjen
bentuk apapun yang dibayar atau terutang kepada Pajak No.
Wajib Pajak orang pribadi dalarn negeri Per-
31/PJ/2012
4. Hadiah atau penghargaan yang dibayarkan, atau telah Dipotong PPh Pasal 23 PPh 23 ayat
jatuh tempo pembayarannya. kepada Wajib Pajak (4) UU PPh
Badan dalam negeri
5. Hadiah atau penghargaan yang dibayarkan. atau telah Dipotong PPh Pasal 26 PPh 26 ayat
jatuh tempo pembayarannya, kepada Wajib Pajak luar (4) UU PPh
negeri
Bangunan
beberapa kali. Hal ini terlihat pada Tabel 3 Sejak reformasi perpajakan pada tahun
1983, terdapat lima kali perubahan_ Khusus untuk Peraturan Pemerintah (PP) No.
48/1994, sampai tahun 2013 telah terjadi perubahan tiga kali. Dasar pertimbangan atas
perubahan tersebut bervariasi dan, jika dirangkum, terlihat sbb.:
untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban Pajak
Penghasilan atas penghasilan sehubungan dengan transaksi pengalihan tanah
dan/atau bangunan (PP No. 3/1994 dan PP No. 48/1994);
untuk lebih memberikan kepastian hokum dalam pemenuhan kewajiban pelunasan
pajak (PP No. 27/1996);
untuk lebih menyesuaikan dengan perkembangan dunia usaha khusunya industry
realestat dan sesuai dengan prinsip keadilan yang dianut undang-undang perpajakan
(PP No. 79/1999): dan
untuk lebih memberikan kemudahan dan kesederhanaan dalam menghitung Pajak
Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan,
serta mendukung program pengadaan Rumah Sederhana dan Rumah Susun
Sederhana (PP No. 27/1996).
42/1985)
Pemerintah No. Des.1994 pengalihan hak atas tanah dan/atau Apr 1996
48/1994 ) bangunan
27/1996)
79/1999)
71/2008)
7.2 Rincian Objek PPh atas Pengalihan alas Tanah/Bangunan
Tabel 4 dan Tabel 5 memberikan gambaran tentang objek PPh atas transaksi
pengalihan atas tanah/bangunan. Untuk membaca Tabel 4 tentang objek PPh, harus
dipahami dulu Tabel 5 karena Tabel 5 ini berisi pengecualian transaksi yang tidak
dikenakan PPh.
2 Mar — 31 Penjualan. tukar menukar atau cara lain yang disepakati Pasal 1 PP
Des 1994 dengan Wajib Pajak No. 3/1994
Penjualan, tukar menukar atau cara lain yang disepakati
secara sukarela dengan Pemerintah selain untuk pelaksanaan
pembangunan untuk kepentingan urnum,.
Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah atau tanah dan
bangunan kepada Pemerintah untuk pelaksanaan
pembangunan untuk kepentingan umum.
1 Jan 1995 — 1. Penghasilan yang diterima atau diperoleh Orang Pribadi dari Pasal 5 PP
31 Des 2008 pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang jumlah brutonya No. 48/1994
kurang dad Rp 60.000.000. bukan merupakan jumlah yang
dipecah-pecah, dan terkait dengan:
a. Penjualan. tukar menukar, perjanjian pemindahan hak,
pelepasan hak. penyerahan hak, lelang. hibah, atau cara lain
yang disepakati dengan pihak lain selain pemerintah;
b. Penjualan, tukar menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, atau
cara lain yang disepakati dengan pemerintah guna pelaksanaan
pembangunan. termasuk pembangunan untuk kepentingan
um= yang tidak memerlukan persyaratan khusus.
2. Penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi dari
1 Jan 2009 — Pengalihan hak atas tanah atau tanah dan bangunan orang pribadi Pasal 5 PP
skrg yang mempunyai penghasilan di bawah PTKP (Penghasilan Tidak No. 71/2008
Kena Pajak) yang melakukan dengan jumlah bruto pengalihannya
kurang dart Rp 60.000.000, dan bakan merupakan jumlah yang
dipecah-pecan:
Sesuai dengan dasar pertimbangan yang menjadi titik tolak perubahan peraturan,
tarif PPh atas transaksi pengalihan hak atas tanah/bangunan juga berubah-ubah. Hal ini
terlihat pada tarif yang berlaku pada tahun 2013 merujuk pada Pasal 4 PP No. 71/2008.
Penentuan NJOP Jual Objek Pajak) mengacu pada SPPT (Surat
Pemberitahuan Pajak Terutang) PBB tahun yang bersangkutan. Dalam hal SPPT
tersebut belum diterima Wajib Pajak, NJOP tersebut mengacu pada SPT tahun pajak
sebelumnya yang telah diterbitkan oleh Kepala KPP yang wilayah wewenangnya
meliputi tanah atau tanah dan bangunan yang bersangkutan. Apabila tanah atau tanah
dan bangunan tersebut belum terdaftar pada KPP, NJOP yang dipakai adalah NJOP
menurut surat keterangan yang diterbitkan Kepala KPP yang wilayah wewenangnya
meliputi tanah atau tanah dan bangunan yang bersangkutan.
7.2.4.1 Dalam hal sumber pembayaran atas pengalihan hak berasal dari non
AP BN/AP BD
1. Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak
atas tanah/bangunan wajib membayar sendiri PPh yang terutang ke Bank
Persepsi atau Kantor Pos dan Giro sebelum akta, keputusan, perjanjian,
kesepakatan atau risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan ditandatangani oleh pejabat yang berwenang, yaitu:
- Notaris,
- Pejabat Pembuat Akta Tanah,
- Camat,
Pejabat Lelang, atau
- pejabat lain yang diberi wewenang sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku
2. Pejabat yang berwenang hanya menandatangani akta, keputusan, perjanjian,
kesepakatan atau risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan apabila kepadanya dibuktikan oleh Orang pribadi atau badan
dimaksud bahwa kewajiban pembayaran PPh telah dipenuhi dengan
menyerahkan fotokopi Surat Setoran Pajak yang bersangkutan dengan
menunjukkan aslinya.
3. Pejabat yang berwenang menandatangani akta, keputusan, perjanjian,
kesepakatan risalah lelang wajib menyampaikan laporan bulanan mengenai
penerbitan akta, keputusan„ perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang atas
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada Direktur Jenderal Pajak.
7.2.4.2 Dalam hal sumber pembayaran atas pengalihan hak berasal dari APBN/APBD 1.
Bendaharawan atau Pejabat yang berwenang melakukan pembayaran atau
pejabat yang menyetujui tukar-menukar memungut PPh memperhatikan
ketentuan.
2. Bendaharawan atau Pejabat yang ditunjuk wajib menyetor PPh yang telah
dipungut ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro sebelum pelaksanaan
pembayaran kepada Wajib Pajak yang berhak menerimanya atau sebelum tukar-
menukar dilaksanakan.
3. Penyetoran PPh ke kas negara dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran
Pajak atas nama Wajib Pajak yang menerima pembayaran atau yang melakukan
tukar. menukar. yang telah dipungu
4. Bendaharawan atau pejabat yang ditunjuk wajib menyampaikan laporan
mengenai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) kepada Direktur knderal Pajak
7.4 Sifat Pembayaran Pajak
Selain tarif PPh yang berubah-ubah, sifat pembayaran pajaknya juga berubah-
ubah Dalam suatu masa pembayaran PPh-nya bersifat final, tapi untuk periode yang
lain tidak final. Akan tetapi, sejak PP No. 71/2008 berlaku dan ketentuan tersebut
mengacu pada IX PPh 2008 yang berlaku mulai tahun 2009, seluruh jenis pemba PPh
atas transaksi pengalihan hak atas tanah/bangunan bersifat final.
"Kasus Simulator SIM telah membuka mata sebagian dari kits tentang kasus
penghindaran pajak atas properti yang terjadi di masyarakat. Dalam persidangan
(18/06/2013) terungkap fakta mengejutkan, dimana ada penjualan rumah mewah
oleh developer kepada terdakwa, seharga Rp 7,1 miliar di Semarang namun di
akta notaris hanya tertulis Rp 940 juta atau ada selisih harga Rp 6,1 miliar.
Terdakwa simulator SIM juga membeli rumah di Depok seharga Rp 2,65 miliar
namun di akta jual beli hanya tertulis Rp 784 juta atau ada selisih Rp 1,9 miliar.
Pangkal dari timbulnya selisih tersebut, dapat saja disebabkan oleh
ketidaktahuan para pihak yang terlibat dalam transaksi tersebut. Balk penjual,
pembeli maupun notaris seringkali tidak mengetahui jumlah yang mana yang
harus dijadikan dasar perhitungan pajak-pajak terkait properti tersebut. Namun
apabila hal tersebut dilakukan dengan sengaja, maka tindakan tersebut dapat
dikategorikan sebagai tax evasion, yang merupakan tindakan melawan hokum..."
(Advertorial Detiknews, 2013).
Untuk men ingkatkan kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban PPh
atas transaksi penyewaan tanah/bangunan dan dan sesuai dengan Pasal 4 avat (2 1994,
pemerintah menerbitkan PP No. 2911996. Ketentuan ini selanjutnya di dengan PP No.
5/2002. Perubahan tersebut bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dan
perlakuan yang sama kepada penerima penghasilan dan persewaan tanah dan atau
bangunan, baik badan maupun orang pribadi. Perubahan tersebut terkait dengan
mekanisme pembayaran pajak dan tarif Ketentuan teknis kedua PP tersebut terdiri
dari KepMenkeu No. 394/KMK.0411996, juncto KepMenkeu No. 120/KMH.0312002
tanggal 1 April 2002 yang berlaku efektif sejak 1 Mei 2002.
d. melaporkan PPh yang telah dipotong dan disetor kepada Kepala KPP tempat
penyewa terdaftar sebagai Wajib Pajak, selambat-Iambatnya tanggal 20 bulan
berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya sewa,
Setoran Pajak (SSP) Final pada bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro,
selambat-lambatnya tanggal 15 bulan berikutnya setelah bulan diterima atau
diperolehnya sewa.
9. PPh Final atas Jasa Konstruksi
Pengaturan PPh atas jasa konstruksi mengalami dinamika dalam hal sifat
pemotongannya antara final dan tidak final. Ketentuan PPh atas jasa konstruksi
pertama kali muncul secara eksplisit pada tahun 1996 (Peraturan Pemerintah No.
73/1996). Ketentuan tersebut berlaku mulai tanggal 1 Januari 1997. Ketentuan
tersebut di antaranya mengatur bahwa atas penghasilan Wajib Pajak yang bergerak di
bidang usaha jasa pelaksanaan konstruksi dan Wajib Pajak badan yang bergerak di
bidang usaha jast perencanaan konstruksi, jasa pengawasan konstruksi dan/atau jasa
konsultan, kecuali konsultan hukum dan konsultan pajak, dikenakan Pajak
Penghasilan yang bersifat final (Pasal 1 PP No. 73/1996).
Ketika krisis ekonomi menerpa Indonesia, pengusaha jasa konstruksi berteriak
karena harus menanggung beban ganda. Di satu sisi, industri kontraktor mengalami
keterpurukan, sedangkan di sisi lain mereka harus menanggung PPh final yang
dihitung dari penghasilan bruto. Akibatnya, mereka meminta kepada pemerintah
untuk mengubah sifat pemotongan PPh-nya menjadi tidak final,
Gayung pun bersambut dan pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah baru
(Peraturan Pemerintah No. 140/2000) yang berlaku mulai 1 Januari 2001. Di dalam
Pasal 1 PP No. 140/2000 di antaranya diatur sbb:
1. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan
bentuk usaha tetap dari usaha di bidang jasa konstruksi, dikenakan PPh
berdasarkan ketentuan umum UU PPh.
2. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memenuhi
kualifikasi sebagai usaha kecil berdasarkan sertifikat yang dikeluarkan oleh
Lembaga yang berwenang (yaitu LPJK atau Lembaga Pengembangan Jasa
Konstruksi), serta yang mempunyai nilai pengadaan sampai dengan Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), dikenakan PPh yang bersifat final.
"Tarif Pajak Penghasilan untuk usaha Jasa Konstruksi adalah sebagai berikut:
a. 2% (dua persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh
Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha kecil;
b. 4% (empat persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh
Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha-,
c. 3% (tiga persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh
Penyedia Jasa selain Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan
huruf b;
d. 4% (empat persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan
Konstruksi Yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi
usaha-, dan
e. 6% (enam persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan
Konstruksi Yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki
kualifikasi usaha"
Kedua peraturan pemerintah tentang PPh final atas jasa konstruksi di atas
dijaharkan lagi secara teknis dengan PerMenkeu No. 187/PMK.03/2008, sebagaimana
telah diubuh dengan PerMenkeu No. 153/PMK.03/2009. Permenkeu tersebut
mengatur tatacan pemotongan, penyetoran, pelaporan, dan penatausahaan PPh atas
penghasilan dari usaha
Di dalam Pasal 21 UU PPh 2008, imbalan jasa tenaga ahli juga menjadi objek
pemotongan pajak. Ketentuan ini dijabarkan lagi dengan PerMenkeu No.
252/PMK.03/2008 serta PerDirjen Pajak No. Per-311PJ/2012. Per Dirjen Pajak
tersebut merupakan pengganti dari PerDirjen Pajak No. 31/1W2009 juncto PerDirien
Pa Per-57/PJ/2009. Semua PerDirjen Pajak tersebut mengatur bahwa tenaga ahli
mental di antaranya adalah arsitek. Dengan demikian, imbalan kepada arsitek sebagai
tenaga ahl merupakan objek pemotongan PPh Pasal 21.
"Dalam hal penghasilan tidak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final
dengan Peraturan Pemerintah tersendiri, atas penghasilan tersebut dikenai Pajak
Penghas berdasarkan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 Undang-
Undang Pajak Penghasilan" (Pasal 19 PP No. 94/2010).
"Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak misalnya yang
bergerak di bidang usaha jasa konstruksi dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat
final dengan Peraturan Pemerintah tersendiri. Dalam hal tidak diatur dengan
Peraturan Pemerintah tersendiri yang menyatakan bahwa atas penghasilan
tersebut dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final, penghasilan tersebut
dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
17 Undang-Undang Pajak Penghasilan" (penjelasan Pasal 19 PP No. 94/2010).
Dad sudut pandang lain, sepertinya pengaturan PPh jasa konstruksi di dalam
sebuah peraturan pemerintah mengacu pada Bab IX Ketentuan Penutup Pasal 35 UU
PPh 1984 yang tidak mengalami perubahan sampai saat ini, yaitu "Hal-hal yang belum
cukup diatur dalam Undang-uridang ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah".
Besamya PPh Jasa Konstruksi yang dipotong atau disetor sendiri adalah:
1. jumlah pembayaran, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai, dikalikan
Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1): atau
2. jumlah penerimaan pembayaran, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai,
dikalikan tarif Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (I)
dalam hal Pajak Penghasilan disetor sendiri oleh Penyedia Jasa.
3. Jumlah pembayaran atau jumlah penerimaan pembayaran di atas merupakan
bagian dari Nilai Kontrak Jasa Konstruksi, yaitu nilai yang tercantum dalam sate
kontrak jasa keseluruhan konstruksi secara keseluruhan
9.5 Menimbang Untung dan Rugi Pengenaan PPh Final atas Jasa Konstruksi
Untuk menggambarkan untung dan rugi pengenaan PPh Final atas jasa
konstruksi, dimisalkan PT A merupakan kontraktor dengan kualifikasi besar sehingga
sesuai dengan PP No. 51/2008 dikenakan tarif 3% dari nilai pendapatan yang diterima.
Jika dibandingkan dengan tarif PPh Badan (28%) sesuai dengan UU PPh 2008,
perbandingan bisa dihitung dengan persamaan sebagai berikut:
Dengan model persamaan yang sama, perbandingan pengenaan pajak final dan
bukan final bagi pengusaha jasa konstruksi dengan kualifikasi usaha kecil serta yang
tidak memiliki kualifikasi.
10. PPh Final 1% untuk Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu
46/2013. Ketentuan ini berlaku untuk Wajib Pajak Badan dan Orang Pribadi.
Tidak termasuk Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha
perdagangan dan/atau jasa yang dalam usahanya:
a. menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik yang
menetap maupun tidak menetap (termasuk yang menggunakan gerobak); dan
b. menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang
tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan (misalnya misalnya
pedagang makanan keliling, pedagang asongan, warung tenda di trotoar, dan
sejenisnya).
penghasilan yang diperoleh Andik pada tahun 2015 (tahun berikutnya) dikenai PPh
sesuai ketentuan UU PPh.
10.5 Dasar Pengenaan PPh Final 1%
Pasal 8 PP No. 46/2013 menjelaskan bahwa Wajib Pajak yang dikenai PPh
bersifat final berdasarkan PP No. 46/2013 dan menyelenggarakan pembukuan dapat
melakukan kompensasi kerugian dengan penghasilan yang tidak dikenai PPh yang
bersifat final Untuk dapat memenuhi Pasal 8 tersebut, ketentuannya adalah sebagai
berikut:
a. kompensasi kerugian dilakukan mulai Tahun Pajak berikutnya berturut-turut
sampai dengan 5 (lima) Tahun Pajak;
b. Tahun Pajak dikenakannya PPh final berdasarkan PP No. 46/2013 tetap
diperhitungkan sebagai bagian dari jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
huruf a di atas,
c kerugian pada suatu Tahun Pajak dikenakannya PPh final berdasarkan PP No.
46/2013 tidak dapat dikompensasikan pada Tahun Pa* berikutnya.
Sebagai ilustrasi perlakuan kompensasi kerugian, dimisallcan Rajesh dalam
contoh di atas mengalami kerugian pada Tahun Pajak 2010. Kerugian tersebut dapil
dikompensasikan dengan penghasilan pada Tahun Pajak 2011 sampai dengan Tahu
Pajak 2015. Jika Rajesh pada Tahun Pajak 2014 dikenai PPh yang bersifat final
berdasarkan PP No. 4612013, jangka waktu kompensasi kerugian tetap dihitung
sampai dengan Tahun Pajak 2015. Jika Rajesh pada Tahun Pajak 2014 mengalami
kerugian berdasarkan pembukuan, atas kerugian tersebut tidak dapat dikompensasikan
dengan Tahun Pajak berikutnya.
SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) terbaru diatur di dalam PerDirjen Pajak No. Per-
53/PJ/2009, Selain SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2), ketentuan tersebut juga mengatur
SPT PPh Pasal 15, SPT PPh Pasal 22, SPT PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26. Masing-
masing serta bukti pemotongan/ pemungutannya. Perubahan SPT tersebut dikarenakan
SPT yang ada dan mengacu pada KepDirjen Pajak No. Kep-108/PJ.1/1996 s.t.d.t.d.
PerDirjen Pajak No. 42/PJ/2008 tidak dapat menampung ketentuan terbaru dan
informasi yang diperlukan.
Pasal 1 PerDirjen Pajak No. Per-53/PJ/2009 mengatur bahwa bentuk formulir
SPT PPh Pasal 4 ayat 2 dan Bukti Pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) serta petunjuk
pengisiannya merujuk pada Lampiran I PerDirjen Pajak No. Per-53/PJ/2009. Ada
sebagian contoh bukti potong yang tidak disertakan di dalam tulisan ini karena jarang
dipakai di dalam praktik. Khusus untuk SPT PPh final 1% sebagaimana diatur di
dalam PP No. 46/2013, pelaporan PPh-nya menggunakan mekanisme SPT PPh Orang
Pribadi atau SPT PPh Badan.