Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
SINUSITIS
Disusun Oleh:
Diah Poppy Utami, S.Ked I4061172050
Pembimbing:
dr. Eni Nuraeni, M.Kes, Sp. THT, KL
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat
dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan Referat dengan judul “Sinusitis”. Laporan
kasus ini dibuat sebagai salah satu syarat kelulusan kepaniteraan klinik stase ilmu
penyakit THT-KL RSUD dr. Soedarso Pontianak.
Penulisan ini tidak terlepas dari bantuan, dorongan, dukungan, bimbingan serta
dari semua pihak. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang
sebesar-besarnya terutama kepada dr. Eni Nuraeni, M.Kes, Sp. THT, KL selaku
pembimbing referat di SMF Ilmu Penyakit THT-KL RSUD dr. Soedarso Pontianak yang
telah dengan sabar memberikan bimbingan, kritik, serta saran yang membangun. Tidak
lupa rasa terima kasih juga kami ucapkan kepada para tenaga medis dan karyawan yang
telah membantu selama kami mengikuti kepaniteraan klinik di SMF Ilmu Penyakit THT-
KL RSUD RSUD dr. Soedarso Pontianak dan juga berbagai pihak lain yang tidak dapat
kami sebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa penulisan ini masih banyak kekurangan, maka kritik
dan saran yang membangun dari semua pihak sangat di harapkan demi penyempurnaan
selanjutnya. Akhirnya semoga penulisan ini bermanfaat bagi banyak pihak, khususnya
bagi penulis dan para pembaca pada umumnya.
Struktur hidung luar terdiri dari tiga bagian yaitu kubah tulang yang tak dapat
digerakkan, di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan
dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan. Kubah
tulang dibentuk prossesus maksila yang berjalan ke atas dan kedua tulang hidung,
semuanya disokong oleh prosesus nasalis tulang frontalis dan suatu bagian lamina
perpendikularis. Kubah kartilago dibentuk oleh kartilago lateralis superior yang
saling berfusi digaris tengah serta berfusi dengan tepi atas kartilago septum
kuadrangularis. Sepertiga bawah hidung luar atau lobulus hidung dipertahankan
bentuknya oleh katilago lateralis inferior.
b. Hidung Dalam1
Hidung dalam membentang dari os internum di sebelah anterior hingga
koana di bagian posterior, yang memisahkan rongga hidung dan nasofaring.
Gambar 3. Penampang hidung dalam
I. Vestibulum
Terletak tepat dibelakang nares anterior, dilapisi oleh kulit yang mempunyai kelenjar
sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrisae.
II. Septum nasi
Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan.
Bagian tulang terdiri dari :
- lamina perpendikularis os etmoid
- vomer
- krista nasalis os maksila
- krista nasalis os palatina
Bagian tulang rawan terdiri dari :
- kartilago septum ( lamina kuadrangularis )
- kolumela
III. Kavum nasi
• Dasar hidung
Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatina os maksila dan prosesus
horisontal os palatum.
• Atap hidung
Terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal, prosesus frontalis
os maksila, korpus os etmoid dan korpus os sfenoid. Sebagian besar atap hidung
dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui filamen-filamen n. Olfaktorius yang
berasal dari permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian teratas
septum nasi dan permukaan kranial konka superior.
• Dinding lateral
Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os
maksila, os lakrimalis, konka superior, konka media, konka inferior, lamina
perpendikularis os palatum dan lamina pterigoideus medial.
• Konka
Pada dinding lateral hidung terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan
letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka
media dan konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka
suprema ini biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang
melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media,superior dan
suprema merupakan bagian dari labirin etmoid.
• Meatus nasi
Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit
yang disebut meatus. Meatus inferior terletak diantara konka inferior dengan
dasarhidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara
duktus nasolakrimalis. Meatus media terletak diantara konka media dan dinding
lateral rongga hidung. Disini terdapat muara sinus maksila, sinus frontal dan sinus
etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang diantara konka
superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.
• Dinding medial
Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum nasi merupakan struktur
tulang di garis tengah, secara anatomi membagi dua rongga hidung.
A. Sinus Maksilaris
Struktur
Sinus maxillaris orang dewasa adalah berbentuk piramida mempunyai
volume kira-kira 15 ml ( 34 x 33 x 23mm ). Dasar dari piramida adalah dinding
nasal dengan puncak yang menunjuk ke arah processus zygomaticum. Dinding
anterior mempunyai foramen infraorbital berada pada bagian midsuperior
dimana nervus infraorbital berjalan di atas atap sinus dan keluar melalui
foramen itu. Saraf ini dapat dehiscens (14%). Bagian yang tertipis dari dinding
anterior adalah sedikit di atas fossa canina. Atap dibentuk oleh dasar orbital
dan di transeksi oleh nervus infraorbital . Dinding posterior tidak bisa ditandai.
Di belakang dinding ini adalah fossa pterygomaxillaris dengan arteri maxillaris
interna, ganglion sphenopalatina dan saluran Vidian, nervus palatina mayor
dan foramen rotundum. Dasar dari sinus, seperti dibahas di atas, bervariasi
tingkatannya. Sejak lahir sampai umur 9 tahun dasar dari sinus adalah di atas
rongga hidung. Pada umur 9 tahun dasar sinus secara umum sama dengan dasar
nasal. Dasar sinus berlanjut menjadi peumatisasi sinus maxillaris. Oleh karena
itu berhubungan erat dengan penyakit pertumbuhan gigi yang dapat
menyebabkan infeksi rahang dan pencabutan gigi dapat mengakibatkan fistula
oral-antral.
Perdarahan
Cabang dari arteri maxillaris internal mendarahi sinus ini. Termasuk
infraorbital (yang berjalan dengan nervus infraorbital), cabang lateral dari
sphenopalatine, palatina mayor, vena axillaris dan vena jugularis sistem dural
sinus.
Persarafan
Sinus maxilla disarafi oleh cabang dari V.2. yaitu nervus palatina
mayor dan cabang dari nervus infraorbital.
B. Sinus Ethmoidalis
Struktur
Bentuknya berupa rongga tulang seperti sarang tawon, terletak antara
hidung dan mata. Gabungan sel anterior dan posterior mempunyai volume 15
ml (3,3 x 2,7 x 1,4 cm). Bentuk ethmoid seperti piramid dan dibagi menjadi
multipel sel oleh sekat yang tipis. Atap dari ethmoid dibentuk oleh berbagai
struktur yang penting. Sebelah anterior posterior agak miring (15 derajat). Dua
pertiga anterior tebal dan kuat dibentuk oleh os frontal dan faveola ethmoidalis.
Sepertiga posterior lebih tinggi sebelah lateral dan sebelah medial agak miring
kebawah kearah cribiform plate. Perbandingan antara tulang tebal sebelah
lateral dan plate adalah sepersepulah kuat atap sebelah lateral. Perbedaan berat
antara atap medial dan lateral bervariasi antara 15-17 mm. Sel ethmoid
posterior berbatasan dengan sinus sphenoid. Dinding lateralnya adalah lamina
paprycea orbita.
C. Sinus Frontalis
Struktur
Volume sinus ini sekitar 6 - 7ml (28 x 24 x 20mm). Anatomi sinus
frontalis sangat variasi tetapi secara umum ada dua sinus yang berbentuk
seperti corong dan berbentuk point menaik. Tidak simetri kanan dan kiri,
terletak di os frontalis.6 Kedalaman dari sinus berhubungan dengan
pembedahan untuk menentukan batas yang berhubungan dengan pembedahan.
Kedua bentuk sinus frontal mempunyai ostia yang bergantung dari rongga itu
(posteromedial). Sinus ini dibentuk dari tulang diploe. Bagaimanapun, dinding
posterior (memisahkan sinus frontal dari fosa kranium anterior) lebih tipis.
Dasar sinus ini juga berfungsi sebagai bagian dari atap rongga mata.
Perdarahan
Sinus frontalis mendapat perdarahan dari arteri opthalmica melalui
arteri supraorbita dan supratrochlear. Aliran pembuluh vena melalui vena
opthalmica superior menuju sinus cavernosus dan melalui vena-vena kecil
didalam dinding posterior yang mengalir ke sinus dural.
Persarafan
Sinus frontalis dipersarafi oleh cabang nervus V.1. Secara khusus,
nervus-nervus ini meliputi cabang supraorbita dan supratrochlear.
D. Sinus Sfenoidalis
Struktur
Usia belasan tahun sinus ini sudah mencapai ukuran penuh dengan
volume 7,5ml (23 x 20 x 17mm). Pneumatisasai sinus ini, seperti sinus frontalis,
sangat bervariasi. Secara umum merupakan struktur bilateral yang terletak
posterosuperior dari rongga hidung. Pneumatisasi dapat meluas sejauh clivus,
ala parva dan ala magna os sphenoid sampai ke foramen magnum. Dinding sinus
sphenoidalis bervariasi ketebalannya, dinding anterosuperior dan dasar sinus
paling tipis (1 -1,5mm). dinding yang lain lebih tebal, Bagian paling tipis dari
dinding anterior adalah 1 cm dari fovea ethmoidalis. Letak dari sinus oleh karena
hubungan anatominya tergantung dengan tingkat pneumatisasi. Sinus bisa
terletak jauh di anterior, di anterior atau dengan seketika di bawah sella turcica
(conchal, presellar, sellar atau postsellar). Kebanyakan posisi posterior dapat
menempatkan sinus bersebelahan ke struktur yang penting seperti arteri carotid,
nervus opticus, nervus maxillaris cabang dari nervus trigeminal, nervus vidian,
pons, sella turcica dan sinus cavernosus. Struktur ini sering dikenali seperti
lekukan di atap dan dinding sinus.
Dalam presentase kecil akan mempunyai dehisens tulang di atas
struktur yang penting seperti nervus opticus dan arteri carotid. Hati-hati ketika
memperbaiki septasinus ini mungkin di dalam kesinambungan dengan carotid
dan canalis opticus yang dapat mengakibatkan kematian dan kebutaan. Ostium
sinus sphenoidalis bermuara ke recessus sphenoethmoidalis. Ukurannya sangat
kecil ( 0.5 - 4mm ) dan letaknya sekitar 10 mm di atas dasar sinus. 30 derajat
kebawah dari dasar hidung anterior mendekati letak ostium diatas dinding
posteriosuperior hidung, merupakan garis tengah persambungan antara 1/3 atas
dan 2/3 bawah dari dinding anterior sinus. Biasanya sebelah medial ke turbinate
superior dan hanya beberapa milimeter dari cribiform plate. Ostium ini, seperti
sinus maxillaris, mempunyai tulang dehisens yang lebih besar yang dibatasi oleh
sebuah septum membran.
Perdarahan
Arteri ethmoid posterior mendarahi atap sinus sphenoidalis. Bagian lain
dari sinus mendapat aliran darah dari arteri sphenopalatina. Aliran vena melalui
vena maxillaris ke vena jugularis dan pleksus pterigoid.
Persarafan
Sinus sphenoidalis disarafi oleh cabang nervus V.1 dan V.2. Nervus
nasociliaris (cabang nervus V.1) berjalan menuju nervus ethmoid posterior dan
mensarafi atap sinus. Cabang-cabang nervus sphenopalatina (V.2) mensarafi
dasar sinus.
2.3. Definisi
Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal.
Umumnya disertai dan dipicu oleh rhinitis sehingga sering disebut rhinosinusitis.
Penyebab utamanya adalah selesma (common cold) yang merupakan infeksi virus,
yang selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi bakteri. Bila mengenai beberapa sinus
disebut multisinus, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut
pansinusitis.1
Sinusitis yang berlangsung beberapa hari sampai satu bulan disebut sinusitis
akut, sinusitis subakut apabila berlangsung 4 minggu sampai 3 bulan dan apabila
lebih dari 3 bulan disebut sinusitis kronik. 1
2.4.Etiologi
Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus,
bermacam rhinitis terutama rhinitis alergi, rhinitis hormonal pada wanita hamil,
polip hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka,
sumbatan kompleks osteo-meatal, infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik,
diskinesia silia seperti pada sindroma Kartegener, dan di luar negeri adalah penyakit
fibrosis kistik.1
Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan faktor penting penyebab sinusitis
sehingga perlu dilakukan adenoidektomi untuk menghilangkan sumbatan dan
menyembuhkan rhinosinusitisnya. Hipertrofi adenoid dapat didiagnosis dengan
foto polos leher posisi lateral. Faktor lain yang juga berpengaruh adalah lingkungan
yang berpolusi, udara dingin dan kering, serta kebiasaan merokok. Keadaan ini
lama-lama menyebabkan perubahan mukosa dan merusak silia.1
Sinusitis virus biasanya terjadi selama infeksi saluran napas atas; virus yang
lazim menyerang hidung dan nasofaring juga menyerang sinus. Mukosa
sinus.paranasalis berjalan kontinu dengan mukosa hidung, dan penyakit virus yang
rnenyerang hidung perlu dicurigai dapat meluas ke sinus.1
Edema dan hilangnya fungsi silia normal pada infeksi virus menciptakan
suatu lingkungan yang ideal untuk perkembangan infeksi bakteri. Infeksi ini
seringkali rnelibatkan lcbih dari satu bakteri. Organisme penyebab sinusitis akut
mungkin sama dengan penyebab otitis media. Yang sering ditemukan dalam
frekuensi yang makin menurun adalah Streptococcus pneumoniae, Haemoplilus
influenzae, bakteri anaerob, Branhamella catarrhalis, streptokok alfa,
Staphylococcus aureus, dan Streptococcus pyogenes. Selama suatu fase akut,
sinusitis kronik dapat disebabkan oleh bakteri yang sama seperti yang
menyebabkan sinusitis akut. Natnun, karena sinusitis kronik biasanya berkailan
dengan drainase yang tidak adekuat ataupun fungsi mukosiliar yang terganggu,
maka agen infeksi yang terlibat cenderung oportunistik, di mana proporsi terbesar
merupakan bakteri anaerob.1
2.5.Patofisiologi
Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain
(1) sebagai pengatur kondisi udara, (2) sebagai penahan suhu, (3) membantu
keseimbangan kepala, (4) resonansi suara, (5) peredam perubahan tekanan udara
dan (6) membantu produksi mukus untuk membersihkan rongga hidung.1
Fungsi sinus paranasal dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pertahanan
mukosilier, ostium sinus yang tetap terbuka dan pertahanan tubuh baik lokal
maupun sistemik. Seperti pada mukosa hidung, di dalam sinus juga terdapat mukosa
bersilia dan palut lendir di atasnya. Di dalam sinus silia bergerak secara teratur
untuk mengalirkan lendir menuju ostium alamiahnya mengikuti jalur-jalur yang
sudah tertentu polanya.1
Gambar 6. Pergerakan silia dalam drainase cairan sinus
Ada tiga kategori utama pada mekanisme terjadinya sinusitis kronis, yaitu:4
1. Sinusitis yang berhubungan dengan hiperplasia karena peradangan.
2. Sinusitis sebagai bagian dari alergi umum saluran napas.
3. Sinusitis karena salah satu diatas disertai infeksi sekunder.
2.7.Klasifikasi
Berdasarkan waktu, konsensus tahun 2004 membagi menjadi sinusitis akut
dengan batas sampai 4 minggu, sinusitis subakut antara 4 minggu sampai 3 bulan
dan sinusitis kronik jika lebih dari 3 bulan.
Berdasarkan penyebabnya, dibagi menjadi sinusitis rhinogen apabila
penyebabnya infeksi pada hidung, dan sinusitis dentogen apabila penyebabnya
infeksi pada gigi.
1. Sinusitis Akut 1
Sinusitis Maksilaris
Sinusitis maksilaris akut biasanya didahului infeksi saluran napas atas
yang ringan. Alergi hidung kronik, benda asing dan deviasi septum nasi
merupakan faktor predisposisi local yang paling sering ditemukan.Deformitas
rahang-wajah, terutama palatoskisis, dapat menimbulkan masalah pada anak.
Anak-anak ini cenderung menderita infeksi nasofaring atau sinus kronik
dengan angka insidens yang lebih tinggi. Sedangkan gangguan geligi
bertanggung jawab atas sekitar 10 persen infeksi sinus maksilaris akut. Gejala
infeksi sinusitis maksilaris akut berupa demam, malaise dan nyeri kepala yang
tak jelas yang biasanya reda dengan pemberian analgesic biasa seperti aspirin.
Wajah terasa bengkak, penuh dan gigi terasa nyeri pada gerakan kepala
mendadak. Seringkali terdapat nyeri pipi khas yang tumpul dan menusuk, serta
nyeri pada palapasi dan perkusi.
Sinusitis Etmoidalis
Sinusitis etmoidalis akut lazim terjadi pada anak-anak, seringkali
bermanifestasi sebagai selulitis orbita. Pada dewasa seringkali Bersama-sama
dengan sinusitis maksilaris, serta dianggap sebagai penyerta sinusitis frontalis
yang tak dapat dielakkan. Gejala berupa nyeri dan nyeri tekan diantara kedua
bola mata dan di atas jembatan hidung, drainase dan sumbatan hidung. Pada
anak dinding lateral labirin etmoidalis (lamina papirasea) seringkali merekah
dan karena itu cenderung lebih sering menimbulkan selulitis orbita.
Sinusitis Frontalis
Sinusitis frontalis akut hampir selalu bersama-sama dengan infeksi
sinus etmoidalis anterior. Sinus frontalis berkembang dari sel-sel udara
etmoidalis anterior, dan duktus nasalis frontalis yang berlekuk-lekuk berjalan
amat dekat dengan sel-sel ini. Maka faktor-faktor predisposisi infeksi sinus
frontalis akut adalah sama dengan faktor-faktor untuk infeksi sinus lainnya.
Penyakit ini sering ditemukan pada dewasa, dan selain daripada gejala nfeksi
yang umum, pada sinusitis frontalis terdapat nyeri kepala yang khas. Nyeri
berlokasi di alis mata, biasanya pada pagi hari dan makin memburuk menjelang
tengah hari, kemudian perlahan-lahan mereda menjelang malam. Tanda
patognomonik adalah nyeri hebat pada palpasi atau perkusi di atas daerah sinus
yang terinfeksi.
Sinus Sfenoidalis
Sinusitis sfenoidalis akut amat jarang. Sinusitis ini dicirikan oleh nyeri
kepala yang mengarah ke vertex cranium. Namun penyakit ini lebih lazim
menjadi bagian dari pansinusitis, dan oleh karena itu gejalanya menjadi satu
dengan gejala infeksi sinus lainnya.
2. Sinusitis Kronik1
Sinusitis kronik adalah sinusitis yang berlangsung lebih dari 3 bulan.
Pada sinusitis akut, perubahan patologik membrane mukosa berupa infiltrate
polimorfonuklear, kongesti vascular dan deskuamasi epitel permukaan yang
semuanya reversible. Gambaran patologik sinusitis kronik adalah kompleks
dan irreversible. Mukosa umumnya menebal , membentuk lipatan-lipatan-
lipatan atau pseudopoli. Epitel permukaan tampak mengalami deskuamasi,
regenerasi , metaplasia.
Gejala sinusitis kronik tidak jelas,selama eksaserbasi akut , gejala
gejala mirip dengan gejala sinusitis akut; namun, di luar masa itu gejala berupa
suatu perasaan penuh pada wajah dan hidung dan hipersekresi yang seringkali
mukopurulen. Gejala lain berupa nyeri kepala, hidung tersumbat dan gejala-
gejala faktor predisposisi seperti rhinitis alergika yang menetap. Batuk kronik
dengan laryngitis kronik ringan atau faringitis seringkali menyertai sinusitis
kronik Sinusitis pada dasarnya bersifat rinogenik. Pada sinusitis kronik, sumber
infeksi berulang cenderung berupa suatu daerah stenotik, biasanya
infundibulum etmoidalis dan resesus frontalis. Karena inflamasi menyebabkan
saling menempelnya mukosa yang berhadapan dalam ruangan sempit ini,
akibatnya terjadi gangguan transport mukosiliar, menyebabkan retensi mucus
dan mempertinggi pertumbuhan bakteri dan virus. Infeksi kemudian menyebar
ke sinus yang berdekatan. Pada sinusitis maksilaris kronik yang mengenai satu
sisi dengan ingus purulen dan napas berbau busuk harus curiga adanya sinusitis
dentogen. Sinusitis dentogen ini nerupakan salah satu penyebab penting
sinusitis kronik. Karena dasar sinus maksila adalah prosesus alveolaris tempat
akar gigi rahang atas, maka apabila terjadi infeksi gigi rahang atas atau
inflamasi jaringan periodontal mudah menyebar secara langsung ke sinus, atau
melalui pembuluh darah limfe
2.8.Diagnosis
Diagnosis sinusitis berdasarkan gambaran klinis, pemeriksaan fisik dan
penunjang. Diagnosis Rinosinusitis Akut Pada Dewasa, Ditegakkan berdasarkan
kriteria di bawah ini:5,6
Anamnesis
Riwayat rinore purulen yang berlangsung lebih dari 7 hari, merupakan
keluhan yang paling sering dan paling menonjol pada rinosinusitis akut. Keluhan
ini dapat disertai keluhan lain seperti sumbatan hidung, nyeri/rasa tekanan pada
muka, nyeri kepala, demam, ingus belakang hidung, batuk, anosmia/hiposmia,
nyeri periorbital, nyeri gigi, nyeri telinga dan serangan mengi (wheezing) yang
meningkat pada penderita asma.
Rinoskopi
Rinoskopi anterior merupakan pemeriksaan rutin untuk melihat tanda
patognomonis, yaitu sekret purulen di meatus medius atau superior;atau pada
rinoskopi posterior tampak adanya sekret purulen di nasofaring (post nasal drip).
Nasoendoskopi
Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan untuk menilai kondisi kavum
nasi hingga ke nasofaring. Pemeriksaan ini dapat memperlihatkan dengan jelas
keadaan dinding lateral hidung.
Foto polos sinus paranasal
Pemeriksaan foto polos sinus bukan prosedur rutin, hanya dianjurkan pada
kasus tertentu, misalnya:
- Rinosinusitis akut dengan tanda dan gejala berat.
- Tidak ada perbaikan setelah terapi medikamentosa optimal
- Diduga ada cairan dalam sinus maksila yang memerlukan tindakan irigasi
- Evaluasi terapi
- Alasan medikolegal.
Tomografi Komputer dan MRI
Pemeriksaan tomografi komputer tidak dianjurkan pada rhinosinusitis akut,
kecuali ada kecurigaan komplikasi orbita atau intrakranial. Pemeriksaan MRI hanya
dilakukan pada kecurigaan komplikasi intrakranial.Diagnosis Rinosinusitis Kronis
Pada Dewasa.
Diagnosis Rinosinusitis Kronis dapat ditegakkan berdasarkan kriteria di
bawah ini:
Anamnesis
Riwayat gejala yang diderita sudah lebih dari 12 minggu, dan sesuai dengan
2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor ditambah 2 kriteria minor dari kumpulan
gejala dan tanda menurut International Consensus on Sinus Disease, 1993. dan 2004
(Lihat Tabel). Kriteria mayor terdiri dari: sumbatan atau kongesti hidung, sekret
hidung purulen, sakit kepala, nyeri atau rasa tertekan pada wajah dan gangguan
penghidu. Kriteria minornya adalah demam dan halitosis. Keluhan rinosinusitis
kronik seringkali tidak khas dan ringan bahkan kadangkala tanpa keluhan dan baru
diketahui karena mengalami beberapa episode serangan akut.
2.8 Tatalaksana
Medikamentosa
Tujuan terapi sinusitis ialah 1) mempercepat penyembuhan; 2) mencegah
komplikasi; 3) mencegah perubahan menjadi kronik. Prinsip pengobatan ialah
membuka sumbatan di KOM sehingga drenase dan ventilasi sinus-sinus pulih
secara alami.7
Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut
bacterial, untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta membuka
sumbatan ostium sinus. Antibiotik yang dipilih adalah golongan penisilin seperti
amoksisilin. Jika diperkirakan bakteri telah resisten atau memproduksi beta
laktamase, maka dapat diberikan amoksisilin-klavulanat atau jenis sefalosporin
generasi ke-2. Pada sinusitis, antibiotik diberikan selama 10-14 hari meskipun
gejala klinik sudah hilang. 7
Pada sinusitis kronik diberikan antibiotik yang sesuai untuk bakteri gram
negatif dan anaerob. Selain dekongestan oral dan topical, terapi lain dapat diberikan
jika diperlukan, seperti analgetik, mukolitik, steroid oral/topical, pencucian rongga
hidung dengan NaCl atau pemanasan (diatermi). Antihistamin tidak rutin diberikan,
karena sifat antikolinergiknya.7
Pada Anak-anak, sinusitis akut, diberikan amoksisilin (40 mg/ kgbb/hari)
yang merupakan first line drug, namun jika tidak ada perbaikan dalan 48-72 jam,
dapat diberikan amoksisilin/klavulanat. Sebaiknya antibiotik diberikan selama 10-
14 hari.
Pada kasus sinusitis kronis, antibiotik diberikan selama 4-6 minggu sebelum
diputuskan untuk pembedahan. Dosis amoksisilin dapat ditingkatkan sampai 90
mg/kgbb/hari. Pada pasien dengan gejala berat atau dicurigai adanya komplikasi
diberikan antibiotik secara intravena. Sefotaksim atau seftriakson dengan
klindamisin dapat diberikan pada Streptococcus pneumoniae yang resisten.7
Operatif
Untuk pasien yang tidak responsif dengan terapi medikamentosa yang
maksimal, tindakan bedah perlu dilakukan. Indikasi bedah apabila ditemukan
perluasan infeksi intrakranial seperti meningitis, nekrosis dinding sinus disertai
pembentukan fistel, pembentukan mukokel, selulitis orbita dengan abses dan
keluarnya sekret terus menerus yang tidak membaik dengan terapi konservatif.
Beberapa tindakan pembedahan pada sinusitis antara lain adenoidektomi, irigasi
dan drainase, septoplasti, andral lavage, caldwell luc dan functional endoscopic
sinus surgery (FESS).1,7
2.9 Komplikasi
Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya
antibiotik. Komplikasi biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis kronis
dengan eksaserbasi akut. 1,7
Komplikasi yang dapat terjadi ialah :
1. Osteomielitis dan abses subperiostal. Paling sering timbul akibat sinusitis frontal
dan biasanya ditemukan pada anak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat
timbul fistula oroantral.
2. Kelainan otbita, disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata
(orbita). Yang paling sering ialah sinusitis etmoid, kemudian sinusitis frontal dan
maksila. Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum.
Kelainan yang dapat ditimbulkan ialah edem palpebra, selulitis orbita, abses
subperiotal, abses orbita, dan selanjutnya dapat terjadi thrombosis sinus
kavernosus.
3. Kelainan intracranial, seperti meningitis, abses ekstradural atau subdural, abses
otak dan thrombosis sinus kavernosus.
4. Kelainan paru, seperti bronchitis kronik dan bronkiektasis. Adanya kelainan
sinus paranasal disertai dengan kelainan paru ini disebut sinobronkitis.
Disamping itu dapat timbul asma bronchial.
BAB III
KESIMPULAN
Ada delapan sinus paranasal, empat buah pada masing masing sisi hidung.
Seperti sinus maksilaris, sinus etmoidalis, sinus frontalis, dan sinus spenoidalis.
Sinus paranasalis ini mempunyai fungsi, Pengatur kondisi udara (air conditioning),
Penahan suhu (thermal insulators), Membantu keseimbangan kepala, Membantu
resonansi udara, Sebagai peredam perubahan tekanan udara, Membantu produksi
mukus
Sinusitis adalah bentuk peradangan pada mukosa hidung dan satu atau lebih
mukosa sinus paranasal. Sinusitis selalu dimulai dengan penyumbatan daerah
kompleks osteomeatal, oleh infeksi, obstruksi mekanis atau alergi, dan oleh karena
penyebaran infeksi gigi.
Etiologinya bisa disebabkan beberapa hal, antara lain : infeksi bakteri,
adanya ISPA, reaksi alergi, trauma, lingkungan dan lain-lain
Pada dasarnya patofisiologi dari sinusitis dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu
obstruksi drainase sinus (sinus ostia), kerusakan path silia, dan kuantitas dan
kualitas mukosa. Sinusitis dapat terjadi bila terdapat gangguan pengaliran udara
dari dan ke rongga sinus serta adanya gangguan mukus. Bila terjadi edema di
kompleks ostio-meatal, mukosa yang letaknya berhadapan akan saling bertemu,
sehingga silia tidak dapat bergerak dan lendir tidak dapat dialirkan. Maka terjadi
gangguan drainase dan ventilasi di dalam sinus, sehingga silia menjadi kurang aktif.
Sinusitis berdasarkan waktu dan kondisinya bisa diklasifikasikan menjadi akut, sub
akut, dan kronik.
Diagnosis dilakukan dengan anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
penunjang seperti transluminasi, foto rontgen 3 posisi, foto waters, dan juga
endoskopi. Komplikasi sinusitis bisa terjadi hingga intrakranial, periorbita dan
paru. Penatalaksanaan dilakukan sesuai dengan indikasi.
Daftar Pustaka