Anda di halaman 1dari 6

KONFLIK LAUT CHINA SELATAN

(South China Sea Dispute)

Chantika Maharani, E061201006, Pengantar Hubungan Internasional D

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Hasanuddin

Bagian I
Deskripsi Laut China Selatan

Laut China Selatan atau biasa disebut Laut Tiongkok Selatan merupakan salah satu
kawasan perairan yang terletak di sebelah selatan Tingkok, di sebelah timur Vietnam, di
sebelah barat Filipina, dan di sebelah utara kepulauan Indonesia (Bangka Belitung dan
Kalimantan). Peairan ini membentang dengan luas kurang lebih 3.500 .000 km2. Wilayah ini
memiliki potens yang sangat besar berupa sumber daya alam. Laut China Selatan
diestimasikan memiliki sekitar 11 miliar barel minyak dan 190 triliun kaki kubik gas alam
yang belum tereksploitasi. Situs internasional The Diplomat melaporkan bahwa area ini
menjadi jalur perdagangan laut yang besar dengan nilai perdagangan hingga 5.3 triliun USD
atau setara dengan 1/3 totsl perdangan maritim dunia. Kawasan perairan ini juga unggul
dalam sektor perikanan tangkap dimana menghasilkan hingga 16,6 juta ton/tahun hasil laut
dengan biodiversitas hingga 3.365 spesies ikan yang menjadikan kawasan ini menyumbang
12% perikanan tangkap global [ CITATION Ali17 \l 1033 ].
Selain itu, Laut China Selatan terletak sangat strategis secara geografis dan
menjadikan kawasan ini sebagai jalur terbesar yang menghubungkan bagian barat dan timur
dunia yang memiliki jalur perlintasan perdagangan (sea lane) yang sangat ramai dan sibuk.
Selain itu, kawasan ini juga menjadi jalur penghubung selat Melaka dan Samudera Hindia
(cross passage). Tidak hanya daerah perairannya, potensi kawasan Laut China Selsatan juga
terdapat pada kepulauan disana termasuk Spratly dan Paracels yang memiliki cadangan
Sumber Daya Alam terutama mineral, minyak bumi, dan gas alam. Dengan potensi sebanyak
itu, kawasan ini menjadi kunci perekonomian negara Asia Timur dan ASEAN. Hal ini
tentunya menimbulkan berbagai macam konflik antar-negara seperti permasalahan sengketa
wilayah dimana kawasan Laut China Selatan ini diperebutkan hak kedaulatannya oleh
beberapa negara yang ada disekitarnya, yaitu Tiongkok, Taiwan, Filipina, Vietnam, Brunei,
dan Malaysia yang menjadi claimant-states pada konflik Laut China Selatan ini [ CITATION
Roz131 \l 1033 ].
Bagian II
Latar Belakang Konflik Laut China Selatan

Karena faktor keuntungan sumber daya yang melimpah dan letak geografisnya yang
strategis, Tiongkok emnjadi negara yang paling agresif dan asertif dalam sengketa Laut
China Selatan ini, mereka membuat klaim historis atas perairan Laut China Selatan sebagai
wilayahnya berdasarkan pada ancient map dimana angkatan laut China menguasai beberapa
pulau di Laut China Selatan yang saat itu diduduki oleh Jepang selama Perang Dunia II, lalu
setelah didirikanya bagian Republik Rakyat China/Tiongkok pada tahun 1949, pasukan
kuomintang pergi ke Taiwan dan pemerintah komunis menyatakan dirinya sebagai
perwakilan yang mewarisi semua wilayah maritim tersebut. Klaim historis ini dikenal dengan
“Nine dash line” atau Sembilan garis putus-putus. Klaim sepihak oleh Tiongkok ini tentu
bertentangan dengan hukum internasional yang ditetapkan United Nations Convention on the
Law of the Sea (UNCLOS) yang menyatakan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dimana
wilayah perairan berjarak 200 mil dari tepi pantai dan selebihnya merupakan wilayah
perairan internasional [ CITATION Jun16 \l 1033 ].
Selain Tiongkok, negara yang ada di sekitaran Laut China Selatan ini menjadi aktor
dari adanya perselisihan baik claimant-states maupun non claimant-states, dimana negara-
negara tersebut melakukan klaim yang berbeda. Tiongkok, Taiwan dan Vietnam cenderung
melakukan klaim menyeluruh terhadap kepulauan Spratly dan Paracel, sementara negara
Filipina dan Malaysia mengklam beberapa pulau, karang, dan atol, lalu Brunei yang
melakukan klaim terhadap Louisa Reef [ CITATION Usm97 \l 1033 ].

Munculnya perseteruan antara Tiongkok dengan Vietnam dan Filipina

Konflik dan perseteruan banyak bermunculan setelah adanya klaim “nine dash line”
pemerintah Tiongkok, klaim tersebut dibantah oleh pemerintah negara Vietnam yang juga
mengklaim kedaulatan wilayah tersebut. Kemudian pemerintah Vietnam mengklaim dengan
dokumen negara menyatakan bahwa sejak abad ke-17 kepulauan Spratly dan Paracel masuk
wilayah mereka, bukan wilayah Tiongkok. Filipina juga melakukan klaim terhadap dua
sebagian kepulauan Spratly yang berpotensi itu dengan dasar kedekatan geografisnya. Dari
sekian negara yang menjadi claimant-states, Filipina termasuk negara yang paling kukuh dan
keras dalam menolak klaim historis Tiongkok tersebut, dimana Filipina mulai mengajuan
gugatan arbitrasi pada Permanent Court of Arbitration (PCA) di Belanda yang menghasilkan
pernyataan bahwa klaim “Nine dash line” Tiongkok tidak memiliki landasan hukum dan
tidak sesuai dengan aturan hukum internasional, Tiongkok juga dinyatakan telah melakukan
pelanggaran atas hal-hak kedaulatan Filipina. Hasil dari PCA ini sebagian mendukung
Filipina dan menuding Tiongkok telah melakukan kerusakan lingkungan dengan membangun
pulau-pulau buatan tanpa izin yang jelas. Keputusan PCA juga mempertegas bahwa negara
sebenarnya tidak boleh memberikan klaim atas kedaulatan maritimnya selain yang ditetapkan
Konvensi Hukum Laut pada tahun 1982. Setelah putusan PCA dikeluarkan, lagi-lagi
pemerintah Tiongkok tidak mengindahkan dan justru menyatakan bahwa hal ini tidak akan
mempengaruhi terirorial dan hak terhadap maritimnya di Laut China Selatan, bahkan mereka
makin memperkuat upayanya dalam pemanfaatan pulau-pulau yang ada di kawasan tersebut.
Konflik yang bermunculan semakin memanas saat pemerintah Tiongkok memberi
peringatan kepada claimant-states Laut China Selatan untuk berhenti mengeksplorasi minyak
bumi, gas alam, dan mineral di kawasan tersebut, dimana suasana makin memuncak saat
Filipina turut memperkeruh suasana dengan menuduh Angkatan Laut Tiongkok telah
membangun kawasan militer dan memperkuat kemiliterannya di kepulauan Spratly,
sementara Vietnam mengaku Angkatan Laut Tiongkok dengan sengaja menyabotase kegiatan
ekesplorasi Vietnam di kawasan Laut China Selatan dan menimbulkan protes anti-cina
massal di Vietnam pada tahun 2014 di beberapa daerah yaitu Hanoi, Da Nang, Can Tho, dan
Ho Chi Minh dimana para apekerja melakukan demonstrasi dan pemogokan kerja atas dasar
klaim China yang mengerahkan anjungan minyak dalam sengketa. Vietnam juga melakukan
penudingan terhadap Tiongkok yang telah melakukan provokasi mengadakan pelatihan
militer dan menggunakan alat dan peluru di bagian lepas pantai negaranya [ CITATION Roz131 \l
1033 ].
Provokasi dan konflik masih berlanjut karena angkatan laut Tiongkok
memperlihatkan perilaku agresif terhadap angkatan laut Filipina dan Vietnam. Konflik ini
kian berlanjut dan membuat aksi saling cegah dan saling usir kapal di kawasan perairan
mereka meningkat. Hal ini justru memicu konflik awal berskala rendah terancam memiliki
resolusi konflik yang tinggi. Dalam menghadapi konflik ini, Tiongkok memiliki banyak
strategi yang terus diperkuat setiap masa, salah satu taktik yang digunakan Tiongkok adalah
“Salami slicing technique” dimana mereka akan memecah belah wilayah dan menaklukannya
untuk mendominasi wilayahnya perlahan tapi pasti seperti mengiris salami yaitu sepotong
demi sepotong. Aksi ini berhubungan dengan operasi militer Tiongkok yang meyakini akan
menghindari perhatian global dan pelan tapi pasti akan menghasilkan keuntungan strategis
[ CITATION Sud14 \l 1033 ].
Keterlibatan Amerika Serikat dalam Konflik LCS

Pemerintah Amerika Serikat turut tertarik pada kawasan Laut China Selatan dan
meyakini kawasan ini sebagai jalur perairan yang penting bagi kapal-kapal komersial dan
militernya untuk menuju Samudera Hindia. Amerika Serikat memiliki 2 prinsip kepentingan
yaitu akses laut (sea lane) dan stabilitas. Prinsip pertama yaitu AS menganggap mereka
memiliki kepentingan yng kuat untuk menjaga akses pelayaran di kawasan Laut China
Selatan, mereka menyatakan semua negara membutuhkan adanya kebebasan maritim untuk
pelayaran. Hal ini sangat penting bagi mereka karena hal ini jelas akan mendukung dinamika
ekonomi pada kawasan perdagangan internasional dan intra-regional. Selain itu, kebebasan
pelayaran ini juga akan memudahkan Amerika Serikat dalam memyediakan jaminan
keamanan dan memperkuat kemiliteran untuk kawasan Asia dan seluruh dunia. Prinsip kedua
adalah kepentingan stabilitas dan keamanan yang akan menjamin kesejahteraan bukan hanya
di Amerika Serikat, namun juga di Asia. Itulah mengapa bagi pemerintah AS, jika wilayah ini
dilanda perseteruan dan konflik akan menghambat dan melemahkan dunia dari kesejahteraan
karena dianggap membuang Sumber Daya, menuruknkan volume perdagangan serta investasi
internasional. Kebijakan Amerika Serikat terhadap Laut China Selatan memang sudah
direncanakan sejak pertengahan tahun 1990 [ CITATION Ali17 \l 1033 ].
Walaupun pemerintah AS awalnya menyatakan keterlibatannya dalam sengketa Laut
China Selatan adalah upaya untuk mencegah dan menjaga kebebasan navigasi kapal-kapal
yang melintasi perairan internasional, mencegah sengketa kawasan dengan bersikap netral
dengan tidak mendukung pihak manapun dalam sengketa ini. Namun pada akhirnya, upaya
yang dilakukan Amerika Serikat juga diikuti dengan aktivitas kerjasama kemiliteran di
wilayah Laut China Selatan. Selain membangun kerjasama militer, kehadiran AS juga berupa
eksplorasi sumber daya alam minyak bumi dan gas alam, dimana tahun 2011 terdpat
perusahaan Amerika Serikat yang melakukan survey pengeboran minyak yang dijalankan
bersama perusahaan nasional Vietnam.
Dugaan lain yang memperkuat alasan keterlibatan AS yang bekerja sama dengan
Vietnam dan Filipina ini memiliki tujuan untuk mengimbangi kekuatannya terhadap
Tiongkok. Strategi ini dilakukan AS dengan mengintervensi kawasan Laut China Selatan
yang mungkin akan menyebabkan adanya teori deteransi dan menghasilkan situasi status quo
dua negara dengan kekuatan militer terbesar yaitu Tiongkok dan AS[ CITATION Dar17 \l 1033 ].
Bagian III
Dampak Konflik Laut China Selatan

Dalam setiap konflik dan permasalahan yang terjadi, tidak dapat dihindari bahwa
setiap negara yang terlibat pasti memiliki kepentingannya masing-masing. Konflik yang
terjadi pada kawasan Laut China Selatan ini membuktikan bahwa negara yang terlibat dalam
persengketaan ini memiliki tujuan dan kepentingan untuk menciptakan keuntungan. Dalam
menapai kepentinganya, konflik ini memiliki banyak dampak atau implikasi yang
memengaruhi aktor-aktor negara yang bersangkutan. Dampak konflik ini yaitu memicu
ketegangan negara yang bersangkutan, khususnya China dengan negara ASEAN. Hal ini jelas
akan merusak dan mempengaruhi hubungan kerjasama antar-negara baik bilateral maupun
multilateral. Mengingat bahwa China sendiri adalah negara yang memiliki pengaruh besar
dalam perdagangan dan ekonomi dunia terutama ASEAN. Mari kita ambil salah satu contoh
dampak dari konflik ini dengan Indoneisa.
Dampak ekonomi jelas bisa dirasakan oleh negara kita terutama pada sektor
perdagangan ekspor-impor karena perairan Laut China Selatan ini merupakan jalan masuk
utara jalur perdagangan yang masuk ke Indonesia, dan konflik ini mengakibatkan adanya
pembatasan wilayah tertentu sehingga kapal yang mengangkut barang perdagangan akan
kesulitan untuk melintasi perairan tersebut. Hal ini akan berimbas kepada Indonesia yang
mengandalkan ekonomi negara dengan kegiatan perdagangan ekspor-impor ini. Mungkin saja
bukan hanya dirasakan oleh negara Indonesia, namun juga dirasakan oleh negara lain yang
bersangkutan dengan konflik ini. Selain dampak ekonomi, dampak politik juga ditimbulkan
dari adanya konflik ini, dimana Amerika Serikat turut melakukan intervensi terhadap
sengketa ini yang memicu ekskalasi konflik, dimana seharusnya konflik ini bisa diselesaikan
dengan cara politis oleh dengan negara-negara yang bersengketa yaitu ASEAN dan China.
Dampak selanjutnya yang dikhawatirkan akan muncul yaitu terjadinya peperangan di
perairan Laut China Selatan yang akan berimbas kepada kehancuran dan rusaknya aset
bagian-bagian wilayah Laut China Selatan.
Besar harapan penulis untuk melihat kemajuan positf dan solusi dari adanya konflik
ini. Penyelesaian sengketa harus tetap diupayakan untuk menjaga stabilitas dan perdamaian
global. Mungkin saja aka nada perkembangan positif suatu saat dimana negara yang
bersangkutan memiliki prinsip yang berpijak pada hukum internasional yang telah ditetapkan
dan tidak melanggar dan merugikan negara lain.
Referensi

Darmawan, A. B., & Ndadari, G. L. (2017). Keterlibatan Amerika Serikat dalam Sengketa
Laut Tiongkok Selatan. Jurnal Hubungan Internasional Vol.6.

Djuyandi, Y., Illahi, A. Q., & Aurel, A. C. (2020). Konflik Laut China Selatan Serta
Dampaknya Atas Hubungan Sipil. Jurnal Ilmiah Muqoddimah: Jurnal Ilmu Sosial,
Politik dan Hummaniora, 112-124.

Hayton, B. (2014). The South China Sea: the struggle of power in Asia. Yale University
Press.

Junef, M. (2016). Sengketa Wilayah Maritim di Laut Tiongkok Selatan. Jurnal Penelitian
Hukum, 219-240.

Maksum, A. (2017). Regionalisme dan Kompleksitas Laut China Selatan. Jurnal Sospol, Vol.
3 No. 1, 1-25.

Noor, S., & Rizal, A. (2015). Sengketa Laut Cina & Kepulauan Kuril. Makassar: Pustaka
Pena Press.

Roza, R., Nainggolan, P., & Muhamad, S. V. (2013). Konflik Laut China Selatan dan
Implikasinya terhadap Kawasan. Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi
(P3DI).

Sudira, I. N. (2014). Konflik Laut Cina Selatan dan Politik Luar Negeri. Jurnal Ilmiah
Hubungan Internasional, 10(2).

Usman, A., & Sukma, R. (1997). Konflik Laut Cina Selatan: Tantangan bagi ASEAN. Centre
for Strategic and International Studies.

Anda mungkin juga menyukai