1
biasanya jam segini ayah sudah pulang dan beristirahat. Nanti sore baru ia akan pergi ke
kantor lagi. Ibu? Ibu juga tak terlihat batang hidungnya. Kemana mereka?
“Naria, ada apa?” ujar kakakku yang tiba-tiba muncul.
“Wah, kak Arina. Kakak mengagetkanku saja. Begini kak, aku mencari ayah, tetapi
sejak tadi aku tak melihat ayah. Bahkan ibu juga tak terlihat sejak tadi. Apakah kakak tau
ayah dan ibu ada dimana?” tanyaku pada kak Arina.
“Ayah dan ibu pergi. Tapi, kakak tak tau mereka pergi kemana. Saat kakak pulang
sekolah tadi mereka sudah tak ada. Lebih baik sekarang kau segera mengganti bajumu,
makan siang, dan beristirahat. Kau pasti lelah habis pulang sekolah dengan berjalan kaki.”
ujar kak Arina sambil melangkah menuju kamar tidurnya.
“Baiklah kak.” ucapku.
1
menjadi kenyataan. Setelah beberapa hari semenjak kejadian itu. Aku merasa takut. Aku
takut mimpi itu aka menjadi kenyataan. Aku tak ingin itu terjadi. Sapu tangan dengan bercak
darah itu selalu aku temukan. Di meja makan bahkan aku pernah melihat banyak sekali darah
di kamar mandi. Apa kejadian ini hanya imajinasiku saja? Apa sekarang aku sedang
bermimpi?
Dua hari kemudian.
“Arghhhh! Sakit. Sangat sakit sekali.”
“Cepat bawa ia ke rumah sakit sekarang. Penyakit itu kambuh lagi. Cepat! Aku tidak
ingin terjadi sesuatu terhadapnya. Walaupun tidak ada alternatif lain. Penyakit itu harus
diobati dan ia harus sembuh. Bagaimana pun caranya.”
“Nasi sudah menjadi bubur. Tidak ada lagi yang dapat menyelamatkannya. Kecuali atas
keajaiban dari tuhan.”
“Tetapi, aku tidak bisa menerima ini! Bagaimana pun caranya. Penyakit ini harus
diobati. Bagaimana pun caranya. Nyawanya harus diselamatkan.”
“Pihak rumah sakit sudah berusaha semaksimal mungkin. Mereka sudah angkat tangan
dengan penyakit ini.”
Aku bermimpi lagi. Mimpi itu datang lagi, yang lebih parahnya adalah mimpi itu
seperti nyata dan berakhir sangan menyedihkan. Tuhan, beri aku jawaban atas semua
kejadian yang aku alami. Aku tak ingin mimpi itu menjadi nyata.
Mengapa pagi ini sepi sekali? Ada apa dengan semua orang? Mengapa tidak ada satu
pun orang yang beraktivitas?
“Naria sudah siap untuk pergi sekolah?” ucap seorang laki-laki yang tiba-tiba saja
muncul dari luar rumah. Ternyata ia adalah paman Edi. Mengapa paman Edi ada disini?
Apakah ia akan mengantarku sekolah hari ini? Jika iya, bagaimana dengan kak Arina? Aku
rasa ia sama sekali belum keluar dari dalam kamarnya. Dan ayah, sampai sekarang tidak
terdengar suara dan tak terlihat batang hidungnya.
“Naria ayo kita pergi ke sekolah, bukannya hari ini akan ada pengumuman mengenai
lomba yang kau ikuti waktu itu? Ayo paman yang mengantarmu hari ini.” ucap paman. Aku
hanya terdiam mendengar pernyataan dari paman. Bukankah ayah berjanji akan menemaniku
pada pengumuman hari ini? Mengapa ayah mengingkarinya? Apa yang sebenarnya terjadi?
Acara pun sudah dimulai, yang berarti bahwa sebentar lagi pengumuman hasil lomba
akan diumumkan. Hatiku sangat berdebar-debar antara rasa cemas maupun kecewa. Aku
1
cemas akan hasil lomba itu. Disisi lain aku kecewa karena ayah tidak datang pada acara hari
ini.
“Baiklah bapak-bapak, ibu-ibu dan adek-adek sekalian. Saya akan mengumumkan juara
dari lomba matematika yang belum lama ini berlangsung.” ucap panitia.
“Dan juara satu lomba matematika ini diraih oleh…. Naria Analisa kepada sang juara
dipersilahkan maju kedepan untuk mengambil hadiah dan piala dari panitia penyelenggara
lomba.” ucap panitia itu. Apa? Orang itu memanggil namaku? Aku mendapat juara satu? Ya
tuhan, aku benar-benar tidak percaya akan ini. Sangat senang. Kata itu yang mewakili
perasaanku sekarang. Ternyata hasilnya sangat memuaskan. Aku mendapat juara dan juga
sebuah piala. Ayah, andai saja kau datang hari ini. Pasti kau akan memelukku dan memberiku
ucapan selamat. Aku ingin segera cepat pulang, aku ingin memberi tahu kabar yang sangat
membahagiakan ini kepada ayah, ibu, dan kak Arina. Mereka pasti senang mendengar kabar
ini, terutama ibu. Ia pasti bangga mendengar kabar ini.
Setelah aku menerima hadiah dan piala. Aku turun dari panggung dan pergi
mengampiri ibu guruku. Aku berterimakasih kepadanya. Tanpanya aku tak bisa mendapatkan
juara, hadiah, dan piala ini. Karena jasanyalah aku bisa mendapatkan semua ini. Ternyata,
teman-temanku juga hadir disini. Mereka memberi selamat kepadaku dan kami sedikit
berbincang-bincang mengenai hal ini. Saat sedang berbincang-bincang dangan teman-
temanku. Paman Edi mendatangiku. Ia berkata bahwa aku harus segera pulang kerumah.
Wah, berarti aku bisa cepat-cepat memberi tahu kabar ini kepada ayah, ibu, dan kak Arina.
Mana sekarang sudah jam 17.30 hari semakin gelap dan aku haru segera cepat-cepat.
Disepanjang perjalanan menuju rumah., aku tersenyum bahagia. Aku sangat senang.
Sesampainya aku di rumah. Mengapa banyak sekali orang-orang disini? Ada apa?
Mengapa banyak isak tangis yang terjadi disini? Ada apa sebenarnya?
“Naria, jangan menangis ya, Nak. Walau Ibu sudah tak ada, masih ada ayah, kakak,
nenek, dan paman Edi. Jangan menangis ya, Nak.” ucap ayah dengan memelukku sambil
menahan air matanya, namun air mata bercucuran menetes sangat banyak.
Apa? Ibu sudah tiada? Mengapa secepat ini? Ya Tuhan, mengapa kau mengambil
nyawa ibuku secepat ini? Aku sangat menyayanginya. Mengapa kau tega ya Tuhan? Ternyata
pemilik sapu tangan bercak darah itu adalah ibu. Aku tak pernah percaya bahwa ibu akan
pergi secepat ini. Aku tidak pernah tau bahwa ibu mengidap penyakit kanker otak stadium
empat. Mimpi yang selalu menghantuiku setiap malam, mimpi yang berisi tentang kepergian
orang yang aku sayangi. Mimpi itu benar-benar terjadi sekarang. Mimpi dimana hari ini.
Senin, 30 April 2007, tepatnya jam 05.00 tadi Subuh ibu sudah pergi untuk selamanya. Aku
1
kehilangan seseorang yang paling aku sayangi. Ya, ia adalah ibuku. Ibu mengapa sangat
cepat sekali? Mengapa ibu tega meninggalkan aku disini, Bu? Padahal, aku mempunyai kabar
bahagia untukmu. Ibu hari ini aku meraih juara satu lomba matematika. Ibu tidakkah kau
senang dengan prestasi ini. Aku berharap kau ada disini ibu. Berada disampingku. Memberi
senyumanmu yang sangat manis itu. Memberiku pelukkanmu yang sangat hangat itu. Selamat
jalan ibu. Terimakasih atas perjuanganmu selama ini. Ibu, aku akan selalu merindukanmu.
Ibu aku berjanji akan menjadi orang sukses suatu hari kelak. Ibu aku akan selalu mengingat
nasihatmu itu. Ibu, aku menyayangimu ibu. Sangat menyayangimu.