Anda di halaman 1dari 5

Saat Fajar menjadi Lembayung

“Tidakk!” Aku terbangun dari mimpi burukku.


Mimpi itu tergambar jelas dipikiranku. Mimpi yang selalu menghantuiku tiap malam.
Sambil mengatur nafas, aku segera beranjak dari tempat tidurku dan segera pergi ke dapur
untuk mengambil segelas air. Saat di dapur, aku bertemu dengan seorang perempuan.
Perempuan itu adalah kakakku. Dia adalah satu-satunya saudara yang kumiliki. Ia bernama
Arina. Dan aku bernama Naria.
Setelah dari dapur, aku segera membersihkan diri dan bersiap-siap untuk pergi ke
sekolah. Selang beberapa menit, aku pun selesai dan siap untuk pergi ke sekolah. Saat sedang
mengikat tali sepatu, ibu memanggilku. Ia menyuruhku untuk segera menghabiskan
sarapanku. Saat sedang makan, tiba-tiba.
“Uhuk..uhuk.” ibuku terbatuk dan mengeluarkan darah disapu tangannya.
“Ibu, ibu baik-baik saja bukan?” tanyaku.
“Ya anakku, ibu baik-baik saja. Tak usah khawatir.” tutur ibu.
Setelah selesai sarapan. Aku dan kakakku pergi ke sekolah. Tak banyak perbincangan
yang terjadi, hanya saja ibu berpesan kepada kami “Belajarlah dengan rajin, agar nanti
menjadi orang sukses”. Aku tersenyum sambil melambaikan tangan kearah ibu. Ibu
membalas lambaian tanganku dengan senyum manisnya. Sampai bayangan kami tak terlihat
lagi. Saat lagi diperjalanan aku masih teringat tentang ibu tadi pagi. Aku takut terjadi apa-apa
pada ibu.
“Teeett..teeett” bel sekolah pun berbunyi. Menandakan bahwa jam masuk telah tiba.
Saat sedang belajar, ibu guru memanggilku. Ia berkata bahwa tiga hari lagi akan diumumkan
hasil lomba matematika yang belum lama ini aku ikuti. Ia juga berkata bahwa aku harus
memberitahu kepada orang tuaku, agar mereka datang untuk menghadiri acara tersebut. Wah
pengumuman itu sebentar lagi. Aku sangat tidak sabar akan hasilnya, semoga saja aku
mendapatkan juara.
Sepulang sekolah, aku tak sabar ingin memberitahu kepada ayah berita ini. Aku harus
cepat berjalan agar cepat sampai kerumah. Ya, setiap hari aku pulang sekolah dengan
berjalan kaki. Tetapi, bila pergi ke sekolah aku diantar oleh ayahku. Sesampainya aku
dirumah, aku langsung mencari keberadaan ayah. Hmm. Tetapi, sejak dari tadi aku mencari
keberadaan ayah. Mengapa batang hidungnya tak terlihat? Apa ayah belum pulang? Tetapi

1
biasanya jam segini ayah sudah pulang dan beristirahat. Nanti sore baru ia akan pergi ke
kantor lagi. Ibu? Ibu juga tak terlihat batang hidungnya. Kemana mereka?
“Naria, ada apa?” ujar kakakku yang tiba-tiba muncul.
“Wah, kak Arina. Kakak mengagetkanku saja. Begini kak, aku mencari ayah, tetapi
sejak tadi aku tak melihat ayah. Bahkan ibu juga tak terlihat sejak tadi. Apakah kakak tau
ayah dan ibu ada dimana?” tanyaku pada kak Arina.
“Ayah dan ibu pergi. Tapi, kakak tak tau mereka pergi kemana. Saat kakak pulang
sekolah tadi mereka sudah tak ada. Lebih baik sekarang kau segera mengganti bajumu,
makan siang, dan beristirahat. Kau pasti lelah habis pulang sekolah dengan berjalan kaki.”
ujar kak Arina sambil melangkah menuju kamar tidurnya.
“Baiklah kak.” ucapku.

Tak lama kemudian…


“Arina, Naria. Kami pulang.” ucap seorang perempuan, suara itu. Ya, suara itu adalah
suara ibu. Berarti ibu dan ayah sudah pulang. Aku segera berlari membuka pintu.
“Ibu, ibu dan ayah dari mana saja? Mengapa lama sekali pulangnya?” tanyaku pada ibu.
“Ayah dan ibu ada urusan yang harus diselesaikan, Nak. Nah, ibu membawakan sesuatu
untukmu dan kak Arina.” ucap ibu sambil memberikanku sebuah plastik yang berisi majalah
dan sebuah buku.
“Wah, Super Junior. Ibu membelikan majalah Super Junior untuk Naria. Terimakasih
ibu.” ucapku sambil memeluk ibu. Aku sangat senang diberi ibu majalah Super Junior. Ya,
aku adalah salah satu penggemar Super Junior dan keluargaku tau itu.
“Iya Naria” ucap ibu sambil membalas pelukanku. “Buku yang ada didalam plastik itu
tolong berikan pada kakakmu ya.” ujar ibu. Buku ini sangat tebal, sehingga sangat berat
untuk dibawa. Sepertinya ini buku Harry Potter yang kakak suka itu. Huft, kak Arina sangat
suka membaca buku. Apalagi buku yang berunsur fiktif. Tak lama dari itu ayah masuk ke
rumah. Aku memberitahunya mengenai pengumuman lomba itu, dan ayah bilang bahwa ia
akan datang pada acara itu.
Saat aku ingin mengantarkan buku ini kepada kakak, aku melihat sebuah sapu tangan
tergeletak tepat disamping meja makan. Sapu tangan siapa ini? Terdapat bercak darah disapu
tangan itu. Darah apa ini? Kemudian aku teringat dengan mimpi itu. Mimpi yang selalu
datang menghantuiku tiap malam. Dalam mimpiku. Aku juga melihat sapu tengan dengan
bercak darah seperti ini. Ya, tepat sekali. Dalam mimpiku sapu tangan ini tergeletak di atas
meja makan. Arghh. Tidak mungkin. Ini tidak mungkin terjadi. Aku berharap mimpi itu tak

1
menjadi kenyataan. Setelah beberapa hari semenjak kejadian itu. Aku merasa takut. Aku
takut mimpi itu aka menjadi kenyataan. Aku tak ingin itu terjadi. Sapu tangan dengan bercak
darah itu selalu aku temukan. Di meja makan bahkan aku pernah melihat banyak sekali darah
di kamar mandi. Apa kejadian ini hanya imajinasiku saja? Apa sekarang aku sedang
bermimpi?
Dua hari kemudian.
“Arghhhh! Sakit. Sangat sakit sekali.”
“Cepat bawa ia ke rumah sakit sekarang. Penyakit itu kambuh lagi. Cepat! Aku tidak
ingin terjadi sesuatu terhadapnya. Walaupun tidak ada alternatif lain. Penyakit itu harus
diobati dan ia harus sembuh. Bagaimana pun caranya.”
“Nasi sudah menjadi bubur. Tidak ada lagi yang dapat menyelamatkannya. Kecuali atas
keajaiban dari tuhan.”
“Tetapi, aku tidak bisa menerima ini! Bagaimana pun caranya. Penyakit ini harus
diobati. Bagaimana pun caranya. Nyawanya harus diselamatkan.”
“Pihak rumah sakit sudah berusaha semaksimal mungkin. Mereka sudah angkat tangan
dengan penyakit ini.”
Aku bermimpi lagi. Mimpi itu datang lagi, yang lebih parahnya adalah mimpi itu
seperti nyata dan berakhir sangan menyedihkan. Tuhan, beri aku jawaban atas semua
kejadian yang aku alami. Aku tak ingin mimpi itu menjadi nyata.

Mengapa pagi ini sepi sekali? Ada apa dengan semua orang? Mengapa tidak ada satu
pun orang yang beraktivitas?
“Naria sudah siap untuk pergi sekolah?” ucap seorang laki-laki yang tiba-tiba saja
muncul dari luar rumah. Ternyata ia adalah paman Edi. Mengapa paman Edi ada disini?
Apakah ia akan mengantarku sekolah hari ini? Jika iya, bagaimana dengan kak Arina? Aku
rasa ia sama sekali belum keluar dari dalam kamarnya. Dan ayah, sampai sekarang tidak
terdengar suara dan tak terlihat batang hidungnya.
“Naria ayo kita pergi ke sekolah, bukannya hari ini akan ada pengumuman mengenai
lomba yang kau ikuti waktu itu? Ayo paman yang mengantarmu hari ini.” ucap paman. Aku
hanya terdiam mendengar pernyataan dari paman. Bukankah ayah berjanji akan menemaniku
pada pengumuman hari ini? Mengapa ayah mengingkarinya? Apa yang sebenarnya terjadi?
Acara pun sudah dimulai, yang berarti bahwa sebentar lagi pengumuman hasil lomba
akan diumumkan. Hatiku sangat berdebar-debar antara rasa cemas maupun kecewa. Aku

1
cemas akan hasil lomba itu. Disisi lain aku kecewa karena ayah tidak datang pada acara hari
ini.
“Baiklah bapak-bapak, ibu-ibu dan adek-adek sekalian. Saya akan mengumumkan juara
dari lomba matematika yang belum lama ini berlangsung.” ucap panitia.
“Dan juara satu lomba matematika ini diraih oleh…. Naria Analisa kepada sang juara
dipersilahkan maju kedepan untuk mengambil hadiah dan piala dari panitia penyelenggara
lomba.” ucap panitia itu. Apa? Orang itu memanggil namaku? Aku mendapat juara satu? Ya
tuhan, aku benar-benar tidak percaya akan ini. Sangat senang. Kata itu yang mewakili
perasaanku sekarang. Ternyata hasilnya sangat memuaskan. Aku mendapat juara dan juga
sebuah piala. Ayah, andai saja kau datang hari ini. Pasti kau akan memelukku dan memberiku
ucapan selamat. Aku ingin segera cepat pulang, aku ingin memberi tahu kabar yang sangat
membahagiakan ini kepada ayah, ibu, dan kak Arina. Mereka pasti senang mendengar kabar
ini, terutama ibu. Ia pasti bangga mendengar kabar ini.
Setelah aku menerima hadiah dan piala. Aku turun dari panggung dan pergi
mengampiri ibu guruku. Aku berterimakasih kepadanya. Tanpanya aku tak bisa mendapatkan
juara, hadiah, dan piala ini. Karena jasanyalah aku bisa mendapatkan semua ini. Ternyata,
teman-temanku juga hadir disini. Mereka memberi selamat kepadaku dan kami sedikit
berbincang-bincang mengenai hal ini. Saat sedang berbincang-bincang dangan teman-
temanku. Paman Edi mendatangiku. Ia berkata bahwa aku harus segera pulang kerumah.
Wah, berarti aku bisa cepat-cepat memberi tahu kabar ini kepada ayah, ibu, dan kak Arina.
Mana sekarang sudah jam 17.30 hari semakin gelap dan aku haru segera cepat-cepat.
Disepanjang perjalanan menuju rumah., aku tersenyum bahagia. Aku sangat senang.
Sesampainya aku di rumah. Mengapa banyak sekali orang-orang disini? Ada apa?
Mengapa banyak isak tangis yang terjadi disini? Ada apa sebenarnya?
“Naria, jangan menangis ya, Nak. Walau Ibu sudah tak ada, masih ada ayah, kakak,
nenek, dan paman Edi. Jangan menangis ya, Nak.” ucap ayah dengan memelukku sambil
menahan air matanya, namun air mata bercucuran menetes sangat banyak.
Apa? Ibu sudah tiada? Mengapa secepat ini? Ya Tuhan, mengapa kau mengambil
nyawa ibuku secepat ini? Aku sangat menyayanginya. Mengapa kau tega ya Tuhan? Ternyata
pemilik sapu tangan bercak darah itu adalah ibu. Aku tak pernah percaya bahwa ibu akan
pergi secepat ini. Aku tidak pernah tau bahwa ibu mengidap penyakit kanker otak stadium
empat. Mimpi yang selalu menghantuiku setiap malam, mimpi yang berisi tentang kepergian
orang yang aku sayangi. Mimpi itu benar-benar terjadi sekarang. Mimpi dimana hari ini.
Senin, 30 April 2007, tepatnya jam 05.00 tadi Subuh ibu sudah pergi untuk selamanya. Aku

1
kehilangan seseorang yang paling aku sayangi. Ya, ia adalah ibuku. Ibu mengapa sangat
cepat sekali? Mengapa ibu tega meninggalkan aku disini, Bu? Padahal, aku mempunyai kabar
bahagia untukmu. Ibu hari ini aku meraih juara satu lomba matematika. Ibu tidakkah kau
senang dengan prestasi ini. Aku berharap kau ada disini ibu. Berada disampingku. Memberi
senyumanmu yang sangat manis itu. Memberiku pelukkanmu yang sangat hangat itu. Selamat
jalan ibu. Terimakasih atas perjuanganmu selama ini. Ibu, aku akan selalu merindukanmu.
Ibu aku berjanji akan menjadi orang sukses suatu hari kelak. Ibu aku akan selalu mengingat
nasihatmu itu. Ibu, aku menyayangimu ibu. Sangat menyayangimu.

Anda mungkin juga menyukai