Anda di halaman 1dari 3

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Gizi merupakan kebutuhan dasar bagi seorang anak untuk berkembang secara optimal (Setyowati, dkk
2018). Pemberian gizi yang tepat pada 1000 hari pertama kehidupan dapat menentukan kualitas hidup
anak baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Seribu hari pertama kehidupan dimulai
sejak masa selama kehamilan 270 hari (9 bulan) dalam kandungan dan 730 hari (2 tahun pertama) pasca
lahir. Pemberian gizi yang tidak tepat yang terjadi pada awal kehidupan akan berdampak berat pada
kehidupan selanjutnya (IDAI, 2015).

Ketidakcukupan atau kelebihan zat gizi pada periode usia 0-2 tahun umumnya ireversibel yang akan
bcrdampak pada kualitas hidup jangka pendek dan jangka panjang. Status gizi bayi dan balita merupakan
salah satu indikator gizi masyarakat dan telah dikembangkan menjadi salah satu indikator kesehatan dan
kesejahteraan masyarakat. Hal ini dikarenakan kelompok bayi dan balita sangat rentan terhadap
berbagai penyakit kekurangan gizi (Naim dkk 2017).

Masa anak balita merupakan kelompok yang rentan mengalami kurang gizi salah satunya adalah
stunting (Aridiyah, dkk 2015). Stunting merupakan salah satu karakteristik yang menandakan terjadinya
masalah gizi yang berulang dan dalam waktu yang lama (Dewi & Aminah. 2016). Stunting adalah bentuk
kegagalan pertumbuhan (growth faltering) akibat akumulasi ketidakcukupan nutrisi yang berlangsung
lama mulai dari kehamilan sampai usia 24 bulan (Mitra, 2015).

Prevalensi stunting berdasarkan data WHO (2018), pada tahun 2017, 22,2 % atau sekitar 150,8 juta di
dunia mengalami stunting. Angka ini mengalami penurunan jika dibandingkan prevalensi stunting pada
tahun 2015 sebesar 23,20% (WHO, 2018). Adanya 178 juta anak di dunia yang terlalu pendek
berdasarkan usia dibandingkan dengan pertumbuhan standar WHO, stunting menjadi indikator kunci
dari kekurangan gizi kronis, seperti pertumbuhan yang melambat, perkembangan otak tertinggal dan
sebagai hasilnya anak-anak stunting lebih mungkin mempunyai daya tangkap yang lebih rendah
(Swathma, dkk, 2016).

Kejadian balita stunting (pendek) merupakan masalah gizi utama yang dihadapi Indonesia. Indonesia
termasuk ke dalam Negara ketiga dengan prevalensi tertinggi di regional Asia Tenggara/South-East Asia
Regional (SEAR). Berdasarkan data Pemantauan Status Gizi (PSG) selama tiga tahun terakhir, prevalensi
stunting mengalami peningkatan dari tahun 2016 sebesar 27,5 % menjadi 29,6 % pada tahun 2017
(Kemenkes, 2013).

Proses terjadinya stunting pada anak di suatu wilayah atau daerah miskin dimulai sejak usia sekitar 6
bulan dan muncul utamanya pada dua sampai tiga tahun awal kehidupan serta berlangsung terus
sampai usia 18 tahun. Stunting yang terjadi dalam usia 36 bulan pertama biasanya disertai dengan efek
jangka. Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) merupakan prediktor terkuat terjadinya stunting
pada anak usia 12 bulan (Swathma, dkk, 2016). Prevalensi balita stunting menjadi masalah kesehatan
masyarakat jika prevalensinya 20% atau lebih, persentase balita stunting di Indonesia masih tinggi dan
merupakan masalah kesehatan yang harus ditanggulangi (Kemenkes, 2013).
Masalah kesehatan stunting salah satunya disebabkan oleh pemberian MP-ASI yang terlalu cepat atau
pemberian gizi yang tidak seimbang. Status gizi anak dapat dipengaruhi oleh faktor langsung dan tidak
langsung. Faktor langsung yang berhubungan dengan stunting yaitu karakteristik anak berupa jenis
kelamin laki-laki, berat badan Iahir rendah, konsumsi makanan berupa asupan energi rendah dan asupan
protein rendah, faktor langsung lainnya yaitu status kesehatan penyakit infeksi ISPA dan diare (Mugianti,
dkk, 2018). Pola pengasuhan tidak ASI ekslusif, karakteristik keluarga berupa pekerjaan orang tua,
pendidikan orang tua, status ekonomi keluarga serta pelayanan kesehatan berupa status imunisasi yang
tidak lengkap merupakan faktor tidak langsung yang mempengaruhi stunting (Oktarina & Sudiarti,
2013). Kelengkapan imunisasi berpengaruh signifikan terhadap stunting. Imunisasi memiliki efek
kekebalan tubuh terhadap manusia,dibutuhkan terutama pada usia dini yang merupakan usia rentan
terkena penyakit (Swathma, dkk, 2016).

Menurut UNICEF Indonesia, terdapat berbagai hambatan yang menyebabkan angka balita stunting usia
6-23 bulan di Indonesia. Salah salah satu hambatan utamanya adalah pengetahuan yang tidak memadai
dan praktik-praktik gizi yang tidak tepat. Secara khusus dijelaskan bahwa pengetahuan dan praktik yang
mcnjadi hambatan utama adalah pemberian ASI ekslusif yang masih sangat kurang dan rendahnya
pemberian makanan pendamping yang sesuai (Dewi & Aminah, 2016). Pemberian edukasi gizi sebagai
suatu proses yang formal untuk melatih kemampuan klien atau meningkatkan pengetahuan klien dalam
memilih makanan, aktifitas fisik, dan perilaku yang berkaitan dengan pemeliharaan atau perbaikan
kesehatan (Dcwi & Aminah, 20l6).

Pemeliharaan kesehatan kepada keluarga khususnya pada orang tua merupakan peran kita sebagai
perawat dalam memberikan asuhan kepcrawatan khusunya melalui pendidikan. Untuk membina dan
meningkatkan kesehatan masyarakat, salah satu upaya yang dapat dilakukan yaitu melalui pcndidikan
kesehatan. Pendidikan kesehatan adalah kombinasi pengalaman belajar yang direncanakan berdasarkan
teori yang menyediakan kesempatan bagi individu, kelompok dan masyarakat untuk memperoleh
informasi dan keterampilan yang dibutuhkan untuk membuat keputusan kesehatan yang berkualitas
(Naim, dkk, 2017).

Anda mungkin juga menyukai