Anda di halaman 1dari 53

PROPOSAL SKRIPSI

HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN IBU DENGAN


PERILAKU SWAMEDIKASI DIARE PADA ANAK
BALITA DI DESA KACANGAN

Diajukan Untuk Menyusun Skripsi


Dalam Program Studi Farmasi
Universitas Sahid Surakarta

Disusun Oleh:

IMA NURCAHYANI
NIM. 2017141009

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS SAINS, TEKNOLOGI, DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS SAHID SURAKARTA
2020
LEMBAR PERSETUJUAN

HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN IBU DENGAN


PERILAKU SWAMEDIKASI DIARE PADA ANAK BALITA
DI DESA KACANGAN

Disusun Oleh :

IMA NURCAHYANI
NIM. 2017141009

Proposal Skripsi ini telah disetujui untuk disusun dan ditindaklanjuti


Pada tanggal

Pembimbing I Pembimbing II

apt. Reni Ariastuti, M.Sc apt. Khotimatul Khusna, M.Sc


NIDN. 0618018901 NIDN.0605078703

Mengetahui,
Ketua Program Studi

apt. Khotimatul Khusna, M.Sc


NIDN. 0605078703

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua sehingga penulis dapat
menyelesaikan proposal skripsi yang berjudul “HUBUNGAN TINGKAT
PENDIDIKAN IBU DENGAN PERILAKU SWAMEDIKASI DIARE PADA
ANAK BALITA DI DESA KACANGAN”.
Selain itu, proposal skripsi ini juga bertujuan untuk menambah wawasan
tentang perilaku swamedikasi diare pada anak balita bagi para pembaca dan juga
bagi penulis. Dalam penyusunan proposal skripsi ini, penulis sadar keberhasilan
ini atas pertolongan Yang Maha Kuasa, orang tua dan orang-orang yang terlibat
secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu penulis mengucapkan
terima kasih kepada :
1. Dr. Ir. Mohamad Harisudin, M.Si., Rektor Universitas Sahid Surakarta,
yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti perkuliahan di
Unversitas Sahid Surakarta.
2. Sri Huning Anwariningsih, ST., M.Kom., Wakil Rektor II yang telah
memberikan kesempatan untuk mengikuti perkuliahan di Unversitas Sahid
Surakarta.
3. Ir. Dahlan Susilo, M.Kom., Wakil Rektor III yang telah memberikan
kesempatan untuk mengikuti perkuliahan di Unversitas Sahid Surakarta.
4. Firdhaus Hari Saputro A. H., ST., M.eng selaku Dekan Fakultas Sains
Teknologi dan Kesehatan Universitas Sahid Surakarta.
5. apt. Khotimatul Khusna, M.Sc., selaku Ketua Program Studi Farmasi
Universitas Sahid Surakarta sekaligus pembimbing pendamping dalam
pelaksanaan penyusunan proposal.
6. apt. Reni Ariastuti, M.Sc., selaku pembimbing utama dalam pelaksanaan
penyusunan proposal.
7. apt. Risma Sakti Pambudi, M.Sc., selaku pembimbing Akademik
Universitas Sahid Surakarta.

iii
8. Para Dosen, staff dan karyawan di Fakultas Sains Teknologi dan
Kesehatan Universitas Sahid Surakarta.
9. Teman-teman yang telah mendukung dalam penulisan proposal skripsi.
10. Diri sendiri karena tak pernah memutuskan untuk menyerah sesulit apapun
proses penyusunan proposal skripsi ini.
Dalam penyusunan proposal skripsi ini, penulis menyadari sepenuhnya
bahwa proposal skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan karena pengalaman dan
pengetahuan penulis yang terbatas. Oleh karena itu, kritik dan saran dari semua
pihak sangat penulis harapkan demi terciptanya proposal skripsi yang lebih baik
lagi untuk masa mendatang.

Surakarta, Januari 2021

Penulis

iv
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL ................................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN ....................................................................... ii
KATA PENGANTAR ................................................................................ iii
DAFTAR ISI ............................................................................................... v
DAFTAR TABEL ....................................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. viii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... ix
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................... 3
1.3 Tujuan Penelitian ..................................................................... 3
1.4 Manfaat Penelitan ..................................................................... 3
1.4.1 Manfaat Bagi Masyarakat ............................................ 3
1.4.2 Manfaat Bagi Institusi .................................................. 3
1.4.3 Manfaat Bagi Peneliti ................................................... 4
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diare ...................................................................................... 5
2.1.1 Pengertian Diare ......................................................... 5
2.1.2 Klasifikasi Diare ........................................................ 5
2.1.3 Etiologi Diare ............................................................ 7
2.1.4 Penularan Diare .......................................................... 9
2.1.5 Tanda dan Gejala Diare ............................................. 10
2.1.6 Cara Mengatasi Diare ............................................... 11
2.2 Swamedikasi .......................................................................... 14
2.2.1 Definisi Swamedikasi ................................................ 14
2.2.2 Penggolongan Obat untuk Swamedikasi ................... 15
2.2.3 Kelebihan dan kerugian Swamedikasi ...................... 16
2.2.4 Faktor Penyebab Swamedikasi .................................. 17

v
2.2.5 Penggunaan Obat yang Rasional ............................... 18
2.3 Pendidikan ............................................................................. 23
2.3.1 Pengertian Pendidikan ............................................... 23
2.3.2 Cara Mengukur Tingkat Pendidikan .......................... 23
2.3.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pendidikan ........ 24
2.4 Landasan Teori ...................................................................... 25
2.5 Kerangka Konsep ................................................................... 26
2.6 Hipotesis ................................................................................ 26
BAB III. METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian ............................................................. 27
3.2 Populasi dan sampel............................................................... 27
3.2.1 Populasi ...................................................................... 27
3.2.2 Sampel ........................................................................ 27
3.3 Instrumen Penelitian .............................................................. 28
3.4 Variabel Penelitian ................................................................. 29
3.5 Definisi Operasional .............................................................. 29
3.6 Jalannya Penelitian ................................................................ 30
3.6.1 Tahap Persiapan ......................................................... 30
3.6.2 Tahap Pelaksanaan Penelitian .................................... 30
3.6.3 Teknik Pengolahan Data ........................................... 31
3.7 Analisa Data ........................................................................... 32
3.8 Jadwal Penelitian ................................................................... 33
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 34
LAMPIRAN ............................................................................................... 36

vi
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 3.1 Tingkat Perilaku Swamedikasi ................................................... 32
Tabel 3.2 Jadwal dan Penelitian .................................................................. 33

vii
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 2.1 Kerangka Konsep .................................................................... 26

viii
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
Lampiran 1. Kuesioner ................................................................................ 36

ix
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Swamedikasi merupakan usaha seseorang untuk mengobati dirinya
sendiri. Swamedikasi boleh dilakukan dengan menggunakan obat yang
diperoleh/dibeli tanpa resep dokter baik di apotek maupun toko obat berizin,
yaitu obat bebas dan obat bebas terbatas. Menurut kementrian kesehatan,
sebelum menggunakan obat bebas untuk swamedikasi, masyarakat harus
memperhatikan lima hal yaitu : nama obat dan kandungannya, khasiat obat,
dosis yang diberikan, cara penggunaan, dan apa efek sampingnya
(Kefarmasian, 2019).
Menurut Fuaddah (2015), swamedikasi merupakan pilihan pertama
yang dilakukan masyarakat dalam upaya pemeliharaan kesehatan. Meskipun
merupakan pilihan pertama dalan upaya pemeliharaan kesehatan, kesalahan
dalam melakukan swamedikasi dapat menyebabkan risiko yang dapat
merugikan tubuh. Kesalahan swamedikasi seperti salah mendiagnosis
penyakit, penggunaan pemakaian obat yang salah, dosis yang tidak tepat
dan lama pengobatan, serta tidak mengetahui efek samping dari obat
tersebut Mamo, Ayele, & Dechasa (2018).
Berdasarkan data survei Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2019,
sebesar 71,46% masyarakat Indonesia melakukan swamedikasi. Angka ini
terus naik selama tiga tahun terakhir. Swamedikasi biasanya dilakukan
masyarakat untuk mengatasi keluhan-keluhan dan penyakit ringan.
Diare merupakan salah satu penyakit ringan yang banyak dialami
masyarakat yang bisa diobati sendiri atau di swamedikasi. Meskipun
merupakan penyakit ringan, diare dapat menyebabkan kematian bagi
penderita karena dehidrasi (kekurangan cairan). Dengan demikian,
swamedikasi hanya bisa dilakukan untuk keluhan penyakit ringan salah
satunya yaitu diare akut (diare ringan), dan untuk diare yang kronis (bukan
keluhan penyakit ringan) swamedikasi tidak bisa dilakukan. Hal tersebut

1
2

terjadi karena swamedikasi hanya bisa menyebuhkan keluhan penyakit


ringan penyakit Sarwan & Fachry (2016).
Diare adalah suatu penyakit yang ditandai dengan peningkatan
frekuensi buang air besar sampai lebih dari tiga kali sehari disertai dengan
penurunan konsistensi tinja sampai ke bentuk cair Djunarko & Dian (2011).
Di Indonesia, penyakit diare dikategorikan sebagai penyakit endemis
potensial Kejadian Luar Biasa (KLB) yang sering menyebabkan kematian.
Berdasarkan Riskesdas 2018, kelompok umur dengan prevalansi diare
(berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan) tertinggi yaitu pada kelompok 1-4
tahun sebesar 11,5% dan pada bayi 9%. Kelompok umur 75 tahun ke atas
juga merupakan kelompok dengan nilai prevalansi tinggi yaitu 7,2%.
Berdasarkan catatan cakupan pelayanan diare, pelayanan diare hanya
mampu berkontribusi 40% dari sasaran yang ditetapkan sehingga diare
merupakan salah satu penyakit yang paling banyak menyerang balita.
Penyebab tingkat prevalensi tinggi berdasarkan riskesdas yaitu tingkat
pendidikan yang rendah (Kemkes, 2019).
Notoatmodjo (2003) menyatakan bahwa pendidikan yang rendah
dapat menyebabkan timbulnya pola pemikiran yang irasional dan adanya
kepercayaan-kepercayaan kepada takhayul. Ibu yang seperti ini akan sulit
menerima hal-hal baru. Dengan demikian, tingkat pengetahuan yang
dimiliki ibu dalam terapi diare pada anak juga dipengaruhi oleh tingkat
pendidikan. Tingkat pendidikan ibu berpengaruh terhadap penggunaan obat-
obatan dalam penanganan diare pada anak Anshari, M., (2011).
Pada penelitian mengenai hubungan tingkat pendidikan dan tingkat
ekonomi dengan perilaku swamedikasi sakit kepala oleh ibu-ibu yang
dilakukan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dapat disimpulkan
bahwa terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan pengetahuan,
sikap, dan tindakan swamedikasi sakit kepala. Serta pada penelitian
mengenai hubungan tingkat pendidikan terhadap tingkat pengetahuan orang
tua dalam swamedikasi demam pada anak di Kecamatan Talango,
Kabupaten Sumenep menunjukkan hubungan yang signifikan antara tingkat
3

pendidikan dengan pengetahuan orang tua dalam swamedikasi demam pada


anak.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk
mengetahui hubungan tingkat pendidikan ibu dengan perilaku swamedikasi
diare pada anak balita di Desa Kacangan.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, maka perumusan masalah pada
penelitian ini sebagai berikut “Bagaimanakah hubungan antara tingkat
pendidikan ibu terhadap perilaku swamedikasi diare pada anak balita di
Desa Kacangan tahun 2020? ”.

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui hubungan antara tingkat
pendidikan ibu terhadap perilaku swamedikasi diare pada anak balita di
Desa Kacangan tahun 2020.

1.4 Manfaat Penelitian


Dari hasil penelitian yang dilakukan ini, dapat memberikan beberapa
manfaat sebagai berikut.
1.4.1 Manfaat bagi masyarakat
Sebagai tambahan pengetahuan dan informasi dalam
pengetahuan obat yang baik dan benar dalam upaya swamedikasi
diare.
1.4.2 Manfaat bagi institusi
a. Sebagai tambahan referensi khususnya di bidang kesehatan
dalam swamedikasi diare.
b. Untuk menambah pustaka di perpustakaan Universitas Sahid
Surakarta
4

1.4.3 Manfaat bagi peneliti


Penelitian ini bermanfaat untuk menambah ilmu pengetahuan
serta memperluas wawasan tentang swamedikasi diare
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diare
2.1.1 Pengertian Diare
Menurut Sarwan & Fachry (2016) Diare merupakan salah satu
penyakit ringan yang banyak dialami oleh masyarakat. Penyakit
diare dapat diobati secara swamedikasi atau pengobatan sendiri.
Meskipun penyakit diare merupakan penyakit yang ringan, namun
diare dapat menyebabkan kematian bagi penderita. Hal tersebut bisa
terjadi karena pasien mengalami dehidrasi (kekurangan cairan).
2.1.2 Klasifikasi Diare
Menurut Simadibrata & Daldiyono (2009). Diare dapat
diklasifikasikan berdasarkan :
a. Lama waktu diare
Klasifikasi penyakit diare berdasarkan lama atau durasi waktu
diare. Penyakit diare dapat digolongkan menjadi dua yaitu diare
akut dan diare kronik.
1) Diare akut merupakan diare yang berlangsung kurang dari 15
hari. Menurut World Gastroenterology Organization Global
Guidelines (2005) diare akut merupakan pasase tinja yang
berwujud cair atau lembek dengan jumlah lebih banyak dari
keadaaan sewaktu normal. Diare akut biasanya berlangsung
kurang dari 14 hari. Diare akut dapat sembuh sendiri,
lamanya sakit kurang dari 14 hari, dan akan mereda tanpa
terapi yang spesifik jika dehidrasi tidak terjadi (Wong, 2009).
2) Diare kronik adalah diare yang berlangsung lebih dari 15
hari.
b. Mekanisme patofisiologik

5
Berdasarkan mekanisme patofisiologik yang mendasari
terjadinya diare. Diare dapat diklasifikasikan menjadi beberapa,
antara lain :

6
7

1) Osmolalitas intraluminal yang meninggi disebut sebagai


diare sekretorik. diare sekretonik disebabkan oleh
meningkatnya sekresi air dan elektrolit dari usus serta
menurunnya absorbsi. Secara klinis, diare tipe ini ditemukan
dengan volume tinja banyak sekali. Diare tipe ini akan tetap
berlangsung walaupun dilakukan puasa makan dan minum.
Penyebab diare tipe ini antara lain karena enterotoksin pada
infeksi Vibrio cholerae atau Escherichia coli, penyakit yang
mengahasilkan hormon (VIPoma), reseksi ileum (gangguan
absorbsi garam empedu) dan efek obat laksatif.
2) Sekresi cairan dan elektrolit meninggi disebut sebagai diare
osmotik. Diare osmotik disebabkan oleh meningkatnya
tekanan osmotik intralumen dari usus halus yang disebabkan
obat-obat atau zat kimia yang hiperosmotik, malabsorbsi
umum, dan defek dalam absorbsi mukosa usus. Contohnya
pada defisiensi disakaridase, malabsorbsi glukosa atau
galaktosa.
3) Malabsorbsi asam empedu. Diare tipe ini didapatkan pada
gangguan pembentukan atau produksi micelle empedu dan
penyakit penyakit saluran bilier hati.
4) Defek sistem pertukaran anion atau juga bisa disebut
transport elektrolit aktif di enterosit. Diare tipe ini disebabkan
adanya hambatan mekanisme transpor aktif Na+K+ATPase
di enterosit dan absorbsi Na+ dan air yang abnormal.
5) Motilitas dan waktu transport usus abnormal. Diare tipe ini
terjadi karena adanya hipermotilitas dan iregularitas motilitas
usus sehingga menyebabkan absorbsi yang abnormal.
Penyebabnya antara lain pasca vagotomi dan hipertiroid.
6) Gangguan permeabilitas usus. Diare tipe ini terjadi karena
permeabilitas usus yang abnormal disebabkan adanya
kelainan morfologi membran epitel spesifik pada usus halus.
8

7) Inflamasi dinding usus atau juga bisa disebut diare


inflamatorik. Diare inflamatorik terjadi karena adanya
kerusakan mukosa usus karena proses inflamasi sehingga
,menyebabkan produksi mukus yang berlebihan dan eksudasi
air serta elektrolit ke dalam lumen sehingga terjadi gangguan
absorbsi air dan elektrolit.
8) Infeksi dinding usus, disebut juga sebagai diare infeksi. Diare
ini terjadi karena adanya infeksi oleh bakteri yang merupakan
penyebab tersering dari diare. Dari sudut kelainan usus, diare
oleh bakteri dibagi menjadi invasif (merusak mukosa) dan
bakteri non invasif.
c. Penyakit infektif atau non-infektif.
Diare infektif adalah diare yang disebabkan oleh infeksi.
Diare infeksi dalam hal ini bisa diakibatkan oleh bakteri, virus,
parasit, jamur, maupun infeksi oleh organ lain seperti radang
tonsil, bronchitis, dan radang tenggorokan. Diare non-infektif
adalah diare yang tidak ditemukan agen infeksi sebagai
penyebabnya. Dalam hal ini diare tersebut kemungkinan
disebabkan oleh faktor malabsorbsi, faktor makanan, maupun
faktor psikologis.
d. Penyakit organik atau fungsional
Berdasarkan penyakit organik dan fungsional. Diare dapat
diklasifikasikan menjadi dua yaitu diare organik dan diare
fungsional. Diare organik, adalah diare yang ditemukan
penyebab anatomik, bakteriologik, hormonal ataupun
toksikologi. Diare fungsional, adalah diare yang tidak dapat
ditemukan penyebab organik.
2.1.3 Etiologi Diare
Etiologi diare merupakan penyebab terjadinya diare. Menurut
(Amin, 2015) penyebab diare ada empat hal yaitu :
9

a. Virus Merupakan penyebab diare akut terbanyak pada anak (70-


80%). Beberapa jenis virus penyebab diare akut antara lain
Rotavirus serotype 1, 2, 8, dan 9 pada manusia, Norwalk virus,
Astrovirus, Adenovirus (tipe 40, 41), Small bowel structured
virus, Cytomegalovirus.
b. Bakteri Enterotoxigenic E. coli (ETEC), Enteropatho- genic E.
coli (EPEC), Enteroaggregative E. coli (EAggEC),
Enteroinvasive E. coli (EIEC), Enterohemorrhagic E. coli
(EHEC), Shigella spp., Campylobacter jejuni (Helicobacter
jejuni), Vibrio cholerae 01, dan V. choleare 0139, Salmonella
(non-thypoid).
c. Protozoa Giardia lamblia, Entamoeba histolytica,
Cryptosporidium, Microsporidium spp., Isospora belli,
Cyclospora cayatanensis.
d. Helminths Strongyloides stercoralis, Schistosoma spp.,
Capilaria philippinensis, Trichuris trichuria.
Menurut Kementrian RI (2011), Organisme penyebab diare
biasanya berbentuk renik dan mampu menimbulkan diare yang dapat
dibedakan menjadi 3 jenis berdasarkan gejala klinisnya. Jenis diare
yang pertama yaitu diare cair akut. Diare cair akut akan
menyebabkan balita kehilangan cairan tubuh dalam jumlah yang
besar, sehingga mampu menyebabkan dehidrasi dalam waktu yang
cepat. Jenis diare yang kedua yaitu diare akut berdarah yang sering
disebut dengan disentri. Diare ini ditandai dengan adanya darah
dalam tinja yang disebabkan akibat kerusakan usus. Balita yang
menderita diare berdarah akan menyebabkan kehilangan zat gizi
yang berdampak pada penurunan status gizi. Jenis yang ketiga
adalah diare persisten dimana kejadian diare dapat berlangsung ≥14
hari. Diare jenis ini sering terjadi pada anak dengan status gizi
rendah, AIDS, dan anak dalam kondisi infeksi (WHO, 2010).
10

Beberapa jenis diare tersebut sering disebabkan oleh


organisme renik seperti bakteri dan virus. Beberapa contoh bakteri
patogen yang menyebabkan epidemi diare pada anak yaitu E.coli,
Shigella, Campylobacter, Salmonella dan Vibrio cholera. Kolera
merupakan salah satu contoh kasus epidemik dan sering diidentikkan
dengan penyebab kematian utama pada anak. Namun sebagian besar
kejadian diare yang disebabkan oleh kolera terjadi pada dewasa dan
anak dengan usia yang lebih besar. Diare cair pada anak sebagian
besar disebabkan oleh infeksi rotavirus , V. cholera dan E.coli. Diare
berdarah paling sering disebabkan oleh Shigela (UNICEF dan WHO,
2009). Sedangkan diare cair akut pada anak di bawah lima tahun
paling banyak disebabkan oleh infeksi rotavirus.
2.1.4 Penularan Diare
Menurut Mulyana & Eli (2015) Diare dapat ditularkan dengan
berbagai cara yang dapat mengakibatkan timbulnya infeksi antara
lain:
a. Makanan dan minuman yang sudah terkontaminasi. Makanan
dan minuman tersebut baik yang sudah dicemari oleh serangga
atau kontaminasi oleh tangan yang kotor.
b. Bermain dengan mainan yang terkontaminasi. Anak-anak atau
bayi sering memasukan tangan/ mainan / apapun kedalam mulut,
jika mainan tersebut terkontaminasi maka anak-anak atau bayi
akan terkena penyakit diare. Hal tersebut bisa terjadi karena virus
yang menyebabkan diare ini dapat bertahan dipermukaan udara
sampai beberapa hari.
c. Pengunaan sumber mata air yang sudah tercemar dan tidak
memasak air dengan benar.
d. Pencucian dan pemakaian botol susu yang tidak bersih.
e. Tidak mencuci tangan dengan bersih setelah selesai buang air
besar. Tidak membersihkan tinja anak yang terinfeksi, sehingga
mengkontaminasi perabotan dan alat-alat yang dipegang.
11

Sejalan dengan pernyataan menurut Mulyana & Eli (2015).


Menurut Meryta, Lisnawati, & Kamalia (2016) Kuman penyebab
diare berkembang biak di lingkungan yang lembab dan kebersihan
yang kurang, serta pada air minum yang tidak terjaga kebersihannya.
Faktor lingkungan yang meliputi air bersih dan sanitasi ini memiliki
peranan sangat penting sebagai media penularan dan dominan dalam
siklus penularan penyakit diare.
Biasanya anak-anak mudah dan sering terkena diare. Hal
tersebut terjadi karena anak-anak senang sekali jajan sembarangan
yang tentunya makanan tersebut tidak terjamin kebersihan serta
keamanan makanannya sehingga anak tersebut mengalami diare.
Anak usia sekolah pada umumnya juga belum paham betul akan arti
kesehatan bagi tubuhnya.
2.1.5 Tanda dan Gejala Diare
Menurut Widjaja (2000), gejala-gejala diare adalah sebagai
berikut :
a. Bayi atau anak menjadi cengeng dan gelisah. Suhu badannya pun
meninggi,
b. Tinja bayi encer, berlendir atau berdarah,
c. Warna tinja kehijauan akibat bercampur dengan cairan empedu,
d. Lecet pada anus,
e. Gangguan gizi akibat intake (asupan) makanan yang kurang,
f. Muntah sebelum dan sesudah diare,
g. Hipoglikemia (penurunan kadar gula darah), dan
h. Dehidrasi (kekurangan cairan).
Dehidrasi dibagi menjadi tiga macam, yaitu dehidrasi ringan,
dehidrasi sedang dan dehidarsi berat. Disebut dehidrasi ringan jika
cairan tubuh yang hilang 5%. Jika cairan yang hilang lebih dari 10%
disebut dehidrasi berat. Pada dehidrasi berat, volume darah
berkurang, denyut nadi dan jantung bertambah cepat tetapi melemah,
12

tekanan darah merendah, penderita lemah, kesadaran menurun dan


penderita sangat pucat (Widjaja, 2000).
2.1.6 Cara Mengatasi Diare
Menurut Kementrian Kesehatan RI (2011b), ada lima langkah
tuntaskan diare. Lima langkah tersebut adalah :
a. Pemberian Oralit
Untuk mencegah terjadinya dehidrasi dapat dilakukan
mulai dari rumah tangga. Cara pencegahannya yaitu dengan
memberikan oralit osmolaritas rendah, dan bila tidak tersedia
berikan cairan rumah tangga seperti air tajin, kuah sayur, air
matang.
Oralit saat ini yang sudah beredar di pasaran yaitu oralit
dengan jenis yang baru dengan osmolaritas yang rendah. Oralit
tersebut dapat mengurangi rasa mual dan muntah. Oralit
merupakan cairan yang terbaik bagi penderita diare untuk
mengganti cairan yang hilang. Bila penderita tidak bisa minum
harus segera di bawa ke sarana kesehatan untuk mendapat
pertolongan cairan melalui infus. Derajat dehidrasi dibagi dalam
3 klasifikasi :
1) Diare tanpa dehidrasi
Tanda diare tanpa dehidrasi, dapat diindikasikan apabila
terdapat 2 tanda di bawah ini atau lebih :
- Keadaan Umum : Baik
- Mata : Normal
- Rasa Haus : Normal, Minum Biasa
- Turgor Kulit : Kembali Cepat
Dosis oralit bagi penderita diare tanpa dehidrasi sbb :
Umur < 1 tahun : ¼ - ½ gelas setiap kali anak
mencret
Umur 1 – 4 tahun : ½ - 1 gelas setiap kali anak mencret
13

Umur ˃ 5 Tahun : 1 – 1½ gelas setiap kali anak


mencret
14

2) Diare dehidrasi Ringan/Sedang


Diare dengan dehidrasi Ringan/Sedang, bila terdapat 2 tanda
di bawah ini atau lebih :
- Keadaan Umum : Gelisah
- Mata : Cekung
- Rasa Haus : Haus, Ingin Minum Banyak
- Turgor Kulit : Kembali Lambat
Dosis oralit yang diberikan dalam 3 jam pertama 75 ml/ kg
bb dan selanjutnya diteruskan dengan pemberian oralit seperti
diare tanpa dehidrasi.
3) Diare dehidrasi berat
Diare dehidrasi berat, bila terdapat 2 tanda di bawah ini atau
lebih :
- Keadaan Umum : Lesu, lunglai, atau tidak Sadar
- Mata : Cekung
- Rasa Haus : Tidak bisa minum atau malas
minum
- Turgor Kulit : Kembali lambat ( lebih dari 2
detik)
Penderita diare yang tidak dapat minum harus segera dirujuk
ke Puskesmas untuk di infus.
b. Berikan obat Zinc
Zinc merupakan salah satu mikronutrien yang penting dalam
tubuh. Zinc dapat menghambat enzim INOS (Inducible Nitric
Oxide Synthase), dimana ekskresi enzim ini meningkat selama
diare dan mengakibatkan hipersekresi epitel usus. Zinc juga
berperan dalam epitelisasi dinding usus yang mengalami
kerusakan morfologi dan fungsi selama kejadian diare.
Pemberian Zinc selama diare terbukti mampu mengurangi lama
dan tingkat keparahan diare, mengurangi frekuensi buang air
besar, mengurangi volume tinja, serta menurunkan kekambuhan
15

kejadian diare pada 3 bulan berikutnya. (Black, 2003). Penelitian


di Indonesia menunjukkan bahwa Zinc mempunyai efek protektif
terhadap diare sebanyak 11% dan menurut hasil pilot study
menunjukkan bahwa Zinc mempunyai tingkat hasil guna sebesar
67% Hidayat 1998 & Soenarto (2007). Berdasarkan bukti ini
semua anak diare harus diberi Zinc segera saat anak mengalami
diare. Dosis pemberian Zinc pada balita:
- Umur < 6 bulan: ½ tablet ( 10 mg ) per hari selama 10 hari
- Umur > 6 bulan: 1 tablet ( 20 mg) per hari selama 10 hari.
Zinc tetap diberikan selama 10 hari walaupun diare sudah
berhenti. Cara pemberian tablet zinc : Larutkan tablet dalam 1
sendok makan air matang atau ASI, sesudah larut berikan pada
anak diare.
c. Pemberian ASI / Makanan :
Pemberian makanan selama diare bertujuan untuk memberikan
gizi pada penderita terutama pada anak agar tetap kuat dan
tumbuh serta mencegah berkurangnya berat badan. Anak yang
masih minum Asi harus lebih sering diberi ASI. Anak yang
minum susu formula juga diberikan lebih sering dari biasanya.
Anak usia 6 bulan atau lebih termasuk bayi yang telah
mendapatkan makanan padat harus diberikan makanan yang
mudah dicerna dan diberikan sedikit lebih sedikit dan lebih
sering. Setelah diare berhenti, pemberian makanan ekstra
diteruskan selama 2 minggu untuk membantu pemulihan berat
badan.
d. Pemberian Antibiotika hanya atas indikasi
Antibiotika tidak boleh digunakan secara rutin karena kecilnya
kejadian diare pada balita yang disebabkan oleh bakteri.
Antibiotika hanya bermanfaat pada penderita diare dengan darah
(sebagian besar karena shigellosis), suspek kolera.
16

Obat-obatan Anti diare juga tidak boleh diberikan pada anak


yang menderita diare karena terbukti tidak bermanfaat. Obat anti
muntah tidak di anjurkan kecuali muntah berat. Obat-obatan ini
tidak mencegah dehidrasi ataupun meningkatkan status gizi anak,
bahkan sebagian besar menimbulkan efek samping yang
bebahaya dan bisa berakibat fatal. Obat anti protozoa digunakan
bila terbukti diare disebabkan oleh parasit (amuba, giardia).
e. Pemberian Nasehat
Ibu atau pengasuh yang berhubungan erat dengan balita harus
diberi nasehat tentang :
1) Cara memberikan cairan dan obat di rumah
2) Kapan harus membawa kembali balita ke petugas kesehatan
bila :
- Diare lebih sering
- Muntah berulang
- Sangat haus
- Makan/minum sedikit
- Timbul demam
- Tinja berdarah
- Tidak membaik dalam 3 hari.

2.2 Swamedikasi
2.2.1 Definisi
Menurut Sarwan & Fachry, (2016) menyatakan bahwa
pengobatan sendiri (self medication) merupakan upaya yang paling
banyak dilakukan masyarakat untuk mengatasi keluhan atau gejala
penyakit, sebelum mereka memutuskan mencari pertolongan ke
pusat pelayanan kesehatan/petugas kesehatan.
Menurut Robiyanto et al., (2018) Perilaku Swamedikasi
merupakan tindakan pengobatan sendiri yang umumnya dilakukan
oleh masyarakat untuk mengatasi penyakit-penyakit yang tidak
17

tergolong parah, seperti sakit kepala, demam, batuk, pilek, diare, dan
lain-lain. Dengan demikian, swamedikasi diare yaitu tindakan
pengobatan sendiri yang umumnya dilakukan oleh masyarakat untuk
mengatasi penyakit diare ringan (akut).
2.2.2 Penggolongan Obat untuk Swamedikasi
Permenkes RI Nomor 917/Menkes/X/1993 yang kini telah
diperbaharui oleh Permenkes RI Nomor 949/ Menkes/Per/VI/2000.
Penggolongan obat bertujuan untuk meningkatkan keamanan dan
ketepatan penggunaan serta keamanan distribusi. Penggolongan obat
ini terdiri atas :
a. Obat bebas, yaitu obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat
dibeli tanpa resep dokter. Obat ini tergolong obat yang paling
aman, dapat dibeli tanpa resep di apotik dan bahkan juga dijual
di warung-warung. Obat bebas biasanya digunakan untuk
mengobati dan meringankan gejala penyakit. Tanda khusus
untuk obat bebas adalah berupa lingkaran berwarna hijau dengan
garis tepi berwarna hitam. Contoh: rivanol, tablet paracetamol,
bedak salicyl, multivitamin, dan lain-lain.
b. Obat bebas terbatas, adalah segolongan obat yang dalam jumlah
tertentu aman dikonsumsi namun jika terlalu banyak akan
menimbulkan efek yang berbahaya. Obat ini dulunya
digolongkan kedalam daftar obat W. Tidak diperlukan resep
dokter untuk membeli obat bebas terbatas. Disimbolkan dengan
lingkaran biru tepi hitam. Biasanya obat bebas terbatas memiliki
peringatan pada kemasannya sebagai berikut:
P No. 1: Awas! Obat Keras. Bacalah aturan, memakainya ditelan.
P No. 2: Awas! Obat Keras. Hanya untuk dikumur, jangan
ditelan.
P No. 3: Awas! Obat Keras. Hanya untuk bagian luar dari badan.
P No. 4: Awas! Obat Keras. Hanya untuk dibakar.
P No. 5: Awas! Obat Keras. Tidak boleh ditelan.
18

P No. 6: Awas! Obat Keras. Obat Wasir, jangan ditelan.


Contoh : obat antimabuk seperti antimo, obat anti flu seperti
noza, decolgen, dan lain lain.
c. Obat wajib apotek, adalah obat keras yang dapat diserahkan oleh
apoteker pengelola apotek tanpa resep dokter. Obat wajib apotek
dibuat bertujuan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat
dalam menolong dirinya sehingga tercipta budaya pengobatan
sendiri yang tepat, aman, dan rasional.
d. Obat keras, adalah obat yang berbahaya sehingga pemakaiannya
harus di bawah pengawasan dokter dan obat hanya dapat
diperoleh dari apotek, puskesmas dan fasilitas pelayanan
kesehatan lain seperti balai pengobatan dan klinik dengan
menggunakan resep dokter. Obat ini memiliki efek yang keras
sehingga jika digunakan sembarangan dapat memperparah
penyakit hingga menyebabkan kematian. Obat keras dulunya
disebut sebagai obat daftar G. Obat keras ditandai dengan
lingkaran merah tepi hitam yang ditengahnya terdapat huruf “K”
berwarna hitam. Contoh: antibiotik seperti amoxicylin, obat
jantung, obat hipertensi dan lain-lain.
e. Psikotropika dan narkotika. Psikotropika merupakan zat atau
obat yang secara alamiah ataupun buatan yang berkhasiat untuk
memberikan pengaruh secara selektif pada sistem syaraf pusat
dan menyebabkan perubahan pada aktivitas mental dan perilaku.
Obat golongan psikotropika masih digolongkan obat keras
sehingga disimbolkan dengan lingkaran merah bertuliskan huruf
“K” ditengahnya. Sedangkan narkotika merupakan obat yang
berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintesis maupun
semi sintesis yang dapat menyebabkan perubahan kesadaran dari
mulai penurunan sampai hilangnya kesadaran, mengurangi
sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan
19

ketergantungan. Narkotika disimbolkan dengan lingkaran merah


yang ditengahnya terdapat simbol palang (+).
2.2.3 Kelebihan dan Kerugian Swamedikasi
Menurut Holt (1986) dalam Aini, Puspitasari, & Erwinayanti
(2019), swamedikasi memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan
dari swamedikasi adalah aman jika digunakan sesuai petunjuk,
efektif untuk keluhan ringan, biaya obat lebih murah, hemat waktu,
merasakan kepuasan tersendiri karena berperan dalam keputusan
terapi, menghindari rasa malu jika harus menampakkan bagian tubuh
tertentu di hadapan tenaga kesehatan, dan mengurangi beban
pelayanan kesehatan pada kondisi terbatasnya sumber daya.
Sedangkan kekurangan dari swamedikasi adalah adanya bahaya jika
obat tidak digunakan sesuai aturan, hal ini tentunya akan
menyebabkan pemborosan biaya dan waktu untuk mengatasi bahaya
yang ditimbulkan tadi. Selain itu, ada kemungkinan timbulnya reaksi
yang tidak diinginkan, seperti efek samping, resistensi dan
sensitivitas. Unsur subjektivitas juga menjadi dominan karena
kecenderungan pemilihan obat berdasarkan pengamalan, iklan, dan
lingkungan sosial
2.2.4 Faktor Penyebab Swamedikasi
Ada beberapa faktor penyebab swamedikasi. Beberapa faktor
penyebab perilaku swamedikasi berdasarkan hasil penelitian (WHO,
2012) antara lain sebagai berikut :
a. Faktor sosial ekonomi
Seiring dengan meningkatnya pemberdayaan masyarakat yang
berdampak pada semakin meningkatnya tingkat pendidikan,
sekaligus semakin mudahnya akses untuk memperoleh informasi,
maka semakin tinggi pula tingkat ketertarikan masyarakat
terhadap kesehatan. Sehingga hal itu kemudian mengakibatkan
terjadinya peningkatan dalam upaya untuk berpartisrpasi
20

langsrmg terhadap pengambilan keputusan kesehatan oleh


masing-masing individu tersebut.
b. Gaya hidup
Kesadaran tentang adanya dampak beberapa gaya hidup yang
bisa berpengaruh terhadap kesehatan, mengakibatkan banyak
orang memiliki kepedulian lebih untuk senantiasa menjaga
kesehatannya daripada harus mengobati ketika sedang
mengalami sakit pada waktu-waktu mendatang.
c. Kemudahan memperoleh produk obat
Saat ini, tidak sedikit dari pasien atau pengguna obat lebih
memilih kenyarnanan untuk membeli obat dimana saja bisa
diperoleh dibandingkan dengan harus mengantri lama di Rumah
Sakit maupun klinik.
d. Faktor kesehatan lingkungan
Dengan adanya praktik sanitasi yang baik, pemilihan nutrisi yang
benar sekaligus lingkungan perumahan yaug sehat, berdampak
pada semakin meningkatnya kernampuan masyarakat untuk
senantiasa menjaga dan mempertahankan kesehatannya sekaligus
mencegah terkena penyakit.
e. Ketersediaan produk baru
Semakin meningkatnya produk baru yang sesuai dengan
pengobatan sendiri dan terdapat pula produk lama yang
keberadaannya juga sudah cukup populer dan semenjak lama
sudah memiliki indeks keamanan yang baik. Hal tersebut
langsung membuat pilihan produk obat untuk pengobatan sendiri
semakin banyak tersedia (Zeenot, 2013).
2.2.5 Penggunaan Obat yang Rasional
Menurut Kementrian Kesehatan RI (2011a), penggunaan obat
dikatakan rasional jika memenuhi kriteria:
a. Tepat Diagnosis
21

Penggunaan obat disebut rasional jika diberikan untuk


diagnosis yang tepat. Jika diagnosis tidak ditegakkan dengan
benar, maka pemilihan obat akan terpaksa mengacu pada
diagnosis yang keliru tersebut. Akibatnya obat yang diberikan
juga tidak akan sesuai dengan indikasi yang seharusnya.
22

b. Tepat Indikasi Penyakit


Setiap obat memiliki spektrum terapi yang spesifik.
Antibiotik, misalnya diindikasikan untuk infeksi bakteri. Dengan
demikian, pemberian obat hanya dianjurkan untuk pasien yang
memberi gejala adanya infeksi bakteri.
c. Tepat Pemilihan Obat
Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah
diagnosis ditegakkan dengan benar. Dengan demikian, obat yang
dipilih harus yang memiliki efek terapi sesuai dengan spektrum
penyakit.
d. Tepat Dosis
Dosis, cara dan lama pemberian obat sangat berpengaruh
terhadap efek terapi obat. Pemberian dosis yang berlebihan,
khususnya untuk obat yang dengan rentang terapi yang sempit,
akan sangat beresiko timbulnya efek samping. Sebaliknya dosis
yang terlalu kecil tidak akan menjamin tercapainya kadar terapi
yang diharapkan.
e. Tepat Cara Pemberian
Obat Antasida seharusnya dikunyah dulu baru ditelan.
Demikian pula antibiotik tidak boleh dicampur dengan susu,
karena akan membentuk ikatan, sehingga menjadi tidak dapat
diabsorpsi dan menurunkan efektivitasnya.
f. Tepat Interval Waktu Pemberian
Cara pemberian obat hendaknya dibuat sesederhana
mungkin dan praktis, agar mudah ditaati oleh pasien. Makin
sering frekuensi pemberian obat per hari (misalnya 4 kali sehari),
semakin rendah tingkat ketaatan minum obat. Obat yang harus
diminum 3 x sehari harus diartikan bahwa obat tersebut harus
diminum dengan interval setiap 8 jam.
23

g. Tepat lama pemberian


Lama pemberian obat harus tepat sesuai penyakitnya
masing masing. Untuk Tuberkulosis dan Kusta, lama pemberian
paling singkat adalah 6 bulan. Lama pemberian kloramfenikol
pada demam tifoid adalah 10 - 14 hari. Pemberian obat yang
terlalu singkat atau terlalu lama dari yang seharusnya akan
berpengaruh terhadap hasil pengobatan.
h. Waspada terhadap efek samping
Pemberian obat potensial menimbulkan efek samping, yaitu
efek tidak diinginkan yang timbul pada pemberian obat dengan
dosis terapi, karena itu muka merah setelah pemberian atropin
bukan alergi, tetapi efek samping sehubungan vasodilatasi
pembuluh darah di wajah. Pemberian tetrasiklin tidak boleh
dilakukan pada anak kurang dari 12 tahun, karena menimbulkan
kelainan pada gigi dan tulang yang sedang tumbuh.
i. Tepat penilaian kondisi pasien
Respon individu terhadap efek obat sangat beragam. Hal ini
lebih jelas terlihat pada beberapa jenis obat seperti teofilin dan
aminoglikosida. Pada penderita dengan kelainan ginjal,
pemberian aminoglikosida sebaiknya dihindarkan, karena resiko
terjadinya nefrotoksisitas pada kelompok ini meningkat secara
bermakna.
j. Obat yang diberikan harus efektif dan aman dengan mutu
terjamin, serta tersedia setiap saat dengan harga yang terjangkau.
Untuk efektif dan aman serta terjangkau, digunakan obat-
obat dalam daftar obat esensial. Pemilihan obat dalam daftar obat
esensial didahulukan dengan mempertimbangkan efektivitas,
keamanan dan harganya oleh para pakar di bidang pengobatan
dan klinis.
Untuk jaminan mutu, obat perlu diproduksi oleh produsen
yang menerapkan CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik) dan
24

dibeli melalui jalur resmi. Semua produsen obat di Indonesia


harus dan telah menerapkan CPOB.
k. Tepat informasi
Informasi yang tepat dan benar dalam penggunaan obat sangat
penting dalam menunjang keberhasilan terapik. Tepat tindak
lanjut (follow-up). Pada saat memutuskan pemberian terapi,
harus sudah dipertimbangkan upaya tindak lanjut yang
diperlukan, misalnya jika pasien tidak sembuh atau mengalami
efek samping.
l. Tepat penyerahan obat (dispensing)
Penggunaan obat rasional melibatkan juga dispenser sebagai
penyerah obat dan pasien sendiri sebagai konsumen. Pada saat
resep dibawa ke apotek atau tempat penyerahan obat di
Puskesmas, apoteker/asisten apoteker menyiapkan obat yang
dituliskan peresep pada lembar resep untuk kemudian diberikan
kepada pasien. Proses penyiapan dan penyerahan harus
dilakukan secara tepat, agar pasien mendapatkan obat
sebagaimana harusnya. Dalam menyerahkan obat juga petugas
harus memberikan informasi yang tepat kepada pasien.
m. Pasien patuh terhadap perintah pengobatan yang dibutuhkan.
Dra. Engko Sosialine M., Apt., M. Bio Med, Direktur Jenderal
Kefarmasian dan Alat Kesehatan menyatakan bahwa untuk penyakit
ringan seperti sakit kepala dan batuk pilek dan sebagainnya, tidak
jarang masyarakat melakukan swamedikasi. Kementerian kesehatan
telah mempromosikan tagline “Tanya Lima O”. Melalui tagline ini
masyarakat diharapkan dapat lebih aktrif lagi mencari tentang
informasi dalam sebuah obat, baik kepada tenaga farmasi khususnya
maupun dari informasi lainnya yang valid. Tagline “Tanya Lima O”
merupakan pertanyaan minimal yang harus terjawab sebelum
melakukan swamedikasi. Tagline tersebut yaitu : (Kefarmasian,
2019)
25
26

a. Obat ini apa nama dan kandungan?


Tagline pertama yaitu apa nama dan kandungan obat. Tagline
tersebut sama halnya dengan penggunaan obat secara rasional
pada bagian tepat diagnosis dan tepat pemilihan obat menurut
Kementrian Kesehatan RI ( 2011a). Seorang ibu harus
mengetahui nama obat dan kandungan obat sebelum memberikan
obat tersebut pada anaknya. Jika nama obat dan kandungan salah
terhadap penyakit anak tersebut, maka obat yang diberikan tidak
akan mengobati karena tidak sesuai dengan indikasi yang
seharusnya. Bukan hanya harus pemilihan obat yang harus
diperhatikan, tetapi juga seorang ibu harus mampu mendiagnosis
penyakit
b. Obat ini apa khasiatnya?
Tagline kedua yaitu obat ini apa khasiatnya. Tagline tersebut
sama halnya dengan penggunaan obat secara rasional bagian
tepat indikasi penyakit menurut Kementrian Kesehatan RI
( 2011a). Setiap obat memiliki spektrum terapi dan khasiat yang
spesifik. Antibiotik, misalnya diindikasikan untuk infeksi bakteri.
Sama halnya dengan diare pada anak. Diare pada anak hanya
dapat disembuhkan dengan obat diare (oralit atau semacamnya).
c. Obat ini berapa dosisnya?
Tagline ketiga yaitu obat ini berapa dosisnya. Tagline tersebut
sama halnya dengan penggunaan obat secara rasional bagian
tepat dosis menurut Kementrian Kesehatan RI ( 2011a). Dosis,
cara dan lama pemberian obat sangat berpengaruh terhadap efek
terapi atau penyembuhan dengan obat. Pemberian dosis yang
berlebihan akan menyebabkan efek samping dan penggunaan
dibawah dosis menyebabkan obat tidak bekerja secara maksimal.
d. Obat ini bagaimana cara menggunakannya?
Tagline keempat yaitu obat ini bagaimana cara
menggunakannya. Tagline tersebut sama halnya dengan
27

penggunaan obat secara rasional bagian tepat cara pemberian,


tepat interval waktu pemberian, dan tepat lama pemberian
menurut Kementrian Kesehatan RI ( 2011a). Jika seorang ibu
memberikan obat oralit bersamaan dengan susu maka akan
menyebabkan terjadinya interaksi obat. Sehingga pemberian
oralit bersamaan dengan susu tidak dianjurkan.
e. Obat ini apa efek sampingnya?
Tagline kelima yaitu obat ini obat ini apa efek sampingnya.
Tagline tersebut sama halnya dengan penggunaan obat secara
rasional bagian waspada efek samping menurut Kementrian
Kesehatan RI ( 2011a). Pemberian obat secara swamedikasi
maupun bukan dapat berpotensial menimbulkan efek samping,
yaitu efek tidak diinginkan yang timbul pada pemberian obat
dengan dosis terapi. Penggunaan oralit tidak boleh diberikan
kepada penderita diare yang mempunyai masalah ginjal karena
dapat menyebabkan oliguira. Begitupun kepada anak yang
menderita penyakit masalah penyerapan gula karena oralit
mengandung gula yang berisiko membuat kondisi yang dimiliki
jadi lebih parah.

2.3 Pendidikan
2.3.1 Pengertian
Pendidikan merupakan suatu sistem yang terbangun dari
beberapa komponen pendidikan yang satu dengan yang lain saling
berhubungan (Saat, 2015). Tingkat pendidikan merupakan tahapan
atau jenjang pendidikan yang sudah ditempuh Robiyanto et al.,
(2018).
2.3.2 Cara Mengukur Tingkat Pendidikan
Menurut Robiyanto et al. (2018) tingkat pendidikan terbagi
menjadi dua tingkat. Tingkatan pertama yaitu pendidikan dasar.
28

Tingkat pendidikan dasar yaitu SD, SMP, dan SMA. Tingkatan


yang kedua yaitu pendidikan tinggi (PT)
2.3.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pendidikan
Menurut (Saat, 2015) faktor-faktor determinan dalam
pelaksanaan pendidikan, yang meliputi pendidik, peserta didik,
tujuan pendidikan, alat pendidikan, dan lingkungan pendidikan.
a. Pendidik
Pendidik adalah orang yang diserahi tugas atau amanah
untuk mendidik. Pendidikan itu sendiri dapat berarti memelihara,
membina, membimbing, mengarahkan, menumbuhkan. Dalam
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional pada Bab XI pasal 39 tentang Pendidik dan
Tenaga Kependidikan dinyatakan bahwa pendidik merupakan
tenaga professional yang bertugas merencanakan dan
melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran,
melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan
penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi
pendidik di perguruan tinggi.
b. Peserta didik
Anak didik atau peserta didik konotasinya adalah pada
orang-orang yang sedang belajar. Anak didik lebih dititik
beratkan kepada anak-anak yang masih dalam tahap
perkembangan, baik fisik maupun psikis, belum dewasa, dan
masih membutuhkan bantuan dan pertolongan dari orang-orang
dewasa di sekitarnya. Istilah peserta didik mengandung makna
yang lebih luas, mencakup anak yang belum dewasa, dan juga
orang yang sudah dewasa, tetapi masih dalam tarap mencari atau
menuntut ilmu dan keterampilan.
c. Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan adalah perubahan yang dikehendaki atau
ingin diwujudkan melalui aktivitas pendidikan. Tujuan
29

pendidikan merupakan puncak dari segala usaha yang


berhubungan dengan aktivitas pendidikan, karena semua
komponen pendidikan diarahkan untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan.
d. Alat pendidikan
Alat pendidikan adalah segala sesuatu atau apa saja yang
dipergunakan dalam usaha mencapai tujuan pendidikan.
Pendidikan sebagi usaha, juga merupakan alat untuk mencapai
tujuan pendidikan. Jadi alat pendidikan dapat alat dari suatu alat,
yaitu alat pendidikan. Segala perlengkapan yang dipakai dalam
usaha pendidikan disebut dengan alat pendidikan.
e. Lingkungan pendidikan
Lingkungan merupakan salah satu faktor pendidikan yang
ikut serta menentukan corak pendidikan yang tidak sedikit
pengaruhnya terhadap peserta didik. Lingkungan dapat berupa
lingkungan sosial, lingkungan nonsosial. Lingkungan sosial
berupa lingkungan yang terdiri atas manusia yang ada di sekitar
anak yang dapat memberi pengaruh terhadap anak, baik sikap,
perasaan, atau bahkan keyakinan agamanya, misalnya
lingkungan pergaulan. Lingkungan nonsosial adalah lingkungan
alam sekitar berupa benda atau situasi, misalnya keadaan
ruangan, peralatan belajar, cuaca, dan sebagainya, yang dapat
memberikan pengaruh pada peserta didik.

2.4 Landasan Teori


Menurut Sarwan & Fachry (2016) Diare merupakan salah satu
penyakit ringan yang banyak dialami oleh masyarakat. Penyakit diare dapat
diobati secara swamedikasi atau pengobatan sendiri. Meskipun penyakit
diare merupakan penyakit yang ringan, namun diare dapat menyebabkan
kematian bagi penderita. Hal tersebut bisa terjadi karena pasien mengalami
dehidrasi (kekurangan cairan).
30

Menurut Sarwan & Fachry (2016) Pengobatan sendiri (self


medication) merupakan upaya yang paling banyak dilakukan masyarakat
untuk mengatasi keluhan atau gejala penyakit, sebelum mereka memutuskan
mencari pertolongan ke pusat pelayanan kesehatan/ petugas kesehatan.
Swamedikasi dapat diukur dengan indikator Tindakan yang dilakukan jika
menderita penyakit, kesesuaian obat terhadap penyakit, dan informasi dan
perlakuan terhadap obat Robiyanto et al., (2018).
Pendidikan merupakan suatu sistem yang terbangun dari beberapa
komponen pendidikan yang satu dengan yang lain saling berhubungan
(Saat, 2015). Tingkat pendidikan merupakan tahapan atau jenjang
pendidikan yang sudah ditempuh. Menurut Robiyanto et al. (2018) tingkat
pendidikan terbagi menjadi dua tingkat. Tingkatan pertama yaitu pendidikan
dasar. Tingkat pendidikan dasar yaitu SD, SMP, dan SMA. Tingkatan yang
kedua yaitu pendidikan tinggi (PT) Robiyanto et al., (2018).

2.5 Kerangka Konsep

Tingkat Pendidikan Perilaku Swamedikasi


Ibu Diare Pada Anak

Gambar 2.1 Kerangka Konsep

2.6 Hipotesis
Dari penelitian ini diharapkan terdapat hubungan antara tingkat
pendidikan ibu dengan perilaku swamedikasi diare pada anak balita di Desa
Kacangan.
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian


Jenis penelitian ini menggunakan penelitian non-eksperimental yaitu
penelitian dengan pengambilan data tanpa perlakuan terhadap subyek uji.
Jenis penelitian ini yaitu penelitian deskriptif kuantitatif dengan
menggunakan desain penelitian cross sectional yaitu penelitian yang
mempelajari teknik korelasi antara faktor risiko dengan efek, dengan cara
pendekatan, observasi atau pengumpulan data sekaligus pada waktu yang
sama (point time approach). Penelitian ini mengacu pada hubungan tingkat
pendidikan ibu dengan perilaku swamedikasi diare pada anak balita di desa
Kacangan.

3.2 Populasi dan Sampel


3.2.1 Populasi
Menurut Notoatnodjo, (2013) populasi yaitu keseluruhan objek
penelitian atau objek yang diteliti. Populasi pada penelitian ini yaitu
seluruh responden ibu yang memiliki anak balita dengan umur 1-4
tahun di Desa Kacangan, Kecamatan Andong Boyolali. Berdasarkan
data penduduk yang diperoleh pada tanggal 5 November 2020,
jumlah populasi dalam penelitian ini yaitu 313.
3.2.2 Sampel
Sampel penelitian yaitu sebagian dari jumlah yang diambil dari
keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh
populasi (Notoatmodjo, 2013). Metode pengambilan sampel pada
penelitian ini yaitu dengan metode non random (non probability)
sampling – Purposive Sampling. Pengambilan sampel secara
purposive sampling didasarkan pada suatu pertimbangan tertentu
yang dibuat oleh peneliti sendiri (Notoatmodjo, 2013).

31
32

Jumlah sampel minimum yang harus diperoleh menggunakan


rumus slovin.
N
n=
1+ Ne ²
313
n=
1+313 (0.0025)
n = 175,60 dibulatkan menjadi 176
Keterangan
N = Jumlah populasi
n = Jumlah sampel
e = Batas toleransi kesalahan atau eror
Sampel yang dipilih harus memenuhi hiteria inklusi dan tidak
memenuhi kriteria eksklusi sebagai berikut :
1. Kriteria lnklusi
a. Seorang Ibu usia antara 20 – 60 tahun
b. Memiliki anak balita umur 1-4 tahun
c. Pernah menempuh pendidikan formal
d. Pernah atau sedang melakukan swamedikasi diare
e. Bersedia mengisi kuesioner
f. Ibu yang bisa membaca dan menulis
2. Kriteria Eksklusi
a. Ibu dalam keadaaan sakit
b. Pada saat penelitian ibu tidak ditempat
c. Tidak bisa membaca dan menulis

3.3 Instrumen Penelitian


Instrumen dalam penelitian ini yaitu kuisioner. Kuisioner merupakan
salah satu instrumen penelitian yang digunakan untuk menggali informasi
secara langsung. Kuisioner yang digunakan dalam penelitian ini dibuat
sendiri oleh peneliti. Peneliti melakukan uji validitas dan uji realibilitas
kepada 30 responden dengan kriteria inklusi yang sama dengan responden.
33

Menurut Sugiyono (2017) Uji validitas digunakan untuk menunjukkan


tingkat keandalan atau ketepatan suatu alat ukur. Validitas menunjukkan
derajat ketepatan antara data yang sesungguhnya terjadi pada obyek dengan
data yang dikumpulkan oleh peneliti. Valid berarti instrument tersebut dapat
digunakan untuk mengukur apa yang seharusnya diukur. Uji realibilitas
adalah sejauh mana hasil pengukuran dengan menggunakan obyek yang
sama, akan menghasilkan data yang sama. Uji realibilitas dilakukan secara
bersama-sama terhadap seluruh pertanyaan.
Menurut Sugiyono (2013:179) item pernyataan atau pertanyaan dalam
instrumen dikatakan valid apabila harga korelasi diatas 0,30. Adapun untuk
pengujian reliabilitas dikatakan lolos apabila nilai Cronbach Alpha (α)
semakin tinggi.

3.4 Variabel Penelitian


Penelitian ini menggunakan 2 jenis variabel, yaitu variabel dependen
(terikat) dan variabel independen (bebas). Variabel dependen (terikat) dalam
penelitian ini ialah tindakan swamedikasi diare pada anak usia 1 – 4 tahun.
Sedangkan, variabel independen (bebas) dalam penelitian ini yaitu tingkat
pendidikan ibu.

3.5 Definisi Operasional


Menurut (Sugiyono, 2017), definisi operasional menjelaskan cara
tertentu yang digunakan oleh peneliti dalam mengoperasian gagasan dalam
penelitian ini, sehingga memungkinkan bagi peneliti-peneliti lain untuk
melakukan replikasi pengukuran dengan cara yang sama maupun
mengembangkan cara pengukuran dengan lebih baik.
Definisi operasional untuk masing-masing variabel dalam penelitian
ini ialah sebagai berikut.
34

Tabel 3.1 Definisi Operasional


No Variabel Definisi Indikator
1 Diare Diare adalah suatu penyakit Pengetahuan tentang diare
yang ditandai dengan
peningkatan frekuensi buang
air besar sampai lebih dari
tiga kali sehari disertai
dengan penurunan
konsistensi tinja sampai ke
bentuk cair
1 Perilaku Swamedikasi Swamedikasi diare yaitu Ketepatan swamedikasi
tindakan pengobatan sendiri
yang umumnya dilakukan
oleh masyarakat untuk
mengatasi penyakit diare
ringan (akut). (Robiyanto et

al., 2018).
2 Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan 1. Pendidikan Dasar (SD,
merupakan tahapan atau SMP, SMA)
jenjang pendidikan yang 2. Pendidikan Tinggi (PT)
sudah ditempuh (Robiyanto (Robiyanto et al., 2018)

et al., 2018).

3.6 Jalannya Penelitian


3.6.1 Tahap Persiapan
a. Peneliti melakukan pengajuan judul kepada pembimbing yang
kemudian melakukan pengurusan surat ijin penelitian dan
melakukan survei pendahuluan ke Desa Kacangan untuk
mendapatkan data awal yang dibutuhkan dalam penelitian.
b. Peneliti mengumpulkan studi literatur terkait penyusunan
penelitian.
3.6.2 Tahap Pelaksanaan Penelitian
Peneliti melakukan penelitian pada bulan Januari 2021 di Desa
Kacangan. Sebelum pengambilan data terlebih dahulu peneliti
memperkenalkan diri kepada responden tentang maksud dan tujuan
35

yang akan dilakukan. Setelah itu responden mengisi informed


concenr yang berupa data karakteristik responden dan kuisioner.
3.6.3 Teknik Pengolahan Data
Teknik pengolahan data dalam penelitian ini yaitu :
a. Editing Data (Pengeditan Data)
Dalam proses ini dilakukan pengeditan data yang meliputi
pemeriksaan kelengkapan dan kejelasan makna jawaban
sehingga didapatkan data yang lengkap, jelas, relevan dan
konsisten.
b. Coding Data (Pemberian Kode Data)
Data yang sudah diedit kemudian dicoding. Coding merupakan
kegiatan merubah data berbentuk huruf menjadi data berbentuk
angka/bilangan (Santoso, 2013). Coding sangat berguna dalam
pemasukan data pada tahap berikutnya. Kode pada penelitian ini
yaitu sebagai berikut :
1) Perilaku swamedikasi pada anak menggunakan skala likert :
1 = Buruk
2 = Baik
2) Hubungan tingkat pendidikan ibu juga menggunakan skala
likert :
1 = Tingkat Pendidikan Rendah
2 = Tingkat Pendidikan Tinggi
c. Entry Data (Memasukkan Data)
Data yang telah diedit dan diberi kode kemudian dimasukkan
(entry) ke dalam program komputer, dalam hal ini IBM SPSS
(Statistic Package for the Social Sciencess) for Windows Ver. 22.
d. Cleaning Data (Pembersihan Data)
Setelah dimasukkan ke dalam program, kemudian diralatkan
Cleaning Data. Cleaning Data merupakan kegiatan pengecekan
kembali data yang sudah dimasukkan (entry), apakah ada
36

kesalahan atau tidak. Jika terdapat kesalahan maka dilakukan


perbaikan terhadap kesalahan tersebut.
e. Penarikan Hasil Kesimpulan
Penarikan hasil kesimpulan dilakukan dengan menghitung skor
kuisioner menggunakan rumus :
Penarikan hasil kesimpulan dilakukan dengan menghitung skor
kuisioner menggunakan rumus :
Skor Aktual
Skor = x 100%
Skor Ideal
Hasil disediakan dalam distribusi frekuensi setiap variable.
Kriteria Penelitian menurut Ali Khomsan (2000 : 15)
Tabel 3.1 Tingkat Perilaku Swamedikasi
No
Interval Kategori
.
1. > 80 % Baik
2. 60 % - 80 % Sedang
3. < 60 % Buruk

3.7 Analisis Data


Data yang telah diolah kemudian dianalisis. Analisis data yang dilakukan
antara lain :
1. Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan untuk melihat distibusi dan frekuensi dari
tiap-tiap variabel bebas (tingkat pendidikan ibu) dan variabel terikat
( swamedikasi). Data disajikan dalam bentuk tabel.
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel
bebas dan terikat, dimana uji hubungan kedua variabel tersebut dengan
uji statistik Chi-Square. Dengan sistem komputerisasi dan tingkat
kemaknaan pada a 0,05 dengan ketentuan bila p value < nilai o (0,05)
maka ada hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat bila p
value > nilai a (0,05) maka tidak ada antara variabel bebas dengan
variabel terikat.
37

3.8 Jadwal Penelitian


Tabel 3.2 Jadwal Penelitian
Bulan
No. Kegiatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 Mengajukan Judul                  
2 Pembuatan Proposal Skripsi                  
3 Sidang Proposal                  
4 Pengajuan Perizinan Penelitian                  
5 Pengambilan Data                  
6 Pengolahan Data                  
7 Penulisan Hasil Data                  
8 Pengumpulan Hasil Penelitan                  
9 Penyusunan Laporan                  
DAFTAR PUSTAKA

Aini, S.R., Puspitasari, C.E., & Erwinayanti, G.A.P.S, 2019, Alih Pengetahuan
tentang Obat dan Obat Tradisional dalam Upaya Swamedikasi di Desa Batu
Layar Lombok Barat, 2(4), 407– 410.

Amin, L.Z., 2015, Tatalaksana Diare Akut, CDK-230, 42(7), 504–508.

Fuaddah, A. T., 2015, Description of Self-Medication Behavior in Community of


Subdistrict Purbalingga, Dictrict Purbalingga, Jurnal Kesehatan Masyarakat,
3, 610–619.

Kefarmasian, D.P., 2019, Cerdas Menggunakan Obat.

Kementrian Kesehatan RI, 2011a, Modul Penggunaan Obat Rasional, Jakarta:


Kementrian Kesehatan RI.

Kementrian Kesehatan RI, 2011b, Situasi Diare di Indonesia Triwulan II, Jakarta:
Kementrian Kesehatan RI.

Mamo, S., Ayele, Y., & Dechasa, M., 2018, Self-Medication Practices among
Community of Harar City and Its Surroundings, Eastern Ethiopia, Journal of
Pharmaceutics.

Meryta, A., Lisnawati, N., & Kamalia, G., 2016, Gambaran Pengetahuan Ibu
Tentang Swamedikasi Diare pada Anak di Bulan Juni 2015, Social Clinical
Pharmancy Indonesia Journal, 1(1), 107–116.

Mulyana, & Eli, K., 2015, Gambaran Pengetahuan, Pengalaman & Sikap Ibu
Terhadap Tatalaksanaan Diare pada Anak Penderita Diare di Ruang Anak
Bawah RSUD DR, Soekardjo Tasikmalaya, Jurnal Kesehatan Bakti Tunas

38
Husada, 13(1), 173–180.

Notoatmodjo, S., 2003, Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, Jakarta: PT. Rineka
Cipta.

Notoatnodjo, S., 2013, Metodologi Penelitian Kesehatan, Jakarta: Rineka Cipta.

Robiyanto, Rosmimi, M., & Untari, E. K., 2018, Analisis pengaruh tingkat
pengetahuan masyarakat terhadap tindakan swamedikasi diare akut di
kecamatan pontianak timur, Jurnal Pendidikan, 16(1), 135–145.

Saat, S., 2015, Faktor-faktor Determinan dalam Pendidikan, Jurnal Al- Ta’dib,
8(2), 1–17.

39
40

Sarwan, & Fachry, A., 2016, Gambaran Pengetahuan Masyarakat Kelurahan


Rambutan Kecamatan Ciracas Jakarta Timur Tentang Pengobatan Sendiri
(Swamedikasi) Penyakit Diare, Jurnal Akademisi Farmasi Bhumi Husada,
3(1).

Simadibrata, M., & Daldiyono., 2009, Diare Akut, Dalam: Ilmu Penyakit Dalam,
Jakarta: Interna Publising.

Sugiyono, 2017, Metode Penelitian Bisnis: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif,


Kombinasi, dan R&D (Satu), Bandung: Alfabeta.

Vitria, L., & Heniwati, 2019, Hubungan Tingkat Pengetahuan Dengan Tindakan
Swamedikasi Diare Akut di Kabupaten Nganjuk, Java Heat Journal.

WHO, 2012, The Pursuit of Responsible Use of Medicines : Sharing and


Learning from Country Experiences.
LAMPIRAN

KUESIONER HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN IBU DENGAN


PERILAKU PENGOBATAN SENDIRI (SWAMEDIKASI) DIARE PADA
ANAK BALITA

BAGIAN I (Karakteristik Responden)


1. Nama Ibu :
2. Usia Ibu :
3. Usia Anak :
4. Alamat Ibu :
(Pilihlah satu jawaban dengan cara melingkarinya)
5. Pendidikan Terakhir Ibu :
a. SD
b. SMP
c. SMA
d. Perguruan Tinggi
6. Pekerjaan Ibu :
a. Pegawai Negeri
b. Pegawai Swasta
c. Pedagang
d. Lainnya, (sebutkan ..................................................................................)
7. Apakah Ibu pernah melakukan pengobatan sendiri (Swamedikasi) pada diare
anak ?
a. Pernah
b. Tidak Pernah
8. Jika pernah obat apa yang ibu berikan untuk mengatasi diare pada anak ?
a. Obat tradisional/racikan sendiri
b. Obat modern
9. Sebutkan obat yang ibu gunakan pada no. (8) ?
.........................................................................................................................

41
42

10 Pertimbangan apa yang ibu ambil ketika memilih obat diare pada anak?
. a. Harga
b. Komposisi
c. Efek samping yang timbul
d. Lainnya, (sebutkan ..................................................................................)
11 Darimana ibu mendapatkan sumber informasi tentang obat diare anak?
. a. Obat yang pernah di berikan dokter
b. Informasi yang di berikan apotek
c. Posyandu
d. Iklan
e. Teman dan keluarga
43

BAGIAN II

INDIKATOR PERTAMA (Kondisi Diare Anak)


1. Saat anak mengalami diare, seberapa sering anak anda Buang Air Besar
(BAB) ?
a. Kurang dari tiga kali dalam sehari semalam (24 jam)
b. Lebih dari tiga kali sehari dalam semalam (24 jam)
2. Bagaimana konsistensi tinja anak pada saat mengalami diare ?
a. Padat/ keras
b. Lembek
c. Cair
3. Bagaimana kondisi anak pada saat mengalami diare ?
a. Disertai demam
b. Tinja berlendir
c. Tinja berdarah
d. Tidak tiga-tiganya
4. Berapa lama anak mengalami gejala-gejala di atas ?
a. Kurang dari 2 Minggu
b. Lebih dari 2 Minggu
INDIKATOR KEDUA (Perilaku Swamedikasi Diare)
(Pilih jawaban dengan cara melingkarinya)
1. Apa yang akan ibu lakukan jika diare yang dialami anak tidak sembuh
dalam waktu 3 hari?
a. Pergi ke dokter
b. Minum obat lagi
2. Sebelum memberikan obat pada anak, apakah Ibu memperhatikan dosis,
cara, aturan pakai, dan lama pemberian obat diare?
a. Ya
b. Tidak
3. Sebelum memberikan obat pada anak, apakah Ibu memperhatikan dosis,
pada kemasan ?
a. Ya
44

b. Tidak
4. Sebelum memberikan obat pada anak, apakah ibu memperhatikan aturan
pakai pada kemasan ?
a. Ya
b. Tidak
5. Sebelum memberikan obat pada anak, apakah ibu memperhatikan lama
pemberian obat pada kemasan ?
a. Ya
b. Tidak
6. Sebelum memberikan obat pada anak, apakah ibu memperhatikan tanggal
kadaluwarsa obat pada kemasan ?
a. Ya
b. Tidak

Anda mungkin juga menyukai