Anda di halaman 1dari 22

TUGAS INDIVIDU

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kewarganegaraan

Disusun Oleh :

Dela Kurniasih (D1101171005)

Dosen Pengampu :

Dea Varanida, S.I.Kom., M.I.Kom

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS TANJUNGPURA

KALIMANTAN BARAT

2018
REVIEW JURNAL

Judul Jurnal           :  Bahasa Indonesia Sebagai Identitas Nasional Bangsa Indonesia

Penulis                   : Akhmad Yazidi
Nama Jurnal           : Jurnal Penelitian Pendidikan
Tanngal/Tahun       : 2 Oktober 2011

Volume                   : 12

No                           : 2

Identitas nasional adalah ungkapan nilai budaya suatu masyarakat atau bangsa yang
bersifat khas yang membedakannya dengan bangsa lain. Identitas nasional bukan sesuatu
yang sudah selesai, tetapi terus berkembang secara kontekstual sesuai dengan perkembangan
zaman. Unsur-unsur identitas nasional antara lain pola perilaku, simbol simbol, alat-alat
perlengkapan, dan tujuan yang akan dicapai secara nasional, sedangkan unsur pembentuk
identitas nasional meliputi sejarah, kebudayaan, suku bangsa, agama, dan bahasa.
Bahasa Indonesia bukan bahasa Melayu, bukan bahasa daerah, dan juga bukan bahasa
asing, bahasa Indonesia adalah bahasa nasional dan bahasa resmi negara Indonesia.Kongres
II bahasa Indonesia tahun 1954 mengakui bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa
Melayu. Terbukti dengan ditemukannya batu-batu yang ditemukan, seperti Kedukan Bukit,
Talang Tuwo, Kota Kapur, Karang Brahi, Gandasuli, Bogor, dan Pagaruyung, maka yang
paling awal bertahun 683 M. Hal ini menunjukkan bahwa sejak abad ke-7, bahasa Melayu
sudah ditemukan dalam tulisan dengan aksara. Dari bukti ini dapat diduga bahwa secara lisan
beberapa abad sebelumnya bahasa Melayu sudah digunakan masyarakat penuturnya (orang
Melayu).
Dari sejarah bahasa Indonesia terlihat dengan jelas bahwa bahasa Indonesia sebagai
bahasa nasional mempersatukan bangsa yang demikian bhinneka karena memungkinkan
komunikasi yang lancar antara anggota masyarakat, sekalipun berasal dari beraneka ragam
suku bangsa. Betapa hebat peranan bahasa Indonesia untuk membawa kawan-kawan kita di
daerah untuk dapat cepat turut dalam kehidupan nasional bangsa Indonesia. Persatuan
nasional tersebut merupakan tonggak utama untuk terpeliharanya kemerdekaan bangsa.
Tanpa hadirnya bahasa Indonesia sulit dibayangkan dengan alat apakah bangsa Indonesia
akan mempersatukan seluruh kekuatan untuk melawan penjajah dan merebut kemerdekaan.
Bahasa Indonesia adalah (a) bahasa yang digunakan dalam pergerakan kebangsaan untuk
mencapai kemerdekaan Indonesia, dan (b) bahasa yang digunakan pada penerbitan-
penerbitan yang bertujuan untuk mewujudkan cita-cita perjuangan kemerdekaan Indonesia,
baik berupa bahasa pers maupun bahasa dalam karya sastra. Sudah terbukti peran bahasa
Indonesia mampu mencairkan persatuan etnik sebagai pemersatu dan membangkitkan
nasionalisme. Peranan bahasa Indonesia tentu tidak lagi sebagai alat perjuangan dan sarana
mempererat kesatuan bangsa, melainkan bagaimana bahasa Indonsia mampu mengangkat
citra bangsa di mata dunia.
Bahasa Indonesia sebagai lambang kebanggaan nasional merupakan ungkapan
perwujudan sikap kita terhadap bahasa Indonesia dan dalam berbahasa Indonesia. Yang
menjadi pertanyaan bagaimana sikap kita terhadap bahasa Indonesia dan bagaimana
kebanggaan kita terhadap bahasa Indonesia. Positif atau negatifnya sikap kita, atau
kebanggaan kita terhadap bahasa Indonesia tergambar pada perilaku kita dalam berbahasa
Indonesia. Kalau kita masih sering mengeluhkan penggunaan bahasa Indonesia oleh
masyarakat karena masih seringnya kekurangtepatan penggunaan bahasa Indonesia tersebut,
baik masyarakat umum, aparatur pemerintah, pejabat negara, atau para elite partai politik dan
masyarakat. Hal tersebut merupakan gambaran sikap dan rasa kebanggaan tersebut atas
bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia sebagai lambang identitas nasional merupakan fungsi yang melekat
pada masyarakat Indonesia. Dengan kata lain, setiap anggota masyarakat kita harus bisa dan
mampu berbahasa Indonesia baik secara lisan maupun tertulis. Dalam fungsi ini pernah
terjadi kasus penyalahgunaan kewarganegaraan Indonesia oleh warga negara asing yang
menggunakan pasport Indonesia di satu Negara.
Bahasa Indonesia sebagai wahana persatuan nasional, bahasa Indonesia tidak hanya
sebagai lambang persatuan nasonal, tetapi bahasa Indonesia adalah darah persatuan nasional
kita. Bahasa Indonesialah yang menjalin dan menyatukan masyarakat yang mendiami beribu-
ribu pulau di nusantara ini. Bahasa Indonesia yang menyatukan masyarakat yang berbeda-
beda bahasa dan budaya senasib sepenanggungan mulai zaman penjajahan, masa perjuangan
kemerdekaan, sampai sekarang terjalin karena bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia adalah media perhubungan antarbudaya dan antardaerah yang
berbeda-beda bahasa. Fungsi ini penekanan lebih jauh dari fungsi ketiga di atas pada aspek
perhubungan antarbudaya dan antardaerah. Bahasa-bahasa daerah dan budaya-budaya daerah
merupakan kekayaan dan kekuatan nasional kita. Karena itu diperlukan perekat sebagai
budaya nasional, yaitu dengan bahasa Indonesia, sehingga semua bentuk budaya nasional dari
berbagai daerah bisa tampil dengan menggunakan bahasa Indonesia agar dapat dinikmati oleh
seluruh masyarakat Indonesia.
Dalam kedudukan sebagai bahasa resmi negara ini, bahasa Indonesia mempunyai 4
fungsi, yaitu (1) bahasa resmi kenegaraan, (2) bahasa resmi dalam pengajaran di sekolah, (3)
bahasa resmi dalam pembangunan dan pemerintahan pada tingkat nasional, serta (4) bahasa
resmi dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Berkaitan dengan fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi kenegaraan terdapat
beberapa konteks yang bisa kita lihat. Dalam acara dan upacara resmi kenegaraan, baik
secara lisan maupun tertulis harus menggunakan bahasa Indonesia. Demikian pula Presiden
RI sebagai personfikasi kenegaraan di dalam acara-acara resmi di manapun, kapan pun, dan
dengan siapa pun harus atau boleh selalu menggunakan bahasa Indonesia. Berbeda dengan
para pejabat negara lainnya dalam berkomunikasi dengan pihak lain, terutama bila
berkomunikasi dengan pihak negara lain, dia harus menggunakan bahasa yang bisa saling
dimengerti kedua belah pihak. Demikian pula secara tertulis, semua dokumen resmi
kenegaraan, semua bentuk perundang-undangan, surat-surat resmi kenegaraan, dokumen
notariat di Indonesia, semuanya harus menggunakan bahasa Indonesia.

Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar resmi dalam pendidikan dan pengajaran
pada semua jenjang pendidikan. Ada dua kondisi dibolehkan tidak menggunakan bahasa
Indonesia sebagai bahasa pengantar pendidikan dan pengajaran di sekolah. Di Sekolah Dasar
kelas 1 sampai dengan kelas 3 di lingkungan yang tidak mungkin digunakannya bahasa
Indonesia, boleh menggunakan bahasa daerah; serta bahasa pengantar dalam pengajaran
bahasa asing boleh atau harus menggunakan bahasa asing. Dalam pengajaran bahasa Inggris
harus menggunakan bahasa Inggris, dan lainnya agar pengajaran efektif.
Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi dalam pembangunan dan pelaksanaan
pemerintahan tingkat nasional. Di dalam pelaksanaan pembangunan dan pemerintahan pada
tingkat nasional harus menggunakan bahasa Indonesia. Namun di dalam pelaksanaan
pembangunan dan pemerintahan pada tingkat yang lebih rendah, terlebih pada tingkat
kelurahan atau desa atau kampung boleh menggunakan bahasa daerah sesuai dengan
daerahnya agar dapat dipahami oleh masyarakat di daerah yang bersangkutan. Di dalam
pelaksanaan penyuluhan pembangunan di masyarakat, seperti dalam bidang pertanian,
kesehatan, KB, agama, energi (seperti kasus kompor gas), atau pertanahan, dan lain-lain bisa
digunakan bahasa daerah. Demikian pula, dalam penanganan berbagai masalah
kemasyarakatan, krisis sosial, konflik sosial, dan berbagai permasalahan kemasyarakatan
lainnya harus menggunakan bahasa yang bisa dipahami masyarakatnya.
Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan produk dari masyarakat maju dan modern, serta
tidak termasuk dalam ranah adat dan budaya kedaerahan karena itu dalam pengembangannya
harus selalu menggunakan bahasa Indonesia. Ilmu pengetahuan dan teknologi tidak mengenal
batas wilayah sehingga dalam pengembangannya tidak bisa menapikan penggunaan bahasa
asing. Dalam kaitan ini, sudah banyak dibuat dan diterbitkan kamus bahasa Indonesia dalam
bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang bersumber dari berbagai bahasa asing. Karena
itu para ilmuwan Indonesia yang bergerak dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi mau tidak mau harus memiliki kemampuan penguasaan bahasa asing.
SUMBER JURNAL

BAHASA INDONESIA SEBAGAI IDENTITAS NASIONAL BANGSA


INDONESIA (INDONESIAN LANGUAGE AS THE NATIONAL
IDENTITY OF INDONESIAN)

Akhmad Yazidi
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, Universitas Pakuan, Jalan Pakuan Bogor, e-mail tasyrifin_karim@yahoo.co.id

Abstract
Indonesian Language as the National Identity of Indonesian.

This paper discusses the history of the Indonesian language, the role of the
Indonesian language in Indonesian nationalism, the position and function of the Indonesian
language, both as a national language as well as the state language, the Indonesian
language as well as the characteristics of their national identity. Of this section can be
summarized as follows. Youth Pledge results by Indonesian Youth Congress on October 28,
1928 is the crystallization of Indonesian nationalism. Indonesian as a young man vows
content plays an important role for Indonesian nationalism. Indonesian language is
established and developed blood nationalism in our society who inhabit the thousands of
islands in this archipelago with different tribes and languages. Indonesian language that is
derived from the Malay language as one of the local languages in the archipelago is then
developed into an intermediate language (lingua franca), continues to be the national
language and the official language of the State. In the position as the national language, the
Indonesian language serves as (1) a symbol of national pride, (2) a symbol of national
identity, (3) as the language of national unity of the various peoples of different languages
and cultures, and (4) as a lingua franca among regions and intercultural. In a position as an
official language, the Indonesian language serves as (1) the official language of the state, (2)
the language of instruction in educational institutions, (3) language of relationships in the
implementation of national development and governance, and (4) the language of instruction
in the development of science and modern technology. As the national language and official
language, the Indonesian language is the language standard, open, dynamic along with the
dynamics of the development of society as national. For development impact, we as
Indonesian speaker demanded always open and dynamic in order to follow the development
of Indonesian Indonesian language used always good and right. In addition, the community
to always be positive about the Indonesian language and Indonesian language in an effort to
foster the Indonesian language. Fostering the Indonesian language means to foster
nationalism as well as the Indonesian language is Indonesian national identity.

Key words: Indonesian, national identity, fostering Indonesian


Abstrak

Bahasa Indonesia sebagai Identitas Nasional Bangsa Indonesia.

Tulisan ini membahas tentang sejarah bahasa Indonesia, peranan bahasa Indonesia
dalam nasionalisme Indonesia, kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia, baik sebagai
bahasa nasional maupun sebagai bahasa negara, serta karakteristik bahasa Indonesia
sebagai identitas nasional bangsa. Dari pembahasan ini dapat disimpulkan sebagai berikut.
Sumpah Pemuda hasil oleh Kongres Pemuda Indonesia tanggal 28 Oktober 1928 merupakan
kristalisasi dari nasionalisme Indonesia. Bahasa Indonesia sebagai salah satu isi sumpah
pemuda memegang peranan penting bagi nasionalisme Indonesia. Bahasa Indonesia
merupakan darah yang menjalin dan menumbuhsuburkan nasionalisme dalam masyarakat
kita yang mendiami beribu-ribu pulau di nusantara ini dengan berbagai suku bangsa dan
bahasa daerah. Bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Melayu sebagai salah satu
bahasa daerah yang ada di nusantara ini kemudian berkembang menjadi bahasa perantara
(lingua franca), terus menjadi bahasa nasional, dan bahasa resmi Negara. Dalam
kedudukan sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai (1) lambang
kebanggaan nasional, (2) lambang identitas nasional, (3) sebagai bahasa persatuan nasional
dari berbagai masyarakat yang berbeda-beda bahasa dan budaya, serta (4) sebagai bahasa
perhubungan antardaerah dan antarbudaya. Dalam kedudukan sebagai bahasa resmi,
bahasa Indonesia berfungsi sebagai (1) bahasa resmi kenegaraan, (2) bahasa pengantar di
lembaga pendidikan, (3) bahasa perhubungan dalam pelaksanaan pembangunan dan
pemerintahan tingkat nasional, dan (4) bahasa pengantar dalam pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi modern. Sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi negara,
bahasa Indonesia merupakan bahasa yang baku, terbuka, dinamis seiring dengan dinamika
perkembangan masyarakat sebagai dampak pembangunan nasional.Untuk itu, kita sebagai
penutur bahasa Indonesia dituntut selalu terbuka dan dinamis mengikuti perkembangan
bahasa Indonesia agar bahasa Indonesia yang digunakan selalu baik dan benar. Di samping
itu, masyarakat agar selalu bersikap positif terhadap bahasa Indonesia dan dalam
berbahasa Indonesia sebagai upaya membina bahasa Indonesia. Membina bahasa Indonesia
berarti juga membina nasionalisme bangsa karena bahasa Indonesia merupakan identitas
nasional bangsa Indonesia.

Kata-kata kunci: bahasa indonesia, identitas nasional, membina bahasa indonesia.


PENDAHULUAN

Identitas nasional adalah ungkapan nilai budaya suatu masyarakat atau bangsa yang
bersifat khas yang membedakannya dengan bangsa lain. Identitas nasional bukan sesuatu
yang sudah selesai, tetapi terus berkembang secara kontekstual sesuai dengan perkembangan
zaman. Unsur-unsur identitas nasional antara lain pola perilaku, simbol simbol, alat-alat
perlengkapan, dan tujuan yang akan dicapai secara nasional, sedangkan unsur pembentuk
identitas nasional meliputi sejarah, kebudayaan, suku bangsa, agama, dan bahasa (Ubaedillah
dan Rozak, 2008: 19-21).
Sumpah Pemuda yang dihasilkan Kongres Pemuda Indonesia tanggal 28 Oktober
1928 berisi tiga deklarasi tentang nasionalisme Indonesia terkait dengan kesatuan bangsa,
kesatuan tanah air, dan bahasa persatuan Indonesia. Kebermaknaan Sumpah Pemuda sebagai
deklarasi atas kebangsaan, tanah air, dan bahasa, karena kita bangsa Indonsia terdiri atas
beribu-ribu pulau (13 ribu lebih), banyak suku bangsa (652), beratus-ratus bahasa daerah
(742), serta beragam keyakinan keagamaan. Oleh karena itu, bangsa Indonesia mengenal
falsafah bhinneka tunggal ika.
Antara bahasa Indonesia dengan rasa kebangsaan Indonesia terdapat hubungan
kejiwaan yang saling menentukan (Muslich dan Oka, 2010: 72). Bahkan dapat dikatakan
bahwa terdapat hubungan simbiosis antara bahasa Indonesia dan nasionalisme kita.
Kesamaan lingua franca (bahasa Melayu) antarsuku bangsa turut memicu lahirnya
nasionalisme kita, dan sebaliknya nasionalisme kita memperkuat posisi bahasa Melayu
sebagai lingua franca yang akhirnya menjadi bahasa nasional bangsa Indonesia.
Berkaitan dengan tema tulisan ini, yaitu Bahasa Indonesia Identitas Nasional Bangsa
Indonesia, permasalahan yang dibahas adalah sejarah bahasa Indonesia, peranan bahasa
Indonesia dalam nasionalisme Indonesia, kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia,
karakteristik bahasa Indonesia sebagai identitas nasional bangsa. Tulisan ini dibuat sebagai
hasil kajian pustaka atas topik ini.
PEMBAHASAN
Sejarah Bahasa Indonesia
Kongres II bahasa Indonesia tahun 1954 mengakui bahwa bahasa Indonesia berasal
dari bahasa Melayu. Dalam catatan bahwa bahasa Melayu memiliki sejarah yang cukup
panjang. Dari batu-batu bertulis yang ditemukan, seperti Kedukan Bukit, Talang Tuwo, Kota
Kapur, Karang Brahi, Gandasuli, Bogor, dan Pagaruyung, maka yang paling awal bertahun
683 M. Hal ini menunjukkan bahwa sejak abad ke-7, bahasa Melayu sudah ditemukan dalam
tulisan dengan aksara Pallawa (Collins, 2009: 78; Adul, 1981: 1-2). Dari bukti ini dapat
diduga bahwa secara lisan beberapa abad sebelumnya bahasa Melayu sudah digunakan
masyarakat penuturnya (orang Melayu).
Ada 5 faktor yang mendorong tersebarnya bahasa Melayu di nusantara ini. Pertama,
bahasa Melayu adalah bahasa yang digunakan oleh kerajaan Sriwijaya sebagai salah satu
kerajaan di nusantara ini yang berpusat di Sumatera bagian Selatan dan Riau (Ophuijsen,
1983). Kerajaan Sriwijaya pada masanya pernah menguasai wilayah yang cukup luas di
nusantara ini, sehingga bahasa Melayu sebagai bahasa kerajaan menyebar seiring dengan
meluasnya wilayah kerajaan Sriwijaya.
Faktor kedua, pusat kerajaan Sriwijaya merupakan wilayah pusat perdagangan
internasional. Di wilayah ini terjadi pertemuan dagang antarpedagang di nusantara ini dengan
pedagang yang datang dari luar nusantara. Dalam pertemuan perdagangan tersebut terjadi
komunikasi dengan menggunakan bahasa Melayu sehingga secara tidak langsung para
pedagang dari pelosok nusantara ini dan juga pedagang yang datang dari luar, mau tidak mau
mesti berkomunikasi dalam bahasa Melayu.
Faktor ketiga, pusat kerajaan Sriwijaya menjadi pusat pendidikan, kebudayaan, dan
keagamaan agama Buddha. Sebagai pusat pembelajaran agama Buddha, membuat wilayah ini
didatangi oleh para pembelajar agama Buddha dari berbagai wilayah, termasuk yang berasal
dari Cina, Champa dan Kamboja dengan bahasa pengantar bahasa Melayu Kuno. Dalam
kaitan ini terjadilah persentuhan antara penutur bahasa Melayu dengan penutur yang
berbahasa asing. Sebagai pusat pendidikan, kebudayaan, dan keagamaan, intensitas hubungan
berbahasa sangat kuat sehingga berdampak terhadap penguasaan dan pemakaian bahasa
Melayu.
Faktor keempat, letak geografis kerajaan Sriwijaya ini di selat Melaka menjadi pintu
masuk para pedagang dari dan ke nusantara sehingga frekuensi dan intensitas pertemuan dan
komunikasi sangat tinggi di jalur ini.
Faktor kelima adalah bahasa dan sastra Melayu. Bahasa Melayu memiliki sistem
bahasa yang sangat sederhana, tidak mengenal tingkat kebahasaan, serta terbuka, sehingga
mudah dipelajari, sedangkan dari segi kesusastraan, sastra Melayu sudah demikian tinggi
yang berarti bahwa bahasa Melayu sudah mempunyai tradisi kesusastraan yang sudah sangat
baik.
Kelima faktor di atas yang membuat bahasa Melayu tersebar dan digunakan di
nusantara ini dalam komunikasi antarsuku dan antarbangsa, bagi kepentingan perdagangan,
kebudayaan, pendidikan, dan keagamaan.Dalam kondisi ini memposisikan bahasa Melayu
tidak hanya sebagai bahasa daerah, tetapi sudah menjadi bahasa perantara „lingua franca‟
dari berbagai suku dan bangsa yang berbeda bahasa di nusantara ini. Bahkan oleh Van
Ophuijsen (1983) disebutnya sebagai bahasa internasional.
Pendidikan sebagai bentuk politik etis dari pemerintah Hindia Belanda di nusantara
dengan bahasa pengantar adalah bahasa daerah yang bersifat lokal, bahasa Melayu, dan
bahasa Belanda. Pelaksanaan pendidikan ini dapat dinikmati oleh rakyat di tanah air maupun
oleh segelintir rakyat di Belanda dalam bidang hukum, kedokteran, ekonomi, dan teknik
menumbuhkan benih-benih nasionalisme dalam tubuh rakyat dan masyarakat. Tumbuh rasa
hak asasi sebagai manusia yang harus merdeka dari penjajahan. Rasa nasionalisme ini
berpadu dengan rasa anti penjajahan yang dilakukan oleh berbagai gerakan pemberontakan
dan peperangan dengan berbagai tokohnya. Kristalisasi dari nasionalisme dan anti penjajahan
ini dituangkan dalam satu deklarasi nasionalisme hasil Kongres Pemuda Indonesia, 28
Oktober 1928 berupa Sumpah Pemuda.
Ketika pembahasan dalam Kongres Pemuda Indonesia tersebut dijelaskan bahwa
tidak ada satu pun dari para pemuda yang berasal dari semua daerah di nusantara ini yang
keberatan menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan dan sebagai bahasa nasional
Indonesia. Sumpah Pemuda dengan 3 deklarasi tersebut oleh A. Teeuw disebut sebagai
pentasmiahan nama Indonesia bagi bangsa, tanah air, dan bahasa sehingga dengan peritiwa
ini memposisikan bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan dan bahasa nasional bangsa
Indonesia.
Pendirian Komisi Bacaan Rakyat tahun 1908 dan kemudian diubah menjadi Balai
Pustaka pata tahun 1917 sebagai lembaga pemerintah Hindia Belanda yang menerbitkan dan
menyediakan bahan bacaan rakyat dalam berbagai sektor kehidupan dalam bahasa Melayu
membuat berkembangnya dan tersebarnya bahasa Melayu di seluruh wilayah nusantara.
Demikian pula terbitnya majalah Pujangga Baru oleh Sutan Takdir Alisjahbana dan kawan-
kawan yang berwawasan nasionalisme dan kebudayaan modern menjadikan bahasa Indonesia
sebagai media perjuangan bangsa bagi kemajuan kehidupan yang maju dan modern juga
memberi andil dalam perkembangan dan pertumbuhan bahasa Indonesia. Masa pendudukan
Jepang di wilayah Hindia Belanda setelah Jepang mengalahkan Belanda nusantara ini
merupakan masa yang amat berarti bagi perkembangan bahasa Indonesia. Jepang sebagai
penguasa baru tidak ingin segala hal yang berbau Belanda digunakan, termasuk bahasa.
Jepang berkeinginan agar bahasa Jepang yang digunakan di wilayah pendudukan ini. Namun
penguasaan bahasa tidak semudah menguasai suatu wilayah, penguasaan dan penggunaan
bahasa memerlukan proses yang panjang. Dalam kondisi transisi ini, pertimbangan yang
sangat realistis adalah digunakannya bahasa pribumi. Dalam hal ini, dipilihlah bahasa Melayu
(Indonesia) sebagai bahasa dalam pemerintahan dan pendidikan atau pengajaran sehingga
pada masa pendudukan Jepang ini bahasa Indonesia digunakan secara resmi sebagai bahasa
pemerintahan dan pendidikan atau pengajaran.
Perjuangan pergerakan kemerdekaan yang dilakukan oleh rakyat Indonesia, baik
perlawanan fisik berupa peperangan maupun dalam bentuk politik, ditunjang pula oleh
perkembangan dan kondisi wilayah Hindia Belanda di nusantara ini. Kekalahan Belanda atas
Jepang dan kemudian kekalahan Jepang atas sekutu menyebabkan terjadinya kevakuman
kekuasaan di wilayah Hindia Belanda ini. Kondisi ini dimanfaatkan oleh para pejuang untuk
memproklamasikan diri menjadi negara dan bangsa yang merdeka dan berdaulat oleh Bapak
Soekarno – Hatta atas nama rakyat Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Sidang PPKI
pada tangal 18 Agustus 1945 menetapkan UUD RI 1945 serta mengangkat Ir. Soekarno dan
Drs. Muh. Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI. Dalam UUD 1945 bab 15 pasal 36
ditetapkan bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa negara.
Dengan demikian, dapat kita ketahui bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa
Melayu sebagai salah satu bahasa daerah di nusantara ini, kemudian berkembang menjadi
bahasa perantara lingua franca antar masyarakat. Kemudian Kongres Pemuda Indonesia, 28
Oktober 1928 menetapkan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan, bahasa nasional bangsa
Indonesia. Setelah merdeka, bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa resmi Negara.
Berkaitan dengan hal tersebut Slametmulyana mengemukakan bahwa dipilihnya
bahasa Melayu yang dijadikan bahasa nasional Indonesia karena 4 faktor, yaitu (1) bahasa
Melayu sudah merupakan lingua franca di nusantara. (2) sistem bahasa Melayu sederhana
sehingga mudah dipelajari. (3) suku Jawa, suku Sunda, dan suku lainnya dengan suka rela
menerima bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, dan (4) bahasa
Melayu mempunyai kesanggupan untuk dipakai sebagai bahasa kebudayaan dalam arti luas
(Arifin dan Tasai, 2008: 8). Di samping itu, Moeliono (1981: 44) mengemukakan bahwa
bahasa Melayu bukan merupakan bahasa asing di nusantara, dan karena bahasa Melayu
merupakan bahasa dengan penutur yang sangat kecil (4,9%) sementara bahasa Jawa
digunakan oleh penutur 47% dan bahasa Sunda digunakan oleh penutur 14.5% sehingga tidak
ada perasaan kalah dan menang, sehingga dalam hubungan ini, Sutan Takdir Alisjahbana
mengatakan sebagai mukjizat dan Sapardi Djoko Damono menganggap sebagai keajaiban.
Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu, namun bahasa Indonesia bukan bahasa
Melayu, karena bahasa Indonesia sudah sangat berbeda dengan bahasa Melayu. Dalam
perkembangannya, bahasa Indonesia sangat banyak menyerap kosakata dari berbagai bahasa,
baik bahasa asing maupun bahasa daerah di Indonesia. Bahasa asing yang berkontribusi
dalam pengembangan bahasa Indonesia meliputi bahasa Sanskerta, bahasa India, bahasa
Tamil, bahasa Portugis, bahasa Parsi, bahasa China, bahasa Jepang, bahasa Belanda, bahasa
Jerman, bahasa Arab, dan bahasa Inggris, sedangkan dari bahasa daerah meliputi bahasa
Jawa, bahasa Sunda, bahasa Batak, bahasa Minang, bahasa Palembang, bahasa Bugis, bahasa
Banjar, bahasa dari Papua, bahasa dari Maluku, dan lain-lain.
Peranan Bahasa Indonesia Dalam Persatuan dan Kesatuan Bangsa
Bahasa dan nasionalisme sangat berkaitan dan saling memegang peranan penting
(Samuel, 2008: 159). Teori Jerman yang dianggap sebagai teori kuno tentang bangsa
mengatakan bahwa suatu bangsa itu ditandai oleh persamaan keturunan, persamaan tempat
dan dilengkapi oleh persamaan bahasa dan kepercayaan. Jadi, menurut teori ini antara bangsa
dan bahasa itu terdapat hubungan yang saling menentukan, dalam arti adanya suatu bangsa
itu karena adanya bahasa yang menandainya dan adanya bahasa karena adanya bangsa
pemakainya (Muslich dan Oka, 2010: 67). Menurut Renan (Muslich dan Oka, 2010: 68),
bangsa itu adalah suatu lembaga sosial yang tumbuh sebagai akibat pengalaman sejarah
berupa perjuangan dan penderitaan dari penjajahan yang sama, yang lalu menimbulkan
keinginan untuk tetap bersama pada masa-masa sekarang dan masa-masa yang akan datang
(Gazalba, dalam Muslich dan Oka, 2010: 68). Bahasa adalah alat pengikat sosial yang paling
kuat, kalau kita hubungkan dengan kenyataan fungsi sosial budaya bahasa itu dalam
masyarakat (Vendreyes, dalam Muslich dan Oka, 2010: 68). Menurut Chase (Muslich dan
Oka, 2010: 68), suatu bahasa di dalam masyarakat mempunyai 3 fungsi (1) sebagai alat
komunikasi eksternal (antarwarga), (2) sebagai alat komunikasi internal (berpikir), dan (3)
sebagai pembentuk pandangan hidup.
Menurut Voessler (Muslich dan Oka, 2010: 71), rasa kebangsaan (nasionality) itu
tergantung sekali oleh bahasa nasional itu, karena bahasa nasional itu merupakan elemen
yang membentuk rasa kebangsaan suatu bangsa. Tentang peranan bahasa nasional sebagai
pembentuk rasa kebangsaan dikemukakan oleh Grya (Muslich dan Oka, 2010: 71) bahwa
dengan peranan bahasa sebagai alat pembentuk rasa kebangsaan maka setiap bangsa
berkeinginan untuk memiliki suatu bahasa sendiri karena memiliki suatu bahasa itu sama saja
dengan memiliki suatu peradaban. Voessler (Muslich dan Oka, 2010: 71) menyatakan antara
rasa kebangsaan atau nasional karakter itu identik dengan bahasa nasional.
Perjuangan kemerdekaan Indonesia boleh dikatakan sejajar dengan perjuangan bahasa
Indonesia dalam mencapai kedudukannya atau fungsinya sebagai bahasa nasional
(Alisjahbana, 1957, dalam Muslich dan Oka, 2010: 72). Antara bahasa Indonesia dengan rasa
kebangsaan Indonesia terdapat hubungan kejiwaan yang saling menentukan bila ditinjau dari
teori di atas (Muslich dan Oka, 2010: 72). Bahkan dapat dikatakan bahwa terdapat hubungan
simbiosis antara bahasa Indonesia dan nasionalisme kita. Kesamaan lingua franca (bahasa
Melayu) antarsuku bangsa atau bangsa turut memicu lahirnya nasionalisme kita, dan
sebaliknya nasionalisme kita memperkuat posisi bahasa Melayu sebagai lingua franca yang
akhirnya menjadi bahasa nasional bangsa Indonesia.
Prasyarat pokok yang harus ada dalam rangka mewujudkan kesatuan bangsa adalah
kesadaran nasional tentang pentingnya kesatuan bangsa bagi bangsa Indonesia yang serba
majemuk ini. Dalam kaitan ini peranan bahasa Melayu sebagai bahasa per gaulan (lingua
franca) dalam proses kesatuan bangsa Indonesia sangat penting (Padi, dalam Atmadi dan
Setiyaningsih, 2003: 114).
Dari sejarah bahasa Indonesia terlihat dengan jelas bahwa bahasa Indonesia sebagai
bahasa nasional mempersatukan bangsa yang demikian bhinneka karena memungkinkan
komunikasi yang lancar antara anggota masyarakat, sekalipun berasal dari beraneka ragam
suku bangsa. Betapa hebat peranan bahasa Indonesia untuk membawa kawan-kawan kita di
daerah untuk dapat cepat turut dalam kehidupan nasional bangsa Indonesia. Persatuan
nasional tersebut merupakan tonggak utama untuk terpeliharanya kemerdekaan bangsa
(Suryohadiprodjo, 1980: 40). Tanpa hadirnya bahasa Indonesia sulit dibayangkan dengan alat
apakah bangsa Indonesia akan mempersatukan seluruh kekuatan untuk melawan penjajah dan
merebut kemerdekaan (Suwito, 1983: 483 dan Mahayana, 2008: 38). Junus (1969:40)
menegaskan bahwa bahasa Indonesia adalah (a) bahasa yang digunakan dalam pergerakan
kebangsaan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia, dan (b) bahasa yang digunakan pada
penerbitan-penerbitan yang bertujuan untuk mewujudkan cita-cita perjuangan kemerdekaan
Indonesia, baik berupa bahasa pers maupun bahasa dalam karya sastra.
Sudah terbukti peran bahasa Indonesia mampu mencairkan persatuan etnik sebagai
pemersatu dan membangkitkan nasionalisme. Peranan bahasa Indonesia tentu tidak lagi
sebagai alat perjuangan dan sarana mempererat kesatuan bangsa, melainkan bagaimana
bahasa Indonsia mampu mengangkat citra bangsa di mata dunia. Menyadari betapa penting
peran kesamaan bahasa bagi terwujudnya kesatuan bangsa, maka usaha memasyarakatkan
bahasa Indonesia di semua lapisan makin gencar dilakukan (Mahayana, 2008: 34). Melihat
perjalanan bahasa Indonesia selepas merdeka sampai keluar SK Presiden RI No. 57 tanggal
17 Agustus 1972 tentang peresmian berlakunya Ejaan yang Disempurnakan peranan bahasa
Indonsia tidak lagi sebagai alat perjuangan kebagsaan sebagaimana yang dilakukan bangsa
kita selepas Sumpah Pemuda, peranannya justru memperkokoh keanekaragaman suku, adat,
agama, serta bagi kemampuan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara.
Berkaitan dengan peran bahasa Melayu (Indonesia) dalam nasionalisme bangsa
Indonesia juga bisa dilihat pada pernyataan Moh. Yamin dan George MCTruman Kahin
sebagai berikut. Moh. Yamin dalam pidato pada Kongres Pemuda Pemuda Indonesia, 27-28
Oktober 1928 dengan judul Persatuan dan Kesatuan Indonesia menyatakan: “Kalau saya
sepuluh tahun yang berbicara tentang hal ini semuanya tentu saya gambarkan sebagai cita-
cita saja. Tetapi dalam waktu yang sepuluh tahun ini sudah banyak digunakan bahasa yang
dulu dinamakan bahasa Melayu sekarang sudah dikuburkan dan hidup menjelma menjadi
bahasa Indonesia. Dalam kongres tahun 1926 telah saya uraikan panjang lebar bagaimana arti
bahasa ini bagi kita dan tanah air kita, dan mengapa bahasa Indonesia lahir ke dunia. Segala
apa yang saya katakan tiada akan saya ulang lagi, hanyalah yang saya hendak terangkan
bagaimana peranan sesungguhnya bahasa Indonesia kepada persatuan kita” (Ihsan dan
Soeharto, 1981: 148).
Menurut Kahin bahwa dalam proses sosial budaya, paling kurang ada 3 faktor yang
telah menyumbang pada terciptanya rasa persatuan Indonesia, yaitu (a) agama Islam sebagai
agama mayoritas rakyat, (b) kenyataan bahwa di Hindia Belanda sejak abad ke-11 bahasa
Melayu telah merupakan bahasa pergaulan (lingua franca), dan (c) diperkenalkannya sistem
pendidikan Belanda di awal abad ke-19” (Tomagola, dalam Maneger dan Achmad, 2010: 69).
Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional menjadi penjalin kesatuan dan pengikat
kekitaan Indonesia, keindonesiaan kita. Kohesi nasional mendapat perekat paling kuat karena
kita memiliki bahasa Indonesia. Sumpah Pemuda 1928 memiliki arti dan makna yang dalam
dan sangat filosofis bagi bangsa kita, bangsa Indonesia. Eksistensi bangsa dan negara adalah
mendasar, bahasa Indonesia ada dan berkembang bersama-sama dengan ada dan
berkembangnya kebangsaan Indonesia (Soekirno, 2008: 61).
Bahasa Indonesia dapat dianggap sebagai realisasi terpenting pada zaman penjajahan
dari cita-cita kebangkitan bangsa Indonesia sebagai suatu kesatuan dalam dunia modern serta
perwujudan dari realisasi cita-cita kebudayaan modern yang berbeda dari kebudayaan
tradisional yang ada sejak berabad-abad di bumi Indonesia. Dilihat dari perkembangan
bahasa Indonesia dalam dunia modern yang sejalan dengan bangkitnya nasionalisme sejak
zaman Renaissance, terbentuknya bahasa Indonesia dapat dikatakan sebagai suatu mukjizat
yang tidak ada tandingannya dalam sejarah bahasa-bahasa (Alisjahbana, dalam Purwo, 1992:
1) dan Damono (Sweeney, dkk, 2007: xii) menganggap sebagai suatu keajaiban. Seperti
dikemukakan di atas bahwa pada saat menetapkan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan
dan bahasa nasional tidak mengalami hambatan psikologis dalam tubuh bangsa kita. Ketika
pembahasan dalam Kongres Pemuda Indonesia tahun 1928 tidak ada satu pun wakil dari suku
bangsa termasuk wakil dari Jawa dan Sunda, yang keberatan dijadikannya bahasa Melayu
sebagai bahasa nasional. Berbeda dengan di Filipina, India, Pakistan, dan lain-lain saat
menetapkan bahasa nasional sempat menimbulkan gejolak nasional.
Dengan demikian, bahasa Melayu yang telah berabad-abad menjadi lingua franca di
seluruh kepulauan ini dan telah luas dipakai dalam pergerakan kebangkitan kebangsaan,
memantapkan kedudukannya mengatasi bahasa-bahasa daerah. Dengan kenyataan ini, harus
kita sadari bahwa bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Melayu yang menjadi lingua
franca berabad-abad di Asia Tenggara diangkat oleh pergerakan kebangsaan Indonesia
menjadi bahasa persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia dan kemudian menjadi bahasa
resmi negara Indonesia (Alisjahbana, dalam Purwo, 1992: 6).
Pemasyarakatan bahasa Indonesia dalam rangka pemantapan persatuan dan kesatuan
bangsa dimaksudkan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dengan tujuan agar (1)
setiap warga negara Indonesia mau dan mampu berbahasa Indonesia secara baik dan benar,
(2) setiap warga negara Indonesia mempunyai kebanggaan untuk menggunakan bahasa
Indonesia dalam berkomunikasi sesama warga negara Indonesia, dan (3) setiap warga Negara
Indonesia mempunyai kemampuan untuk mengerti dan menyerap pesan-pesan pembangunan
serta program pemerintah. Peran yang menonjol dari bahasa Indonesia antara lain (1) bahasa
Indonesia sebagai alat untuk mengkomunikasikan pesan-pesan pembangunan dan (2) bahasa
Indonesia sebagai alat pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Anas, dalam Alwi,
dkk., 2000: 12).
Bahasa Indonesia telah mampu menerjemahkan pesan dan gagasan pembangunan
nasional kepada rakyat dengan jelas dan mudah dipahami. Partisipasi rakyat dalam
pembangunan, meskipun masih memperlihatkan adanya keterbatasan, cukuplah kita katakan
memuaskan. Selain besarnya partisipasi rakyat itu juga kita lihat tanda-tanda keberhasilan
berupa mantapnya stabilitas politik dalam negeri, mantapnya Pancasila sebagai ideologi
nasional, berkembangnya demokrasi, dan mantapnya kesatuan dan persatuan bangsa. Kita
tidak menganggap bahwa kemantapan tersebut terwujud hanya karena kita memiliki satu
bahasa nasional, tetapi banyak faktor yang berperan. Bahasa Indonesia yang kita miliki paling
tidak telah mampu menjadi peubah antisenden terhadap lahirnya kesatuan dan persatuan
untuk kemudian melahirkan kemantapan tersebut. Tuntutan kita terhadap bahasa Indonesia
untuk berfungsi sebagai pemersatu sebagai wujud jiwa kesatuan bangsa tidak berlebihan
(Yogie, dalam Alwi, dkk., 2000: 39).
Sebagai sumber inspirasi ke arah persatuan dan kesatuan bangsa sudah tidak
diragukan, namun bahasa Indonsia bukan satu-satunya sumber, sehingga kalau tidak
mendapat pembinaan dan pengembangan yang tepat akan ditinggalkan. Dalam kondisi yang
tidak menguntungkan itu kualitas persatuan dan kesatuan bangsa yang diikat tanpa ikatan
bahasa akan memperlihatkan penurunan kualitas karena dalam bahasa cermin cara berpikir
dan cara mengandung muatan perasaan (Yoegi, dalam Alwi, dkk., 2000: 41-42).

Abad ke-20 adalah abad kebangkitan nasional, abad kemerdekaan bagi bangsa
Indonesia. Kunci sukses kita untuk mencapai itu tiada lain adalah persatuan. Kita mutlak
membutuhkan persatuan untuk melawan penjajah, untuk mempertahankan kemerdekaan,
untuk menangkal separatisme, untuk menjaga keutuhan wilayah, untuk membangun
perekonomian, untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan untuk mengembangkan jati diri
bangsa (Yudhoyono, 2010: 9).

Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Nasional


Sudah 83 tahun kita bangsa Indonesia mengakui bahasa Indonesia sebagai bahasa
Nasional. Bahasa Indonesia merupakan darah dan perekat nasionalisme bangsa Indonesia.
Bahasa Indonesia merupakan wahana penjalin bersemi dan bersemainya nasionalisme dalam
diri anggota masyarakat kita yang tersebar pada seluruh kepulauan di nusantara ini sehingga
menjadi satu keluarga bangsa Indonesia.
Seminar politik bahasa nasional yang dilaksanakan oleh Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa pada bulan Pebruari 1975 dan kemudian dikukuhkan dalam Undang-
Undang No. 24 Tahun 2009, menetapkan fungsi bahasa Indonesia dalam kedudukan sebagai
bahasa nasional. Fungsi tersebut adalah (1) sebagai lambang kebanggaan nasional, (2)
sebagai lambang identitas nasional, (3) sebagai bahasa persatuan nasional dari masyarakat
yang berbeda-beda bahasa daerah, dan (4) sebagai bahasa perhubungan antarbahasa dan
antarbudaya.
Bahasa Indonesia sebagai lambang kebanggaan nasional merupakan ungkapan
perwujudan sikap kita terhadap bahasa Indonesia dan dalam berbahasa Indonesia. Yang
menjadi pertanyaan bagaimana sikap kita terhadap bahasa Indonesia dan bagaimana
kebanggaan kita terhadap bahasa Indonesia. Positif atau negatifnya sikap kita, atau
kebanggaan kita terhadap bahasa Indonesia tergambar pada perilaku kita dalam berbahasa
Indonesia. Kalau kita masih sering mengeluhkan penggunaan bahasa Indonesia oleh
masyarakat karena masih seringnya kekurangtepatan penggunaan bahasa Indonesia tersebut,
baik masyarakat umum, aparatur pemerintah, pejabat negara, atau para elite partai politik dan
masyarakat. Hal tersebut merupakan gambaran sikap dan rasa kebanggaan tersebut atas
bahasa Indonesia. Kepedulian, rasa memiliki, dan rasa bertangung jawab merupakan faktor
penentu atas sikap dan kebanggaan terhadap bahasa Indonesia tersebut. Dengan demikian,
kembali kita bertanya apakah kita peduli, merasa memiliki, dan merasa bertanggung jawab
terhadap bahasa Indonesia dan dalam berbahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia sebagai lambang identitas nasional merupakan fungsi yang melekat
pada masyarakat Indonesia. Dengan kata lain, setiap anggota masyarakat kita harus bisa dan
mampu berbahasa Indonesia baik secara lisan maupun tertulis. Dalam fungsi ini pernah
terjadi kasus penyalahgunaan kewarganegaraan Indonesia oleh warga negara asing yang
menggunakan pasport Indonesia di satu Negara. Setelah dilakukan interogasi menggunakan
bahasa Indonesia yang bersangkutan tidak bisa berbahasa Indonesia. Dengan kata lain bahwa
orang tersebut bukan warga negara Indonesia, namun mengunakan pasport palsu Indonesia.
Dengan demikian, berarti bahwa anggota masyarakat kita harus tidak ada lagi yang buta
aksara dan buta bahasa Indonesia.
Untuk diketahui bahwa pada saat proklamasi kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus
1945 kurang dari 10% dari sekitar 85 juta penduduk yang bisa membaca dan menulis dalam
bahasa Indonesia, 600 ribu orang yang duduk di SD dan 500 anak di sekolah lanjutan. Tahun
1980 hasil sensus penduduk terdata bahwa 39% anak di atas usia 5 tahun tidak bisa membaca
dan menulis. Hasil sensus penduduk tahun 1990 terdata bahwa 17% penduduk berusia 5
tahun ke atas buta aksara. Pada tahun 2010 masih terdata bahwa 9 juta orang penduduk
Indonesia buta aksara (Maryanto, 2011).
Bahasa Indonesia sebagai wahana persatuan nasional, bahasa Indonesia tidak hanya
sebagai lambang persatuan nasonal, tetapi bahasa Indonesia adalah darah persatuan nasional
kita. Bahasa Indonesialah yang menjalin dan menyatukan masyarakat yang mendiami beribu-
ribu pulau di nusantara ini. Bahasa Indonesia yang menyatukan masyarakat yang berbeda-
beda bahasa dan budaya senasib sepenanggungan mulai zaman penjajahan, masa perjuangan
kemerdekaan, sampai sekarang terjalin karena bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia adalah media perhubungan antarbudaya dan antardaerah yang
berbeda-beda bahasa. Fungsi ini penekanan lebih jauh dari fungsi ketiga di atas pada aspek
perhubungan antarbudaya dan antardaerah. Bahasa-bahasa daerah dan budaya-budaya daerah
merupakan kekayaan dan kekuatan nasional kita. Karena itu diperlukan perekat sebagai
budaya nasional, yaitu dengan bahasa Indonesia, sehingga semua bentuk budaya nasional dari
berbagai daerah bisa tampil dengan menggunakan bahasa Indonesia agar dapat dinikmati oleh
seluruh masyarakat Indonesia.

Bahasa Indonesia Sebagai Bahasa Resmi Negara


Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 yang ditetapkan pada tangal 18
Agustus 1945 dan dalam Bab XV, Pasal 36 menetapkan bahwa bahasa Indonesia adalah
bahasa resmi negara. Dalam kedudukan sebagai bahasa resmi negara ini, bahasa Indonesia
mempunyai 4 fungsi, yaitu (1) bahasa resmi kenegaraan, (2) bahasa resmi dalam pengajaran
di sekolah, (3) bahasa resmi dalam pembangunan dan pemerintahan pada tingkat nasional,
serta (4) bahasa resmi dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Berkaitan dengan fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi kenegaraan terdapat
beberapa konteks yang bisa kita lihat. Dalam acara dan upacara resmi kenegaraan, baik
secara lisan maupun tertulis harus menggunakan bahasa Indonesia. Demikian pula Presiden
RI sebagai personfikasi kenegaraan di dalam acara-acara resmi di manapun, kapan pun, dan
dengan siapa pun harus atau boleh selalu menggunakan bahasa Indonesia. Berbeda dengan
para pejabat negara lainnya dalam berkomunikasi dengan pihak lain, terutama bila
berkomunikasi dengan pihak negara lain, dia harus menggunakan bahasa yang bisa saling
dimengerti kedua belah pihak. Demikian pula secara tertulis, semua dokumen resmi
kenegaraan, semua bentuk perundang-undangan, surat-surat resmi kenegaraan, dokumen
notariat di Indonesia, semuanya harus menggunakan bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar resmi dalam pendidikan dan pengajaran
pada semua jenjang pendidikan. Ada dua kondisi dibolehkan tidak menggunakan bahasa
Indonesia sebagai bahasa pengantar pendidikan dan pengajaran di sekolah. Di Sekolah Dasar
kelas 1 sampai dengan kelas 3 di lingkungan yang tidak mungkin digunakannya bahasa
Indonesia, boleh menggunakan bahasa daerah; serta bahasa pengantar dalam pengajaran
bahasa asing boleh atau harus menggunakan bahasa asing. Dalam pengajaran bahasa Inggris
harus menggunakan bahasa Inggris, dan lainnya agar pengajaran efektif.
Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi dalam pembangunan dan pelaksanaan
pemerintahan tingkat nasional. Di dalam pelaksanaan pembangunan dan pemerintahan pada
tingkat nasional harus menggunakan bahasa Indonesia. Namun di dalam pelaksanaan
pembangunan dan pemerintahan pada tingkat yang lebih rendah, terlebih pada tingkat
kelurahan atau desa atau kampung boleh menggunakan bahasa daerah sesuai dengan
daerahnya agar dapat dipahami oleh masyarakat di daerah yang bersangkutan. Di dalam
pelaksanaan penyuluhan pembangunan di masyarakat, seperti dalam bidang pertanian,
kesehatan, KB, agama, energi (seperti kasus kompor gas), atau pertanahan, dan lain-lain bisa
digunakan bahasa daerah. Demikian pula, dalam penanganan berbagai masalah
kemasyarakatan, krisis sosial, konflik sosial, dan berbagai permasalahan kemasyarakatan
lainnya harus menggunakan bahasa yang bisa dipahami masyarakatnya.
Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan produk dari masyarakat maju dan modern, serta
tidak termasuk dalam ranah adat dan budaya kedaerahan karena itu dalam pengembangannya
harus selalu menggunakan bahasa Indonesia. Ilmu pengetahuan dan teknologi tidak mengenal
batas wilayah sehingga dalam pengembangannya tidak bisa menapikan penggunaan bahasa
asing. Dalam kaitan ini, sudah banyak dibuat dan diterbitkan kamus bahasa Indonesia dalam
bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang bersumber dari berbagai bahasa asing. Karena
itu para ilmuwan Indonesia yang bergerak dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi mau tidak mau harus memiliki kemampuan penguasaan bahasa asing.

Karakteristik Bahasa Indonesia


Bahasa Indonesia bukan bahasa Melayu, bukan bahasa daerah, dan juga bukan bahasa
asing, bahasa Indonesia adalah bahasa nasional dan bahasa resmi negara Indonesia. Bahasa
Indonesia, sejak awal pembentukannya dari bahasa Melayu sangat banyak menyerap berbagai
bahasa asing dan bahasa daerah. Dilihat dari sifat kebahasaan, bahasa Indonesia bersifat
aglutinasi tidak bersifat derivasi, sehingga dalam proses morfologis menggunakan imbuhan
berupa awalan, akhiran, dan sisipan, serta penggabungan awalan dan akhiran berupa konfiks
serta simullfiks, sedangkan dalam struktur kalimat bahasa Indonesia menganut hukum DM
(diterangkan – menerangkan) bukan MD (menerangkan – diterangkan). Hal ini sangat
berbeda dibandingkan dengan bahasa Inggris atau bahasa Arab.
Dalam kehidupan, kita berkomunikasi bisa dalam bahasa lisan dan bisa dalam bahasa
tulis. Dalam situasi resmi, baik lisan maupun tulisan, kita harus menggunakan bahasa
Indonesia baku (standar). Sebagai bahasa baku, menurut W. A. Stewart harus mempunyai
kriteria, yaitu (a) standardization, (b) autonomy, (c) historicity, dan (d) vitality (Adul, 1981:
13). Keempat kriteria tersebut terpenuhi dalam bahasa Indonesia. Di samping itu, terdapat
kriteria lainnya, yaitu kecendekiaan (intelektualisme) (Lubis, 1993: 53). Bahasa baku,
menurut Moeliono (Adul, 1981: 14) berfungsi sebagai (a) pemersatu, (b) penanda
kepribadian, (c) penambah wibawa, dan (d) kerangka acuan dalam berbahasa. Dalam bahasa
lisan, kebakuan bahasa dapat dilihat pada aspek lafal, kosa kata, dan tata bahasa, sedangkan
dalam bahasa tulis, kebakuan bahasa dapat dilihat pada aspek sistem penulisan yang mengacu
pada Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), kosa kata, dan tata bahasa. Dengan demikian, bisa
dikatakan bahwa berbahasa Indonesia baku itu meliputi baku dalam lafal, kosa kata, tata
bahasa, dan penulisan sesuai dengan Ejaan Yang Disempurnakan.
Salah satu ciri bahasa baku dan modern adalah bersifat dinamis dan terbuka seiring
dengan dinamika masyarakat sebagai implikasi dari modernisasi yang ditopang oleh ilmu
pengetahuan dan teknologi. Keterbukaan dan kedinamisan ini sudah terjadi sejak awal
terbentuknya bahasa Indonesia hingga kini, karena banyak sekali bahasa asing dan bahasa
daerah yang berkontribusi. Dinamika bahasa yang menonjol adalah perkembangan kosakata
bagi keperluan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam hubungan ini sudah banyak dibuat
dan diterbitkan kamus istilah dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kita bangsa Indonesia merupakan masyarakat dwibahasawan bahkan
multibahasawan. masyarakat kita paling sedikit bisa dalam dua bahasa dan mungkin lebih,
yaitu bahasa daerah dan bahasa Indonesia. Tidak sedikit pula masyarakat kita yang bisa
berbahasa dalam beberapa bahasa daerah juga bisa berbahasa asing, sehingga mereka
termasuk dalam kategori multibahasawan.
Setiap hari, situasi dan suasana kedaerahan yang paling banyak kita jalani. Hanya
pada segelintir orang ada tuntutan untuk menggunakan bahasa Indonesia baku. Seperti
seorang guru atau dosen saat mengajar di kelas, atau seorang pejabat dan eksekutif lainnya
ketika memimpin rapat di kantor. Jadi, tuntutan penggunaan bahasa baku dalam kehidupan
kita sangat sedikit, selebihnya kita hidup dalam suasana kedaerahan. Bahkan kita bisa
dipandang aneh, jika kita mengunakan bahasa Indonesia baku pada situasi informal yang
menuntut suasana akrab dan personal apakah di kantor, di sekolah, dan terlebih di rumah.
Demikian pula, terpaan pemakaian produk teknologi informatika berupa HP yang
sudah sangat banyak digunakan oleh masyarakat, baik dalam bahasa lisan maupun bahasa
tulis. Melalui sms berkembang penggunaan bahasa tulis yang tidak baku karena pesan yang
disampaikan melalui sms merupakan media informal, personal, dan familiar sehingga selalu
dalam bahasa yang tidak baku.
Kebakuan dalam lafal mempunyai permasalahan tersendiri di masyarakat karena
banyaknya dialek kebahasaan dalam berbahasa Indonesa. Dialek ini bersumber dari pengaruh
bahasa daerah di dalam berbahasa Indonesia (interferensi). Kita masyarakat Indonesia lahir
dan besar dalam suasana kedaerahan, sehingga hal ini sangat besar mempengaruhi dalam
berbahasa Indonesia.
Permasalahan menonjol dalam penggunaan bahasa lisan meliputi bunyi /e/ oleh
masyarakat Batak, Papua, Maluku, dan Dayak, bunyi /t/ oleh masyarakat Bali, dan Aceh,
bunyi /d/ dan /b/ oleh masyarakat Jawa, bunyi /o/ dan /e/ oleh masyarakat Banjar, bunyi /n/
dan /ng/ yang dilafalkan terbalik pada posisi akhir kata oleh orang Bugis dan Makassar, serta
bunyi /f/ dan /x/ oleh sebagian masyarakat yang kurang terpelajar. Dalam tataran struktur,
sering muncul dari masyarakat yang berasal dari Maluku dan Papua dengan struktur terbalik
(Mahsun, 2010) serta penggunaan frase daripada, yang mana, dan dimana sebagai
penghubung oleh sebagian besar masyarakat karena terpengaruh pola bahasa asing. Demikian
pula, langgam yang bersifat kedaerahan yang bersumber dari bahasa daerah terjadi pada
semua masyarakat. Pelafalan standar bahasa Indonesia hanya ada dalam deskripsi ilmiah
tetapi kurang menjadi acuan bahan pengajaran bahasa Indonesia di sekolah sehingga anak
didik tidak pernah mendengar model pembelajaran lafal baku dari setiap fonem bahasa
Indonesia.
Permasalahan dalam pengunaan bahasa tulis meliputi penggunaan frase daripada,
yang mana, dan dimana yang sering digunakan sebagai penghubung, penggunaan konfiks ke-
an dan pe-an, simulfiks, di-kan, di-i, me-kan, dan me-i yang menyatukan dua kata. Demikian
pula, penggunaan angka Arab dan angka Romawi yang mengarah ke bilangan bertingkat
banyak terdapat kekeliruan. Selain itu, yang sangat menonjol adalah penggunaan awalan di-
dan kata depan di yang disebabkan kekurangfahaman atas aturan penggunaannya dalam
bahasa Indonesia.
Terkait dengan usaha menjaga ciri dan karakteristik bahasa Indonesia dalam
menyerap setiap kosakata dalam pengembangan bahasa Indonesia sebagai media
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, selalu dilakukan adaptasi dengan
karakter bahasa Indonesia, sehingga setiap kata dari berbagai bahasa yang diambil, secara
struktur dan lafal disesuaikan dengan bahasa Indonesia. Cara ini dapat memelihara
karakteristik bahasa Indonesia, baik dari segi lafal, kosakata, struktur, maupun penulisan. Hal
ini tertuang dalam politik bahasa nasional berkaitan dengan peran bahasa Indonesia, bahasa
daerah, dan bahasa asing, pedoman Ejaan yang Disempurnakan, serta pedoman pembentukan
istilah.
Dalam hubungan dengan dinamika berbahasa, berkaitan dengan sikap kita sebagai
penutur bahasa Indonesia, apakah positif atau negatif. Bagaimana kepedulian, rasa memiliki,
dan rasa tanggung jawab atas bahasa Indonesia. Di dalam pembelajaran bahasa, ada 3 aspek
yang terkait, yaitu aspek pengetahuan (kognitif), aspek keterampilan (psikomotor), dan aspek
sikap (afektif). Dalam perkembangan awal antara ketiga aspek terbentuk secara runtut
dimulai dari kognitif, psikomotor, dan kemudian afektif. Namun dalam perkembangan
kemudian bisa diawali dan ditentukan oleh aspek afektif. Sikap ini bisa dilihat pada kesetiaan
terhadap bahasa Indonesia, kebanggaan terhadap bahasa Indonesia, dan kesadaran pemakai
bahasa akan norma-norma sosiokultural yang berlaku yang mendorong seseorang untuk
selalu menggunakan bahasa Indonesia secara sungguh-sungguh, baik, dan santun (Rahardi,
2006). Permasalahan pemakaian bahasa Indonesia yang terjadi di masyarakat bisa disebabkan
oleh sikap masyarakat yang tidak positif terhadap bahasa Indonesia dan berbahasa Indonesia
sehingga dalam pemakaian bahasa Indonesia tidak mengindahkan kaidah bahasa Indonesia,
apalagi ditambah dengan sangat kurangnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat
terhadap kaedah bahasa Indonesia.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Sumpah Pemuda hasil oleh Kongres Pemuda Indonesia tanggal 28 Oktober 1928
merupakan kristalisasi dari nasionalisme Indonesia. Bahasa Indonesia sebagai salah satu isi
sumpah pemuda memegang peranan penting bagi nasionalisme Indonesia. Bahasa Indonesia
merupakan darah yang menjalin dan menumbuhsuburkan nasionalisme dalam masyarakat
kita yang mendiami beribu-ribu pulau di nusantara ini dengan berbagai suku bangsa dan
bahasa daerah. Bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Melayu sebagai salah satu bahasa
daerah yang ada di nusantara ini kemudian berkembang menjadi bahasa perantara (lingua
franca), terus menjadi bahasa nasional, dan akhirnya menjadi bahasa resmi Negara.
Dalam kedudukan sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai (1)
lambang kebanggaan nasional, (2) lambang identitas nasional, (3) sebagai bahasa persatuan
nasional dari berbagai masyarakat yang berbeda-beda bahasa dan budaya, serta (4) sebagai
bahasa perhubungan antardaerah dan antarbudaya. Dalam kedudukan sebagai bahasa resmi,
bahasa Indonesia berfungsi sebagai (1) bahasa resmi kenegaraan, (2) bahasa pengantar di
lembaga pendidikan, (3) bahasa perhubungan dalam pelaksanaan pembangunan dan
pemerintahan tingkat nasional, serta (4) bahasa pengantar dalam pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi modern.
Saran
Sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi negara, bahasa Indonesia merupakan
bahasa yang baku, terbuka, dinamis seiring dengan dinamika perkembangan masyarakat
sebagai dampak pembangunan nasional yang ditopang oleh ilmu pengetahuan dan teknologi
modern. Untuk itu kita masyarakat bangsa sebagai penutur bahasa Indonesia dituntut selalu
terbuka dan dinamis mengikuti perkembangan bahasa Indonesia agar bahasa Indonesia yang
digunakan selalu baik dan benar. Di samping itu, masyarakat agar selalu bersikap positif
terhadap bahasa Indonesia dan dalam berbahasa Indonesia sebagai upaya membina bahasa
Indonsia. Membina bahasa Indonesia berarti juga membina nasionalisme bangsa karena
bahasa Indonesia merupakan identitas nasional bangsa Indonesia.
DAFTAR RUJUKAN
Adul, M. Asfandi. 1981. Bahasa Indonesia Baku dan Fungsi Guru dalam Pembinaan
Bahasa Indonesia. Surabaya: Penerbit PT Bina Ilmu.
Alisjahbana, Sutan Takdir. 1992. Peranan Bahasa Indonesia dalam Modernisasi
Kebudayaan Indonesia. Dalam Bambang Kaswanti Purwo, PELLBA 5. Jakarta: Lembaga
Bahasa Unika Atma Jaya.
Alwi, Hasan, dkk., (Ed.). 2000. Bahasa Indonesia Menjelang Tahun 2000. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud RI.
Arifin, E. Zainal dan Tasai, S. Amran. 2008. Cermat Berbahasa Indonesia untuk PT. Jakarta:
Penerbit Akademika Pressindo.
Collins, James T. 2009. Bahasa Sanskerta dan Bahasa Melayu. Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, dan Ecole Francaise d‟Extreme-
Orient.
Junus, Umar. 1969. Sedjarah dan Perkembangan Ke arah Bahasa Indonesia dan Bahasa
Indonesia. Djakarta: Bhrata.
Lubis, A. Hamid Hasan. 1993. Jenggala Bahasa Indonesia. Bandung: Angkasa. Mahayana,
Maman S. 2008. Bahasa Indonesia Kreatif. Jakarta: Penaku.
Mahsun. 2010. Genolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Maryanto. 2011. Prospek Keberaksaraan Bahasa Persatuan, Koran Tempo, Jakarta, 21
Oktober 2011.
Moeliono, Anton M. 1981. Pengembangan dan Pembinaan Bahasa: Ancangan Alternatif di
Dalam Perencanaan Bahasa. Jakarta: Djambatan.
Muslich, Masnur dan Oka, I Gusti Ngurah. 2010. Perencanaan Bahasa pada Era
Globalisasi. Jakarta: Bumi Aksara.
Padi, A. A. 2000. Integrasi Bangsa Dalam Pengajaran Sejarah. Dalam A. Atmadi dan Y.
Setiyaningsih (ed.). Transformasi Pendidikan Memasuki Milenium Ketiga. Yogyakarta:
Kanisius-Penerbitan Universitas Sanata Darma.
Rahardi, R. Kunjana. 2006. Dimensi-Dimensi Kebahasaan, Aneka Masalah Bahasa
Indonesia Terkini. Jakarta: Erlangga.
Samuel, Jerome. 2008. Kasus Ajaib Bahasa Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia.
Soekirno, Ichary. 2008. Globalisasi dan Revolusi Saintifik dalam Keanekaragaman Umat
Manusia, Budaya, dan Nilai. Bandung: Unpad Press.
Suryodihadiprodjo, Sayidiman. 1980. Bahasa Indonesia sebagai Sarana Pembinaan
Ketahanan Nasional. Dalam Majalah Bahasa dan Sastra, Tahun VI No.4. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia.
Suwito. 1983. Sosiolinguistik, Teori dan Problema. Solo: Henary Offset. Sweeney, Amin,
dkk. 2007. Keindonesiaan dan Kemelayuan dalam Sastra. Depok-Jawa Barat: Desantara.
Tomagola, Tamrin Amal. 2010. Pertautan Warga Bangsa Landasan Kukuh Negara. Dalam
Maneger Nasution dan Nur Achmad (Ed.). Umat Beragama Mengawal NKRI – Satu Abad
Kebangkitan Nasional. Jakarta: Panitia Pertemuan Besar Umat Beragama Mengawal NKRI.
Ubaedillah, A. dan Rozak, Abdul. 2008. Pendidikan Kewargaan, Demokratisasi, Hak Asasi
Manusia, dan Masyarakat Madani. Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah dan Prenada
Media Group.
Van Ophuijsen, Ch. A. 1983. Tata Bahasa Melayu. Jakarta: Djambatan.
Yamin, Moh. 1981. Persatuan dan Kesatuan. Dalam A. Zainoel Ihsan dan Pitut Soeharto.
Aku Pemuda Kemarin di Hari Esok, Kumpulan Tulisan Asli Pidato Tokoh Pergerakan
Kebangsaan 1913-1938. Jakarta: Jayasakti.
Yudhoyono, Susilo Bambang. 2010. Strategi Menjadi Negara Maju Abad 21, Sam- butan
Presiden RI pada Silaturahmi Dengan Akademi Ilmu Pengetahuan Indo- nesia (AIPI) dan
Masyarakat Ilmiah Indonesia, Serpong, 20 Januari 2010.

Anda mungkin juga menyukai