Diterbitkan Oleh:
Dr. Wahyudi Isana Press
Anggota ISBN/KDT No. 978-602-98598
Jl. Babakan Raya Gg. B3, Dramaga Bogor
Telepon: +62 81521560387, +62 85347153484
Email: isanautama@yahoo.com
Isi diluar tanggungjawab
ISBN 978-602-98568-0-49 5
Istilah “masa kejayaan” sektor kehutanan sebenarnya lebih C. Kejayaan Itu Sedang Redup
tepat diganti dengan “semarak“ sektor kehutanan. Masa ini
terjadi di era orde baru dengan komoditas andalan berupa kayu Kejayaan sektor kehutanan melalui bom logs dan raja kayu
bulat dari hutan alam disusul dengan semaraknya industri kayu lapis dunia rupanya tidak disiasati dengan penerapan konsep
lapis. kelestarian hasil hutan dan strategi pengembangan industri
Sejak diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun pengolahan kayu yang lebih kompetitif, efektif dan efisien.
1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Sejak tahun 90-an, produksi kayu bulat nasional selalu
Hutan (HPH dan PHH), hutan alam di luar Jawa mulai mengalami penurunan yang mencerminkan konsep kelestarian
dieksploitasi secara besar-besaran untuk memperoleh hasil hasil pada pengelolaan hutan alam belum membuahkan hasil.
Sebagai contoh, pada tahun 1992 produksi kayu bulat nasional hutannya sudah tidak produktif. Sebagai contoh, pada tahun
sebesar 26,05 juta m3/ha turun menjadi 4,14 m3/th (rata-rata) 1992 terdapat sebanyak 580 IUPHHK, namun pada tahun 2002
pada tahun 2000 sampai akhir 2013 (APHI, 2013) (Gambar 1). hanya tersisa 270 IUPHHK.
Produksi log
dalam juta m3/th
Juta
m3/th
Tahun
Tahun
Berdasarkan habitatnya hutan dikelompokkan menjadi 7 3. Savana/ hutan bambu/ hutan luruh/ hutan musim
tipe, yaitu: pegunungan.
1. Hutan daratan campuran (mixed land forests) Tipe hutan ini menempati areal yang tidak terlalu luas.
Padang rumput savana alami yang terdapat di Papua
Tipe hutan ini terletak di daratan atau tidak tergenang air berasosiasi dengan Eucalyptus spp, di Maluku berasosiasi
dan terkenal dengan hasil hutan kayu yang didominasi denga Melauleca dan di Nusa Tenggara berasosiasi dengan
kelompok daun lebar (hard wood), mekipun terdapat beberapa Eucalyptus alba. Hutan luruh terdapat pada ketinggian sekitar
jenis kelompok daun jarum (soft wood) seperti Agathis 100 m dan memiliki genera yang tidak ada di hutan hujan
bornensis. Penyebarannya meliputi Sumatera, Kalimantan, seperti Acacia, Albizia dan Eucalyptus. Pembukaan lahan dalam
Sulawesi serta pulau-pulau kecil di sekitarnya dengan dominasi jangka panjang telah menghasilkan spesies dominan tunggal
suku Dipterocarpaceae serta Nusa Tenggara, Maluku dan seperti jati (Tectona grandis) di Jawa, Melauleca leucadendron
Papua dengan dominasi jenis Pometia spp., Palaquium spp., di Maluku dan Papua serta Timonius sericeus, Borassus
Instia palembanica dan Octomeles. flabellifer dan Corypha utan di Nusa Tenggara.
4. Hutan gambut (peat forest)
5. Hutan rawa (swamp forest)
Nama gambut (peat) diambil dari tanah gambut sebagai
tapak utama, yang terbentuk dari endapan bahan organik yang Hutan rawa menempati areal yang tergenang, namun tidak
terendam air selama ratusan atau jutaan tahun dalam kondisi mempunyai formasi tapak gambut. Sering ditemukan hutan
tanpa oksigen (anerob). Lokasi lahan gambut sering ditemukan rawa berada pada tapak tanah endapan yang
berada di antara dua daerah aliran sungai dengan bagian yang
dalam berada di tengahnya. Penyebaran hutan gambut
terutama terapat di Sumatra, Kalimantan dan Papua yang
mencakup luasan sekitar 13 juta ha atau 10 % dari luas seluruh
hutan. Pengelolaan lahan gambut menjadi polemik sampai
sekarang karena sifat tanah gambut yang mampu menyimpan
air melebihi volumenya sendiri, sehingga berdampak sangat
besar terhadap ekosistem setempat apabila terjadi kerusakan
pada tanah gambut. Kebakaran gambut akan melepaskan
karbon (C) dalam jumlah yang sangat signifikans ke udara
karena gambut pada pada dasarnya adalah timbunan karbon.
Spesies yang terpenting dalam hutan gambut adalah ramin
(Gonystylus bancanus) di Kalimantan dan Camnospermae
macrophylum di Sumatra. Pada daerah yang sering terbakar
sering muncul jenis galam (Melaleuca leucadendron) sebagai
salah satu jenis pionir di daerah ini.
Gambar 9. Hutan rawa dengan tapak tergenang
Gambar 15. Hasil hutan kayu bulat berasal dari hutan primer
Belukar Lahan
kosong
Semak
THPB
Padang rumput
Lahan kritis
Diameter (cm)
didapatkan kelompok tanaman dengan pertumbuhan sangat
lambat, lambat, sedang, cepat dan sangat cepat. Kelompok 30
tanaman dengan pertumbuhan sedang yang paling
2
mendominasi menyusul kelompok sangat lambat, cepat, sangat 20 y = 0,0297x + 0,8208x + 0,3728
2
R = 0,8689
lambat dan sangat cepat.
10
0
Pertumbuhan Tanaman
0 5 10 15 20 25 30 35
Umur (Th)
Berdasarkan data tanaman meranti (Shorea leprosula)
dalam jalur tanam umur 1, 2, 11 dan 16 tahun didapatkan model Gambar 18. Pola pertumbuhan tanaman Shorea leprosula
pertumbuhan tanaman meranti (Shorea leprosula) dalam pola dengan fungsi waktu
persamaan polinomial berdasarkan fungsi riap dan waktu
(Burkhart 2003) yaitu: Dalam praktek pengusahaan hutan, penetapan siklus
D= 0,0297t2 + 0,8208t + 0,3728 (R2= 86,89% tebang biasanya menggunakan kelipatan angka 5 (lima).
dimana D = diameter akhir; t = waktu dalam tahun. Dengan memperhatikan bahwa komponen terpenting dalam
Nilai koefisien determinasi sebesar 86.89% menunjukkan sistem silvikultur TPTJ adalah tanaman dalam jalur tanam maka
bahwa persamaan ini cukup baik dan dapat menggambarkan siklus tebang sistem TPTJ yang sesuai dengan hasil penelitian
pola pertumbuhan tanaman meranti (Shorea leprosula) di ini adalah 35 tahun.
lapangan. Model ini memprediksi pencapaian diameter 50 cm Beberapa peneliti menyatakan siklus tebang sistem TPTJ
ke atas (tepatnya 51,73 cm) pada siklus tebang berdurasi 31 adalah 25 tahun dan yang lain menyatakan 30 tahun (Ditjen
tahun. BPK, 2005, 2010). Dalam penelitian ini siklus tebang sistem
Pencapaian diameter tanaman Shorea leprosula sebesar 50 TPTJ adalah 35 tahun. Dengan demikian siklus tebang sistem
cm ke atas menjadi acuan untuk mementukan daur tanaman. TPTJ dapat dipengaruhi oleh jenis tanaman, pemuliaan pohon,
Batasan diameter 50 cm ini menjadi penting karena banyak kondisi tempat tumbuh dan intensitas perawatan yang diberikan.
industri pengolahan kayu yang memerlukan kayu bulat Jenis tanaman yang sama akan mempunyai kecepatan
berdiameter minimal 50 cm. Harga kayu bulat kelompok pertumbuhan yang berbeda pada tempat yang berlainan
meranti juga lebih tinggi bila telah mencapai diameter 50 cm ke (Soekotjo, 1995). Penerapan siklus tebang 35 tahun sejalan
atas. dengan siklus tebang sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia
(TPTI), sehingga pemanenan pada daur berikutnya yang
berasal dari jalur tanam dan jalur antara dapat dilakukan secara
bersamaan dan lestari.
Pertumbuhan tanaman dapat diasumsikan sebagai fungsi Bettinger P, Boston K, Siry JP, Grebner DL. 2009. Forest
dari waktu (Burkhart, 2003). Dimensi diameter akan semakin Management and Planning. Academic Press – Elsevier.
membesar dengan semakin bertambahnya waktu, namun pada Burkhart HE. 2003. Suggestion for choosing an appropriate
periode tertentu pula harus disertai informasi pembatas level for modelling forest stand. In Amaro A, Reed D,
sehingga pertumbuhan tidak lagi meningkat atau persamaan Soares P, editors. Modelling Forest System. CABI
hanya berlaku sampai umur tertentu. Kurva sigmoid yang Publishing.
menggambar pertumbuhan pohon dapat diperoleh apabila Dephut, 1989. Atlas Kayu Indonesia. Jilid I dan II. Badan
terdapat data series yang lengkap (Vanclay, 2001), oleh karena Litbang Dephut, Bogor.
itu dalam suatu model pertumbuhan harus menyertakan semua [Ditjen BPK] Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan.
informasi yang tersedia dan terpercaya untuk menghasilkan 2005. Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi
prediksi yang dapat dipertanggungjawabkan (Grant et al. 1997). Kehutanan Nomor SK.226/VI-BPHA/2005 Tentang
Pemodelan dapat mempermudah perhitungan yang rumit yang Pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (Silin).
disusun oleh beberapa persamaan dalam waktu bersamaan Departemen Kehutanan, Jakarta.
dengan berbagai simulasi yang kita kehendaki (Indrawan, [Ditjen BPK] Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan.
2000). 2010. Profil Sistem Silvikultur Intensif di Unit Manajemen
Model: Konsep dan Implementasi. Ditjen Bina Produksi
Kesimpulan Kehutanan, Jakarta
Grant WE, Pedersen EK, Marin SL. 1997. Ecology and Natural
1. Riap diameter tahunan rata-rata (MAI) tanaman meranti Resource Management. Systems Analysis and
(Shorea leprosula) dalam jalur tanam umur 1, 2, 11 dan 16 Simulation. John Wiley & Sons, Inc.
tahun masing-masing 1,07 cm/th; 1,06 cm/th; 1,22 cm/th dan Husch B, Beers TW, Kershaw JA. 2003. Forest Mensuration.
1,31 cm/th. John Wiley & Sons, Inc. New Jersey.
2. Distribusi diameter tanaman meranti membentuk grafik Indrawan A. 2000. Perkembangan Suksesi Tegakan Hutan
lonceng (parabola) sehingga menyerupai model struktur Alam Setelah Penebangan dalam Sistem Tebang Pilih
tanaman hutan seumur (even-aged stand forest) Tanam Indonesia (Disertasi). Bogor: Program
3. Model pertumbuhan tanaman meranti (Shorea leprosula) Pascasarjana, IPB.
berdasarkan fungsi riap dan waktu adalah D= 0,0297t2 + MacKinnon K, Hatta G, Hakimah H, Arthur M. 2000. Ekologi
0,8208t + 0,3728 dengan nilai R2= 86,89% Kalimantan. Seri Ekologi Indonesia, Buku III. Canadian
4. Siklus tebang sistem silvikultur TPTJ di IUPHHK PT Gunung International Development Agency (CIDA), Prenhallindo,
Meranti adalah 35 tahun. Jakarta.
Pamoengkas P. 2006. Kajian Aspek Vegetasi dan Kualitas
Tanah Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur. Studi
Daftar Pustaka Kasus di Areal PT Sari Bumi Kusuma, Kalimantan Tengah
(Disertasi). Bogor: Program Pascasarjana IPB.
[Balitbanghut] Badan Penelitian dan Pengembangan [PT SJK] PT Suka Jaya makmur. 2010. Hasil-Hasil Penelitian
Kehutanan. 2008. Profil Pusat Penelitian dan Pelaksanaan Silvikultur Intensif. Makalah Rapat
Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Koordinasi Pelaksanaan Silin, Ditjen BPK, Jakarta.
Balitbanghut, Departemen Kehutanan, Bogor. Radonsa PJ, Koprivica MJ, Lavadinovic VS. 2003. Modelling
current annual height increment of young Douglas-fir
stands at different site. In Amaro A, Reed D, Soares P, BAB V.
editors. Modelling Forest System. CABI Publishing. HUTAN BEKAS TEBANGAN:
Soekotjo. 1995. Beberapa faktor yang mempengaruhi riap EKOSISTEM, SARAN DAN UPAYA REHABILITASI
Hutan Tanaman Industri. Direktorat Jenderal
Pengusahaan Hutan, Dephut RI, Jakarta. (Logged Over Forest: Ecosystem, Suggestion and
Soekotjo. 2009. Teknik Silvikultur Intensif (Silin). Gadjah Mada Rehabilitation Efforts)
University Press.
Suparna N. 2010. Makalah Rapat Koordinasi Pelaksanaan Silin,
Ditjen BPK, Jakarta. Oleh:
Vanclay JK. 2001. Modelling Forest Growth and Yield.
Applications to Mixed Tropical Forest. CABI Publishing. Dr. Ir. Wahyudi, MP
Wahjono D, Anwar. 2008. Prospek penerapan multisistem Pakar Silvikultur, Universitas Palangka Raya
silvikultur pada unit pengelolaan hutan produksi. Kep. Dirjen BUK No. SK.38/VI-BUHA/2012
Puslitbang dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan, Tanggal 15 Juni 2012
Bogor.
Wahyudi. 2009. Selective cutting and line enrichment planting Untuk:
silvicultural system development on Indonesian tropical
rain forest. In: GAFORN-International Summer School, Kementerian Kehutanan
Georg-August Universität Göttingen and Universität Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan
Dresden, Germany. Direktur Bina Usaha Hutan Alam
Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanama Jalur (TPTJ) mulai Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi struktur dan
diterapkan secara luas pada hutan alam produksi Indonesia komposisi vegetasi (tegakan tinggal) pada hutan alam bekas
sejak tahun 2005 berdasarkan Surat keputusan Dirjen Bina tebangan menggunakan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam
Produksi Kehutanan No. SK.226/VI-BPHA/2005 dan peraturan Jalur. Penelitian ini sangat diperlukan untuk menjawab
Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No. keraguan sebagian kalangan tentang kelestarian hutan alam
P.9/VI/BPHH/2009 tentang Pedoman Pelaksanaan Sistem pada sistem silvikultur TPTJ.
Silvikultur dalam IUPHHK Hutan Produksi (Ditjen BPK 2005,
2009). Sistem TPTJ mengadopsi dua model pengelolaan hutan
dalam satu kesatuan ekosistem, yaitu sistem tebang pilih pada METODOLOGI
jalur antara yang merupakan model polycyclic system dan
sistem tebang habis (clear cutting) pada jalur tanam yang Waktu dan Tempat
masuk dalam model monocyclic system.
Salah satu syarat kelayakan penerapan sistem tebang pilih Penelitian dilakukan bulan Februari sampai Maret 2013
(selective cutting) adalah masih terjaganya struktur dan pada hutan alam bekas tebangan menggunakan sistem
komposisi tegakan tinggal (residual trees) pada areal bekas silvikultur TPTJ pada petak tebang nomor AJ26 dengan
tebangan (logged over forest). Pada sistem Tebang Pilih koordinat titik tengah 113°55’23” BT dan 0°40’06” LS, di areal
Tanam Indonesia (TPTI) disyaratkan mempunyai struktur dan kerja IUPHHK-HA PT Gunung Meranti, Kabupaten Kapuas,
komposisi pada areal bekas tebangan untuk tingkat pohon, Provinsi Kalimantan Tengah.
tiang, pancang dan semai masing-masing sebanyak 1, 2, 4 dan
8 batang pada setiap petak ukur masing-masing (Ditjen PH
relatif (DR) (Goldsmith et al., 1986; Soerianegara dan
Pengambilan Data Indrawan 2005), dimana:
- Kerapatan suatu jenis =
Pengukuran tegakan tinggal dilakukan pada jalur antara (Jumlah individu per jenis : Luas plot contoh)
dalam petak ukur masing-masing. Petak ukur tingkat semai - Kerapatan relatif =
(tinggi dibawah 1,5 m) berukuran 2 mx 2m, tingkat pancang (Kerapatan suatu jenis : Kerapatan semua jenis) x 100%
(tinggi>1,5 m dan Φ < 10 cm) berukuran 5 mx 5m, tingkat tiang - Frekwensi suatu jenis =
(10 cm ≤ Φ< 20 cm) dan tingkat pohon (Φ ≥ 20 cm) masing- (Jumlah petak ditemukan jenis : Jumlah seluruh petak)
masing berukuran 17 m x 20 m. Pengukuran tingkat semai dan - Frekwensi relatif =
pancang dilakukan terhadap jenis dan jumlah batang sedangkan (Frekwensi suatu jenis :Frekwensi seluruh jenis) x 100%
pada tingkat tiang dan pohon dilakukan terhadap jenis, diameter - Dominasi suatu jenis =
(cm) dan tinggi (m) pohon. (Luas bidang dasar jenis : Luas plot contoh)
Pembagian kelompok pohon dilakukan menjadi tiga bagian, - Dominasi relatif =
yaitu kelompok meranti, dipterocarp non meranti dan komersial (Dominasi suatu jenis : Dominasi seluruh jenis) x 100%
lain (selain dipterocarp). b Keanekaragaman jenis (H’) dihitung menggunakan
pendekatan indek Shannon-Weiner (Krebs 1972 dalam
Pamoengkas 2006) sebagai berikut:
Jalur antara
s ni
H’ = - ∑ (pi.ln.pi) dan pi = -----
500 m
i=1 N
Jakur tanam
dimana: ni= Jumlah individu jenis ke-i
N= Jumlah individu seluruh jenis
PU pohon dan tiang
S= Jumlah jenis
PU pancang
PU semai Kriteria keanekaragaman jenis adalah tinggi bila H’>3,5;
17 m 17 m 17 m 17 m
sedang bila H’=1,5-3,5 dan rendah bila H’< 1,5.
3m 3m 3m 3m 3m 3m
Sub plot 1 (L=0-15%) Sub plot 2 (L=15-30%)
Gambar 20. Posisi jalur antara, tempat pengambilan data c Indek kekayaan jenis (R1) dapat menggambarkan
struktur dan komposisi floristik tegakan hutan kelimpahan jenis dalam suatu komunitas yang ditentukan
melalui persamaan:
Analisis Vegetasi
Hasil perhitungan indek nilai penting (INP) kelompok jenis Menurut Indrawan (2000), pada tingkat semai, Shorea
pada sub plot 1 (areal dengan kelerengan datar-landai) serta lamellata dan Shorea parvifolia mendominasi hutan primer
sub plot 2 (areal dengan kelerengan agak curam-curam) maupun sekunder di PT Ratah Timber Co, Kalimantan Timur,
disajikan dalam Tabel 2. yang menunjukan bahwa kelompok dan kedua jenis tersebut termasuk dalam kelompok meranti.
pohon meranti mendominasi pada tingkat pohon dengan nilai Pada tingkat pancang, Shorea lamellata dan Shorea parvifolia
INP pada kelerengan datar-landai dan agak curam masing yang mendominasi hutan dan kedua jenis inipun masuk dalam
masing sebesar 139,32% dan 161,73% menyusul kelompok kelompok meranti. Pada tingkat tiang, Shorea lamellata, Shorea
komersial lain dan dipterocarp non meranti. Pada tingkat tiang, bracteolata dan Arthocarpus elasticus mendominasi hutan dan
kelompok meranti masih mendominasi pada kelerengan agak dua jenis pertama termasuk kelompok meranti sementara jenis
curam-curam dengan nilai INP sebesar 144,55% namun ketiga termasuk kelompok komersial lain. Kedua kelompok
kelompok komersial lain mendominasi pada kelerengan datar- jenis ini juga mendominasi areal hutan pada plot penelitian
landai 124,55%. Pada tingkat semai dan pancang kelompok tingkat tiang. Pada tingkat pohon, Shorea lamellata, Shorea
jenis komersial lain paling dominan, menyusul kelompok meranti bracteolata, Shorea macrophylla dan Dipterocarpus gaertner
dan dipterocarp non meranti. mendominasi hutan. Ketiga jenis pertama termasuk kelompok
meranti namun jenis keempat termasuk kelompok dipterocarp datar-sedang mempunyai jumlah jenis (keragaman α) yang lebih
non meranti. Kelompok komersial lain yang mendominasi tingkat tinggi, yaitu 33 jenis, dibanding areal dengan kelerengan agak
pohon adalah Daphiniphillum sp dan Arthocarpus elasticus. curam-curam, sebesar 22 jenis, meskipun jumlah individunya
Hutan hujan tropis di Kalimantan mengandung 10.000- lebih besar.
15.000 jenis tumbuhan berbunga dan 3.000 jenis diantaranya Keanekaragaman jenis tingkat pancang pada kelerengan
termasuk jenis pohon termasuk 267 jenis dari famili datar-landai dan agak curam-curam berada pada tingkat sedang
Dipterocarpaceae (McKinnon et al. 2000). Dalam praktek dengan nilai H’ masing-masing sebesar 2,78 dan 2,77. Indek
pengelolaan hutan jenis pohon sering dipisahkan menjadi kekayaan jenis (R1) tingkat pancang pada kelerengan datar-
beberapa kelompok, seperti kelompok meranti, dipterocarp non sedang dan agak curam-curam tergolong sedang, masing-
meranti dan komersial lain (Balitbanghut 2008, Rombe 1982, masing sebesar 4,69 dan 3,93.
Wahyudi dan Matthew 1996) atau kelompok komersial ditebang, Keanekaragaman jenis tingkat tiang pada kelerengan datar-
komersial tidak ditebang dan jenis lain (Indrawan 2000) atau landai dan agak curam-curam berada pada tingkat sedang
kelompok dipterocarp, non dipterocarp dan non komersial dengan nilai H’ masing-masing sebesar 2,75 dan 2,25. Indek
(Pamoengkas 2006). Analisis vegetasi tingkat semai, pancang, kekayaan jenis (R1) tingkat tiang pada kelerengan datar-sedang
tiang dan pohon pada kelompok jenis meranti, dipterocarp non sebesar 6,68 atau berada dalam kisaran tinggi sedangkan pada
meranti dan komersial lain diperlukan untuk mempermudah kelerengan agak curam-curam tergolong sedang, dengan nilai
menganalisis struktur dan komposisi vegetasi berdasarkan 4,26. Kenyataan tersebut didukung dengan jumlah jenis, jumlah
kelompok jenisnya. individu dan luas bidang dasar yang lebih besar pada
kelerengan datar-landai. Jumlah jenis (keragaman αs) ebesar
Keanekaragaman dan Kekayaan Jenis 38 jenis, sementara itu pada kelerengan agak curam-curam
hanya 22 jenis.
Indek keanekaragaman jenis (H’) dapat menunjukkan Keanekaragaman jenis tingkat pohon pada kelerengan
tingkat keanekaragaman vegetasi pada suatu komunitas hutan. datar-landai maupun agak curam-curam berada pada tingkat
Makin tinggi nilai H’ maka semakin banyak vegetasi yang sedang dengan nilai H’ masing-masing sebesar 2,83 dan 2,41.
menyusun komunitas hutan. Berdasarkan hasil analisis Indek kekayaan jenis pohon (R1) tingkat pohon pada
vegetasi tingkat semai diketahui bahwa keanekaragaman jenis kelerengan datar-sedang dan kelerengan agak curam-curam
pada lokasi penelitian, baik pada kelerengan datar-landai tergolong tinggi, masing-masing sebesar 6,95 dan 5,16 dengan
maupun agak curam-curam, berada pada tingkat sedang jumlah jenis masing-masing 38 jenis dan 27 jenis.
dengan nilai H’ masing-masing sebesar 2,93 dan 2,44. Nilai keanekaragaman dan kekayaan jenis dapat
Indek kekayaan jenis (richness) (R1) dapat mempengaruhi menunjukkan kondisi hutan (Magurran 1988, Soerianegara dan
tingkat keanekaragaman jenis. Nilai R1 dapat menunjukkan Indrawan 2005). Dalam penelitian ini semua nilai menunjukkan
kekayaan jenis pada suatu komunitas hutan, yang kisaran sedang sampai tinggi sehingga dapat disimpulkan
keberadaannya dipengaruhi oleh banyaknya jenis dan jumlah bahwa kondisi hutan pada jalur antara sistem TPTJ, baik
individu yang terdapat dalam komunitas tersebut. Berdasarkan kualitas maupun kuantitas vegetasi penyusunnya, masih terjaga
hasil analisis vegetasi pada lokasi penelitian, dapat diketahui dengan baik dan masih menyerupai struktur hutam alam
bahwa pada areal dengan kelerengan datar-sedang mempunyai campuran (all aged stand forest).
nilai R1 yang tinggi, yaitu sebesar 6,23 sedangkan pada
kelerengan agak curam-curam mempunyai nilai R1 sedang,
yaitu sebesar 4,05. Dengan demikian areal dengan kelerengan
b Mempunyai permudaan tiang minimal 2 batang/PU (2x100
Evaluasi Kerapatan Jenis PU=200 btg/ha) atau
c Mempunyai permudaan pancang minimal 4 batang/PU
Kerapatan kelompok jenis adalah jumlah jenis per ha yang (4x400 PU)=1600 btg/ha
terdapat dalam kelompok jenis tersebut sesuai dengan tingkat d Mempunyai permudaan semai minimal 8 batang/PU (8x2500
pertumbuhannya (semai, pancang, tiang, pohon). Data ini PU)=20.000 btg/ha
diperlukan untuk mengetahui kondisi hutan (produktif atau tidak
produktif, layak diperkaya atau tidak dan lain-lain) serta Tabel 2. Kerapatan tingkat semai, pancang, tiang dan pohon
menentukan kebijakan yang akan dilakukan sehubungan pada jalur antara (Et+0) di lokasi penelitian dan
dengan kondisi hutan tersebut. beberapa tempat lain.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor
200/Kpts-II/1994 bahwa kriteria hutan produksi alam yang tidak Tingkat Kelompok Jenis PT Gunung Meranti (Btg/ha) PT Ratah TCPT SBK Kepmenhut Dirjen PH
produktif adalah:
Datar-landai Ac-curam Rata-rata Btg/ha* Btg/ha** No.200 (Btg/ha) No.151 (Btg/ha)
a Pohon inti yang berdiameter minimum 20 cm kurang dari 25
pohon/ha Meranti 8.214 9.875
b Pohon induk kurang dari 10 pohon/ha Semai Dipt.non meranti 1.071 250 24.369 23.966 19.312 1000 20.000
c Permudaan alam kurang, yaitu: Komersial lain 10.952 18.375
a Permudaan tingkat semai kurang dari 1.000 batang/ha
b Permudaan tingkat pancang kurang 240 batang/ha Meranti 1.714 620
c Permudaan tingkat tiang kurang dari 75 batang/ha. Pancang Dipt.non meranti 457 560 5.808 3.546 2.260 240 1.600
Menurut Prof. Andry Indrawan (Wawancara), perhitungan Komersial lain 2.724 5.540
tersebut didasarkan pada jumlah petak ukur (PU) per ha sesuai
tingkat pertumbuhan dikalikan dengan 100%, 75%, 60% dan
Meranti 116 82
40% masing-masing untuk tingkat pohon, tiang, pancang dan Tiang Dipt.non meranti 50 16 200 193 377 75 200
semai, sebagai berikut: Komersial lain 88 48
a Tingkat pohon = (10.000 m2/400 m2) x 100% = 25 Meranti 101 93
(batang/ha)
b Tingkat tiang = (10.000 m2/100 m2) x 75% = 75 Pohon Dipt.non meranti 25 16 183 126 188 25 25
(batang/ha) Komersial lain 79 53
c Tingkat pancang = (10.000 m2/ 25 m2) x 60% = Catatan: *) Terdiri dari kelompok komersial ditebang, komersial tidak ditebang dan jenis lain (Indrawan, 2000)
240 (batang/ha) **) Terdiri dari kelompok dipterocarp, non dipterocarp dan non komersial (Pamoengkas, 2006)
d Tingkat semai = (10.000 m2/ 4 m2) x 40% =
1.000 (batang/ha) Berdasarkan hasil analisis vegetasi dapat diketahui bahwa
Berdasarkan SK Dirjen Pengusahaan Hutan Nomor kerapatan pohon pada lokasi penelitian lebih dari yang
151/Kpts/IV-BPHH/1993 bahwa areal bekas tebangan pada dipersyaratkan. Tabel 2 menunjukkan tingkat kerapatan
IUPHHK tidak perlu diperkaya (enrichment planting) apabila vegetasi hutan di lokasi penelitian dengan perbandingan data
memenuhi persyarakatan sebagai berikut: serupa di PT Ratah Timber Co. (Indrawan 2000), PT Sari Bumi
a Mempunyai pohon inti minimal 1 batang/PU (1x25 PU= 25 Kusuma (Pamoengkas 2006) serta ketentuan dari Departemen
btg/ha) atau Kehutanan.
Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa tegakan tinggal kerapatannya. Pola persamaan J terbalik yang terbentuk dalam
tingkat semai, pancang, tiang dan pohon di jalur antara sistem penelitian ini menandakan bahwa struktur hutan alam campuran
TPTJ di PT Gunung Meranti masih mempunyai kerapatan (all aged stand forest) pada jalur antara sistem TPTJ masih
vegetasi yang baik apabila diukur dari standar Departmen terjaga dengan baik.
Kehutanan, bahkan masih relatif sama dengan kerapatan pada
hutan bekas tebangan (Et+0) sistem TPTI di PT Ratah Timber
Co dan PT Sari Bumi Kusuma. Dengan demikian dapat 30000
disimpulkan bahwa sistem jalur antara pada TPTJ masih dapat
mempertahankan kerapatan vegetasi dan menjaga kondisi alam 25000
campuran.
(Intensified Selective Cutting and Strips Planting System: Pengelolaan hutan semua umur yang kaya
Improving Silvicultural keanekaragaman jenis (biodiversity) telah disepakati
System in Production Natural Foresty) menggunakan sistem tebang pilih (selective cutting), karena
dengan sistem ini struktur dan komposisi vegetasi hutan masih
dapat dipertahankan. Sistem tebang pilih telah
Oleh: diimplementasikan pada hutan semua umur di Indonesia sejak
tahun 1972, yaitu sistem Tebang Pilih Indonesia (TPI) dan
Dr. Ir. Wahyudi, MP sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI). Meskipun telah
Pakar Silvikultur, Universitas Palangka Raya mengalami eksploitasi hutan selama puluhan tahun, kedua
Kep. Dirjen BUK No. SK.38/VI-BUHA/2012 Tanggal 15 Juni sistem tersebut mampu menjaga keutuhan hutan alam,
2012 terutama dalam aspek konservasi keanekaragaman jenis dan
HP: 0815 2156 0387, E-mail: isanautama@yahoo.com perlindungan tanah dan air serta menjaga kualitas lingkungan.
Kementerian Kehutanan Tebang Pilih Indonesia (TPI) adalah sistem silvikultur yang
Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan meliputi cara penebangan dan permudaan hutan. Sistem ini
Direktur Bina Usaha Hutan Alam perpaduan dari sistem tebang dengan batas minimum diameter
dari Indonesia, sistem Tebang Pilih Pilipina (selective logging),
penyempurnaan hutan dengan tanaman sulaman (enrichment)
dan pembinaan permudaan dengan pembebasan (refining).
SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH Pedoman Tebang Pilih Indonesia ditetapkan berdasarkan
Surat Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan (Departemen
Hutan dapat dibagi menjadi 3 (tiga) berdasarkan struktur Pertanian) Nomor 35/Kpts/DD/I/1972 tanggal 13 Maret 1972.
tegakannya, yaitu hutan seumur (evenaged forest), hutan tidak Pedoman ini berlaku dari tanggal ditetapkan (13 Maret 1972)
seumur (unevenaged forest) dan hutan semua umur (allaged sampai berlakunya SK DirJen Pengusahaan Hutan
forest). Hutan seumur dapat ditemui pada penerapan sistem (Departemen Kehutanan) Nomor 564/Kpts/IV-BPHH/1989
Tebang Habis dengan Permudaan Buatan (THPB), misalnya tanggal 30 Nopember 1989 tentang TPTI.
hutan tanaman akasia dengan daur 7 tahun. Hutan tidak Tebang Pilih Indonesia pada prinsipnya menganut sistem
seumur dapat ditemukan pada beberapa sistem pengelolaan silvikultur berdaur banyak (Polycyclic Management System)
hutan tanaman campuran atau agroforestry, dimana terdapat dengan melakukan tebang pilih pada areal yang telah
beberapa kelas umur pada hamparan tegakan hutan. ditetapkan sebagai lokasi penebangan.
Pada hutan eboni campuran, jumlah pohon inti jenis eboni
sebesar 16 batang per hektar dan sisanya 9 batang per hektar
dapat berasal dari jenis perdagangan lainnya. Pada hutan
Evaluasi Sistem TPI ramin campuran, jumlah pohon inti jenis ramin sebesar 15
batang per hektar dan sisanya 10 batang per hektar dapat
Tebang Pilih Indonesia adalah suatu sistem silvikultur yang berasal dari jenis perdagangan lainnya.
meliputi cara penebangan dan pembinaan permudaan hutan, Pada tahun 1987 dibentuk Tim Materi, Panitia Pengarah
sebagai suatu sistem yang mengkombinasikan beberapa prinsip dan Panitia Penyelenggara Diskusi Penyempurnaan Pedoman
silvikultur, antara lain: Tebang Pilih Indonesia (TPI) berdasarkan SK Kepala Badan
a. Penebangan dengan limit diameter dari Indonesia, yaitu Litbang Kehutanan Nomor 02/1987 tanggal 6 Januari 1987
Sistem Tebang Pilih dengan Limit Diameter. dengan anggota dari staf Badan Litbang, Fahutan IPB dan
b. Tebang Pilih Pilipina (Philippine Selective Logging) Fahutan UGM. Data diambil dari pelaksanaan TPI pada
c. Penyempurnaan hutan dengan penanaman sulaman beberapa HPH seperti PT Silvasaki, PT Hatma Santi (Riau), PT
(enrichment planting) Kayu Lapis Indonesia (Kalbar), PT Inhutani II, PT Hutan Kintap
d. Pembinaan permudaan dengan pembebasan dari (Kalsel) dan PT Inhutani I, PT ITCI, PT BFI (Kaltim). Hasil
tumbuhan pengganggu. kajian menunjukkan bahwa pada tegakan sisa sistem TPI masih
Evaluasi sistem TPI dilakukan pada seminar Reforestation mengandung jumlah pohon inti berdiameter 20 cm yang cukup
dan Afforestion di Fakultas Kehutanan UGM Yogyakarta tanggal dan munculnya permudaan alam yang melimpah pada rumpang
23-24 Agustus 1974. Pada seminar ini konseptor TPI, Ir. bekas tebangan. Hasil kerja tim dan panitia tidak dipergunakan
Sugiarto Warsopranoto, menyatakan bahwa: untuk penyempurnaan sistem TPI.
1. Pada hutan dengan potensi jenis kayu perdagangan yang
rendah, 10-30 m3/ha, penebangan hutan dengan sistem Tabel 3. Syarat pelaksanaan TPI dalam pedoman TPI oleh
TPI tidak banyak menimbulkan kerusakan hutan, karena Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan tahun
pohon yang ditebang per hektar tidak banyak. Namun 1980.
dikhawatirkan adanya over cutting jenis-jenis tertentu dan
penebangan pohon-pohon dengan diameter kurang dari 50 No Batas Jumlah Diameter Siklus Jatah tebang
cm. diameter pohon phn inti Tebang tahunan
2. Menurut Soerianegara, pada hutan yang kaya jenis pohon inti minimun (tahun) (etat volume)
perdagangan dengan potensi 100 m3/ha, penebangan dan Yang minimal (cm)
ditebang (batang)
penarikan kayu akan banyak menimbulkan kerusakan
(cm)
hutan, terutama pada pohon-pohon muda dan permudaan
1. Hutan 25 20 35 1/35x80%xmassa
alam, sehingga sistem TPI sukar dilaksanakan. alam tegakan
Sistem TPI telah mengalami revisi pada tahun 1980 melalui campuran
Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan. Arah revisi 2. Hutan 16* 20 45 1/35x80%xmassa
terutama pada penurunan diameter minimal pohon inti dari 35 eboni tegakan
cm menjadi 20 cm dan jumlahnya dari 40 batang/ha menjadi 25 campuran
batang/ha. Syarat pelaksanaan TPI dalam revisi ini disajikan 3. Hutan 15** 20 35 1/35x80%xmassa
dalam Tabel 1. ramin tegakan
campuran
adalah Tebang Pilih Indonesia (TPI) berdasarkan SK Dirjen
Pelaksanaan sistem TPI di lapangan belum dilakukan Kehutanan Nomor 35/Kpts/DD/1/1972. Dalam praktek
secara baik dan benar. Beberapa tahapan silvikultur yang pelaksanaan TPI, ternyata masih ditemukan beberapa kesulitan
sering ditinggalkan adalah inventarisasi sebelum eksploitasi, seperti masalah tata waktu pelaksanaan tiap tahap kegiatan.
menyisihkan pohon inti dalam jumlah cukup, inventarisasi Untuk memperbaiki kelemahan sistem silvikultur TPI,
tegakan bekas penebangan, penanaman perkayaan, dikeluarkan SK Menteri Kehutanan Nomor 485/Kpts-II/1989
penanaman tanah terbuka dan pemeliharaan tegakan bekas tentang sistem silvikultur pengelolaan hutan alam produksi di
penebangan (Soerianegara, 1989). Penyimpangan yang sering Indonesia, yang ditindak lanjuti dengan SK Dirjen Pengusahaan
muncul pada pelaksanaan TPI juga tidak terlepas dari masih Hutan Nomor 564/Kpts/IV-BPHH/89 tentang Tebang Pilih
adanya beberapa kelemahan sistem ini, seperti: Tanam Indonesia. Pada tahun 1993 dikeluarkan SK Dirjen
1. Belum ada kepastian dan kejelasan hasil pembinaan hutan Pengusahaan Hutan Nomor 151/Kpts/IV-BPHH/1993 tanggal
karena indikator keberhasilan sulit diukur dan memerlukan 19 Oktober 1993 tentang Pedoman Tebang Pilih Tanam
waktu yang lama. Indonesia.
2. Biaya operasional dalam skala yang luas sangat tinggi Sistem TPTI 1993 mempunyai daya elastisitas yang
3. Kekurangan tenaga ahli dan staf teknis kehutanan membedakan praktek pengelolaan pada hutan produksi tetap
4. Kurang seimbang antara kegiatan pemungutan hasil dan hutan produksi terbatas. Kelenturan ini sering
dengan pembinaan hutan. Intensitas pemungutan hasil diterjemahkan oleh masing-masing daerah dengan membuat
lebih besar dibanding pembinaannya. ketentuan yang lebih sesuai dengan kondisi hutan di daerahnya.
5. Lebih sulit dilaksanakan dibanding sistem tebang pilih Berdasarkan Surat Kepala Kantor Wilayah Departemen
biasa karena adanya variasi limit diameter Kehutanan Propinsi Kalimantan Tengah Nomor 2144/Kwl-
6. Tidak tahu menggunakan sistem TPI pada kondisi tertentu, 3/IX/1996 tanggal 11 September 1996 ditetapkan bahwa pada
misalnya pada hutan alam Duabanga moluccana di NTB wilayah kerja provinsi Kalimantan Tengah kegiatan Perapihan
atau Lophopetalum multinervium di Kaltim yang sulit serta Pembebasan I, II dan III tidak dilaksanakan pada Hutan
menerapkan konsep tebang pilih. Produksi Terbatas (HPT) untuk kepentingan konservasi tanah
7. Pelaksana TPI harus mempunyai dasar yang kuat tentang dan air serta perlindungan biodiversity.
tipe dan kondisi hutan, baik struktur maupun
komposisinya. Evaluasi Sistem TPTI
Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Sistem TPTI telah mengikuti kaidah alami dengan
menebang jenis-jenis pohon komersial dengan limit diameter 50
Sistem silvikultur adalah rangkaian kegiatan terencana cm ke atas pada hutan produksi tetap dan 60 cm ke atas pada
tentang pengelolaan hutan. Rangkaian ini biasanya terdiri dari hutan produksi terbatas. Bekas tebangan sistem TPTI tersebar
kegiatan pratebang, kegiatan penebangan dan kegiatan paska dalam bentuk rumpang (gap), menyerupai kondisi alam ketika
tebang, yang kesemuanya ditujukan untuk menjamin kelestarian pohon tua mati dan tumbang. Pada rumpang bekas tebangan
hutan termasuk kelestaian hasil hutan baik kayu maupun non ini banyak dijumpai permudaan alam yang tumbuh relatif baik
kayu. dibanding daerah sekitarnya yang masih tertutup oleh tegakan.
Pengelolaan hutan produksi alam di Indonesia mulai Faktor yang paling menentukan adalah meningkatnya intensitas
dilakukan sejak tahaun 70-an dengan berlandaskan UU Nomor sinar yang merangsang pertumbuhan anakan.
5 Tahun 1967. Sistem silvikultur yang dipakai pertama kali
Sistem TPTI juga mengarahkan pada perbaikan komposisi praktisi lapangan. Perusahaan tidak dapat menentukan jumlah
jenis dengan melakukan kegiatan penanaman/perkayaan bibit yang harus dibuat pada tahun berjalan karena informasi
(enrichment planting) pada areal hutan yang kurang permudaan areal kosong dan kurang permudaan masih didatakan.
dan pada areal yang kosong seperti bekas jalan sarad, bekas Barangkali, untuk meningkatkan keperdulian perusahaan pada
TPn dan TPK serta tempat kosong lainnya. Pemilihan jenis kegiatan penanaman sebagai icon kegiatan regenerasi hutan,
untuk penanaman/pengayaan disesuaikan dengan keadaan pemerintah sempat mengeluarkan kebijakan pembuatan bibit
ekologis setempat khususnya keadaan tanah dan cahaya. 1:20, artinya 1 pohon di tebang harus membuat 20 bibit.
Penanaman dapat menggunakan jenis pionir domistik Permasalahan sejak awal bukan pada keengganan perusahaan
(jabon, sungkai dll) atau exotic (sengon, akasia, ampupu dll) membuat bibit atau menanam, namun pada masalah
yang ditanam pada tempat terbuka. Sedangkan pengayaan ketidaktersediaan lokasi penanaman. Akhirnya over supply bibit
menggunakan jenis toleran yang masih memerlukan naungan semakin bertambah. Memang ironis sistem ini, disatu sisi terjadi
tegakan seperti jenis Dipterocarpaceae. over supply bibit dan sisi lain terjadi penurunan kualitas
Kelebihan TPTI dibanding sistem sebelumnya (TPI) adalah komposisi hutan yang mengancam kelestarian hasil.
pemisahan kegiatan pembinaan hutan dengan kegiatan
penebangan, dengan membuat organisasi dan penyediaan Evaluasi Sistem Tebang Pilih
anggaran yang khusus. Namun kelemahan TPTI yang juga
terdapat pada TPI adalah lemah dan sulitnya pengawasan Sistem silvikultur Tebang Pilih masih mengandung
kegiatan, terutama kegiatan pembinaan hutan serta belum ada beberapa kelemahan dalam pelaksanaan di lapangan, antara
kriteria dan indikator yang jelas tentang keberhasilan kegiatan lain:
pembinaan hutan seperti penanaman, pembebasan dan 1. Hasil hutan kayu komersial relatif kecil, yaitu hanya 30-70
penjarangan. Sistem silvikultur yang lebih baik hendaknya m3/ha (Dihimpun dari beberapa IUPHHK di Kalimanta).
memperhatikan peranan rumpang (gap), baik yang berbentuk Apabila dihitung berdasarkan luas kawasan, maka
melingkar atau jalur untuk merangsang pertumbuhan produktivitas hutan alam produksi di Indonesia bila
permudaan alam (Coates dan Philip, 1997; Sagala, 1992) serta menggunakan sistem tebang pilih murni hanya 0,25 sampai
mempermudah aspek pengawasan kegiatan pembinaan hutan 0,65 m3/ha/tahun (Nana, 2010) jauh dibawah hutan
dalam rangka menjamin kepastian adanya regenerasi hutan. tanaman yang mencapai 10-12 m3/ha/tahun (Dirjen BPK,
Pada pelaksanaan sistem TPTI sering terjadi over supply 2010)
bibit, karena kemampuan recovery hutan yang sangat cepat 2. Monitoring dan evaluasi hasil kegiatan pembinaan hutan
paska penebangan. Perusahaan sering kesulitan menemukan sistem TPI dan TPTI seperti perapihan, pembebasan I, II,
lokasi penanaman karena areal kosong telah tertutup kembali III, penanaman/perkayaan, pemeliharaan I, II, III dan
dengan anakan alam. Namun kondisi hutan paska penebangan penjarangan I, II, III masih sulit dilakukan karena
yang lebat tersebut ternyata banyak mengandung pohon-pohon pertumbuhan vegetasi hutan berlangsung sangat cepat
cacat, baik cacat dari awal (alami) maupun cacat akibat sehingga tanaman (artificial regeneration) bercampur
kegiatan eksploitasi hutan serta terjadi perubahan komposisi dengan permudaan alam (natural regeneration) dalam
jenis karena sebagian besar jenis komersial telah ditebang. kondisi yang sangat rapat tanpa terkendali, sehingga
Terjadi pergeseran komposisi jenis dari hutan primer ke hutan kondisi permudaan hutan hanya unggul dari segi kuantitas
sekunder. (sangat rapat) namun rendah dalam kualitas disebabkan
Kerancuan tata waktu kegiatan ITT dan pembibitan pada persaingan ruang tumbuh sangat tinggi sehingga
sistem TPTI tahun 1993 juga menambah kebingungan para pertumbuhan tertekan.
3. Degradasi genetik. Sistem tebang pilih hanya mengambil Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Teknik Silin: Upaya
pohon-pohon masak tebang yang unggul (commercial) dan Memperbaiki Sistem Silvikultur di Hutan Alam Produksi
berkualitas baik dan meninggalkan pohon-pohon masak
tebang yang kurang berkualitas (cacat, gerowong) dan Dalam rangka mengatasi kelemahan sistem silvikultur
belum unggul (lesser know species). Dengan demikian tebang pilih sebelumnya (TPI dan TPTI), diperlukan upaya-
komposisi pohon-pohon berdiameter besar pada hutan upaya yang serius agar pengelolaan hutan alam produksi di
bekas tebangan lebih banyak mengandung pohon non Indonesia dapat mencapai sasaran yang diinginkan. Pada
unggulan dan pohon-pohon kurang berkualitas karena tahun 2005 diluncurkan sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia
cacat, gerowong serta pohon-pohon rusak akibat yang dilaksanakan secara lebih intensif, yang dikenal dengan
penebangan. Fenomena ini menyebabkan asumsi nama sistem Tebang Pilih Tanam IndonesiaIntensif (TPTII).
kelestarian hasil hutan pada siklus tebang berikutnya Sistem ini mengadopsi sistem sebelumnya, Tebang Pilih Tanam
menjadi bias. Konservasi (TPTK) dan Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ)
4. Regenerasi hutan bekas tebangan tidak dapat berjalan dengan menyeragamkan lebar jalur tanam dan lebar jalur
secara efektif, karena ruang tumbuh bagi permudaan antara.
hutan, baik yang alami maupun buatan (tanaman), sangat Prinsip dasar sistem TPTK, TPTJ dan TPTII adalah
terbatas dengan kondisi persaingan yang sangat tinggi. pembuatan celah (gap) dalam bentuk jalur memanjang. Gap
Struktur dan komposisi tegakan bekas tebangan masih yang dibuat melingkar dengan nama Tebang Rumpang pernah
sangat rapat sehingga tidak dapat menyiadakan ruang diperkenalkan oleh Balai Teknologi Reboisasi (BTR) Banjarbaru,
tumbuh yang diperlukan untuk pertumbuhan permudaan namun kurang mendapat sambutan karena belum
secara optimum. mencantumkan analisis ekonomi, kelayakan finansial, arah
5. Kesulitan menerapkan program pemuliaan hutan. pemanfaatan kayu berdiameter kecil serta kesulitan dalam
Permudaan hutan bekas tebangan masih mempunyai operasional di lapangan karena gap yang disarankan terletak
struktur yang berlapis serta komposisi vegetasi yang secara acak sesuai arah penebangan, bukan secara sistematis
beragam sehingga membentuk ekosistem yang komplek. sebagaimana sistem jalur.
Kondisi ini menyulitkan upaya pemuliaan beberapa jenis Sistem gap berbentuk jalur telah banyak diperkenalkan
pohon terpilih. Akumulasi faktor pembatas seperti diberbagai negara maju untuk mengurangi eksploitasi hutan
minimnya ruang tumbuh tajuk (cahaya), ruang tumbuh alam yang dilakukan menggunakan THPB. Secara ekologi,
perakaran (unsur hara tanah) serta persaingan yang sangat sistem jalur dapat menjawab permasalahan yang ada
tinggi dengan species lain menyebabkan pohon unggul sebelumnya dan pemulihan keanekaragaman jenis juga dapat
sekalipun akan sulit tumbuh dan berkembang secara diandalkan (Coates dan Philip, 1997).
optimal. Sistem silvikultur dengan teknik gap menyerupai suksesi
6. Sistem tebang pilih menggunakan rezim ekstensifikasi yang alam pada kejadian pohon mati dan roboh atau jatuhnya cabang
memerlukan lahan yang sangat luas untuk memproduksi besar sehingga membentuk gap (celah) dan ruang terbuka
sedikit hasil hutan, sehingga memerlukan investasi yang sebagai tempat tumbuh yang baru. Sistem silvikultur dengan
tinggi untuk menjalankannya. Cara seperti ini kurang teknik gap dirancang dengan melakukan penebangan pohon
disukai oleh investor serta dipandang tidak efektif dan tidak atau kelompok pohon besar dengan ukuran, bentuk dan
efisien oleh Pemda karena hanya sedikit mendatangkan distribusi tertentu.
PAD. Studi tentang dinamika gap, yang dianggap sebagai
perubahan kecil pada ekosistem hutan, sangat penting
diperhatikan karena dapat digunakan untuk memprediksi respon sistem tebang habis. Kasus Date Creek membuktikan adanya
pertumbuhan dan dinamika ekosistem pada gap (ruang hubungan antara kehadiran, kelimpahan dan pertumbuhan
tumbuh). Banyak literatur tentang dinamika gap menekankan spesies dengan gap dalam berbagai ukuran. Pendekatan gap
pada ukuran gap atau posisi vegetasi dalam gap tersebut dalam pada sistem silvikultur dilakukan dengan memperhatikan sistem
rangka meningkatkan pertumbuhan dan menjamin dinamika penebangan secara parsial dengan menyisakan sebagian
ekosistem hutan. hutan, memperhatikan struktur biologi, organisme dan proses
Fenomena dan pengelolaan dalam gap menurut Coates dan ekosistem melalui variasi ukuran gap dan pengembangan
Philip (1997) adalah: sistem silvikultur untuk memproduksi kayu secara lebih
- Gap diperlukan untuk merangsang regenerasi dan suksesi bijaksana.
alami. Menurut Coates dan Philip (1997) variasi lebar jalur bersih
- Gap menghasilkan keadaan tapak dan umur anakan yang masih diperlukan untuk merangsang kehadiran dan
relatif seragam. pertumbuhan anakan pada tipe tegakan tertentu. Sistem TPTJ
- Pengelolaan gap diarahkan pada kerapatan, ukuran (luas), yang masih memberi peluang penggunaan beberapa variasi
bentuk, frekwensi, distribusi, dinamika komunitas, orientasi, lebar jalur kiranya masih baik digunakan, sehingga kita dapat
umur, struktur lapisan bawah dan yang paling penting menemukan pola penentuan lebar jalur bersih yang lebih
adalah tingkat keterbukaan ruang tumbuh. optimal sesuai dengan tipe hutannya.
- Jenis yang dibina diutamakan jenis asli
- Di Selandia Baru ditemukan hubungan antara pola Penanaman Dalam Jalur Tanam: Upaya Meningkatkan
regenerasi dan pertumbuhannya dengan ukuran gap. produktivitas Hutan
- Perlakuan silvikultur dapat membuat sistem gap dengan
beberapa variasi. Rehabilitasi hutan bekas tebangan dengan metode line
Hubungan gap dengan spesies yang terdapat didalamnya enrichment planting telah banyak diterapkan di Indonesia,
(Lertzman, 1992): seperti sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) dan Tebang
- Ukuran gap dapat menyebabkan perbedaan tingkat Pilh Tanam Indonesia Intensif (TPTII). Sistem ini menggunakan
pertumbuhan dan dominasi spesies kombinasi antara polycyclic system dengan monocyclic system
- Gap sering dikuasai jenis-jenis dominan dengan rangkaian (tahapan) kegiatan tertentu yang mengarah
- Terdapat spesies yang sesuai di tengah gap atau di tepi pada tercipta kondisi tapak dan iklim mikro yang optimal untuk
gap. mendukung keberhasilan pengelolaan hutan lestari dan
Pengetahuan tentang teknik gap meliputi pola suksesi, produktif. Salah satu kelebihan metode ini (yang tidak dimiliki
dinamika populasi dan komunitas hutan. Teknik ini dapat sistem TPTI) adalah relatih mudah melakukan kegiatan
dipakai dalam sistem silvikultur. Pemodelan gap juga dapat perawatan serta pengawasan, monitoring dan evaluasi,
dipergunakan untuk memprediksi dan menguji tingkat efektifitas khususnya terhadap tanaman dalam jalur, baik yang dilakukan
sistem penebangan secara parsial. Intensitas cahaya, instansi terkait, LSM maupun pihak perusahaan sendiri.
keseimbangan air dan siklus hara berhubungan dengan ukuran Pertumbuhan (riap) tanaman dalam jalur lebih cepat karena
gap dan posisi dalam gap yang berpengaruh pada proses ditunjang oleh intensitas sinar dan ruang tumbuh yang lebih baik
perkecambahan, kematian, pertumbuhan dan perkembangan (mematahkan sinar sebagai limiting factor dalam pertumbuhan
serta aktifitas biologi (Coates dan Philip, 1997). anakan di hutan tropis).
Sistem silvikultur dengan teknik gap perlu diterapkan pada Metode line enrichment planting mempunyai dua daerah
pengelolaan hutan alam secara lebih luas dan mengurangi konsentrasi pengelolaan yang saling berkaitan erat, yaitu pada
jalur antara dan jalur bersih (jalur tanam). Pada jalur antara
kualitas tapak relatif tidak mengalami perubahan yang menyolok
dan berfungsi sebagai konservasi hutan dan biodiversity,
memberi kondisi tapak yang masih sesuai untuk
mempertahankan ekosistem serta menciptakan ruang tumbuh Light
yang optimal bagi tanaman yang berada dalam jalur bersih
seperti berbagai jenis Shorea yang berifat toleran dan semi
toleran. Sementara itu pada jalur bersih yang mempunyai
ruang tumbuh lebih lebar dan intensitas cahaya yang lebih
tinggi, kegiatan diarahkan untuk penanaman dan pengayaan
(enrichment planting) jenis terpilih yang bernilai komersil tinggi
dan cepat tumbuh (seperti 10 jenis unggulan yang diusulkan
pakar TPTII, yaitu Shorea leprosula, s. parvifolia, s. smithiana, s.
johorensis, s. macrophylla, s.ovalis, s. platyclados, s. selanica,
s. javanica, Dryobalanops spp).
Jalur antara tidak bergantung pada jalur bersih namun
tanaman dalam jalur bersih sangat bergantung pada jalur antara
yang memberikan ruang tumbuh (tapak) dan iklim mikro yang
optimal, terutama intensitas cahaya dan suhu serta memberi
perlindungan terhadap kondisi tanah. Serasah dan humus dari
jalur antara dapat digunakan tanaman dalam jalur bersih,
demikian pula suplai air, mikroba (mikorisa, rhizobium,
dekomposer dll) sampai pada penyerbukan. Jalur antara ibarat
induk yang melindungi dan membesarkan anaknya, jalur bersih.
Sistem line enrichment planting juga mampu mengatasi
salah satu permasalahan yang muncul dari sistem TPTI, yaitu
kemudahan dalam perawatan dan pengawasan hasil
penanaman/pengayaan yang terletak dalam jalur tanam.
Metode line enrichment pada awalnya dikembangkan oleh Gambar 22. Jalur tanam dan jalur antara pada sistem TPTJ.
Aubreville di Afrika Barat dan Afrika Tengah, dengan ketentuan: Arah panah sebagai bentuk support jalur antara
a. Jarak antar jalur tanam, 10-25 m, arah Timur-Barat terhadap tanaman dalam jalur tanam
b. Lebar jalur tanam 2 m, dibuka bersih
c. Dari batas kiri dan kanan jalur, masing-masing selebar 4 m,
seluruh pohon yang tingginya > 4 m ditebang d. Jarak tanam dalam jalur 5-10 m
e. Lebar jalur antara/jalur tegakan tinggal 10 m
f. Jarak antar jalur tanam 20 m (100 bibit/ha)
Metode tersebut dimodifikasi oleh Catinot dengan
ketentuan:
a. Lebar jalur tanam 5 m
b. Jarak antar jalur tanam 10-20 m a. Log over forest dimana permudaan jenis komersial sedikit
c. Semua pohon pada jalur tanam yang berdiameter < 15 cm b. Log over area tidak produktif
ditebang c. Areal bekas perladangan berpindah
d. Pohon berdiameter > 15 cm diteres c. Areal hutan dengan nilai ekonomi rendah (bushes and
e. Jarak tanam dalam jalur 3 m scrub)
Menurut Apanah (1994), jenis-jenis komersial mempunyai Sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif
kemudahan dalam regenerasi dan perlakuan silkultur sehingga (silin) dijalankan dengan berpedoman pada Keputusan Direktur
memberi peluang yang baik dalam menciptakan pengelolaan Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor: SK.226/VI-
hutan lestari. BPHA/2005 tanggal 1 September 2005 tentang pedoman
Keuntungan sistem line enrichment adalah: Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif/TPTII (silvikultur intensif)
a. Meningkatkan produksi kayu yang kemudian direvisi menggunakan Permenhut No.
b. Membuka lapangan pekerjaan P.11/Menhut-II.2009 tentang Sistem Silvikultur di Areal
c. Dapat membuat tanaman yang bersifat toleran dan semi IUPHHK-HA serta petunjuk teknisnya berdasarkan Peraturan
toleran, seperti dari jenis Dipterocarpaceae Dirjen BPK No. P.9/VI/BPHA/2009 tentang Pedoman
d. Menjamin dan menciptakan pengelolaan hutan lestari Pelaksanaan Sistem Silvikultur di Areal IUPHHK hutan produksi.
(natural forest management) Tujuan umum silin TPTII/TPTJ adalah membangun hutan
e. Kualitas tanah dan kondisi vegetasi tidak berubah nyata. tropis lestari dinamis, yang dicirikan dengan selalu
Ekosistem relatif masih terjaga dibanding bila menerapkan meningkatnya potensi dan fungsi hutan, baik dari segi kuantitas
clear cutting. maupun kualitas dari satu rotasi tebang ke rotasi tebang
Kelemahan sistem ini antara lain: berikutnya. Sedangkan tujuan khusus silin TPTII/TPTJ
a. Memerlukan biaya perawatan tinggi adalah membangun hutan sebagai transisi menuju hutan
b. Memerlukan perawatan intensif tanaman meranti dan untuk menjamin fungsi hutan yang
c. Mengarah pada perampingan jenis (penyusutan optimal.
keanekaragaman jenis) Mengingat individu penyusun tegakan pada akhir rotasi
Sistem silvikultur Tebang Pilih dan Tanam Jalur (TPTJ) yang tebang diperkirakan memiliki keseragaman yang tinggi, maka
merupakan salah satu bentuk line enrichment planting, pernah model ini akan berfungsi sebagai transisi perubahan sistem
diatur dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor silvikultur tebang pilih dengan permudaan buatan menjadi
435/Kpts-II/1997 dan Keputusan Menteri Kehutanan dan sistem silvikultur intensif.
Perkebunan Nomor 625/Kpts-II/1998 tentang Sistem Silvikultur
Tebang Pilih dan Tanam Jalur (TPTJ) dalam Pengelolaan Hutan DAFTAR PUSTAKA
Produksi Alam. Tebang Pilih dan Tanam Jalur (TPTJ) adalah
sistem silvikultur yang meliputi cara tebang pilih dengan batas Appanah S,Weinland G. 1994. Planting Quality Timber Trees in
diamater minimal 40 cm diikuti dengan permudaan buatan Peninsular Malaysia. Forest Research Institute Malaysia.
dalam jalur selebar 3 m. Jalur antara selebar 22 m. Jarak Kepong. Malayan Forest Record No. 38.
tanam adalah 5 meter dalam jalur bersih dan 25 meter dalam Coates KD, Philip JB. 1997. A gap-based approach for development of
silvicultural system to address ecosystem management
jalur antara, sehingga dalam 1 hektar terdapat 80
objectives. Journal Forest Ecology and Management 99 (1997)
tanaman/pengayaan. Diameter pohon inti dalam jalur antara 337-35.
berukuran 20-39 cm. [Dephut] Departemen Kehutanan Republik Indonesia. 1989. Surat
Penerapan TPTJ lebih sesuai pada Keputusan Menteri Kehutanan No. 485/Kpts/II/1989 tentang
Sistem Silvikultur Pengelolaan Hutan Alam Produksi di
Indonesia. Departemen Kehutanan RI, Jakarta.
[Dephut] Departemen Kehutanan Republik Indonesia. 1997b. Surat BAB IX.
Keputusan Menteri Kehutanan No. 707/Kpts-II/1997 tentang JENIS DOMINAN DAN PENENTUAN
Pembagian Kelompok Jenis Kayu Bulat sebagai Dasar JENIS UNGGULAN LOKAL UNTUK PENANAMAN DAN
Penentuan Tarif PSDH dan DR. Departemen Kehutanan RI,
PENGAYAAN HUTAN
Jakarta.
[Dephut] Departemen Kehutanan Republik Indonesia. 2009.
Peraturan Menteri Kehutanan No.P.11/Menhut-II/2009 tentang (Dominant Species Inventore and Determining Superior Native
Sistem Silvikultur dalam Areal Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Species
Hutan Kayu di Hutan Produksi. Departemen Kehutanan RI, for Enrichment Planting )
Jakarta.
[Ditjen Hut] Direktorat Jenderal Kehutanan. 1972. Surat Keputusan Oleh:
Direktur Jenderal Kehutanan No.35/Kpts/DD/1972 tentang
Pedoman Tebang Pilih Indonesia, Tebang Habis dengan Dr. Ir. Wahyudi, MP
Penanaman, Tebang Habis dengan Permudaan Alam dan Pakar Silvikultur, Universitas Palangka Raya
Pedoman-pedoman Pengawasannya. Ditjen Kehutanan,
Kep. Dirjen BUK No. SK.38/VI-BUHA/2012
Jakarta.
[Ditjen PH] Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan. 1989. Surat Tanggal 15 Juni 2012
Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan HP: 0815 2156 0387, E-mail: isanautama@yahoo.com
No.564/Kpts/IV-BPHH/1989 tentang Pedoman Tebang Pilih
Tanam Indonesia. Ditjen Pengusahaan Hutan, Jakarta. Untuk:
[Ditjen PH] Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan. 1993. Surat
Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan Kementerian Kehutanan
No.151/Kpts/IV-BPHH/1993 tentang Pedoman Tebang Pilih Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan
Tanam Indonesia (Revisi). Ditjen Pengusahaan Hutan, Jakarta. Direktur Bina Usaha Hutan Alam
[Ditjen BPK] Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. 2005.
Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor
SK.226/VI-BPHA/2005 Tentang Pedoman Tebang Pilih Tanam
Indonesia Intensif (Silin). Departemen Kehutanan, Jakarta.
[Ditjen BPK] Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. 2009a. INVENTARISASI JENIS DOMINAN DI HUTAN HUJAN
Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No. TROPIS
P.9/VI/BPHH/2009 tentang Pedoman Pelaksanaan Sistem
Silvikultur dalam IUPHHK Hutan Produksi. Ditjen Bina Produksi Hutan hujan tropis di Asia Tenggara didominasi jenis-jenis
Kehutanan, Jakarta. dari famili Dipterocarpaceae, terutama Shorea spp. Jenis-jenis
[Ditjen BPK] Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. 2009b. tersebut disamping mempunyai penyebaran (frekwensi) yang
Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No. tinggi, juga mempunyai kelimpahan (kerapatan) yang besar
P.11/VI-BPHH/2009 tentang Pedoman Teknik Silvikultur Intensif.
serta mampu mendominasi luas bidang dasar dalam tegakan
Ditjen Bina Produksi Kehutanan, Jakarta.
[Ditjen BPK] Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. 2010. hutan. Sebagian besar pohon-pohon yang menjulang tinggi
Profil Sistem Silvikultur Intensif di Unit Manajemen Model: pada hutan hujan tropis berasal dari famili Dipterocarpaceae
Konsep dan Implementasi. Ditjen Bina Produksi Kehutanan, (Mc Kinnon et al, 2000; Whitmore, 1975). Oleh karena itu
Jakarta
banyak para ahli kehutanan menjuluki hutan hujan tropis meranti yang mempunyai kayu paling keras dengan kualitas
dengan nama hutan dipterocarpceae. yang tinggi. Jenis ini sangat disukai pasar, namun dibeberapa
Sejak tahun 70-an, Indonesia mampu memproduksi kayu perusahaan yang masih mengandalkan sistem perakitan kayu di
bulat dari hutan alam dalam jumlah yang sangat besar. Pada sungai, jenis ini jarang diambil karena keterbatasan dalam
tahun 80-an hingga awal tahun 90-an produksi kayu bulat transportasi sungai. Bangkirai berada pada urutan ke-3 dengan
nasional dari hutan alam bahkan sempat mencapai angka 26,05 nilai dominasi relatif sebesar 8,29% serta indek nilai penting
juta m3/tahun (pada tahun 1992) dan Indonesia sempat dijuluki 21,15%.
sebagai raja plywood dunia (Suparna, 2010). Kayu bulat yang Urutan kedua adalah jenis keranji (Diallium sp.) dengan
diproduksi dari hutan alam selalu didominasi jenis meranti tingkat dominasi 6,83% serta indek nilai penting 22,88%. Jenis
(Shorea spp) begitu pula dengan bahan baku plywood dan keranji mempunyai kayu yang keras sehingga kurang disukai
wood working lainnya. dan umumnya masih banyak terdapat di hutan bekas tebangan.
Upaya meningkatkan produktivitas hutan alam melalui Jenis keruing (Dipterocarpus spp) mempunyai dominasi relatif
kegiatan penanaman dalam jalur sistem TPTI intensif atau TPTJ sebesar 5,03% serta indek nilai penting 17,4%. Jenis ini
teknik silin sudah semestinya menggunakan jenis-jenis dari termasuk famili dipterocarpacea yang sangat dominan di hutan
famili Dipterocarpaceae, terutama Shorea spp, sebagai pohon- alam setelah jenis meranti serta mempunyai kayu yang keras
pohon lokal berkualitas tinggi (superior native species), karena namun keberadaan kayunya kurang disukai masyarakat karena
telah terbukti mampu beradaptasi sangat baik pada tapak memerlukan pengolahan kayu yang lebih rumit untuk
asalnya dan mengalahkan spesies-spesies lainnya. Dengan menghilangkan getahnya. Ulin (Eusyderoxylon zwagery)
data ini kegiatan uji species telah menemukan arah yang lebih menempati urutan ke-14 dengan dominasi relatif sebesar 1,21%
terang. Untuk selanjutnya, perlu dilakukan progeny test agar serta indek nilai penting 4,89%. Jenis ini masuk dalam katagori
setiap spesies pilihan mempunyai riap yang lebih tinggi lagi. langka karena senantiasa dieksploitasi masyarakat serta
Berdasarkan hasil penelitian Wahyudi (2011), didapatkan regenerasinya yang sangat susah (very slow growing species).
spesies tingkat pohon yang mendominasi hutan hujan tropis
seperti terlihat pada Tabel 1. Pada tabel tersebut terlihat bahwa Taksonomi Meranti (Shorea spp)
jenis meranti merah (Shorea spp) mendominasi tegakan hutan
pada urutan pertama dengan nilai dominasi relatif sebesar Meranti adalah jenis unggulan lokal dan selama puluhan
42,46% serta indek nilai penting 98,24%. Sementara itu meranti tahun menjadi primadona industri pengolahan kayu di
putih (Shorea spp) berada pada urutan ke-13 dengan nilai Indonesia. Kayu jenis meranti sangat istimewa, karena selain
dominasi relatif sebesar 1,05% serta indek nilai penting 5,1 %. mudah diolah, kayu meranti mengandung zat ekstraktif sebagai
Meranti kuning (Shorea spp) berada pada urutan ke-19 dengan pelindung terhadap serangan hama perusak kayu.
nilai dominasi relatif sebesar 0,88% serta indek nilai penting Meranti (Shore sop) termasuk dalam Divisio:
3,58%. Tengkawang (Shorea spp) termasuk spesies meranti Spermatophyta (tumbuhan berbiji Sub Divisio: Angiospermae.
yang dilindungi (tidak boleh ditebang) karena menghasilkan Kelas: Dicotyledonae (berkeping), Sub Kelas: Dialypetales,
buah tengkawang sebagai salah satu komoditas masyarakat Ordo:Guttiferales (Clusiales), Famili (Bangsa):
lokal. Tengkawang berada pada urutan ke-7 dengan nilai Dipterocarpaceae dan Genera (Marga): Shorea.
dominasi relatif sebesar 6,83% serta indek nilai penting 9,53%.
Mahusum (Shorea patoiensis) berada pada urutan ke-30
dengan nilai dominasi relatif sebesar 0,38% serta indek nilai
penting 1,73%. Bangkirai (Shorea leavis) termasuk jenis
Tabel 4. Urutan jenis dominan di hutan alam produksi Famili Dipterocarpaceae memiliki sekitar 300 species yang
terbagi dalam 10 Genera dan 9 diantaranya terdapat di
No Nama lokal Nama latin KA KR FA FR DA DR INP Indonesia, diantaranya adalah Anisoptera/mersawa (ada sekitar
(%) (%) (%) (%) 10 species), Cotylelobium (ada sekitar 5 species),
1 Meranti mrh Shorea spp 110,644 38,537 0,952 17,241 14,202 42,462 98,240 Dipterocarpus/ keruing (ada sekitar 40 species), Dryobalanops/
2 Keranji Diallium sp 23,810 8,293 0,429 7,759 2,283 6,826 22,877 kapur (ada sekitar 8 species), Hopea /merawan (ada sekitar 30
3 Bangkirai Shorea leavis 19,608 6,829 0,333 6,034 2,773 8,291 21,155 species), Shorea/ meranti (ada sekitar 150 species) dan Vatica /
4 Keruing Dipterocarpus spp 18,207 6,341 0,333 6,034 1,681 5,025 17,401 resak (ada sekitar 35 species).
5 Kempas Koompassia malaccensis 9,804 3,415 0,238 4,310 1,092 3,266 10,991 Genera Shorea sering dikelompokkan dalam 3 bagian, yaitu
6 Medang Litsea sp 9,804 3,415 0,238 4,310 0,784 2,345 10,070 1. Meranti Kuning (Shorea spp) seperti: Shorea multiflora
Sym., Shorea cuminatissirna Sym., Shorea fagultiana
7 Tengkawang Shorea pinanga 2,801 0,976 0,095 1,724 2,283 6,826 9,526
Heim.. Shorea gibbosa Brandis, Shorea hopeifolia Sym.
8 Scapium Scapium podocarpum 7,003 2,439 0,238 4,310 0,896 2,680 9,429 dan lain-lain.
9 Kelampai Elateriospermum sp 7,003 2,439 0,238 4,310 0,784 2,345 9,094 2. Meranti Putih (Shorea spp) seperti: Shorea lamellata
10 Mandarahan Knema pallens 5,602 1,951 0,190 3,448 0,196 0,586 5,986 Foxw., Shorea javanica. K.et.V., Shorea assamica Dyer.,
11 Pelepek Dipterocarpus lowii 4,202 1,463 0,143 2,586 0,588 1,759 5,808 Shorea bracteolata Dyer. Shorea ochracea Sym.,
12 Mahawai Mezettia parvifolia 4,202 1,463 0,143 2,586 0,364 1,089 5,138 Shorea retinodes V.SI., Shorea virescens Parijs dan lain-
13 Meranti pth Shorea spp 4,202 1,463 0,143 2,586 0,350 1,047 5,097 lain.
14 Ulin Eusyderoxylon zwagery 5,602 1,951 0,095 1,724 0,406 1,214 4,890 3. Meranti Merah (Shorea spp) seperti: Shorea acuminata
15 Hovea Hopea multiflora 4,202 1,463 0,143 2,586 0,210 0,628 4,678 Mig., Shorea leprosula Shorea uliginosa Mig., Shorea
16 Jambuan Syzigium sp 2,801 0,976 0,095 1,724 0,504 1,508 4,207 pachyphylla Ridl., Shorea parvifolia Dyer., Shorea
17 Petaian Jacaranan chelosia 4,202 1,463 0,095 1,724 0,252 0,754 3,941 johorensis, Foxw., Shorea teysmanniana Dyer.. Shorea
18 Ky bawang Scorodocarpus sp 2,801 0,976 0,095 1,724 0,392 1,173 3,872 stenoptera Burch., Shorea smithiana Sym., Shorea
19 Meranti kng Shorea spp 2,801 0,976 0,095 1,724 0,294 0,879 3,579 selanica B1., Shorea platy-clados Sym., Shorea
20 Kumpang Myristica iners 2,801 0,976 0,095 1,724 0,252 0,754 3,454 platycarpa Heim. dan lain-lain.
21 Kapur Dryobalanops spp 1,401 0,488 0,048 0,862 0,658 1,968 3,318 Di beberapa daerah di Kalimantan meranti (Shorea spp)
22 Tarap Arthocarpus rigidus 2,801 0,976 0,095 1,724 0,196 0,586 3,286
sering disebut dengan nama damar, tengkawang (berbuah
23 Bintangur Calophyllum inophyllum 2,801 0,976 0,048 0,862 0,476 1,424 3,261 tengkawang), kenuar, kontoi, lanan, putang dan kakan. Di
24 Jangkang Zingiberaceae 2,801 0,976 0,095 1,724 0,154 0,461 3,160 Lampung meranti sering disebut engkabang, lentong, ponga
25 Nyatoh Palaquium sp 2,801 0,976 0,095 1,724 0,140 0,419 3,119 dan awang. Sedangkan nama lokal yang sering dipakai di
26 Parashorea Parashorea sp 2,801 0,976 0,095 1,724 0,140 0,419 3,119 Sumatera secara umum adalah meranti, erkuyung, sirantih,
27 Manggisan Garcinia sp 2,801 0,976 0,095 1,724 0,112 0,335 3,035 ketuko, sanio dan melebekan. Di Maluku orang sering menyebut
28 Resak Vatica rasak 2,801 0,976 0,048 0,862 0,126 0,377 2,215 dengan nama seku atau kayu bapa. Nama lainnya adalah red
29 Marijang Sindora sp 1,401 0,488 0,048 0,862 0,182 0,544 1,894 meranti (USA, England, Malaysia dll), red seraya (Sabah
30 Mahusum Shorea fatoiensis 1,401 0,488 0,048 0,862 0,126 0,377 1,727 Malaysia), rouge (Perancis), royo (Spanyol), rosso (Itali), saya
31 Tapos Elateriospermum tapos 1,401 0,488 0,048 0,862 0,098 0,293 1,643 (Thailand), red lauan (Pilipina) dan lain-lain.
32 Jenis lainnya (komulatif) 9,8039 3,4146 0,3333 6,0345 0,4482 1,3400 10,7892 Meranti merah mempunyai berat jenis antara 0,29 sampai
JUMLAH 287 100 6 100 33 100 300 1,01 dengan kelas awet II-IV dan kelas kuat II-IV. Selain
Sumber: Hasil inventarisasi hutan di Kabupaten Kapuas bangkirai, pada umumnya kayu meranti tidak terlalu keras
sehingga mudah dikerjakan dengan peralatan yang sederhana. Tabel 6. Jenis tanaman Dipterocarpaceae yang disarankan
Pada Tabel 5 terlihat berat jenis, kelas awet dan kelas kuat untuk dikembangkan
beberapa jenis kayu menurut Kartasujana dan Martawijaya
(1979). No Jenis-jenis unggulan yang disarankan untuk Sumber
dikembangkan
1. Anisoptera leavis, Hopea scaphula, Dipterocarpus Appanah dan Weinland
Tabel 5. Berat jenis, kelas awet dan kelas kuat beberapa jenis baudii, D.costulatus, D.kerii, Dryobalanop (1993).
kayu unggulan dari hutan alam aromatica, D.oblongfolia, Hopea odorata, Shorea Lokasi: Semenanjung
acuminate, S.leprosula, S.macroptera, Malaysia
S.macrophylla, S.parvifolia, S.playclados dan
No Nama Berat Kelas awet Kelas kuat S.ovalis.
Jenis
2. Shorea leprosula, S. johorensis, S. platyclados, S. Ditjen BPK (2005). Lokasi:
1. Bangkirai 0,6-1,16 I-III I-II macrophylla, S. parvifolia, S. selanica dan S. Hutan dataran
2. Keruing 0,5-1,01 II-III II smithiana
3. Meranti merah 0,29-1,01 II-IV II-IV 3. Shorea leprosula, S.playclados, S.parvifolia, Kollert et al. (1994)
4. Meranti putih 0,29-0,96 III-IV II-IV S.macrophylla, S.ovalis, Hopea odorata, Lokasi: Hutan dataran
5. Ulin 0,88-1,19 I I Dryobalanops aromatica, D.lanceolata,
D.oblongfolia, Anisoptera leavis, A.scaphula dan
Dipterocarpus baudii
Oleh:
I. PENDAHULUAN
Dr. Ir. Wahyudi, MP
Pakar Silvikultur, Universitas Palangka Raya Latar Belakang
Kep. Dirjen BUK No. SK.38/VI-BUHA/2012
Tanggal 15 Juni 2012 Meranti adalah salah satu jenis pohon dari famili
HP: 0815 2156 0387, E-mail: isanautama@yahoo.com Dipterocarpaceae yang mendominasi hutan alam di wilayah
Indonesia bagian Barat dan Tengah (McKinnon et al. 2000)
Untuk: dengan kualitas kayu yang baik. Jenis ini juga mendominasi
target produksi kayu bulat dari hutan alam dan menjadi
Kementerian Kehutanan primadona industri kayu lapis (plywood) dan wood working di
Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan era 80-90an (Wahyudi 2009). Dengan demikian pengembangan
Direktur Bina Usaha Hutan Alam tanaman meranti untuk meningkatkan produktifitas hutan adalah
langkah yang tepat.
Sejalan dengan makin tingginya laju degradasi dan
Abstract deforestasi di Indonesia, maka pengembangan tanaman meranti
Selective Cutting and Line Planting (SCLP) silvicultural system menjadi sebuah keharusan, khususnya pada hutan sekunder
can be applied in the logged over forest and low potential forest (logged over forest) dan kawasan hutan yang tidak produktif.
to improve their productivity . The research was aimed to create Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) telah menerapkan
the growth and yield modelling of Shorea plantations in the line teknik hutan tanaman pada sebagian areal pengelolaannya.
planting system. The research was conducted at research plots Menurut Ditjen BPK (2005) dan Soekotjo (2009) jenis meranti
of SCLP in logged over forest of PT Gunung Meranti, Central yang mempunyai riap tertinggi seperti Shorea leprosula dapat
Kalimantan Province. The research plots were divided into dikembangkan dalam jalur tanam pada sistem Tebang Pilih
three plots of Shorea leprosula plantation that planted in 1994 Tanam Jalur (TPTJ).
as plot 1, year 1999 as plot 2 and year 2008 as plot 3 in which Secara umum, pola pertumbuhan tanaman membentuk
consisted of 200 samples of trees, respectively. Data of Shorea grafik sigmoid (Bukhart 2003; Radonja et al. 2003) yang dapat
leprosula growth were evaluated by Stella 9.0.2 and SPSS 13, dirumuskan melalui persamaan eksponensial (Brown 1997;
and predicted using table of volume, exponential and polynomial Grant et al. 1997; Radonsa et al. 2003) dan polinomial (Porte &
equations. The research result showed that exponential Bartelink 2001; Vanclay 2001). Daur ekonomis tanaman dapat
equation was y= 1,0269.e0,012X (R2= 96,02%) and estimated dilihat dari perpotongan antara grafik riap tahunan berjalan (CAI)
cutting cycle at 37 year old, average polynomial equation was dan riap tahunan rata-rata (MAI).
Pertumbuhan tanaman dipengaruhi oleh jenis dan genetik
(Finkeldey 1989; Hani’in 1999), lingkungan atau tempat tumbuh Lokasi dan Waktu Penelitian
(Fisher & Binkley 2000) dan teknik silvikultur (Coates & Philip
1997; Halle et al. 1978). Faktor lingkungan yang berpengaruh Penelitian dilaksanakan pada plot-plot penelitian tanaman
terhadap pertumbuhan tanaman dapat dikelompokkan menjadi meranti (Shorea leprosula) dalam jalur yang ditanam tahun 1994
dua, yaitu faktor iklim dan faktor tanah. Faktor iklim terdiri dari dan 1999 serta pada jalur tanam sistem TPTJ yang ditanam
curah hujan, cahaya, suhu, kelembaban, angin dan letak tahun 2008. Semua plot penelitian berada di IUPHHK PT
geografi berdasarkan garis lintang. Sedangkan faktor tanah Gunung Meranti yang terletak di Kecamatan Kapuas Hulu,
terdiri dari sifat fisik, kimia dan biologi tanah, kelerengan, aspek, Kabupaten Kapuas Provinsi Kalimantan Tengah.
ketinggian dan drainase. Pengambilan data diameter dan tinggi tanaman pada plot 1
Sampai dengan tahun 2010 terdapat 29 Izin Usaha dan 2 dilakukan tahun 2010 (umur 11 dan 16 tahun) sedangkan
pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) yang menerapkan pada plot 3 dilakukan setiap bulan Pebruari tahun 2008, 2009
sistem TPTJ (Ditjen BPK 2010) dan menggunakan jenis meranti dan 2010 atau pada saat tanaman berumur 0, 1 dan 2 tahun.
sebagai tanaman unggulan dalam jalur tanam. Mengingat
keberadaannya yang masih relatif baru maka sistem ini masih Metode Penelitian
banyak memerlukan input-input sebagai bagian dari teknik
silvikultur dalam rangka memantapkan pelaksanaannya di masa 1. Penelitian dilakukan pada tiga plot tanaman meranti
datang. Salah satu input yang cukup penting adalah pemodelan (Shorea leprosula) dalam jalur tanam masing-masing
pertumbuhan tanaman meranti di dalam jalur tanam untuk berukuran 500 m x 60 m (=30.000 m2). Lebar jalur tanam
memprediksi pertumbuhan dan hasil yang merupakan 3-5 m dan jarak antar tanaman dalam jalur 2,5 m. Lebar
gambaran nyata di lapangan. Pemodelan dapat mempermudah jalur antara 17 m sehingga jarak tanam keseluruhan 2,5 x
kita dalam melakukan evaluasi hasil tanaman dan kemungkinan 20 m (Gambar 1). Ketiga plot penelitian mempunyai
penerapan rekayasa dan teknik silvikultur yang diperlukan. kondisi tapak yang relatif sama, yaitu jenis tanah podsolik
merah kuning dengan struktur tanah gumpal beragregat
Tujuan dan Manfaat Penelitian kurang serta mempunyai permeabilitas yang rendah.
Tekstur tanah berupa geluh lempung pasiran dan pada
Penelitian ini bertujuan untuk menyusun model lapisan bawah (>25 cm) didominasi lempung. Dengan
pertumbuhan tanaman meranti (Shorea leprosula) yang demikian ketiga plot penelitian dianggap mempunyai tapak
dikembangkan dalam jalur tanam serta memilih model yang yang sama serta perlakuan silvikultur yang sama pula
paling baik untuk memprediksi pertumbuhan tanaman tersebut. berupa pembukaan kanopi secara memanjang.
Penelitian diharapkan dapat bermanfaat bagi para pihak 2. Plot 1 adalah tanaman meranti yang ditanam tahun 1994
(stakeholder), khususnya para pelaksana sistem TPTJ, dalam (umur 16 tahun), plot 2 ditanam tahun 1999 (umur 11
memprediksi pertumbuhan tanaman dan perolehan hasil pada tahun) dan plot 3 ditanam tahun 2008. Masing-masing plot
saat pemanenan. diambil sample tanaman secara acak sebanyak 200
tanaman
3. Pengukuran dilakukan terhadap diameter (dbh) dan tinggi
bebas cabang tanaman
II. METODOLOGI
4. Siklus tebang ditentukan pada saat tanaman meranti telah 3. Model 2: Pertumbuhan tanaman rata-rata berdasarkan
mencapai diameter 50 cm ke atas (Ditjen BPK 2005, fungsi riap dan waktu menggunakan persamaan polinomial
Soekotjo, 2009). rata-rata (Porte & Bartelink 2001; Vanclay 2001) dengan
persamaan y = c1 + c2x + c3x2, dimana y: diameter akhir rata-
rata, x: waktu dalam tahun dan c1,c2,c3: konstanta
4. Model 3: Pertumbuhan tanaman dipisahkan menjadi lima
Jalur antara
kelompok (5 sub model) tanaman berdasarkan riap, yaitu
kelompok pertumbuhan sangat lambat, lambat, sedang,
cepat dan sangat cepat. Interval riap (5) ditentukan melalui
o o o formula (Pollet & Nasrullah 1994) Ir = rb – rk /5, dimana: Ir :
o o o interval berdasarkan riap, rb : riap terbesar, rk : riap terkecil.
Jalur tanam o o o 500 mm
200
Model-model pertumbuhan tanaman pada lima kelompok
o o o
o o o
tersebut adalah yi = ci1 + ci2x + ci3x2, dimana: yi : diameter
o o o
akhir rata-rata kelompok ke-i, x: waktu (tahun) dan ci1,ci2,ci3 :
o o o konstanta
o o o Hasil perhitungan dari ketiga model tersebut dilakukan uji
o o o beda (LSD test) untuk menentukan model pertumbuhan
o o o tanaman yang paling baik. Perangkat lunak yang digunakan
2,5 m
o o o
dalam penelitian ini adalah Stella 9.0.2 dan SPSS.19.
8,5 m 3 m 17 m 3m 17 m 3m 8,5 m
60 m
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambar 23. Layout penelitian tanaman meranti dalam jalur
tanam sistem TPTJ
1. Model 1: Persamaan eksponensial
Analisis Data
Pertumbuhan diameter merupakan fungsi dari diameter
Pertumbuhan dan hasil tanaman meranti (Shorea leprosula) sebelumnya yang tumbuh membesar dipengaruhi oleh jenis dan
diprediksi dengan menggunakan beberapa analisis sebagi sifat genetik (Finkeldey 1989), kondisi lingkungan, baik edafis
berikut: maupun klimatis (Fisher & Binkley 2000, Kozlowski & Pallardy
1. Volume pohon Shorea leprosula ditentukan berdasar 1997) serta perlakuan yang diberikan (silvicultural treatment)
diameternya menggunakan persamaan tabel volume lokal (Coates & Philip 1997, Halle et al. 1978). Perkembangan
(Wahyudi & Matthews 1996) sebagai berikut: diameter pohon yang dihasilkan dapat menggambarkan
V= 0,0001175D 2,56177, dimana: V: volume pohon berdiri (m3) dinamika pertumbuhan tegakan dalam luasan tertentu yang
dan D: dbh (cm) dicerminkan melalui jumlah pohon/ha, luas bidang dasar/ha atau
2. Model 1: Pertumbuhan tanaman sigmoid menggunakan volume/ha (Gadow & Hui 1999; Vanclay 1995, 2001) dan pada
persamaan eksponensial (Brown, 1997; Grant et al. 1997; tahap ini faktor kematian (mortality) dapat disertakan dalam
Radonsa et al. 2003), yaitu y= c1.e c2X , dimana: x: model pertumbuhan untuk mendapatkan gambaran potensi
diameter awal, y: diameter akhir, c1,c2: konstanta hutan yang lebih baik (Bettinger et al. 2009; Fyllas et al. 2010).
Pola pertumbuhan tanaman dalam jalur tanam, seperti pada Model ini memprediksi pencapaian diameter tanaman meranti
sistem TPTJ, menyerupai model pertumbuhan hutan seumur (Shorea leprosula) sebesar 50 cm ke atas (51,73 cm) pada
(even-aged stand forest) yang berbentuk sigmoid growth umur 30 tahun (Gambar 3).
dengan persamaan eksponensial (Brown 1997; Grant et al.
1997; Radonsa et al. 2003). Pemodelan tanaman meranti 3. Model 3: Persamaan polinomial pada 5 kelompok riap
(Shorea leprosula) berumur 0, 1, 2, 11 dan 16 tahun tanaman
menggunakan persamaan eksponensial menghasilkan
persamaan sebagai berikut: Penentuan persamaan polinomial pada 5 kelompok riap
y= 1,0269.e0,012X dengan nilai koefisien determinasi (R2)= tanaman meranti (Shorea leprosula) (5 sub model) didasarkan
96,02% pada kecepatan pertumbuhannya (Pollet dan Nasrullah 1994).
Dimana= y : diameter akhir; x : diameter awal Sub model 1 adalah pertumbuhan sangat lambat, sub model 2
Model ini memprediksi pencapaian diameter akhir tanaman adalah lambat, sub model 3 adalah sedang, sub model 4 adalah
meranti (Shorea leprosula) sebesar 50 cm ke atas (51,09 cm) cepat dan sub model 5 adalah sangat cepat. Prosentase
pada umur 37 tahun (Gambar 2). pohon yang terdapat pada masing-masing kelompok (sub
model) serta bentuk persamaan pertumbuhannya disajikan
dalam Tabel 2.
2. Model 2: Persamaan polinomial rata-rata
Tabel 7. Lima sub model pertumbuhan tanaman meranti
Pertumbuhan tanaman dapat diasumsikan sebagai fungsi berdasarkan kelas riapnya
dari waktu. Dimensi diameter akan semakin membesar dengan
semakin bertambahnya waktu, namun pada periode tertentu Kelas pertumbuhan Jumlah tnm (%) MAI Φ (cm/th) Persamaan R2
harus disertai informasi pembatas sehingga pertumbuhan tidak
lagi meningkat atau persamaan hanya berlaku sampai umur Sangat lambat 17,36 0,69 y= 0,0181x2 + 0,3801x + 0,3627 95,50%
tertentu. Bentuk kurva sigmoid untuk menggambarkan Lambat 25,62 1,16 y= 0,0131x2 + 0,8299x + 0,4547 97,91%
pertumbuhan pohon dapat diperoleh apabila terdapat data
series yang lengkap, oleh karena itu dalam suatu model Sedang 27,27 1,63 y= -0,0023x2 + 1,3906x + 0,5198 99,12%
pertumbuhan harus menyertakan semua informasi yang 2
tersedia dan terpercaya untuk menghasilkan prediksi yang Cepat 25,62 1,89 y= -0,0217x + 2,0425x + 0,5739 99,57%
dapat dipertanggungjawabkan (Vanclay 2001). Pemodelan 2
Sangat cepat 4,13 2,30 y= -0,0339x + 2,6408x + 0,6353 99,51%
dapat memudahkan perhitungan yang rumit yang disusun oleh
beberapa persamaan dalam waktu bersamaan dengan berbagai
simulasi yang kita kehendaki. Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa sebagian besar
Pemodelan menggunakan persamaan polinomial dengan tanaman berada pada kelompok sub model pertumbuhan
fungsi riap dan waktu (Porte & Bartelink 2001; Vanclay 2001) sedang dengan prosentase 27,27%, menyusul sub model
menghasilkan persamaan sebagai berikut: kelompok pertumbuhan lambat dan cepat masing-masing
y=0,0297x2 + 0,8208x + 0,3728 dengan nilai koefisien 25,62%. Sub model kelompok pertumbuhan sangat cepat yang
determinasi (R2)= 86,89% mempunyai tingkat pertumbuhan tertinggi hanya berada pada
Dimana y : diameter akhir; x : waktu dalam tahun. urutan terakhir dengan prosentase 4,13%. Diperkirakan jumlah
tanaman Shorea leprosula yang mempunyai diameter terbesar
pada akhir daur hanya sebesar 4,13% tersebut, menyusul Berdasarkan uji antar perlakuan (Tabel 3) volume yang
kelompok di bawahnya sebesar 25,62% dan seterusnya. Semua dihasilkan oleh model 3 tidak berbeda nyata dengan model 1
persamaan yang dihasilkan mempunyai nilai koefisien dan model 2 sedangkan model 1 berbeda nyata dengan model
determinasi di atas 95%. Model ini memprediksi pencapaian 2. Dengan demikian model 3 (persamaan polinomial pada 5
diameter tanaman meranti (Shorea leprosula) sebesar 50 cm kelompok riap tanaman) adalah yang paling baik karena dapat
ke atas (50,43 cm) pada umur 32 tahun. mewakili model persamaan 1 dan 2. Keputusan ini diperkuat
dengan nilai koefisien determinasi yang tinggi (diatas 95%) pada
semua sub model pada model persamaan ke-3 (Tabel 2).
60
Sub model Tabel 8. Uji LSD terhadap volume tanaman yang dihasilkan tiga
5
50 model persamaan pertumbuhan
4
3
40
2 Volume Volume Beda rata-rata Standar eror Tingkat kepercayaan
Diameter (cm)
Gambar 4. Pertumbuhan diameter Shorea leprosula pada lima Grafik pertumbuhan tanaman Shorea leprosula yang
sub model pertumbuhan menggunakan model 1 memberikan hasil prediksi perolehan
volume pohon per ha yang paling rendah sedangkan model 2
4 Uji antar model yang paling tinggi. Model 3 berada di antara model
pertumbuhan ke-1 dan ke-3. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
Pengujian ketiga model persamaan dilakukan terhadap pada Gambar 25.
volume pohon per ha yang dihasilkan oleh ketiga persamaan di Tingkat pertumbuhan setiap individu pohon dalam tegakan
atas. Berdasarkan hasil uji homogenitas menggunakan SPSS hutan seumur (even-aged stand forest) dan tidak seumur
13 diperoleh nilai Sig.= 0,0000036 yang lebih kecil dari 0,05 (uneven-aged stand forets) selalu berbeda. Pendekatan umum
(tarap nyata) sehingga data homogen dan dapat dilakukan menggunakan model tegakan harus mencermati penyimpangan
analisis sidik ragam maupun beda rata-rata. Hasil analisis (koefisien variasi) yang selalu muncul dalam setiap persamaan.
ragam diperoleh nilai Sig.= 0,0341 yang lebih kecil dari 0,05 Makin besar keragaman populasi yang diteliti akan semakin
(terima H1) sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat satu besar pula penyimpangan yang didapatkan sehingga dapat
perlakuan atau lebih yang berbeda nyata terhadap yang lain. mengurangi akurasi prediksi.
kondisi lingkungan dan perlakuan silvikultur sama atau telah
600 dianggap sama, maka perbedaan pola pertumbuhan pada
masing-masing individu atau kelompok individu tersebut
500
disebabkan oleh faktor genetik (Finkeldey, 1989), yang
dikumulatifkan dengan kondisi lingkungan sebagai akibat
Volume (m3/ha)
400
dinamika tegakan yang terbentuk kemudian.
300 Dengan berasumsi pada logika dan fenomena di atas, maka
pemodelan tanaman dalam jalur tanam pada sistem TPTJ lebih
200 sesuai menggunakan model kelompok tanaman berdasarkan
kenampakan (phenotype) awal berupa kecepatan pertumbuhan
100 diameter dan tinggi masing-masing.
0
12
15
18
21
24
27
30
33
36
39
0
NPV (Rp/ha)
7 13.185.257 1,07 6.701.817 1,04 4.139.693 1,03 1.923.552 1,01 20.000.000
10 16.328.284 1,06 9.307.157 1,04 6.394.017 1,03 3.819.509 1,02 0
15 41.128.712 1,10 23.086.416 1,08 16.718.882 1,07 11.572.728 1,05 1 5 6 7 10 15 20 25 30
-20.000.000
20 58.730.515 1,12 29.639.858 1,10 20.802.335 1,08 14.202.557 1,07
-40.000.000
25 56.728.857 1,15 24.096.579 1,11 16.016.178 1,10 10.535.639 1,08
30 107.046.380 1,19 37.396.643 1,14 23.297.030 1,11 14.640.183 1,09 -60.000.000
-80.000.000
Pencapaian waktu titik impas dan kelayakan usaha
Tahun
pengelolaan hutan sistem TPTJ pada tingkat suku bunga 0%,
Suku bunga 0% Suku bunga 6% Suku bunga 9% Suku bunga 12%
6%, 9% dan 12% dapat dilihat pada Gambar 26. Garis yang
telah mencapai sumbu x (axis) atau berada pada posisi sumbu y
(ordinat) sama dengan nol adalah saat pencapaian titik impas. Gambar 26. Nilai NPV (Rp/ha) pengelolaan hutan sistem
Semakin tinggi ordinat suatu garis menunjukkan semakin besar TPTJ pada saat harga kayu bulat meranti
keuntungan yang diperoleh. berdiameter 40-49 cm dan 50 cm ke atas
Pengelolaan hutan sistem TPTJ saat ini banyak dilakukan masing-masing sebesar Rp. 1,15 juta per m3 dan
oleh unit manajemen yang telah berjalan dengan menerapkan Rp. 1,3 juta per m3 dengan tingkat suku bunga
sistem TPTI. Kegiatan yang bersifat multisistem silvikultur ini 0%, 6%, 9% dan 12%.
dapat melakukan subsidi silang dari kegiatan yang satu dengan
Sebuah unit pengelolaan hutan baru yang menerapkan meningkat disebabkan minimnya dana pembinaan pasca
sistem TPTJ tidak mungkin hanya melakukan kegiatan penebangan.
operasional TPTJ saja seperti tebang penyiapan lahan, Menurut Indrawan (2003), siklus tebang pengelolaan hutan
pembibitan, penanaman jalur dan pemeliharaan, namun juga tidak seumur akan mengalami perpanjangan waktu karena
harus melengkapi berbagai sarana dan prasaran penunjang komponen output (penebangan) lebih besar dibanding input
termasuk kegiatan-kegaiatan lain seperti disyaratkan dalam dalam ekosistem hutan. Setiap unit manajemen semestinya
berbagai peraturan yang ada dalam rangka memenuhi membuat simulasi pertumbuhan tegakan berdasarkan struktur
ketentuan kriteria dan indikator pengelolaan hutan produksi dan komposisi tegakan tinggal di arealnya masing-masing,
lestari (PHPL) yang meliputi aspek prasyarat, produksi, ekologi untuk mengetahui siklus tebang lestarinya, bukan ditetapkan
dan sosial. Inilah yang menyebabkan usaha baru di bidang secara seragam untuk semua unit manajemen, misalnya 30
pengelolaan hutan sistem TPTJ tidak langsung menguntungkan, tahun atau 35 tahun. Apabila mengacu pada pendapat ini maka
melainkan harus menunggu sampai beberapa tahun, kecuali pengusahaan hutan sistem TPTJ pada hutan perawan jauh
adanya subsidi silang dari kegiatan yang telah berjalan. lebih menguntungkan dibanding pada areal bekas tebangan
Lamanya waktu menunggu dipengaruhi oleh produksi kayu hasil yang belum mencapai siklus kelestariannya.
tebangan, harga kayu, tingkat suku bunga serta biaya
operasional (Nugroho, 2002). Makin tinggi potensi tegakan Analisis Sensitifitas
hutan yang diperuntukan bagi pengelolaan sistem TPTJ makin
pendek waktu pencapaian titik impasnya dan semakin jauh Berdasarkan hasil analisis sensitifitas menggunakan
lokasi IUPHHK dengan industri pengolahan kayu, maka makin beberapa variasi harga jual kayu bulat serta tingkat suku bunga,
tinggi biaya pemasaran yang dikeluarkan. dapat dilihat bahwa apabila harga kayu bulat sebesar Rp.
Pengelolaan hutan sistem TPTJ sudah dapat memberi 1.300.000,- per m3 maka akan mencapai titik impas dan
keuntungan, meskipun tanaman dalam jalur belum dipanen, memberikan kelayakan usaha pada tahun ke-6 pada tingkat
karena memanfaatkan hasil tebang naungan. Pengelolaan suku bunga 0% dan 6% dan pada tahun ke-7 pada tingkat suku
hutan sistem TPTJ pada areal yang tidak memberi hasil tebang bunga 9% dan 12%. Sedangkan pada harga kayu bulat Rp
naungan sudah dapat dipastikan baru mencapai titik impas 1.200.000,- per m3 baru mencapai titik impas dan memberikan
(breakeven point) di atas waktu daur tanamannya (di atas 30 kelayakan usaha pada tahun ke-11 apabila tingkat suku bunga
tahun atau 35 tahun). Secara ekonomi, kondisi seperti ini 0%, pada tahun ke-16 apabila tingkat suku bunga 6%, pada
sangat sulit untuk dikerjakan kecuali ada kebijakan khusus, tahun ke-17 apabila tingkat suku bunga 9% dan pada tahun ke-
seperti bantuan dana dari pemerintah, paket reboisasi dan 26 apabila tingkat suku bunga 12%.
penghijauan yang tidak dikenakan status IUPHHK sehingga Harga jual kayu bulat sebesar Rp. 1.500.000,- per m3 dapat
tidak ada kewajiban seperti yang disyaratkan dalam suatu memberikan titik impas dan kelayakan usaha pada tahun ke-3
IUPHHK. pada berbagai tingkat suku bunga yang terjadi, bahkan pada
Salah satu komponen yang dapat meningkatkan status tingkat suku bunga 12% masih memberikan keuntungan
kelayakan usaha pada pengelolaan hutan sistem TPTJ ini sebesar Rp. 506.557,- /ha pada tahun ke-3.
adalah mengoptimalkan pemanfaatan kayu bulat hasil kegiatan Harga kayu bulat sebesar Rp. 1.500.000,- per m3 atau lebih
tebang naungan serta upaya peningkatan harga jual kayu bulat. masih memungkinkan untuk dicapai dengan cara meningkatkan
Selama kurun waktu 20 tahun terakhir, harga kayu bulat masih pemberantasan illegal logging dan mafia kehutanan, penegakan
dibawah harga kelayakan usaha pengelolaan hutan alam hukum, pengaturan tata usaha kayu yang lebih baik (Handadari
(Nugroho, 2002), sehingga kerusakan hutan cenderung 2005) serta penerapan reduced impact logging (Wahyudi 2008).
hasil penelitian ini dapat direkomendasikan bahwa unit
Tabel 12. Analisis sensitifitas harga kayu bulat dan tingkat suku manajemen yang melakukan pengelolaan hutan sistem TPTJ
bunga untuk menenetukan titik impas dan waktu selayaknya mendapat paket pinjaman dana (misalnya dari dana
layak usaha reboisasi) dengan bunga 6% dengan bantuan biaya penanaman
sampai tahun ke-6 atau pinjaman dana dengan bunga 9%
dengan bantuan biaya penanaman sampai tahun ke-7. Apabila
Harga log Waktu Indikator Tingkat suku bunga
pemerintah (Kemenhut) masih belum bersedia mengucurkan
3
per m (Rp) layak (tahun) 0% 6% 9% 12% dana bantuan untuk kegiatan pengelolaan hutan sistem TPTJ,
pemerintah hendaknya menyakinkan dunia usaha perbankkan
11 NPV 1.000.977 agar bersedia mengucurkan dana pinjaman pada proyek
BCR 1,00 pengusahaan hutan ini atau dibentuk bank pertanian yang
16 NPV 2.064.372 memahami seluk beluk dunia usaha di bidang kehutanan yang
berdaur relatif panjang.
1.200.000 BCR 1,00
17 NPV 354.553
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
BCR 1,00
26 NPV 39.723 Kesimpulan
BCR 1,00
Pengelolaan hutan alam produksi sistem Tebang Pilih
6 NPV 3.653.587 333.290 Tanam Jalur yang memanfaatkan tebang naungan di IUPHHK-
1.300.000 BCR 1,03 1,00 HA PT Gunung Meranti dapat mencapai titik impas pada tahun
7 NPV 4.409.715 2.173.940 ke-7 dengan pendapat bersih sekarang (NPV) sebesar Rp.
4.139.693,-/ha dan BCR 1,03. Titik impas kelayakan dapat
BCR 1,03 1,02 dicapai pada tahun ke-3 apabila harga jual kayu bulat mencapai
1.500.000 3 NPV 4.965.644 2.570.707 1.501.484 506.557 Rp. 1.500.000,- per m3.
BCR 1,06 1,03 1,02 1,01
Saran
Menurut Nugroho (2002) harga jual kayu bulat di Malaysia Apabila penggunakan dana reboisasi (DR) masih belum
telah mencapai USD200-USD250 per m3 atau sekitar Rp. dapat dikucurkan untuk pendanaan sistem TPTJ teknik silin,
1.900.000,- Rp. 2.375.000,- per m3 (kurs Rp. 9.500 per USD). maka Unit manajemen yang melaksanakan pengelolaan hutan
Apabila harga jual kayu bulat di Indonesia dapat menyamai sistem TPTJ teknik silin dapat diberikan paket pinjaman dana
harga kayu bulat di Malaysia maka iklim usaha kehutanan di (misalnya dari dana reboisasi) dengan bunga nol persen (0%)
Indonesia akan semakin menarik dan kelestarian hutan alam sampai tahun ke-6 atau pinjaman dana dengan bunga 9%
produksi akan semakin cepat menjadi kenyataan karena sampai tahun ke-7.
tersedia dana yang cukup untuk pembinaan hutan.
Apabila harga jual kayu bulat masih belum dapat beranjak
dari kisaran harga Rp. 1.300.000,- per m3, maka berdasarkan
BAB XII. menjadi 120,35 juta ha tahun 2000. Menurut Balitbanghut
EVALUASI PERKEMBANGAN KEHUTANAN: (2008) luas kawasan hutan adalah 126,8 juta ha dengan
SEJARAH DAN KONDISI HUTAN ALAM PRODUKSI KITA komposisi hutan konservasi 23,2 juta ha; hutan lindung 32,4
juta ha; hutan produksi terbatas 21,6 juta ha; hutan produksi
(Forest Evaluation: History and Condition of Our Production tetap 35,6 juta ha dan hutan produksi konversi 14,0 juta ha.
Natural Forest) Dalam kawasan hutan tersebut, luas areal yang berhutan
hanya sebesar 64%, luas areal non hutan 29% dan lain-
lain (data tidak lengkap) 6%. Menurut Ditjen BUK (2010)
Oleh: luas kawasan hutan Indonesia adalah 136.559.885 ha dan
Dr. Ir. Wahyudi, MP seluas 81.810.490 ha diantaranya (59,9%) adalah hutan
Pakar Silvikultur, Universitas Palangka Raya produksi (hutan produksi tetap seluas 37.175.870 ha; hutan
Kep. Dirjen BUK No. SK.38/VI-BUHA/2012 produksi terbatas seluas 22.059.660 ha dan hutan produksi
Tanggal 15 Juni 2012 konversi seluas 22.574.959 ha).
Kep. Dirjen BUK No. SK.72/VI-BUHA/2012
Tanggal 17 Oktober 2012 Deforestasi:
164 juta ha 144 juta ha 120,35 juta ha 126,8 juta ha
HP: 0815 2156 0387, E-mail: isanautama@yahoo.com 136,56 juta ha.
2. Produktivitas hutan alam produksi sangat rendah, yaitu
Untuk: hanya 0,25 - 0,45 m3/ha/th (Suparna, 2010; Wahyudi,
2011). Apabila mengacu pada kawasan hutan produksi
Kementerian Kehutanan efektif seluas 59,23 juta ha (dari luas total 81,8 juta ha) dan
Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan total produksi kayu bulat pada sepuluh tahun terakhir
Direktur Bina Usaha Hutan Alam maksimal hanya 10 juta m3/th (dibesarkan), maka
produktivitas hutan alam produksi jauh lebih rendah lagi,
yaitu 0,17 m3/ha/th.
3. Laju deforestasi dan degradasi hutan hutan sebesar 1,8 juta
ha per tahun (1985-1997) dan meningkat menjadi 2,84 juta
SEJARAH DAN KONDISI HUTAN ALAM PRODUKSI ha per tahun pada tahun 1997-2000 (Balitbanghut, 2008).
4. Menurut hasil penelitian Wetland International, pada tahun
Pengelolaan (pengusahaan) hutan alam produksi di 2006 Indonesia telah menjadi negara penyuplai gas rumah
Indonesia sudah dilakukan sejak awal tahun 70-an hingga kaca (CO2) terbesar setelah Amerika Serikat dan China,
sekarang, atau sudah lebih dari 40 tahun. Bagaimana hasilnya? dengan perincian Amerika Serikat sebesar 6,005 milyar ton,
Berikut ini beberapa fakta yang ada. China 5,017 milyar ton dan Indonesia 3,014 milyar ton,
1. Deforestasi semakin besar. Luas kawasan hutan di yang sebagian besar berasal kebakaran lahan gambut.
Indonesia sebelum tahun 80-an sebesar 164 juta ha 5. Pada tahun 2007 Indonesia dinominasikan menjadi negara
(87,280% luas daratan Indonesia) (Suratmo et al., 2003). perusak hutan tercepat di dunia berdasarkan data dari
Menurut Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) luas Global Forest Resources Assessment (GFRA) tahun 2005.
kawasan hutan Indonesia tahun 1981 sebesar 144 juta ha 6. Menurut Santoso et al. (2008) dengan meningkatnya laju
(Hani’in, 1999), namun luasan ini mengalami penurunan degradasi hutan, rendahnya laju pembangunan hutan
tanaman, masih rendahnya perekonomian masyarakat di 10. Sejak 5-7 tahun terakhir, sebagian HPH mulai bangun
sekitar hutan dan meningkatnya kawasan hutan produksi kembali (aktif) meskipun banyak yang menggunakan
yang tidak dikelola dengan baik menunjukkan bahwa kinerja kontraktor untuk menangani bagian produksi (eksploitasi
pemegang IUPHHK dengan menerapkan satu sistem hutan).
silvikultur TPTI belum memenuhi prinsip pengelolaan hutan 11. Berikut ini gambaran kasar neraca keuangan HPH per m3
lestari. kayu bulat yang menggunakan jasa kontraktor produksi:
7. Munculnya kebijakan pembangunan industri perkayuan - Pendapatan (penjualan kayu bulat) : Rp.
(IPKH) yang terkait sahan dengan HPH awal tahun 80-an 1.400.000,-/m3
(sampai sekarang?) membawa dampak buruk pada - Pengeluaran 1. PSDH dan DR : Rp.
pengelolaan hutan alam produksi lestari (PHPL). 200.000,-/m3
Mengapa? Karena kayu bulat (log) yang dihasilkan dari 2. Operasional produksi : Rp. 500.000,-/m3
areal IUPHHK-HA (HPH) tidak pernah dihargai sesuai - Keuntungan kontraktor produksi : Rp.
harga pasar, karena langsung diolah di industri sendiri. 400.000,-/m3
Perusahaan baru dianggap menghasilkan income (benefit) - Bagi hasil bagi pemegang ijin (IUPHHK) : Rp.
bila telah mengekspor plywood/wood working bukan pada 300.000,-/,m3
saat unit HPH berhasil memproduksi kayu bulat. Kayu bulat Biaya Perijinan, administrasi, Perencanaan (PAK, ITSP,
dari hutan alam produksi saat itu hanya dihargai sekitra Rp. Trase Jalan), Pembinaan Hutan sistem TPTI (pembibitan,
300-500 ribu/m3. Akibatnya dana untuk pembinaan hutan penanaman, pemeliharaan tanaman) dan atau sistem TPTJ
menjadi sangat terbatas (sedikit) sehingga hutan tidak teknik Silin (pembuatan jalur tanam, pembibitan,
terkelola dengan baik. (Saat ini kejadian serupa menimpa penanaman, pemeliharaan tanaman),
HTI yang terkait saham dengan industri pulp and paper- Perlindungan/Pengamanan Hutan, PMDH (kelola sosial),
nya) Amdal (kelola lingkungan), Litbang, Sertifikasi dan lain-lain
8. Sampai tahun 1996, produksi kayu bulat nasional berkisar diambilkan dari bagi hasil pemegang ijin (IUPHHK).
15 - 26,05 juta m3/tahun, namun kapasitas terpasang 12. Kerugian ilegal logging:
industri pengolahan hasil hutan kayu lebih dari 50 juta - Merusak sumberdaya hutan dan lingkungan
m3/tahun. Dari mana kayu-kayu yang lain? Jawabnya: - Melanggar peraturan
Ilegal Logging. - Kayu hasil ilegal logging tidak terkoordinasi dan tidak sesuai
9. Sejak keluar Inpres Pemberantasan Ilegal Logging tahun dengan rencana kelestarian hutan (secara lokal, regional
2005, para pihak (Pemda, Kepolisian, Kejaksaan, maupun nasional) kehutanan.
Kehutanan dll) turut aktif berperan dalam pengendalian - Ilegal logging tidak membayar pajak dan pungutan resmi
ilegal logging. Apa yang terjadi setelah itu? pemerintah lainnya (PSDH, DR, IHPH, PMDH, Retribusi dll)
a. Sebagian besar industri pengolahan kayu bulat (plywood sehingga harga kayu lebih murah dari yang sewajarnya
dan wood working) tutup karena kekurangan bahan baku (lebih murah dari harga kayu yang diproduksi secara legal
kayu. oleh perusahaan yang sah).
b. Tutupnya industri pengolahan kayu bulat berdampak pada - Ilegal logging merusak perencanaan kehutanan dalam
PHK ribuan karyawan semua skala dan tingkatan dan mengacaukan nilai
c. Tutupnya industri pengolahan kayu bulat berdampak pada sumberdaya hutan seperti harga kayu bulat
mati surinya IUPHHK (HPH) karena biaya operasional HPH - Ilegal logging merusak jutaan hidup manusia yang bekerja
diperoleh dari hasil industri pengolahan kayunya disektor kehutanan, baik langsung maupun tidak langsung.
Akibat ilegal loging iklim usaha sektor kehutanan menjadi d. Adanya taktik permainan pihak konsumen yang sengaja
lesu, puluhan ribu karyawan HPH, HTI, Industri pengolahan menciptakan harga kayu lapis pada tingkat yang rendah
hasil hutan kayu di PHK. Pengangguran yang meningkat harus dilawan secara bersama-sama
menimbulkan efek / dampak negatif berantai berupa e. Meningkatkan efektifitas dan efisiensi industri pengolahan
penurunan gizi balita dan anak-anak, putus sekolah, kayu Indonesia
gelandangan, kelaparan, kemiskinan, kejahatan dan lain- f. Meningkatkan inovasi dan penerapan industri modern,
lain. sehingga memperkecil limbah dan meningkatkan diversitas
- Ilegal logging mencemarkan nama baik negara di dunia produk.
internasional. Indonesia dituduh merusak hutan tropika g. Memberantas ilegal loging dan perdagangan kayu liar antar
untuk manfaat yang minimal negara.
- Ilegal logging menurunkan pendapatan masyarakat secara
umum, bangsa dan negara. Milyaran dollar setiap hari 13. Kawasan hutan produksi saat ini telah membentuk mosaik
negara dirugikan akibat ilegal logging karena menebang lanskap berupa hutan primer, hutan sekunder, semak
hutan tanpa rencana, tanpa ijin dan tidak membayar pajak belukar dan tanah kosong. Kondisi areal hutan produksi
dan kewajiban sebagai mestinya. sudah tidak utuh lagi yang disebabkan penataan ruang
- Mengacaukan sistem perekonomian terutama dalam untuk pembangunan non kehutanan (perkebunan,
perdagangan kayu. Ilegal logging menyebabkan harga log pertambangan, pemukiman dll), kebakaran hutan,
dalam negeri semakin anjlok. Industri yang legal sangat perubahan akibat ekses otonomi daerah serta pengaturan
berat (hampir mati atau sudah banyak yang mati) akibat batas areal yang mengacu pada Rencana Tata Ruang
persaingan bahan baku sangat murah dari praktek ilegal Wilayah (RTRW).
loging. 14. Upaya optimalisasi pengelolaan kawasan hutan yang
- Merusak manajemen hutan lestari. Dan lain-lain. berbentuk mosaik adalah penerapan multisistem
13. Industri pengolahan kayu dalam negeri tidak mampu silvikultur, yaitu menerapkan lebih dari satu sistem dalam
membeli kayu bulat sesuai harga pasar internasional, satu unit manajemen, misalnya, pada hutan perawan dan
sehingga harga kayu bulat di dalam negeri jauh lebih LOA lebat yang berada pada kelerengan landai sampai
rendah dibanding negar-negara lain. Ironisnya, harga kayu curam dapat diterapkan sistem TPTI atau rumpang, pada
bulat yang rendah ini belum diterima (belum terjangkau) LOA dengan kelerengan datar sampai landai dapat
masyarakat, sehingga masih marak kayu hasil ilegal diterapkan sistem TPTJ teknik Silin atau rumpang, pada
logging. Perlu dibuka alternatif lain, misalnya: areal semak belukar dapat diterapkan sistem TPTJ dengan
a. Kayu bulat hasil tebang penyiapan lahan pada sistem TPTJ pendanaan khusus, pada areal semak, tanah kosong dan
teknik Silin yang dihasilkan IUPHHK-HA bersertifikat padang alang-alang dapat diterapkan sistem THPB dan
ekolabeling, diperbolehkan di ekspor pada tanah terbuka dan lahan kritis dapat dilakukan
b. Segera melakukan revitalisasi industri pengolahan kayu di program reboisasi menggunakan dana khusus.
Indonesia
c. Dibentuk kerja sama (asosiasi dll) diantara produsen kayu
lapis Indonesia dan dunia. Bila ada kerja sama dapat
mengatur kuota produksi untuk mempertahankan harga
pada tingkat yang wajar.
PEMBINAAN HUTAN ALAM PRODUKSI MENGGUNAKAN Sistem Hutan Tanaman Industri-Tebang Tanam Jalur (HTI-
SISTEM CELAH (GAPS) TTJ) kemudian diganti menjadi sistem Tebang Pilih Tanam Jalur
(TPTJ) berdasarkan Keputusan Dirjen Pengusahaan Hutan
Menurut Suhendang (2008) paradikma baru pengelolan Nomor 55/Kpts/IV-BPH/1998. Evaluasi sistem TPTJ
hutan saat ini adalah pendekatan pada bentuk hutan alam menunjukkan hasil yang memuaskan, karena regenerasi
(close to the natural forest). Menurut Mitlöhner (2009) close to terbentuk dengan baik dan tegakan tinggal serta lingkungan
nature forestry adalah upaya pengelolaan hutan alam dengan dapat terjaga, sehingga TPTJ dimasukkan sebagai salah satu
tetap mempertahankan lapisan strata hutan serta menjaga sistem silvikultur untuk pengelolan hutan alam produksi
kelestarian lingkungan, seperti iklim mikro, tanah, air dan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 309/Kpts-
keanekaragaman jenis. II/1999. Namun pada tahun 2002 keputusan ini dibatalkan
Menurut Coates dan Philip (1997) penebangan hutan melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 10172/Kpts-
dengan sistem celah (gap) lebih sesuai dengan kondisi hutan II/2002 dan selanjutnya kembali pada sistem TPTI kecuali PT
alam karena menyerupai fenomena pohon atau kelompok Sari Bumi Kusuma (Surat Keputusan Menhutbun Nomor
pohon yang mati dalam hutan lalu terbentuk regenerasi alam 201/Kpts-II/1998) dan PT Erna Juliawati (Surat Keputusan
yang baik. Sistem gap termasuk sistem silvikultur untuk Menhutbun Nomor 15/Kpts-II/1999).
tegakan semua seumur (all-aged stands) dengan penebangan Hasil yang memuaskan dari pelaksanaan TPTJ pada kedua
dalam kelompok pohon dalam bentuk gap melingkar (rumpang) IUPHHK tersebut telah menginspirasi para pakar di perguruan
atau memanjang (strips). tinggi untuk menyempurnakan sistem silvikultur ini dengan
Penelitian sistem gap memanjang (strips) telah dilakukan menerapkan teknik silvikultur intensif (silin) melalui penggunaan
pada beberapa IUPHHK sejak tahun 1993 dengan nama sistem bibit unggul, teknik manipulasi lingkungan dan pengendalian
silvikultur Tebang Jalur Tanam Indonesia (TJTI) yang hama terpadu (integrated pest management). Sistem silvikultur
selanjutnya berubah menjadi Tebang Jalur Tanam Konservasi hasil penyempurnaan tersebut adalah Tebang Pilih Tanam
(TJTK). Prinsip sistem ini adalah membangun hutan tanaman Indonesia Intensif (TPTII) yang dikeluarkan tahun 2005.
diantara hutan alam dalam bentuk jalur selebar 25 – 100 m. Pada tahun 2009 sistem TPTII secara tersirat diganti
Hambatan pelaksanaan sistem ini adalah adanya PP Nomor 21 menjadi sistem TPTJ kembali dengan variasi lebar jalur antara
tahun 1970 dan PP Nomor 7 tahun 1990 yang melarang dan jalur tanam. Secara tersirat pula, para pihak banyak yang
pembangunan hutan tanaman dalam kawasan pengelolaan setuju bahwa lebar jalur tanam adalah 3 meter dan lebar jalur
hutan alam. Kendala ini mengakibatkan munculnya keinginan antara adalah 17 meter. Namun dalam perkembangan terkini,
untuk menggabungkan kedua PP tersebut. Sistem TJTK banyak para pelaksana (IUPHHK) yang mengusulkan
akhirnya berubah menjadi sistem Hutan Tanaman Industri pembuatan jalur tanam dengan lebar 4 meter untuk mengurangi
dengan Tebang Tanam Jalur (HTI-TTJ) berdasarkan Keputusan biaya penjarangan pada tahun ke-2 serta resiko kematian
Menteri Kehutanan Nomor 435/Kpts-II/1997 yang dijabarkan tanaman akibat ketimpa pohon yang dijarangi. Menurut
dalam pedoman teknis berdasarkan Keputusan Dirjen pengalaman dan penelitian penulis di IUPHHK PT Gunung
Pengusahaan Hutan Nomor 220/Kpts/IV-BPH/1997. Dalam Meranti, PT Dasa Intiga dan PT Austral Bina, ide menerapkan
sistem ini jalur tanam dipersempit menjadi 3 meter namun lebar jalur tanam selebar 4 meter adalah tepat dalam rangka
dilakukan pembuatan jalur bebas naungan selebar 10 meter. efisiensi tanpa mengurangi keberhasilan tanaman dalam jalur.
Interval penanaman 5 meter dan jarak antar jalur 25 meter, Silvikultur intensif yang dipasang pada sistem silvikultur
sehingga membentuk jarak tanam 5 m x 25 m. TPTJ mempunyai 3 pilar utama, yaitu rekayasa lingkungan,
pemuliaan pohon dan pengendalian hama terpadu. Bagaimana
implementasi ketiga pilar tersebut sampai saat ini? Jawaban 4. Tahun 2012 terjadi permasalahan sosial pada lokasi
ada pada Laporan Berikutnya. Terima kasih. penanaman TPTJ teknik Silin, yaitu pada blok RKT 2011.
Sejumlah masyarakat menginginkan pembebasan areal
BIMBINGAN PADA PELAKSANAAN tersebut untuk kepentingan masyarakat. Upaya
TPTJ TEKNIK SILIN PADA PT AB penyelesaian konflik sudah dilakukan dan telah ditemukan
solusinya. Masyarakat hanya menginginkan 120 ha lahan
tersebut, sisanya dapat dilanjutkan kegiatan penanaman.
PT Austral Bina sudah melakukan penyiapan lahan tanam
sebesar 354,92 ha dari rencana seluas 827 ha di lokasi
tersebut, meskipun belum sempat melakukan penanaman.
Kegiatan pembuatan tanaman TPTJ teknik Silin pada
lokasi ini akan dilakukan pada tahun 2013 bersamaan
dengan kewajiban penanaman tahun 2013 pada blok RKT
2012.
………………………………………………………………………. ……………………………………………………………………….
………………………………………………………………………. ……………………………………………………………………….
………………………………………………………………………. ……………………………………………………………………….
………………………………………………………………………. ……………………………………………………………………….
………………………………………………………………………. ……………………………………………………………………….