Anda di halaman 1dari 91

Judul Buku:

Kebangkitan Kehutanan Indonesia


KEBANGKITAN KEHUTANAN
INDONESIA
Ditulis Oleh: Dr. Wahyudi
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Edisi I Tahun 2013


Edisi II Tahun 2016

Diterbitkan Oleh:
Dr. Wahyudi Isana Press
Anggota ISBN/KDT No. 978-602-98598
Jl. Babakan Raya Gg. B3, Dramaga Bogor
Telepon: +62 81521560387, +62 85347153484
Email: isanautama@yahoo.com
Isi diluar tanggungjawab

ISBN 978-602-98568-0-49 5

Undang-Undang RI Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta


Ketentuan Pidana Pasal 72 (ayat 2):

Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan,


mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang
hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah).
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR Halaman


KATA PENGANTAR ............................................ iii
DAFTAR ISI...................................................... iv
Setelah mengalami kejayaan pada tahun 80 dan 90 an, DAFTAR TABEL................................................. v
sektor kehutanan mengalami kelesuan sejak krisis moneter DAFTAR GAMBAR.............................................. vi
tahun 1998, menyusul tingginya laju degradasi hutan dan I. PENDAHULUAN................................................. 1
deforestasi serta rendahnya produktifitas hutan alam produksi. A. Hutan dan Kehutanan .................................. 1
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Alam yang B. Masa Kejayaan Kehutanan ............................ 5
menjadi motor penggerak industri kehutanan, banyak yang C. Kejayaan itu Sedang Redup .......................... 6
tidak aktif atau dicabut izin konsesianya. Jutaan hektar D. Permasalahan ............................................. 11
kawasan hutan yang tidak dibebani izin usaha menjadi incaran E. State of the Art ............................................ 13
para penebang liar dan perambah hutan, menjadikan dunia II. PENGELOLAAN HUTAN ..................................... 17
kehutanan semakin suram. A. Pengelolaan Hutan produksi.......................... 17
Pengelolaan hutan alam produksi kini telah menemukan B. Pertumbuhan Hutan ..................................... 23
solusi dengan menggunakan teknik silvikultur intensif (silin) C. Orang Hutan ............................................... 26
yang mampu meningkatkan produktifitas hutan sekaligus tetap III. KONDISI HUTAN INDONESIA............................. 32
menjaga keanekaragaman jenis tumbuhan hutan tropis. Teknik A. Luas dan Klasifikasi Hutan ............................ 32
silin mampu meningkatkan produktifitas hutan dan menjaga B. Ekosistem Hutan Tropika .............................. 43
karakteristik hutan alam campuran. Buku ini berusaha C. Degradasi dan Deforestasi ............................ 49
menyajikan kumpulan artikel yang ditulis dalam rangka IV. PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN
mengembalikan kejayaan kehutanan melalui kegiatan silin, yang MERANTI PADA SISTEM TPTJ ............................ 57
dikoordinir oleh Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan. V. HUTAN BEKAS TEBANGAN, EKOSISTEM,
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Awriya SARAN DAN UPAYA REHABILITASI..................... 68
Ibrahim, MSi dan Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS yang telah VI. EVALUASI STRUKTUR DAN KOMPOSISI
memfasilitasi dan memberikan motivasi dalam penulisan artikel- VEGETASI PADA LOA ....................................... 79
artikel ini. Semoga tulisan ini bermanfaat untuk mengembalikan VII. PERKEMBANGAN SISTEM SILVIKULTUR
kejayaan sektor kehutanan di Indoensia. DI INDONESIA.................................................. 93
VIII. SISTEM TPTJ TEKNIK SILIN............................... 105
Penulis, IX. JENIS DOMINAN DAN UNGGULAN LOKAL ........... 122
X. TPTJ: PEMODELAN PERTUMBUHAN MERANTI ..... 131
XI. ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL SISTEM TPTJ.. 145
XII. EVALUASI PERKEMBANGAN KEHUTANAN............ 159
Dr. Wahyudi DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman Nomor Halaman


Teks Teks

1. Rekapitulasi hasil pengukuran meranti................... 60 1. Produksi kayu bulat nasional ................................ 7


2. Keberadaan tingkat semai, pancang, tiang dan 2. Penurunan luas areal IUPHHK............................... 8
pohon................................................................. 88 3. State of the art.................................................... 14
3. Syarat pelaksanaan TPI........................................ 108 4. Hutan tropis di Kalimantan ................................... 18
4. Jenis dominan di hutan alam ................................ 125 5. Sebaran kawasan hutan di Indonesia .................... 34
5. Berat jenis, kelas awet dan kelas kuat beberapa 6. Taman Nasional Gunung Gd Pangrango................. 36
jenis unggulan..................................................... 127 7. Hutan daratan campuran ..................................... 38
6. Jenis-jenis dipterocarp yang disarankan untuk 8. Hutan gambut di Kalimantan Tengah .................... 39
dikembangkan..................................................... 128 9. Hutan rawa dengan tapak tergenang .................... 40
7. Lima sub model pertumbuhan meranti .................. 138 10. Hutan tanaman bakau di Batu Ampar, Kalbar ......... 41
8. Uji LSD volume tanaman ...................................... 140 11. Hutan kerangas alam dan terdegradasi.................. 42
9. Rencana dan realisasi tebangan TPTJ PT GM ......... 150 12. Hutan alam tropika, ekosistem yang komplek......... 44
10. Standar biaya operasional TPTJ ............................ 152 13. Pohon meranti pembentuk strata A ....................... 45
11. Nilai NPV dan BCR pengelolaan hutan sistem 14. Semak belukar akibat degradasi hutan .................. 51
Tebang Pilih Tanam Jalur ..................................... 153 15. Kayu bulat dari hutan alam................................... 52
12. Analisis sensitifitas kelayakan finansial................... 157 16. Degradasi dan suksesi hutan ................................ 55
17. Dinamika struktur tanaman meranti ...................... 62
18. Pola pertumbuhan tanaman meranti ..................... 64
19. Tumbuhan pionir ................................................. 77
20. Posisi jalur antara tempat pengambilan data .......... 81
21. Penyebaran semai, pancang, tiang, pohon............. 90
22. Jalur tanam dan jalur antara sistem TPTJ .............. 118
23. Layout penelitian tanaman meranti dalam jalur
Tanam sistem TPTJ ............................................. 135
24. Pertumbuhan diameter meranti pada 5 sub model.. 139
25. Prediksi volume tanaman menggunakan 3 model ... 141
26. NPV pengelolaan hutan sistem TPTJ...................... 154
27. Lokasi penanaman Shorea leprosula sistem TPTJ
di PT AB Kalimantan Tengah ................................ 168
Hutan lebat diperuntukkan untuk perlindungan dan konservasi
BAB I PENDAHULUAN sumber daya alam serta memproduksi hasil hutan, kayu dan
non kayu, dengan sistem pengelolaan tertentu. Hutan rawang
dan semak belukar dapat dikelola dan diperkaya sehingga
A. Hutan dan Kehutanan menjadi kawasan yang lebih produktif sedangkan padang alang-
alang dan tanah kosong dilakukan reboisasi sehingga fungsi
Kehutanan adalah sistem pengurusan yang bersangkut paut kawasan dapat kembali seperti semula.
dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan yang Berdasarkan batas geografis, hutan tropika terletak antara
diselenggarakan secara terpadu. Hutan adalah suatu kesatuan 23½o LU sampai 23½o LS, yang dicirikan dengan lanskap yang
ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam selalu hijau, intensitas cahaya matahari merata sepanjang tahun
hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam serta curah hujan yang tinggi. Ekosistem hutan tropis
lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat membentuk mekanisme siklus hara tertutup (Mc Kinnon et al.
dipisahkan(UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan). 2000). Struktur hutan yang berlapis, komposisi vegetasi yang
Hutan adalah lapangan pertumbuhan pohon-pohon yang sangat bervariasi dengan keanekaragaman serta kekayaan
secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati jenis yang sangat tinggi membentuk ekosistem hutan yang
beserta lingkungannya. Secara umum dapat didefinisikan komplek dan lebat serta kaya pohon-pohon berukuran besar.
bahwa hutan merupakan areal di atas permukaan bumi yang Fenomena hutan tropis yang selalu hijau dan lebat ini seakan-
ditumbuhi oleh pohon yang rapat dan luas sehingga pohon akan menggambarkan tingkat kesuburan tanahnya, namun
beserta tumbuhan lain dan binatang yang hidup di areal itu ternyata tidak demikian. Tanah di hutan tropis pada umumnya
membentuk persekutuan hidup alam hayati dengan hanya mengandung sebagian kecil biomassa sementara
lingkungannya, yang terdiri dari lingkungan biotik (berupa flora kandungan terbesar berada dalam vegetasinya. Oleh karena itu
dan fauna termasuk mikroorganisme) serta lingkungan abiotik kegiatan eksploitasi hutan disamping dapat membuka siklus
(edafis dan klimatis, seperti tanah, air, udara, sinar dan lain- hara juga dapat menurunkan kandungan biomassa secara
lain). Hutan hujan tropis (tropical rain forest) merupakan signifikans dari ekosistem tersebut. Oleh karena itu
ekosistem sumber daya alam hayati komplek dengan dominasi pengelolaan hutan alam produksi harus dilakukan dengan
vegetasi tingkat pohon yang terhampar pada suatu lahan cermat, tepat dan benar untuk meminimalkan dampak negatif.
dengan curah hujan dan intensitas sinar yang cukup tinggi. Indonesia memiliki hutan hujan tropis terluas di dunia
Sumber daya alam hayati dalam ekosistem hutan tidak dapat setelah Brasilia di Amerika Selatan dan Zaire di Afrika (FAO
dipisahkan satu dengan lainnya, artinya, apabila terdapat 1991) sekaligus menyimpan keanekaragaman hayati yang
gangguan pada salah satu komponen ekosistem maka sangat tinggi di dunia. Luas hutan di Indonesia adalah 137,6
komponen-komponen yang lain akan mengalami gangguan pula juta ha (Kemenhut 2011) atau sekitar dengan kekayaan hayati
sehingga akan mempengaruhi kestabilan dan keutuhan meliputi 45% spesies ikan, 40% spesies molusca, 33% spesies
ekosistem secara keseluruhan. serangga, 26% spesies jamur, 17% spesies burung, 12%
Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan spesies tumbuhan berbunga, 12% spesies mamalia, 8% spesies
atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan reptil dan 6% spesies ampibi dari seluruh dunia (World
keberadaannya sebagai hutan tetap. Dengan demikian bentuk Concervation Monitoring Centre 2000).
penutupan lahan dalam kawasan hutan dapat berupa hutan Berdasarkan Undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang
lebat (hutan primer dan hutan sekunder), hutan rawang, semak Kehutanan, hutan Indonesia di kelompokkan menjadi tiga yaitu
belukar sampai pada padang alang-alang dan tanah kosong. hutan produksi yang berfungsi untuk memproduksi hasil hutan;
hutan lindung yang berfungsi sebagai perlindungan sistem Kehutanan dibawah Departemen Pertanian dengan Soedjarwo
penyangga kehidupan, mengatur tata air, mencegah banjir, sebagai pejabat Ditjen Kehutanan.
mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara Pidato Presiden pada pembentukan Kabinet Pembangunan
kesuburan tanah; serta hutan konservasi untuk pengawetan IV pada tanggal 16 Maret 1983 yang dilanjutkan melalui Surat
keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Keputusan Presiden Nomor 15 tahun 1984 menyebutkan
Menurut Suratmo et al. (2003), luas kawasan hutan di struktur organisasi Departemen Kehutanan periode 1984-1989,
Indonesia sebelum tahun 70-an adalah 164 juta ha atau 87,2% yaitu Menteri Kehutanan (dijabat oleh Soedjarwo), Sekretariat
dari luas daratan Indonesia (188 juta ha). Berdasarkan Tata Jenderal, Inspektorat Jenderal, Direktorat Jenderal
Guna Hutan Kesepakatan (1981) luas hutan turun menjadi 144 Pengusahaan Hutan, Direktorat Jenderal Reboisasi dan
juta ha yang terdiri hutan lindung 30 juta Ha (21%), hutan taman Rehabilitasi Lahan, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan
nasional dan konservasi alam 19 juta ha (13%), hutan produksi Pelestarian Alam, Badan Inventarisasi dan Tata Guna Hutan,
tetap 34 juta ha (23%), hutan produksi terbatas 31 juta ha Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Pusat
(22%) dan hutan produksi yang dapat dikonversi 30 juta ha Pendidikan dan Latihan Kehutanan dan Kantor Wilayah
(21%). Departemen Kehutanan di Wilayah. Di samping itu terdapat
Pada tahun 2000 dilaporkan bahwa luas hutan di Indonesia 12 UPT di lingkungan Departemen Kehutanan dan 24 Dinas
turun lagi menjadi 120,33 juta ha yang terdiri dari hutan Kehutanan Daerah Tingkat I. Pada tahun 1989-1991 jabatan
konservasi 20,50 juta ha; hutan lindung 33,51 juta ha; hutan Menteri Kehutanan dipegang Ir. Hasrul Harahap dan tahun
produksi terbatas 23,05 juta ha; hutan produksi tetap 35,19 juta 1991-1996 dipegang Ir. Jamaluddin Suryohadikusumo.
ha dan hutan produksi konversi 8,08 juta ha (Baplan Kehutanan Pada tahun 1997 Departemen Kehutanan disatukan dengan
2000). sektor perkebunan menjadi Departemen Kehutanan dan
Berdasarkan hasil perhitungan yang lebih komprehensif Perkebunan, dengan pejabat menteri dipegang Sumahadi yang
tahun 2010, luas kawasan hutan di Indonesia ternyata menjabat hanya 3 bulan. Pejabat berikutnya dipegang Muslimin
136.559.885 ha termasuk 81.810.490 ha atau 59,9% hutan Nasution (1997-1999). Pada tahun 1999 menjadi Departemen
produksi, yang terdiri hutan produksi biasa 37.175.870 ha, hutan Kehutanan kembali, dengan Menteri Kehutanan dijabat oleh
produksi terbatass 22.059.660 ha dan hutan produksi konversi Nurmahmudi Ismail (1999-2000), Marzuki Usman (2000), M.
22.574.959 ha. Dari luasan hutan produksi tersebut, yang Prakosa (2000 - 2004), M.S. Kaban (2004 - 2009) dan Zulkifli
dimanfaatkan dalam bentuk IUPHHK seluas 34.841.901 ha atau Hasam (2004 - 2014).
42,56% (Ditjen BUK 2010). Berikut ini urutan pejabat tertinggi yang mengurusi sektor
Sejarah pengelolaan hutan di Indonesia dimulai sejak awal kehutanan:
kemerdekaan melalui Jawatan Kehutanan yang bernaung 1. Soedjarwo
dibawah Kementerian Kemakmuran berdasarkan Maklumat Kabinet Dwikora I (27 Juli 1964 - 21 Februari 1966)
Presiden Republik Indonesia tanggal 18 Agustsus 1945, SK 2. Soedjarwo
Nomor 1686/G.K.T. tanggal 1 September 1945 dengan Ir. Kabinet Dwikora II (24 Februari 1966 - 28 Maret 966)
Darmawan Mangunkusomo sebagai pejabat Menteri dan Ir. R. 3. Soedjarwo
Sewandono sebagai ketua Jawatan Kehutanan. Pada tahun Kabinet Dwikora III (28 Maret 1966 - 25 Juli 1966)
1964 dibentuk Departemen Kehutanan dengan Menteri 4. Soedjarwo
Kehutanan Soedjarwo namun sejak tahun 1965 sektor Kabinet Pembangunan IV (19 Maret 1983 - 21 Maret 1988)
Kehutanan bernaung dibawah Direktorat Jenderal (Ditjen) 5. Ir. Hasjrul Harahap
Kabinet Pembangunan V (21 Maret 1988 - 17 Maret 1993)
6. Ir. Djamaludin Suryohadikusumo utama berupa kayu bulat. Sistem silvikultur untuk
Kabinet Pembangunan VI (17 Maret 1993 - 16 Maret 1998) mengusahakan hutan alam dalam kawasan hutan produksi
7. Ir. Sumohadi, MBA adalah Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPI) berdasarkan Surat
Kabinet Pembangunan VII (16 Maret 1998 - 21 Mei 1998) Keputusan Dirjen Kehutanan Nomor 35/Kpts/DD/I/1972.
8. Dr. Ir. Muslimin Nasution Menjelang tahun 80-an, Indonesia memasuki era “bom
Kabinet Reformasi Pembangunan (23 Mei 1998 - 20 logs” karena mampu memproduksi dan mengekspor kayu bulat
Oktober 1999) dalam jumlah sangat besar dari hutan alam. Pada tahun 80-an
9. Dr. Nur Mahmudi Ismail Indonesia mendapat julukan sebagai produsen kayu lapis
Kabinet Persatuan Nasional (23 Oktober 1999 – 23 Agustus terbesar di dunia melalui kebijakan larangan ekspor kayu bulat
2000) dan pembangunan industri pengolahan kayu terkait saham
10. Marzuki Usman pengelola HPH dengan komoditas andalan kayu lapis (plywood)
Kabinet Persatuan Nasional (23 Agustus 2000 - 22 Juli dan wood working. Pada akhir tahun 80-an sampai awal tahun
2001) 90-an sektor kehutanan melalui industri kayu lapisnya berhasil
11. Muhammad Prakosa menyumbang devisa terbesar bagi negeri ini setelah migas.
Kabinet Gotong-Royong (10 Agustus 2001 - 20 Oktober Pada saat itu, produksi kayu bulat nasional sempat mencapai
2004) 26,05 juta m3/tahun yang dihasilkan oleh 580 para pemegang
12. MS Kaban HPH dari areal hutan alam produksi seluas 61,38 juta ha.
Kabinet Indonesia Bersatu (21 Oktober 2004 - 20 Oktober Kejayaan sektor kehutanan ini membawa dampak yang
2009) sangat luas berupa penyerapan tenaga kerja, peningkatan
13. Zulkifli Hasan ekonomi daerah dan nasional, pembukaan wilayah, peningkatan
Kabinet Indonesia Bersatu II (21 Oktober 2009 – 20 Oktober kualitas dan kuantitas sumber daya manusia di sektor
2014). Pada kabinet ini istilah Departemen diganti menjadi kehutanan. Pejabat dan karyawan di lingkungan Departemen
Kementerian, sehingga sektor kehutanan bernanung Kehutanan, para pekerja swasta sektor kehutanan sampai
dibawah Kementerian Kehutanan. pelajar dan mahasiswa kehutanan bangga dengan statusnya
14. Siti Nurbaya Abubakar sebagai rimbawan. Para pekerja di sektor kehutanan dipandang
Kabinet Gotong Royong mempunyai status sosial dan ekonomi yang mapan. Saat itu
sektor kehutanan mampu menyerap tenaga kerja, baik langsung
maupun tidak langsung, sebanyak 14 juta orang.
B. Masa Kejayaan Sektor Kehutanan

Istilah “masa kejayaan” sektor kehutanan sebenarnya lebih C. Kejayaan Itu Sedang Redup
tepat diganti dengan “semarak“ sektor kehutanan. Masa ini
terjadi di era orde baru dengan komoditas andalan berupa kayu Kejayaan sektor kehutanan melalui bom logs dan raja kayu
bulat dari hutan alam disusul dengan semaraknya industri kayu lapis dunia rupanya tidak disiasati dengan penerapan konsep
lapis. kelestarian hasil hutan dan strategi pengembangan industri
Sejak diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun pengolahan kayu yang lebih kompetitif, efektif dan efisien.
1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Sejak tahun 90-an, produksi kayu bulat nasional selalu
Hutan (HPH dan PHH), hutan alam di luar Jawa mulai mengalami penurunan yang mencerminkan konsep kelestarian
dieksploitasi secara besar-besaran untuk memperoleh hasil hasil pada pengelolaan hutan alam belum membuahkan hasil.
Sebagai contoh, pada tahun 1992 produksi kayu bulat nasional hutannya sudah tidak produktif. Sebagai contoh, pada tahun
sebesar 26,05 juta m3/ha turun menjadi 4,14 m3/th (rata-rata) 1992 terdapat sebanyak 580 IUPHHK, namun pada tahun 2002
pada tahun 2000 sampai akhir 2013 (APHI, 2013) (Gambar 1). hanya tersisa 270 IUPHHK.

Produksi log
dalam juta m3/th

Juta
m3/th

Tahun
Tahun

Gambar 1. Produksi kayu bulat nasional dari hutan alam


produksi cenderung mengalami penurunan Gambar 2. Penurunan luas areal IUPHHK, cerminan
penurunan kawasan hutan yang produktif
Sejalan dengan penurunan produksi kayu bulat nasional,
luas areal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Pemerintah melalui Departemen Kehutanan sebenarnya
Hutan Alam (IUPHHK-HA), dulu bernama HPH, juga mengalami sudah menyisiati untuk melestarikan kejayaan sektor kehutanan
penurunan yang mencerminkan telah terjadi peningkatan ini melalui dua pendekatan, yaitu mengembangkan hutan
kawasan hutan produksi yang tidak produktif. Sebagai contoh, tanaman (timber estate) dan menerapkan prinsip kelestarian
pada tahun 1992 areal hutan alam produksi yang dipergunakan hasil (sustained yiels principle) pada pengusahaan hutan
untuk memproduksi hasil hutan kayu seluas 61,38 juta ha termasuk pada pengusahaan hutan alam produksi.
namun pada tahun 2013 turun menjadi 22,8 juta ha (Gambar 2). Pada loka karya tahun 1984 istilah timber estate diganti
Banyak IUPHHK yang dicabut izin konsesinya karena kondisi menjadi Hutan Tanaman Industri (HTI) dengan pembiayaan
berasal Dana Reboisasi (dulu Dana Janiman Reboisasi). 1989 menggantikan sistem sebelumnya. Pada tahun 1993
Namun realisasi pembangunan HTI masih jauh dari harapan, mulai diujicobakan sistem silvikultur Tebang Jalur Tanam
hanya sekitar 30%, dan hanya terfokus pada kayu-kayu Indonesia (TJTI) dalam skala uji coba. Sistem ini kemudian
berdiamter kecil untuk keperluan industri kecil, papan partikel berubah menjadi Tebang Jalur Tanam Konservasi (TJTK) dan
dan pulp. Sementara itu konsep kelestarian hasil hutan tidak pada tahun 1997 berubah lagi menjadi sistem Hutan Tanaman
membuahkan hasil yang baik dan segera diganti menjadi Industri dengan Tebang Tanam Jalur (HTI-TTJ). Pada tahun
kelestarian hutan (sustainable forest managemen), karena 1998 sistem HTI-TTJ berubah menjadi sistem Tebang Pilih
pengelolaan hutan pada hakekatnya adalah pengelolaan Tanam Jalur (TPTJ). Pada tahun 2005 diterapkan sistem
ekosistem hutan, bukan hanya pohon. Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) dengan teknik
Kerusakan hutan dapat disebabkan oleh meningkatkannya yang mirip dengan sistem TPTJ. Sistem TPTII mampu
jumlah penduduk dan kebutuhan hasil hutan kayu (Singh et al. menggabungkan konsep penanaman/ pengayaan (enrichmnet
1995), penebangan liar (illegal logging), pertambangan liar planting) pada sistem TPTI dengan konsep penanaman dalam
(illegal minning), perladangan berpindah, okupasi masyarakat, jalur pada sistem TPTJ sehingga kegiatan pemuliaan,
kebakaran hutan (Indrawan 2008, Wahyudi 2009b), perawatan tanaman dapat dilakukan lebih intensif dan
perambahan dan konversi hutan, pengelolaan hutan yang tidak mempermudah pengawasan.
baik (Wahjono & Anwar 2008) seperti pembalakan yang Sistem TPTII yang diterapkan pada hutan bekas tebangan
melebihi batas kemampuan hutan untuk memulihkan diri dan hutan rawang diduga dapat meningkatkan potensi hutan
(penebangan melebihi riap hutan) dan tidak ada keseriusan pada akhir daur sehingga prospek pengusahaan hutan produksi
untuk merehabilitasi hutan bekas tebangan (Soekotjo 2009). menjadi lebih menarik. Menurut Ditjen BPK (2005) tujuan umum
Kerusakan hutan banyak terjadi pada kawasan hutan teknik TPTII adalah membangun hutan tropis yang lestari dan
produksi. Sebagai perbandingan, pada tahun 1990 jumlah dinamis, yang dicirikan dengan selalu meningkatnya potensi dan
produksi kayu bulat Indonesia sebesar 28 juta m3 yang berasal fungsi hutan, baik dari segi kuantitas maupun kualitas, dari satu
dari areal hutan produksi seluas 59,6 juta ha. Namun pada rotasi tebang ke rotasi tebang berikutnya. Sedangkan tujuan
tahun 2007 jumlah produksi menurun menjadi 9,1 juta m3 dari khusus untuk membangun hutan sebagai transisi menuju hutan
areal hutan produksi seluas 27,8 juta ha. Penurunan produksi tanaman meranti dan untuk menjamin fungsi hutan yang
dan luas hutan ini akan terus terjadi di masa datang apabila optimal.
tidak ada pembenahan yang signifikan terhadap sistem Kecenderungan teknik pengelolaan hutan di dunia saat ini
pengelolaan hutan produksi di Indonesia. Salah satu bentuk adalah kembali meniru dinamika dan suksesi yang terjadi pada
pembenahan yang harus dilakukan adalah penerapan sistem hutan alam (close to nature). Konsep ini dapat diaplikasikan
silvikultur yang sesuai dengan kondisi vegetasi dan melalui pola polycyclic system, misalnya tebang pilih (selective
lingkungannya sehingga mampu peningkatan daya dukung cutting). Konsep tebang pilih individu sudah pernah diadopsi
lahan dan produktifitas hutan. melalui sistem TPI (1972-1989) dan TPTI (1989- sekarang).
Pada awal tahun 70-an, hutan alam Indonesia masih terjaga Namun sistem ini tidak memberikan hasil yang memuaskan
dengan baik. Pengelolaan hutan alam mulai dilakukan dalam karena tegakan yang ditinggalkan cenderung mengalami
kawasan hutan alam produksi dalam bentuk Izin Usaha penurunan kualitas. Banyak pohon cacat dan kualitas rendah
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (dulu bernama Hak yang ditinggalkan menjadi bagian dari tegakan tinggal. Sistem
Pengusahaan Hutan) sejak tahun 1972 menggunakan sistem pembinaan hutan yang dicanangkan susah diaplikasikan di
silvikultur Tebang Pilih Indonesia (TPI). Sistem silvikultur lapangan, terutama dari segi efektiftas, efisiensi dan
Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) diterapkan pada tahun pengawasan. Setelah lebih dari 30 tahun penerapan sistem ini,
belum ada tanda-tanda hutan alam produksi telah lestari justru pada periode 1985-1997 dan meningkat menjadi 2,84 juta ha/th
banyak kasus menunjukkan bahwa produktifitas hutan pada periode 1997-2000 (Balitbanghut 2008). Bahkan
mengalami penurunan pada siklus tebang berikutnya. Indonesia sempat tercatat sebagai negara dengan laju
Konsep tebang pilih kelompok pernah diajukan dalam kerusakan hutan tercepat di dunia (Global Forest Resources
bentuk tebang rumpang dan tebang pilih tanam jalur. Kelebihan Assessment 2006). Data tahun 2010 menyebutkan laju
konsep ini adalah adanya perhatian khusus pada aspek deforestasi telah menurun, menjadi 0,5 juta ha/th dan
permudaan. Potensi hutan pada siklus tebang berikutnya bukan penerapan moratorium pembukaan hutan alam baru dapat
berasal dari tegakan tinggal, namun dari permudaan yang dibina membantu perbaikan kondisi hutan alam.
sejak awal dengan rekayasa lingkungan untuk memberikan Permasalah mendasar yang ditemukan dalam pengelolaan
ruang tumbuh yang optimal bagi permudaan. Potensi hutan hutan alam produksi adalah produktifitas yang sangat rendah.
akan meningkat lagi bila permudaan didapatkan dari Sampai tahun 2003 produktifitas hutan alam di Indonesia hanya
penanaman menggunakan bibit unggul serta pengendalian sebesar 1,1-1,4 m3/ha/th dan sampai tahun 2007 turun menjadi
hama terpadu. 0,46 m3/ha/th (Ditjen BPK 2010b). Menurut Suparna (2010)
Untuk mengawal suatu sistem silvikultur sebaiknya produktifitas hutan alam tahun 2009 hanya 0,25 m3/ha/th.
dikembangkan konsep dinamika dan pemodelan tegakan hutan. Rendahnya produktifitas hutan alam menyebabkan iklim usaha
Jangan dibiarkan pelaksanaan sistem ini berjalan sendiri dan pengelolaan hutan alam produksi menjadi kurang menarik.
hasilnya baru dievaluasi pada akhir daur (pada saat Dana untuk pembinaan hutan paska penebangan sangat
pemanenan). Apabila hal ini dilakukan maka dikhawatirkan terbatas dan tidak rasional. Banyak pengusaha yang
kerusakan hutan akan terus terjadi dan atau semakin bertambah mengalihkan bidang usahanya di luar sektor kehutanan. Saat
tanpa kita ketahui. Pada sistem TPTJ atau TPTII, prediksi dan ini terdapat 35,4 juta ha kawasan hutan produksi yang tidak
perhitungan pertumbuhan dan hasil (growth and yield) tanaman dikelola (open access) yang rawan illegal logging, perambahan
dalam jalur bersih serta tegakan tinggal pada jalur antara harus dan deforestasi. Pemerintah Daerah (Pemda) lebih tertarik
dilakukan menggunakan semua potensi dan data yang telah kita memberi izin usaha di bidang perkebunan atau pertambangan
miliki. yang memberikan pendapatan asli daerah (PAD) lebih tinggi.
Kelebihan sistem TPTII dibanding sistem TPTJ terletak pada Hutan cenderung terdegradasi dan kawasan hutan cenderung
kerapatan tanaman. Dengan menerapkan jarak tanam 2,5 dikonversi (deforestasi) baik yang dilakukan secara legal
meter pada jalur tanam sistem TPTII, maka akan diperoleh maupun illegal. Kondisi semacam ini tidak boleh dibiarkan
kerapatan tanaman sebesar 200 batang per ha, dibanding berlarut-larut namun harus segera dicarikan solusinya. Salah
sistem TPTJ yang hanya 100 batang per ha. Kerapatan yang satu upaya untuk mengatasi masalah ini adalah memperbaiki
tinggi ini juga lebih efisien, karena jalur tanam yang telah dibuat dan menerapkan sistem silvikultur yang mampu meningkatkan
dapat dimanfaatkan secara optimal. produktifitas hutan sekaligus dapat menjaga kualitas lingkungan
serta memberi manfaat bagi kehidupan masyarakat.
Sistem silvikultur untuk pengelolaan hutan alam produksi di
D. Permasalahan Indonesia sering mengalami perubahan meskipun
pelaksanaannya belum mencapai satu siklus tebang. Banyak
Permasalahan yang dihadapi sektor kehutanan, setidaknya yang meragukan efisiensi dan efektifitas pelaksanaan sistem
pada dua dasawarsa terakhir, adalah tingginya laju deforestasi TPTI terutama dari segi produktifitas, namun sistem ini masih
dan degradasi hutan serta rendahnya produktifitas hutan alam dipertahankan karena dipercaya mempunyai dampak
produksi di Indonesia. Laju deforestasi sebesar 1,8 juta ha/th lingkungan yang paling kecil, sambil menunggu munculnya
sistem silvikultur alternatif yang dapat memperbaiki kekurangan
pada sistem silvikultur sebelumnya dengan target utama Fungsi Hutan
tercapainya kelestarian hutan dengan indikator kelestarian (UU No.41/1999)
produksi, ekologi dan sosial serta peningkatan produktifitasnya. Unit
Apakah sistem TPTII mampu menjawab tantangan ini? Hutan Hutan Hutan Manajemen
Konservasi Lindung Produksi
Beberapa pertanyaan mendasarkan yang perlu diungkapkan
sehubungan dengan penerapan sistem TPTII dalam skala luas Degradasi hutan Hutan terfragmentasi Deforestasi
di hutan alam produksi adalah:
1. Berapa tingkat pertumbuhan dan hasil tanaman (terutama Hutan Hutan Hutan potensi Semak dan Padang ilalang Lahan
primer sekunder rendah belukar (Imperata cylindrica) kritis
meranti) pada jalur tanam sistem TPTII? Berapa
produktifitasnya? Berapa lama daurnya?
Mosaik lanskap
2. Berapa tingkat pertumbuhan dan hasil tegakan tinggal pada
jalur antara sistem TPTII? Berapa produktifitasnya? Berapa Multisistem silvikultur
lama siklus tebang yang lestari?
3. Bagaimana struktur, komposisi, keanekaragaman dan Uneven aged All-aged Polycyclic Monocyclic Even aged
kekayaan jenis tegakan tinggal dalam jalur antara? Berapa forest forest System System forest

besar tingkat kerusakan tegakan tinggal akibat pembuatan


Tebang pilih Tebang habis
jalur tanam?
4. Apakah sistem TPTII layak secara ekonomi diterapkan pada
hutan alam produksi? Tebang Tebang Tebang habis Tebang habis
Kelompok Individu permudaan permudaan buatan
alam (THPB)
(THPA)
E. State of the Art Melingkar Jalur
TPTII dan TPI TPTI
TPTJ
Rumpang TPTJ
Menurut Mitlöhner (2009) dan Suhendang (2008) paradigma Tanaman dan
Perawatan,
Pembebasan,
Siklus
Penghutanan
kembali
baru pengelolan hutan saat ini adalah pendekatan pada bentuk tegakan tinggal
Penjarangan
berikutnya

hutan alam (close to the natural forest). Coates dan Philip


(1997) menambahkan bahwa penebangan hutan dalam bentuk
Pemodelan
celah (gap) lebih sesuai dengan kondisi hutan alam karena
menyerupai fenomena pohon atau kelompok pohon yang mati
(roboh) dan terjadi regenerasi dalam gap tersebut. Sistem Gambar 3. State of the art permasalahan dan solusinya
silvikultur yang sesuai dengan maksud tersebut adalah
polycyclic system melalui sistem tebang pilih (selective cutting) Kawasan hutan di Indonesia saat ini telah terfragmentasi
baik dalam bentuk tebang individu seperti TPI dan TPTI atau menjadi beberapa tipe penutupan lahan, seperti hutan primer,
tebang kelompok dalam bentuk rumpang atau jalur (TPTII atau hutan sekunder, hutan rawang (low potential forest), hutan
TPTJ). Sistem silvikultur TPTII mampu menggabungan antara bekas penebangan liar, hutan bekas kebakaran, semak belukar,
tebang individu dan tebang kelompok serta penerapan prinsip- padang alang-alang dan tanah kosong (Indrawan 2008;
prinsip tebang habis dengan permudaan buatan (THPB) dalam Pasaribu 2008). Lanskap hutan produksi yang berbentuk
satu kesatuan pengelolaan seperti terlihat pada Gambar 3. mosaik (Suhendang 2008) seperti ini sudah tidak
memungkinkan diterapkan sistem silvikultur tunggal (Pasaribu Untuk itu tanaman dikembangkan dalam jalur tanam agar
2008). mendapatkan intensitas sinar yang optimal serta mudah dalam
Konsep pengelolaan hutan yang mendasarkan pada asumsi melakukan kegiatan pemuliaan, perawatan, pembebasan dan
stabilitas jangka panjang sudah tidak efektif lagi dalam pengawasan, sehingga sistem ini dinamakan Tebang Pilih
memenuhi kebutuhan manusia yang selalu meningkat dan Tanam Indonesia Intensif (TPTII).
berawal dari pemikiran ini maka lahirlah konsep multiple patch Faktor tempat tumbuh yang mempengaruhi pertumbuhan
design yang kemudian berkembang menjadi multisistem tanaman dan tegakan tinggal dapat dikelompokkan menjadi dua
silvikultur (multiple silvicultural system). Menurut Indrawan bagian, yaitu faktor edapis dan klimatis. Faktor edapis terdiri
(2008) multisistem silvikultur sudah saatnya diterapkan pada dari sifat fisik, kimia dan biologi tanah serta kelerengan (slope),
hutan produksi agar setiap bagian hutan mendapatkan arah lereng (aspect) dan ketinggian tempat. Sedangkan faktor
perlakuan silvikultur yang sesuai dengan kondisinya. Menurut klimatis terdiri dari suhu, cahaya, curah hujan, kelembaban dan
Wahyudi (2010) dalam satu unit pengelolaan hutan dapat angin. Diantara semua faktor tempat tumbuh tersebut, cahaya
diterapkan beberapa sistem silvikultur seperti TPTI, TPTII (atau adalah faktor yang sensitif dan masih memungkinkan
TPTJ), Tebang Habis Permudaan Buatan (THPB) dan direkayasa dengan biaya yang rasional.
agroforestry. Permudaan hutan terutama jenis dari famili
Kerangka pemikiran (logical framework) penerapan sistem Dipterocarpaceae mengalami staknasi pertumbuhan di lantai
TPTII berawal dari sejarah pengelolaan hutan alam produksi di hutan alam yang sangat rapat (MacKinnon et.al. 2000). Apabila
Indonesia beserta semua input dan output yang bekerja pada terdapat cahaya yang cukup, misalnya ketika terjadi pohon
sistem silvikultur tersebut dengan sasaran akhir berupa besar tumbang, maka permudaan tersebut akan tumbuh dengan
kelayakan sistem yang dicirikan melalui kelestarian produksi, cepat. Jalur tanam yang dibuat memanjang selebar 3 meter
ekologi dan sosial. dapat memberikan intensitas cahaya yang cukup bagi
Pada sistem TPTII terdapat dua areal pengelolaan, yaitu pertumbuhan tanaman meranti dan pembuatannya masih
jalur tanam dan jalur antara dimana keduanya merupakan satu ekonomis untuk dikerjakan.
kesatuan ekosistem. Kondisi tempat tumbuh dalam jalur tanam Untuk mengetahui kehandalam sistem silvikultur TPTII dapat
sangat dipengaruhi keberadaan jalur antara yang memberikan ditempuh melalui prediksi pertumbuhan dan hasil tanaman
intensitas sinar yang optimal, suplai bahan organik dan dalan jalur tanam dan tegakan tinggal dalam jalur antara melalui
perlindungan terhadap tanah dan air di sekitarnya. Mikoriza pemodelan dinamika tegakan. Upaya ini sangat penting
yang berkembang baik dalam jalur antara dapat menular pada dilakukan agar kita dapat mengetahui perkiraan potensi
tanaman dalam jalur tanam. Tegakan antara yang masih terjaga tanaman dimasa datang dan menentukan daur ekonomisnya
dengan baik mampu memberikan segala kelebihannya untuk serta mengetahui struktur dan komposisi tegakan tinggal dimasa
kebaikan jalur antara. Namun perkembangan pohon batas yang datang untuk menentukan siklus tebang yang lestari. Informasi
terlalu cepat dapat menutup celah yang terdapat dalam jalur awal ini juga dapat dipergunakan untuk menentukan kebijakan
antara, untuk itu diperlukan kegiatan pembebasan vertikal. pembinaan hutan, rekayasa lingkungan lanjutan serta
Tanaman dalam jalur tanam dan tegakan tinggal dalam jalur menentukan input-input yang layak diberikan dalam rangka
antara, keduanya mengalami pertumbuhan yang dipengaruhi memperbaiki dan meningkatkan produktifitas hutan produksi.
oleh jenis pohon dan bawaan genetiknya, kondisi lingkungan
baik biotik maupun abiotik serta teknik silvikultur yang diberikan.
Teknik silvikultur intensif yang diberikan pada sistem tebang
pilih difokuskan untuk mengoptimalkan pertumbuhan tanaman.
BAB II biomassa di hutan tropika terletak pada vegetasinya
PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI (MacKinnon et al. 2000). Serasah di lantai hutan yang cepat
terurai akan diserap kembali oleh vegetasi untuk menjalankan
metabolisme, begitu seterusnya sehingga terbentuklah siklus
A. Hutan Alam hara tertutup. Penebangan pohon-pohon dari hutan, seperti
pada kegiatan eksploitasi hutan atau hilangnya sebagian besar
Bumi merupakan salah satu dari delapan planet yang vegetasi akibat penebangan liar, perambahan dan kebakaran
mengorbit pada matahari. Namun dari delapan planet tersebut, hutan dapat membuka siklus hara tertutup dan menurunkan
hanya bumi yang sangat istimewa dan menakjubkan. Planet ini kandungan biomassa dari ekosistem hutan hujan tropis.
dikelilingi oleh atmosfir yang berfungsi sebagai cadangan udara,
pelindung dari sengatan matahari secara langsung serta
menangkis benda-benda dari luar angkasa yang memasuki
bumi. Bumi juga dilengkapi lapisan tanah dan air yang sangat
baik untuk menopang semua kehidupan di bumi, termasuk
pertumbuhan vegetasi. Ekosistem bumi terbentuk dengan
sangat beragam, komplek dan sempurna. Menurut penelitian,
kehidupan dibumi terbentuk sejak jaman pre cambrian-azoikum
sekitar 3,2 milyar tahun yang lalu.
Salah satu komponen penting dalam menjaga kestabilan
ekosistem di bumi adalah hutan. Hutan merupakan hamparan
vegetasi raksasa yang berperan sebagai paru-paru
(Soemarwoto 1991) karena mengeluarkan Oksigen (O2),
menyerap Karbondioksida (CO2) sekaligus menimbun karbon
(C) dalam bentuk bahan organik (Carbon pool). Penelitian
terkini juga menyebutkan bahwa hutan dapat berperan sebagai Gambar 4. Hutan hujan tropis di Kalimantan. Hutan primer
jantung bumi yang dapat memompa udara yang mengandung (kiri) dan hutan sekunder (kanan)
uap air dari lautan ke daratan.
Hutan hujan tropis mempunyai aktifitas dan kemampuan Lanskap hutan hujan tropis biasanya didominasi oleh matrik
metabolisme yang jauh lebih besar dibanding hutan di daerah hutan diselingi alur memanjang berupa sungai (environment
sub tropis, temperate dan boreal karena memperoleh sinar resources corridors) yang bercabang-cabang membentuk anak-
matahari penuh sepanjang tahun. Namun demikian, dengan anak sungai. Jaringan sungai dan anak sungai serta jaringan
tingginya suhu dan curah hujan di daerah tropis menyebabkan jalan yang dibuat manusia (disturbance corridors) membentuk
proses pelapukan (weathering), perombakan (decomposition), line corridors dengan berbagai ragam fungsi di dalamnya
aliran permukaan, pencucian hara dan erosi juga semakin (Forman & Gordon 1986). Pada stream corridor biasanya
tinggi. ditemukan vegetasi tertentu yang relatif berbeda dengan jenis
Fenomena inilah menyebabkan tanah di hutan tropika sangat vegetasi di sebelahnya. Pada pohon tumbang atau areal
peka terhadap perubahan. Tanah marginal ini hanya eksploitasi terbentuk disturbance patches yang rawan erosi
menampung sedikit biomassa dibanding dengan lapisan tanah namun cepat mengalami pemulihan (Farima 1998). Hutan
di hutan temperate dan sekitarnya. Sebagian besar (sekitar ¾) hujan tropis memiliki strata yang berlapis. Para ahli pada
umumnya membagi lima strata hutan tropis (Soerianegara & Disamping mempunyai lima lapisan vegetasi, lantai hutan
Indrawan 2005) yaitu: tropis masih mempunyai lapisan serasah, humus dan top soil
1. Strata A merupakan lapisan paling atas sehingga tajuk yang kaya bahan organik. Struktur hutan tropis seperti ini telah
pohon mendapatkan cahaya matahari secara penuh baik menciptakan ekosistem yang komplek dan exclusive dengan
dari atas atau samping. Strata ini didominasi pohon-pohon iklim mikro dan sistem siklus hara tetutup didalamnya. Masing-
besar seperti kempas (Koompassia exelca, K.malaccensis), masing pohon telah membentuk jaring pengaman unsur hara
meranti (Shorea pinanga, S.parvifolia, S.smithiana, S.spp), (nutrients safety net) untuk meningkatkan efisiensi penangkapan
keruing (Dipterocarpus louwii, D.spp), kapur (Dryobalanops zat hara yang telah menjadi bentuk tersedia (Kozlowski &
aromatica, D.spp), Ulin (Eusideroxylon zwagery) dan lain- Pallardy 1997; Oliver & Larson 1990). Hijau dan lebatnya hutan
lain. hujan tropis seakan-akan mencerminkan kesuburan tanah di
2. Strata B merupakan lapisan ke dua dimana tajuk pohon sana, namun sebenarnya hanya ilustrasi yang semu
hanya mendapatkan sinar matahari dari atas. Pohon-pohon (MacKinnon et al. 2000).
pengisi lapisan ini antara lain terentang (Campnospermum Berbeda dengan daerah terbuka, curah hujan yang turun di
spp), perupuk (Lophopetalum spp), bintangur (Calophyllum hutan akan mengalami beberapa proses, yaitu:
inophyllum), keranji (Diallium sp) dan lain-lain. 1. Intersepsi (interception), yaitu bagian dari air hujan yang
3. Strata C merupakan lapisan ke tiga dimana tajuk pohon menguap kembali, baik pada saat hujan maupun setelah
hanya mendapatkan sinar matahari dari celah-celah tajuk hujan, sebelum mencapai permukaan tanah. Air ini
pohon yang lain. Pohon-pohon pengisi lapisan ini antara biasanya terdapat di tajuk pohon, dahan dan ranting.
lain jambuan (Syzigium sp), sintuk (Cinnanomum sp) dan 2. Tranpirasi (transpiration) yaitu air yang menguap melalui
lain-lain. Adakalanya jenis pohon pengisi lapisan A dan B permukaan tubuh tumbuhan setelah melalui proses
masih berada pada lapisan C dalam proses metabolisme. Transpirasi paling banyak terjadi pada daun
pertumbuhannya. Beberapa diantaranya berhasil lolos yang kontak langsung dengan sinar matahari, sebagai
memasuki strata B atau A, terutama ketika terjadi suksesi respon untuk mempertahankan diri dari panas dan
(ketika pohon tua telah tumbang). Banyak diantara pohon- kekeringan (dehidration).
pohon tersebut gagal memasuki lapisan di atasnya karena 3. Evaporasi (evaporation), yaitu air yang menguap kembali
belum mendapatkan ruang tumbuh. Kondisi hutan tropis dari danau, waduk, sungai atau genangan air tanah.
yang sangat rapat dan lebat menimbulkan efek persaingan 4. Stem flow, yaitu bagian dari air hujan yang mengalir melalui
tempat tumbuh yang tinggi. daun, ranting dan cabang pohon kemudian mengalir ke
4. Strata D merupakan lapisan ke empat dimana vegetasi bawah melalui batang pohon. Aliran batang ini berjalan
hanya mendapatkan sinar matahari dari pantulan tajuk perlahan sampai ke permukaan tanah.
pohon lain. Pengisi lapisan ini biasanya tingkat pancang 5. Through fall, yaitu bagian air hujan yang turun ke bawah
dan tiang dari berbagai jenis termasuk famili dari melalui celah-celah tajuk atau daun pohon. Air hujan akan
Dipterocarpaceae. Adakala permudaan Dipterocarpaceae tertahan pada tumbuhan bawah dan serasah sebelum
mengalami dormansi karena tidak mendapatkan ruang sampai ke tanah sehingga tidak sampai merusak struktur
tumbuh, terutama sinar matahari, yang optimal untuk tanah.
perkembangannya. Perakaran pohon di hutan tropis telah mengisi sebagian
5. Strata E merupakan lapisan ke lima yang didominasi besar lapisan top soil. Perakaran ini telah menciptakan rongga
tumbuhan bawah, herba, perdu serta semai dari berbagai tanah sehingga terbentuk pori-pori pada permukaan tanah yang
jenis. berguna untuk aerasi udara dan proses infiltrasi. Lapisan top
soil yang berisi perakaran tumbuhan juga menciptakan Apabila hutan hujan tropis sebagai habitat flora dan fauna
ekosistem tersendiri. Berbagai jenis mikroorganisme, cacing, tersebut telah rusak maka sebagaian besar flora dan fauna
serangga, rhizobium, mikorisa dan lain-lain hidup dan tersebut juga musnah, khususnya yang endemik.
berkembang biak di sana. Hutan hujan tropis merupakan hamparan pertumbuhan
Air hujan yang turun di hutan hujan tropis sebagian besar pohon-pohon yang sangat lebat dan luas dan berinteraksi
berubah menjadi aliran batang (stem flow) pada berbagai strata dengan lingkungannya membentuk ekosistem yang komplek.
yang ada, sehingga ketika menyentuh lantai hutan tidak Pohon dan vegetasi lainnya sebagai bagian dari komponen
menimbulkan efek merusak pada tanah. Air hujan yang berada hutan merupakan tumbuhan hijau yang dapat melakukan proses
di lantai hutan akan meresap ke dalam lapisan bahan organik, fotosintesa yang menyerap karbondioksida (CO2) sehingga
serasah dan humus, kemudian, sebagian besar mengalami dapat mengurangi konsentrasi gas rumah kaca di udara sebagai
infiltrasi atau masuk ke dalam top soil tanah (mengisi kapasitas penyebab efek pemanasan global. Proses fotosintesa dapat
infiltrasi tanah). Apabila tanah telah mencapai titik jenuh, dituliskan melalui persamaan reaksi sebagai berikut:
sebagian air akan berubah menjadi aliran permukaan yang
sinar matahari
relatif jernih. Dengan demikian hutan sangat berperan dalam CO2 + H2O + (C6H10O5)n + O2
kloropil
proses hidroorologi karena dapat meminimalkan pencucian zat
hara, erosi, banjir dan longsor sehingga dapat menjaga Dari persaman tersebut terlihat bahwa proses fotosintesa
ketersediaan air dan kesuburan tanah. menyerap CO2 dan air (H2O) dengan bantuan sinar matahari
Hutan hujan tropis menyimpan keanekaragaman hayati yang dalam media yang mengandung zat hijau daun (chlorophyl)
sangat tinggi. Menurut Whitmore (1975), dalam hutan hujan kemudian menghasilkan karbohidrat sebagai sumber energi dan
tropis Asia Tenggara tersimpan 25-30 ribu jenis flora. Menurut cadangan karbon yang disimpan dalam tubuh tanaman dan
MacKinnon et al. (2000), dalam hutan hujan tropis di Kalimantan oksigen (O2) yang dihasilkan dari proses fotofosforilasi dari air.
terdapat 10.000-15.000 spesies berbunga, lebih dari 3.000 jenis Menurut UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan
pohon berkayu termasuk 267 spesies Dipterocarpaceae. Pulau dibagi menjadi tiga berdasarkan fungsinya, yaitu hutan
ini sekaya benua Afrika meskipun luasnya 40 kali lebih kecil. konservasi, hutan lindung dan hutan produksi. Hutan produksi
Hutan tropis di Kalimantan mempunyai 34% jenis endemik. adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok
Menurut Ashton (1982) dalam McKinnon et al. (2000), 58% dari memproduksi hasil hutan. Hutan lindung adalah kawasan hutan
seluruh jenis Dipterocarpaceae di Kalimantan adalah endemik. yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem
Pulau ini juga mempunyai 2.000 jenis anggrek, 1.000 jenis pakis penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah
dan merupakan pusat jenis kantong semar (Nepenthes). Suku banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan
endemik Kalimantan yang terkenal adalah Scyphostegiaceae memelihara kesuburan tanah. Hutan konservasi adalah
(Ashton 1989 dalam MacKinnon et al. 2000). kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai
Hutan hujan tropis di Kalimantan, Sumatera, Jawa dan fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan
Sulawesi masing-masing menyimpan 222, 196, 183 dan 127 satwa serta ekosistemnya.
jenis mamalia. Dari jumlah tersebut, Kalimantan mempunyai 44 Luas hutan di Indonesia sebelum tahun 80-an sebesar 164
jenis endemik dan Sumatera hanya 23 jenis endemik (Payne juta ha atau 87,280% dari luas daratan Indonesia (Suratmo et
1985 dalam MacKinnon et al. 2000). Hutan tropis Kalimantan al. 2003). Menurut Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) luas
juga mempunyai 13 jenis primata, 10 jenis celurut, 420 jenis kawasan hutan Indonesia tahun 1981 sebesar 144 juta ha
burung tetap (37 jenis endemik), 166 jenis ular, 100 jenis amfibi, (Hani’in 1999), namun luasan ini mengalami penurunan menjadi
394 jenis ikan air tawar (149 jenis endemik) dan lain-lain. 126,8 juta ha pada tahun 2005 (Balitbanghut 2008) dengan
komposisi hutan konservasi 23,2 juta ha, hutan lindung 32,4 juta faktor tanah banyak dipengaruhi oleh sifat kimia, fisika dan
ha, hutan produksi terbatas 21,6 juta ha, hutan produksi tetap biologi tanah serta ketinggian, kelerengan dan arah lereng.
35,6 juta ha dan hutan produksi konversi 14,0 juta ha. Dalam Hampir semua faktor lingkungan sangat sulit dirubah atau
kawasan hutan tersebut, luas areal yang berhutan hanya memerlukan biaya yang sangat tinggi untuk merubahnya.
sebesar 64%, luas areal non hutan 29% dan lain-lain (data Rekayasa lingkungan yang masih memungkinkan dilakukan
tidak lengkap) 6%. Laju kerusakan hutan sebesar 1,8 juta ha adalah pengaturan ruang tumbuh dan intensitas cahaya,
per tahun (1985-1997) dan meningkat menjadi 2,84 juta ha per mengurangi hembusan angin atau meningkatkan keasaman
tahun pada tahun 1997-2000 (Balitbanghut 2008). Pada saat ini tanah.
hutan produksi telah banyak terfragmentasi (Indrawan 2008) Faktor bawaan atau genetik pohon memegang peranan
dan membentuk mosaik lanskap berupa hutan primer, hutan cukup penting dalam mengontrol pertumbuhan pohon.
sekunder, semak belukar dan tanah kosong (Pasaribu 2008, Penggunaan bibit unggul hasil pemuliaan tanaman diperkirakan
Suhendang 2008). dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil hingga 2-4 kali
(Danida & Dephut 2001). Karakteristik genetik dalam suatu
spesies berhubungan erat dengan perilaku sel, arsitektur pohon
B. Pertumbuhan Hutan dan akar, hormon, zat pengatur tumbuh dan tingkat
pembentukan serat (Kozlowski & Pallardy 1994; Landsberg
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan 1986). Upaya untuk meningkatkan kualitas genetik benih dan
hasil (growth and yield) pohon adalah genetik (Finkeldey 1989; bibit tanaman hutan hingga saat ini masih mengandalkan pada
Hani’in 1999; Kumar & Matthias 2004; Na’iem & Pamuji 2006), tegakan benih dan kebun benih.
lingkungan atau tempat tumbuh (Fisher & Binkley 2000; Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.10/Menhut-
Kozlowski & Pallardy 1997; Soekotjo 1995) dan teknik silvikultur II/2007 tanggal 13 Maret 2007, tegakan benih teridentifikasi
(Coates & Philip 1997; Halle et al. 1978; Pasaribu 2008; adalah sumber benih dengan kualitas rata-rata yang digunakan
Santoso et al. 2008). untuk menghasilkan benih dan lokasinya dapat diidentifikasikan
Sistem silvikultur biasanya mengandung beberapa teknik dengan tepat. Sedangkan tegakan benih terseleksi adalah
silvikultur serta serangkaian perlakuan yang harus diberikan sumber benih dengan pohon fenotipa bagus yang mempunyai
pada tanaman atau tegakan. Para praktisi dapat sifat penting antara lain batang lurus, tidak cacat dan
mengembangkan dan merekayasa teknik silvikultur sesuai percabangan ringan.
sistem yang masih diperkenankan. Pengendalian hama dan Tegakan benih (seed stand) adalah areal tegakan yang
penyakit tanaman merupakan bagian yang tidak dapat dipilih untuk menghasilkan benih dan bibit berkualitas tinggi
dipisahkan dari teknik silvikultur. Belakangan berkembangan melalui pohon-pohon induk yang terdapat di dalamnya.
teknik pengendalian hama terpadu (Integrated Pest Penunjukkan tegakan benih juga didasarkan pada kemampuan
Management) yang menekankan pada teknik pengendalian berbuah pohon induk untuk dapat menyuplai benih dan bibit
hama yang ramah lingkungan menggunakan predator, parasit bagi keperluan persemaian dan penanaman. Tegakan benih
hama dan meningkatkan kualitas (kesehatan) pohon dalam IUPHHK dikenal dengan nama Areal Sumber Daya
(biocontrol). Genetik (ASDG), diwajibkan dibuat seluas 100 ha dalam setiap
Faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan 5 blok kerja tahunan (dulu bernama blok RKL) sehingga secara
dan hasil pohon adalah iklim dan tanah. Faktor iklim banyak keseluruhan, setiap IUPHHK wajib mempunyai 700 ha ASDG
ditentukan oleh curah hujan, intensitas cahaya, suhu, (PT GM 2008a).
kelembaban, kecepatan angin dan letak geografis. Sedangkan
Tegakan benih yang telah dikelola dengan baik serta rata (mean annual increment=MAI). CAI menunjukkan
mempunyai sekat isolasi yang memisahkan dengan tegakan lain pertumbuhan tanaman setiap tahun, sedangkan MAI
dapat menjadi kebun benih. Dengan program pemuliaan pohon menunjukkan pertumbuhan rata-rata dalam waktu tertentu, yang
seperti ini diharapkan kualitas tegakan hutan akan semakin dihitung berdasarkan data terakhir dibagi dengan umur.
meningkat melalui kegiatan penanaman dan pengayaan Akumulasi pertumbuhan, CAI dan MAI digambarkan dalam
menggunakan bibit unggul yang dilakukan setiap tahun. bentuk grafik untuk menentukan daur tanaman. Daur tanaman
Pemilihan pohon induk dalam tegakan benih menggunakan sebaiknya ditentukan pada saat kurva MAI bertemu dengan
kriteria antara lain sebagai pohon peninggi, mempunyai CAI, setidaknya pada tahap ke-2. Pada tahap ke-3 tanaman
diameter paling besar diantara yang lain, bebas cabang yang sudah tidak memberi pertambahan pertumbuhan
tinggi, bentuk batang lurus dan silindris, bentuk tajuk silindris
dan seimbang, riap tinggi dan bebas dari hama dan penyakit
(Hani’in 1999; Soekotjo 2009). C. Orang Hutan
Menurut Soekotjo (1995) variabel yang mempengaruhi riap
tanaman adalah jenis, sumber benih, jenis yang dimuliakan, Sejarah pengelolaan hutan di Indonesia barang diwarnai
manipulasi atribut lingkungan, teknik silvikultur yang dipakai oleh berbagai kisah suka maupun duka. Banyak kisah dan
serta kelas diameter. Pemilihan jenis yang tepat untuk tujuan kejadian menarik yang terjadi, baik kisah keberhasilan maupun
budidaya sangat berpengaruh terhadap nilai yang dihasilkan. kegagalan, menyenangkan maupun menyedihkan,
Jenis unggul hasil pemuliaan pohon mempunyai riap yang lebih membanggakan maupun memalukan. Salah satu kisah tersebut
besar (inherent growth rate). Pada kelas diameter yang dituturkan oleh Orang hutan berikut ini.
berbeda, meskipun pada pohon yang sama, dapat mempunyai Orang hutan adalah seorang mahasiswa yang belajar di
riap yang berbeda (reit of growth). Pada lokasi yang berbeda, fakultas kehutanan pada salah satu perguruan tinggi negeri
meskipun jenisnya sama, dapat mempunyai riap yang berbeda pada akhir tahun 80-an. Sebagai calon rimbawan di era
pula. Sebagai contoh, penelitian pertumbuhan meranti di hutan “kejayaan kehutanan“, Orang hutan turut bangga dan sangat
Semengoh (Serawak) menunjukkan bahwa Shorea stenoptera optimis memandang masa depannya. Disamping telah
mempunyai riap 79% lebih besar dibanding Shorea pinanga mendapatkan berbagai ilmu pengetahuan tentang hutan dan
pada kondisi lingkungan yang sama. Dan penanaman Shorea kehutanan, Orang hutan juga membekali dirinya dengan
macrophylla di Kalbar menunjukkan riap yang lebih besar berbagai kegiatan intra dan ekstra kurikuler dikampus maupun
dibandingkan penanaman di Kalsel. di luar kampus. Orang hutan pernah menjabat Ketua Himpunan
Dengan demikian, menurut Soekotjo (1995) informasi Mahasiswa Islam, pemimpin dewan redaksi buletin kampus,
tentang riap harus dilengkapi dengan data inherent growth dan ketua Badan Perwakilan Mahasiswa dan lain-lain. Orang hutan
reit of growth dan informasi data riap bersifat spesifik untuk juga sangat konsen pada bidang yang sedang dan bakal
setiap tempat tumbuh sehingga tidak dapat digunakan untuk digelutinya yaitu kehutanan dan lingkungan. Namun saat itu,
memprediksi riap tanaman sejenis pada tempat yang berbeda. sebenarnya Orang hutan sangat prihatin menyaksikan kegiatan
Pertumbuhan atau riap (increment) adalah pertambahan pembalakan hutan alam primer yang sedang terjadi secara
tumbuh tanaman, baik pertumbuhan diameter, tinggi, volume, besar-besaran di negerinya hanya dengan jaminan konsep
jumlah daun, berat bersih dan lain-lain dalam satuan waktu kelestarian hasil yang belum pernah dibuktikan kebenarannya.
tertentu. Menurut Bettinger et al. (2009) dan Nyland (1996) Kegelisahan ini hanya mampu dia ditumpahkan melalui media
pertumbuhan pohon dapat digambarkan sebagai riap tahunan lokal serta forum-forum diskusi di sekitar kampusnya. Karena
berjalan (curren annual increment=CAI) dan riap tahunan rata- prestasinya, Orang hutan sempat terpilih sebagai mahasiswa
teladan I dan mendapatkan tunjangan Ikatan Dinas dari telah keluar dari koridor dan tujuan praktek mahasiswa. Hal
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI tahun 1990 dan inilah yang membuat si Orang hutan sangat terpukul dan seperti
1991 yang mengarahkan dirinya untuk mengabdi pada mendapat tantangan berat. Dapat dibayangkan pula, bagaimana
departemen tersebut (menjadi dosen). situasi yang sangat sulit harus dihadapi si Orang hutan pada
Menjelang kelulusannya, Orang hutan diwajibkan mengikuti saat melakukan penelitian, karena pihak perusahaan (IUPHHK-
praktek lapangan/ magang pada IUPHHK. Orang hutan sempat HA) telah diberitahu keberadaan dan maksud si Orang hutan di
mengikuti kegiatan pembekalan mahasiswa yang diadakan lokasi prakteknya. Berkat “kebijaksanaan dan kebaikan”
pihak kampus, Dinas Kehutanan Provinsi dan Asosiasi direktur utama perusahaan, tempat si Orang hutan melakukan
Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) tingkat wilayah, yang kala praktek lapangan, si Orang hutan akhirnya diizinkan mendatangi
itu bagaikan organisasi paling “terpandang dan kaya raya” di areal kerja perusahaan untuk melakukan praktek lapangan
negeri ini. APHI adalah organisasi yang membawahi semua sekaligus melakukan penelitian serta analisis kerusakan vs
IUPHHK (saat itu bernama HPH) di Indonesia. Pada kelestarian hutan di tempat tersebut. Setelah berjalan kurang
pembekalan kali ini Orang hutan pandang sebagai sesuatu yang lebih 4 bulan, si orang hutan akhirnya dapat menyelesaikan
mencerahkan, karena pihak APHI-Wilayah telah memaparkan karya tulisnya tepat waktu tanpa bantuan dana dari pihak
jasa dan peranannya dalam membantu pembangunan wilayah manapun. Dalam melakukan penelitian tersebut, si Orang hutan
secara lebih detail. Informasi ini setidaknya dapat menambah sebagai anak yatim dan tumbuh di kalangan keluarga tidak
wawasan bagi Orang hutan, bahwa para pemegang IUPHHK- berpunya, telah mengeluarkan biaya yang sangat besar,
HA tidak saja “menebang hutan alam primer” dan praktek- padahal sebelumnya pihak APHI akan menanggung semua
praktek yang kurang terpuji sebagaimana yang Orang hutan biaya penelitian tersebut, namun nyatanya hanya isapan jempol
ketahui dari media masa, lembaga swadaya (LSM), seminar dan belaka. Pihak fakultas tempat dia belajar marah dengan
berbagai forum diskusi lainnya, - namun juga memberi tindakan Orang hutan, yang nota bene adalah mahasiswanya.
kontribusi positif yang cukup signifikans bagi masyarakat Mungkin dianggap terlalu berani mengungkap hal-hal yang saat
sekitar, pembangunan wilayah dan nasional. Sebuah itu masih dirasakan sangat tabu untuk dilakukan.
pencerahan baru telah di dapatkan dan Orang hutan dapat Ujian bagi si Orang hutan rupanya tidak berhenti sampai di
menerima semua itu. Dalam sesi dialog interaktif antara Dinas situ. Ikatan Dinas yang orang hutan dapatkan melalui
Kehutanan, APHI Wilayah dengan para mahasiswa, orang perjuangan dan kompetisi yang panjang akhirnya “dicabut”
hutan mengungkapkan dan menceritakan pengalamannya di secara sepihak oleh pihak fakultasnya. Si Orang hutan juga
forum tersebut. telah diumumkan “tidak dapat bekerja” di lingkungan IUPHHK
Orang hutan sama sekali tidak menyangka kalau ungkapan manapun, sebagai sangsi atas “keteledorannya” mengkritik
isi hatinya sebagaimana tersebut di atas dapat memicu kinerja IUPHHK. Di lain pihak, biaya kuliah yang selama ini
kemarahan pihak APHI-Wilayah dan kemudian membuat didapatkan dari bantuan saudara-saudaranya mulai dihentikan
„gusar“ pula dewan dosen di fakultasnya. Akibat komentarnya karena kebutuhan keluarga yang semakin bertambah. Terpetik
tersebut, orang hutan diwajibkan oleh APHI, sebagai pihak yang kabar juga, bahwa si orang hutan tidak akan diluluskan.
akan menerima mahasiswa praktek, untuk melakukan penelitian Sebagai mahasiswa dari kalangan orang kecil dan miskin,
dan menganalisis kegiatan pengelolaan hutan yang dilakukan kondisi ini benar-benar sebuah ujian yang sangat berat.
oleh pihak IUPHHK-HA tertentu serta menulis hasilnya, Akhirnya, dengan perjuangan panjang, doa serta tangis dan
termasuk kemungkinan dampak negatif berupa kerusakan air mata, si Orang hutan berhasil lulus juga. Menurut buku
hutan. Orang hutan menyanggupi permintaan tersebut, namun alumni yang diterbitkan pihak universitas, si Orang hutan
tidak bagi teman-teman si Orang hutan, karena pekerjaan ini mempunyai indek prestasi komulatif (IPK) paling tinggi diantara
lulusan-lulusan yang lain dari 8 fakultas yang ada, namun si pada pihak-pihak yang selalu menyalahkan para rimbawan
Orang hutan malah diharuskan menelan pil pahit yang dalam mengelola hutan di negeri ini. Dalam sebuah seminar
menyakitkan diantara lulusan seangkatannya. kehutanan tahun 2010 di Bogor, si Orang hutan sempat
Tujuh tahun setelah peristiwa itu, terjadi gerakan reformasi menangis ketika sedang berdebat untuk meluruskan presepsi
di Indonesia. Eforia masyarakat terjadi di mana-mana. Kondisi negatip para peserta seminar tentang pengelolaan hutan di
hutan alam yang sudah “memprihatinkan” semakin kelihatan negeri ini....sayup-sayup terdengar rintihannya, ”Saya lelah
jelas kerusakannya. Reformasi mampu membuka tabir yang membela HPH...lelah sekali...Tapi dahulu saya dipukul oleh
selama ini ditutup-tutupi. Kerusakan hutan (forest degradation) orang-orang yang berlagak membela HPH. Kemana orang-
dan pengurangan kawasan hutan (deforestation) mencapai orang yang dahulu memukuli saya? Mengapa mereka diam
angka tertinggi, yaitu 2,84 juta ha/th, yang menempatkan tatkala hutan alam merintih kesakitan seperti saat ini...”.
Indonesia sebagai negara dengan laju kerusakan hutan tercepat Memang, tiada hentinya Orang hutan meluruskan presepsi
di dunia pada tahun 2006. Kebakaran hutan terjadi di mana- negatif masyarakat tentang pengelolaan hutan dan kehutanan di
mana dan menghantarkan Indonesia menjadi negara penghasil negeri ini. Kini, si Orang hutan telah bergelar Doktor bidang
Gas Rumah Kaca terbesar ketiga di dunia setelah Amerika Kehutanan dan masih konsen dengan upaya-upaya kelestarian
Serikat dan China. Produksi kayu bulat dari hutan alam dan peningkatan produktifitas hutan. Orang hutan masih aktif
menurun drastis dari 26,06 juta m3 pada tahun 1992 menjadi dalam berbagai kegiatan kehutanan di dalam dan di luar negeri.
hanya 4,6 juta m3 pada tahun 2008. Bahkan pada tahun 2001 Dalam salah satu acara di tahun 2011, orang hutan sempat
hanya sebesar 1,81 juta m3. melontarkan keprihatinan tentang perilaku aparat yang masih
Sampai sekarang, setelah 20 tahun berlalu, si Orang hutan “belum sadar” bahwa kondisi hutan alam saat ini sudah berada
masih belum mengerti dan masih bertanya-tanya, apa pada posisi lampu merah. Di Papua sudah nyaris mendekati
sebenarnya kesalahannya saat itu dan mengapa Orang hutan lampu kuning, di Kalimantan dan Sulawesi beberapa detik lagi
harus dihukum seberat itu?. Apapun alasannya, ternyata apa akan berganti lampu merah dan di Sumatera lampu merah
yang Orang hutan khawatirkan tentang nasib hutan alam telah sudah menyala sejak beberapa tahun yang lalu. .....sepertinya
menjadi kenyataan... kini hutan alam mengalami kerusakan rimbawan sudah “menyerah” mengelola hutan dalam skala
parah. Seandainya dahulu..... ekonomi di hutan alam produksi. Mereka tergiur dengan kilauan
Syukurlah, sampai saat ini si Orang hutan masih konsen uang di hutan tanaman, kebun kelawa sawit dan tambang emas
menggeluti bidang kehutanan. Orang hutan ingin melihat dan batubara.
pengelolaan hutan alam dilakukan secara lestari, produktif dan Haruskah kita mengucapkan selamat tinggal pada
membawa kesejahteraan bagi masyarakat di sekitarnya, dengan pengelolaan hutan alam produksi yang menguntungkan dalam
kata lain, Orang hutan ingin mewujudkan kawasan hutan alam skala ekonomi? Bukankah pengelolaan hutan alam produksi
produksi yang dikelola dengan baik dan tumbuh serta mempunyai karakteristik yang unik dan tiada duanya di jagat
berdampingan dengan pemukiman, berupa desa atau kota, raya ini? Di situ masih tersimpan dengan apik plasma nutfah
karena pengelolaan hutan alam tidak harus jauh dan terpencil. dunia, puluhan ribu flora dan fauna, keindahan panorama,
Orang hutan ingin kawasan hutan dapat bertahan dan bentang alam na elok, gemercik air jernih, sejuknya udara di
meningkat produktifitasnya tanpa merusak biodiversity serta hutan, mengurangi emisi gas rumah kaca, mengatur tata air,
fungsi dan manfaat hutan lainnya. Si Orang hutan sering mencegah banjir dan erosi serta setumpuk manfaat lainnya
menghadiri seminar, lokakarya, workshop dan lain-lain tingkat yang tidak sempat diuraikan semuanya. Haruskah kita tergiur
nasional dan internasional. Orang hutan selalu mengungkapkan dengan kepentingan jangka pendek yang sempit dan murahan
sisi positif keberadaan IUPHHK-HA dan berusaha menjelaskan
lantas mengorbankan kepentingan jangka panjang yang lebih
luas dan tak terhingga nilainya? BAB III. KONDISI HUTAN INDONESIA
Masih adakah setitik embun yang akan membasahi rimba
raya nusantara dikemudian hari? Ayo rimbawan, bangkitlah.
Selamatkan hutan alam kita, karena manusia harus menunggu
400 tahun untuk dapat menikmati hutan alam seperti yang A. Luas dan Klasifikasi Hutan
masih ada sekarang, atau harus menunggu 700 tahun untuk
mengembalikan lahan gambut yang terbakar. Semoga ilmu dan Hutan adalah lapangan pertumbuhan pohon-pohon yang
pengalaman kalian berguna untuk kebangkitan kehutanan di secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati
Indonesia. beserta lingkungannya serta kawasan yang ditetapkan oleh
pemerintah sebagai hutan. Secara umum hutan dapat
didefinikan sebagai suatu areal di atas permukaan bumi yang
ditumbuhi oleh pohon yang rapat dan luas sehingga pohon
Ditulis dari cerita nyata Orang hutan beserta tumbuhan lain dan binatang yang hidup di areal itu
membentuk persekutuan hidup alam hayati dengan
lingkungannya, yang terdiri dari lingkungan biotik (berupa
tumbuhan lain, binatang dan mikroorganisme) serta lingkungan
abiotik (edafis dan klimatis, seperti tanah, udara dan air).
Secara umum, hutan di Indonesia di fungsikan menjadi 3
bagian yaitu fungsi konservasi alam, fungsi perlindungan dan
fungsi produksi. Fungsi konservasi meliputi pengawetan
keanekaragaman tumbuhan, satwa dan ekosistemnya serta
sistem penyangga kehidupan dan wisata alam. Fungsi
perlindungan meliputi sistem penyangga kehidupan, mengatur
tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah
intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah. Fungsi
produksi meliputi produksi hasil hutan berupa kayu dan non
kayu (rotan, damar, tengkawang, obat-obatan dan lain-lain).
Secara bersama-sama, hutan merupakan stok karbon (carbon
pool) sehingga keberadaannya bukan sebagai gas rumah kaca
di atmosfir.
Sebelum tahun 70-an luas hutan di Indonesia diperkirakan
mencapai 164 juta ha atau 86,32% dari luas daratan (Suratmo,
2003). Pada tahun 1981, berdasarkan data Tata Guna Hutan
Kesepakatan (TGHK), luas hutan menurun menjadi 144 juta ha.
Dari luasan tersebut, kawasan hutan dibagi menjadi lima
wilayah pengelolaan berdasarkan fungsinya, yaitu hutan
lindung, taman nasional dan konservasi alam, hutan produksi
tetap, hutan produksi terbatas dan hutan konversi dengan
alokasi luasan sebagai berikut:
1. Hutan lindung 30 juta ha (21%)
2. Hutan taman nasional dan konservasi alam 19 juta ha
(13%)
3. Hutan produksi tetap 34 juta ha (23%)
4. Hutan produksi terbatas 31 juta ha (22%)
5. Hutan konversi 30 juta ha (21%)
Pada tahun 2000, Badan Planologi Kehutanan
mengeluarkan data luas hutan di Indonesia sebesar 120,33 juta
ha terdiri dari:
1. Hutan konservasi : 20,50 juta ha
2. Hutan lindung : 33,51 juta ha
3. Hutan produksi terbatas : 23,05 juta ha
4. Hutan produksi tetap : 35,19 juta ha
5. Hutan produksi konversi : 8,08 juta ha. = Areal yang berhutan di Indonesia
Berdasarkan hasil padu serasi antara data Tata Guna Hutan
Kesepakatan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Gambar 5. Sebaran kawasan hutan alam di Indonesia
(RTRWP), luas hutan di Indonesia sebesar 120.353.104 ha.
terdiri dari Berdasarkan Undang-undang Nomor 5 tahun 1967 tentang
1. Kawasan hutan tetap : 112.275.048 ha Ketentuan Pokok Kehutanan (telah direvisi dengan Undang-
2. Hutan produksi untuk konversi : 8.078.058 ha Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan),
Menurut Balitbanghut (2008), luas kawasan hutan di berdasarkan fungsinya hutan di Indonesia dibagi menjadi empat
Indonesia diperkirakan 120,35 juta ha yang terdiri dari: bagian, yaitu:
1. Hutan produksi : 58,25 juta ha 1. Hutan Lindung, yaitu kawasan hutan yang karena
2. Hutan konversi : 8,08 juta ha keadaan sifat alamnya diperuntukkan guna mengatur tata
3. Hutan lindung : 33,52 juta ha air, mencegah bencana banjir dan erosi serta
4. Hutan konservasi : 20,50 juta ha pemeliharaan kesuburan tanah.
Berdasarkan hasil penataan hutan tahun 2010 tercatat luas 2. Hutan Produksi, yaitu kawasan hutan yang diperuntukkan
kawasan hutan sebesar 136.559.885 juta ha yang terdiri dari: untuk produksi hasil hutan guna memenuhi keperluan
1. Hutan produksi tetap : 37.175.870 ha masyarakat pada umumnya dan khususnya untuk
2. Hutan produksi terbatas : 22.059.660 ha pembangunan, industri dan ekspor.
3. Hutan produksi untuk konversi : 22.574.959 ha 3. Hutan Suaka Alam, yaitu kawasan hutan yang karena
Sisanya berupa kawasan hutan lindung dan kawasan hutan sifatnya khas diperuntukkan secara khusus untuk
konservasi. Dari luas kawasan hutan produksi sebesar perlindungan alam hayati dan atau manfaat-manfaat
81.810.489 ha, yang telah dimanfaatkan dalam bentuk IUPHHK lainnya, terdiri dari:
seluas 34.841.901 ha atau 42,56% dan telah dipinjam pakaikan a. Cagar Alam, yaitu hutan suaka alam yang
untuk sektor lain seluas 25.305 ha (Ditjen BUK 2010). berhubungan dengan keadaan alamnya yang
khas termasuk alam hewani dan alam nabati,
perlu dilindungi guna keperluan ilmu 2. Hutan Lindung, yaitu kawasan hutan yang mempunyai
pengetahuan dan kebudayaan. fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga
b. Suaka Margasatwa, yaitu hutan suaka alam yang kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir,
ditetapkan sebagai suatu tempat hidup mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan
margasatwa yang mempunyai nilai khas bagi memelihara kesuburan tanah.
ilmu pengetahuan dan kebudayaan serta 3. Hutan Produksi, yaitu kawasan hutan yang mempunyai
merupakan kekayaan dan kebanggaan nasional. fungsi pokok memproduksi hasil hutan.
4. Hutan Wisata, yaitu kawasan hutan yang diperuntukkan Dalam implementasinya sampai tahun 2007 kawasan
secara khusus untuk dibina dan dipelihara guna hutan konservasi di Indonesia dibagi menjadi 6 kelompok, yaitu:
kepentingan pariwisata dan atau wisata buru, meliputi: a. 249 unit cagar alam (strict nature reserves) seluas 4,9 juta
a. Taman Wisata, yaitu hutan wisata yang memiliki ha di daratan dan perairan, digunakan untuk konservasi
keindahan alam, baik keindahan nabati, keindahan flora, fauna dan ekosistem serta penyangga kehidupan
hewani maupun keindahan alamnya sendiri (organism life buffer), penelitian dan lain-lain.
mempunyai corak khas untuk dimanfaatkan bagi b. 77 unit suaka marga satwa (wildlife sanctuaries) seluas
kepentingan rekreasi dan kebudayaan. 5,3 juta ha di daratan dan perairan, digunakan (terutama)
b. Taman Buru, yaitu hutan wisata yang di dalamnya untuk konservasi satwa liar (wildlife) yang spesifik.
terdapat satwa buru yang memungkinkan
diselenggarakannya perburuan yang teratur bagi
kepentingan rekreasi.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999
tentang Kehutanan, berdasarkan fungsinya, hutan di Indonesia
dibagi menjadi tiga, yaitu:
1. Hutan Konservasi, yaitu kawasan hutan dengan ciri khas
tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan
keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta
ekosistemnya, terdiri dari:
a. Hutan Suaka Alam, yaitu hutan dengan ciri khas
tertentu yang mempunyai fungsi pokok sebagai
kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan
dan satwa serta ekosistemnya, yang juga berfungsi
sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan.
b. Hutan Pelestarian Alam, yaitu hutan dengan ciri
khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok Gambar 6. Taman nasional Gunung Gede Pangrango di Jawa
perlindungan sistem penyangga kehidupan, Barat
pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan
satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber c. 50 unit taman nasional (national parks) seluas 16,4 juta ha
daya alam hayati dan ekosistemnya. di daratan dan perairan, digunakan untuk perlindungan
c. Taman Buru, yaitu kawasan hutan yang ditetapkan alam yang mempunyai keunikan khusus.
sebagai tempat wisata berburu.
d. 124 unit taman wisata alam (nature recreation parks)
seluas 1,0 juta ha di daratan dan perairan, digunakan
untuk perlindungan dan tempat wisata alam.
e. 21 unit taman hutan raya (grand forest parks) seluas
347,400 ha di daratan, digunakan untuk konservasi alam
dan rekreasi
f. 14 unit taman buru (game reserves) seluas 224,800 ha di
daratan, digunakan untuk tempat perburuan lestari dan
safari.

Berdasarkan tipe serta formasi utama pembentuk ekosistem


hutan, komposisi hutan di Indonesia dibagi menjadi 6, yaitu:
1. Hutan hujan, komposisi 84%, merupakan formasi klimatis
2. Hutan musim, komposisi 1%, merupakan formasi klimatis
3. Hutan gambut, komposisi 91,4%, merupakan formasi edafis
4. Hutan payau, komposisi 1%, merupakan formasi edafis Gambar 7. Hutan daratan campuran di Kalimantan Tengah
5. Hutan rawa, komposisi 11,6%, merupakan formasi edafis
6. Hutan kerangas, merupakan formasi edapis
Berdasarkan zone ketinggian, hutan di Indonesia dapat 2. Hutan sub-montana, montana dan pegunungan
dikelompok dalam tiga katagori, yaitu:
1. Hutan dataran rendah : 0 - 750 m dpl Hutan ini terdapat di daerah Indonesia dengan ketinggian
2. Hutan dataran tinggi : 750 - 1.300 m dpl antara 1.300 m sampai 2.500 m dpl dengan dominasi suku
3. Hutan pegunungan : 1.300 m dpl ke atas. Lauraceae dan Fagaceae.

Berdasarkan habitatnya hutan dikelompokkan menjadi 7 3. Savana/ hutan bambu/ hutan luruh/ hutan musim
tipe, yaitu: pegunungan.

1. Hutan daratan campuran (mixed land forests) Tipe hutan ini menempati areal yang tidak terlalu luas.
Padang rumput savana alami yang terdapat di Papua
Tipe hutan ini terletak di daratan atau tidak tergenang air berasosiasi dengan Eucalyptus spp, di Maluku berasosiasi
dan terkenal dengan hasil hutan kayu yang didominasi denga Melauleca dan di Nusa Tenggara berasosiasi dengan
kelompok daun lebar (hard wood), mekipun terdapat beberapa Eucalyptus alba. Hutan luruh terdapat pada ketinggian sekitar
jenis kelompok daun jarum (soft wood) seperti Agathis 100 m dan memiliki genera yang tidak ada di hutan hujan
bornensis. Penyebarannya meliputi Sumatera, Kalimantan, seperti Acacia, Albizia dan Eucalyptus. Pembukaan lahan dalam
Sulawesi serta pulau-pulau kecil di sekitarnya dengan dominasi jangka panjang telah menghasilkan spesies dominan tunggal
suku Dipterocarpaceae serta Nusa Tenggara, Maluku dan seperti jati (Tectona grandis) di Jawa, Melauleca leucadendron
Papua dengan dominasi jenis Pometia spp., Palaquium spp., di Maluku dan Papua serta Timonius sericeus, Borassus
Instia palembanica dan Octomeles. flabellifer dan Corypha utan di Nusa Tenggara.
4. Hutan gambut (peat forest)
5. Hutan rawa (swamp forest)
Nama gambut (peat) diambil dari tanah gambut sebagai
tapak utama, yang terbentuk dari endapan bahan organik yang Hutan rawa menempati areal yang tergenang, namun tidak
terendam air selama ratusan atau jutaan tahun dalam kondisi mempunyai formasi tapak gambut. Sering ditemukan hutan
tanpa oksigen (anerob). Lokasi lahan gambut sering ditemukan rawa berada pada tapak tanah endapan yang
berada di antara dua daerah aliran sungai dengan bagian yang
dalam berada di tengahnya. Penyebaran hutan gambut
terutama terapat di Sumatra, Kalimantan dan Papua yang
mencakup luasan sekitar 13 juta ha atau 10 % dari luas seluruh
hutan. Pengelolaan lahan gambut menjadi polemik sampai
sekarang karena sifat tanah gambut yang mampu menyimpan
air melebihi volumenya sendiri, sehingga berdampak sangat
besar terhadap ekosistem setempat apabila terjadi kerusakan
pada tanah gambut. Kebakaran gambut akan melepaskan
karbon (C) dalam jumlah yang sangat signifikans ke udara
karena gambut pada pada dasarnya adalah timbunan karbon.
Spesies yang terpenting dalam hutan gambut adalah ramin
(Gonystylus bancanus) di Kalimantan dan Camnospermae
macrophylum di Sumatra. Pada daerah yang sering terbakar
sering muncul jenis galam (Melaleuca leucadendron) sebagai
salah satu jenis pionir di daerah ini.
Gambar 9. Hutan rawa dengan tapak tergenang

berasal dari aliran sungai. Adakala formasi tapak gambut


bercampur dengan non gambut sehingga dinamakan hutan
rawa gambut (peat swamp forest). Luasnya hutan rawa sekitar
5,6 juta ha, sebagian besar berada di pesisir Timur Sumatra,
pesisir Barat Kalimantan dan di beberapa wilayah di Papua. Di
Papua hutan rawa banyak didominasi oleh sagu.

6. Hutan pasang surut

Hutan pasang berada di tepi laut sehingga ada yang


menyebut sebagai hutan pantai (castal forest). Hutan ini
sering disebut sebagai hutan bakau berdasarkan nama jenis
tumbuhan yang dominan dan relatif komersial, yaitu bakau
Gambar 8. Hutan dan lahan gambut di Kalimantan Tengah (Rhizophora apiculata), namun nama yang lebih populer adalah
hutan mangrove. Luas hutan ini sekitar 4,25 juta ha, tersebar di bornensis, Casuarina sumatrana dan Shorea spp. Melihat sifat-
Kalimantan, Sumatera, Papua, kepulauan Aru, Sulawesi bagian sifat tanahnya, kawasan hutan kerangas dimasukkan dalam
Selatan serta Jawa bagian Utara. Species lain yang ditemukan areal perlindungan.
adalah Avicenia sp, Sonneratia sp dan Ceriops sp. Salah satu
areal konsesi hutan mangrove berada di Batu Ampar
Kalimantan Barat yang mengembangkan jenis Rhizopora
apiculata dan Bruguiera gymnorrhiza menggantian species
sebelumnya, nypa.

Gambar 10. Hutan tanaman bakau (Rhizophora apiculata) di


Batu Ampar, Kalimantan Barat

7. Hutan kerangas (heath forest)

Hutan kerangas atau hutan geget atau prenget terbentuk


pada formasi edafis berupa tanah pasir (sand soil) dan hampir
tidak ditemukan fraksi liat sehingga keberadaan bahan organik Gambar 11. Hutan kerangas dengan formasi edapis tanah pasir
dan unsur hara yang dihasilkan dari proses penguraian dan sangat rawan pencucian hara tanah. Hutan
pelapukan sangat cepat tercuci oleh aliran air (surface run kerangas didominasi jenis cemara (atas).
off) sehingga sering ditemukan air sungai di daerah ini Degradasi hutan kerangas menghasilkan lahan
berwarna coklat tua. Beberapa jenis komersial yang ditemukan kritis yang sulit di rehabilitasi (bawah). Lokasi foto:
tumbuh secara alami di hutan kerangas antara lain Agathis Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah
biomassa di hutan tropika terletak pada vegetasinya
(MacKinnon et al. 2000). Serasah di lantai hutan yang cepat
B. Ekosistem Hutan Tropis terurai akan diserap kembali oleh vegetasi untuk menjalankan
metabolisme, begitu seterusnya sehingga terbentuklah siklus
Bumi merupakan salah satu dari delapan planet yang hara tertutup. Penebangan pohon-pohon dari hutan, seperti
mengorbit pada matahari. Namun dari delapan planet tersebut, pada kegiatan eksploitasi hutan atau hilangnya sebagian besar
hanya bumi yang sangat istimewa dan menakjubkan. Planet ini vegetasi akibat penebangan liar, perambahan dan kebakaran
dikelilingi oleh atmosfir yang berfungsi sebagai cadangan udara, hutan dapat membuka siklus hara tertutup dan menurunkan
pelindung dari sengatan matahari secara langsung serta kandungan biomassa dari ekosistem hutan hujan tropis.
menangkis benda-benda dari luar angkasa yang memasuki
bumi. Bumi juga dilengkapi lapisan tanah dan air yang sangat
baik untuk menopang semua kehidupan di bumi, termasuk
pertumbuhan vegetasi. Ekosistem bumi terbentuk dengan
sangat beragam, komplek dan sempurna. Menurut penelitian,
kehidupan dibumi terbentuk sejak jaman pre cambrian-azoikum
sekitar 3,2 milyar tahun yang lalu.
Salah satu komponen penting dalam menjaga kestabilan
ekosistem di bumi adalah hutan. Hutan merupakan hamparan
vegetasi raksasa yang berperan sebagai paru-paru bumi
(Soemarwoto 1991) karena mengeluarkan Oksigen (O2),
menyerap Karbondioksida (CO2) sekaligus menimbun karbon
(C) dalam bentuk bahan organik (Carbon pool). Penelitian
terkini juga menyebutkan bahwa hutan dapat berperan sebagai
jantung bumi yang dapat memompa udara yang mengandung
uap air dari lautan ke daratan, sehingga kekeringan yang terjadi
di suatu daerah dapat disebabkan ketiadaan hutan di daerah
tersebut. Gambar 12. Hutan alam tropis merupakan ekosistem daratan
Hutan hujan tropis mempunyai aktifitas dan kemampuan yang paling komplek.
metabolisme yang jauh lebih besar dibanding hutan di daerah
sub tropis, temperate dan boreal karena memperoleh sinar Lanskap hutan hujan tropis biasanya didominasi oleh matrik
matahari penuh sepanjang tahun. Namun demikian, dengan hutan diselingi alur memanjang berupa sungai (environment
tingginya suhu dan curah hujan di daerah tropis menyebabkan resources corridors) yang bercabang-cabang membentuk anak-
proses pelapukan (weathering), perombakan (decomposition), anak sungai. Jaringan sungai dan anak sungai serta jaringan
aliran permukaan, pencucian hara dan erosi juga semakin jalan yang dibuat manusia (disturbance corridors) membentuk
tinggi. line corridors dengan berbagai ragam fungsi di dalamnya
Fenomena inilah menyebabkan tanah di hutan tropika (Forman & Gordon 1986). Pada stream corridor biasanya
sangat peka terhadap perubahan. Tanah marginal ini hanya ditemukan vegetasi tertentu yang relatif berbeda dengan jenis
menampung sedikit biomassa dibanding dengan lapisan tanah vegetasi di sebelahnya. Pada pohon tumbang atau areal
di hutan temperate dan sekitarnya. Sebagian besar (sekitar ¾) eksploitasi terbentuk disturbance patches yang rawan erosi
namun cepat mengalami pemulihan (Farima 1998). Hutan c. Strata C merupakan lapisan ke tiga dimana tajuk pohon
hujan tropis memiliki strata yang berlapis. Para ahli pada hanya mendapatkan sinar matahari dari celah-celah tajuk
umumnya membagi lima strata hutan tropis (Soerianegara & pohon yang lain. Pohon-pohon pengisi lapisan ini antara
Indrawan 2005) yaitu: lain jambuan (Syzigium sp), sintuk (Cinnanomum sp) dan
a. Strata A merupakan lapisan paling atas sehingga tajuk lain-lain. Adakalanya jenis pohon pengisi lapisan A dan B
pohon mendapatkan cahaya matahari secara penuh baik masih berada pada lapisan C dalam proses
dari atas atau samping. Strata ini didominasi pohon- pertumbuhannya. Beberapa diantaranya berhasil lolos
pohon besar seperti kempas (Koompassia exelca, memasuki strata B atau A, terutama ketika terjadi suksesi
K.malaccensis), meranti (Shorea pinanga, S.parvifolia, (ketika pohon tua telah tumbang). Banyak diantara
S.smithiana, S.spp), keruing (Dipterocarpus louwii, D.spp), pohon-pohon tersebut gagal memasuki lapisan di atasnya
kapur (Dryobalanops aromatica, D.spp), Ulin karena belum mendapatkan ruang tumbuh. Kondisi hutan
(Eusideroxylon zwagery) dan lain-lain. tropis yang sangat rapat dan lebat menimbulkan efek
persaingan tempat tumbuh yang tinggi.
d. Strata D merupakan lapisan ke empat dimana vegetasi
hanya mendapatkan sinar matahari dari pantulan tajuk
pohon lain. Pengisi lapisan ini biasanya tingkat pancang
dan tiang dari berbagai jenis termasuk famili dari
Dipterocarpaceae. Adakala permudaan Dipterocarpaceae
mengalami dormansi karena tidak mendapatkan ruang
tumbuh, terutama sinar matahari, yang optimal untuk
perkembangannya.
e. Strata E merupakan lapisan ke lima yang didominasi
tumbuhan bawah, herba, perdu serta semai dari berbagai
jenis.
Disamping mempunyai lima lapisan vegetasi, lantai hutan
tropis masih mempunyai lapisan serasah, humus dan top soil
yang kaya bahan organik. Struktur hutan tropis seperti ini telah
menciptakan ekosistem yang komplek dan exclusive dengan
iklim mikro dan sistem siklus hara tetutup didalamnya. Masing-
masing pohon telah membentuk jaring pengaman unsur hara
Gambar 13. Pohon meranti, salah satu jenis pohon komersial (nutrients safety net) untuk meningkatkan efisiensi penangkapan
penyusun strata A di hutan alam tropis Indonesia zat hara yang telah menjadi bentuk tersedia (Kozlowski &
Pallardy 1997; Oliver & Larson 1990). Hijau dan lebatnya hutan
b. Strata B merupakan lapisan ke dua dimana tajuk pohon hujan tropis seakan-akan mencerminkan kesuburan tanah di
hanya mendapatkan sinar matahari dari atas. Pohon- sana, namun sebenarnya hanya ilustrasi yang semu
pohon pengisi lapisan ini antara lain terentang (MacKinnon et al. 2000).
(Campnospermum spp), perupuk (Lophopetalum spp), Berbeda dengan daerah terbuka, curah hujan yang turun
bintangur (Calophyllum inophyllum), keranji (Diallium sp) di hutan akan mengalami beberapa proses, yaitu:
dan lain-lain.
a. Intersepsi (interception), yaitu bagian dari air hujan yang proses hidroorologi karena dapat meminimalkan pencucian zat
menguap kembali, baik pada saat hujan maupun setelah hara, erosi, banjir dan longsor sehingga dapat menjaga
hujan, sebelum mencapai permukaan tanah. Air ini ketersediaan air dan kesuburan tanah.
biasanya terdapat di tajuk pohon, dahan dan ranting. Hutan hujan tropis menyimpan keanekaragaman hayati
b. Tranpirasi (transpiration) yaitu air yang menguap melalui yang sangat tinggi. Menurut Whitmore (1975), dalam hutan
permukaan tubuh tumbuhan setelah melalui proses hujan tropis Asia Tenggara tersimpan 25-30 ribu jenis flora.
metabolisme. Transpirasi paling banyak terjadi pada daun Menurut MacKinnon et al. (2000), dalam hutan hujan tropis di
yang kontak langsung dengan sinar matahari, sebagai Kalimantan terdapat 10.000-15.000 spesies berbunga, lebih dari
respon untuk mempertahankan diri dari panas dan 3.000 jenis pohon berkayu termasuk 267 spesies
kekeringan (dehidration). Dipterocarpaceae. Pulau ini sekaya benua Afrika meskipun
c. Evaporasi (evaporation), yaitu air yang menguap kembali luasnya 40 kali lebih kecil. Hutan tropis di Kalimantan
dari danau, waduk, sungai atau genangan air tanah. mempunyai 34% jenis endemik. Menurut Ashton (1982) dalam
d. Stem flow, yaitu bagian dari air hujan yang mengalir McKinnon et al. (2000), 58% dari seluruh jenis
melalui daun, ranting dan cabang pohon kemudian Dipterocarpaceae di Kalimantan adalah endemik. Pulau ini juga
mengalir ke bawah melalui batang pohon. Aliran batang ini mempunyai 2.000 jenis anggrek, 1.000 jenis pakis dan
berjalan perlahan sampai ke permukaan tanah. merupakan pusat jenis kantong semar (Nepenthes). Suku
e. Through fall, yaitu bagian air hujan yang turun ke bawah endemik Kalimantan yang terkenal adalah Scyphostegiaceae
melalui celah-celah tajuk atau daun pohon. Air hujan akan (Ashton 1989 dalam MacKinnon et al. 2000).
tertahan pada tumbuhan bawah dan serasah sebelum Hutan hujan tropis di Kalimantan, Sumatera, Jawa dan
sampai ke tanah sehingga tidak sampai merusak struktur Sulawesi masing-masing menyimpan 222, 196, 183 dan 127
tanah. jenis mamalia. Dari jumlah tersebut, Kalimantan mempunyai 44
Perakaran pohon di hutan tropis telah mengisi sebagian jenis endemik dan Sumatera hanya 23 jenis endemik (Payne
besar lapisan top soil. Perakaran ini telah menciptakan rongga 1985 dalam MacKinnon et al. 2000). Hutan tropis Kalimantan
tanah sehingga terbentuk pori-pori pada permukaan tanah yang juga mempunyai 13 jenis primata, 10 jenis celurut, 420 jenis
berguna untuk aerasi udara dan proses infiltrasi. Lapisan top burung tetap (37 jenis endemik), 166 jenis ular, 100 jenis amfibi,
soil yang berisi perakaran tumbuhan juga menciptakan 394 jenis ikan air tawar (149 jenis endemik) dan lain-lain.
ekosistem tersendiri. Berbagai jenis mikroorganisme, cacing, Apabila hutan hujan tropis sebagai habitat flora dan fauna
serangga, rhizobium, mikorisa dan lain-lain hidup dan tersebut telah rusak maka sebagaian besar flora dan fauna
berkembang biak di sana. tersebut juga musnah, khususnya yang endemik.
Air hujan yang turun di hutan hujan tropis sebagian besar Hutan hujan tropis merupakan hamparan pertumbuhan
berubah menjadi aliran batang (stem flow) pada berbagai strata pohon-pohon yang sangat lebat dan luas dan berinteraksi
yang ada, sehingga ketika menyentuh lantai hutan tidak dengan lingkungannya membentuk ekosistem yang komplek.
menimbulkan efek merusak pada tanah. Air hujan yang berada Pohon dan vegetasi lainnya sebagai bagian dari komponen
di lantai hutan akan meresap ke dalam lapisan bahan organik, hutan merupakan tumbuhan hijau yang dapat melakukan proses
serasah dan humus, kemudian, sebagian besar mengalami fotosintesa yang menyerap karbondioksida (CO2) sehingga
infiltrasi atau masuk ke dalam top soil tanah (mengisi kapasitas dapat mengurangi konsentrasi gas rumah kaca di udara sebagai
infiltrasi tanah). Apabila tanah telah mencapai titik jenuh, penyebab efek pemanasan global.
sebagian air akan berubah menjadi aliran permukaan yang Pengelolaan hutan untuk tujuan produksi hasil hutan harus
relatif jernih. Dengan demikian hutan sangat berperan dalam mengindahkan ekosistem hutan tersebut. Sistem silvikultur
yang diterapkan pada hutan alam hendaknya sesuai dengan ada keseriusan untuk merehabilitasi hutan bekas tebangan
karakteristik dan ekosistem hutan alam yang sangat komplek. (Soekotjo 2009).
Pengelolaan hutan tidak lagi berorientasi pada kelestarian hasil Sebagai perbandingan, pada tahun 1990 jumlah produksi
(sustained yield) namun harus mengedepankan kelestarian kayu bulat nasional sebesar 28 juta m3, namun pada tahun 2007
hutan (sustained forest) dengan memperhatikan ekosistem turun menjadi 9,1 juta m3 (Soekotjo 2009). Data ini
hutan secara keseluruhan. menunjukkan telah terjadi degradasi hutan dan deforestasi (de
facto) di Indonesia pada tingkat yang sangat memprihatinkan.
Sebagian besar kawasan hutan produksi telah mengalami
C. Degradasi Hutan dan Deforestasi kerusakan sehingga tidak mampu menjalankan fungsinya
sebagai penghasil kayu secara lestari. Sebagian kawasan
Degradasi hutan (forest degradation) adalah kerusakan hutan tersebut malah telah berubah menjadi hutan rawang,
ekosistem hutan sehingga hutan tidak mampu menjalankan semak belukar, padang alang-alang dan tanah kosong.
fungsinya dengan baik. Menurut UU No. 41/1999 fungsi hutan Menurut APHI (2010) dan Indrawan (2010) terdapat sekitar 35,4
secara garis besar ada tiga, yaitu fungsi produksi, fungsi juta ha kawasan hutan produksi yang tidak dibebani hak (open
konservasi alam dan fungsi perlindungan. Degradasi hutan acces), sebagian besar karena ditinggalkan oleh perusahaan
produksi adalah kerusakan ekosistem hutan sehingga kawasan karena izin usahanya telah di cabut disebabkan kinerjanya yang
hutan produksi tidak mampu memproduksi hasil hutan secara tidak baik. Areal ini sangat rawan pencurian kayu, perambahan
lestari sesuai sistem silvikultur yang diterapkan. dan kebakaran sehingga semakin merusak vegetasi hutan yang
Deforestasi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu deforestasi berada di atasnya.
secara defacto apabila telah terjadi perubahan ekosistem hutan Laju degradasi hutan dan deforestasi di Indonesia sangat
menjadi ekosistem selain hutan dan deforestasi secara de yure berfluktuasi. Menurut FAO (1991) laju kerusakan hutan di
apabila kawasan hutan telah dikonversi menjadi kepentingan Indonesia sebesar 80.000 ha/ tahun. Pada tahun 1993
lain selain sektor kehutanan dan telah dilakukan pelepasan Departemen Kehutanan mengeluarkan angka kerusakan hutan
kawasan oleh Menteri yang mengurusi masalah kehutanan. Indonesia sebesar 70.000 ha/tahun. Pada tahun 1999, FAO
Deforestasi de facto akan merubah ekosistem dalam kawasan kembali mengeluarkan data laju kerusakan hutan di Indonesia
hutan menjadi lahan pertanian, perkebunan, pertambangan, sebesar 1-1,6 juta ha/ tahun dan pada tahun 2003 Kementerian
pemukiman, lahan kosong dan lain-lain. Deforestasi de yure Lingkungan Hidup mengeluarkan data kerusakan hutan sebesar
banyak terjadi pada kawasan hutan produksi untuk konversi. 2 juta ha/ tahun. Menurut Walhi, pada tahun 2003 laju
Degradasi hutan di Indonesia disebabkan oleh kerusakan hutan di Indonesia mencapai 3,2 juta Ha dan pada
meningkatkannya jumlah penduduk dan kebutuhan hasil hutan tahun 2005 turun menjadi 2,4 juta Ha.
kayu (Singh et al. 1995, Wahyudi 2009b), penebangan liar Departemen Kehutanan menyebutkan bahwa angka
(illegal logging), pertambangan liar (illegal minning), kerusakan hutan di Indonesia bervariasi dari tahun ke tahun.
perladangan berpindah (shifting cultivation), okupasi Pada periode tahun 1985-1997 laju kerusakan hutan di
masyarakat, kebakaran hutan (forest fire) (Indrawan 2008, Indonesia sebesar 1,871 juta ha/ tahun. Pada periode tahun
Wahyudi 2009b), perambahan dan konversi hutan, pengelolaan 1997-2000 laju kerusakan hutan naik menjadi 2,83 juta ha/
hutan yang tidak baik (Wahjono & Anwar 2008), pembalakan tahun dan pada periode tahun 2000-2005 laju kerusakan hutan
yang melebihi batas kemampuan hutan untuk memulihkan diri turun menjadi 1,18 juta ha/ tahun. Menurut Balitbanghut
(penebangan melebihi riap hutan) (Wahyudi 2009a) dan tidak (2008), laju deforestasi di Indonesia sebesar 1,8 juta ha/th
(1985-1997) dan meningkat menjadi 2,84 juta ha/th (1997- antara tahun 2000 hingga 2005, sebuah tingkat kehancuran
2000). hutan sebesar 2% setiap tahunnya atau 51 km2 per hari”.
Besarnya laju kerusakan hutan di Indonesia pada periode Kerusakan tersebut setara dengan 300 kali lapangan
1997-2000 merupakan dampak dari era kebebasan di jaman sepak bola per jam atau seluas monas per 30 menit. Pada
reformasi. Masyarakat setempat pada saat itu turut melakukan tahun 2006, luas kebakaran hutan dan lahan di Indonesia
aktifitas penebangan hutan, lebih-lebih pada kawasan hutan mencapai 8 juta ha dan menempatkan Indonesia sebagai
yang telah dicabut izin konsesinya (open acces). Kerusakan negara penyumbang gas rumah kaca (CO2) terbesar di dunia
hutan di Indonesia mencapai angka terbesar pada saat (3,014 milyar ton) setelah Amerika Serikat (6,005 milyar ton)
reformasi bergulir dan masyarakat masih berada dalam tahap dan China (5,017 milyar ton) (Wetland International, 2006).
eforia kebebasan. Kerusakan hutan banyak terjadi akibat
penjarahan hutan, terutama pada lahan eks HPH yang kurang
terkontrol.

Gambar 15. Hasil hutan kayu bulat berasal dari hutan primer

Di samping beberapa faktor yang dapat menimbulkan


kerusakan hutan seperti tersebut di atas, Wahyudi (2011)
Gambar 14 Semak belukar muncul akibat degradasi hutan mengemukakan bahwa laju degradasi hutan dan deforestasi
yang tinggi di Indonesia tidak terlepas dari sistem dan teknik
Berdasarkan data tahun 2005, Global Forest Resources silvikultur yang digunakan. Sistem silvikultur yang diterapkan
Assessment (GFRA) menominasikan Indonesia sebagai negara untuk mengusahakan hutan alam produksi selama ini tidak
dengan laju kerusakan hutan tercepat di dunia yangn akan mampu mempertahankan kelestaraian hutan dalam jangka
memuat dalam Guinness of Record: “Dari 44 negara yang waktu yang ditentukan. Tegakan tinggal yang dihasilkan
secara kolektif memiliki 90% hutan di dunia, negara yang meraih ternyata mempunyai riap yang amat kecil dan belum mampu
tingkat laju deforestasi tahunan tercepat di dunia adalah menghasilkan potensi yang sama seperti sebelumnya (apalagi
Indonesia, dengan 1.8 juta hektar hutan dihancurkan per tahun meningkat) pada siklus tebang berikutnya. Tegakan tinggal juga
mengalami degradasi genetik karena dalam sistem tebang pilih, Ukur Permanen pada 199 IUPHHK-HA yang dilakukan sejak
hanya pohon-pohon yang berkualitas tinggi yang diambil tahun 1995 diketahui bahwa riap diameter rata-rata jenis kayu
sehingga menyisakan tegakan tinggal yang berkualitas lebih komersial hanya 0,6 cm/tahun (Santoso et al., 2008).
rendah serta banyak pohon cacat, baik cacat alami maupun Menurut Ditjen BPK 2010, sejak pengusahaan hutan alam
cacat akibat efek penebangan sebelumnya. Kenyataan inilah dimulai tahun 70-an sampai tahun 2003 produktifitas hutan alam
yang menyebabkan produksi kayu bulat nasional cenderung di Indonesia hanya sebesar 1,1-1,4 m3/ha/th dan sampai tahun
mengalami penurunan dibanding tahun-tahun sebelumnya. 2007 turun menjadi 0,46 m3/ha/th. Menurut APHI (2010)
Sejak hutan alam mulai diusahakan dalam bentuk konsesi produktifitas hutan alam tahun 2009 hanya 0,25 m3/ha/th
pada awal tahun 70-an sampai pertengahan tahun 90-an bahkan pada tahun 2001 hanya 0,07 m3/ha/th.
menggunakan sistem tebang pilih murni, produksi kayu bulat Ada apa dengan sistem silvikultur kita? Kajian yang
masih berasal dari hutan alam primer (virgin forest) dengan komprehensip terhadap setiap sistem silvikultur yang pernah
kisaran di atas 22 juta m3/tahun, bahkan pada tahun 1992 dan sedang dijalankan menjadi amat penting agar degradasi
sempat mencapai 26,05 juta m3/tahun. Pada pertengahan hutan tidak berlangsung terus, sebaliknya kita berusaha
tahun 90-an produksi kayu bulat nasional mulai mengalami menemukan sistem dan teknik silvikultur yang ideal dan sesuai
penurunan, padahal menurut perhitungan jangka waktu siklus dengan kondisi dan karakteristik hutan sehingga mampu
tebang, 35 tahun, belum ada perusahaan IUPHHK yang telah menciptakan kelestarian hutan dan tetap menjaga eksosistem
menyelesaikan siklus pertamanya atau seharusnya masih hutan sehingga kelestarian hasil hutan dapat tercapai pula.
tersisa hutan primer dengan potensi yang sama dengan Solusi untuk mengurai pengelolaan hutan di Indonesia
sebelumnya dalam areal konsesi. dalam rangka menyongsong Kebangkitan Kehutanan Indonesia
Memasuki tahun 2000 produksi kayu bulat semakin disajikan dalam berbagai tulisan yang dibuat sejak tahun 2012
menurun dan diperkirakan sudah tidak ada lagi perusahaan sampai 2013. Tulisan tersebut dibuat untuk memenuhi
yang beroperasi pada siklus pertama di hutan primer sehingga permintaan Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan,
hampir semua perusahaan telah memasuki siklus ke-2 pada Kementerian Kehutanan Republik Indonesia, dalam rangka
hutan bekas tebangan. Produksi kayu bulat nasional turun meningkatkan produktivitas hutan dan menyongsong
drastis menjadi hanya 3,45 juta m3/tahun pada tahun 2000 dan kebangkitan kehutanan Indonesia. Penulis telah ditetapkan
turun lagi menjadi 1,81 juta m3/tahun pada tahun 2001. Sejak sebagai tim pakar kehutanan berdasarkan Keputusan Direktur
saat itu hingga sekarang produksi kayu bulat nasional tidak Jenderal Bina Usaha Kehutanan No. SK.38/VI-BUHA/2012
pernah lebih dari 10 juta m3/tahun. tanggal 15 Juni 2012.
Data di atas membuktikan bahwa potensi hutan bekas Hutan merupakan sumberdaya alam yang bersifat
tebangan jauh di bawah potensi hutan primer. Padahal prinsip terbarukan (renewable natural resources) sehingga sumberdaya
yang harus dijalankan dalam menetapkan dan menjalankan ini dapat dipulihkan kembali apabila ada kemauan.
sistem silvikultur adalah mampu menciptakan kelestarian hasil, Sumberdaya hutan memang kurang memberikan nilai finansial
dalam hal ini adalah hasil hutan berupa kayu bulat. Kelestarian yang tinggi dibanding sumberdaya alam lainnya, seperti
hasil mengandung pengertian bahwa potensi dan produksi kayu tambang, perkebunan,dan usaha pertanian lainnya. Namun
bulat pada siklus ke-2 harus sama atau lebih besar dari siklus hutan ibarat wanita cantik yang tidak banyak bicara, namun
sebelumnya. berperan besar untuk kelangsungan hidup semua makhluk di
Kenyataan ini juga dapat ditafsirkan, bahwa produktifitas permukaan bumi. Tidak ada masa depan di bumi tanpa adanya
hutan alam yang rendah ternyata menjadi lebih rendah lagi pada hutan (no forest no future).
siklus tebang ke-2. Berdasarkan hasil rekapitulasi data Petak
Peluang dan metode rehabilitasi hutan yang telah
terdegradasi pada dasarnya mengikuti tahapan suksesi yang
diajarkan oleh alam. Peranan manusia dalam kerja alam dapat
mengontrol kelangsungan suksesi tersebut. Namun manusia
sebagai “pelaku utama di bumi” dapat menimbulkan kerusakan
dan dapat pula sebagai rehabilisator sumberdaya alam dengan Bab-bab selanjutnya pada buku ini berisi kumpulan karya tulis
melakukan percepatan suksesi dan mengarahkan pada tujuan yang dibuat dan telah dikirimkan kepada Direktorat Jenderal
tertentu. Bina Usaha Kehutanan, Kementerian Kehutanan RI, Jakarta,
antara tahun 2012 sampai 2013. Tulisan-tulisan tersebut
Silvikultur Hutan Tanaman dan Hutan Alam disusun sebagai salah satu tugas dan kewajiban penulis
(Silvikultur Lanjutan/Terapan)_Dr.Ir.Wahyudi,MP
sebagai tim pakar silvikultur intensif pada kementerian tersebut,
dengan tujuan memberikan input-input dan masukan dalam
Degradasi (alam/buatan) and Suksesi (alam/buatan) rangka perbaikan kualitas dan peningkatan produktivitas hutan
produksi di Indonesia.

Hutan primer Hutan sekunder


TPTI / TPTJ/
TPTI
Hutan rawang Tebang
Rumpang

Belukar Lahan
kosong

Semak
THPB
Padang rumput

Lahan kritis

Gambar 16. Degradasi hutan (tanda panah garis) dan suksesi


hutan (tanda panah putus-putus) serta peranan
manusia dalam mengelola hutan
BAB IV. Wahjono dan Anwar (2008) riap diameter rata-rata jenis kayu
PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN MERANTI (Shorea komersial pada hutan bekas tebangan hanya 0,6 cm/th.
leprosula) PADA SISTEM SILVIKULTUR INTENSIF: TEBANG Menurut Ditjen BPK (2010) pertumbuhan tegakan hutan alam
PILIH TANAM JALUR produksi sampai tahun 2003 hanya sebesar 1,1-1,4 m3/ha/th
dan pada tahun 2007 turun menjadi 0,46 m3/ha/th. Berdasarkan
(Growth and Yield of Shorea leprosula Plantation in Intensive data tahun 2009, jumlah produksi kayu bulat dari hutan alam
Silviculture: The Selective Cutting and Strips Planting) produksi yang dikelola IUPHHK hanya sebesar 5 juta m3.
Dengan memperhatikan luas areal IUPHHK yang aktif sebesar
Oleh: 20 juta ha, Suparna (2010) menyimpulkan bahwa produktifitas
hutan alam produksi hanya sebesar 0,25 m3/ha/th, jauh lebih
Dr. Ir. Wahyudi, MP kecil dibanding produktifitas hutan tanaman yang mencapai 15
Pakar Kehutanan, Universitas Palangka Raya m3/ha/th atau 60 kali lipat dari hutan alam.
Kep. Dirjen BUK No. SK.38/VI-BUHA/2012 Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ), yang pada tahun
Tanggal 15 Juni 2012 2005 sampai tahun 2009 bernama Tebang Pilih Tanam
HP: 0815 2156 0387, E-mail: isanautama@yahoo.com Indonesia Intensif (TPTII) diterapkan di hutan alam produksi
sejak tahun 2005 diperkirakan mampu mengatasi permasalah di
Untuk: atas. Sistem ini mempunyai dua areal pengelolaan yang
berbeda, yaitu tanaman dalam jalur tanam (strips planting) dan
Kementerian Kehutanan tegakan tinggal (residual trees) dalam jalur antara namun
Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan keduanya merupakan satu kesatuan ekosistem serta
Direktur Bina Usaha Hutan Alam mempunyai siklus tebang yang sama.
Peningkatan produktifitas hutan pada sistem TPTJ teknik
silin bertumpu pada tanaman yang telah mencapai diameter 50
cm dalam jalur tanam. Tanaman yang dikembangkan
Pendahuluan diutamakan jenis meranti (Shorea spp) yang mempunyai
pertumbuhan dan nilai ekonomi yang paling tinggi (Ditjen BPK
Indonesia merupakan negara yang memiliki hutan alam (2005). Meranti adalah jenis pohon yang mendominasi target
tropika terluas di dunia setelah Brasilia di Amerika Selatan dan produksi kayu bulat dari hutan alam dan menjadi primadona
Zaire di Afrika sekaligus menyimpan keanekaragaman hayati industri kayu lapis (plywood) dan wood working di era 80-90an
(biodiversity) tertinggi di dunia (MacKinnon et al. 2000). Namun (Wahyudi, 2009). Keberadaan jenis meranti juga mendominasi
keberadaan hutan di Indonesia cenderung mengalami degradasi hutan alam di wilayah Indonesia bagian Barat dan Tengah
dan deforestasi dengan laju sebesar 1,8 juta ha per tahun (McKinnon et al. 2000) dan dengan kualitas kayu yang baik
(1985-1997) dan meningkat menjadi 2,84 juta ha per tahun pada (Dephut, 1989). Dengan demikian pengembangan tanaman
tahun 1997-2000 (Balitbanghut 2008). meranti untuk meningkatkan produktifitas hutan adalah langkah
Salah satu penyebab besarnya angka degradasi dan yang tepat.
deforestasi adalah “produktifitas hutan alam yang rendah” Tujuan penulisan laporan/ paper ini adalah untuk
karena kecilnya tingkat pertumbuhan pohon-pohon penyusun menyampaikan data pertumbuhan dan hasil (growth and yield)
tegakan hutan alam, sehingga kurang kompetitif dibanding tanaman meranti (Shorea leprosula) dalam jalur tanam sistem
sektor lain, seperti perkebunan dan pertambangan. Menurut TPTJ teknik silin yang dikembangkan secara luas di lapangan
serta mengetahui hasil prediksi terhadap daur tanaman Tabel 1. Rekapitulasi hasil pengukuran tanaman meranti
menggunakan persamaan polinomial (Burkhart, 2003). Laporan/ (Shorea leprosula)
paper ini diharapkan mampu memberikan informasi tentang
prospek pengusahaan hutan menggunakan sistem silvikultur Plot Data Umur Jumlah Prosentase Diameter Tinggi bc
TPTJ teknik silin yang mengandalkan hasil tanaman meranti penelitian tahun (tahun) tanaman hidup (%) Min (cm) Mak (cm) Rata2 (cm) MAI (cm/th) (m)
dalam jalur tanam.
1 2008 0 120 100 0,30 0,67 0,51 0,3
1 2009 1 120 89,70 0,35 3,55 1,07 1,07 1,6
Metodologi 1 2010 2 120 84,01 0,40 7,16 2,11 1,06 2,9
2 2010 11 120 60,62 3,00 28,40 13,40 1,22 8,9
Paper ini ditulis berdasarkan hasil penelitian yang
dilaksanakan pada plot-plot penelitian tanaman meranti (Shorea 3 2010 16 120 61,16 12,70 36,31 21,00 1,31 12,2
leprosula) yang dikembangkan dalam jalur tanam yang berumur
1, 2, 11 dan 16 tahun. Semua tanaman berada di areal kerja
IUPHHK PT Gunung Meranti yang terletak di Kecamatan Pertumbuhan Tanaman Meranti (Shorea leprosula)
Mandau Talawang, Kabupaten Kapuas Provinsi Kalimantan
Tengah. Pertumbuhan diameter tanaman meranti (Shorea leprosula)
pada umur 2 tahun pada plot penelitian berkisar antara 0,4 cm
Analisis Data sampai 7,16 cm atau rata-rata 2,11 cm, sedangkan
1 Distribusi diameter tanaman meranti (Shorea leprosula) pertumbuhan tingginya berkisar antara 0,53 m sampai 7,29 m
menggunakan grafik distribusi diameter hutan seumur (even- atau rata-rata 2,9 m (Tabel 1 dan Gambar 1). Pertumbuhan
aged stand forest) yaitu: p = c1 + c2d + c3d2 (Hauhs et al., diameter dan tinggi tahunan rata-rata (mean annual increment
2003), dimana: p = jumlah pohon per ha; d= diameter (cm); =MAI) masing-masing sebesar 1,06 cm/th dan 1,45 m/th.
c1,c2,c3= konstanta Sedangkan MAI diameter tanaman Shorea leprosula pada plot
2 Model pertumbuhan tanaman meranti (Shorea leprosula) pendukung berumur 11 tahun dan 16 tahun masing-masing
dibentuk berdasarkan fungsi riap dan waktu melalui sebesar 1,22 cm/th dan 1,31 cm/th.
persamaan polinomial (Burkhart, 2003) dengan persamaan: Dari rangkaian data tersebut nampak bahwa MAI
Dr = c1 + c2t + c3t2 , dimana: D = diameter akhir ; t = waktu mengalami kenaikan sejalan dengan bertambahnya diameter
dalam tahun; c1,c2,c3= konstanta. pohon. Berdasarkan hasil penelitian pertumbuhan diameter
tegakan tinggal kelompok meranti (Wahyudi, 2010), diperkirakan
kenaikan pertumbuhan diameter ini akan terus berlangsung
Hasil dan Pembahasan sampai mencapai diameter 30 cm - 40 cm, kemudian
pertumbuhan akan berkurang kembali. Dengan demikian
Rekapitulasi hasil pengukuran tanaman meranti (Shorea pertumbuhan tanaman Shorea leprosula membentuk grafik
leprosula) pada jalur tanam sistem Tebang Pilih Tanam Jalur sigmoid. Hal ini sejalan dengan pernyataan Bukhart (2003)
(TPTJ) Teknik Silin berumur 1, 2, 11 dan 16 tahun dapat dilihat bahwa grafik pertumbuhan diameter tanaman menyerupai huruf
pada Tabel 1. S (sigmoid) dan Radonja et al. (2003) juga telah membuktikan
fenomena ini untuk tanaman Douglas-fir pada beberapa kelas
tapak.
Pertumbuhan tanaman Shorea leprosula pada lokasi menyebutkan bahwa pertumbuhan Shorea macrophylla di
penelitian masih menunjukkan tingkat yang wajar bila Kalbar lebih tinggi dibanding di Kalsel dan sebaliknya Shorea
dibandingkan dengan beberapa data pertumbuhan tanaman stenoptera di Kalsel tumbuh lebih baik dibanding di Kalbar. Hal
sejenis di berbagai tempat. Hasil uji tanaman Shorea leprosula ini menunjukkan bahwa jenis yang unggul di suatu tempat
di PT. Suka Jaya Makmur (Kalbar) menunjukkan kisaran belum tentu unggul bila ditanam di tempat lain.
pertumbuhan sebesar 0,32 cm/th sampai 2,85 cm/th atau rata-
rata sebesar 1,88 cm/th untuk diameter dan 0,5 m/th sampai
2,48 m/th atau rata-rata sebesar 1,64 m/th untuk tinggi pohon. Distribusi Diameter Tanaman
Hasil uji spesies di perusahaan ini menunjukkan bahwa Shorea
leprosula mempunyai pertumbuhan sebesar 0,29 cm/th sampai Distribusi diameter tanaman meranti (Shorea leprosula)
2,85 cm/th atau rata-rata sebesar 1,94 cm/th untuk diameter dan pada plot 1 model struktur tanaman hutan seumur (even-aged
0,65 m/th sampai 2,75 m/th atau rata-rata sebesar 2,79 m/th stand forest) yang berbentuk lonceng (parabola) dengan jumlah
untuk tinggi pohon (PT SJK 2010). Tanaman operasional umur pohon terbesar berada dalam kisaran diameter pertengahan.
4 tahun di PT. Balikpapan Forest Industries (Kaltim) mempunyai Hal ini sejalan dengan pernyataan Hauhs et al. (2003) bahwa
MAI diameter dan tinggi masing-masing sebesar 1,39 cm/th dan pola penyebaran diameter pada hutan seumur membentuk
1,43 m/th (PT BFI 2010). Hasil pengukuran Pamoengkas persamaan polinomial dengan grafik berbentuk lonceng.
(2006) terhadap tanaman Shorea leprosula di PT. Sari Bumi Grafik dinamika struktur tanaman, yang menggambarkan
Kusuma menunjukkan MAI diameter umur 1 tahun sampai 5 distribusi diameter tanaman, semakin bergeser ke arah kanan
tahun masing-masing sebesar 0,96 cm/th; 0,99 cm/th; 1,57 sejalan dengan bertambahnya umur, yang menandakan
cm/th; 1,09 cm/th dan 1,62 cm/th. Dari data tersebut dapat semakin banyak pohon yang berada pada kelompok diameter
diketahui bahwa pertumbuhan tanaman Shorea leprosula yang lebih besar, namun semunya masih mempunyai pola yang
sangat beragam kecepatannya, tergantung pada lokasi sama yaitu berbentuk lonceng.
penanaman, perlakuan silvikultur dan faktor genetik tanaman.
Tanaman meranti (Shorea spp) yang lain juga 500
menunjukkan pertumbuhan diameter yang beragam. MAI 450
diameter tanaman Shorea platyclados di Sumatera Utara 400
sebesar 1,32 cm/th sedangkan MAI volume tanaman Shorea 350
leprosula, S. ovalis serta S. parvifolia sebesar 10 m/ha/th (Hutan
300
Industri 1958 dalam Manan 1995). Soekotjo (1995) yang
N 250
mengutip riap beberapa tanaman Shorea spp di komplek hutan
200
Semengoh (Serawak) menyatakan bahwa Shorea pinanga umur
150
38 tahun yang ditanam dengan jarak 4,5 m x 4,5 m mempunyai
100
diameter 31,35 cm dengan kisaran riap diameter 0,49 - 1,24
50
cm/th. Shorea splendica umur 35 tahun yang ditanam dengan
0
jarak 3,6 m x 3,6 m mempunyai diameter 31,62 cm dengan
0 1 2 3 4 5 6 7 8
kisaran riap diameter 0,53 - 1,39 cm/ th. Shorea stenoptera 2008 2009 2010 Diameter (cm)
umur 34 tahun yang ditanam dengan jarak 3,5 m x 3,6 m
mempunyai kisaran riap diameter 0,53 - 1,39 cm/th. Meskipun Gambar 17. Dinamika struktur tanaman Shorea leprosula pada
tidak menyebutkan data kuantitatif, Soekotjo (1995) plot 1 membentuk grafik lonceng
Pada gambar di atas terlihat bahwa distribusi diameter 60
terbesar berada pada kelompok tanaman yang mempunyai Persamaan Pertumbuhan S.leprosula
pertumbuhan pertengahan. Hal ini mengindikasikan bahwa 50
apabila tanaman-tanaman tersebut dipisahkan dalam lima
kelompok berdasarkan kecepatan pertumbuhannya, maka akan 40

Diameter (cm)
didapatkan kelompok tanaman dengan pertumbuhan sangat
lambat, lambat, sedang, cepat dan sangat cepat. Kelompok 30
tanaman dengan pertumbuhan sedang yang paling
2
mendominasi menyusul kelompok sangat lambat, cepat, sangat 20 y = 0,0297x + 0,8208x + 0,3728
2
R = 0,8689
lambat dan sangat cepat.
10

0
Pertumbuhan Tanaman
0 5 10 15 20 25 30 35
Umur (Th)
Berdasarkan data tanaman meranti (Shorea leprosula)
dalam jalur tanam umur 1, 2, 11 dan 16 tahun didapatkan model Gambar 18. Pola pertumbuhan tanaman Shorea leprosula
pertumbuhan tanaman meranti (Shorea leprosula) dalam pola dengan fungsi waktu
persamaan polinomial berdasarkan fungsi riap dan waktu
(Burkhart 2003) yaitu: Dalam praktek pengusahaan hutan, penetapan siklus
D= 0,0297t2 + 0,8208t + 0,3728 (R2= 86,89% tebang biasanya menggunakan kelipatan angka 5 (lima).
dimana D = diameter akhir; t = waktu dalam tahun. Dengan memperhatikan bahwa komponen terpenting dalam
Nilai koefisien determinasi sebesar 86.89% menunjukkan sistem silvikultur TPTJ adalah tanaman dalam jalur tanam maka
bahwa persamaan ini cukup baik dan dapat menggambarkan siklus tebang sistem TPTJ yang sesuai dengan hasil penelitian
pola pertumbuhan tanaman meranti (Shorea leprosula) di ini adalah 35 tahun.
lapangan. Model ini memprediksi pencapaian diameter 50 cm Beberapa peneliti menyatakan siklus tebang sistem TPTJ
ke atas (tepatnya 51,73 cm) pada siklus tebang berdurasi 31 adalah 25 tahun dan yang lain menyatakan 30 tahun (Ditjen
tahun. BPK, 2005, 2010). Dalam penelitian ini siklus tebang sistem
Pencapaian diameter tanaman Shorea leprosula sebesar 50 TPTJ adalah 35 tahun. Dengan demikian siklus tebang sistem
cm ke atas menjadi acuan untuk mementukan daur tanaman. TPTJ dapat dipengaruhi oleh jenis tanaman, pemuliaan pohon,
Batasan diameter 50 cm ini menjadi penting karena banyak kondisi tempat tumbuh dan intensitas perawatan yang diberikan.
industri pengolahan kayu yang memerlukan kayu bulat Jenis tanaman yang sama akan mempunyai kecepatan
berdiameter minimal 50 cm. Harga kayu bulat kelompok pertumbuhan yang berbeda pada tempat yang berlainan
meranti juga lebih tinggi bila telah mencapai diameter 50 cm ke (Soekotjo, 1995). Penerapan siklus tebang 35 tahun sejalan
atas. dengan siklus tebang sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia
(TPTI), sehingga pemanenan pada daur berikutnya yang
berasal dari jalur tanam dan jalur antara dapat dilakukan secara
bersamaan dan lestari.
Pertumbuhan tanaman dapat diasumsikan sebagai fungsi Bettinger P, Boston K, Siry JP, Grebner DL. 2009. Forest
dari waktu (Burkhart, 2003). Dimensi diameter akan semakin Management and Planning. Academic Press – Elsevier.
membesar dengan semakin bertambahnya waktu, namun pada Burkhart HE. 2003. Suggestion for choosing an appropriate
periode tertentu pula harus disertai informasi pembatas level for modelling forest stand. In Amaro A, Reed D,
sehingga pertumbuhan tidak lagi meningkat atau persamaan Soares P, editors. Modelling Forest System. CABI
hanya berlaku sampai umur tertentu. Kurva sigmoid yang Publishing.
menggambar pertumbuhan pohon dapat diperoleh apabila Dephut, 1989. Atlas Kayu Indonesia. Jilid I dan II. Badan
terdapat data series yang lengkap (Vanclay, 2001), oleh karena Litbang Dephut, Bogor.
itu dalam suatu model pertumbuhan harus menyertakan semua [Ditjen BPK] Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan.
informasi yang tersedia dan terpercaya untuk menghasilkan 2005. Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi
prediksi yang dapat dipertanggungjawabkan (Grant et al. 1997). Kehutanan Nomor SK.226/VI-BPHA/2005 Tentang
Pemodelan dapat mempermudah perhitungan yang rumit yang Pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (Silin).
disusun oleh beberapa persamaan dalam waktu bersamaan Departemen Kehutanan, Jakarta.
dengan berbagai simulasi yang kita kehendaki (Indrawan, [Ditjen BPK] Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan.
2000). 2010. Profil Sistem Silvikultur Intensif di Unit Manajemen
Model: Konsep dan Implementasi. Ditjen Bina Produksi
Kesimpulan Kehutanan, Jakarta
Grant WE, Pedersen EK, Marin SL. 1997. Ecology and Natural
1. Riap diameter tahunan rata-rata (MAI) tanaman meranti Resource Management. Systems Analysis and
(Shorea leprosula) dalam jalur tanam umur 1, 2, 11 dan 16 Simulation. John Wiley & Sons, Inc.
tahun masing-masing 1,07 cm/th; 1,06 cm/th; 1,22 cm/th dan Husch B, Beers TW, Kershaw JA. 2003. Forest Mensuration.
1,31 cm/th. John Wiley & Sons, Inc. New Jersey.
2. Distribusi diameter tanaman meranti membentuk grafik Indrawan A. 2000. Perkembangan Suksesi Tegakan Hutan
lonceng (parabola) sehingga menyerupai model struktur Alam Setelah Penebangan dalam Sistem Tebang Pilih
tanaman hutan seumur (even-aged stand forest) Tanam Indonesia (Disertasi). Bogor: Program
3. Model pertumbuhan tanaman meranti (Shorea leprosula) Pascasarjana, IPB.
berdasarkan fungsi riap dan waktu adalah D= 0,0297t2 + MacKinnon K, Hatta G, Hakimah H, Arthur M. 2000. Ekologi
0,8208t + 0,3728 dengan nilai R2= 86,89% Kalimantan. Seri Ekologi Indonesia, Buku III. Canadian
4. Siklus tebang sistem silvikultur TPTJ di IUPHHK PT Gunung International Development Agency (CIDA), Prenhallindo,
Meranti adalah 35 tahun. Jakarta.
Pamoengkas P. 2006. Kajian Aspek Vegetasi dan Kualitas
Tanah Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur. Studi
Daftar Pustaka Kasus di Areal PT Sari Bumi Kusuma, Kalimantan Tengah
(Disertasi). Bogor: Program Pascasarjana IPB.
[Balitbanghut] Badan Penelitian dan Pengembangan [PT SJK] PT Suka Jaya makmur. 2010. Hasil-Hasil Penelitian
Kehutanan. 2008. Profil Pusat Penelitian dan Pelaksanaan Silvikultur Intensif. Makalah Rapat
Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Koordinasi Pelaksanaan Silin, Ditjen BPK, Jakarta.
Balitbanghut, Departemen Kehutanan, Bogor. Radonsa PJ, Koprivica MJ, Lavadinovic VS. 2003. Modelling
current annual height increment of young Douglas-fir
stands at different site. In Amaro A, Reed D, Soares P, BAB V.
editors. Modelling Forest System. CABI Publishing. HUTAN BEKAS TEBANGAN:
Soekotjo. 1995. Beberapa faktor yang mempengaruhi riap EKOSISTEM, SARAN DAN UPAYA REHABILITASI
Hutan Tanaman Industri. Direktorat Jenderal
Pengusahaan Hutan, Dephut RI, Jakarta. (Logged Over Forest: Ecosystem, Suggestion and
Soekotjo. 2009. Teknik Silvikultur Intensif (Silin). Gadjah Mada Rehabilitation Efforts)
University Press.
Suparna N. 2010. Makalah Rapat Koordinasi Pelaksanaan Silin,
Ditjen BPK, Jakarta. Oleh:
Vanclay JK. 2001. Modelling Forest Growth and Yield.
Applications to Mixed Tropical Forest. CABI Publishing. Dr. Ir. Wahyudi, MP
Wahjono D, Anwar. 2008. Prospek penerapan multisistem Pakar Silvikultur, Universitas Palangka Raya
silvikultur pada unit pengelolaan hutan produksi. Kep. Dirjen BUK No. SK.38/VI-BUHA/2012
Puslitbang dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan, Tanggal 15 Juni 2012
Bogor.
Wahyudi. 2009. Selective cutting and line enrichment planting Untuk:
silvicultural system development on Indonesian tropical
rain forest. In: GAFORN-International Summer School, Kementerian Kehutanan
Georg-August Universität Göttingen and Universität Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan
Dresden, Germany. Direktur Bina Usaha Hutan Alam

Ekosistem Hutan Hujan Tropis

Hutan tropis dapat dipandang sebagai selimut tebal yang


melindungi lapisan tanah (permukaan bumi) dari tumbukan air
hujan dan sengatan sinar matahari secara langsung. Hutan
tropis dapat berfungsi untuk mengatur tata air (water resources
management), meminimalkan aliran permukaan (minimized run
off), memperbesar kapasitas infiltrasi dan cadangan air tanah,
meminimalkan erosi, menghasilkan kayu dan non kayu,
menyimpan keanekaragaman hayati (biodiversity), stok karbon
(carbon stock), menyerap CO2 dari udara, mengeluarkan O2
untuk pernafasan (manusia dan hewan) dan respirasi
(tumbuhan), menjaga kesuburan tanah, menjaga siklus hara
tertutup, sebagai sarana penelitian dan kebudayaan, tempat
ekowisata dan rekreasi serta sumber mata pencaharian
(livelihood) sebagian masyarakat lokal.
Bumi merupakan salah satu dari delapan planet yang vegetasi akibat penebangan liar, perambahan dan kebakaran
mengorbit pada matahari. Namun dari delapan planet tersebut, hutan dapat membuka siklus hara tertutup dan menurunkan
hanya bumi yang sangat istimewa dan menakjubkan. Planet ini kandungan biomassa dari ekosistem hutan hujan tropis.
dikelilingi oleh atmosfir yang berfungsi sebagai cadangan udara, Lanskap hutan hujan tropis biasanya didominasi oleh matrik
pelindung dari sengatan matahari secara langsung serta hutan diselingi alur memanjang berupa sungai (environment
menangkis benda-benda dari luar angkasa yang memasuki resources corridors) yang bercabang-cabang membentuk anak-
bumi. Bumi juga dilengkapi lapisan tanah dan air yang sangat anak sungai. Jaringan sungai dan anak sungai serta jaringan
baik untuk menopang semua kehidupan di bumi, termasuk jalan yang dibuat manusia (disturbance corridors) membentuk
pertumbuhan vegetasi. Ekosistem bumi terbentuk dengan line corridors dengan berbagai ragam fungsi di dalamnya
sangat beragam, komplek dan sempurna. Menurut penelitian, (Forman & Gordon 1986). Pada stream corridor biasanya
kehidupan dibumi terbentuk sejak jaman pre cambrian-azoikum ditemukan vegetasi tertentu yang relatif berbeda dengan jenis
sekitar 3,2 milyar tahun yang lalu. vegetasi di sebelahnya. Pada pohon tumbang atau areal
Salah satu komponen penting dalam menjaga kestabilan eksploitasi terbentuk disturbance patches yang rawan erosi
ekosistem di bumi adalah hutan. Hutan merupakan hamparan namun cepat mengalami pemulihan (Farima 1998). Hutan
vegetasi raksasa yang berperan sebagai paru-paru hujan tropis memiliki strata yang berlapis. Para ahli pada
(Soemarwoto 1991) karena mengeluarkan Oksigen (O2), umumnya membagi lima strata hutan tropis (Soerianegara &
menyerap Karbondioksida (CO2) sekaligus menimbun karbon Indrawan 2005) yaitu:
(C) dalam bentuk bahan organik (Carbon pool). Penelitian a. Strata A merupakan lapisan paling atas sehingga tajuk
terkini juga menyebutkan bahwa hutan dapat berperan sebagai pohon mendapatkan cahaya matahari secara penuh baik
jantung bumi yang dapat memompa udara yang mengandung dari atas atau samping. Strata ini didominasi pohon-pohon
uap air dari lautan ke daratan. besar seperti kempas (Koompassia exelca, K.malaccensis),
Hutan hujan tropis mempunyai aktifitas dan kemampuan meranti (Shorea pinanga, S.parvifolia, S.smithiana, S.spp),
metabolisme yang jauh lebih besar dibanding hutan di daerah keruing (Dipterocarpus louwii, D.spp), kapur (Dryobalanops
sub tropis, temperate dan boreal karena memperoleh sinar aromatica, D.spp), Ulin (Eusideroxylon zwagery) dan lain-
matahari penuh sepanjang tahun. Namun demikian, dengan lain.
tingginya suhu dan curah hujan di daerah tropis menyebabkan b. Strata B merupakan lapisan ke dua dimana tajuk pohon
proses pelapukan (weathering), perombakan (decomposition), hanya mendapatkan sinar matahari dari atas. Pohon-pohon
aliran permukaan, pencucian hara dan erosi juga semakin pengisi lapisan ini antara lain terentang (Campnospermum
tinggi. spp), perupuk (Lophopetalum spp), bintangur (Calophyllum
Fenomena inilah menyebabkan tanah di hutan tropika sangat inophyllum), keranji (Diallium sp) dan lain-lain.
peka terhadap perubahan. Tanah marginal ini hanya c. Strata C merupakan lapisan ke tiga dimana tajuk pohon
menampung sedikit biomassa dibanding dengan lapisan tanah hanya mendapatkan sinar matahari dari celah-celah tajuk
di hutan temperate dan sekitarnya. Sebagian besar (sekitar ¾) pohon yang lain. Pohon-pohon pengisi lapisan ini antara
biomassa di hutan tropika terletak pada vegetasinya lain jambuan (Syzigium sp), sintuk (Cinnanomum sp) dan
(MacKinnon et al. 2000). Serasah di lantai hutan yang cepat lain-lain. Adakalanya jenis pohon pengisi lapisan A dan B
terurai akan diserap kembali oleh vegetasi untuk menjalankan masih berada pada lapisan C dalam proses
metabolisme, begitu seterusnya sehingga terbentuklah siklus pertumbuhannya. Beberapa diantaranya berhasil lolos
hara tertutup. Penebangan pohon-pohon dari hutan, seperti memasuki strata B atau A, terutama ketika terjadi suksesi
pada kegiatan eksploitasi hutan atau hilangnya sebagian besar (ketika pohon tua telah tumbang). Banyak diantara pohon-
pohon tersebut gagal memasuki lapisan di atasnya karena c. Evaporasi (evaporation), yaitu air yang menguap kembali
belum mendapatkan ruang tumbuh. Kondisi hutan tropis dari danau, waduk, sungai atau genangan air tanah.
yang sangat rapat dan lebat menimbulkan efek persaingan d. Stem flow, yaitu bagian dari air hujan yang mengalir melalui
tempat tumbuh yang tinggi. daun, ranting dan cabang pohon kemudian mengalir ke
d. Strata D merupakan lapisan ke empat dimana vegetasi bawah melalui batang pohon. Aliran batang ini berjalan
hanya mendapatkan sinar matahari dari pantulan tajuk perlahan sampai ke permukaan tanah.
pohon lain. Pengisi lapisan ini biasanya tingkat pancang e. Through fall, yaitu bagian air hujan yang turun ke bawah
dan tiang dari berbagai jenis termasuk famili dari melalui celah-celah tajuk atau daun pohon. Air hujan akan
Dipterocarpaceae. Adakala permudaan Dipterocarpaceae tertahan pada tumbuhan bawah dan serasah sebelum
mengalami dormansi karena tidak mendapatkan ruang sampai ke tanah sehingga tidak sampai merusak struktur
tumbuh, terutama sinar matahari, yang optimal untuk tanah.
perkembangannya. Perakaran pohon di hutan tropis telah mengisi sebagian
e. Strata E merupakan lapisan ke lima yang didominasi besar lapisan top soil. Perakaran ini telah menciptakan rongga
tumbuhan bawah, herba, perdu serta semai dari berbagai tanah sehingga terbentuk pori-pori pada permukaan tanah yang
jenis. berguna untuk aerasi udara dan proses infiltrasi. Lapisan top
Disamping mempunyai lima lapisan vegetasi, lantai hutan soil yang berisi perakaran tumbuhan juga menciptakan
tropis masih mempunyai lapisan serasah, humus dan top soil ekosistem tersendiri. Berbagai jenis mikroorganisme, cacing,
yang kaya bahan organik. Struktur hutan tropis seperti ini telah serangga, rhizobium, mikorisa dan lain-lain hidup dan
menciptakan ekosistem yang komplek dan exclusive dengan berkembang biak di sana.
iklim mikro dan sistem siklus hara tetutup didalamnya. Masing- Air hujan yang turun di hutan hujan tropis sebagian besar
masing pohon telah membentuk jaring pengaman unsur hara berubah menjadi aliran batang (stem flow) pada berbagai strata
(nutrients safety net) untuk meningkatkan efisiensi penangkapan yang ada, sehingga ketika menyentuh lantai hutan tidak
zat hara yang telah menjadi bentuk tersedia (Kozlowski & menimbulkan efek merusak pada tanah. Air hujan yang berada
Pallardy 1997; Oliver & Larson 1990). Hijau dan lebatnya hutan di lantai hutan akan meresap ke dalam lapisan bahan organik,
hujan tropis seakan-akan mencerminkan kesuburan tanah di serasah dan humus, kemudian, sebagian besar mengalami
sana, namun sebenarnya hanya ilustrasi yang semu infiltrasi atau masuk ke dalam top soil tanah (mengisi kapasitas
(MacKinnon et al. 2000). infiltrasi tanah). Apabila tanah telah mencapai titik jenuh,
Berbeda dengan daerah terbuka, curah hujan yang turun di sebagian air akan berubah menjadi aliran permukaan yang
hutan akan mengalami beberapa proses (Lee 1990), yaitu: relatif jernih. Dengan demikian hutan sangat berperan dalam
a. Intersepsi (interception), yaitu bagian dari air hujan yang proses hidroorologi karena dapat meminimalkan pencucian zat
menguap kembali, baik pada saat hujan maupun setelah hara, erosi, banjir dan longsor sehingga dapat menjaga
hujan, sebelum mencapai permukaan tanah. Air ini ketersediaan air dan kesuburan tanah.
biasanya terdapat di tajuk pohon, dahan dan ranting. Hutan hujan tropis menyimpan keanekaragaman hayati
b. Tranpirasi (transpiration) yaitu air yang menguap melalui yang sangat tinggi. Menurut Whitmore (1975), dalam hutan
permukaan tubuh tumbuhan setelah melalui proses hujan tropis Asia Tenggara tersimpan 25-30 ribu jenis flora.
metabolisme. Transpirasi paling banyak terjadi pada daun Menurut MacKinnon et al. (2000), dalam hutan hujan tropis di
yang kontak langsung dengan sinar matahari, sebagai Kalimantan terdapat 10.000-15.000 spesies berbunga, lebih dari
respon untuk mempertahankan diri dari panas dan 3.000 jenis pohon berkayu termasuk 267 spesies
kekeringan (dehidration). Dipterocarpaceae. Pulau ini sekaya benua Afrika meskipun
luasnya 40 kali lebih kecil. Hutan tropis di Kalimantan Menurut UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan,
mempunyai 34% jenis endemik. Menurut Ashton (1982) dalam hutan dibagi menjadi tiga berdasarkan fungsinya, yaitu hutan
McKinnon et al. (2000), 58% dari seluruh jenis konservasi, hutan lindung dan hutan produksi. Hutan produksi
Dipterocarpaceae di Kalimantan adalah endemik. Pulau ini juga adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok
mempunyai 2.000 jenis anggrek, 1.000 jenis pakis dan memproduksi hasil hutan. Hutan lindung adalah kawasan hutan
merupakan pusat jenis kantong semar (Nepenthes). Suku yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem
endemik Kalimantan yang terkenal adalah Scyphostegiaceae penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah
(Ashton 1989 dalam MacKinnon et al. 2000). banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan
Hutan hujan tropis di Kalimantan, Sumatera, Jawa dan memelihara kesuburan tanah. Hutan konservasi adalah
Sulawesi masing-masing menyimpan 222, 196, 183 dan 127 kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai
jenis mamalia. Dari jumlah tersebut, Kalimantan mempunyai 44 fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan
jenis endemik dan Sumatera hanya 23 jenis endemik (Payne satwa serta ekosistemnya.
1985 dalam MacKinnon et al. 2000). Hutan tropis Kalimantan Luas hutan di Indonesia sebelum tahun 80-an sebesar 164
juga mempunyai 13 jenis primata, 10 jenis celurut, 420 jenis juta ha atau 87,280% dari luas daratan Indonesia (Suratmo et
burung tetap (37 jenis endemik), 166 jenis ular, 100 jenis amfibi, al. 2003). Menurut Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) luas
394 jenis ikan air tawar (149 jenis endemik) dan lain-lain. kawasan hutan Indonesia tahun 1981 sebesar 144 juta ha
Apabila hutan hujan tropis sebagai habitat flora dan fauna (Hani’in 1999), namun luasan ini mengalami penurunan menjadi
tersebut telah rusak maka sebagaian besar flora dan fauna 126,8 juta ha pada tahun 2005 (Balitbanghut 2008) dengan
tersebut juga musnah, khususnya yang endemik. komposisi hutan konservasi 23,2 juta ha, hutan lindung 32,4 juta
Hutan hujan tropis merupakan hamparan pertumbuhan ha, hutan produksi terbatas 21,6 juta ha, hutan produksi tetap
pohon-pohon yang sangat lebat dan luas dan berinteraksi 35,6 juta ha dan hutan produksi konversi 14,0 juta ha. Dalam
dengan lingkungannya membentuk ekosistem yang komplek. kawasan hutan tersebut, luas areal yang berhutan hanya
Pohon dan vegetasi lainnya sebagai bagian dari komponen sebesar 64%, luas areal non hutan 29% dan lain-lain (data
hutan merupakan tumbuhan hijau yang dapat melakukan proses tidak lengkap) 6%. Laju kerusakan hutan sebesar 1,8 juta ha
fotosintesa yang menyerap karbondioksida (CO2) sehingga per tahun (1985-1997) dan meningkat menjadi 2,84 juta ha per
dapat mengurangi konsentrasi gas rumah kaca di udara sebagai tahun pada tahun 1997-2000 (Balitbanghut 2008). Pada saat ini
penyebab efek pemanasan global. Proses fotosintesa dapat hutan produksi telah banyak terfragmentasi (Indrawan 2008)
dituliskan melalui persamaan reaksi sebagai berikut: dan membentuk mosaik lanskap berupa hutan primer, hutan
sekunder, semak belukar dan tanah kosong (Pasaribu 2008,
Suhendang 2008).
sinar matahari
CO2 + H2O + (C6H10O5)n + O2
kloropil
Rehabilitasi HUtan
Dari persaman tersebut terlihat bahwa proses fotosintesa
menyerap CO2 dan air (H2O) dengan bantuan sinar matahari Perakaran tumbuhan di hutan tropis mengisi sebagian
dalam media yang mengandung zat hijau daun (chlorophyl) besar lapisan top soil dan sub soil. Perakaran ini mampu
kemudian menghasilkan karbohidrat sebagai sumber energi dan menciptakan pori-pori dan rongga pada tanah sehingga
cadangan karbon yang disimpan dalam tubuh tanaman dan memaksimalkan kapasitas infiltrasi tanah. Air hujan yang telah
oksigen (O2) yang dihasilkan dari proses fotofosforilasi dari air. sampai di lantai hutan akan meresap dalam lapisan bahan
organik (serasah dan humus) selanjutnya mengalami infiltrasi
(infiltration) dan perkolasi (percolation), menjadi cadangan air sehingga tanah kekurangan unsur P dan mengandung sifat
tanah untuk pertumbuhan dan sebagian dilepas perlahan racun bagi tanaman.
sebagai mata air. Sebagian air di lantai hutan menjadi run off Kejadian erosi disamping disebabkan oleh air, juga oleh
menuju daerah yang lebih rendah tanpa atau sangat sedikit angin, es, tanah longsor serta pengaruh faktor geologi lainnya
membawa butiran tanah, karena struktur tanah masih kompak atau gabungan faktor-faktor tersebut. Meskipun erosi dapat
dan terlindungi bahan organik. Run off menuju selokan kecil, disebabkan oleh alam (natural erosion), namun erosi yang
parit-parit kecil dan bermuara pada anak sungai, menyatu disebabkan manusia terjadi lebih cepat (accelerated erosion).
dengan pancaran air yang keluar dari mata air. Air sungai yang Dampak erosi disamping dapat menurunkan kesuburan tanah,
bening berkilau mengalir ke daerah yang lebih rendah, juga meningkatkan sedimentasi dan pendangkalan sungai serta
memenuhi kebutuhan makhluk hidup akan air yang berada di menciptakan lahan kritis yang sangat luas. Padang alang-alang
daerah upper stream, middle stream dan down stream. Selama dan hamparan semak belukar telah mewarnai mosaik lanskap
hamparan hutan tropis masih terjaga dengan baik, maka air hampir di semua daerah di Indonesia. Di Provinsi Kalimantan
sungai akan senantiasa jernih dengan fluktuasi yang sangat Selatan, luas lahan kritis telah mencapai 600.000 ha dan setiap
rendah. tahun Pemda mengeluarkan Rp. 4 milyar untuk pengerukan
Kerusakan hutan tropis akibat illegal logging, perladangan sedimen dari sungai Barito demi menunjang pelayaran dari dan
berpindah, perambahan, kebakaran hutan dan konversi hutan menuju pelabuhan Trisaksi Banjarmasin.
telah menurunkan daya dukung lingkungan. Praktek Restorasi kawasan kritis merupakan tindakan yang sangat
pengusahaan hutan (IUPHHK) yang menggunakan peralatan mendesak untuk dilakukan. Kegiatan ini disamping dapat
berat (heavy machinery), tidak menerapkan Reduced Impact meningkatkan produktifitas lahan dan mengembalikan kawasan
Logging serta pelanggaran prinsip-prinsip pengelolaan hutan mendekati kondisi semula, juga bernilai sebagai penyerap dan
lestari juga dapat memicu kerusakan hutan tropis. Hutan yang penimbun karbon dari udara sehingga mengurangi efek rumah
telah rusak mengalami perubahan struktur dan fungsinya. kaca yang sangat ditakuti masyarakat dunia saat ini. Manfaat
Secara perlahan kawasan tersebut membentuk dinamika lain adalah menciptakan lapangan pekerjaan dan sumber
lanskap yang kurang baik bagi upaya konservasi lingkungan. penghidupan bagi masyarakat miskin di sekitar hutan (upland
Diperlukan upaya pengelolaan yang tepat dan benar untuk poor), memperbaiki tata air dalam kawasan, menambah ruang
mengembalikan stuktur dan fungsi hutan. hijau (greenery land) dan areal rekreasi (recreation area).
Kawasan yang telah rusak dan tidak memiliki penutupan Pada lahan yang sangat kritis, upaya restorasi dapat
vegetasi akan rentan erosi. Butir-butir air hujan membawa dilakukan menggunakan phytoremediation (bioremedi,
energi kinetik yang dapat menghancurkan struktur tanah, yang bioenzym dll) dan tanaman pionir seperti macaranga, trema,
tidak terlindungi, menjadi agregat kecil (splash erosion) yang malatus dan lain-lain. Prinsip dasar yang dipakai dalam upaya
mudah larut dan hanyut oleh aliran permukaan (sheet erosion) ini adalah mengusahakan agar unsur hara ada, tersedia,
serta menutup pori-pori tanah sehingga memperkecil seimbang dan kontinyu. Kehadiran mikroba (biodegradator),
kemampuan infiltrasinya. Aliran permukaan semakin besar yang diperlukan dalam proses dekomposisi, dipengharuhi oleh
membawa butir-butir tanah yang menimbulkan erosi alur (rill ketersediaan karbon dan asam amino. Tudung akar (root cap)
erosion), erosi parit dan erosi jurang (gully erosion). Erosi akan dapat mengeluarkan eksudat (multilarge) sehingga dapat
mengikis lapisan top soil yang kaya bahan organik, sehingga mengundang kehadiran mikroba (microbe). Mikroba ini dapat
kesuburan tanah menurun. Lapisan bahan induk yang mengeluarkan enzym yang dapat melapukkan batuan dan
mengandung Fe dan Al cenderung mengikat P dan asam merubah unsur hara menjadi tersedia. Pada lapisan akar
berikutnya terdapat rambut akar (root hair) yang berfungsi
menyerap air dan unsur hara tersedia. Mekanisme ini dapat
dimanfaatkan untuk melakukan restorasi lahan yang sangat Daftar Pustaka
kritis termasuk pada daerah berbatu.
Appanah SG, Weinland, Bossel H, Krieger H. 1990. Area tropical rain
forests non-renewable? An enquiry through modelling. Journal
of Tropical Forest Science 2(4) pp 331-348.
Fisher RF, Binkley. 2000. Ecology and Management of Forest Soil.
Third Edition. John Wiley & Sons, Inc., New York.
Halle F, Oldeman RAA, Tomlinson PB. 1978. Tropical Trees and
Forest, An Architectural Analysis. Springer Verlag Berlin-
Heidelberg-New York.
Kohyama T. 1993. Size Structured Tree Population in Gap Dynamic
Forest. The Forest Architecture Hypothesis for the Stable
Coexistance of Species. Journal of Ecology Vol 81 No.1. pp
131-143.
Lee R. 1990. Forest Hydrology. Gajah Mada University Press,
Yogyakarta.
MacKinnon K, Hatta G, Hakimah H, Arthur M. 2000. Ekologi
Kalimantan. Seri Ekologi Indonesia, Buku III. Canadian
International Development Agency (CIDA), Prenhallindo,
Jakarta.
Meyer HA, Recknagel AB, Stevenson DD, Barto RA. 1961. Forest
Management. The Ronald Press Company, New York.
Gambar 19. Tumbuhan pioner (Macaranga spp) selalu muncul Mori T. 2001. Rehabilitation of degraded forest in lowland forest Kutai,
di daerah terbuka pada hutan hujan tropis. Sukses East Kalimantan-Indonesia. In Kobayasi S, Trunbul JW, Toma T,
dimulai kembali pasca kerusakan (Foto: Wahyudi, Mori T, Madjid MNNA, editors. Rehabilitation of Degraded
2011). Tropical Forest Ecosytems. CIFOR-Bogor. Pp. 17-26.
Muller-Dombois, Ellenberg H. 1974. Aims and Methods of Vegetation
Ecology. John Wiley and Sons, New York.
Diperlukan kebijakan yang kondusif dalam upaya restorasi Nyland RD. 1996. Silviculture. Concept and Applications. The
lahan kritis serta pengelolaan daerah aliran sungai (watershed) McGraw-Hill Companies, Inc. New York-Toronto.
yang komprehensip, terpadu, terintegrasi dan bermanfaat bagi Sabogal C, Robert N. 2003. Restoring Overlogged Tropical Forest.
kesejahteraan masyarakat di sekitarnya. Hutan tropis Green Earth Technical Notes. Un-published.
merupakan kawasan hijau raksasa (mega greenery land) dan Stuckle IC, Siregar CA, Supriyanto, Kartana J. 2001. Forest Health
kaya keanekaragaman jenis (biodiversity) berfungsi sebagai Monitoring to Monitor the Sustainability of Indonesian Tropical
penyangga lingkungan (environment stability) di biosfir, harus Rain Forest. ITTO and Seameo Biotrop.
dipulihkan dan dijaga kelestariannya untuk menjamin Wahyudi. 2009. Selective cutting and line enrichment planting
kelangsungan hidup dan meningkatkan kesejahteraan manusia. silvicultural system development on Indonesian tropical rain
forest. In: GAFORN-International Summer School, Georg-
August Universität Göttingen and Universität Dresden,
Germany.
Whitmore TC. 1975. Tropical Rain Forest of the Far East. Clarendon
Press, Oxford.
BAB VI. 1993). Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 200/Kpts-II/1994
EVALUASI STRUKTUR DAN KOMPOSISI VEGETASI mengisyaratkan kriteria hutan alam produksi yang produktif,
PADA LOGGED OVER FOREST SISTEM SILVIKULTUR yaitu mempunyai minimal 25, 75, 240 dan 1000 batang per ha
TEBANG PILIH TANAM JALUR DI PT. GUNUNG MERANTI masing-masing untuk tingkat pohon, tiang, pancang dan semai
serta 10 pohon induk/ha.
(Evaluating Structure and Composition of Vegetation in the Pengelolaan hutan pada jalur antara sistem TPTJ mirip
Logged Over Forest with Selective Cutting and Strips Planting dengan pengelolaan hutan pada sistem TPTI yang telah
Silvicultural System in PT Gunung Meranti) diterapkan sejak tahun 1989 sampai sekarang (Ditjen PH 1989,
Ditjen BPK 2009). Namun banyak pihak yang meragukan
Wahyudi kelestarian struktur dan komposisi tegakan tinggal pada jalur
Fakultas Pertanian, Jurusan Kehutanan, Universitas Palangka antara pada sistem TPTJ karena hanya menyisakan lebar 17 m
Raya secara berselang-seling dengan jalur tanam yang ditebang
Email: wahyudi.36@pnsmail.go.id habis selebar 3 m. Apakah sistem pengelolaan hutan gabungan
semacam ini tidak merusak keberadaan tegakan tinggal sebagai
representasi dari hutan alam campuran (all aged stand forest)
PENDAHULUAN pada jalur antara?

Latar Belakang Tujuan

Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanama Jalur (TPTJ) mulai Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi struktur dan
diterapkan secara luas pada hutan alam produksi Indonesia komposisi vegetasi (tegakan tinggal) pada hutan alam bekas
sejak tahun 2005 berdasarkan Surat keputusan Dirjen Bina tebangan menggunakan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam
Produksi Kehutanan No. SK.226/VI-BPHA/2005 dan peraturan Jalur. Penelitian ini sangat diperlukan untuk menjawab
Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No. keraguan sebagian kalangan tentang kelestarian hutan alam
P.9/VI/BPHH/2009 tentang Pedoman Pelaksanaan Sistem pada sistem silvikultur TPTJ.
Silvikultur dalam IUPHHK Hutan Produksi (Ditjen BPK 2005,
2009). Sistem TPTJ mengadopsi dua model pengelolaan hutan
dalam satu kesatuan ekosistem, yaitu sistem tebang pilih pada METODOLOGI
jalur antara yang merupakan model polycyclic system dan
sistem tebang habis (clear cutting) pada jalur tanam yang Waktu dan Tempat
masuk dalam model monocyclic system.
Salah satu syarat kelayakan penerapan sistem tebang pilih Penelitian dilakukan bulan Februari sampai Maret 2013
(selective cutting) adalah masih terjaganya struktur dan pada hutan alam bekas tebangan menggunakan sistem
komposisi tegakan tinggal (residual trees) pada areal bekas silvikultur TPTJ pada petak tebang nomor AJ26 dengan
tebangan (logged over forest). Pada sistem Tebang Pilih koordinat titik tengah 113°55’23” BT dan 0°40’06” LS, di areal
Tanam Indonesia (TPTI) disyaratkan mempunyai struktur dan kerja IUPHHK-HA PT Gunung Meranti, Kabupaten Kapuas,
komposisi pada areal bekas tebangan untuk tingkat pohon, Provinsi Kalimantan Tengah.
tiang, pancang dan semai masing-masing sebanyak 1, 2, 4 dan
8 batang pada setiap petak ukur masing-masing (Ditjen PH
relatif (DR) (Goldsmith et al., 1986; Soerianegara dan
Pengambilan Data Indrawan 2005), dimana:
- Kerapatan suatu jenis =
Pengukuran tegakan tinggal dilakukan pada jalur antara (Jumlah individu per jenis : Luas plot contoh)
dalam petak ukur masing-masing. Petak ukur tingkat semai - Kerapatan relatif =
(tinggi dibawah 1,5 m) berukuran 2 mx 2m, tingkat pancang (Kerapatan suatu jenis : Kerapatan semua jenis) x 100%
(tinggi>1,5 m dan Φ < 10 cm) berukuran 5 mx 5m, tingkat tiang - Frekwensi suatu jenis =
(10 cm ≤ Φ< 20 cm) dan tingkat pohon (Φ ≥ 20 cm) masing- (Jumlah petak ditemukan jenis : Jumlah seluruh petak)
masing berukuran 17 m x 20 m. Pengukuran tingkat semai dan - Frekwensi relatif =
pancang dilakukan terhadap jenis dan jumlah batang sedangkan (Frekwensi suatu jenis :Frekwensi seluruh jenis) x 100%
pada tingkat tiang dan pohon dilakukan terhadap jenis, diameter - Dominasi suatu jenis =
(cm) dan tinggi (m) pohon. (Luas bidang dasar jenis : Luas plot contoh)
Pembagian kelompok pohon dilakukan menjadi tiga bagian, - Dominasi relatif =
yaitu kelompok meranti, dipterocarp non meranti dan komersial (Dominasi suatu jenis : Dominasi seluruh jenis) x 100%
lain (selain dipterocarp). b Keanekaragaman jenis (H’) dihitung menggunakan
pendekatan indek Shannon-Weiner (Krebs 1972 dalam
Pamoengkas 2006) sebagai berikut:

Jalur antara
s ni
H’ = - ∑ (pi.ln.pi) dan pi = -----
500 m
i=1 N
Jakur tanam
dimana: ni= Jumlah individu jenis ke-i
N= Jumlah individu seluruh jenis
PU pohon dan tiang
S= Jumlah jenis
PU pancang
PU semai Kriteria keanekaragaman jenis adalah tinggi bila H’>3,5;
17 m 17 m 17 m 17 m
sedang bila H’=1,5-3,5 dan rendah bila H’< 1,5.
3m 3m 3m 3m 3m 3m
Sub plot 1 (L=0-15%) Sub plot 2 (L=15-30%)

Gambar 20. Posisi jalur antara, tempat pengambilan data c Indek kekayaan jenis (R1) dapat menggambarkan
struktur dan komposisi floristik tegakan hutan kelimpahan jenis dalam suatu komunitas yang ditentukan
melalui persamaan:

Analisis Vegetasi

a Indek nilai penting (INP) merupakan perpaduan dari


kerapatan relatif (KR), frekwensi relatif (FR) dan dominasi
S-1
R1 = ------- Tabel 2. Indek nilai penting kelompok jenis pada kelerengan
Ln(N) datar-landai dan agak curam-curam
dimana: R1= Indek Margallef; S= jumlah jenis; Tingkat Kelompok Jenis Kelerengan datar-landai Kelerengan agak curam-curam
N= jumlah semua individu KR (%) FR (%) FR (%) INP (%) KR (%) FR (%) FR (%) INP (%)
Meranti 40,588 19,101 59,689 34,6491 23,6364 58,285
Kriteria kekayaan jenis adalah tinggi bila R1 > 5,0; Semai Dipt.non meranti 5,294 12,360 17,654 0,8772 3,6364 4,514
sedang bila R1= 3,5-5,0 dan rendah bila R1< 3,5. Komersial lain 54,118 68,539 122,657 64,4737 72,7273 137,201
Meranti 35,019 17,582 52,602 9,226 19,697 28,923

d Grafik distribusi diameter tegakan tinggal yang menyerupai


Pancang Dipt.non meranti 9,339 9,890 19,229 8,333 7,576 15,909
huruf J terbalik menunjukkan pola distribusi hutan semua Komersial lain 55,642 72,527 128,169 82,440 72,727 155,168
umur (all aged stand forest) yang baik. Grafik ini Meranti 45,669 21,538 44,747 111,955 56,1151 31,9444 56,4938 144,5534
membentuk pola persamaan eksponensial seperti Tiang Dipt.non meranti 19,685 23,077 20,738 63,500 10,7914 18,0556 9,8648 38,7118
diungkapkan oleh Bettinger et.al. (2009) dan Meyer et.al.
(1961) melalui persamaan: N=No e-cDBH , dimana N: Komersial lain 34,646 55,385 34,515 124,545 33,0935 50,0000 33,6413 116,7349
kerapatan (phn/ha); No,k: konstanta; e:eksponensial, D: Meranti 49,268 30,172 59,883 139,323 57,792 39,024 64,732 161,549
kelas Φ setinggi dada (cm). Pohon Dipt.non meranti 12,195 16,379 10,385 38,960 9,740 12,195 7,693 29,628
Komersial lain 38,537 53,448 29,732 121,717 32,468 48,780 27,575 108,823
Indek Nilai Penting Sumber: Data yang diolah

Hasil perhitungan indek nilai penting (INP) kelompok jenis Menurut Indrawan (2000), pada tingkat semai, Shorea
pada sub plot 1 (areal dengan kelerengan datar-landai) serta lamellata dan Shorea parvifolia mendominasi hutan primer
sub plot 2 (areal dengan kelerengan agak curam-curam) maupun sekunder di PT Ratah Timber Co, Kalimantan Timur,
disajikan dalam Tabel 2. yang menunjukan bahwa kelompok dan kedua jenis tersebut termasuk dalam kelompok meranti.
pohon meranti mendominasi pada tingkat pohon dengan nilai Pada tingkat pancang, Shorea lamellata dan Shorea parvifolia
INP pada kelerengan datar-landai dan agak curam masing yang mendominasi hutan dan kedua jenis inipun masuk dalam
masing sebesar 139,32% dan 161,73% menyusul kelompok kelompok meranti. Pada tingkat tiang, Shorea lamellata, Shorea
komersial lain dan dipterocarp non meranti. Pada tingkat tiang, bracteolata dan Arthocarpus elasticus mendominasi hutan dan
kelompok meranti masih mendominasi pada kelerengan agak dua jenis pertama termasuk kelompok meranti sementara jenis
curam-curam dengan nilai INP sebesar 144,55% namun ketiga termasuk kelompok komersial lain. Kedua kelompok
kelompok komersial lain mendominasi pada kelerengan datar- jenis ini juga mendominasi areal hutan pada plot penelitian
landai 124,55%. Pada tingkat semai dan pancang kelompok tingkat tiang. Pada tingkat pohon, Shorea lamellata, Shorea
jenis komersial lain paling dominan, menyusul kelompok meranti bracteolata, Shorea macrophylla dan Dipterocarpus gaertner
dan dipterocarp non meranti. mendominasi hutan. Ketiga jenis pertama termasuk kelompok
meranti namun jenis keempat termasuk kelompok dipterocarp datar-sedang mempunyai jumlah jenis (keragaman α) yang lebih
non meranti. Kelompok komersial lain yang mendominasi tingkat tinggi, yaitu 33 jenis, dibanding areal dengan kelerengan agak
pohon adalah Daphiniphillum sp dan Arthocarpus elasticus. curam-curam, sebesar 22 jenis, meskipun jumlah individunya
Hutan hujan tropis di Kalimantan mengandung 10.000- lebih besar.
15.000 jenis tumbuhan berbunga dan 3.000 jenis diantaranya Keanekaragaman jenis tingkat pancang pada kelerengan
termasuk jenis pohon termasuk 267 jenis dari famili datar-landai dan agak curam-curam berada pada tingkat sedang
Dipterocarpaceae (McKinnon et al. 2000). Dalam praktek dengan nilai H’ masing-masing sebesar 2,78 dan 2,77. Indek
pengelolaan hutan jenis pohon sering dipisahkan menjadi kekayaan jenis (R1) tingkat pancang pada kelerengan datar-
beberapa kelompok, seperti kelompok meranti, dipterocarp non sedang dan agak curam-curam tergolong sedang, masing-
meranti dan komersial lain (Balitbanghut 2008, Rombe 1982, masing sebesar 4,69 dan 3,93.
Wahyudi dan Matthew 1996) atau kelompok komersial ditebang, Keanekaragaman jenis tingkat tiang pada kelerengan datar-
komersial tidak ditebang dan jenis lain (Indrawan 2000) atau landai dan agak curam-curam berada pada tingkat sedang
kelompok dipterocarp, non dipterocarp dan non komersial dengan nilai H’ masing-masing sebesar 2,75 dan 2,25. Indek
(Pamoengkas 2006). Analisis vegetasi tingkat semai, pancang, kekayaan jenis (R1) tingkat tiang pada kelerengan datar-sedang
tiang dan pohon pada kelompok jenis meranti, dipterocarp non sebesar 6,68 atau berada dalam kisaran tinggi sedangkan pada
meranti dan komersial lain diperlukan untuk mempermudah kelerengan agak curam-curam tergolong sedang, dengan nilai
menganalisis struktur dan komposisi vegetasi berdasarkan 4,26. Kenyataan tersebut didukung dengan jumlah jenis, jumlah
kelompok jenisnya. individu dan luas bidang dasar yang lebih besar pada
kelerengan datar-landai. Jumlah jenis (keragaman αs) ebesar
Keanekaragaman dan Kekayaan Jenis 38 jenis, sementara itu pada kelerengan agak curam-curam
hanya 22 jenis.
Indek keanekaragaman jenis (H’) dapat menunjukkan Keanekaragaman jenis tingkat pohon pada kelerengan
tingkat keanekaragaman vegetasi pada suatu komunitas hutan. datar-landai maupun agak curam-curam berada pada tingkat
Makin tinggi nilai H’ maka semakin banyak vegetasi yang sedang dengan nilai H’ masing-masing sebesar 2,83 dan 2,41.
menyusun komunitas hutan. Berdasarkan hasil analisis Indek kekayaan jenis pohon (R1) tingkat pohon pada
vegetasi tingkat semai diketahui bahwa keanekaragaman jenis kelerengan datar-sedang dan kelerengan agak curam-curam
pada lokasi penelitian, baik pada kelerengan datar-landai tergolong tinggi, masing-masing sebesar 6,95 dan 5,16 dengan
maupun agak curam-curam, berada pada tingkat sedang jumlah jenis masing-masing 38 jenis dan 27 jenis.
dengan nilai H’ masing-masing sebesar 2,93 dan 2,44. Nilai keanekaragaman dan kekayaan jenis dapat
Indek kekayaan jenis (richness) (R1) dapat mempengaruhi menunjukkan kondisi hutan (Magurran 1988, Soerianegara dan
tingkat keanekaragaman jenis. Nilai R1 dapat menunjukkan Indrawan 2005). Dalam penelitian ini semua nilai menunjukkan
kekayaan jenis pada suatu komunitas hutan, yang kisaran sedang sampai tinggi sehingga dapat disimpulkan
keberadaannya dipengaruhi oleh banyaknya jenis dan jumlah bahwa kondisi hutan pada jalur antara sistem TPTJ, baik
individu yang terdapat dalam komunitas tersebut. Berdasarkan kualitas maupun kuantitas vegetasi penyusunnya, masih terjaga
hasil analisis vegetasi pada lokasi penelitian, dapat diketahui dengan baik dan masih menyerupai struktur hutam alam
bahwa pada areal dengan kelerengan datar-sedang mempunyai campuran (all aged stand forest).
nilai R1 yang tinggi, yaitu sebesar 6,23 sedangkan pada
kelerengan agak curam-curam mempunyai nilai R1 sedang,
yaitu sebesar 4,05. Dengan demikian areal dengan kelerengan
b Mempunyai permudaan tiang minimal 2 batang/PU (2x100
Evaluasi Kerapatan Jenis PU=200 btg/ha) atau
c Mempunyai permudaan pancang minimal 4 batang/PU
Kerapatan kelompok jenis adalah jumlah jenis per ha yang (4x400 PU)=1600 btg/ha
terdapat dalam kelompok jenis tersebut sesuai dengan tingkat d Mempunyai permudaan semai minimal 8 batang/PU (8x2500
pertumbuhannya (semai, pancang, tiang, pohon). Data ini PU)=20.000 btg/ha
diperlukan untuk mengetahui kondisi hutan (produktif atau tidak
produktif, layak diperkaya atau tidak dan lain-lain) serta Tabel 2. Kerapatan tingkat semai, pancang, tiang dan pohon
menentukan kebijakan yang akan dilakukan sehubungan pada jalur antara (Et+0) di lokasi penelitian dan
dengan kondisi hutan tersebut. beberapa tempat lain.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor
200/Kpts-II/1994 bahwa kriteria hutan produksi alam yang tidak Tingkat Kelompok Jenis PT Gunung Meranti (Btg/ha) PT Ratah TCPT SBK Kepmenhut Dirjen PH
produktif adalah:
Datar-landai Ac-curam Rata-rata Btg/ha* Btg/ha** No.200 (Btg/ha) No.151 (Btg/ha)
a Pohon inti yang berdiameter minimum 20 cm kurang dari 25
pohon/ha Meranti 8.214 9.875
b Pohon induk kurang dari 10 pohon/ha Semai Dipt.non meranti 1.071 250 24.369 23.966 19.312 1000 20.000
c Permudaan alam kurang, yaitu: Komersial lain 10.952 18.375
a Permudaan tingkat semai kurang dari 1.000 batang/ha
b Permudaan tingkat pancang kurang 240 batang/ha Meranti 1.714 620
c Permudaan tingkat tiang kurang dari 75 batang/ha. Pancang Dipt.non meranti 457 560 5.808 3.546 2.260 240 1.600
Menurut Prof. Andry Indrawan (Wawancara), perhitungan Komersial lain 2.724 5.540
tersebut didasarkan pada jumlah petak ukur (PU) per ha sesuai
tingkat pertumbuhan dikalikan dengan 100%, 75%, 60% dan
Meranti 116 82
40% masing-masing untuk tingkat pohon, tiang, pancang dan Tiang Dipt.non meranti 50 16 200 193 377 75 200
semai, sebagai berikut: Komersial lain 88 48
a Tingkat pohon = (10.000 m2/400 m2) x 100% = 25 Meranti 101 93
(batang/ha)
b Tingkat tiang = (10.000 m2/100 m2) x 75% = 75 Pohon Dipt.non meranti 25 16 183 126 188 25 25
(batang/ha) Komersial lain 79 53
c Tingkat pancang = (10.000 m2/ 25 m2) x 60% = Catatan: *) Terdiri dari kelompok komersial ditebang, komersial tidak ditebang dan jenis lain (Indrawan, 2000)
240 (batang/ha) **) Terdiri dari kelompok dipterocarp, non dipterocarp dan non komersial (Pamoengkas, 2006)
d Tingkat semai = (10.000 m2/ 4 m2) x 40% =
1.000 (batang/ha) Berdasarkan hasil analisis vegetasi dapat diketahui bahwa
Berdasarkan SK Dirjen Pengusahaan Hutan Nomor kerapatan pohon pada lokasi penelitian lebih dari yang
151/Kpts/IV-BPHH/1993 bahwa areal bekas tebangan pada dipersyaratkan. Tabel 2 menunjukkan tingkat kerapatan
IUPHHK tidak perlu diperkaya (enrichment planting) apabila vegetasi hutan di lokasi penelitian dengan perbandingan data
memenuhi persyarakatan sebagai berikut: serupa di PT Ratah Timber Co. (Indrawan 2000), PT Sari Bumi
a Mempunyai pohon inti minimal 1 batang/PU (1x25 PU= 25 Kusuma (Pamoengkas 2006) serta ketentuan dari Departemen
btg/ha) atau Kehutanan.
Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa tegakan tinggal kerapatannya. Pola persamaan J terbalik yang terbentuk dalam
tingkat semai, pancang, tiang dan pohon di jalur antara sistem penelitian ini menandakan bahwa struktur hutan alam campuran
TPTJ di PT Gunung Meranti masih mempunyai kerapatan (all aged stand forest) pada jalur antara sistem TPTJ masih
vegetasi yang baik apabila diukur dari standar Departmen terjaga dengan baik.
Kehutanan, bahkan masih relatif sama dengan kerapatan pada
hutan bekas tebangan (Et+0) sistem TPTI di PT Ratah Timber
Co dan PT Sari Bumi Kusuma. Dengan demikian dapat 30000
disimpulkan bahwa sistem jalur antara pada TPTJ masih dapat
mempertahankan kerapatan vegetasi dan menjaga kondisi alam 25000
campuran.

Jumlah pohon (N/ha)


20000
Distribusi Diameter
15000
Kerapatan tingkat semai (mencerminkan pohon-pohon
berdiameter paling kecil) adalah yang paling tinggi menyusul 10000
kerapatan tingkat pancang (mencerminkan pohon-pohon
berdiameter kurang dari 10 cm), kerapatan tiang (mencerminkan 5000
pohon-pohon berdiameter 10 cm -19,9 cm) dan kerapatan
pohon (mencerminkan pohon-pohon berdiameter 20 cm ke atas) 0
sehingga membentuk grafik yang menyerupai huruf J terbalik. Semai Pancang Tiang Pohon
Pola grafik J terbalik ketiga kelompok pohon pada penelitian Kepmenhut No.200 Dirjen PH No.151 Datar-landai Agak curam-curam
ini ditunjukkan oleh persamaan sebagai berikut:

Kel meranti : N =193,59e-0,0551DBH 2


……… R = 0,9630 Gambar 21. Perbandingan penyebaran pohon dengan indikator
-0,0674DBH 2 kerapatan tingkat semai, pancang, tiang dan pohon
Kel dipt non meranti : N =90,055e ……… R = 0,8903
Kel kom lain : N =27,091e-0,0523DBH 2
……… R = 0,8023 Sistem TPTJ disamping dapat meningkatkan produktifitas
hutan melalui tanaman yang dikembangkan dalam jalur tanam
Persamaan yang mendukung pola J terbalik pada ketiga (Ditjen BPK 2005, Wahyudi 2009) juga dapat menjaga
kelompok pohon tersebut cukup menyakinkan karena nilai kelestarian hutan alam melalui jalur antara. Dengan demikian
koefisien determinai cukup tinggi, berkisar antara 80,23% sistem ini dapat direkomendasikan untuk diterapkan pada
sampai 96,3%. Pola semacam ini sejalan dengan pendapat pengelolaan hutan alam produksi di Indonesia.
Bettinger et al. (2009), Davis dan Johnson (1987) dan Meyer et
al. (1961) yang menyatakan bahwa pola penyebaran diameter
pada hutan alam campuran menyerupai J terbalik dengan
persamaan eksponensial q=qo.e-cDBH. Persamaan tersebut
mengandung komponen negatif pada diameter (DBH) yang
berarti semakin besar diameter pohon maka semakin kecil
P.9/VI/BPHH/2009 tentang Pedoman Pelaksanaan Sistem
KESIMPULAN Silvikultur dalam IUPHHK Hutan Produksi. Ditjen Bina Produksi
Kehutanan, Jakarta.
a. Struktur dan komposisi tegakan tinggal pada jalur antara Goldsmith FB, Harrison CM, Morton AJ. 1986. Description and
analysis of vegetation. Di Dalam: Moore PD, Chapman SB.
sistem TPTJ masih terjaga dengan baik. Kelompok pohon
Editor. Methods in Plant Ecology. Oxford: Blackwell Scientific
meranti mendominasi tingkat pohon dan tiang namun pada Publications.
tingkat semai dan pancang didominasi kelompok komersial Indrawan A. 2000. Perkembangan Suksesi Tegakan Hutan Alam
lain. Setelah Penebangan dalam Sistem Tebang Pilih Tanam
b. Keanekaragaman jenis sedang dan kekayaan jenis berkisar Indonesia (Disertasi). Bogor: Program Pascasarjana, IPB.
antara sedang dan tinggi MacKinnon K, Hatta G, Hakimah H, Arthur M. 2000. Ekologi
c. Tingkat kerapatan vegetasi pada jalur antara masih terjaga Kalimantan. Seri Ekologi Indonesia, Buku III. Canadian
dengan baik dan berada di atas standar yang ditetapkan International Development Agency (CIDA), Prenhallindo,
Departemen Kehutanan. Jakarta.
d. Kondisi hutan pada jalur antara sistem TPTJ masih Magurran AE. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement.
Chapman and Hall. London. 179pp.
menyerupai kondisi hutan alam campuran (all aged stand
Meyer HA, Recknagel AB, Stevenson DD, Barto RA. 1961. Forest
forest) dengan distribusi diameter tegakan tinggal Management. The Ronald Press Company, New York.
menyerupai huruf J terbalik. Pamoengkas P. 2006. Kajian Aspek Vegetasi dan Kualitas Tanah
Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur. Studi Kasus di
DAFTAR PUSTAKA Areal PT Sari Bumi Kusuma, Kalimantan Tengah (Disertasi).
Bogor: Program Pascasarjana IPB.
[Balitbanghut] Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. 2008. Rombe YL, Rahardjo S, Soedarsono, Ambarita M. 1982. Tabel
Profil Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Volume Pohon Berdiri untuk Provinsi Kalimantan Tengah.
Konservasi Alam. Balitbanghut, Departemen Kehutanan, Bogor. Direktorat Bina Program Kehutanan, Direktorat Jenderal
Bettinger P, Boston K, Siry JP, Grebner DL. 2009. Forest Kehutanan, Departemen Pertanian RI, Bogor.
Management and Planning. Academic Press – Elsevier. Soerianegara I, Indrawan A. 2005. Ekologi Hutan. Institut Pertanian
Davis LS, Johnson KN. 1987. Forest Management, 3 rd ed. McGraw- Bogor, Bogor.
Hill, NY.790 p Wahyudi. 2009. Selective cutting and line enrichment planting
[Ditjen PH] Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan. 1989. Surat silvicultural system development on Indonesian tropical rain
Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan forest. In: GAFORN-International Summer School, Geor-August
No.564/Kpts/IV-BPHH/1989 tentang Pedoman Tebang Pilih Universität Göttingen and Universität Dresden, Germany.
Tanam Indonesia. Ditjen Pengusahaan Hutan, Jakarta. Wahyudi, Matthews P. 1996. Tabel Volume Lokal di Areal PT Gunung
[Ditjen PH] Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan. 1993. Surat Meranti. Proyek Pembentukan KPHP Wilayah Kalimantan
Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan Tengah. Kerja sama Departemen Kehutanan RI dengan
No.151/Kpts/IV-BPHH/1993 tentang Pedoman Tebang Pilih Overseas Development Administration (ODA) Kerajaan Inggris.
Tanam Indonesia (Revisi). Ditjen Pengusahaan Hutan, Jakarta.
[Ditjen BPK] Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. 2005.
Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor
SK.226/VI-BPHA/2005 Tentang Pedoman Tebang Pilih Tanam
Indonesia Intensif (Silin). Departemen Kehutanan, Jakarta.
[Ditjen BPK] Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. 2009.
Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No.
BAB VII. menjamin kelestarian produksi kayu atau hasil hutan lainnya.
PERKEMBANGAN SISTEM SILVIKULTUR DI HUTAN ALAM Sedangkan menurut Mattews (1992) dalam Mansur (2008)
PRODUKSI INDONESIA sistem silvikultur merupakan proses pemeliharaan, pemanenan
(Silvicultural System Development in Indonesia Production dan penggantian dengan tanaman baru sehingga menghasilkan
Natural Forest) tegakan dengan bentuk yang berbeda. Pada hutan alam
produksi sistem silvikultur dimulai dari kegiatan pemanenan
Oleh: sedangkan pada hutan tanaman dimulai dari kegiatan
pembibitan dan perawatan tanaman. Dengan demikian definisi
Dr. Wahyudi sistem silvikultur dapat berbeda-beda, namun semuanya
Pakar Silvikultur, Universitas Palangka Raya mengandung tiga komponen utama, yaitu permudaan
Kep. Dirjen BUK No. SK.38/VI-BUHA/2012 Tanggal 15 Juni (regeneration), pemeliharaan (tending) dan pemanenan
2012 (harvesting/removing) (Mansur, 2008).
HP: 0815 2156 0387, E-mail: isanautama@yahoo.com Sistem silvikultur yang diterapkan dalam unit manajemen
dapat dibedakan berdasarkan umur tegakan maupun sistem
Untuk: penebangan. Berdasarkan umur tegakan terdiri dari sistem
silvikultur untuk tegakan seumur (even-aged stands) seperti
Kementerian Kehutanan THPA dan THPB, sistem silvikultur untuk tegakan beberapa
Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan umur (uneven-aged stands) dan tegakan semua umur (all-aged
Direktur Bina Usaha Hutan Alam stands) seperti tebang pilih individu (TPI, TPTI, Bina Pilih),
kelompok melingkar (tebang rumpang) dan kelompok dalam
jalur (TPTJ dan TPTII). Berdasarkan sistem penebangan pohon
terdiri dari sistem silvikultur tebang pilih (selective cutting) dan
PENGERTIAN SISTEM SILVIKULTUR sistem tebang habis (clear cutting).
Menurut Manan (1995) dalam Indrawan (2008), sistem
silvukultur dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu:
Silvikultur adalah seni dan ilmu membangun dan memelihara a. Polycyclic system, yaitu jumlah penebangan (siklus tebang)
hutan dengan menerapkan ilmu silvika untuk memperoleh yang lebih dari satu kali selama rotasi. Sistem TPI dan TPTI
manfaat optimal. Menurut PP Nomor 6 tahun 2007 tentang Tata termasuk polycyclic system karena menggunakan dua kali
Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta siklus tebang (2x35 tahun) selama rotasi 70 tahun
Pemanfaatan Hutan, sistem silvikultur adalah sistem budidaya b. Monocyclic system, yaitu jumlah penebangan (siklus tebang)
hutan mulai dari memilih benih atau bibit, menyemai, menanam, yang hanya sekali selama rotasi, seperti sistem THPA dan
memelihara tanaman dan memanen. Didalam sistem silvikultur THPB.
terdapat pengaturan mengenai kelas diameter atau kelas umur, Setelah berjalan lebih dari 20 tahun, banyak hutan alam
riap, kegiatan penanaman/ pengayaan (enrichment planting), produksi yang mengalami fragmentasi (Indrawan, 2008).
pemangkasan (pruning), penjarangan (thinning), siklus tebang, Lanskap hutan hujan tropis telah membentuk mosaik (Pasaribu,
rotasi tebang serta informasi silvikultur jenis (Pasaribu 2008). 2008; Suhendang, 2008) yang terdiri dari hutan primer, hutan
Menurut Dirjen PH (1993) sistem silvikultur adalah rangkaian sekunder, hutan rawang, hutan bekas penebangan liar, hutan
kegiatan berencana mengenani pengelolan hutan yang meliputi bekas kebakaran, semak belukar, padang alang-alang dan
penebangan, peremajaan, pemeliharaan tegakan hutan untuk tanah kosong. Pada kondisi seperti ini penerapan multi sistem
silvikultur menjadi keniscayaan agar setiap bagian hutan PERKEMBANGAN SISTEM SILVIKULTUR
mendapatkan perlakuan silvikultur yang sesuai dengan kondisi
hutannya. Sejarah perjalanan sistem silvikultur di Indonesia diawali dari
Menurut Indrawan (2008) multisistem silvikultur adalah Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 1970 (yang merupakan
sistem pengelolaan hutan produksi lestari yang terdiri dua atau penjabaran dari UU Nomor 5 tahun 1967 tentang Ketentuan
lebih sistem silvikultur yang diterapkan pada suatu unit Pokok Kehutanan, UU Nomor 1 tahun 1967 tentang Penanaman
manajemen dan merupakan multi usaha dengan tujuan Modal Asing dan UU Nomor 6 tahun 1968 tentang Penanaman
mempertahankan dan meningkatkan produksi kayu dan hasil Modal Dalam Negeri) yang menyebutkan bahwa hutan produksi
hutan lainnya serta dapat mempertahankan kepastian kawasan dapat diusahakan dalam bentuk Hak Pengusahaan Hutan.
hutan produksi. Sistem silvikultur yang dipakai dalam mengelola hutan alam
Suhendang (2008) menulis bahwa sistem silvikultur menurut produksi adalah Tebang Pilih Indonesia (TPI) berdasarkan Surat
Society of American Forester tahun 1998 adalah rangkaian Keputusan Dirjen Kehutanan Nomor 35/Kpts/DD/I/1972 tanggal
perlakuan terencana terdiri dari kegiatan pemeliharaan, 13 Maret 1972. Namun sistem ini mempunyai kelemahan pada
pemanenan dan pembangunan kembali tegakan. Skema ketidakpastian besaran limit diameter serta jumlah pohon inti
penerapan sistem silvikultur ada dua macam yaitu sistem yang harus ditinggalkan per ha.
silvikultur tunggal (single silvicultural system) dan sistem Pada tahun 1980, Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi
silvikultur jamak (multiple silvicultural system). Lahan melakukan revisi terhadap ketentuan limit diameter dan
Teknik silvikultur adalah upaya mengintegrasikan atribut jumlah pohon inti menjadi Ø ≥ 25 cm sebanyak 25 pohon per ha
ekologi, ekonomi, sosial dan administrasi menjadi pendekatan serta menambah ketentuan yang disesuaikan dengan kondisi
yang bulat dalam rangka mengelola dan memanfaatkan sumber hutan eboni campuran dan ramin campuran. Pada tahun 1987
daya hutan untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang dan dibentuk tim materi diskusi penyempurnaan pedoman TPI dari
akan datang tanpa mengurangi kemampuan fungsi hutan Badan Litbang Kehutanan, Fakultas Kehutanan IPB dan
(Soekotjo, 2009). Teknik silvikultur dapat digolongkan menjadi Fakultas Kehutanan UGM.
tiga yaitu: Pergantian sistem TPI menjadi Tebang Pilih Tanam
a. Teknik pengendalian struktur, komposisi, kerapatan, Indonesia (TPTI) dilakukan berdasarkan Surat Keputusan
pertumbuhan dan rotasi serta kombinasi antara spesies Menteri Kehutanan Nomor 485/Kpts/II/1989 yang dijabarkan
(genetik), manipulasi lingkungan dan pengendalian hama dalam Keputusan Dirjen Pengusahaan Hutan Nomor
terpadu (integrated pest management). Teknik 564/Kpts/IV-BPHH/1989 tentang Pedoman Tebang Pilih Tanam
pengendalian ini diterapkan dalam TPTI Intensif. Indonesia. Alasan pergantian ini antara lain untuk
b. Teknik perlindungan tempat tumbuh (agar permukaan tanah menyeimbangkan porsi kegitan pemungutan hasil (yang lebih
selalu tertutup vegetasi sehingga stabil dan terjaga menonjol pada sistem TPI) dengan kegiatan pembinaan hutan
kesuburannya) dan pohon (dari hama, penyakit dan agar tercapai kelestarian hutan (Ditjen BPK 2005).
kerusakan mekanis) Pada tahun 1993 dilakukan revisi TPTI berdasarkan
c. Teknik pelayanan eksploitasi, pengelolaan dan Keputusan Dirjen Pengusahaan Hutan Nomor 151/Kpts/IV-
pemanfaatan. BPHH/1993 yang memisahkan organisasi pembinaan hutan
dengan pemungutan hasil (produksi), alokasi anggaran kegiatan
pembinaan hutan yang memadai serta pergeseran beberapa
tahapan kegiatan pembinaan hutan.
Sistem tebang pilih (TPI maupun TPTI) masih mempunyai lahan berupa areal terbuka, hutan alam kurang produktif dan
beberapa kelemahan antara lain sulit mengontrol hasil kegiatan yang masih produktif . Upaya optimalisasi pengelolaan
pembinaan hutan, terutama hasil penanaman/pengayaan kawasan hutan yang berbentuk mosaik adalah penerapan
(enrichment/planting). Sistem ini juga tidak sesuai diterapkan multisistem silvikultur (Indrawan 2008; Santoso et al. 2008).
pada hutan alam Duabanga moluccana di Nusa Tenggara Barat Menurut Pasaribu (2008) kondisi areal hutan produksi saat
dan Lophopetalum multinervium di Kalimantan Timur (Dirjen ini sudah tidak utuh lagi yang disebabkan penataan ruang untuk
BPK, 2005). Sistem TPTI dinilai kurang luwes dan bersifat kaku pembangunan non kehutanan, kebakaran hutan, perubahan
sehingga sangat sedikit bidang gerak bagi tenaga kehutanan di akibat ekses otonomi daerah serta pengaturan batas areal yang
lapangan (Suhendang, 2008). Menurut Santoso et al. (2008) mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
kelemahan sistem TPTI adalah: Terfragmentasinya areal hutan produksi (Suhendang, 2008),
a. Masih menggunakan asumsi riap 1 cm per tahun, padahal meningkatnya laju kerusakan hutan (Indrawan, 2008) serta
riap diameter pohon sangat bervariasi tergantung jenis rendahnya riap hutan bekas tebangan pada sistem TPTI (Ditjen
pohon dan kondisi tempat tumbuh BPK 2005, 2010) telah memicu munculnya beberapa sistem
b. Penetapan siklus tebang yang sama untuk setiap kondisi silvikultur alternatif.
tegakan hutan, yaitu 35 tahun. Seharusnya siklus tebang Menurut Suhendang (2008) paradikma baru pengelolan
ditentukan berdasarkan riap dan dinamika struktur tegakan hutan saat ini adalah pendekatan pada bentuk hutan alam
hutan (close to the natural forest). Menurut Mitlöhner (2009) close to
c. Penetapan etat volume berdasarkan volume tegakan nature forestry adalah upaya pengelolaan hutan alam dengan
tersedia (hasil survei) tanpa memperhitungkan riap tegakan. tetap mempertahankan lapisan strata hutan serta menjaga
Cara seperti ini hanya dapat dilakukan hutan primer namun kelestarian lingkungan, seperti iklim mikro, tanah, air dan
tidak bisa pada hutan sekunder. keanekaragaman jenis.
Menurut Wahjono dan Anwar (2008) sistem TPTI hanya Menurut Coates dan Philip (1997) penebangan hutan dengan
dapat diterapkan pada areal yang berhutan potensial saja, sistem celah (gap) lebih sesuai dengan kondisi hutan alam
sementara pada areal lain seperti hutan muda (potensi < 20 m3 karena menyerupai fenomena pohon atau kelompok pohon
per ha), semak belukar, padang alang-alang dan tanah kosong yang mati dalam hutan lalu terbentuk regenerasi alam yang
tidak bisa. Padahal kondisi hutan produksi saat ini sangat baik. Sistem gap termasuk sistem silvikultur untuk tegakan
bervariasi. Kelemahan lain sistem TPTI adalah rendahnya semua seumur (all-aged stands) dengan penebangan dalam
produktifitas hutan, yaitu kurang dari 1 m3 per ha per tahun kelompok pohon dalam bentuk gap melingkar (rumpang) atau
(Ditren BPK 2010). memanjang (strips). Menurut Pasaribu (2008) teknik silvikultur
Menurut Santoso et al. (2008) dengan meningkatnya laju tebang rumpang menunjukkan hasil yang baik pada kebun
degradasi hutan, rendahnya laju pembangunan hutan tanaman, percobaan Badan Litbang Kehutanan Kalimantan Selatan dan
masih rendahnya perekonomian masyarakat di sekitar hutan Kalimantan Timur, karena dalam rumpang telah terjadi
dan meningkatnya kawasan hutan produksi yang tidak dikelola regenerasi alam dan membentuk tegakan seumur berlapis
dengan baik menunjukkan bahwa kinerja pemegang IUPHHK seperti tegakan primer.
dengan menerapkan satu sistem silvikultur TPTI belum Penelitian sistem gap memanjang (strips) telah dilakukan
memenuhi prinsip pengelolaan hutan lestari. pada beberapa IUPHHK sejak tahun 1993 dengan nama sistem
Minimnya keberhasilan penerapan pengelolaan hutan lestari silvikultur Tebang Jalur Tanam Indonesia (TJTI) yang
menyebabkan kondisi hutan saat ini menyerupai mosaik, karena selanjutnya berubah menjadi Tebang Jalur Tanam Konservasi
di dalam kawasan hutan alam terdapat berbagai tipe penutupan (TJTK). Prinsip sistem ini adalah membangun hutan tanaman
diantara hutan alam dalam bentuk jalur selebar 25 – 100 m. kembali dengan menerapkan jarak tanam dalam jalur sepanjang
Hambatan pelaksanaan sistem ini adalah adanya PP Nomor 21 2,5 meter.
tahun 1970 dan PP Nomor 7 tahun 1990 yang melarang
pembangunan hutan tanaman dalam kawasan pengelolaan
hutan alam. Kendala ini mengakibatkan munculnya keinginan
untuk menggabungkan kedua PP tersebut. Sistem TJTK Sistem Silvikutur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif
akhirnya berubah menjadi sistem Hutan Tanaman Industri dan Tebang Pilih Tanam Jalur Intensif
dengan Tebang Tanam Jalur (HTI-TTJ) berdasarkan Keputusan
Menteri Kehutanan Nomor 435/Kpts-II/1997 yang dijabarkan Sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII)
dalam pedoman teknis berdasarkan Keputusan Dirjen merupakan kombinasi sistem tebang pilih dengan limit diameter
Pengusahaan Hutan Nomor 220/Kpts/IV-BPH/1997. Dalam 40 cm ke atas dan tebang habis dengan penanaman buatan
sistem ini jalur tanam dipersempit menjadi 3 meter namun dalam jalur tanam selebar 3 m. Jarak tanam dalam jalur 5 m
dilakukan pembuatan jalur bebas naungan selebar 10 meter. dengan lebar jalur antara 17 meter sehingga tanaman
Interval penanaman 5 meter dan jarak antar jalur 25 meter, membentuk jarak tanam 5 m x 20 m dengan kerapatan tanaman
sehingga membentuk jarak tanam 5 m x 25 m. 100 tanaman per ha (Ditjen BPK, 2005). Sistem Tebang Pilih
Sistem Hutan Tanaman Industri-Tebang Tanam Jalur (HTI- Tanam Jalur dengan teknik silin menerapkan jarak tanam dalam
TTJ) kemudian diganti menjadi sistem Tebang Pilih Tanam Jalur jalur tanam 2,5 sehingga tanaman membentuk jarak tanam 2,5
(TPTJ) berdasarkan Keputusan Dirjen Pengusahaan Hutan m x 20 m dengan kerapatan tanaman 200 tanaman per ha
Nomor 55/Kpts/IV-BPH/1998. Evaluasi sistem TPTJ (Ditjen BPK, 2005). Kerapatan tanaman yang lebih tinggi, 200
menunjukkan hasil yang memuaskan, karena regenerasi tanaman per ha, dinilai lebih efektif karena pada akhir daur
terbentuk dengan baik dan tegakan tinggal serta lingkungan diperkirakan hanya dapat dipanen sebesar 60% dari total
dapat terjaga, sehingga TPTJ dimasukkan sebagai salah satu tanaman yang ada.
sistem silvikultur untuk pengelolan hutan alam produksi Sistem silvikultur yang menerapkan penanaman/pengayaan
berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 309/Kpts- dalam jalur ini pertama kali diperkenalkan oleh Aubreville di
II/1999. Namun pada tahun 2002 keputusan ini dibatalkan Afrika Barat dan Afrika Tengah dan disempurnakan oleh
melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 10172/Kpts- Catinot. Penanaman dalam jalur memungkinkan terbentuk
II/2002 dan selanjutnya kembali pada sistem TPTI kecuali PT regenerasi dan pertumbuhan pohon yang baik sebagai respon
Sari Bumi Kusuma (Surat Keputusan Menhutbun Nomor dari teknik silvikultur berupa pembukaan kanopi tajuk sehingga
201/Kpts-II/1998) dan PT Erna Juliawati (Surat Keputusan intensitas cahaya lebih banyak (Mitlöhner 2009). Sistem ini juga
Menhutbun Nomor 15/Kpts-II/1999). sesuai dengan perkembangan anakan famili Dipterocarpaceae
Hasil yang memuaskan dari pelaksanaan TPTJ pada kedua yang bersifat semi toleran dengan tetap menjaga kualitas tanah
IUPHHK tersebut telah menginspirasi para pakar di perguruan (Soekotjo & Subiakto 2005; Wahyudi 2009a).
tinggi untuk menyempurnakan sistem silvikultur ini dengan Sejak tahun 2005 TPTII diujicobakan pada 6 IUPHHK
menerapkan teknik silvikultur intensif (silin) melalui penggunaan berdasarkan Surat Keputusan Dirjen BPK Nomor 77/VI-
bibit unggul, teknik manipulasi lingkungan dan pengendalian BPHA/2005 tanggal 3 Mei 2005 dan pada tahun 2007
hama terpadu (integrated pest management). Sistem silvikultur dikembangkan pada 25 IUPHHK berdasarkan Surat Keputusan
hasil penyempurnaan tersebut adalah Tebang Pilih Tanam Dirjen BPK Nomor 41/VI-BPHA/2007 tanggal 10 April 2007,
Indonesia Intensif (TPTII) yang dikeluarkan tahun 2005. Pada termasuk di dalamnya IUPHHK PT Gunung Meranti. Pedoman
tahun 2009 sistem TPTII berubah nama menjadi sistem TPTJ
teknis sistem TPTII berdasarkan Keputusan Dirjen BPK Nomor kawasan perlindungan dan pengatur tata air, sumber plasma
SK. 226/VI-BPHA/2005 tanggal 1 September 2005. nutfah, penelitian dan lain-lain.
Sistem TPTII bertujuan membangun hutan tropis lestari Tahapan kegiatan sistem silvikultur TPTII (Ditjen BPK, 2005)
dinamis, yang dicirikan dengan selalu meningkatnya potensi dan adalah:
fungsi hutan, baik dari segi kuantitas maupun kualitas dari satu 1) Penataan areal (P-3)
rotasi tebang ke rotasi tebang berikutnya. Sedangkan tujuan 2) Risalah hutan (P-3)
khusus penerapan sistem ini adalah membangun hutan sebagai 3) Pembukaan wilayah hutan (P-2)
transisi menuju hutan tanaman meranti dan untuk menjamin 4) Pengadaan bibit (P-1)
fungsi hutan yang optimal (Ditjen BPK, 2005). 5) Penyiapan lahan, yang terdiri dari tebang penyiapan lahan
Penerapan sistem TPTII tahap ke-2 pada 25 IUPHHK model dan pembuatan jalur bersih (P-1)
hanya dilakukan pada 10% dari luas areal pengelolaan (Ditjen 6) Penanaman (P)
BPK, 2005), selebihnya masih menggunakan sistem TPTI. 7) Pemeliharaan tanaman, yang meliputi:
Dengan demikian dalam satu unit pengelolaan hutan dapat - penyiangan dan pemulsaan I s/d X (P+0,1,2,3)
menerapkan dua sistem silvikultur, dan hal ini merupakan - penyulaman I dan II (P+0 dan P+1)
wujud penggunaan multisistem silvikultur. Keniscayaan ini telah - pemupukan I dan II (P+0 dan P+1)
diatur dalam PP Nomor 6 tahun 2007 jo. Nomor 3 tahun 2008 - pembebasan vertikal I dan II (P+1 dan P+3)
pasal 34 dan 38 yang menyatakan bahwa “Pemanfaatan hasil - penjarangan I dan II (P+5 dan P+10)
hutan kayu dalam hutan alam pada hutan produksi dapat 8) Perlindungan tanaman (terus menerus)
dilakukan dengan satu atau lebih sistem silvikultur, sesuai 9) Penelitian dan pengembangan
dengan karakteristik sumberdaya hutan atau lingkungannya“. 10) Pemanenan kayu (P+31).
Saat ini, penerapan multisistem silvikultur pada hutan alam Tahapan kegiatan sistem silvikultur TPTJ (Ditjen BPK, 2009)
produksi yang telah berbentuk mosaik merupakan suatu adalah:
keharusan untuk meningkatkan produktifitas serta menjaga 1) Penataan areal kerja
kepastian dan keutuhan kawasan hutan produksi. 2) Inventarisasi hutan
Menurut Ditjen BPK (2005) dan Soekotjo (2009) pengelolaan 3) Pembukaan wilayah hutan
hutan dengan sistem TPTII dengan jumlah bibit 200 batang per 4) Pengadaan bibit
hektar seluas minimal 1000 hektar per tahun selama 30 tahun 5) Tebang naungan
akan dihasilkan luasan 30.000 hektar, dijamin dapat menjadi 6) Penyiapan dan pembuatan jalur tanam
areal pengelolaan hutan yang lestari. Dengan asumsi diameter 7) Penanaman dan pemeliharaan tanaman jalur
pohon tebang rata-rata 50 cm per 30 tahun sebanyak 160 8) Pembebasan dan penjarangan
pohon per hektar, akan dihasilkan standing stock sebanyak 400 9) Pemanenan
m3 per hektar, belum termasuk tegakan sisa yang masih dapat 10) Perlindungan dan pengamanan hutan.
dimanfaatkan. Menurut Wahyudi (2010) sistem TPTJ teknik silin dapat
Dengan meningkatnya produktifitas hutan, maka luas areal meningkatkan produktivitas hutan alam sampai 400% dengan
hutan alam yang dipergunakan untuk menghasilkan kayu daur terbaik 32 sampai 35 tahun. Namun demikian Wahyudi
pertukangan akan semakin kecil sehingga alokasi areal untuk (2010) masih memberi peluang tercapainya daur tanaman
konservasi akan bertambah luas. Dengan demikian akan selama 25 tahun dengan syarat semua tanaman yang
semakin banyak areal hutan yang dimanfaatkan sebagai dikembangkan dalam jalur tanam berasal dari hasil pemuliaan
pohon.
[Ditjen BPK] Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan.
DAFTAR PUSTAKA 2005. Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi
Kehutanan Nomor SK.226/VI-BPHA/2005 Tentang
[Dephut] Departemen Kehutanan Republik Indonesia. 1989. Pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (Silin).
Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 485/Kpts/II/1989 Departemen Kehutanan, Jakarta.
tentang Sistem Silvikultur Pengelolaan Hutan Alam [Ditjen BPK] Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan.
Produksi di Indonesia. Departemen Kehutanan RI, 2009a. Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi
Jakarta. Kehutanan No. P.9/VI/BPHH/2009 tentang Pedoman
[Dephut] Departemen Kehutanan Republik Indonesia. 1997. Pelaksanaan Sistem Silvikultur dalam IUPHHK Hutan
Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 435/Kpts-II/1997 Produksi. Ditjen Bina Produksi Kehutanan, Jakarta.
tentang Sistem Silvikultur dalam Pengelolaan Hutan [Ditjen BPK] Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan.
Tanaman Industri. Departemen Kehutanan RI, Jakarta. 2010. Profil Sistem Silvikultur Intensif di Unit Manajemen
[Dephut] Departemen Kehutanan Republik Indonesia. 2002. Model: Konsep dan Implementasi. Ditjen Bina Produksi
Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.4795/Kpts-II/2002 Kehutanan, Jakarta
tentang Kriteria dan Indikator Pengelolaan Hutan Alam
Produksi pada Unit Pengelolaan. Departemen Kehutanan
RI, Jakarta.
[Dephut] Departemen Kehutanan Republik Indonesia. 2009.
Peraturan Menteri Kehutanan No.P.11/Menhut-II/2009
tentang Sistem Silvikultur dalam Areal Ijin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu di Hutan Produksi.
Departemen Kehutanan RI, Jakarta.
[Ditjen Hut] Direktorat Jenderal Kehutanan. 1972. Surat
Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan
No.35/Kpts/DD/1972 tentang Pedoman Tebang Pilih
Indonesia, Tebang Habis dengan Penanaman, Tebang
Habis dengan Permudaan Alam dan Pedoman-pedoman
Pengawasannya. Ditjen Kehutanan, Jakarta.
[Ditjen PH] Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan. 1989.
Surat Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan
No.564/Kpts/IV-BPHH/1989 tentang Pedoman Tebang
Pilih Tanam Indonesia. Ditjen Pengusahaan Hutan,
Jakarta.
[Ditjen PH] Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan. 1993.
Surat Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan
No.151/Kpts/IV-BPHH/1993 tentang Pedoman Tebang
Pilih Tanam Indonesia (Revisi). Ditjen Pengusahaan
Hutan, Jakarta.
Sedangkan hutan semua umur dapat ditemukan pada hutan
hujan tropis perawan (virgin forest) maupun hutan bekas
BAB VIII. tebangan (logged over forest), dimana selalu terdapat
SISTEM TEBANG PILIH TANAM JALUR (TPTJ) TEKNIK permudaan tingkat semai, pancang, tiang sampai tingkat pohon
SILIN: UPAYA MEMPERBAIKI SISTEM SILVIKULTUR DI dalam semua kelas umur.
HUTAN ALAM PRODUKSI

(Intensified Selective Cutting and Strips Planting System: Pengelolaan hutan semua umur yang kaya
Improving Silvicultural keanekaragaman jenis (biodiversity) telah disepakati
System in Production Natural Foresty) menggunakan sistem tebang pilih (selective cutting), karena
dengan sistem ini struktur dan komposisi vegetasi hutan masih
dapat dipertahankan. Sistem tebang pilih telah
Oleh: diimplementasikan pada hutan semua umur di Indonesia sejak
tahun 1972, yaitu sistem Tebang Pilih Indonesia (TPI) dan
Dr. Ir. Wahyudi, MP sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI). Meskipun telah
Pakar Silvikultur, Universitas Palangka Raya mengalami eksploitasi hutan selama puluhan tahun, kedua
Kep. Dirjen BUK No. SK.38/VI-BUHA/2012 Tanggal 15 Juni sistem tersebut mampu menjaga keutuhan hutan alam,
2012 terutama dalam aspek konservasi keanekaragaman jenis dan
HP: 0815 2156 0387, E-mail: isanautama@yahoo.com perlindungan tanah dan air serta menjaga kualitas lingkungan.

Untuk: Sistem Silvikultur Tebang Pilh Indonesia

Kementerian Kehutanan Tebang Pilih Indonesia (TPI) adalah sistem silvikultur yang
Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan meliputi cara penebangan dan permudaan hutan. Sistem ini
Direktur Bina Usaha Hutan Alam perpaduan dari sistem tebang dengan batas minimum diameter
dari Indonesia, sistem Tebang Pilih Pilipina (selective logging),
penyempurnaan hutan dengan tanaman sulaman (enrichment)
dan pembinaan permudaan dengan pembebasan (refining).
SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH Pedoman Tebang Pilih Indonesia ditetapkan berdasarkan
Surat Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan (Departemen
Hutan dapat dibagi menjadi 3 (tiga) berdasarkan struktur Pertanian) Nomor 35/Kpts/DD/I/1972 tanggal 13 Maret 1972.
tegakannya, yaitu hutan seumur (evenaged forest), hutan tidak Pedoman ini berlaku dari tanggal ditetapkan (13 Maret 1972)
seumur (unevenaged forest) dan hutan semua umur (allaged sampai berlakunya SK DirJen Pengusahaan Hutan
forest). Hutan seumur dapat ditemui pada penerapan sistem (Departemen Kehutanan) Nomor 564/Kpts/IV-BPHH/1989
Tebang Habis dengan Permudaan Buatan (THPB), misalnya tanggal 30 Nopember 1989 tentang TPTI.
hutan tanaman akasia dengan daur 7 tahun. Hutan tidak Tebang Pilih Indonesia pada prinsipnya menganut sistem
seumur dapat ditemukan pada beberapa sistem pengelolaan silvikultur berdaur banyak (Polycyclic Management System)
hutan tanaman campuran atau agroforestry, dimana terdapat dengan melakukan tebang pilih pada areal yang telah
beberapa kelas umur pada hamparan tegakan hutan. ditetapkan sebagai lokasi penebangan.
Pada hutan eboni campuran, jumlah pohon inti jenis eboni
sebesar 16 batang per hektar dan sisanya 9 batang per hektar
dapat berasal dari jenis perdagangan lainnya. Pada hutan
Evaluasi Sistem TPI ramin campuran, jumlah pohon inti jenis ramin sebesar 15
batang per hektar dan sisanya 10 batang per hektar dapat
Tebang Pilih Indonesia adalah suatu sistem silvikultur yang berasal dari jenis perdagangan lainnya.
meliputi cara penebangan dan pembinaan permudaan hutan, Pada tahun 1987 dibentuk Tim Materi, Panitia Pengarah
sebagai suatu sistem yang mengkombinasikan beberapa prinsip dan Panitia Penyelenggara Diskusi Penyempurnaan Pedoman
silvikultur, antara lain: Tebang Pilih Indonesia (TPI) berdasarkan SK Kepala Badan
a. Penebangan dengan limit diameter dari Indonesia, yaitu Litbang Kehutanan Nomor 02/1987 tanggal 6 Januari 1987
Sistem Tebang Pilih dengan Limit Diameter. dengan anggota dari staf Badan Litbang, Fahutan IPB dan
b. Tebang Pilih Pilipina (Philippine Selective Logging) Fahutan UGM. Data diambil dari pelaksanaan TPI pada
c. Penyempurnaan hutan dengan penanaman sulaman beberapa HPH seperti PT Silvasaki, PT Hatma Santi (Riau), PT
(enrichment planting) Kayu Lapis Indonesia (Kalbar), PT Inhutani II, PT Hutan Kintap
d. Pembinaan permudaan dengan pembebasan dari (Kalsel) dan PT Inhutani I, PT ITCI, PT BFI (Kaltim). Hasil
tumbuhan pengganggu. kajian menunjukkan bahwa pada tegakan sisa sistem TPI masih
Evaluasi sistem TPI dilakukan pada seminar Reforestation mengandung jumlah pohon inti berdiameter 20 cm yang cukup
dan Afforestion di Fakultas Kehutanan UGM Yogyakarta tanggal dan munculnya permudaan alam yang melimpah pada rumpang
23-24 Agustus 1974. Pada seminar ini konseptor TPI, Ir. bekas tebangan. Hasil kerja tim dan panitia tidak dipergunakan
Sugiarto Warsopranoto, menyatakan bahwa: untuk penyempurnaan sistem TPI.
1. Pada hutan dengan potensi jenis kayu perdagangan yang
rendah, 10-30 m3/ha, penebangan hutan dengan sistem Tabel 3. Syarat pelaksanaan TPI dalam pedoman TPI oleh
TPI tidak banyak menimbulkan kerusakan hutan, karena Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan tahun
pohon yang ditebang per hektar tidak banyak. Namun 1980.
dikhawatirkan adanya over cutting jenis-jenis tertentu dan
penebangan pohon-pohon dengan diameter kurang dari 50 No Batas Jumlah Diameter Siklus Jatah tebang
cm. diameter pohon phn inti Tebang tahunan
2. Menurut Soerianegara, pada hutan yang kaya jenis pohon inti minimun (tahun) (etat volume)
perdagangan dengan potensi 100 m3/ha, penebangan dan Yang minimal (cm)
ditebang (batang)
penarikan kayu akan banyak menimbulkan kerusakan
(cm)
hutan, terutama pada pohon-pohon muda dan permudaan
1. Hutan 25 20 35 1/35x80%xmassa
alam, sehingga sistem TPI sukar dilaksanakan. alam tegakan
Sistem TPI telah mengalami revisi pada tahun 1980 melalui campuran
Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan. Arah revisi 2. Hutan 16* 20 45 1/35x80%xmassa
terutama pada penurunan diameter minimal pohon inti dari 35 eboni tegakan
cm menjadi 20 cm dan jumlahnya dari 40 batang/ha menjadi 25 campuran
batang/ha. Syarat pelaksanaan TPI dalam revisi ini disajikan 3. Hutan 15** 20 35 1/35x80%xmassa
dalam Tabel 1. ramin tegakan
campuran
adalah Tebang Pilih Indonesia (TPI) berdasarkan SK Dirjen
Pelaksanaan sistem TPI di lapangan belum dilakukan Kehutanan Nomor 35/Kpts/DD/1/1972. Dalam praktek
secara baik dan benar. Beberapa tahapan silvikultur yang pelaksanaan TPI, ternyata masih ditemukan beberapa kesulitan
sering ditinggalkan adalah inventarisasi sebelum eksploitasi, seperti masalah tata waktu pelaksanaan tiap tahap kegiatan.
menyisihkan pohon inti dalam jumlah cukup, inventarisasi Untuk memperbaiki kelemahan sistem silvikultur TPI,
tegakan bekas penebangan, penanaman perkayaan, dikeluarkan SK Menteri Kehutanan Nomor 485/Kpts-II/1989
penanaman tanah terbuka dan pemeliharaan tegakan bekas tentang sistem silvikultur pengelolaan hutan alam produksi di
penebangan (Soerianegara, 1989). Penyimpangan yang sering Indonesia, yang ditindak lanjuti dengan SK Dirjen Pengusahaan
muncul pada pelaksanaan TPI juga tidak terlepas dari masih Hutan Nomor 564/Kpts/IV-BPHH/89 tentang Tebang Pilih
adanya beberapa kelemahan sistem ini, seperti: Tanam Indonesia. Pada tahun 1993 dikeluarkan SK Dirjen
1. Belum ada kepastian dan kejelasan hasil pembinaan hutan Pengusahaan Hutan Nomor 151/Kpts/IV-BPHH/1993 tanggal
karena indikator keberhasilan sulit diukur dan memerlukan 19 Oktober 1993 tentang Pedoman Tebang Pilih Tanam
waktu yang lama. Indonesia.
2. Biaya operasional dalam skala yang luas sangat tinggi Sistem TPTI 1993 mempunyai daya elastisitas yang
3. Kekurangan tenaga ahli dan staf teknis kehutanan membedakan praktek pengelolaan pada hutan produksi tetap
4. Kurang seimbang antara kegiatan pemungutan hasil dan hutan produksi terbatas. Kelenturan ini sering
dengan pembinaan hutan. Intensitas pemungutan hasil diterjemahkan oleh masing-masing daerah dengan membuat
lebih besar dibanding pembinaannya. ketentuan yang lebih sesuai dengan kondisi hutan di daerahnya.
5. Lebih sulit dilaksanakan dibanding sistem tebang pilih Berdasarkan Surat Kepala Kantor Wilayah Departemen
biasa karena adanya variasi limit diameter Kehutanan Propinsi Kalimantan Tengah Nomor 2144/Kwl-
6. Tidak tahu menggunakan sistem TPI pada kondisi tertentu, 3/IX/1996 tanggal 11 September 1996 ditetapkan bahwa pada
misalnya pada hutan alam Duabanga moluccana di NTB wilayah kerja provinsi Kalimantan Tengah kegiatan Perapihan
atau Lophopetalum multinervium di Kaltim yang sulit serta Pembebasan I, II dan III tidak dilaksanakan pada Hutan
menerapkan konsep tebang pilih. Produksi Terbatas (HPT) untuk kepentingan konservasi tanah
7. Pelaksana TPI harus mempunyai dasar yang kuat tentang dan air serta perlindungan biodiversity.
tipe dan kondisi hutan, baik struktur maupun
komposisinya. Evaluasi Sistem TPTI

Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Sistem TPTI telah mengikuti kaidah alami dengan
menebang jenis-jenis pohon komersial dengan limit diameter 50
Sistem silvikultur adalah rangkaian kegiatan terencana cm ke atas pada hutan produksi tetap dan 60 cm ke atas pada
tentang pengelolaan hutan. Rangkaian ini biasanya terdiri dari hutan produksi terbatas. Bekas tebangan sistem TPTI tersebar
kegiatan pratebang, kegiatan penebangan dan kegiatan paska dalam bentuk rumpang (gap), menyerupai kondisi alam ketika
tebang, yang kesemuanya ditujukan untuk menjamin kelestarian pohon tua mati dan tumbang. Pada rumpang bekas tebangan
hutan termasuk kelestaian hasil hutan baik kayu maupun non ini banyak dijumpai permudaan alam yang tumbuh relatif baik
kayu. dibanding daerah sekitarnya yang masih tertutup oleh tegakan.
Pengelolaan hutan produksi alam di Indonesia mulai Faktor yang paling menentukan adalah meningkatnya intensitas
dilakukan sejak tahaun 70-an dengan berlandaskan UU Nomor sinar yang merangsang pertumbuhan anakan.
5 Tahun 1967. Sistem silvikultur yang dipakai pertama kali
Sistem TPTI juga mengarahkan pada perbaikan komposisi praktisi lapangan. Perusahaan tidak dapat menentukan jumlah
jenis dengan melakukan kegiatan penanaman/perkayaan bibit yang harus dibuat pada tahun berjalan karena informasi
(enrichment planting) pada areal hutan yang kurang permudaan areal kosong dan kurang permudaan masih didatakan.
dan pada areal yang kosong seperti bekas jalan sarad, bekas Barangkali, untuk meningkatkan keperdulian perusahaan pada
TPn dan TPK serta tempat kosong lainnya. Pemilihan jenis kegiatan penanaman sebagai icon kegiatan regenerasi hutan,
untuk penanaman/pengayaan disesuaikan dengan keadaan pemerintah sempat mengeluarkan kebijakan pembuatan bibit
ekologis setempat khususnya keadaan tanah dan cahaya. 1:20, artinya 1 pohon di tebang harus membuat 20 bibit.
Penanaman dapat menggunakan jenis pionir domistik Permasalahan sejak awal bukan pada keengganan perusahaan
(jabon, sungkai dll) atau exotic (sengon, akasia, ampupu dll) membuat bibit atau menanam, namun pada masalah
yang ditanam pada tempat terbuka. Sedangkan pengayaan ketidaktersediaan lokasi penanaman. Akhirnya over supply bibit
menggunakan jenis toleran yang masih memerlukan naungan semakin bertambah. Memang ironis sistem ini, disatu sisi terjadi
tegakan seperti jenis Dipterocarpaceae. over supply bibit dan sisi lain terjadi penurunan kualitas
Kelebihan TPTI dibanding sistem sebelumnya (TPI) adalah komposisi hutan yang mengancam kelestarian hasil.
pemisahan kegiatan pembinaan hutan dengan kegiatan
penebangan, dengan membuat organisasi dan penyediaan Evaluasi Sistem Tebang Pilih
anggaran yang khusus. Namun kelemahan TPTI yang juga
terdapat pada TPI adalah lemah dan sulitnya pengawasan Sistem silvikultur Tebang Pilih masih mengandung
kegiatan, terutama kegiatan pembinaan hutan serta belum ada beberapa kelemahan dalam pelaksanaan di lapangan, antara
kriteria dan indikator yang jelas tentang keberhasilan kegiatan lain:
pembinaan hutan seperti penanaman, pembebasan dan 1. Hasil hutan kayu komersial relatif kecil, yaitu hanya 30-70
penjarangan. Sistem silvikultur yang lebih baik hendaknya m3/ha (Dihimpun dari beberapa IUPHHK di Kalimanta).
memperhatikan peranan rumpang (gap), baik yang berbentuk Apabila dihitung berdasarkan luas kawasan, maka
melingkar atau jalur untuk merangsang pertumbuhan produktivitas hutan alam produksi di Indonesia bila
permudaan alam (Coates dan Philip, 1997; Sagala, 1992) serta menggunakan sistem tebang pilih murni hanya 0,25 sampai
mempermudah aspek pengawasan kegiatan pembinaan hutan 0,65 m3/ha/tahun (Nana, 2010) jauh dibawah hutan
dalam rangka menjamin kepastian adanya regenerasi hutan. tanaman yang mencapai 10-12 m3/ha/tahun (Dirjen BPK,
Pada pelaksanaan sistem TPTI sering terjadi over supply 2010)
bibit, karena kemampuan recovery hutan yang sangat cepat 2. Monitoring dan evaluasi hasil kegiatan pembinaan hutan
paska penebangan. Perusahaan sering kesulitan menemukan sistem TPI dan TPTI seperti perapihan, pembebasan I, II,
lokasi penanaman karena areal kosong telah tertutup kembali III, penanaman/perkayaan, pemeliharaan I, II, III dan
dengan anakan alam. Namun kondisi hutan paska penebangan penjarangan I, II, III masih sulit dilakukan karena
yang lebat tersebut ternyata banyak mengandung pohon-pohon pertumbuhan vegetasi hutan berlangsung sangat cepat
cacat, baik cacat dari awal (alami) maupun cacat akibat sehingga tanaman (artificial regeneration) bercampur
kegiatan eksploitasi hutan serta terjadi perubahan komposisi dengan permudaan alam (natural regeneration) dalam
jenis karena sebagian besar jenis komersial telah ditebang. kondisi yang sangat rapat tanpa terkendali, sehingga
Terjadi pergeseran komposisi jenis dari hutan primer ke hutan kondisi permudaan hutan hanya unggul dari segi kuantitas
sekunder. (sangat rapat) namun rendah dalam kualitas disebabkan
Kerancuan tata waktu kegiatan ITT dan pembibitan pada persaingan ruang tumbuh sangat tinggi sehingga
sistem TPTI tahun 1993 juga menambah kebingungan para pertumbuhan tertekan.
3. Degradasi genetik. Sistem tebang pilih hanya mengambil Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Teknik Silin: Upaya
pohon-pohon masak tebang yang unggul (commercial) dan Memperbaiki Sistem Silvikultur di Hutan Alam Produksi
berkualitas baik dan meninggalkan pohon-pohon masak
tebang yang kurang berkualitas (cacat, gerowong) dan Dalam rangka mengatasi kelemahan sistem silvikultur
belum unggul (lesser know species). Dengan demikian tebang pilih sebelumnya (TPI dan TPTI), diperlukan upaya-
komposisi pohon-pohon berdiameter besar pada hutan upaya yang serius agar pengelolaan hutan alam produksi di
bekas tebangan lebih banyak mengandung pohon non Indonesia dapat mencapai sasaran yang diinginkan. Pada
unggulan dan pohon-pohon kurang berkualitas karena tahun 2005 diluncurkan sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia
cacat, gerowong serta pohon-pohon rusak akibat yang dilaksanakan secara lebih intensif, yang dikenal dengan
penebangan. Fenomena ini menyebabkan asumsi nama sistem Tebang Pilih Tanam IndonesiaIntensif (TPTII).
kelestarian hasil hutan pada siklus tebang berikutnya Sistem ini mengadopsi sistem sebelumnya, Tebang Pilih Tanam
menjadi bias. Konservasi (TPTK) dan Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ)
4. Regenerasi hutan bekas tebangan tidak dapat berjalan dengan menyeragamkan lebar jalur tanam dan lebar jalur
secara efektif, karena ruang tumbuh bagi permudaan antara.
hutan, baik yang alami maupun buatan (tanaman), sangat Prinsip dasar sistem TPTK, TPTJ dan TPTII adalah
terbatas dengan kondisi persaingan yang sangat tinggi. pembuatan celah (gap) dalam bentuk jalur memanjang. Gap
Struktur dan komposisi tegakan bekas tebangan masih yang dibuat melingkar dengan nama Tebang Rumpang pernah
sangat rapat sehingga tidak dapat menyiadakan ruang diperkenalkan oleh Balai Teknologi Reboisasi (BTR) Banjarbaru,
tumbuh yang diperlukan untuk pertumbuhan permudaan namun kurang mendapat sambutan karena belum
secara optimum. mencantumkan analisis ekonomi, kelayakan finansial, arah
5. Kesulitan menerapkan program pemuliaan hutan. pemanfaatan kayu berdiameter kecil serta kesulitan dalam
Permudaan hutan bekas tebangan masih mempunyai operasional di lapangan karena gap yang disarankan terletak
struktur yang berlapis serta komposisi vegetasi yang secara acak sesuai arah penebangan, bukan secara sistematis
beragam sehingga membentuk ekosistem yang komplek. sebagaimana sistem jalur.
Kondisi ini menyulitkan upaya pemuliaan beberapa jenis Sistem gap berbentuk jalur telah banyak diperkenalkan
pohon terpilih. Akumulasi faktor pembatas seperti diberbagai negara maju untuk mengurangi eksploitasi hutan
minimnya ruang tumbuh tajuk (cahaya), ruang tumbuh alam yang dilakukan menggunakan THPB. Secara ekologi,
perakaran (unsur hara tanah) serta persaingan yang sangat sistem jalur dapat menjawab permasalahan yang ada
tinggi dengan species lain menyebabkan pohon unggul sebelumnya dan pemulihan keanekaragaman jenis juga dapat
sekalipun akan sulit tumbuh dan berkembang secara diandalkan (Coates dan Philip, 1997).
optimal. Sistem silvikultur dengan teknik gap menyerupai suksesi
6. Sistem tebang pilih menggunakan rezim ekstensifikasi yang alam pada kejadian pohon mati dan roboh atau jatuhnya cabang
memerlukan lahan yang sangat luas untuk memproduksi besar sehingga membentuk gap (celah) dan ruang terbuka
sedikit hasil hutan, sehingga memerlukan investasi yang sebagai tempat tumbuh yang baru. Sistem silvikultur dengan
tinggi untuk menjalankannya. Cara seperti ini kurang teknik gap dirancang dengan melakukan penebangan pohon
disukai oleh investor serta dipandang tidak efektif dan tidak atau kelompok pohon besar dengan ukuran, bentuk dan
efisien oleh Pemda karena hanya sedikit mendatangkan distribusi tertentu.
PAD. Studi tentang dinamika gap, yang dianggap sebagai
perubahan kecil pada ekosistem hutan, sangat penting
diperhatikan karena dapat digunakan untuk memprediksi respon sistem tebang habis. Kasus Date Creek membuktikan adanya
pertumbuhan dan dinamika ekosistem pada gap (ruang hubungan antara kehadiran, kelimpahan dan pertumbuhan
tumbuh). Banyak literatur tentang dinamika gap menekankan spesies dengan gap dalam berbagai ukuran. Pendekatan gap
pada ukuran gap atau posisi vegetasi dalam gap tersebut dalam pada sistem silvikultur dilakukan dengan memperhatikan sistem
rangka meningkatkan pertumbuhan dan menjamin dinamika penebangan secara parsial dengan menyisakan sebagian
ekosistem hutan. hutan, memperhatikan struktur biologi, organisme dan proses
Fenomena dan pengelolaan dalam gap menurut Coates dan ekosistem melalui variasi ukuran gap dan pengembangan
Philip (1997) adalah: sistem silvikultur untuk memproduksi kayu secara lebih
- Gap diperlukan untuk merangsang regenerasi dan suksesi bijaksana.
alami. Menurut Coates dan Philip (1997) variasi lebar jalur bersih
- Gap menghasilkan keadaan tapak dan umur anakan yang masih diperlukan untuk merangsang kehadiran dan
relatif seragam. pertumbuhan anakan pada tipe tegakan tertentu. Sistem TPTJ
- Pengelolaan gap diarahkan pada kerapatan, ukuran (luas), yang masih memberi peluang penggunaan beberapa variasi
bentuk, frekwensi, distribusi, dinamika komunitas, orientasi, lebar jalur kiranya masih baik digunakan, sehingga kita dapat
umur, struktur lapisan bawah dan yang paling penting menemukan pola penentuan lebar jalur bersih yang lebih
adalah tingkat keterbukaan ruang tumbuh. optimal sesuai dengan tipe hutannya.
- Jenis yang dibina diutamakan jenis asli
- Di Selandia Baru ditemukan hubungan antara pola Penanaman Dalam Jalur Tanam: Upaya Meningkatkan
regenerasi dan pertumbuhannya dengan ukuran gap. produktivitas Hutan
- Perlakuan silvikultur dapat membuat sistem gap dengan
beberapa variasi. Rehabilitasi hutan bekas tebangan dengan metode line
Hubungan gap dengan spesies yang terdapat didalamnya enrichment planting telah banyak diterapkan di Indonesia,
(Lertzman, 1992): seperti sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) dan Tebang
- Ukuran gap dapat menyebabkan perbedaan tingkat Pilh Tanam Indonesia Intensif (TPTII). Sistem ini menggunakan
pertumbuhan dan dominasi spesies kombinasi antara polycyclic system dengan monocyclic system
- Gap sering dikuasai jenis-jenis dominan dengan rangkaian (tahapan) kegiatan tertentu yang mengarah
- Terdapat spesies yang sesuai di tengah gap atau di tepi pada tercipta kondisi tapak dan iklim mikro yang optimal untuk
gap. mendukung keberhasilan pengelolaan hutan lestari dan
Pengetahuan tentang teknik gap meliputi pola suksesi, produktif. Salah satu kelebihan metode ini (yang tidak dimiliki
dinamika populasi dan komunitas hutan. Teknik ini dapat sistem TPTI) adalah relatih mudah melakukan kegiatan
dipakai dalam sistem silvikultur. Pemodelan gap juga dapat perawatan serta pengawasan, monitoring dan evaluasi,
dipergunakan untuk memprediksi dan menguji tingkat efektifitas khususnya terhadap tanaman dalam jalur, baik yang dilakukan
sistem penebangan secara parsial. Intensitas cahaya, instansi terkait, LSM maupun pihak perusahaan sendiri.
keseimbangan air dan siklus hara berhubungan dengan ukuran Pertumbuhan (riap) tanaman dalam jalur lebih cepat karena
gap dan posisi dalam gap yang berpengaruh pada proses ditunjang oleh intensitas sinar dan ruang tumbuh yang lebih baik
perkecambahan, kematian, pertumbuhan dan perkembangan (mematahkan sinar sebagai limiting factor dalam pertumbuhan
serta aktifitas biologi (Coates dan Philip, 1997). anakan di hutan tropis).
Sistem silvikultur dengan teknik gap perlu diterapkan pada Metode line enrichment planting mempunyai dua daerah
pengelolaan hutan alam secara lebih luas dan mengurangi konsentrasi pengelolaan yang saling berkaitan erat, yaitu pada
jalur antara dan jalur bersih (jalur tanam). Pada jalur antara
kualitas tapak relatif tidak mengalami perubahan yang menyolok
dan berfungsi sebagai konservasi hutan dan biodiversity,
memberi kondisi tapak yang masih sesuai untuk
mempertahankan ekosistem serta menciptakan ruang tumbuh Light
yang optimal bagi tanaman yang berada dalam jalur bersih
seperti berbagai jenis Shorea yang berifat toleran dan semi
toleran. Sementara itu pada jalur bersih yang mempunyai
ruang tumbuh lebih lebar dan intensitas cahaya yang lebih
tinggi, kegiatan diarahkan untuk penanaman dan pengayaan
(enrichment planting) jenis terpilih yang bernilai komersil tinggi
dan cepat tumbuh (seperti 10 jenis unggulan yang diusulkan
pakar TPTII, yaitu Shorea leprosula, s. parvifolia, s. smithiana, s.
johorensis, s. macrophylla, s.ovalis, s. platyclados, s. selanica,
s. javanica, Dryobalanops spp).
Jalur antara tidak bergantung pada jalur bersih namun
tanaman dalam jalur bersih sangat bergantung pada jalur antara
yang memberikan ruang tumbuh (tapak) dan iklim mikro yang
optimal, terutama intensitas cahaya dan suhu serta memberi
perlindungan terhadap kondisi tanah. Serasah dan humus dari
jalur antara dapat digunakan tanaman dalam jalur bersih,
demikian pula suplai air, mikroba (mikorisa, rhizobium,
dekomposer dll) sampai pada penyerbukan. Jalur antara ibarat
induk yang melindungi dan membesarkan anaknya, jalur bersih.
Sistem line enrichment planting juga mampu mengatasi
salah satu permasalahan yang muncul dari sistem TPTI, yaitu
kemudahan dalam perawatan dan pengawasan hasil
penanaman/pengayaan yang terletak dalam jalur tanam.
Metode line enrichment pada awalnya dikembangkan oleh Gambar 22. Jalur tanam dan jalur antara pada sistem TPTJ.
Aubreville di Afrika Barat dan Afrika Tengah, dengan ketentuan: Arah panah sebagai bentuk support jalur antara
a. Jarak antar jalur tanam, 10-25 m, arah Timur-Barat terhadap tanaman dalam jalur tanam
b. Lebar jalur tanam 2 m, dibuka bersih
c. Dari batas kiri dan kanan jalur, masing-masing selebar 4 m,
seluruh pohon yang tingginya > 4 m ditebang d. Jarak tanam dalam jalur 5-10 m
e. Lebar jalur antara/jalur tegakan tinggal 10 m
f. Jarak antar jalur tanam 20 m (100 bibit/ha)
Metode tersebut dimodifikasi oleh Catinot dengan
ketentuan:
a. Lebar jalur tanam 5 m
b. Jarak antar jalur tanam 10-20 m a. Log over forest dimana permudaan jenis komersial sedikit
c. Semua pohon pada jalur tanam yang berdiameter < 15 cm b. Log over area tidak produktif
ditebang c. Areal bekas perladangan berpindah
d. Pohon berdiameter > 15 cm diteres c. Areal hutan dengan nilai ekonomi rendah (bushes and
e. Jarak tanam dalam jalur 3 m scrub)
Menurut Apanah (1994), jenis-jenis komersial mempunyai Sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif
kemudahan dalam regenerasi dan perlakuan silkultur sehingga (silin) dijalankan dengan berpedoman pada Keputusan Direktur
memberi peluang yang baik dalam menciptakan pengelolaan Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor: SK.226/VI-
hutan lestari. BPHA/2005 tanggal 1 September 2005 tentang pedoman
Keuntungan sistem line enrichment adalah: Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif/TPTII (silvikultur intensif)
a. Meningkatkan produksi kayu yang kemudian direvisi menggunakan Permenhut No.
b. Membuka lapangan pekerjaan P.11/Menhut-II.2009 tentang Sistem Silvikultur di Areal
c. Dapat membuat tanaman yang bersifat toleran dan semi IUPHHK-HA serta petunjuk teknisnya berdasarkan Peraturan
toleran, seperti dari jenis Dipterocarpaceae Dirjen BPK No. P.9/VI/BPHA/2009 tentang Pedoman
d. Menjamin dan menciptakan pengelolaan hutan lestari Pelaksanaan Sistem Silvikultur di Areal IUPHHK hutan produksi.
(natural forest management) Tujuan umum silin TPTII/TPTJ adalah membangun hutan
e. Kualitas tanah dan kondisi vegetasi tidak berubah nyata. tropis lestari dinamis, yang dicirikan dengan selalu
Ekosistem relatif masih terjaga dibanding bila menerapkan meningkatnya potensi dan fungsi hutan, baik dari segi kuantitas
clear cutting. maupun kualitas dari satu rotasi tebang ke rotasi tebang
Kelemahan sistem ini antara lain: berikutnya. Sedangkan tujuan khusus silin TPTII/TPTJ
a. Memerlukan biaya perawatan tinggi adalah membangun hutan sebagai transisi menuju hutan
b. Memerlukan perawatan intensif tanaman meranti dan untuk menjamin fungsi hutan yang
c. Mengarah pada perampingan jenis (penyusutan optimal.
keanekaragaman jenis) Mengingat individu penyusun tegakan pada akhir rotasi
Sistem silvikultur Tebang Pilih dan Tanam Jalur (TPTJ) yang tebang diperkirakan memiliki keseragaman yang tinggi, maka
merupakan salah satu bentuk line enrichment planting, pernah model ini akan berfungsi sebagai transisi perubahan sistem
diatur dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor silvikultur tebang pilih dengan permudaan buatan menjadi
435/Kpts-II/1997 dan Keputusan Menteri Kehutanan dan sistem silvikultur intensif.
Perkebunan Nomor 625/Kpts-II/1998 tentang Sistem Silvikultur
Tebang Pilih dan Tanam Jalur (TPTJ) dalam Pengelolaan Hutan DAFTAR PUSTAKA
Produksi Alam. Tebang Pilih dan Tanam Jalur (TPTJ) adalah
sistem silvikultur yang meliputi cara tebang pilih dengan batas Appanah S,Weinland G. 1994. Planting Quality Timber Trees in
diamater minimal 40 cm diikuti dengan permudaan buatan Peninsular Malaysia. Forest Research Institute Malaysia.
dalam jalur selebar 3 m. Jalur antara selebar 22 m. Jarak Kepong. Malayan Forest Record No. 38.
tanam adalah 5 meter dalam jalur bersih dan 25 meter dalam Coates KD, Philip JB. 1997. A gap-based approach for development of
silvicultural system to address ecosystem management
jalur antara, sehingga dalam 1 hektar terdapat 80
objectives. Journal Forest Ecology and Management 99 (1997)
tanaman/pengayaan. Diameter pohon inti dalam jalur antara 337-35.
berukuran 20-39 cm. [Dephut] Departemen Kehutanan Republik Indonesia. 1989. Surat
Penerapan TPTJ lebih sesuai pada Keputusan Menteri Kehutanan No. 485/Kpts/II/1989 tentang
Sistem Silvikultur Pengelolaan Hutan Alam Produksi di
Indonesia. Departemen Kehutanan RI, Jakarta.
[Dephut] Departemen Kehutanan Republik Indonesia. 1997b. Surat BAB IX.
Keputusan Menteri Kehutanan No. 707/Kpts-II/1997 tentang JENIS DOMINAN DAN PENENTUAN
Pembagian Kelompok Jenis Kayu Bulat sebagai Dasar JENIS UNGGULAN LOKAL UNTUK PENANAMAN DAN
Penentuan Tarif PSDH dan DR. Departemen Kehutanan RI,
PENGAYAAN HUTAN
Jakarta.
[Dephut] Departemen Kehutanan Republik Indonesia. 2009.
Peraturan Menteri Kehutanan No.P.11/Menhut-II/2009 tentang (Dominant Species Inventore and Determining Superior Native
Sistem Silvikultur dalam Areal Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Species
Hutan Kayu di Hutan Produksi. Departemen Kehutanan RI, for Enrichment Planting )
Jakarta.
[Ditjen Hut] Direktorat Jenderal Kehutanan. 1972. Surat Keputusan Oleh:
Direktur Jenderal Kehutanan No.35/Kpts/DD/1972 tentang
Pedoman Tebang Pilih Indonesia, Tebang Habis dengan Dr. Ir. Wahyudi, MP
Penanaman, Tebang Habis dengan Permudaan Alam dan Pakar Silvikultur, Universitas Palangka Raya
Pedoman-pedoman Pengawasannya. Ditjen Kehutanan,
Kep. Dirjen BUK No. SK.38/VI-BUHA/2012
Jakarta.
[Ditjen PH] Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan. 1989. Surat Tanggal 15 Juni 2012
Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan HP: 0815 2156 0387, E-mail: isanautama@yahoo.com
No.564/Kpts/IV-BPHH/1989 tentang Pedoman Tebang Pilih
Tanam Indonesia. Ditjen Pengusahaan Hutan, Jakarta. Untuk:
[Ditjen PH] Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan. 1993. Surat
Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan Kementerian Kehutanan
No.151/Kpts/IV-BPHH/1993 tentang Pedoman Tebang Pilih Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan
Tanam Indonesia (Revisi). Ditjen Pengusahaan Hutan, Jakarta. Direktur Bina Usaha Hutan Alam
[Ditjen BPK] Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. 2005.
Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor
SK.226/VI-BPHA/2005 Tentang Pedoman Tebang Pilih Tanam
Indonesia Intensif (Silin). Departemen Kehutanan, Jakarta.
[Ditjen BPK] Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. 2009a. INVENTARISASI JENIS DOMINAN DI HUTAN HUJAN
Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No. TROPIS
P.9/VI/BPHH/2009 tentang Pedoman Pelaksanaan Sistem
Silvikultur dalam IUPHHK Hutan Produksi. Ditjen Bina Produksi Hutan hujan tropis di Asia Tenggara didominasi jenis-jenis
Kehutanan, Jakarta. dari famili Dipterocarpaceae, terutama Shorea spp. Jenis-jenis
[Ditjen BPK] Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. 2009b. tersebut disamping mempunyai penyebaran (frekwensi) yang
Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No. tinggi, juga mempunyai kelimpahan (kerapatan) yang besar
P.11/VI-BPHH/2009 tentang Pedoman Teknik Silvikultur Intensif.
serta mampu mendominasi luas bidang dasar dalam tegakan
Ditjen Bina Produksi Kehutanan, Jakarta.
[Ditjen BPK] Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. 2010. hutan. Sebagian besar pohon-pohon yang menjulang tinggi
Profil Sistem Silvikultur Intensif di Unit Manajemen Model: pada hutan hujan tropis berasal dari famili Dipterocarpaceae
Konsep dan Implementasi. Ditjen Bina Produksi Kehutanan, (Mc Kinnon et al, 2000; Whitmore, 1975). Oleh karena itu
Jakarta
banyak para ahli kehutanan menjuluki hutan hujan tropis meranti yang mempunyai kayu paling keras dengan kualitas
dengan nama hutan dipterocarpceae. yang tinggi. Jenis ini sangat disukai pasar, namun dibeberapa
Sejak tahun 70-an, Indonesia mampu memproduksi kayu perusahaan yang masih mengandalkan sistem perakitan kayu di
bulat dari hutan alam dalam jumlah yang sangat besar. Pada sungai, jenis ini jarang diambil karena keterbatasan dalam
tahun 80-an hingga awal tahun 90-an produksi kayu bulat transportasi sungai. Bangkirai berada pada urutan ke-3 dengan
nasional dari hutan alam bahkan sempat mencapai angka 26,05 nilai dominasi relatif sebesar 8,29% serta indek nilai penting
juta m3/tahun (pada tahun 1992) dan Indonesia sempat dijuluki 21,15%.
sebagai raja plywood dunia (Suparna, 2010). Kayu bulat yang Urutan kedua adalah jenis keranji (Diallium sp.) dengan
diproduksi dari hutan alam selalu didominasi jenis meranti tingkat dominasi 6,83% serta indek nilai penting 22,88%. Jenis
(Shorea spp) begitu pula dengan bahan baku plywood dan keranji mempunyai kayu yang keras sehingga kurang disukai
wood working lainnya. dan umumnya masih banyak terdapat di hutan bekas tebangan.
Upaya meningkatkan produktivitas hutan alam melalui Jenis keruing (Dipterocarpus spp) mempunyai dominasi relatif
kegiatan penanaman dalam jalur sistem TPTI intensif atau TPTJ sebesar 5,03% serta indek nilai penting 17,4%. Jenis ini
teknik silin sudah semestinya menggunakan jenis-jenis dari termasuk famili dipterocarpacea yang sangat dominan di hutan
famili Dipterocarpaceae, terutama Shorea spp, sebagai pohon- alam setelah jenis meranti serta mempunyai kayu yang keras
pohon lokal berkualitas tinggi (superior native species), karena namun keberadaan kayunya kurang disukai masyarakat karena
telah terbukti mampu beradaptasi sangat baik pada tapak memerlukan pengolahan kayu yang lebih rumit untuk
asalnya dan mengalahkan spesies-spesies lainnya. Dengan menghilangkan getahnya. Ulin (Eusyderoxylon zwagery)
data ini kegiatan uji species telah menemukan arah yang lebih menempati urutan ke-14 dengan dominasi relatif sebesar 1,21%
terang. Untuk selanjutnya, perlu dilakukan progeny test agar serta indek nilai penting 4,89%. Jenis ini masuk dalam katagori
setiap spesies pilihan mempunyai riap yang lebih tinggi lagi. langka karena senantiasa dieksploitasi masyarakat serta
Berdasarkan hasil penelitian Wahyudi (2011), didapatkan regenerasinya yang sangat susah (very slow growing species).
spesies tingkat pohon yang mendominasi hutan hujan tropis
seperti terlihat pada Tabel 1. Pada tabel tersebut terlihat bahwa Taksonomi Meranti (Shorea spp)
jenis meranti merah (Shorea spp) mendominasi tegakan hutan
pada urutan pertama dengan nilai dominasi relatif sebesar Meranti adalah jenis unggulan lokal dan selama puluhan
42,46% serta indek nilai penting 98,24%. Sementara itu meranti tahun menjadi primadona industri pengolahan kayu di
putih (Shorea spp) berada pada urutan ke-13 dengan nilai Indonesia. Kayu jenis meranti sangat istimewa, karena selain
dominasi relatif sebesar 1,05% serta indek nilai penting 5,1 %. mudah diolah, kayu meranti mengandung zat ekstraktif sebagai
Meranti kuning (Shorea spp) berada pada urutan ke-19 dengan pelindung terhadap serangan hama perusak kayu.
nilai dominasi relatif sebesar 0,88% serta indek nilai penting Meranti (Shore sop) termasuk dalam Divisio:
3,58%. Tengkawang (Shorea spp) termasuk spesies meranti Spermatophyta (tumbuhan berbiji Sub Divisio: Angiospermae.
yang dilindungi (tidak boleh ditebang) karena menghasilkan Kelas: Dicotyledonae (berkeping), Sub Kelas: Dialypetales,
buah tengkawang sebagai salah satu komoditas masyarakat Ordo:Guttiferales (Clusiales), Famili (Bangsa):
lokal. Tengkawang berada pada urutan ke-7 dengan nilai Dipterocarpaceae dan Genera (Marga): Shorea.
dominasi relatif sebesar 6,83% serta indek nilai penting 9,53%.
Mahusum (Shorea patoiensis) berada pada urutan ke-30
dengan nilai dominasi relatif sebesar 0,38% serta indek nilai
penting 1,73%. Bangkirai (Shorea leavis) termasuk jenis
Tabel 4. Urutan jenis dominan di hutan alam produksi Famili Dipterocarpaceae memiliki sekitar 300 species yang
terbagi dalam 10 Genera dan 9 diantaranya terdapat di
No Nama lokal Nama latin KA KR FA FR DA DR INP Indonesia, diantaranya adalah Anisoptera/mersawa (ada sekitar
(%) (%) (%) (%) 10 species), Cotylelobium (ada sekitar 5 species),
1 Meranti mrh Shorea spp 110,644 38,537 0,952 17,241 14,202 42,462 98,240 Dipterocarpus/ keruing (ada sekitar 40 species), Dryobalanops/
2 Keranji Diallium sp 23,810 8,293 0,429 7,759 2,283 6,826 22,877 kapur (ada sekitar 8 species), Hopea /merawan (ada sekitar 30
3 Bangkirai Shorea leavis 19,608 6,829 0,333 6,034 2,773 8,291 21,155 species), Shorea/ meranti (ada sekitar 150 species) dan Vatica /
4 Keruing Dipterocarpus spp 18,207 6,341 0,333 6,034 1,681 5,025 17,401 resak (ada sekitar 35 species).
5 Kempas Koompassia malaccensis 9,804 3,415 0,238 4,310 1,092 3,266 10,991 Genera Shorea sering dikelompokkan dalam 3 bagian, yaitu
6 Medang Litsea sp 9,804 3,415 0,238 4,310 0,784 2,345 10,070 1. Meranti Kuning (Shorea spp) seperti: Shorea multiflora
Sym., Shorea cuminatissirna Sym., Shorea fagultiana
7 Tengkawang Shorea pinanga 2,801 0,976 0,095 1,724 2,283 6,826 9,526
Heim.. Shorea gibbosa Brandis, Shorea hopeifolia Sym.
8 Scapium Scapium podocarpum 7,003 2,439 0,238 4,310 0,896 2,680 9,429 dan lain-lain.
9 Kelampai Elateriospermum sp 7,003 2,439 0,238 4,310 0,784 2,345 9,094 2. Meranti Putih (Shorea spp) seperti: Shorea lamellata
10 Mandarahan Knema pallens 5,602 1,951 0,190 3,448 0,196 0,586 5,986 Foxw., Shorea javanica. K.et.V., Shorea assamica Dyer.,
11 Pelepek Dipterocarpus lowii 4,202 1,463 0,143 2,586 0,588 1,759 5,808 Shorea bracteolata Dyer. Shorea ochracea Sym.,
12 Mahawai Mezettia parvifolia 4,202 1,463 0,143 2,586 0,364 1,089 5,138 Shorea retinodes V.SI., Shorea virescens Parijs dan lain-
13 Meranti pth Shorea spp 4,202 1,463 0,143 2,586 0,350 1,047 5,097 lain.
14 Ulin Eusyderoxylon zwagery 5,602 1,951 0,095 1,724 0,406 1,214 4,890 3. Meranti Merah (Shorea spp) seperti: Shorea acuminata
15 Hovea Hopea multiflora 4,202 1,463 0,143 2,586 0,210 0,628 4,678 Mig., Shorea leprosula Shorea uliginosa Mig., Shorea
16 Jambuan Syzigium sp 2,801 0,976 0,095 1,724 0,504 1,508 4,207 pachyphylla Ridl., Shorea parvifolia Dyer., Shorea
17 Petaian Jacaranan chelosia 4,202 1,463 0,095 1,724 0,252 0,754 3,941 johorensis, Foxw., Shorea teysmanniana Dyer.. Shorea
18 Ky bawang Scorodocarpus sp 2,801 0,976 0,095 1,724 0,392 1,173 3,872 stenoptera Burch., Shorea smithiana Sym., Shorea
19 Meranti kng Shorea spp 2,801 0,976 0,095 1,724 0,294 0,879 3,579 selanica B1., Shorea platy-clados Sym., Shorea
20 Kumpang Myristica iners 2,801 0,976 0,095 1,724 0,252 0,754 3,454 platycarpa Heim. dan lain-lain.
21 Kapur Dryobalanops spp 1,401 0,488 0,048 0,862 0,658 1,968 3,318 Di beberapa daerah di Kalimantan meranti (Shorea spp)
22 Tarap Arthocarpus rigidus 2,801 0,976 0,095 1,724 0,196 0,586 3,286
sering disebut dengan nama damar, tengkawang (berbuah
23 Bintangur Calophyllum inophyllum 2,801 0,976 0,048 0,862 0,476 1,424 3,261 tengkawang), kenuar, kontoi, lanan, putang dan kakan. Di
24 Jangkang Zingiberaceae 2,801 0,976 0,095 1,724 0,154 0,461 3,160 Lampung meranti sering disebut engkabang, lentong, ponga
25 Nyatoh Palaquium sp 2,801 0,976 0,095 1,724 0,140 0,419 3,119 dan awang. Sedangkan nama lokal yang sering dipakai di
26 Parashorea Parashorea sp 2,801 0,976 0,095 1,724 0,140 0,419 3,119 Sumatera secara umum adalah meranti, erkuyung, sirantih,
27 Manggisan Garcinia sp 2,801 0,976 0,095 1,724 0,112 0,335 3,035 ketuko, sanio dan melebekan. Di Maluku orang sering menyebut
28 Resak Vatica rasak 2,801 0,976 0,048 0,862 0,126 0,377 2,215 dengan nama seku atau kayu bapa. Nama lainnya adalah red
29 Marijang Sindora sp 1,401 0,488 0,048 0,862 0,182 0,544 1,894 meranti (USA, England, Malaysia dll), red seraya (Sabah
30 Mahusum Shorea fatoiensis 1,401 0,488 0,048 0,862 0,126 0,377 1,727 Malaysia), rouge (Perancis), royo (Spanyol), rosso (Itali), saya
31 Tapos Elateriospermum tapos 1,401 0,488 0,048 0,862 0,098 0,293 1,643 (Thailand), red lauan (Pilipina) dan lain-lain.
32 Jenis lainnya (komulatif) 9,8039 3,4146 0,3333 6,0345 0,4482 1,3400 10,7892 Meranti merah mempunyai berat jenis antara 0,29 sampai
JUMLAH 287 100 6 100 33 100 300 1,01 dengan kelas awet II-IV dan kelas kuat II-IV. Selain
Sumber: Hasil inventarisasi hutan di Kabupaten Kapuas bangkirai, pada umumnya kayu meranti tidak terlalu keras
sehingga mudah dikerjakan dengan peralatan yang sederhana. Tabel 6. Jenis tanaman Dipterocarpaceae yang disarankan
Pada Tabel 5 terlihat berat jenis, kelas awet dan kelas kuat untuk dikembangkan
beberapa jenis kayu menurut Kartasujana dan Martawijaya
(1979). No Jenis-jenis unggulan yang disarankan untuk Sumber
dikembangkan
1. Anisoptera leavis, Hopea scaphula, Dipterocarpus Appanah dan Weinland
Tabel 5. Berat jenis, kelas awet dan kelas kuat beberapa jenis baudii, D.costulatus, D.kerii, Dryobalanop (1993).
kayu unggulan dari hutan alam aromatica, D.oblongfolia, Hopea odorata, Shorea Lokasi: Semenanjung
acuminate, S.leprosula, S.macroptera, Malaysia
S.macrophylla, S.parvifolia, S.playclados dan
No Nama Berat Kelas awet Kelas kuat S.ovalis.
Jenis
2. Shorea leprosula, S. johorensis, S. platyclados, S. Ditjen BPK (2005). Lokasi:
1. Bangkirai 0,6-1,16 I-III I-II macrophylla, S. parvifolia, S. selanica dan S. Hutan dataran
2. Keruing 0,5-1,01 II-III II smithiana
3. Meranti merah 0,29-1,01 II-IV II-IV 3. Shorea leprosula, S.playclados, S.parvifolia, Kollert et al. (1994)
4. Meranti putih 0,29-0,96 III-IV II-IV S.macrophylla, S.ovalis, Hopea odorata, Lokasi: Hutan dataran
5. Ulin 0,88-1,19 I I Dryobalanops aromatica, D.lanceolata,
D.oblongfolia, Anisoptera leavis, A.scaphula dan
Dipterocarpus baudii

4. Shorea macrophylla, S.parvifolia, S.platyclados, NG dan Tang (1974)


S.leprosula, S.regosa, S.macroptera, S.acuminate, dalam Soekotjo (2009)
PENENTUAN JENIS UNGGULAN LOKAL UNTUK S. resinosa dan S.bracteolate Lokasi: Hutan dataran
PENANAMAN DAN PENGAYAAN
5. Shorea.leprosula, S.johorensis, S.smithiana, PT Balik Papan Forest Intern.
S.parvifolia, Dryobalanops lanceolata, S.pinanga (2010)
Faktor terpenting dalam pembangunan hutan tanaman dan S.ovalis Lokasi: Tanaman operasional
dipterocarpa adalah ketepatan dalam pemilihan jenis (Mori
6. Shorea leprosula, S.parvifolia, S.platyclados dan PT. Erna Djuliawati (2010)
2001). Berdasarkan hasil penelitian dibeberapa perusahaan, S.macrophylla Lokasi:Kalteng
jenis meranti selalu muncul sebagai jenis unggulan lokal yang
layak dikembangkan untuk pada kegiatan penanaman dan 7. Shorea platyclados, S.johorensis, S.stenoptera, PT Sari Bumi Kusuma (2010)
S.leprosula, dan S.parvifolia. Lokasi:
perkayaan. Sebagai contoh, PT Gunung Meranti, PT Dasa
Intiga, PT. Austral Bina dan lain-lain telah menetapkan jenis 8. Shorea parvifolia, S.dasyphylla, S.johorensis, PT Sari Bumi Kusuma (2010)
S.leprosula, S.fallax dan S.seminis Lokasi: Tanaman opera
meranti (terutama Shorea leprosula dan Shorea parvifolia) untuk sional (Kalteng)
dikembangkan secara luas pada kegiatan pengusahaan hutan 9. Shorea leprosula, S.macrophylla, S.parvifolia, PT Sarpatim (2010)
sistem TPTI Intensif. Berdasarkan hasil penelitian beberapa ahli S.scaberina, S.platyclados, S.pinanga dan Lokasi: Kalteng
S.johorensis
silvikultur, terdapat beberapa jenis tanaman dipterocarpa yang
dapat dikembangkan secara luas. 10. Shorea platyclados, S.leprosula, S.pinanga, PT Suka Jaya Makmur
S.mecistopteryx, S.parvifolia, S.johorensis, (2010)
S.macrophylla, dan S.ovalis. Lokasi: Kalbar

11. Shorea leprosula. S.johorensis, S.parvifolia, Yasman dan Natadiwirya


S.smithiana, S.pauciflora dan Dryobalanops (2001).
lanceolata. Lokasi: Inhutani I Kaltim.
Tabel 6 menunjukkan bahwa jenis Shorea leprosula dan Khoo KC, editors: Proceedings of The Fifth Round-Table
Shorea parvifolia selalu muncul dalam peringkat atas dari daftar Conference on Dipterocarps. Chiang Mai. November 7-10, 1994.
jenis unggulan di berbagai tempat menyusul jenis Shorea Pp: 344-379.
johorensis dan Shorea platyclados. Penggunakan beberapa MacKinnon K, Hatta G, Hakimah H, Arthur M. 2000. Ekologi
Kalimantan. Seri Ekologi Indonesia, Buku III. Canadian
jenis tanaman pada kegiatan penanaman sistem TPTII sangat
International Development Agency (CIDA), Prenhallindo,
disarankan untuk menambah jenis-jenis unggulan lain supaya Jakarta.
lebih resisten terhadap serangan hama dan penyakit, lebih Mori T. 2001. Rehabilitation of degraded forest in lowland forest Kutai,
fleksibel dalam memenuhi permintaan pasar yang selalu East Kalimantan-Indonesia. In Kobayasi S, Trunbul JW, Toma T,
berubah, tercipta keunggulan komparatif dan meningkatkan Mori T, Madjid MNNA, editors. Rehabilitation of Degraded
keanekaragaman jenis tanpa mengurangi produktifitasnya. Tropical Forest Ecosytems. CIFOR-Bogor. Pp. 17-26.
Lebih jauh Appanah dan Weinland (1993) serta Na’iem M, Raharjo P. 2006. Petunjuk Teknis Pemaparan Konservasi
Soerianegara (1995) dalam Indrawan (2006) menyatakan Ex-situ Shorea leprosula. ITTO PD 106/01 Rev.1 (F) Fahutan
bahwa jenis Shorea leprosula mempunyai penyebaran genetik UGM, Yogyakarta.
yang paling luas meliputi pulau Kalimantan dan Sumatera [PT BFI] PT Balikpapan Forest Industries. 2010. Makalah Rapat
Koordinasi Pelaksanaan Silin, Ditjen BPK, Jakarta.
sehingga lebih leluasa melakukan seleksi untuk tujuan
[PT ED] PT Erna Djuliawati. 2010. Riset Pengembangan Model
pemuliaan pohon pada tahap berikutnya. Silvikultur Intensif. Konsep dan Aplikasi. Makalah Rapat
Daftar jenis-jenis unggulan seperti yang tercantum dalam Koordinasi Pelaksanaan Silin, Ditjen BPK, Jakarta.
Tabel 3 dapat dijadikan acuan dalam menentukan jenis [PT GM] PT Gunung Meranti. 2007b. Rencana Karya Tahunan Usaha
unggulan lokal yang akan dikembangkan dalam kegiatan Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu PT Gunung Meranti Tahun
penanaman seperti penanaman dalam jalur sistem TPTII serta 2008. PT Gunung Meranti Banjarmasin.
berbagai kegiatan lainnya seperti reboisasi, pembangunan [PT SBK] PT Sari Bumi Kusuma. 2010. Pelaksanaan Silvikultur
hutan tanaman dan lain-lain, dengan tetap memperhatikan Intensif Meranti. Makalah Rapat Koordinasi Pelaksanaan Silin,
kondisi tempat tumbuh yang sesuai dengan pertumbuhan jenis- Ditjen BPK, Jakarta.
jenis Dipterocarpaceae. [PT Sarpatim] PT Sarmiento Parakantja Timber. 2010. Pelaksanaan
Silvikultur Intensif Meranti di PT Sarpatim. Makalah Rapat
Koordinasi Pelaksanaan Silin, Ditjen BPK, Jakarta.
DAFTAR PUSTAKA
[PT SJK] PT Suka Jaya makmur. 2010. Hasil-Hasil Penelitian
Pelaksanaan Silvikultur Intensif. Makalah Rapat Koordinasi
Appanah S, Weinland G. 1993. Planting Quality Timber Trees in
Pelaksanaan Silin, Ditjen BPK, Jakarta.
Peninsular Malaysia. Forest Research Institute Malaysia.
Soekotjo. 2009. Teknik Silvikultur Intensif (Silin). Gadjah Mada
Kepong. Malayan Forest Record No. 38.
University Press.
[Ditjen BPK] Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. 2005.
Wahyudi. 2011. Pertumbuhan Tanaman dan Tegakan Tinggal pada
Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor
Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif. Jurnal
SK.226/VI-BPHA/2005 Tentang Pedoman Tebang Pilih Tanam
Hutan Tropika Vol.6 No.1 Tahun 2011.
Indonesia Intensif (Silin). Departemen Kehutanan, Jakarta.
Whitmore TC. 1975. Tropical Rain Forest of the Far East. Clarendon
Indrawan A. 2006. Keanekaragaman Genetis. Makalah disampaikan
Press, Oxford.
dalam rangka fasilitasi penerapan Sistem Silvikultur Intensif di
Yasman I, Natadiwirya M. 2001. Dipterocarp plantation: The strategy
areal IUPHHK. Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan,
and the approaches of PT Inhutsni I. In Tielges B, Sastrapradja
Departemen Kehutanan, Jakarta.
SD, Rimbawanto A, editors. In-situ and Ex-situ Conservation of
Kollert W, Zuhaidi A, Weinland G. 1994. Sustainable management of
Commercial Tropical Trees. ITTO-UGM. Yogyakarta. Pp. 407-
dipterocarps species: silviculture and economic. In Appanah S,
412.
y=0,0297x2 + 0,8208x + 0,3728 (R2= 86,89%) and estimated
BAB X. cutting cycle at 30 year old and group polynomial equations (R2>
TEBANG PILIH TANAM JALUR (TPTJ) TEKNIK SILIN: 95%) estimated cutting cycle at 32 years old. The best model
PEMODELAN PERTUMBUHAN TANAMAN MERANTI was group polynomial equations that represented exponential
PADA JALUR TANAM equation and average polynomial equation in the yield of
(Intensified Selective Cutting and Line Planting System: volume.
Modelling Growth and Yiels of Meranti in the Line Planting) Keywords: Shorea leprosula, exponential, polynomial, equation

Oleh:
I. PENDAHULUAN
Dr. Ir. Wahyudi, MP
Pakar Silvikultur, Universitas Palangka Raya Latar Belakang
Kep. Dirjen BUK No. SK.38/VI-BUHA/2012
Tanggal 15 Juni 2012 Meranti adalah salah satu jenis pohon dari famili
HP: 0815 2156 0387, E-mail: isanautama@yahoo.com Dipterocarpaceae yang mendominasi hutan alam di wilayah
Indonesia bagian Barat dan Tengah (McKinnon et al. 2000)
Untuk: dengan kualitas kayu yang baik. Jenis ini juga mendominasi
target produksi kayu bulat dari hutan alam dan menjadi
Kementerian Kehutanan primadona industri kayu lapis (plywood) dan wood working di
Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan era 80-90an (Wahyudi 2009). Dengan demikian pengembangan
Direktur Bina Usaha Hutan Alam tanaman meranti untuk meningkatkan produktifitas hutan adalah
langkah yang tepat.
Sejalan dengan makin tingginya laju degradasi dan
Abstract deforestasi di Indonesia, maka pengembangan tanaman meranti
Selective Cutting and Line Planting (SCLP) silvicultural system menjadi sebuah keharusan, khususnya pada hutan sekunder
can be applied in the logged over forest and low potential forest (logged over forest) dan kawasan hutan yang tidak produktif.
to improve their productivity . The research was aimed to create Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) telah menerapkan
the growth and yield modelling of Shorea plantations in the line teknik hutan tanaman pada sebagian areal pengelolaannya.
planting system. The research was conducted at research plots Menurut Ditjen BPK (2005) dan Soekotjo (2009) jenis meranti
of SCLP in logged over forest of PT Gunung Meranti, Central yang mempunyai riap tertinggi seperti Shorea leprosula dapat
Kalimantan Province. The research plots were divided into dikembangkan dalam jalur tanam pada sistem Tebang Pilih
three plots of Shorea leprosula plantation that planted in 1994 Tanam Jalur (TPTJ).
as plot 1, year 1999 as plot 2 and year 2008 as plot 3 in which Secara umum, pola pertumbuhan tanaman membentuk
consisted of 200 samples of trees, respectively. Data of Shorea grafik sigmoid (Bukhart 2003; Radonja et al. 2003) yang dapat
leprosula growth were evaluated by Stella 9.0.2 and SPSS 13, dirumuskan melalui persamaan eksponensial (Brown 1997;
and predicted using table of volume, exponential and polynomial Grant et al. 1997; Radonsa et al. 2003) dan polinomial (Porte &
equations. The research result showed that exponential Bartelink 2001; Vanclay 2001). Daur ekonomis tanaman dapat
equation was y= 1,0269.e0,012X (R2= 96,02%) and estimated dilihat dari perpotongan antara grafik riap tahunan berjalan (CAI)
cutting cycle at 37 year old, average polynomial equation was dan riap tahunan rata-rata (MAI).
Pertumbuhan tanaman dipengaruhi oleh jenis dan genetik
(Finkeldey 1989; Hani’in 1999), lingkungan atau tempat tumbuh Lokasi dan Waktu Penelitian
(Fisher & Binkley 2000) dan teknik silvikultur (Coates & Philip
1997; Halle et al. 1978). Faktor lingkungan yang berpengaruh Penelitian dilaksanakan pada plot-plot penelitian tanaman
terhadap pertumbuhan tanaman dapat dikelompokkan menjadi meranti (Shorea leprosula) dalam jalur yang ditanam tahun 1994
dua, yaitu faktor iklim dan faktor tanah. Faktor iklim terdiri dari dan 1999 serta pada jalur tanam sistem TPTJ yang ditanam
curah hujan, cahaya, suhu, kelembaban, angin dan letak tahun 2008. Semua plot penelitian berada di IUPHHK PT
geografi berdasarkan garis lintang. Sedangkan faktor tanah Gunung Meranti yang terletak di Kecamatan Kapuas Hulu,
terdiri dari sifat fisik, kimia dan biologi tanah, kelerengan, aspek, Kabupaten Kapuas Provinsi Kalimantan Tengah.
ketinggian dan drainase. Pengambilan data diameter dan tinggi tanaman pada plot 1
Sampai dengan tahun 2010 terdapat 29 Izin Usaha dan 2 dilakukan tahun 2010 (umur 11 dan 16 tahun) sedangkan
pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) yang menerapkan pada plot 3 dilakukan setiap bulan Pebruari tahun 2008, 2009
sistem TPTJ (Ditjen BPK 2010) dan menggunakan jenis meranti dan 2010 atau pada saat tanaman berumur 0, 1 dan 2 tahun.
sebagai tanaman unggulan dalam jalur tanam. Mengingat
keberadaannya yang masih relatif baru maka sistem ini masih Metode Penelitian
banyak memerlukan input-input sebagai bagian dari teknik
silvikultur dalam rangka memantapkan pelaksanaannya di masa 1. Penelitian dilakukan pada tiga plot tanaman meranti
datang. Salah satu input yang cukup penting adalah pemodelan (Shorea leprosula) dalam jalur tanam masing-masing
pertumbuhan tanaman meranti di dalam jalur tanam untuk berukuran 500 m x 60 m (=30.000 m2). Lebar jalur tanam
memprediksi pertumbuhan dan hasil yang merupakan 3-5 m dan jarak antar tanaman dalam jalur 2,5 m. Lebar
gambaran nyata di lapangan. Pemodelan dapat mempermudah jalur antara 17 m sehingga jarak tanam keseluruhan 2,5 x
kita dalam melakukan evaluasi hasil tanaman dan kemungkinan 20 m (Gambar 1). Ketiga plot penelitian mempunyai
penerapan rekayasa dan teknik silvikultur yang diperlukan. kondisi tapak yang relatif sama, yaitu jenis tanah podsolik
merah kuning dengan struktur tanah gumpal beragregat
Tujuan dan Manfaat Penelitian kurang serta mempunyai permeabilitas yang rendah.
Tekstur tanah berupa geluh lempung pasiran dan pada
Penelitian ini bertujuan untuk menyusun model lapisan bawah (>25 cm) didominasi lempung. Dengan
pertumbuhan tanaman meranti (Shorea leprosula) yang demikian ketiga plot penelitian dianggap mempunyai tapak
dikembangkan dalam jalur tanam serta memilih model yang yang sama serta perlakuan silvikultur yang sama pula
paling baik untuk memprediksi pertumbuhan tanaman tersebut. berupa pembukaan kanopi secara memanjang.
Penelitian diharapkan dapat bermanfaat bagi para pihak 2. Plot 1 adalah tanaman meranti yang ditanam tahun 1994
(stakeholder), khususnya para pelaksana sistem TPTJ, dalam (umur 16 tahun), plot 2 ditanam tahun 1999 (umur 11
memprediksi pertumbuhan tanaman dan perolehan hasil pada tahun) dan plot 3 ditanam tahun 2008. Masing-masing plot
saat pemanenan. diambil sample tanaman secara acak sebanyak 200
tanaman
3. Pengukuran dilakukan terhadap diameter (dbh) dan tinggi
bebas cabang tanaman

II. METODOLOGI
4. Siklus tebang ditentukan pada saat tanaman meranti telah 3. Model 2: Pertumbuhan tanaman rata-rata berdasarkan
mencapai diameter 50 cm ke atas (Ditjen BPK 2005, fungsi riap dan waktu menggunakan persamaan polinomial
Soekotjo, 2009). rata-rata (Porte & Bartelink 2001; Vanclay 2001) dengan
persamaan y = c1 + c2x + c3x2, dimana y: diameter akhir rata-
rata, x: waktu dalam tahun dan c1,c2,c3: konstanta
4. Model 3: Pertumbuhan tanaman dipisahkan menjadi lima
Jalur antara
kelompok (5 sub model) tanaman berdasarkan riap, yaitu
kelompok pertumbuhan sangat lambat, lambat, sedang,
cepat dan sangat cepat. Interval riap (5) ditentukan melalui
o o o formula (Pollet & Nasrullah 1994) Ir = rb – rk /5, dimana: Ir :
o o o interval berdasarkan riap, rb : riap terbesar, rk : riap terkecil.
Jalur tanam o o o 500 mm
200
Model-model pertumbuhan tanaman pada lima kelompok
o o o
o o o
tersebut adalah yi = ci1 + ci2x + ci3x2, dimana: yi : diameter
o o o
akhir rata-rata kelompok ke-i, x: waktu (tahun) dan ci1,ci2,ci3 :
o o o konstanta
o o o Hasil perhitungan dari ketiga model tersebut dilakukan uji
o o o beda (LSD test) untuk menentukan model pertumbuhan
o o o tanaman yang paling baik. Perangkat lunak yang digunakan
2,5 m
o o o
dalam penelitian ini adalah Stella 9.0.2 dan SPSS.19.
8,5 m 3 m 17 m 3m 17 m 3m 8,5 m
60 m
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambar 23. Layout penelitian tanaman meranti dalam jalur
tanam sistem TPTJ
1. Model 1: Persamaan eksponensial
Analisis Data
Pertumbuhan diameter merupakan fungsi dari diameter
Pertumbuhan dan hasil tanaman meranti (Shorea leprosula) sebelumnya yang tumbuh membesar dipengaruhi oleh jenis dan
diprediksi dengan menggunakan beberapa analisis sebagi sifat genetik (Finkeldey 1989), kondisi lingkungan, baik edafis
berikut: maupun klimatis (Fisher & Binkley 2000, Kozlowski & Pallardy
1. Volume pohon Shorea leprosula ditentukan berdasar 1997) serta perlakuan yang diberikan (silvicultural treatment)
diameternya menggunakan persamaan tabel volume lokal (Coates & Philip 1997, Halle et al. 1978). Perkembangan
(Wahyudi & Matthews 1996) sebagai berikut: diameter pohon yang dihasilkan dapat menggambarkan
V= 0,0001175D 2,56177, dimana: V: volume pohon berdiri (m3) dinamika pertumbuhan tegakan dalam luasan tertentu yang
dan D: dbh (cm) dicerminkan melalui jumlah pohon/ha, luas bidang dasar/ha atau
2. Model 1: Pertumbuhan tanaman sigmoid menggunakan volume/ha (Gadow & Hui 1999; Vanclay 1995, 2001) dan pada
persamaan eksponensial (Brown, 1997; Grant et al. 1997; tahap ini faktor kematian (mortality) dapat disertakan dalam
Radonsa et al. 2003), yaitu y= c1.e c2X , dimana: x: model pertumbuhan untuk mendapatkan gambaran potensi
diameter awal, y: diameter akhir, c1,c2: konstanta hutan yang lebih baik (Bettinger et al. 2009; Fyllas et al. 2010).
Pola pertumbuhan tanaman dalam jalur tanam, seperti pada Model ini memprediksi pencapaian diameter tanaman meranti
sistem TPTJ, menyerupai model pertumbuhan hutan seumur (Shorea leprosula) sebesar 50 cm ke atas (51,73 cm) pada
(even-aged stand forest) yang berbentuk sigmoid growth umur 30 tahun (Gambar 3).
dengan persamaan eksponensial (Brown 1997; Grant et al.
1997; Radonsa et al. 2003). Pemodelan tanaman meranti 3. Model 3: Persamaan polinomial pada 5 kelompok riap
(Shorea leprosula) berumur 0, 1, 2, 11 dan 16 tahun tanaman
menggunakan persamaan eksponensial menghasilkan
persamaan sebagai berikut: Penentuan persamaan polinomial pada 5 kelompok riap
y= 1,0269.e0,012X dengan nilai koefisien determinasi (R2)= tanaman meranti (Shorea leprosula) (5 sub model) didasarkan
96,02% pada kecepatan pertumbuhannya (Pollet dan Nasrullah 1994).
Dimana= y : diameter akhir; x : diameter awal Sub model 1 adalah pertumbuhan sangat lambat, sub model 2
Model ini memprediksi pencapaian diameter akhir tanaman adalah lambat, sub model 3 adalah sedang, sub model 4 adalah
meranti (Shorea leprosula) sebesar 50 cm ke atas (51,09 cm) cepat dan sub model 5 adalah sangat cepat. Prosentase
pada umur 37 tahun (Gambar 2). pohon yang terdapat pada masing-masing kelompok (sub
model) serta bentuk persamaan pertumbuhannya disajikan
dalam Tabel 2.
2. Model 2: Persamaan polinomial rata-rata
Tabel 7. Lima sub model pertumbuhan tanaman meranti
Pertumbuhan tanaman dapat diasumsikan sebagai fungsi berdasarkan kelas riapnya
dari waktu. Dimensi diameter akan semakin membesar dengan
semakin bertambahnya waktu, namun pada periode tertentu Kelas pertumbuhan Jumlah tnm (%) MAI Φ (cm/th) Persamaan R2
harus disertai informasi pembatas sehingga pertumbuhan tidak
lagi meningkat atau persamaan hanya berlaku sampai umur Sangat lambat 17,36 0,69 y= 0,0181x2 + 0,3801x + 0,3627 95,50%
tertentu. Bentuk kurva sigmoid untuk menggambarkan Lambat 25,62 1,16 y= 0,0131x2 + 0,8299x + 0,4547 97,91%
pertumbuhan pohon dapat diperoleh apabila terdapat data
series yang lengkap, oleh karena itu dalam suatu model Sedang 27,27 1,63 y= -0,0023x2 + 1,3906x + 0,5198 99,12%
pertumbuhan harus menyertakan semua informasi yang 2
tersedia dan terpercaya untuk menghasilkan prediksi yang Cepat 25,62 1,89 y= -0,0217x + 2,0425x + 0,5739 99,57%
dapat dipertanggungjawabkan (Vanclay 2001). Pemodelan 2
Sangat cepat 4,13 2,30 y= -0,0339x + 2,6408x + 0,6353 99,51%
dapat memudahkan perhitungan yang rumit yang disusun oleh
beberapa persamaan dalam waktu bersamaan dengan berbagai
simulasi yang kita kehendaki. Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa sebagian besar
Pemodelan menggunakan persamaan polinomial dengan tanaman berada pada kelompok sub model pertumbuhan
fungsi riap dan waktu (Porte & Bartelink 2001; Vanclay 2001) sedang dengan prosentase 27,27%, menyusul sub model
menghasilkan persamaan sebagai berikut: kelompok pertumbuhan lambat dan cepat masing-masing
y=0,0297x2 + 0,8208x + 0,3728 dengan nilai koefisien 25,62%. Sub model kelompok pertumbuhan sangat cepat yang
determinasi (R2)= 86,89% mempunyai tingkat pertumbuhan tertinggi hanya berada pada
Dimana y : diameter akhir; x : waktu dalam tahun. urutan terakhir dengan prosentase 4,13%. Diperkirakan jumlah
tanaman Shorea leprosula yang mempunyai diameter terbesar
pada akhir daur hanya sebesar 4,13% tersebut, menyusul Berdasarkan uji antar perlakuan (Tabel 3) volume yang
kelompok di bawahnya sebesar 25,62% dan seterusnya. Semua dihasilkan oleh model 3 tidak berbeda nyata dengan model 1
persamaan yang dihasilkan mempunyai nilai koefisien dan model 2 sedangkan model 1 berbeda nyata dengan model
determinasi di atas 95%. Model ini memprediksi pencapaian 2. Dengan demikian model 3 (persamaan polinomial pada 5
diameter tanaman meranti (Shorea leprosula) sebesar 50 cm kelompok riap tanaman) adalah yang paling baik karena dapat
ke atas (50,43 cm) pada umur 32 tahun. mewakili model persamaan 1 dan 2. Keputusan ini diperkuat
dengan nilai koefisien determinasi yang tinggi (diatas 95%) pada
semua sub model pada model persamaan ke-3 (Tabel 2).
60
Sub model Tabel 8. Uji LSD terhadap volume tanaman yang dihasilkan tiga
5
50 model persamaan pertumbuhan
4
3
40
2 Volume Volume Beda rata-rata Standar eror Tingkat kepercayaan
Diameter (cm)

yang dihasilkan yang dihasilkan 95%


1
30 Model 1 Model 2 -63,82 24,21 0,010 *
Model 3 -30,04 24,21 0,217
20
Model 2 Model 1 63,82 24,21 0,010 *
10
Model 3 33,78 24,21 0,166
Model 3 Model 1 30,04 24,21 0,217
0 Model 2 -33,78 24,21 0,166
0 5 10 15 20 25 30 35
Keterangan: *) Berbeda nyata pada tingkat nyata (95%)
Waktu (Th)

Gambar 4. Pertumbuhan diameter Shorea leprosula pada lima Grafik pertumbuhan tanaman Shorea leprosula yang
sub model pertumbuhan menggunakan model 1 memberikan hasil prediksi perolehan
volume pohon per ha yang paling rendah sedangkan model 2
4 Uji antar model yang paling tinggi. Model 3 berada di antara model
pertumbuhan ke-1 dan ke-3. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
Pengujian ketiga model persamaan dilakukan terhadap pada Gambar 25.
volume pohon per ha yang dihasilkan oleh ketiga persamaan di Tingkat pertumbuhan setiap individu pohon dalam tegakan
atas. Berdasarkan hasil uji homogenitas menggunakan SPSS hutan seumur (even-aged stand forest) dan tidak seumur
13 diperoleh nilai Sig.= 0,0000036 yang lebih kecil dari 0,05 (uneven-aged stand forets) selalu berbeda. Pendekatan umum
(tarap nyata) sehingga data homogen dan dapat dilakukan menggunakan model tegakan harus mencermati penyimpangan
analisis sidik ragam maupun beda rata-rata. Hasil analisis (koefisien variasi) yang selalu muncul dalam setiap persamaan.
ragam diperoleh nilai Sig.= 0,0341 yang lebih kecil dari 0,05 Makin besar keragaman populasi yang diteliti akan semakin
(terima H1) sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat satu besar pula penyimpangan yang didapatkan sehingga dapat
perlakuan atau lebih yang berbeda nyata terhadap yang lain. mengurangi akurasi prediksi.
kondisi lingkungan dan perlakuan silvikultur sama atau telah
600 dianggap sama, maka perbedaan pola pertumbuhan pada
masing-masing individu atau kelompok individu tersebut
500
disebabkan oleh faktor genetik (Finkeldey, 1989), yang
dikumulatifkan dengan kondisi lingkungan sebagai akibat
Volume (m3/ha)

400
dinamika tegakan yang terbentuk kemudian.
300 Dengan berasumsi pada logika dan fenomena di atas, maka
pemodelan tanaman dalam jalur tanam pada sistem TPTJ lebih
200 sesuai menggunakan model kelompok tanaman berdasarkan
kenampakan (phenotype) awal berupa kecepatan pertumbuhan
100 diameter dan tinggi masing-masing.

0
12

15

18

21

24

27

30

33

36

39
0

Umur tanaman (tahun) IV. KESIMPULAN


Model 1 Model 2 Model 3
Beberapa model pertumbuhan tanaman dapat membantu
memprediksi pertumbuhan dan hasil tanaman meranti (Shorea
Gambar 25. Prediksi volume tanaman per ha pada tiga model leprosula) dalam jalur tanam sistem TPTJ, yaitu
pertumbuhan tanaman 1. Model eksponensial membentuk persamaan y=
0,012X 2
. 1,0269.e dengan nilai koefisien determinasi (R )=
Untuk memperkecil penyimpangan yang ada maka 96,02% dan memprediksi pencapaian diameter tanaman
perhitungan dinamika tegakan dapat dipecah dalam beberapa sebesar 50 cm ke atas (51,09 cm) pada umur 37 tahun.
kelompok tanaman berdasarkan tingkat pertumbuhannya. 2. Model polinomial rata-rata membentuk persamaan
Pemodelan individu pohon atau kelompok pohon telah banyak y=0,0297x2 + 0,8208x + 0,3728 dengan nilai koefisien
dilakukan dengan mendasarkan pada bermacam-macam fungsi. determinasi (R2)= 86,89% dan memprediksi pencapaian
Rodriguez et al. (2003) menggunakan sub model pertumbuhan diameter tanaman sebesar 50 cm ke atas (51,73 cm) pada
pohon Populus euramericana pada hutan seumur monoculture umur 30 tahun
berdasarkan kelas tapak. Vanclay (1995) dan Radonsa et al. 3. Sub-sub model polinomial pada lima kelompok tanaman
(2003) menyebutkan adanya pengelompokan dalam pemodelan mempunyai nilai koefisen determinasi di atas 95% dan
kelas tegakan (sub model) berdasarkan kerapatan, tapak dan memprediksi pencapaian diameter tanaman sebesar 50 cm
lain-lain ke atas (50,43 cm) pada umur 32 tahun. Model ini adalah
Sering ditemukan adanya hutan tanaman seumur yang paling baik dalam memprediksi pertumbuhan dan hasil
(monoculture) yang tumbuh pada kondisi tapak dan kerapatan tanaman, karena dapat mewakili model eksponensial
yang relatif seragam, namun tetap dijumpai adanya perbedaan maupun model polinomial rata-rata.
pola pertumbuhan pada masing-masing individu atau kelompok
individu penyusun tegakan tersebut. Beberapa unit manajemen
menyiasati fenomena ini dengan melakukan penjarangan agar
terbentuk tegakan yang lebih seragam. Apabila jenis tanaman,
DAFTAR PUSTAKA Hutan Jangka Panjang. Wanagama I. Fakultas Kehutanan
UGM, Yogyakarta.
Bettinger P, Boston K, Siry JP, Grebner DL. 2009. Forest Kozlowski TT, Pallardy SG. 1997. Physiology of Woody Plants.
management and planning. Academic Press – Elsevier. Academic Press.
Brown S. 1997. Estimating biomass change of tropical forest a primer. MacKinnon K, Hatta G, Hakimah H, Arthur M. 2000. Ekologi
FAO Forestry Paper No.134. FAO USA. Kalimantan. Seri Ekologi Indonesia, Buku III. Canadian
Burkhart HE. 2003. Suggestion for choosing an appropriate level for International Development Agency (CIDA), Prenhallindo, Jakarta
modelling forest stand. In Amaro A, Reed D, Soares P, editors. Pollet A, Nasrullah. 1994. Penggunaan Metode Statistika untuk Ilmu
Modelling Forest System. CABI Publishing. Hayati. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Coates KD, Philip JB. 1997. A gap-based approach for development of Porte A, Bartelink HH. 2001. Modelling mixed forest growth: a review
silvicultural system to address ecosystem management of models for forest management. Eco. Model. Journal.
objectives. Journal Forest Ecology and Management 99 (1997) Radonsa PJ, Koprivica MJ, Lavadinovic VS. 2003. Modelling current
337-35. annual height increment of young Douglas-fir stands at different
[Ditjen BPK] Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. 2005. site. In Amaro A, Reed D, Soares P, editors. Modelling Forest
Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor System. CABI Publishing.
SK.226/VI-BPHA/2005 Tentang Pedoman Tebang Pilih Tanam Rodriguez F, De La Rosa JA, Aunos A. 2003. Modelling the diameter
Indonesia Intensif (Silin). Departemen Kehutanan, Jakarta. at breast height growht of Populus euramericana plantation
[Ditjen BPK] Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. 2010. timber in Spain. In Amaro A, Reed D, Soares P, editors.
Surat Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No. Modelling Forest System. CABI Publishing.
SK.31/VI-BPHA/2010 tentang Penunjukan Pemegang IUPHHK Soekotjo. 2009. Teknik Silvikultur Intensif (Silin). Gadjah Mada
pada Hutan Alam sebagai Pelaksana Silvikultur TPTJ dengan University Press.
teknik Silin. Ditjen Bina Produksi Kehutanan, Jakarta. Vanclay, J.K., 1995. Growth models for tropical forest: A synthesis of
Finkeldey R. 1989. An Introduction to Tropical Forest Genetic. models and methods. Royal Veterinary and Agricultural
Institute of Forest Genetics and Forest Tree Breeding, University.Thorvaldsensvej 57. DK-1871 Frederiksberg,
Goettingen, Germany. Denmark.
Fisher RF, Binkley. 2000. Ecology and Management of Forest Soil. Vanclay JK. 2001. Modelling Forest Growth and Yield. Applications to
Third Edition. John Wiley & Sons, Inc., New York. Mixed Tropical Forest. CABI Publishing.
Fyllas NM, Politi PI, Galanidis A, Dimitrakopoulo PG, Arianoutsou M. Wahyudi. 2009. Selective cutting and line enrichment planting
2010. Simulating regeneration and vegetation dynamics in silvicultural system development on Indonesian tropical rain
Mediterranean Coniferous Forest. Ecology Modelling Journal. forest. In: GAFORN-International Summer School, Geor-August
34. Universität Göttingen and Universität Dresden, Germany.
Gadow KV, Hui G. 1999. Modelling Forest Development. Kluwer Wahyudi, Matthews P. 1996. Tabel Volume Lokal di Areal PT Gunung
Academic Publishers. Meranti. Proyek Pembentukan KPHP Wilayah Kalimantan
Grant WE, Pedersen EK, Marin SL. 1997. Ecology and Natural Tengah. Kerja sama Departemen Kehutanan RI dengan
Resource Management. Systems Analysis and Simulation. Overseas Development Administration (ODA) Kerajaan Inggris.
John Wiley & Sons, Inc.
Halle F, Oldeman RAA, Tomlinson PB. 1978. Tropical Trees and
Forest, An Architectural Analysis. Springer Verlag Berlin-
Heidelberg-New York.
Hani’in O. 1999. Pemuliaan pohon hutan Indonesia menghadapi
tantangan abad 21. Dalam Hardiyanto EB, editor. Prosiding
Seminar Nasional Status Silvikultur 1999. Peluang dan
Tantangan Menuju Produktifitas dan Kelestarian Sumberdaya
BAB XI.
ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL SISTEM
TEBANG PILIH TANAM JALUR DI HUTAN PRODUKSI I. PENDAHULUAN
(Financial Feasibility Analysis of Selective Cutting
and Strips Planting System in Production Natural Forest) Latar Belakang

Oleh: Luas kawasan hutan di Indonesia adalah 136.559.885 ha


dan seluas 81.810.490 ha atau 59,9% diantaranya berupa
Dr. Ir. Wahyudi, MP kawasan Hutan Produksi (BUK, 2010). Pengelolaan hutan alam
Pakar Silvikultur, Universitas Palangka Raya mulai dilakukan dalam kawasan hutan alam produksi dalam
bentuk Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (dulu
Untuk: bernama Hak Pengusahaan Hutan) sejak tahun 1972
Kementerian Kehutanan menggunakan sistem silvikultur Tebang Pilih Indonesia (TPI)
Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan berdasarkan Surat Keputusan Dirjen Kehutanan Nomor
Direktur Bina Usaha Hutan Alam 35/Kpts/DD/I/1972 tanggal 13 Maret 1972. Sistem silvikultur
Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) diterapkan pada tahun
1989 sampai sekarang berdasarkan Surat Keputusan Menteri
Abstract Kehutanan Nomor 485/Kpts/II/1989 yang dijabarkan dalam
petunjuk teknis TPTI berdasarkan Keputusan Dirjen
The Selective Cutting and Strip Planting (SCSP) silvicultural Pengusahaan Hutan Nomor 564/Kpts/IV-BPHH/1989 dan
system which has been widely implemented since 2007 is Nomor 151/Kpts/IV-BPHH/1993 serta Peraturan Dirjen Bina
trusted could to improve production natural forest productivity in Produksi Kehutanan (BPK) Nomor P.9/VI/BPHA/2009. Pada
Indonesia. This research aimed to know the feasibility financial tahun 1993 mulai diujicobakan sistem silvikultur Tebang Jalur
of forest management using SCSP system. Research was Tanam Indonesia (TJTI) dalam skala penelitian. Sistem ini
conducted at IUPHHK-HA of PT Gunung Meranti (forest kemudian berubah menjadi Tebang Jalur Tanam Konservasi
concession) in Kapuas Regency, Central Kalimantan Province. (TJTK) dan pada tahun 1997 berubah lagi menjadi sistem Hutan
Data processing of input and output has been done since 2007 Tanaman Industri dengan Tebang Tanam Jalur (HTI-TTJ).
to 2011. Data were analysed using net present value and Pada tahun 1998 sistem HTI-TTJ berubah menjadi sistem
benefit cost ratio. Research result showed that production Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) yang diterapkan sampai tahun
natural forest management using SCSP system which it 2002. Pada tahun 2005 diterapkan sistem Tebang Pilih Tanam
benefitted the prepared cutting in PT. Gunung Meranti (forest Indonesia Intensif (TPTII) dengan teknik yang mirip dengan
concession) had attained break event point at 7th years with net sistem TPTJ. Sistem TPTII mampu menggabungkan konsep
present value was Rp. 4.139.693,-/ha and benefit cost ratio was penanaman/pengayaan pada sistem TPTI dengan konsep
1,03. Break event point could be attained in the 3st years if price penanaman dalam jalur tanam pada sistem TPTJ sehingga
of logs is Rp. 1.500.000,-/m3. Implementing the SCSP system, kegiatan penanaman dan perawatan tanaman dapat dilakukan
especially at low potential forest, should be supported by lebih intensif dan mempermudah pengawasannya.
government to better forest management. Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
Keywords: SCSP system, input and output, net present value, P.11/Menhut-II/2009 terdapat lima sistem silvikultur yang dapat
sensitively diterapkan dalam kawasan hutan di Indonesia, yaitu sistem
TPTI, TPTJ dan tebang rumpang untuk hutan tidak seumur Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) merupakan
(uneven-aged forest) dan sistem Tebang Habis Permudaan kombinasi sistem tebang pilih dengan limit diameter 40 cm ke
Buatan dan Tebang Habis Permudaan Alam untuk hutan atas dan tebang habis dengan penanaman buatan dalam jalur
seumur (evenaged forest). tanam selebar 3 m. Jarak tanam dalam jalur 2,5 m dengan
Sistem TPTJ sebagai pengganti sistem TPTII diterapkan lebar jalur antara 17 meter sehingga tanaman membentuk jarak
bersamaan dengan sistem TPTI. Sistem ini sangat sesuai tanam 2,5 m x 20 m (Dirjen BPK, 2005; Dirjen BPK, 2009;
diimplementasikan pada hutan tidak seumur bekas tebangan Soekotjo, 2009; Wahyudi et al, 2010). Desain jalur tanam dan
(loged over forest) dan hutan rawang (low potential forest) dan jalur antara ditunjukkan dalam Gambar 1.
dipercaya dapat meningkatkan potensi hutan pada akhir daur Sistem silvikultur yang menerapkan penanaman/pengayaan
sehingga prospek pengusahaan hutan produksi menjadi lebih dalam jalur ini pertama kali diperkenalkan oleh Aubreville di
menarik (Soekotjo, 2009; Wahyudi et al, 2010). Menurut Ditjen Afrika Barat dan Afrika Tengah dan disempurnakan oleh
BPK (2005) tujuan umum teknik TPTJ adalah membangun Catinot. Penanaman dalam jalur memungkinkan terbentuk
hutan tropis yang lestari dan dinamis, yang dicirikan dengan regenerasi dan pertumbuhan pohon yang baik sebagai respon
selalu meningkatnya potensi dan fungsi hutan, baik dari segi dari teknik silvikultur berupa pembukaan kanopi tajuk sehingga
kuantitas maupun kualitas, dari satu rotasi tebang ke rotasi intensitas cahaya lebih banyak (Mitlöhner 2009). Sistem ini juga
tebang berikutnya. Sedangkan tujuan khusus untuk membangun sesuai dengan perkembangan anakan famili Dipterocarpaceae
hutan sebagai transisi menuju hutan tanaman meranti dan untuk yang bersifat semi toleran dengan tetap menjaga kualitas tanah
menjamin fungsi hutan yang optimal. Namun demikian (Soekotjo & Subiakto 2005). Tahapan kegiatan sistem TPTJ
penelitian tentang pertumbuhan dan hasil (growth and yield) menurut Dirjen BPK (2009) adalah penataan areal kerja,
serta analisis finansial tanaman dalam jalur bersih serta tegakan inventarisasi hutan, pembukaan wilayah hutan, pengadaan bibit,
tinggal dalam jalur antara masih belum banyak dilakukan. tebang naungan, penyiapan dan pembuatan jalur tanam,
Prediksi pertumbuhan dan hasil tanaman dalam jalur bersih penanaman dan pemeliharaan tanaman jalur, pembebasan dan
serta tegakan tinggal pada jalur antara yang selalu meningkat penjarangan, pemanenan, perlindungan dan pengamanan
pada sistem TPTII harus didasari pada hasil penelitian yang hutan.
baik dengan memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi Sistem TPTJ telah diterapkan secara bertahap di hutan
pertumbuhan pohon seperti genetik, lingkungan dan teknik alam produksi. Pada tahun 1998 sistem ini diterapkan pada 2
silvikultur. IUPHHK-HA, pada tahun 2005 bertambah menjadi 6 IUPHHK-
Pengelolaan hutan dengan sistem TPTJ memerlukan daur HA, pada tahun 2007 bertambah lagi menjadi 25 IUPHHK-HA
(umur royek) yang relatif lama sehingga investasi dan biaya dan tahun 2009 menjadi 29 IUPHHK-HA.
kegiatan yang ditanam dapat membengkak disebabkan
akumulasi bunga selama daur. Sehubungan dengan hal Tujuan Penelitian
tersebut, analisis finansial pada pelaksanaan sistem TPTJ
sebaiknya dilakukan agar para pihak (stakeholder), khususnya Mengetahui kelayakan finansial pada kegiatan pengelolaan
pihak pengusaha, dapat mengetahui tingkat kelayakan usaha hutan alam produksi menggunakan sistem silvikultur Tebang
pada kegiatan pengelolaan hutan menggunakan sistem TPTJ. Pilih Tanam Jalur (TPTJ).

Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur


II. METODOLOGI 3. Tarif PSDH sebesar Rp. 60.000,- /m3 untuk kelompok
meranti dan Rp. 80.000,-/m3 untuk kelompok kayu indah.
Penelitian dilakukan di areal kerja Izin Usaha Pemanfaatan 3. Tarif DR sebesar USD 16 / m3
Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam (IUPHHK-HA) PT Gunung 4. Iuran pihak ke-3 (dulu retribusi daerah) Rp. 10.000,-/m3.
Meranti, di Kecamatan Mandau Talawang, Kabupaten Kapuas, Analisis sensitifitas dilakukan untuk mengetahui output
Provinsi Kalimantan Tengah, Indonesia. proyek jika terdapat suatu penyimpangan atau perubahan dalam
Penelitian dilakukan melalui analisis pendapatan (input) dasar-dasar perhitungan biaya (cost) maupun manfaat (benefit)
dan pengeluaran (output) perusahaan pada pelaksanaan sistem (Gray et al. 1999). Dalam penelitian ini analisis sensitifitas
TPTJ dari tahun 2007 sampai tahun 2011. Analisis data dilakukan terhadap beberapa tingkat suku bunga, yaitu 0%, 6%,
menggunakan pendekatan nilai sekarang (Net Present Value/ 9% dan 12% dan kenaikan harga jual kayu bulat menjadi Rp.
NPV) dan perbandingan pendapatan dan pengeluran 1,5 juta/m3 serta penurunan harganya menjadi Rp. 1,1 juta/m3.
perusahaan (Benefit Cost Ratio/ BCR) (Djamil, 1993) sebagai
berikut:
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
r Bi r Ci
_______ ________
NPV = ∑ - ∑ Pendapatan
t
t=0 (1+i) t=0 (1+i)t

r Bi r Ci Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur menerapkan tebang


BCR = ∑ _______
: ∑ _______ penyiapan lahan atau tebang naungan dengan limit diameter 40
t=0 (1+i) t
t=0 (1+i)t cm ke atas (Dirjen BPK, 2009). Pendapatan perusahaan
(benefit) diperoleh dari hasil tebang naungan sejak tahun 2007
sampai 2011, seperti terlihat pada Tabel 1 berikut ini.
Dimana:
Bt : penerimaan (benefit) tahun ke-t Tabel 9. Rencana dan realisasi tebang naungan pada sistem
Ct : pengeluaran (cost) tahun ke-t TPTJ di PT. Gunung Meranti
r, t dan i : siklus tebang, waktu (tahun) dan suku bunga
Kriteria: - NPV ≥ 0  proyek layak
Rencana Realisasi
No Tahun
- NPV < 0  proyek tidak layak Luas (Ha) Volume (M3) Luas (Ha) Volume (M3)
- BCR ≥ 1  proyek layak 1 2007 493,00 33.800,00 493,00 6.746,97
- BCR < 1  proyek tidak layak.
2 2008 998,00 60.700,00 998,00 22.404,55
Analisis finansial yang dilakukan menggunakan asumsi-
asumsi sebagai berikut: 3 2009 971,00 35.500,00 971,00 21.512,73
1. Daur tanaman ditentukan berdasarkan pencapain diameter 4 2010 811,00 25.000,00 811,00 18.000,00
tanaman (dalam jalur tanam) sebesar 50 cm ke atas 5 2011 805,00 18.000,00 805,00 16.629,65
2. Harga jual kayu kayu bulat kelompok meranti berdiameter
40-49 cm sebesar Rp. 1.150.000,- / m3 dan berdiameter 50 Rata-rata 815,60 34.600,00 815,60 17.058,78
cm ke atas sebesar Rp. 1.300.000,- /m3 (harga rata-rata
tahun 2009-2010 di wilayah Kalimantan)
Pengeluaran j. Harga solar (non subsidi di lokasi) : Rp. 12.000,-/liter
k. Harga oli (non subsidi di lokasi) : Rp. 20.000,-/liter
Analisis finansial dalam penelitian ini menggunakan l. Harga pelumas (non subsidi di lokasi): Rp. 19.500,-/liter
standar biaya yang mengacu pada ketentuan teknis m. Premi kubikasi operator traktor : Rp. 6.500,-/m3
pelaksanaan TPTJ di IUPHHK-HA PT.Gunung Meranti, dengan n. Gaji helper traktor : Rp. 2.000.000,-/m3
komponen kegiatan teknis meliputi penataan dan perisalahan o. Gaji operator logging truck : Rp. 10.000,-/m3
hutan, pembibitan, pembuatan jalur tanam, penanaman, p. Gaji helper logging truck : Rp. 2.000.000,-
pemeliharaan (penyulaman, penyiangan, pemulsaan, /bulan + insentif
pemupukan) pembebasan dan penjarangan. Standar biaya
kegiatan operasional teknis pembuatan tanaman sistem TPTJ di Tabel 10. Standar biaya operasional teknis lapangan sistem
PT Gunung Meranti (PT.GM, 2010) disajikan dalam Tabel 2. TPTJ
Disamping biaya-biaya di atas, masih terdapat komponen
biaya produksi langsung maupun tidak langsung yang meliputi No Kegiatan teknis Satuan Biaya (Rp) Keterangan
biaya operasional produksi (tebang naungan, penyaradan, 1 Penataan areal ha 7.000
pengangkutan, pemasaran), administrasi umum, tata usaha 2 Risalah hutan ha 113.750
kayu, investasi alat berat, investasi bangunan, penyusutan, gaji 3 Pembibitan btg 700
dan upah, insentif, pajak, kewajiban sosial, bina lingkungan dan 4 Pembuatan jalur tanam dan ajir m 1.370
lain-lain. 5 Penanaman
Perhitungan biaya produksi menggunakan pendekatan hasil a. Lubang tanam dan mulsa btg 1.188
produksi tebang naungan serta standar pengupahan yang b. Penanaman btg 588
diterapkan di PT Gunung Meranti (PT GM, 2010), sebagai 6 Pemeliharaan
berikut: a. Penyiangan dan pemulsaan btg 500
1. Tebang naungan b. Penyulaman (20% tanaman) btg 500
a. Premi kubikasi chainsawman :Rp. 8.000,-/m3 7 Pembebasan m 500
b. Gaji helper chainsaw :Rp. 1.000.000,- 8 Penjarangan m 750
/bulan + Rp. 500,-/m3
2. Penyaradan dan pengangkutan Sumber: PT GM (2012)
a. Jenis alat berat :Buldozer
Caltterpilar D7G Analisis Finansial
b. Tenaga motor : 240 HP
c. Harga alat berat : Rp. 1,4 milyar/unit Berdasarkan hasil analisis finansial terhadap semua
d. Jam kerja alat :3.650 jam per komponen penerimaan (yang berasal dari penjualan kayu bulat
tahun serta nilai sisa unit) serta semua komponen pengeluaran dapat
e. Kapasitas angkut alat :7 sampai 20 m3 diketahui bahwa pada suku bunga 9% (kisaran bunga bank saat
f. Konsumsi bahan bakar :20 liter jam (200 ini) dan harga jual kayu bulat berdiameter 40-49 cm sebesar Rp.
liter/hari) 1.150.000,-/m3 dan berdiameter 50 cm ke atas sebesar Rp. Rp.
g. Komsumsi Oli Sae 10 :20 liter/ bulan 1.300.000,-/m3, maka kegiatan pengusahaan hutan sistem TPTJ
h. Komsumsi pelumas SAE40 :25 liter/ bulan mencapai titik impas (breakeven point) atau baru
i. Produktivitas alat : 7 m3/jam (rata-rata) menguntungkan setelah tahun ke-7, dengan nilai keuntungan
sebesar Rp. 4.139.693,-/ha, sedangkan pada suku bunga 0%, kegiatan lainnya sehingga mampu mempertinggi efisiensi
6% dan 12% titik impas baru dapat dicapai masing-masing pada perusahaan (Indrawan, 2008).
tahun ke-6, ke-6 dan ke-7 dengan nilai keuntungan yang Unit manajemen yang telah berjalan mempunyai sarana
berbeda. Pencapaian titik impas (breakeven point) kelayakan dan prasarana serta investasi awal berupa unit operasional
usaha ini ditandai dengan nilai BCR ≥ 1 dan nilai NPV > 0. produksi dan bangunan pendukung (perkantoran, perumahan,
Gambaran selengkapnya tentang analisis finansial ini dapat gudang, bengkel, dapur umum, pos jaga dan lain-lain) serta
dilihat pada Tabel 3. ditopang oleh kegiatan yang telah berjalan sebelumnya seperti
PMDH dan biaya sosial, perijinan, tata batas areal, tenaga
teknis, tenaga lapangan (buruh) dan lain-lain.
Tabel 11. Nilai NPV dan BCR pada pengelolaan hutan sistem
TPTJ
120.000.000
Tahun Suku bunga 0% Suku bunga 6% Suku bunga 9% Suku bunga 12%
100.000.000
ke NPV BCR NPV BCR NPV BCR NPV BCR
80.000.000
1 -53.114.251 0,35 -53.114.251 0,35 -53.114.251 0,35 -53.114.251 0,35
60.000.000
5 -9.564.693 0,94 -10.346.571 0,93 -10.776.947 0,92 -11.220.217 0,91
6 3.390.717 1,02 108.464 1,00 -1.253.487 0,99 -2.467.484 0,98 40.000.000

NPV (Rp/ha)
7 13.185.257 1,07 6.701.817 1,04 4.139.693 1,03 1.923.552 1,01 20.000.000
10 16.328.284 1,06 9.307.157 1,04 6.394.017 1,03 3.819.509 1,02 0
15 41.128.712 1,10 23.086.416 1,08 16.718.882 1,07 11.572.728 1,05 1 5 6 7 10 15 20 25 30
-20.000.000
20 58.730.515 1,12 29.639.858 1,10 20.802.335 1,08 14.202.557 1,07
-40.000.000
25 56.728.857 1,15 24.096.579 1,11 16.016.178 1,10 10.535.639 1,08
30 107.046.380 1,19 37.396.643 1,14 23.297.030 1,11 14.640.183 1,09 -60.000.000

-80.000.000
Pencapaian waktu titik impas dan kelayakan usaha
Tahun
pengelolaan hutan sistem TPTJ pada tingkat suku bunga 0%,
Suku bunga 0% Suku bunga 6% Suku bunga 9% Suku bunga 12%
6%, 9% dan 12% dapat dilihat pada Gambar 26. Garis yang
telah mencapai sumbu x (axis) atau berada pada posisi sumbu y
(ordinat) sama dengan nol adalah saat pencapaian titik impas. Gambar 26. Nilai NPV (Rp/ha) pengelolaan hutan sistem
Semakin tinggi ordinat suatu garis menunjukkan semakin besar TPTJ pada saat harga kayu bulat meranti
keuntungan yang diperoleh. berdiameter 40-49 cm dan 50 cm ke atas
Pengelolaan hutan sistem TPTJ saat ini banyak dilakukan masing-masing sebesar Rp. 1,15 juta per m3 dan
oleh unit manajemen yang telah berjalan dengan menerapkan Rp. 1,3 juta per m3 dengan tingkat suku bunga
sistem TPTI. Kegiatan yang bersifat multisistem silvikultur ini 0%, 6%, 9% dan 12%.
dapat melakukan subsidi silang dari kegiatan yang satu dengan
Sebuah unit pengelolaan hutan baru yang menerapkan meningkat disebabkan minimnya dana pembinaan pasca
sistem TPTJ tidak mungkin hanya melakukan kegiatan penebangan.
operasional TPTJ saja seperti tebang penyiapan lahan, Menurut Indrawan (2003), siklus tebang pengelolaan hutan
pembibitan, penanaman jalur dan pemeliharaan, namun juga tidak seumur akan mengalami perpanjangan waktu karena
harus melengkapi berbagai sarana dan prasaran penunjang komponen output (penebangan) lebih besar dibanding input
termasuk kegiatan-kegaiatan lain seperti disyaratkan dalam dalam ekosistem hutan. Setiap unit manajemen semestinya
berbagai peraturan yang ada dalam rangka memenuhi membuat simulasi pertumbuhan tegakan berdasarkan struktur
ketentuan kriteria dan indikator pengelolaan hutan produksi dan komposisi tegakan tinggal di arealnya masing-masing,
lestari (PHPL) yang meliputi aspek prasyarat, produksi, ekologi untuk mengetahui siklus tebang lestarinya, bukan ditetapkan
dan sosial. Inilah yang menyebabkan usaha baru di bidang secara seragam untuk semua unit manajemen, misalnya 30
pengelolaan hutan sistem TPTJ tidak langsung menguntungkan, tahun atau 35 tahun. Apabila mengacu pada pendapat ini maka
melainkan harus menunggu sampai beberapa tahun, kecuali pengusahaan hutan sistem TPTJ pada hutan perawan jauh
adanya subsidi silang dari kegiatan yang telah berjalan. lebih menguntungkan dibanding pada areal bekas tebangan
Lamanya waktu menunggu dipengaruhi oleh produksi kayu hasil yang belum mencapai siklus kelestariannya.
tebangan, harga kayu, tingkat suku bunga serta biaya
operasional (Nugroho, 2002). Makin tinggi potensi tegakan Analisis Sensitifitas
hutan yang diperuntukan bagi pengelolaan sistem TPTJ makin
pendek waktu pencapaian titik impasnya dan semakin jauh Berdasarkan hasil analisis sensitifitas menggunakan
lokasi IUPHHK dengan industri pengolahan kayu, maka makin beberapa variasi harga jual kayu bulat serta tingkat suku bunga,
tinggi biaya pemasaran yang dikeluarkan. dapat dilihat bahwa apabila harga kayu bulat sebesar Rp.
Pengelolaan hutan sistem TPTJ sudah dapat memberi 1.300.000,- per m3 maka akan mencapai titik impas dan
keuntungan, meskipun tanaman dalam jalur belum dipanen, memberikan kelayakan usaha pada tahun ke-6 pada tingkat
karena memanfaatkan hasil tebang naungan. Pengelolaan suku bunga 0% dan 6% dan pada tahun ke-7 pada tingkat suku
hutan sistem TPTJ pada areal yang tidak memberi hasil tebang bunga 9% dan 12%. Sedangkan pada harga kayu bulat Rp
naungan sudah dapat dipastikan baru mencapai titik impas 1.200.000,- per m3 baru mencapai titik impas dan memberikan
(breakeven point) di atas waktu daur tanamannya (di atas 30 kelayakan usaha pada tahun ke-11 apabila tingkat suku bunga
tahun atau 35 tahun). Secara ekonomi, kondisi seperti ini 0%, pada tahun ke-16 apabila tingkat suku bunga 6%, pada
sangat sulit untuk dikerjakan kecuali ada kebijakan khusus, tahun ke-17 apabila tingkat suku bunga 9% dan pada tahun ke-
seperti bantuan dana dari pemerintah, paket reboisasi dan 26 apabila tingkat suku bunga 12%.
penghijauan yang tidak dikenakan status IUPHHK sehingga Harga jual kayu bulat sebesar Rp. 1.500.000,- per m3 dapat
tidak ada kewajiban seperti yang disyaratkan dalam suatu memberikan titik impas dan kelayakan usaha pada tahun ke-3
IUPHHK. pada berbagai tingkat suku bunga yang terjadi, bahkan pada
Salah satu komponen yang dapat meningkatkan status tingkat suku bunga 12% masih memberikan keuntungan
kelayakan usaha pada pengelolaan hutan sistem TPTJ ini sebesar Rp. 506.557,- /ha pada tahun ke-3.
adalah mengoptimalkan pemanfaatan kayu bulat hasil kegiatan Harga kayu bulat sebesar Rp. 1.500.000,- per m3 atau lebih
tebang naungan serta upaya peningkatan harga jual kayu bulat. masih memungkinkan untuk dicapai dengan cara meningkatkan
Selama kurun waktu 20 tahun terakhir, harga kayu bulat masih pemberantasan illegal logging dan mafia kehutanan, penegakan
dibawah harga kelayakan usaha pengelolaan hutan alam hukum, pengaturan tata usaha kayu yang lebih baik (Handadari
(Nugroho, 2002), sehingga kerusakan hutan cenderung 2005) serta penerapan reduced impact logging (Wahyudi 2008).
hasil penelitian ini dapat direkomendasikan bahwa unit
Tabel 12. Analisis sensitifitas harga kayu bulat dan tingkat suku manajemen yang melakukan pengelolaan hutan sistem TPTJ
bunga untuk menenetukan titik impas dan waktu selayaknya mendapat paket pinjaman dana (misalnya dari dana
layak usaha reboisasi) dengan bunga 6% dengan bantuan biaya penanaman
sampai tahun ke-6 atau pinjaman dana dengan bunga 9%
dengan bantuan biaya penanaman sampai tahun ke-7. Apabila
Harga log Waktu Indikator Tingkat suku bunga
pemerintah (Kemenhut) masih belum bersedia mengucurkan
3
per m (Rp) layak (tahun) 0% 6% 9% 12% dana bantuan untuk kegiatan pengelolaan hutan sistem TPTJ,
pemerintah hendaknya menyakinkan dunia usaha perbankkan
11 NPV 1.000.977 agar bersedia mengucurkan dana pinjaman pada proyek
BCR 1,00 pengusahaan hutan ini atau dibentuk bank pertanian yang
16 NPV 2.064.372 memahami seluk beluk dunia usaha di bidang kehutanan yang
berdaur relatif panjang.
1.200.000 BCR 1,00
17 NPV 354.553
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
BCR 1,00
26 NPV 39.723 Kesimpulan
BCR 1,00
Pengelolaan hutan alam produksi sistem Tebang Pilih
6 NPV 3.653.587 333.290 Tanam Jalur yang memanfaatkan tebang naungan di IUPHHK-
1.300.000 BCR 1,03 1,00 HA PT Gunung Meranti dapat mencapai titik impas pada tahun
7 NPV 4.409.715 2.173.940 ke-7 dengan pendapat bersih sekarang (NPV) sebesar Rp.
4.139.693,-/ha dan BCR 1,03. Titik impas kelayakan dapat
BCR 1,03 1,02 dicapai pada tahun ke-3 apabila harga jual kayu bulat mencapai
1.500.000 3 NPV 4.965.644 2.570.707 1.501.484 506.557 Rp. 1.500.000,- per m3.
BCR 1,06 1,03 1,02 1,01
Saran

Menurut Nugroho (2002) harga jual kayu bulat di Malaysia Apabila penggunakan dana reboisasi (DR) masih belum
telah mencapai USD200-USD250 per m3 atau sekitar Rp. dapat dikucurkan untuk pendanaan sistem TPTJ teknik silin,
1.900.000,- Rp. 2.375.000,- per m3 (kurs Rp. 9.500 per USD). maka Unit manajemen yang melaksanakan pengelolaan hutan
Apabila harga jual kayu bulat di Indonesia dapat menyamai sistem TPTJ teknik silin dapat diberikan paket pinjaman dana
harga kayu bulat di Malaysia maka iklim usaha kehutanan di (misalnya dari dana reboisasi) dengan bunga nol persen (0%)
Indonesia akan semakin menarik dan kelestarian hutan alam sampai tahun ke-6 atau pinjaman dana dengan bunga 9%
produksi akan semakin cepat menjadi kenyataan karena sampai tahun ke-7.
tersedia dana yang cukup untuk pembinaan hutan.
Apabila harga jual kayu bulat masih belum dapat beranjak
dari kisaran harga Rp. 1.300.000,- per m3, maka berdasarkan
BAB XII. menjadi 120,35 juta ha tahun 2000. Menurut Balitbanghut
EVALUASI PERKEMBANGAN KEHUTANAN: (2008) luas kawasan hutan adalah 126,8 juta ha dengan
SEJARAH DAN KONDISI HUTAN ALAM PRODUKSI KITA komposisi hutan konservasi 23,2 juta ha; hutan lindung 32,4
juta ha; hutan produksi terbatas 21,6 juta ha; hutan produksi
(Forest Evaluation: History and Condition of Our Production tetap 35,6 juta ha dan hutan produksi konversi 14,0 juta ha.
Natural Forest) Dalam kawasan hutan tersebut, luas areal yang berhutan
hanya sebesar 64%, luas areal non hutan 29% dan lain-
lain (data tidak lengkap) 6%. Menurut Ditjen BUK (2010)
Oleh: luas kawasan hutan Indonesia adalah 136.559.885 ha dan
Dr. Ir. Wahyudi, MP seluas 81.810.490 ha diantaranya (59,9%) adalah hutan
Pakar Silvikultur, Universitas Palangka Raya produksi (hutan produksi tetap seluas 37.175.870 ha; hutan
Kep. Dirjen BUK No. SK.38/VI-BUHA/2012 produksi terbatas seluas 22.059.660 ha dan hutan produksi
Tanggal 15 Juni 2012 konversi seluas 22.574.959 ha).
Kep. Dirjen BUK No. SK.72/VI-BUHA/2012
Tanggal 17 Oktober 2012 Deforestasi:
164 juta ha 144 juta ha  120,35 juta ha 126,8 juta ha
HP: 0815 2156 0387, E-mail: isanautama@yahoo.com 136,56 juta ha.
2. Produktivitas hutan alam produksi sangat rendah, yaitu
Untuk: hanya 0,25 - 0,45 m3/ha/th (Suparna, 2010; Wahyudi,
2011). Apabila mengacu pada kawasan hutan produksi
Kementerian Kehutanan efektif seluas 59,23 juta ha (dari luas total 81,8 juta ha) dan
Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan total produksi kayu bulat pada sepuluh tahun terakhir
Direktur Bina Usaha Hutan Alam maksimal hanya 10 juta m3/th (dibesarkan), maka
produktivitas hutan alam produksi jauh lebih rendah lagi,
yaitu 0,17 m3/ha/th.
3. Laju deforestasi dan degradasi hutan hutan sebesar 1,8 juta
ha per tahun (1985-1997) dan meningkat menjadi 2,84 juta
SEJARAH DAN KONDISI HUTAN ALAM PRODUKSI ha per tahun pada tahun 1997-2000 (Balitbanghut, 2008).
4. Menurut hasil penelitian Wetland International, pada tahun
Pengelolaan (pengusahaan) hutan alam produksi di 2006 Indonesia telah menjadi negara penyuplai gas rumah
Indonesia sudah dilakukan sejak awal tahun 70-an hingga kaca (CO2) terbesar setelah Amerika Serikat dan China,
sekarang, atau sudah lebih dari 40 tahun. Bagaimana hasilnya? dengan perincian Amerika Serikat sebesar 6,005 milyar ton,
Berikut ini beberapa fakta yang ada. China 5,017 milyar ton dan Indonesia 3,014 milyar ton,
1. Deforestasi semakin besar. Luas kawasan hutan di yang sebagian besar berasal kebakaran lahan gambut.
Indonesia sebelum tahun 80-an sebesar 164 juta ha 5. Pada tahun 2007 Indonesia dinominasikan menjadi negara
(87,280% luas daratan Indonesia) (Suratmo et al., 2003). perusak hutan tercepat di dunia berdasarkan data dari
Menurut Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) luas Global Forest Resources Assessment (GFRA) tahun 2005.
kawasan hutan Indonesia tahun 1981 sebesar 144 juta ha 6. Menurut Santoso et al. (2008) dengan meningkatnya laju
(Hani’in, 1999), namun luasan ini mengalami penurunan degradasi hutan, rendahnya laju pembangunan hutan
tanaman, masih rendahnya perekonomian masyarakat di 10. Sejak 5-7 tahun terakhir, sebagian HPH mulai bangun
sekitar hutan dan meningkatnya kawasan hutan produksi kembali (aktif) meskipun banyak yang menggunakan
yang tidak dikelola dengan baik menunjukkan bahwa kinerja kontraktor untuk menangani bagian produksi (eksploitasi
pemegang IUPHHK dengan menerapkan satu sistem hutan).
silvikultur TPTI belum memenuhi prinsip pengelolaan hutan 11. Berikut ini gambaran kasar neraca keuangan HPH per m3
lestari. kayu bulat yang menggunakan jasa kontraktor produksi:
7. Munculnya kebijakan pembangunan industri perkayuan - Pendapatan (penjualan kayu bulat) : Rp.
(IPKH) yang terkait sahan dengan HPH awal tahun 80-an 1.400.000,-/m3
(sampai sekarang?) membawa dampak buruk pada - Pengeluaran 1. PSDH dan DR : Rp.
pengelolaan hutan alam produksi lestari (PHPL). 200.000,-/m3
Mengapa? Karena kayu bulat (log) yang dihasilkan dari 2. Operasional produksi : Rp. 500.000,-/m3
areal IUPHHK-HA (HPH) tidak pernah dihargai sesuai - Keuntungan kontraktor produksi : Rp.
harga pasar, karena langsung diolah di industri sendiri. 400.000,-/m3
Perusahaan baru dianggap menghasilkan income (benefit) - Bagi hasil bagi pemegang ijin (IUPHHK) : Rp.
bila telah mengekspor plywood/wood working bukan pada 300.000,-/,m3
saat unit HPH berhasil memproduksi kayu bulat. Kayu bulat Biaya Perijinan, administrasi, Perencanaan (PAK, ITSP,
dari hutan alam produksi saat itu hanya dihargai sekitra Rp. Trase Jalan), Pembinaan Hutan sistem TPTI (pembibitan,
300-500 ribu/m3. Akibatnya dana untuk pembinaan hutan penanaman, pemeliharaan tanaman) dan atau sistem TPTJ
menjadi sangat terbatas (sedikit) sehingga hutan tidak teknik Silin (pembuatan jalur tanam, pembibitan,
terkelola dengan baik. (Saat ini kejadian serupa menimpa penanaman, pemeliharaan tanaman),
HTI yang terkait saham dengan industri pulp and paper- Perlindungan/Pengamanan Hutan, PMDH (kelola sosial),
nya) Amdal (kelola lingkungan), Litbang, Sertifikasi dan lain-lain
8. Sampai tahun 1996, produksi kayu bulat nasional berkisar diambilkan dari bagi hasil pemegang ijin (IUPHHK).
15 - 26,05 juta m3/tahun, namun kapasitas terpasang 12. Kerugian ilegal logging:
industri pengolahan hasil hutan kayu lebih dari 50 juta - Merusak sumberdaya hutan dan lingkungan
m3/tahun. Dari mana kayu-kayu yang lain? Jawabnya: - Melanggar peraturan
Ilegal Logging. - Kayu hasil ilegal logging tidak terkoordinasi dan tidak sesuai
9. Sejak keluar Inpres Pemberantasan Ilegal Logging tahun dengan rencana kelestarian hutan (secara lokal, regional
2005, para pihak (Pemda, Kepolisian, Kejaksaan, maupun nasional) kehutanan.
Kehutanan dll) turut aktif berperan dalam pengendalian - Ilegal logging tidak membayar pajak dan pungutan resmi
ilegal logging. Apa yang terjadi setelah itu? pemerintah lainnya (PSDH, DR, IHPH, PMDH, Retribusi dll)
a. Sebagian besar industri pengolahan kayu bulat (plywood sehingga harga kayu lebih murah dari yang sewajarnya
dan wood working) tutup karena kekurangan bahan baku (lebih murah dari harga kayu yang diproduksi secara legal
kayu. oleh perusahaan yang sah).
b. Tutupnya industri pengolahan kayu bulat berdampak pada - Ilegal logging merusak perencanaan kehutanan dalam
PHK ribuan karyawan semua skala dan tingkatan dan mengacaukan nilai
c. Tutupnya industri pengolahan kayu bulat berdampak pada sumberdaya hutan seperti harga kayu bulat
mati surinya IUPHHK (HPH) karena biaya operasional HPH - Ilegal logging merusak jutaan hidup manusia yang bekerja
diperoleh dari hasil industri pengolahan kayunya disektor kehutanan, baik langsung maupun tidak langsung.
Akibat ilegal loging iklim usaha sektor kehutanan menjadi d. Adanya taktik permainan pihak konsumen yang sengaja
lesu, puluhan ribu karyawan HPH, HTI, Industri pengolahan menciptakan harga kayu lapis pada tingkat yang rendah
hasil hutan kayu di PHK. Pengangguran yang meningkat harus dilawan secara bersama-sama
menimbulkan efek / dampak negatif berantai berupa e. Meningkatkan efektifitas dan efisiensi industri pengolahan
penurunan gizi balita dan anak-anak, putus sekolah, kayu Indonesia
gelandangan, kelaparan, kemiskinan, kejahatan dan lain- f. Meningkatkan inovasi dan penerapan industri modern,
lain. sehingga memperkecil limbah dan meningkatkan diversitas
- Ilegal logging mencemarkan nama baik negara di dunia produk.
internasional. Indonesia dituduh merusak hutan tropika g. Memberantas ilegal loging dan perdagangan kayu liar antar
untuk manfaat yang minimal negara.
- Ilegal logging menurunkan pendapatan masyarakat secara
umum, bangsa dan negara. Milyaran dollar setiap hari 13. Kawasan hutan produksi saat ini telah membentuk mosaik
negara dirugikan akibat ilegal logging karena menebang lanskap berupa hutan primer, hutan sekunder, semak
hutan tanpa rencana, tanpa ijin dan tidak membayar pajak belukar dan tanah kosong. Kondisi areal hutan produksi
dan kewajiban sebagai mestinya. sudah tidak utuh lagi yang disebabkan penataan ruang
- Mengacaukan sistem perekonomian terutama dalam untuk pembangunan non kehutanan (perkebunan,
perdagangan kayu. Ilegal logging menyebabkan harga log pertambangan, pemukiman dll), kebakaran hutan,
dalam negeri semakin anjlok. Industri yang legal sangat perubahan akibat ekses otonomi daerah serta pengaturan
berat (hampir mati atau sudah banyak yang mati) akibat batas areal yang mengacu pada Rencana Tata Ruang
persaingan bahan baku sangat murah dari praktek ilegal Wilayah (RTRW).
loging. 14. Upaya optimalisasi pengelolaan kawasan hutan yang
- Merusak manajemen hutan lestari. Dan lain-lain. berbentuk mosaik adalah penerapan multisistem
13. Industri pengolahan kayu dalam negeri tidak mampu silvikultur, yaitu menerapkan lebih dari satu sistem dalam
membeli kayu bulat sesuai harga pasar internasional, satu unit manajemen, misalnya, pada hutan perawan dan
sehingga harga kayu bulat di dalam negeri jauh lebih LOA lebat yang berada pada kelerengan landai sampai
rendah dibanding negar-negara lain. Ironisnya, harga kayu curam dapat diterapkan sistem TPTI atau rumpang, pada
bulat yang rendah ini belum diterima (belum terjangkau) LOA dengan kelerengan datar sampai landai dapat
masyarakat, sehingga masih marak kayu hasil ilegal diterapkan sistem TPTJ teknik Silin atau rumpang, pada
logging. Perlu dibuka alternatif lain, misalnya: areal semak belukar dapat diterapkan sistem TPTJ dengan
a. Kayu bulat hasil tebang penyiapan lahan pada sistem TPTJ pendanaan khusus, pada areal semak, tanah kosong dan
teknik Silin yang dihasilkan IUPHHK-HA bersertifikat padang alang-alang dapat diterapkan sistem THPB dan
ekolabeling, diperbolehkan di ekspor pada tanah terbuka dan lahan kritis dapat dilakukan
b. Segera melakukan revitalisasi industri pengolahan kayu di program reboisasi menggunakan dana khusus.
Indonesia
c. Dibentuk kerja sama (asosiasi dll) diantara produsen kayu
lapis Indonesia dan dunia. Bila ada kerja sama dapat
mengatur kuota produksi untuk mempertahankan harga
pada tingkat yang wajar.
PEMBINAAN HUTAN ALAM PRODUKSI MENGGUNAKAN Sistem Hutan Tanaman Industri-Tebang Tanam Jalur (HTI-
SISTEM CELAH (GAPS) TTJ) kemudian diganti menjadi sistem Tebang Pilih Tanam Jalur
(TPTJ) berdasarkan Keputusan Dirjen Pengusahaan Hutan
Menurut Suhendang (2008) paradikma baru pengelolan Nomor 55/Kpts/IV-BPH/1998. Evaluasi sistem TPTJ
hutan saat ini adalah pendekatan pada bentuk hutan alam menunjukkan hasil yang memuaskan, karena regenerasi
(close to the natural forest). Menurut Mitlöhner (2009) close to terbentuk dengan baik dan tegakan tinggal serta lingkungan
nature forestry adalah upaya pengelolaan hutan alam dengan dapat terjaga, sehingga TPTJ dimasukkan sebagai salah satu
tetap mempertahankan lapisan strata hutan serta menjaga sistem silvikultur untuk pengelolan hutan alam produksi
kelestarian lingkungan, seperti iklim mikro, tanah, air dan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 309/Kpts-
keanekaragaman jenis. II/1999. Namun pada tahun 2002 keputusan ini dibatalkan
Menurut Coates dan Philip (1997) penebangan hutan melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 10172/Kpts-
dengan sistem celah (gap) lebih sesuai dengan kondisi hutan II/2002 dan selanjutnya kembali pada sistem TPTI kecuali PT
alam karena menyerupai fenomena pohon atau kelompok Sari Bumi Kusuma (Surat Keputusan Menhutbun Nomor
pohon yang mati dalam hutan lalu terbentuk regenerasi alam 201/Kpts-II/1998) dan PT Erna Juliawati (Surat Keputusan
yang baik. Sistem gap termasuk sistem silvikultur untuk Menhutbun Nomor 15/Kpts-II/1999).
tegakan semua seumur (all-aged stands) dengan penebangan Hasil yang memuaskan dari pelaksanaan TPTJ pada kedua
dalam kelompok pohon dalam bentuk gap melingkar (rumpang) IUPHHK tersebut telah menginspirasi para pakar di perguruan
atau memanjang (strips). tinggi untuk menyempurnakan sistem silvikultur ini dengan
Penelitian sistem gap memanjang (strips) telah dilakukan menerapkan teknik silvikultur intensif (silin) melalui penggunaan
pada beberapa IUPHHK sejak tahun 1993 dengan nama sistem bibit unggul, teknik manipulasi lingkungan dan pengendalian
silvikultur Tebang Jalur Tanam Indonesia (TJTI) yang hama terpadu (integrated pest management). Sistem silvikultur
selanjutnya berubah menjadi Tebang Jalur Tanam Konservasi hasil penyempurnaan tersebut adalah Tebang Pilih Tanam
(TJTK). Prinsip sistem ini adalah membangun hutan tanaman Indonesia Intensif (TPTII) yang dikeluarkan tahun 2005.
diantara hutan alam dalam bentuk jalur selebar 25 – 100 m. Pada tahun 2009 sistem TPTII secara tersirat diganti
Hambatan pelaksanaan sistem ini adalah adanya PP Nomor 21 menjadi sistem TPTJ kembali dengan variasi lebar jalur antara
tahun 1970 dan PP Nomor 7 tahun 1990 yang melarang dan jalur tanam. Secara tersirat pula, para pihak banyak yang
pembangunan hutan tanaman dalam kawasan pengelolaan setuju bahwa lebar jalur tanam adalah 3 meter dan lebar jalur
hutan alam. Kendala ini mengakibatkan munculnya keinginan antara adalah 17 meter. Namun dalam perkembangan terkini,
untuk menggabungkan kedua PP tersebut. Sistem TJTK banyak para pelaksana (IUPHHK) yang mengusulkan
akhirnya berubah menjadi sistem Hutan Tanaman Industri pembuatan jalur tanam dengan lebar 4 meter untuk mengurangi
dengan Tebang Tanam Jalur (HTI-TTJ) berdasarkan Keputusan biaya penjarangan pada tahun ke-2 serta resiko kematian
Menteri Kehutanan Nomor 435/Kpts-II/1997 yang dijabarkan tanaman akibat ketimpa pohon yang dijarangi. Menurut
dalam pedoman teknis berdasarkan Keputusan Dirjen pengalaman dan penelitian penulis di IUPHHK PT Gunung
Pengusahaan Hutan Nomor 220/Kpts/IV-BPH/1997. Dalam Meranti, PT Dasa Intiga dan PT Austral Bina, ide menerapkan
sistem ini jalur tanam dipersempit menjadi 3 meter namun lebar jalur tanam selebar 4 meter adalah tepat dalam rangka
dilakukan pembuatan jalur bebas naungan selebar 10 meter. efisiensi tanpa mengurangi keberhasilan tanaman dalam jalur.
Interval penanaman 5 meter dan jarak antar jalur 25 meter, Silvikultur intensif yang dipasang pada sistem silvikultur
sehingga membentuk jarak tanam 5 m x 25 m. TPTJ mempunyai 3 pilar utama, yaitu rekayasa lingkungan,
pemuliaan pohon dan pengendalian hama terpadu. Bagaimana
implementasi ketiga pilar tersebut sampai saat ini? Jawaban 4. Tahun 2012 terjadi permasalahan sosial pada lokasi
ada pada Laporan Berikutnya. Terima kasih. penanaman TPTJ teknik Silin, yaitu pada blok RKT 2011.
Sejumlah masyarakat menginginkan pembebasan areal
BIMBINGAN PADA PELAKSANAAN tersebut untuk kepentingan masyarakat. Upaya
TPTJ TEKNIK SILIN PADA PT AB penyelesaian konflik sudah dilakukan dan telah ditemukan
solusinya. Masyarakat hanya menginginkan 120 ha lahan
tersebut, sisanya dapat dilanjutkan kegiatan penanaman.
PT Austral Bina sudah melakukan penyiapan lahan tanam
sebesar 354,92 ha dari rencana seluas 827 ha di lokasi
tersebut, meskipun belum sempat melakukan penanaman.
Kegiatan pembuatan tanaman TPTJ teknik Silin pada
lokasi ini akan dilakukan pada tahun 2013 bersamaan
dengan kewajiban penanaman tahun 2013 pada blok RKT
2012.

5. Disarankan menambah tenaga perawatan berjumlah 2 tim


@ 7 orang untuk kegiatan perawatan tanaman secara
berkala sesuai tahapan kegiatan. Masih banyak terdapat
tanaman yang sangat memerlukan perawatan berupa
pembebasan tanaman dari naungan pioner dan tumbuhan
pengganggu.

6. Bibit dipersemaian mengalami kelayuan dan kurang sehat,


Gambar 1. Lokasi penanaman Shorea leprosula pada sistem diperkirakan, disebabkan oleh teknik mekanisasi dalam
TPTJ teknik Silin DI PT AB penyiraman. Dari analisis beberapa bibit di persemaian,
ternyata penggunaan springkel dalam rangka penyiraman
1. Tenaga pelaksana kegiatan TPTJ teknik Silin cukup baik bibit hanya membasahi bagian luar bibit seperti daun dan
dan menguasai teknik pelaksanaan Silin di lapangan. batang, sedangkan bagian akar di dalam tanah
Pelaksanaan TPTJ Silin adalah Kabid Bina Hutan dan kurang/tidak mendapat air yang ditunjukan berupa masih
Kabag TPTJ teknik Silin serta seluruh staf dan karyawan keringnya tanah di dalam polybag. Penyiraman
pendukung, baik tenaga bulanan, harian maupun menggunakan springkel tidak mampu membasahi tanah
borongan. Tenaga borongan berjumlah 31 orang dalam polybag secara merata. Disarankan: Penyiraman
dilakukan secara manual menggunakan gembor atau
2. Realisasi penanaman sejak tahun 2007 sampai bulan selang yang telah terhubung dengan jaringan air dan
Oktober 2012 berjumlah 390.200 tanaman atau 1.951 ha. memastikan bahwa tanah dalam polybag telah basah oleh
penyiraman.
3. Tahun 2009 PT Austral Bina dalam proses perpanjangan
ijin usaha sehingga tidak ada kegiatan di lapangan. 7. Tindakan perusahaan menambah lapisan sarlon set untuk
meningkatkan naungan pada bibit yang sudah besar
bukan langkah yang tepat. Bibit siap tanam harus
diprakondisikan memperoleh naungan yang ringan. Bibit Indrawan A. 2003. Model sistem pengelolaan tegakan hutan
mengalami kelayuan bukan disebabkan kurang naungan, alam setelah penebangan dengan sistem Tebang Pilih
tapi disebabkan sistem penyiraman yang tidak mampu Tanam Indonesia. Jurnal Manajemen Hutan Tropika
menjangkau bagian tanah dalam polybag. 9(2):7-17.
Mitlöhner R. 2009. Natural Resources in the Tropics.: The
8. Perlu membuat uji species yang lebih representatif Concepts of Forestry. Burckhardt Institute. Department
Tropical Silviculture and Forest Ecology, University of
9. Perlu membuat terobosan pemuliaan pohon melalui Göttinggen, Germany.
metode vegetatif. Tanaman meranti dalam jalur tanam Nugroho B. 2002. Analisis Biaya Proyek Kehutanan. Yayasan
yang menunjukkan phenotif unggul dapat diperbanyak Penerbit Fakultas Kehutanan IPB.
secara vegetatif untuk membuat pohon pangkas. Ke [PT GM] PT Gunung Meranti. 2012. Neraca Keuangan PT.
depan, semua bibit yang diproduksi hanya berasal dari Gunung Meranti tahun 2009. PT Gunung Meranti
pohon pangkas yang berasal dari pohon-pohon unggul. Banjarmasin.
Soekotjo. 2009. Teknik Silvikultur Intensif (Silin). Gadjah Mada
DAFTAR PUSTAKA University Press.
Wahyudi, Panjaitan S. 2008. Efektifitas Penyaradan dalam
[Ditjen BPK] Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. Penerapan Reduced Impact Logging pada Hutan
2005. Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Dipterocarpaceae di Provinsi Kalimantan Tengah. Jurnal
Kehutanan Nomor SK.226/VI-BPHA/2005 Tentang Penelitian Dipterocarp Vol.2 No.1. Balai Besar Penelitian
Pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (Silin). Dipterocarpaceae, Samarinda.
Departemen Kehutanan, Jakarta.
[Ditjen BPK] Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan.
2009. Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi
Kehutanan No. P.11/VI-BPHH/2009 tentang Pedoman
Teknik Silvikultur Intensif. Ditjen Bina Produksi
Kehutanan, Jakarta.
[Ditjen BUK] Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan. 2010.
Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Hutan Produksi. Di
dalam: Prosiding Seminar Nasional tentang Kontribusi
Litbang dalam Peningkatan Produktifitas dan Kelestarian
Hutan. Badan Litbang Kehutanan, Bogor; 29 Nopember
2010
Djamin Z. 1993. Perencanaan dan Analisis Proyek. Lembaga
Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.
Gray C, Kadariah L, Karlina 1999. Pengantar Evaluasi Proyek.
Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia, Jakarta.
Handadari T. 2005. Ekonomi Sumber Daya Hutan. Program
Pascasarjana Unlam, Banjarbaru.
Tentang Penulis Catatan:

Dr. Ir. Wahyudi, MP. Lahir di Jombang pada


tanggal 13 Februari 1968. Pekerjaan sebagai ……………………………………………………………………….
dosen tetap pada Departemen Kehutanan,
Fakultas Pertanian, Universitas Palangka ……………………………………………………………………….
Raya. Pendidikan terakhir jenjang doktoral
diselesaikan di Fakultas Kehutanan Institut ……………………………………………………………………….
Pertanian Bogor tahun 2011 dengan IPK 4.
Pada tahun 2009 mengikuti Summer School bidang: Future ……………………………………………………………………….
Forestry di University of Goettingen dan University of Dresden,
Jerman. Tahun 2010 mengikuti International German Alumni ……………………………………………………………………….
Summer School tentang Forest Management and Eco-Tourism,
pernah berperan sebagai Lecturer pada Education Course of
Sustainability-Central Kalimantan (ECOSUS-CK) bekerja sama
dengan University of Hokkaido dan University of Palangka
Raya. Pengalaman di bidang Kehutanan dan Lingkungan
antara lain: Biotechnolgy of Mychorrizae, Botani, SPAS, Amdal,
Pengelolaan Hutan Lestari, Reklamasi Tambang, Pakar
Silvikultur di Kementerian Kehutanan, Pengelolaan Flora dan
Fauna, Forest Community dan lain-lain. Berbagai tulisannya
telah diterbitkan di berbagai prosiding dan jurnal lokal, nasional,
dan internasional.
Catatan: Catatan:

………………………………………………………………………. ……………………………………………………………………….

………………………………………………………………………. ……………………………………………………………………….

………………………………………………………………………. ……………………………………………………………………….

………………………………………………………………………. ……………………………………………………………………….

………………………………………………………………………. ……………………………………………………………………….

Anda mungkin juga menyukai