Anda di halaman 1dari 10

I.

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara dengan produksi minyak kelapa sawit terbesar
di dunia. Minyak kelapa sawit diproduksi untuk tujuan komersial yaitu banyak digunakan
sebagai bahan industri pangan, sabun, kosmetik, tekstil, dan bahan bakar alternatif. Kelapa
sawit merupakan tanaman yang mengalami perkembangan produksi yang cukup pesat
dibandingkan dengan tanaman perkebunan lainnya di Indonesia. Berdasarkan data dari
Badan Statistik Perkebunan Indonesia Komoditas Kelapa sawit 2015, perkebunan kelapa
sawit tahun 2013-2015 mengalami perkembangan produksi yaitu sebesar 5.556 juta ton pada
tahun 2013 menjadi 6.189 juta ton pada tahun 2015. Kelapa sawit merupakan tanaman
perkebunan yang penting karena peranannya bagi perekonomian nasional khususnya sebagai
sumber devisa bagi negara, penyedia lapangan kerja, pengembangan wilayah dan
pengembangan industri serta sebagai sumber penghasilan bagi petani maupun masyarakat
lainnya.
Tanaman kelapa sawit ( Elaeis guineensis Jacq.) merupakan tanaman perkebunan
utama di Indonesia. Kelapa sawit menjadi komoditas penting dikarenakan mampu memiliki
rendemen tertinggi dibandingkan minyak nabati lainnya yaitu dapat menghasilkan 5,5-7,3 ton
CPO/ha/tahun (PPKS, 2013). Ekspor minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO) dan
produk turunannya pada tahun 2013 mencapai 20,5 juta ton yang bernilai 15,8 miliar dolar
Amerika (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2014). Kontribusi yang besar bagi perekonomian
Indonesia mengakibatkan tuntutan tanaman kelapa sawit untuk berproduksi yang tinggi tanpa
mengabaikan kelestarian lingkungan. Saat ini Indonesia menempati posisi teratas dalam
pencapaian luas areal dan produksi minyak sawit dunia yang mencapai 8,9 juta hektar dengan
6,5 juta hektar berupa tanaman menghasilkan (TM). Produksi tanaman kelapa sawit dari
luasan tanaman tersebut baru mencapai 23,53 juta ton atau masih berkisar antara 3-4 ton
TBS/ha per tahun (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2014)
Tanaman kelapa sawit merupakan komoditas perkebunan primadona Indonesia. Di
tengah krisis global yang melanda dunia di industry sawit Indonesia tetap bertahan dan
memberi sumbangan besar terhadap perekonomian Negara. Selain mampu menciptakan
kesempatan kerja yang luas, industry sawit menjadi salah satu sumber devisa terbesar bagi
Indonesia. Data dari Direktorat Jenderal Perkebunan 2008 menunjukkan luas areal
perkebunan sawit di Indonesia, dari 4.713.425 ha pada tahun 2001 menjadi 7.363.847 ha pada
tahun 2008 dan luas areal perkebunan kelapa sawit ini terus mengalami peningkatan.
Peningkatan luas areal tersebut juga diimbangi dengan peningkatan produktivitas.
Produktivitas kelapa sawit adalah 1.78 ton/ha pada tahun 2001 dan meningkat menjadi 2.17
ton/ha pada tahun 2005. Hal ini merupakan kecendrungan yang positif dan harus
dipertahankan. Untuk mempertahankan produktivitas tanaman tetap tinggi diperlukan
pemeliharaan yang tepat dan pengendalian hama dan penyakit. Perkebunan kelapa sawit
merupakan sistem monokultur yang rentan terhadap serangan hama. Serangan hama
merupakan salah satu kendala utama dalam budidaya tanaman kelapa sawit yang
mengakibatkan produktivitas tandan menurun. Salah satu upaya yang dilakukan dalam
pemeliharaan tanaman kelapa sawit adalah pengendalian hama. Upaya tersebut akan
membawa perubahan khususnya perbaikan hasil ekonomi yang diperoleh masyarakat
(Yustina, 2011)
Hama tanaman didefinisikan sebagai binatang yang memakan tanaman dan secara
ekonomis merugikan. Hama merupakan semua organisme pengganggu tanaman budidaya.
Kelas Insekta merupakan bagian yang terbesar hama yang diketahui. Insekta sangat mudah
berpindah dan mempunyai daya adaptasi tinggi terhadap lingkungan baru, selain itu insekta
berkembangbiak dengan cepat terutama pada kondisi yang menguntungkan (Sembiring,
2013).
Ordo lepidoptera merupakan ordo yang paling banyak berperan sebagai hama pada
perkebunan kelapa sawit. Tipe mulut pada pada ordo ini yaitu penghisap ( sponging ).
Serangga dari ordo ini menghisap makannnya pada tanaman kelapa sawit yang sudah
menghasilkan maupun tanaman yang belum menghasilkan. Family dari ordo lepidoptera yang
tergolong sebagai serangga hama pada kelapa sawit diantaranya yaitu Amatidae, Crambinae,
Geometridae, Lymantriidae, Noctuidae, Nymphalidae dan Pyralidae (Arifin, 2016) Hama
perusak tanaman kelapa sawit dan tersebar luas di seluruh wilayah Indonesia hingga Asia
Tenggara, Pasifik dan daerah sentra perkebunan kelapa sawit lainnya yaitu Oryctes
rhinoceros. Hama Oryctes rhinoceros terutama menyerang tanaman kelapa sawit yang kurang
terawat dan dapat menyebabkan kerusakan yang sangat serius. Gejala tanaman yang terserang
nampak daunnya membentuk potongan segitiga akibat dimakan hama ini (Badan Penelitian
dan Pengembangan Perkebunan, 2011).
Ulat pemakan daun kelapa sawit terdiri dari ulat api (Setothosea asigna), ulat kantong
(Mahasena corbatti) dan ulat bulu ( Dasychira inclusa) merupakan hama yang paling sering
menyerang kelapa sawit. Untuk daerah tertentu, ulat api dan ulat kantong sudah menjadi
endemik sehingga sangat sulit dikendalikan. Kejadian yang sering terjadi di perkebunan
kelapa sawit adalah terjadi suksesi hama ulat bulu dari ulat api atau ulat kantong apabila
kedua hama ini dikendalikan secara ketat. Meskipun tidak mematikan tanaman, hama ini
sangat merugikan secara ekonomi. Daun yang habis akan sangat mengganggu proses
fotosintesis tanaman kelapa sawit, yang pada akhirnya akan menurunkan produktivitas kelapa
sawit. Biasanya produksi akan turun 2 tahun setelah terjadi serangan ulat api maupun ulat
kantong (Sinaga, 2015).
1.2.Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini adalah:
1.Mengetahui atau identifikasi hama yang terdapat di perkebunan sawit;
2.Mengetahui cara yang dapat dilakukan dalam pemberantasan hama tanaman sawit;
1.3.Manfaat
Manfaat yang didapatkan dari pembuatan makalah ini adalah:
1.Mahasiswa memahami jenis-jenis hama pada tanaman kelapa sawit;
2.Mahasiswa memahami cara mengatasi hama pada tanaman kelapa sawit.
II. PEMBAHASAN

2.1. Landasan Teori


A. Hama
Hama adalah perusak tanaman pada bagian akar, batang, daun atau bagian lainya pada
tanaman budidaya sehingga tanaman tidak dapat tumbuh dengan sempurna atau mati. Ciri-
ciri hama antara lain yaitu kebanyakan dapat dilihat oleh mata telanjang, umumnya dari
golongan hewan (tikus, burung, serangga, ulat dan sebagainya). Hama cenderung merusak
bagian tanaman budidaya tertentu sehingga tanaman menjadi mati atau tanaman tetap hidup
tetapi tidak banyak memberikan hasil (Sunarya & Destiani, 2016). Berdasarkan pernyataan
diatas, hama tanaman dalam arti luas adalah semua organisme atau binatang yang karena
aktivitas hidupnya merusak tanaman sehingga menimbulkan kerugian ekonomi bagi manusia.
Tanaman yang terserang hama dapat mengalami penurunan fungsi atau bahkan tidak
berfungsi sama sekali proses metabolisme pada tubuh tanaman tersebut, sehingga
pertumbuhannya tidak normal dan bahkan berakhir dengan kematian. Berikut beberapa
contoh serangan ham pada tanaman sebagai berikut (Rukmana, 2002):
1.Serangan hama pada bagian akar tanaman menyebabkan proses penyerapan unsur hara, air
dan lainnya terganggu;
2.Serangan hama pada bagian batang atau cabang dan ranting menyebabkan pengangkutan
zat makanan terganggu atau terhenti sama sekali sehingga tanaman menjadi layu dan mati;
3.Serangan hama pada bagian daun dapat menyebabkan proses fotosintesis terganggu;
4.Serangan hama pada bagian buah dan biji dapat menyebabkan buah rusak. Berikut adalah
contoh beberapa hama yang terdapat pada tanaman kelapa sawit sebagai berikut:
1).Ulat api
Ulat api termasuk ke dalam famili Limacodidae, ordo Lepidoptera (bangsa ngengat).
Ulat ini „tidak berkaki‟ atau apoda. Ulat pemakan daun kelapa sawit yang utama serta sering
menimbulkan kerugian adalah ulat api. Hasil percobaan simulasi kerusakan daun yang
dilakukan pada kelapa sawit umur 1, 2 dan 8 tahun, diperkirakan penurunan produksi
berturut-turut adalah<4%, 12-24% dan 30-40% dua tahun sebesar 50% (Rezamayas, 2012).
Siklus hidup Setora nitens berlangsung antara 40 sampai dengan 70 hari dengan
periode larva hingga instar ke 9 selama 18 sampai dengan 32 hari. Serangan berat Setora
nitens biasanya terjadi saat musim kemarau dan mencapai ambang kendalinya pada fase
tanaman sawit belum menghasilkan ketika populasinya mencapai 5 larva per pelepah daun
dan pada fase tanaman sawit menghasilkan ketika populasinya mencapai 10 larva per pelepah
(Andriansyah, 2013). Ulat ini dicirikan dengan adanya satu garis membujur ditengah
punggung yang berwarna keunguan. Setora nitens selama perkembangannya, Ulat Api
berganti kulit 7-8 kali dan mampu menghabiskan helaian daun seluas 400 cm2 (Susanto dkk.,
2006). Seekor ngengat betina mampu bertelur sebanyak 300-400 butir telur dan akan menetas
setelah 4-8 hari setelah diletakkan. Serangan Setora nitens di lapangan umumnya
mengakibatkan daun Kelapa Sawit habis dengan sangat cepat dan berbentuk seperti lidi.
Tanaman tidak dapat menghasilkan tandan selama 2-3 tahun jika serangan yang terjadi sangat
berat umumnya gejala serangan dimulai dari daun bagian bawah hingga akibatnya helaian
daun berlubang habis dan bagian yang tersisa hanya tulang daun saja. Ulat ini sangat rakus,
Tingkat populasi 5-10 ulat per pelepah merupakan populasi kritis hama tersebut di lapangan
dan harus segera diambil tindakan pengendalian (Sudharto, 2001).
Pengendalian Ulat api
Cara Pengendalian Salah satu metode pengendalian yang bisa dilakukan adalah melakukan
penyemprotan Insektisida CYPERIN 250 EC menggunakan alat mist blower dengan dosis
konsentrasi : 2 ml / 1 liter air atau 0,5 – 1 liter per hektar. Alat foging juga bisa digunakan
dengan dosis 250 ml Cyperin 250 EC dicampur dengan 5 liter solar untuk 1 – 2 hektar. Cara
lain bisa dilakukan dengan cara menyuntikkan insektisida CHEPATE 75 SP –Nufarm prod,
dengan konsentrasi 15 ml / pohon kelapa sawit.
2).Kumbang tanduk
Hama Kumbang Tanduk (Oryctes rhinoceros) Pada Kelapa Sawit Serangan hama ini
cukup membahayakan pada TBM apabila serangan mengenai titik tumbuh tanaman kelapa
sawit maka akan mengakibatkan penyakit busuk dan kematian. Kumbang tanduk banyak
menimbulkan kerusakan pada tanaman kelapa sawit di areal (Heri Hartanto, 2011). Menurut
Susanto dkk (2012), kerugian akibat serangan O. rhinoceros pada perkebunan kelapa sawit
dapat terjadi baik secara langsung maupun tidak langsung. Kerugian secara tidak langsung
adalah dengan rusaknya pelepah daun yang akan menurunkan produksi. Kerugian secara
langsung adalah matinya tanaman kelapa sawit akibat serangan hama ini yang sudah
mematikan pucuk tanaman. Hama ini menyerang bakal daun pada titik tumbuh, masuk
melalui pelepah. Kumbang ini menggerek ke dalam kumpulan daun yang akan tumbuh,
pakan kayu lapuk, kompos, batang kelapa atau kelapa sawit membusuk yang lembab.
Larvanya berwarna putih, silindris, gemik, berkerut-kerut, agak melengkung. Pupanya
berwarna coklat kekuningan. Siklus hidupnya berlangsung 8-11 bulan yaitu stadia telur 9-14
hari, larva (instar) 106-141 hari, pupa18-23 hari, praimago 15-20 hari dan imago 90-138 hari
(Lubis, 2008).
Kumbang ini menimbulkan kerusakan pada tanaman muda dan tanaman tua.
Kumbang membuat lubang pada pangkal pelepah daun muda terutama pada daun pupus.
Makin muda bibit yang dipakai semakin mudah kumbang masuk kedalam. Kumbang akan
bertahan didalam sampai menemukan pupus. Pelepah pupus akan terpotong dan menjadi
layu dibagian atas dan pada situasi seperti ini pupus akan mudah dicabut dari pokok. Pada
kondisi yang lebih parah adalah pupus mudah keluar menyamping dan membengkok
kemudian baru tegak. Memang tidak mematikan tanaman tetapi pertumbuhannya sangat
tertekan. Untuk memantau serangan maka perlu diamati tiap pokok atau sampel pokok untuk
melihat luka atau keratan baru. (Lubis, 2008). Kerugian akibat serangan kumbang O.
Rhinoceros sangat besar terutama pada areal replanting. Gerekan O. Rhinoceros dapat
merusak daun dan apabila mencapai titik tumbuh akan dapat menyebabkan kematian tanaman
sampai 80% (Susanto, 2012).
Pengendalian kumbang tanduk
1. Penggunaan Insektisida Marshal 5 G
Marshal 5 G merupakan insektisida sistemik yang mengandung bahan aktif
Karbosulfan 5 % sangat efektif mengendalikan kumbang tanduk (Oryctes rhinoceros) dan
telah mendapatkan rekomendasi dari Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Penggunaan Marshal 5 G
sangat dianjurkan untuk melaksanakan pencegahan sebelum kumbang tanduk (oryctes
rhinoceros) menyerang.Dosis penggunaanya dengan cara ditabur di bagian pucuk tanaman
dengan dosis 9 – 15 gr/pucuk/pangkal pelepah muda dengan interval 3 minggu s/d 1 bulan.
Marshal 5 G selain dapat meracuni kumbang tanduk yang memakan bagian pucuk yang telah
di beri perlakuan juga dapat mencegah serangan disebabkan bahan aktif Marshal 5 G juga
dapat mengeluarkan uap yang dapat mencegah terjadinya serangan. Keunggulan Marshal 5 G
antara lain : Bahan aktif marshal 5 G bersifat kontak dan sistemik, sehingga dapat lebih cepat
mengendalikan kumbang tanduk. Ramah lingkungan dan selektif terhadap hama sasarandan
tidak membunuh musuh alami hama. Formula ampuh Marshal 5 G dengan dosis 9 – 15
gr/pohon dapat mengurangi serangan kumbang tanduk hingga 80 % dalam waktu 4 – 8
Minggu.
2. Pemasangan Jaring
Jaring yang terbuat dari bahan monofilamen sangat berguna untuk pengendalian
kumbang tanduk. Pemasangan jaring dilakukan bisa sebagai pagar individu dan juga sebagai
pagar di batas luar kebun. ndividu di setiap tanaman kelapa sawit, ongkos pasangnya lebih
mahal dari harga bahan. Pengalaman di salah satu perkebunan kelapa sawit di Sumatra
Selatan, biaya pemasangan jaring individu Rp. 2,000/pohon dengan perincian Rp. 500 harga
jaring dan Rp. 1.500 upah pasang per pohon. Pemasangan jaring sebagai pagar individu
dimaksudkan untuk melindungi tanaman kelapa sawit dari serangan kumbang tanduk. Upaya
ini dapat melindungi tanaman dari serangan kumbang, hanya saja karena jaring harus di
pasang secara Pemasangan jaring sebagai pagar di luar tapal batas kebun dapat dilaksanakan
untuk mencegah masuknya hama kumbang tanduk dari wilayah luar. Jaring di pasang dengan
batas bawahnya berada 1 meter di atas permukaan tanah. Pemasangan jaring pagar ternyata
juga ada kendalanya. Selain bisa menangkap kumbang tanduk juga bisa menangkap
kalelawar sehingga dapat merusak jaring.
3).Babi Hutan
Konversi hutan, punahnya predator alami dan aktivitas manusia di kawasan hutan
setelah ditebang-pilih menyebabkan perpindahan, peningkatan populasi dan serangan babi
hutan ke kebun sawit. Ekosistem kebun sawit memberikan daya dukung yang baik terhadap
perkembangan babi hutan (Sus scrofa) dan dimanfaatkan oleh babi hutan sebagai sumber
makanan, tempat berlindung, beristirahat dan berkembang biak. Babi hutan Sus scrofa
memiliki adaptasi dan penyebaran yang tinggi pada habitat yang berbeda, sehingga babi
hutan ini dapat berkembang biak dengan cepat, yaitu 2-10 ekor per kelahiran per tahun
(Sibuea dan Tular, 2000).
Permasalahan utama bagi petani di kebun sawit adalah serangan babi hutan terhadap
anakan sawit, karena dapat mengurangi jumlah pohon karet yang hidup dan menghambat laju
pertumbuhan anakan karet (William, 2001). Penelitian pengaruh babi hutan terhadap
pertumbuhan menemukan bahwa :
1.70% batang anakan sawit pada kebun yang dipagar menjadi patah terutama disebabkan oleh
babi hutan;
2.Pada sistim sisipan, anakan sawit yang terserang babi hutan rata-rata mencapai lebih dari
50%.
Berbagai metode perlindungan terhadap serangan babi hutan telah dilakukan oleh
petani secara tradisional, antara lain dengan memagar anakan sawit, memagar kebun,
penggunaan anakan karet besar, penutupan anakan karet dengan semak, berburu, penggunaan
predator (ular python) dan memasang perangkap, namun demikian cara ini dirasakan kurang
efektif, walaupun memerlukan tenaga serta biaya yang cukup tinggi. Hasil pengamatan
ICRAF terhadap cara pengendalian hama babi hutan yang dilakukan oleh masyarakat
menunjukkan hasil sebagai berikut:
1.Pemagaran kebun dan pembersihan semak kurang efektif karena anakan sawit tetap terkena
serangan yang cukup tinggi. Sedangkan pemagaran individu anakan sawit dengan bambu dan
ikatan duri pada sistem sisipan dapat mengurangi tingkat serangan babi hutan. Cara ini cukup
efektif tetapi memerlukan biaya tinggi.
2.Kombinasi perlakuan pemagaran individu anakan sawit - penutupan anakan sawit dengan
semak - penggunaan perangkap dan pemberian racun dapat mengurangi tingkat serangan.
3.Jarak kebun dengan jalan yang dekat dan aktivitas petani di lahan yang tinggi dapat
mengurangi kehadiran babi hutan. Pengendalian yang efisien harus menggunakan pendekatan
landsekap karena pengendalian serangan babi hutan secara lokal dapat menyebabkan
peningkatan serangan babi hutan pada lokasi lainnya, misalnya kombinasi antara menjaga
tempat untuk berlindung babi hutan (hutan-hutan di sekitar aliran sungai, semak belukar tua
dan lain-lain) dan cara-cara tradisional, sehingga serangan babi hutan tetap pada tingkat yang
wajar yang tidak merugikan petani.
Menurut (Ratna, 2010) Pengendalian babi hutan akan berhasil apabila dilaksanakan
secara terpadu, yaitu dengan menggabungkan semua teknik pengendalian yang dianjurkan
dengan memperhatikan keseimbangan alam serta lingkungan sekitar. Tentu saja, beragam
metode pengendalian babi hutan ini perlu mempertimbangkan kondisi alam dan lingkungan
sekitar perkebunan kelapa sawit. Pilihan metode bergantung kepada masing-masing pekebun
dan pelaku usaha.
III. PENUTUP

3.1.Kesimpulan
Hama adalah semua binatang yang mengganggu dan merugikan tanaman. Sedangkan
penyakit tanaman adalah sesuatu yang menyimpang dari keadaan normal, cukup jelas
menimbulkan gejala yang dapat dilihat, menurunkan kualitas atau nilai ekonomis, dan
merupakan akibat interaksi yang cukup lama. Ada beberapa golongan yang harus dipahami
golongan dari hama yaitu golongan serangga, golongan mamalia, golongan binatang lunak,
dan golongan aves. Penyakit yang sering terjadi pada tanaman sawit yaitu Genodherma.
Penyakit genodherma ini disebabkan oleh jamur dan bakteri. Untuk Pengendalian terhadap
hama dan penyakit yang terjadi pada tanaman sawit, itu disesuiakan dan tergantung dengan
jenis apa hama dan penyakit itu sendiri.
3.2.Saran
Dari makalah yang telah ditulis, maka saran untuk kebaikan kedepannya, yaitu sebagai
berikut:
1.Pelaksanaan pengendalian hama dan penyakit sebaiknya dan seminimal mungkin tidak
menggunakan zat kimia yang dapat mengurang produktivitas dari tanaman kelapa sawit itu
sendiri;
2.Pengontrolan rutin merupakan hal yang sangat penting karena tanaman kelapa sawit sangat
rentan terhadapat hama dan penyakit.
DAFTAR PUSTAKA

Basri, M. W. and P. G. Kevan., 1995. Life history and feeding behaviour of the oil palm
bagworm, M. Plana Walker (Lepidoptera: Psychidae).Elaeis. 6(2):82-101. BPS, 2012.
Potensi Kelapa Sawit di Sumatera Utara. Ditjenbun, Jakarta.
Budiarto, E., 2002. Biostatistika untuk Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat. EGC, Jakarta.
Direktorat Jendral Perkebunan. 2008. Statistka Perkebunan Indonesia, Kelapa Sawit.
Ditjenbun. Jakarta Hamim, S., Purnomo, Hariri, M., 2011. Population Assessment And
Approporiate Spraying Technique To Control Tha Bagworm ( Metisa plana Walker)
in North Sumatera And Lampung. J Agrivita, Vol 33 No 2. Bandar Lampung
Kilmaskossu, S.T.E.M and J.P.
Nero-kouw. 1993. Inventory of Forest Damage at Faperta Uncen Experi-ment Gardens in
Manokwari Irian Jaya Indonesia. Proceedings of the Symphosium on
Biotechnological and
environmental Approaches to Forest and Disease Management. SEAMEO, Bogor.

Anda mungkin juga menyukai