EDISI KE-4
DISESUAIKAN DENGAN MODUL PROVINCIAL HEALTH ACCOUNT (PHA)
dan
I. DESKRIPSI SINGKAT
Tujuan sistem kesehatan (nasional) adalah meningkatkan dan memelihara status kesehatan
penduduk, responsif terhadap kebutuhan non-medis penduduk dan mewujudkan keadilan
(fairness) dalam kontribusi pembiayaan. Untuk mencapai tujuan tersebut, sistem kesehatan perlu
melaksanakan 4 fungsi utama. Salah satu fungsi adalah pembiayaan (health financing), disamping
fungsi “stewardships”, mobilisasi sumberdaya (investasi dan pendidikan/pelatihan SDM) dan fungsi
penyediaan pelayanan kesehatan (WHO).
Untuk konteks kabupaten/kota, pembiayaan kesehatan dapat berasal dari sumber pemerintah dan
non pemerintah. Anggaran kesehatan yang bersumber pemerintah juga dapat berasal dari tingkat
pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sendiri. Setiap sumber pembiayaan tersebut harus mengikuti
kebijakan desentralisasi sesuai dengan peraturan yang berlaku. Sementara pembiayaan kesehatan
dari non-pemerintah dapat berasal dari belanja perusahaan untuk kesehatan, pengeluaran rumah
tangga untuk kesehatan dan lain sebagainya.
Dalam modul ini akan dibahas pokok bahasan dan sub pokok bahasan berikut:
Pokok bahasan 1. Sistem pembiayaan kesehatan sebagai bagian dari sistem kesehatan.
Pokok Bahasan 1.
SUB SISTEM PEMBIAYAAN KESEHATAN SEBAGAI BAGIAN DARI SISTEM KESEHATAN
NASIONAL
Tujuan sistem kesehatan (Nasional) adalah meningkatkan dan memelihara status kesehatan
penduduk, responsif terhadap kebutuhan non-medis penduduk dan mewujudkan keadilan
(fairness) dalam kontribusi pembiayaan. Untuk mencapai tujuan tersebut, menurut WHO (2000),
sistem kesehatan perlu melaksanakan 4 fungsi utama, yaitu (1) tata kelola, termasuk fungsi sistem
informasi, (2) pengadaan sumberdaya, (3) pembiayaan kesehatan dan (4) pelayanan/program
kesehatan.
Di Indonesia, Sistem Kesehatan Nasional (SKN) pertama kali dirumuskan pada tahun 1982 dan
kemudian direvisi sesuai dengan format WHO tersebut diatas, namun fungsi-fungsi tersebut
diuraikan lebih lanjut sehingga terdiri dari 7 fungsi utama, seperti disampaikan dalam diagram
berikut.
MANAJEMEN, REGULASI
INFORMASI KESEHATAN
SDM KESEHATAN
DERAJAT
FARMASI, ALKES, MAKANAN KESEHATAN
UPAYA KESEHATAN MASYARAKAT
LITBANGKES SETINGGI-
TINGGINYA
PEMBERDAYAAN MASY
PEMBIAYAAN KESEHATAN
Dewasa ini, hampir semua negara mengalami beban pembiayaan yang semakin berat. Beban berat
itu berkaitan dengan pertambahan jumlah penduduk, transisi pola penyakit yang menimbulkan
beban ganda, inflasi biaya pelayanan kesehatan serta inflasi ekonomi secara keseluruhan.
Dalam konteks Indonesia, pembiayaan kesehatan tersebut selain relatif kecil juga efektivitas dan
efisiensi penggunaannya belum optimal. Efektivitas dan efisiensi yang rendah tersebut disinyalir
berkaitan dengan jumlahnya yang kurang, alokasinya yang tidak sesuai dengan prioritas kesehatan
dan pola belanja yang cenderung pada investasi barang dan kegiatan tidak langsung, sehingga
kurang biaya operasional dan biaya untuk kegiatan langsung. Dalam teori dan pengalaman empiris,
kinerja suatu program kesehatan sangat ditentukan oleh kecukupan anggaran operasional dan
anggaran kegiatan langsung. Keadaan diatas diperburuk lagi dengan terlambatnya realisasi
anggaran kesehatan, yang terjadi selama beberapa tahun belakangan ini. Namun sinyalemen
seperti disebutkan di atas belum dijelaskan secara kuantitatif, karena data dan informasi tentang
situasi pembiayaan kesehatan tidak dikumpulkan dan dianalisis.
Pokok Bahasan 2.
SISTEM PEMBIAYAAN KESEHATAN KABUPATEN/KOTA
Pembiayaan Kesehatan di tingkat Kabupaten/Kota berasal dari sumber pemerintah dan non
pemerintah.
Non-Pemerintah
1. Rumah Tangga Out of pocket payment*
Premi asuransi (PNS membayar premi 2% x gaji)
2. Pelayanan Kesehatan milik swasta Investasi swasta dan pendapatan pelkes
3. Perusahaan swasta Pengelolaan langsung atau premi asuransi
4. Yayasan/LSM/Donor Pengelolaan langsung
(*) Out of pocket payment (OOP) = belanja langsung dari rumah tangga untuk kesehatan
a. Anggaran Kesehatan Pemerintah
Khusus anggaran kesehatan yang berasal dari pemerintah pusat, penyalurannya ke kabupaten/kota
dilakukan mengikuti kebijakan desentralisasi sesuai dengan UU tentang desentralisasi fiskal (UU
No. 33/2004). Banyak kabupaten/kota di Indonesia sangat tergantung pada dana dari pusat,
karena PAD kabupaten/kota tersebut kecil.
APBD Kabupaten/Kota
APBD Kabupaten/Kota terdiri dari:
1. Dana Perimbangan
a. DBH (Dana Bagi Hasil)
b. DAU (Dana Alokasi Umum)
c. DAK (Dana Alokasi Khusus)
2. Pendapatan Asli Daerah
Tugas Pembantuan
Adalah anggaran pusat yang dipergunakan untuk membantu kabupaten/kota
melaksanakan program/kegiatan yang merupakan kebijakan Pusat yang dilaksanakan di
kabupaten/kota. Dana TP ini umumnya dipergunakan untuk belanja barang modal (fisik).
Dana Dekonsentrasi
Adalah dana Pusat yang diserahkan ke Provinsi untuk melaksanakan program yang
menjadi kebijakan Pusat
Umumnya dipergunakan untuk peningkatan kapasitas termasuk pelatihan,
kordinasi, yang sasarannya adalah staf kabupaten/kota. Kadangkala juga
dipergunakan untuk kegiatan program.
PAD Provinsi
Kadang-kadang Provinsi menggunakan PAD-nya untuk membantu Kabupaten/Kota.
Bisa untuk pengadaan barang, bisa untuk peningkatan kapasitas dan pelaksanaan
program.
PAD Kabupaten/Kota
Berasal dari pajak, retribusi daerah dan perusahaan daerah.
Besarnya bervariasi antar daerah.
Penggunaannya bisa untuk biaya operasional dan/atau belanja barang modal.
b. Anggaran Kesehatan Non Pemerintah
Fasilitas swasta mendapat pembiayaannya dari (a) investasi swasta sebagai pemilik, (b) hibah dan
(c) penerimaan dari masyarakat yang dilayani (pasien).
Belanja kesehatan rumah tangga sebagian besar dipergunakan untuk membayar langsung
pelayanan kesehatan yang disebut "out of pocket payment". Baru sebagian kecil rumah tangga yang
membayar premi asuransi kesehatan. Pegawai Negeri Sipil misalnya, 2% gajinya dipotong untuk
premi asuransi kesehatan yang dikelola oleh BPJS Kesehatan.
Pokok Bahasan 3.
MASALAH PEMBIAYAAN KESEHATAN DAERAH
Dimuka sudah disampaikan beberapa masalah pembiayaan kesehatan Kabupaten/Kota. Berikut ini
disampaikan uraian Iebih lanjut masalah tersebut, yang perlu diperbaiki agar kinerja program atau
pembangunan kesehatan bisa meningkat.
Dari telaahan terhadap pola biaya kesehatan di Kab/Kota, tampak adanya kecenderungan
untuk mengalokasikan anggaran kesehatan untuk belanja barang modal (fisik), misalnya
membangun gedung, membeli alat, membeli kendaraan, dll. Belanja-belanja tersebut
memang perlu kalau sarana fisik yang diadakan sesuai dengan kebutuhan dan sudah
melalui studi kelayakan tentang prospek utilisasinya. Akan tetapi kalau dari tahun-ketahun
kecenderungan seperti itu berlanjut, program kesehatan bisa menjadi tidak efektif; kalau
investasi barang modal tersebut tidak diikuti dengan kecukupan biaya operasional dan
biaya pemeliharaan. Kalau anggaran kesehatan Kab/Kota terbatas, kecenderungan pada
belanja barang fisik bisa menyebabkan alokasi untuk biaya operasional tidak mencukupi.
Kinerja program kesehatan sangat dipengaruhi oleh kecukupan biaya operasional dan biaya
untuk kegiatan langsung, yaitu kegiatan pelayanan individu atau kegiatan kesehatan
masyarakat di lapangan. Dalam tabel berikut disampaikan contoh apa yang dimaksud
dengan biaya operasional dan contoh beberapa kegiatan yang termasuk kegiatan langsung.
Pengamatan
Penyuluhan
Pengobatan
Masyarakat
Pelayanan
Imunisasi
Nyamuk
Elemen biaya operasional
ANC
TTU
DLL
1. Gaji/Upah
2. Obat & bahan medis
3. Bahan non-medis/ATK
4. Makanan
5. Listrik, air, telpon
6. Perjalanan
7. Dll
Contoh kegiatan tidak langsung (penunjang) misalnya adalah (a) pendidikan dan
pelatihan staf administrasi, (b) rapat kerja, (c) rapat koordinasi, (d) bimbingan teknis, dll.
Ada tidaknya masalah kekurangan biaya operasional untuk kegiatan langsung seperti
disebutkan diatas dapat dilihat dari hasil DHA.
Kebijakan pelayanan gratis tersebut pada masa sekarang jelas tidak bisa diterapkan oleh
sebagian besar daerah di Indonesia. Hanya daerah yang memiliki PAD cukup tinggi yang
mampu membiayainya_ Itupun diperkirakan tidak bisa bertahan dalam jangka panjang,
karena sekarang ini pola penyakit sudah jelas ditandai dengan naiknya penyakit degeneratif
seperti Diabetes Melitus, hipertensi, jantung koroner, stroke, hemodialisis, kanker, dll.
Penyakit-penyakit tersebut memerlukan pelayanan kesehatan yang canggih dan mahal.
Analisis belanja rumah tangga dalam rangka DHA menunjukkan bahwa kemampuan
membayar penduduk ternyata cukup tinggi, paling tidak untuk membayar tarif rawat jalan
di Puskesmas dan rawat jalan di RSUD. Kemampuan membayar ini jelas sekali pada rumah
tangga yang tergolong 40% teratas dalam peringkat belanja rumah tangga.
Kemampuan membayar tersebut dinilai dari (a) berapa belanja kesehatan yang selama ini
telah dikeluarkan rumah tangga, (b) berapa belanja untuk keperluan tidak esensial (tidak
penting) seperti untuk rokok/tembakau, minuman mengandung alkohol, sirih dan pinang,
dll.
Pada awalnya ada sekitar 40 Kabupaten/Kota yang telah mengembangkan sistem asuransi
kesehatan yang disebut sebagai Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Pada tabun 2013
diperkirakan ada sekitar 300 Jamkesda; ada yang cakupannya kabupaten/kota, ada pula
yang yang cakupannya provinsi (NAD, Sumsel, Sulsel, Jateng (untuk rujukan), dan NTB).
Secara bertahap, mulai tahun 2014 Jamkesda tersebut akan diintegrasikan kedalam BPJS
Kesehatan sehingga pada tahun 2019 semuanya sudah terintegasi ke dalam BPJS.
DHA bukan suatu alat atau cara yang bisa memperbaiki masalah keterlambatan realisasi
tersebut. Akan tetapi kalau hasil DHA menunjukkan bahwa kegiatan seminar, lokakarya,
pertemuan kordinasi, dan pelatihan banyak menyerap anggaran kesehatan daerah, maka
bisa diselidiki kaitannya dengan terIambatnya realisasi angggaran.
VI. REFERENSI
I. DESKRIPSI SINGKAT
Selama ini kegiatan NHA (National Health Account), PHA (Provincial Health Account), dan DHA
(District Health Account) di Indonesia dilakukan secara insidentil, merupakan kegiatan dari proyek-
proyek kesehatan. Jadi belum dilakukan secara teratur dan berkelanjutan. Padahal hasil DHA sangat
panting untuk memperbaiki sistem pembiayaaan kesehatan Kabupaten/Kota sekaligus membantu
kelancaran pelaksanaan NHA dan PHA. Oleh sebab itu, DHA perlu dilembagakan di Kab/Kota
sehingga merupakan kegiatan rutin setiap tahun.
Dari telaahan dibeberapa kabupaten/kota dan dari pengalaman upaya melembagakan NHA
ditingkat pusat (Kemenkes, Bappenas, Kemendagri, Kemenkeu, BPS, BKKBN), serta penelitian di
Kabupaten Bogor, Sumba Timur dan Sikka, diambil kesimpulan bahwa untuk melembagakan DHA
di tingkat kabupaten/kota diperlukan 4 hal sebagai berikut;
a. Fasilitator menciptakan suasana nyaman, santai dan tidak tegang sehingga peserta siap
untuk menerima materi pembelajaran. Hal ini dapat dilakukan dengan perkenalan antara
fasilitator dengan peserta dengan cara memperkenaikan diri satu per satu.
b. Fasilitator kemudian menjelaskan secara singkat tujuan pembelajaran, pokok bahasan dan
metode yang digunakan.
c. Sebelum menyampaikan masing-masing pokok bahasan, usahakan terlebih dahulu
menggali pendapat beberapa peserta tentang pokok bahasan kemudian mendiskusikannya.
Diharapkan pada proses pembelajaran menggunakan metode dimana peserta secara
keseluruhan terlibat secara aktif.
d. Fasilitator menjelaskan materi bahasan sesuai dengan pokok bahasan dan sub pokok
bahasan meliputi: tugas dan fungsi lembaga DHA, opsi kelembagaan, struktur organisasi tim
pelaksana DHA, legitimasi kelembagaan dan pembiayaan.
e. Fasilitator memberikan kesempatan kepada peserta untuk bertanya, kemudian fasilitator
memberikan klarifikasi sesuai dengan materi yang disampaikan.
f. Sebelum sesi ditutup, lakukan refleksi dengan menanyakan kepada peserta apakah masih
ada yang akan didiskusikan untuk memenuhi harapan yang sudah disampaikan tadi.
Berikan apresiasi terhadap peran aktif peserta selama proses pembelajaran.
g. Informasikan hal-hal yang dianggap perlu untuk kegiatan berikutnya.
V. URAIAN MATERI
Seperti telah disampaikan dimuka, kegiatan NHA, PHA, dan DHA di Indonesia dilakukan secara
insidentil, merupakan kegiatan dari proyek-proyek kesehatan. Jadi tidak dilakukan secara
teratur dan berkelanjutan. Padahal hasil DHA sangat penting untuk memperbaiki sistem
pembiayaaan kesehatan Kabupaten/Kota sekaligus membantu kelancaran pelaksanaan NHA dan
PHA.
Oleh sebab itu, DHA perlu dilembagakan di Kab/Kota sehingga merupakan kegiatan rutin setiap
tahun.
Dan telaahan dibeberapa kabupaten/kota dan dari pengalaman upaya melembagakan NHA
ditingkat pusat (Kemenkes, Bappenas, Kemendagri, Kemenkeu, BPS, BKKBN), serta penelitian di
Kabupaten Bogor, Sumba Timur dan Sikka, diambil kesimpulan bahwa pelembagaan DHA di tingkat
kabupaten/kata terdiri dari hal-hal sebagai berikut:
Model kelembagaan
Ada empat hal yang berkaitan dengan kelembagaan yang perlu dikembangkan, yaitu sebagai
berikut:
1. Tugas dan fungsi lembaga DHA
2. Opsi kelembagaan dan struktur organisasi Tim Pelaksana Teknis DHA
3. Legitimasi kelembagaan
4. Pembiayaan
Pokok Bahasan 1.
TUGAS DAN FUNGSI LEMBAGA DHA
Pokok Bahasan 2.
OPSI DAN STRUKTUR ORGANISASI “UNIT PELAKSANA DHA”
Institusi atau unit pelaksana DHA memerlukan kejelasan status dan bentuk organisasi sesuai
dengan peraturan (dalam hal ini PP No. 41/2007 tentang organisasi pemerintah kebupaten/kota).
Beberapa opsi status kelembagaan DHA tersebut adalah sebagai berikut:
(1) Panitia pelaksana DHA
(2) Satuan tugas DHA
(3) Kelompok kerja DHA
(4) Tim pelaksana teknis DHA
(5) Dll
Pilihan tentang nama unit pelaksana DHA tersebut diserahkan kepada Kabupaten/Kota masing-
masing.
Tugas dan fungsi seperti disampaikan diatas memerlukan sebuah organisasi yang terdiri dari:
Pokok Bahasan 3.
LEGITIMASI KELEMBAGAAN
Kegiatan DHA memerlukan sebuah lembaga yang memiliki otoritas dan memiliki kapasitas teknis
melaksanakan DHA. Selain itu, lembaga tersebut juga mempunyai jaringan kerja sama dengan
instansi-instansi dalam organisasi pemerintah, LSM dan Swasta.
Karena melibatkan instansi lintas sektor, maka salah satu bentuk organisasi pelaksana DHA adalah
sebuah “TIM PELAKSANA TEKNIS DHA" yang dibentuk dengan Surat Keputusan Bupati/Walikota.
Tim Pelaksana Teknis DHA ini disarankan berada dibawah koordinasi Bappeda atau Dinas
Kesehatan.
Agar Tim tersebut dapat lebih mudah mendapatkan data tentang anggaran/biaya kesehatan dari
berbagai sumber data selain Dinas Kesehatan, maka diperlukan:
a. surat pengantar pengumpulan data yang dikeluarkan oleh Bupati/Walikota,
b. surat tersebut dikeluarkan dengan nomor surat Bappeda atau Dinas Kesehatan,
Pokok Bahasan 4.
PEMBIAYAAN
Pelembagaan dan pelaksanaan DHA memerlukan pembiayaan. Untuk pelaksanaan DHA secara
rutin, anggarannya dapat dimasukkan dalam DPA Bappeda atau Dinas Kesehatan.
Biaya yang diperlukan dalam pelembagaan dan pelaksanaan kegiatan DHA terdiri dari elemen
biaya sebagai berikut:
VI. REFERENSI
I. DESKRIPSI SINGKAT
Health Account (HA) adalah proses pencatatan dan klasifikasi data belanja kesehatan (health
expenditure). Health account adalah juga sebuah proses untuk menggambarkan aliran biaya atau
belanja yang dicatat dalam penyelenggaraan sebuah sistem kesehatan, yang merupakan monitoring
semua transaksi di tingkat sumber dana sampai pemanfaatannya ditingkat wilayah, kelompok
penduduk dan dimensi sosial ekonomi serta epidemiologi. Health account diperlukan untuk
mengetahui situasi pembiayaan kesehatan secara menyeluruh (komprehensif). Health account
dapat dilakatkan pada tingkat nasional atau National Health Account (NHA), pada tingkat provinsi
atau Provincial Health Account (PHA) dan pada tingkat kabupaten/kota atau District Health Account
(DHA).
Health account akan menjawab 9 pertanyaan dasar, yaitu: dari mana asal dana atau sumbernya,
siapa yang mengelolanya, siapa yang dibayar oleh pengelola tersebut, fungsi apa yang dilakukan,
jenis input apa yang dibeli untuk melakukan fungsi tersebut, kedalam kelompok program apa
fungsi tersebut dapat digolongkan, pada jenjang apa fungsi tersebut dilaksanakan dan akhirnya
kelompok penduduk mana yang mendapat manfaat dari biaya tersebut. Pada tingkat
kabupaten/kota, pelaksanaan DHA juga bertujuan untuk menjawab pertanyaan tersebut, selain bisa
juga digunakan untuk bahan advokasi dan memperbaiki kekurangan yang ada dalam sistem
pembiayaan. DHA juga akan menghasilkan gambaran mengenai besar belanja kesehatan rumah
tangga, apakah digunakan untuk pembayaran pelayanan kesehatan secara langsung atau melalui
sistem asuransi kesehatan.
Dalam pelaksanaan DHA dilapangan, perlu diperjelas mengenai batasan biaya yang termasuk
sebagai belanja/anggaran kesehatan. Batasan (demarkasi) mana yang tergolong belanja kesehatan
dan mana yang bukan sangat panting dalam health account, terutama ketika mencari belanja
kesehatan yang ada dalam kegiatan sektor lain, misalnya pendidikan, ketenagakerjaan, dll.
V. URAIAN MATERI
Pokok Bahasan 1.
HEALTH ACCOUNT UNTUK MENUNJANG SISTEM PEMBIAYAAN KESEHATAN
WHO dan OECD serta badan dunia lain (Bank Dunia dan ADB) menyarankan agar setiap negara
melakukan pencatatan dan analisis terhadap biaya kesehatan yang ada di negara masing-masing.
Pencatatan, analisis dan pelaporan data biaya kesehatan tersebut disebut "health account" atau
"akuntansi biaya kesehatan". Kalau ruang lingkup analisis adalah nasional, maka kegiatan tersebut
disebut "National Health Account” atau NHA. Pada tingkat provinsi disebut “Provincial Health
Account” atau PHA dan pada tingkat kabupaten/kota disebut "District Health Account" atau DHA.
Health Account diperlukan untuk mengetahui situasi pembiayaan kesehatan secara menyeluruh
(komprehensif). Hasil NHA bisa dipergunakan untuk membandingkan pembiayaan kesehatan antar
negara yang kemudian dikaitkan dengan kinerja pembangunan kesehatan masing-masing negara,
NHA juga berguna untuk menyusun kebijakan pembiayaan kesehatan nasional. PHA dibutuhkan
pada tingkat provinsi, sedangkan DHA sangat dibutuhkan pada tingkat kabupaten/kota, lebih-lebih
di Indonesia yang sudah menerapkan desentralisasi ke tingkat kabupaten/kota. Di Indonesia, DHA
sangat diperlukan untuk NHA dan PHA, karena sangat sulit melakukan health account secara
sentralistis mencapai lebih dari 514 kabupaten/kota (2015).
Pada tingkat kabupaten/kota, DHA berguna untuk kebijakan pembiayaan kesehatan daerah, serta
untuk menyusun anggaran tahunan kesehatan pemerintah.
Pokok Bahasan 2.
DEFINISI HEALTH ACCOUNT
Health Account (HA) adalah proses pencatatan dan klasifikasi data biaya kesehatan. HA dapat
dilakukan pada tingkat nasional atau National Health Account (NHA), pada tingkat provinsi atau
Provincial Health Account (PHA) dan pada tingkat kabupaten/kota atau District Health Account
(DHA).
Health Account adalah juga sebuah proses menggambarkan aliran dana dan belanja yang dicatat
dalam penyelenggaraan sebuah sistem kesehatan, yang merupakan monitoring semua transaksi di
tingkat sumber dana sampai pemanfaatannya ditingkat wilayah, kelompok penduduk, dan dimensi
sosial ekonomi serta epidemiologi (masalah kesehatan) (Than Sien dan Waheed, 2003).
Health Account terdiri dari pencatatan arus dana kesehatan secara sistematis, komprehensif dan
konsisten dalam suatu sistem kesehatan disuatu negara atau wilayah. Health account menelusuri
semua sumber dana serta aliran dana tersebut dalam suatu sistem kesehatan dalam satu tahun
tertentu di suatu negara atau wilayah tertentu. (Poullier et al, WHO, 2002).
Health Account menjawab 4 pertanyaan dasar: dari mana asal dana atau sumbernya, kemana dana
tersebut mengalir, jenis barang atau jasa apa yang dibeli dan siapa yang mendapat manfaatnya
(Poullier et al, WHO, 2002)
Pokok Bahasan 3.
UNTUK APA DISTRICT HEALTH ACCOUNT (DHA)?
Walaupun banyak pernyataan yang menyiratkan komitmen yang kuat untuk meningkatkan
kesehatan penduduk — seperti yang sering diucapkan atau dituliskan dalam berbagai dokumen
resmi — pembiayaan kesehatan pada tingkat nasional dan daerah dalam kenyataannya masih
menghadapi berbagai kekurangan yang menghambat kinerja program kesehatan. Kekurangan dan
kelemahan tersebut termasuk ketidakcukupan dana, anggaran terfragmentasi, bergantung sebagian
besar pada pembayaran tunai oleh pasien (OOP atau out of pocket payment), ketidakcukupan biaya
operasional, kecenderungan membelanjakan dana untuk konstruksi sarana fisik penunjang, dana
terserap banyak untuk upaya kuratif. Dengan DHA, kabupaten/kota bisa melakukan "diagnosis"
kemungkinan adanya masalah dalam sistem pembiayaan kesehatan di kabupaten/kota
bersangkutan. Dengan hasil DHA kabupaten/kota dapat melakukan perbaikan dan perubahan
(reform) terhadap sistem pembiayaan tersebut.
DHA menghasilkan data yang dapat dipergunakan untuk bahan advokasi kepada pengambil
keputusan dengan tujuan memperbaiki kekurangan sistem pembiayaan, misalnya (a)
meningkatkan alokasi anggaran kesehatan, (b) mengarahkan alokasi dana pada masalah prioritas,
(c) mengarahkan dana pada intervensi dan kegiatan yang lebih "cost effective", (d) mengembangkan
sistem asuransi kesehatan, dll.
DHA juga akan menghasilkan gambaran besar belanja kesehatan rumah tangga, apakah untuk
pembayaran langsung (out of pocket payment) atau melalui asuransi kesehatan. Data ini penting
untuk melihat sejauh mana prospek pengembangan sistem jaminan kesehatan di kabupaten/kota
bersangkutan.
Akhirnya hasil DHA sangat diperlukan dalarn pe!aksanaan PHA dan NHA. Untuk Indonesia yang
telah menerapkan sistem desentralisasi fiskal, NHA hanya dapat dilaksanakan dengan baik kalau
ada data tentang belanja kesehatan di tingkat Kabupaten/Kota.
Pokok Bahasan 4.
DEFINISI ISTILAH-ISTILAH
a. Istilah Umum
Health Account adalah suatu kegiatan yang berkaitan dengan belanja (pengeluaran biaya)
kesehatan. Dan belanja kesehatan didefinisikan sebagai berikut:
"………..semua belanja untuk kegiatan yang tujuan utamanya adalah untuk mengobati/memperbaiki,
meningkatkan dan memelihara kesehatan penduduk dan individu selama waktu tertentu"
Jadi pernyataan tentang maksud dan kegunaan adalah penting dalam menentukan apakah suatu
pengeluaran atau belanja tergolong belanja kesehatan atau bukan. Kalau dalam suatu rencana
anggaran disebutkan tujuannya secara eksplisit adalah untuk memecahkan suatu masalah
kesehatan, realisasi anggaran tersebut bisa digolongkan sebagai biaya kesehatan.
Belanja modal membangun sarana air bersih di sebuah kota bukan belanja kesehatan meskipun air
bersih sangat penting dalam mencegah diare. Demikian juga pengeluaran seseorang untuk
membangun rumah bukan pengeluaran kesehatan. Investasi pemerintah untuk intensifikasi
pertanian dalam rangka ketahanan pangan juga bukan belanja kesehatan. Akan tetapi pengeluaran
pemerintah untuk PMT dalam rangka mengurangi kurang gizi pada anak adalah belanja kesehatan.
Batasan (dermarkasi) mana yang tergolong belanja kesehatan dan mana yang bukan sangat penting
dalam health account, terutama ketika mencari belanja kesehatan yang ada dalam kegiatan sektor
lain, misalnya pendidikan, ketenagakerjaan, dll.
Hal-hal lain yang perlu diperjelas adalah beberapa istilah yang berkaitan dengan pembiayaan, yaitu
(a) biaya, (b) anggaran, (c) pembiayaan dan (d) belanja.
Biaya (cost) adalah nilai ekonomi dalam ukuran uang untuk memproduksi barang atau jasa. Biaya
tersebut bisa bersifat tetap (fixed cost), bisa pula bersifat variabel (variable cost).
Anggaran (budget) adalah nilai uang yang diperlukan dan dialokasikan untuk melaksanakan suatu
kegiatan. Besarnya anggaran ditentukan oleh volume atau target yang akan dicapai dikalikan
dengan biaya yang diperlukan untuk menghasilkan satu unit target tersebut.
Pembiayaan (financing) adalah cara mencukupi anggaran (budget). Misalnya dari pinjaman, dari
asuransi kesehatan, sharing antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota, atau
menetapkan tarif, dll.
Belanja (expenditure) adalah anggaran yang dibelanjakan, kadang-kadang juga disebut realisasi
anggaran.
Selain hal diatas, dalam melaksanakan DHA perlu difahami sistem desentralisasi fiskal yang
melimpahkan kewenangan anggaran kepada Kabupaten/Kota. Semua anggatan pemerintah
K.abupaten/Kota disebut APBD (Angggaran Pendapatan dan Belanja Daerah). Komponen APBD
adalah sebagai berikut (UU No. 33/2004):
Dana pusat lain yang turun kedaerah bukan bagian dari APBD, misalnya TP (Tugas Pembantuan),
dan dana dari sektor lain seperti PKH (Program Keluarga Harapan) dari Kemensos dan PNPM (dari
Kemendagri).
b. Istilah Khusus
Dalam DHA, ada 9 (sembilan) dimensi yang menggambarkan ciri suatu belanja kesehatan. Setiap
data belanja/biaya kesehatan yang ditemukan, harus ditelaah dan diberikan identitas menurut 9
dimensi tersebut. Masing-masing dimensi tersebut dijelaskan berikut ini:
Adalah unit/institusi yang menyediakan biaya kesehatan. Sumber biaya tersebut bisa
instansi pemerintah yang mengelola dana berasal dari pajak, dan jaminan sosial. Sumber
tersebut bisa juga non pemerintah atau organisasi swasta seperti misalnya LSM, Rumah
Tangga, atau suatu kesatuan organisasi lainnya (misalnya biaya dari sumber external).
Adalah institusi atau unit yang menerima dan mengelola dana dari sumber biaya untuk
membayar atau membeli barang dan jasa kesehatan. Ini misalnya termasuk kementerian
kesehatan, dinas kesehatan provinsi, dinas kesehatan kabupaten/kota, badan pengeloIa
jaminan sosial, perusahaan asuransi kesehatan swasta, LSM, perusahaan, dan rumah tangga.
Institusi atau unit yang menerima dan menggunakan dana untuk memproduksi barang dan
jasa pelayanan atau melaksanakan program kesehatan, termasuk misalnya Rumah Sakit,
Panti Perawatan, Pemberi pelayanan kesehatan rawat jalan diluar Puskesmas, Pelayanan
penunjang, Puskesmas, Dinas Kesehatan, dll.
Dimensi fungsi dalam DHA mengadopsi dimensi fungsi dalam SHA 2011 yang merupakan
semua aktivitas yang bertujuan untuk meningkatkan, memperbaiki dan mempertahankan
status kesehatan. Secara umum fungsi kesehatan dapat dibagi menurut klasifikasi sebagai
berikut:
(1) Pelayanan kuratif
(2) Pelayanan rehabilitatif
(3) Pelayanan rawat jangka panjang
(4) Pelayanan penunjang
(5) Alat dan bahan medis
(6) Pelayanan pencegahan dan kesehatan masyarakat
(7) Tata kelola sistem kesehatan dan administrasi pembiayaan kesehatan
5. Program (Programs)
Adalah jenis program kesehatan yang dilaksanakan oleh Penyedia Pelayanan Kesehatan.
Dalam klasifikasi Health Account yang dikembangkan oleh WHO/OECD, klasifikasi program
ini terus mengalami perubahan-perubahan, karena banyaknya variasi klasifikasi diantara
banyak negara. Secara umum program kesehatan dapat dibagi menurut klasifikasi sbb:
(1) Program kesehatan masyarakat
(2) Program kesehatan individu
(3) Program penguatan sistem kesehatan
Di Indonesia, pengelompokan jenis program tersebut dapat dilihat pada kebijakan/konsep
berikut:
Dalam tabel berikut disampaikan jenis jenis program kesehatan menurut keempat
kebijakan/konsep diatas:
Selanjutnya, urusan Rincian Urusan seperti disampaikan dalam tabel diatas diuraikan lebih
rinci dalam SPM (Standar Pelayanan Kesehatan). Sekarang ini Kemenkes sedang melakukan
penyusunan SPM tersebut (akan disusulkan dalam perbaikan modul ini).
Jenis Upaya Kesehatan: Permendagri No. 13/2006 dan Perubahannya
B Urusan Wajib
1 Pendidikan
2 Kesehatan
1 Program Obat dan perbekalan Kesehatan
2 Program Upaya Kesehatan Masyarakat
3 Program Pengawasan Obat dan Makanan
4 Program Pengembangan Obat Asli Indonesia
5 Program Promkes dan Pemberdayaan Masyarakat
6 Program Perbaikan Gizi Masyarakat
7 Program Pengembangan Lingkungan Sehat
8 Program Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Menular
9 Program Standarisasi Pelayanan Kesehatan
10 Program Pelayanan Kesehatan Penduduk Miskin
11 Program Pengadaan, Peningkatan, Perbaikan Sarana Prasarana Puskesmas/Pustu dan Jaringannya
12 Program Pemeliharaan Sarana Prasarana RS/RS Jiwa/RS Paru/RS Mata
13 Program Pengadaan, Peningkatan Sarana Prasarana RS/RS Jiwa/RS Paru/RS Mata
14 Program Kemitraan Peningkatan Pelayanan Kesehatan
15 Program Peningkatan Pelayanan Kesehatan Anak Balita
16 Program Peningkatan Pelayanan Kesehatan Lansia
17 Program Pengawasan dan pengendalian Kesehatan Makanan
18 Program Peningkatan Keselamatan Ibu Melahirkan dan Anak
19 Program seterusnya..
MDGs Health
(un-finished) System
Priority
health
problems
Priority
11. Essential med
Blding
Balancing Blocks
the triangle
Emerging
Priority
health
Risks Cross cutting issues:
- inequity, disparity
- gender
- climate
Determinant
Ascobat Gani/KAA
Bandung 2015
Kegiatan adalah tindakan-tindakan yang dilakukan oleh provider yang secara umum dapat
dibagi dua, yaitu (a) kegiatan langsung dan (b) kegiatan tidak langsung atau disebut juga
kegiatan penunjang. Kegiatan temuan kasus dan pengobatan adalah kegiatan langsung,
sedangkan pelatihan staf administrasi dan administrasi umum di kantor Dinas Kesehatan
adalah kegiatan tidak langsung. Penyemprotan fogging adalah kegiatan langsung. Rapat
koordinasi di Dinas Kesehatan adalah kegiatan tidak langsung.
Dalam sektor kesehatan, kegiatan langsung dapat dibagi dua, yaitu (a) kegiatan pelayanan
perorangan seperti pengobatan dan perawatan individu yang sakit dan (b) kegiatan
kesehatan masyarakat (public health) seperti misalnya pemberantasan vektor, sanitasi,
promosi kesehatan, imunisasi, dll.
Kegiatan tidak langsung adalah kegiatan yang dilakukan untuk menunjang dua kelompok
kegiatan langsung di atas. Ini termasuk misalnya kegiatan administrasi dan manajemen,
monitoring, evaluasi.
Dari perspektif anggaran berbasis kinerja, anggaran untuk kegiatan langsung sangat
menentukan kinerja suatu program. Artinya, kalau anggaran sebagian besar terpakai untuk
kegiatan-kegiatan tidak langsung, maka program tidak menghasilkan output (kinerja).
7. Mata Anggaran (Health Inputs)
Adalah jenis input yang "dibeli" oleh provider (pelaksana program/pelayanan) untuk
melaksanakan kegiatan di atas. Ini termasuk:
(1) barang modal (seperti gedung, alat kesehatan, alat non kesehatan, fellowship untuk
staff, dll),
(2) biaya operasional atau biaya variabel (seperti tenaga, obat, bahan medis, bahan non-
medis, makanan, listrik, telepon, air, perjalanan, dll) dan
(3) biaya pemeliharaan (pemeliharaan gedung, alat, pelatihan, dll).
Dari perspektif anggaran berbasis kinerja, anggaran operasional sangat menentukan kinerja
suatu program. Artinya, kalau anggaran sebagian besar terpakai untuk belanja barang
modal, maka program tidak menghasilkan output (kinerja).
Jenjang kegiatan adalah jenjang administratif dimana kegiatan tersebut dilaksanakan. Untuk
DHA, jenjang kegiatan tersebut bisa di (a) pusat, (b) provinsi, (c) kabupaten, (d) kecamatan,
dan (e) desa atau masyarakat. Berikut contoh-contoh jenis kegiatan menurut jenjangnya.
a. Jenjang pusat : konsultasi ke kemenkes
b. Jenjang provinsi : pelatihan staf Dinas kesehatan di ibu kota provinsi,
c. Jenjang kabupaten/kota : rawat inap di RSUD, pelatihan bidan desa di ibu kota
Kab/Kota, dll
d. Jenjang kecamatan : pengobatan di Puskesmas, dll
e. Jenjang desa/masyarakat : penyuluhan masyarakat, penimbangan di Posyandu,
fogging, dll
Dari perspektif anggaran berbasis kinerja, belanja untuk pelayanan di masyarakat sangat
menentukan kinerja cakupan program. Kalau anggaran lebih banyak untuk kegiatan pada
jenjang kabupaten dan provinsi dan tidak cukup untuk kegiatan/intervensi di masyarakat,
maka cakupan program sulit di pacu.
Adalah kelompok penduduk yang mendapat manfaat dari barang dan jasa kesehatan yang
dibiayai. Penerima manfaat ini dapat dibagi menurut kategori sebagai berikut:
ciri demografi (bayi, balita, anak sekolah, remaja, usia produktif, usila)
tingkat ekonomi (miskin, non miskin)
geografi (kota, desa, daerah terpencil, dll)
Dalam pedoman ini yang dipergunakan adalah kelompok penerima manfaat (beneficiaries)
berdasarkan kelompok umur penduduk, yaitu:
(1) 0 - < 1 tahun : bayi
(2) 1 - 5 tahun : balita
(3) 6 - 12 tahun : anak sekolah
(4) 13 - 18 tahun : anak remaja
(5) 19 - 64 tahun : usia produktif
(6) 65+ tahun : lanjut usia
(7) Semua umur : semua kelompok umur
VI. REFERENSI
1. Guide to Producing National Health Account (with special applications for low-income and
middle-income countries). WHO/WB/USAID, Geneva 2003
2. A System of Health Account. OECD Publication Service, Paris 2000.
3. U Than Sien and Abdullah Waheed, National Health Account: Policy Brief on Concept and
Approach. Regional Health Forum WHO SEA Region, Vol 7, No. 2, 2003.
MODUL MATERI INTI 2
KODE MATA ANGGARAN CODE ACCOUNT
I. DESKRIPSI SINGKAT
Menurut OECD, ada empat pertanyaan pokok tentang pembiayaan program kesehatan yaitu sebagai
berikut:
- Dari mana sumber pembiayaan tersebut, where does the money come from? (source of
funding);
- Kemana dana tersebut diberikan, where does the money go to? (provider of health care
services and goods);
- Program atau pelayanan kesehatan apa yang dilakukan dengan dana tersebut, what kind of
(functionally-defined) services are performed;
- Input apa (barang dan jasa) yang dipergunakan/dibeli untuk melaksanakan program
tersebut (and what types of goods are purchased ?)
Masing-masing pertanyaan tersebut bisa diuraikan lebih rinci, sehingga kemana dan untuk apa
biaya kesehatan dikeluarkan bisa di telusuri. Untuk memudahkan penelusuran tersebut,
dikembangkan kode akun (code account) berupa kombinasi kode huruf dan angka.
Kode akun (code account) belanja kesehatan adalah sederet huruf dan angka (nomor) yang
menunjukkan ciri suatu biaya atau pengeluaran. Dengan perkataan lain, kode mata anggaran adalah
semacam nomor identitas suatu belanja tertent-u. OECD (Organization for Economic Cooperation
and Development) mengembangkan System Health Account (SHA) yang memuat kode akun belanja
kesehatan, yang disebut ICHA (International Classification of Health Account). ICHA secara umum
membagi tiga kelompok utama belanja kesehatan, yaitu (1) sumber, (2) penyedia/pelaksana
pelayanan dan (3) fungsi-fungsi atau program.
Cara pelaksanaan/metode Health Account terus disempurnakan. Kalau semula ada SHA-1, sekarang
(2016) ada SHA-2 (SHA 2011). Demikian juga dengan ICHA - terus mengalami perubahan-
perubahan. Kode akun dalam DHA juga terus disempurnakan. Dalam Modul Edisi-4 ini,
penyesuaian dilakukan sesuai dengan perkembangan sistem pembiayaan kesehatan di Indonesia,
dan juga sesuai dengan perkembangan ICHA dalam SHA-1, serta disesuaikan dengan modul dan
kode akun PHA-p (Provincial Health Account-partial) yang telah dikembangkan dan dilatihkan ke
semua Provinsi. Sehingga dalam penyusunan PHA yang utuh, dapat dengan mudah
mengkonversikan data DHA ke dalam data PHA.
Dalam DHA, ada 9 (sembilan) dimensi yang menggambarkan ciri suatu belanja kesehatan tersebut.
Setiap data belanja/biaya kesehatan yang ditemukan harus ditelaah dan diberikan identitas
menurut 9 dimensi tersebut. Kode anggaran dalam DHA pada mulanya ini disusun atas dasar
referensi ICHA (International Classification of Health Account) dan penelitian di beberapa
kabupaten (Bogor, Sumba Timur, Sikka, Provinsi NTT) pada tahun 2008.
Kesembilan dimensi tersebut adalah sebagai berikut (diberi singkatan untuk keperluan data entry):
1. Sumber biaya (FS = Financial Sources)
2. Pengelola anggaran (FA = Financial Agents)
3. Penyedia pelayanan (HP = Health Providers)
4. Fungsi Kesehatan (HC = Health Care Function)
5. Jenis program (PR = Programs)
6. Jenis kegiatan (HA = Health Activities)
7. Mata anggaran (HI= Health Inputs)
8. Jenjang kegiatan (HL = Level of Activities)
9. Penerima manfaat (HB = Health Beneficiaries)
Setelah mengikuti materi ini, peserta mampu mengelompokkan berbagai jenis belanja/biaya
kesehatan ke dalam kode mata anggaran sesuai dengan kode akun yang dikembangkan untuk
DHA merujuk pada International Classification of Health Account (ICHA) dan kode akun mata
anggaran pemerintah.
V. URAIAN MATERI
Kode mata anggaran (code account) adalah sederet angka (nomor) yang menunjukkan ciri suatu
biaya atau pengeluaran. Dengan perkataan lain, kode mata anggaran adalah semacam nomor
identitas suatu belanja tertentu. Nomor tersebut menjelaskan (1) dari mana dana tersebut berasal,
(2) siapa yang mengelolanya, (3) siapa yang dibayar untuk melaksanakan pelayanan tersebut, (4)
fungsi apa yang dilakukan, (5) program atau pelayanan apa yang dilakukan, (6) kegiatan apa yang
dilakukan oleh penyedia pelayanan, (7) jenis barang dan jasa apa yang dibeli dengan untuk
melaksanakan program/pelayanan tersebut, (8) pada jenjang apa kegiatan tersebut dilakukan dan
(9) siapa yang mendapat manfaat/mengkonsumsi pelayanan tersebut.
Tabel-tabel berikut menjelaskan kode anggaran untuk masing-masing dimensi DHA, yang disusun
atas dasar referensi ICHA (International Classification of Health Account) dan penelitian di beberapa
kabupaten (Bogor, Sumba Timur, Sikka, Provinsi NTT).
Catatan: singkatan berikut dipergunakan untuk menggambarkan masing-masing kesembilan
dimensi DHA:
1. FS = Sumber biaya (Financial Sources)
2. FA = Pengelola anggaran (Financial Agents)
3. HP = Penyedia pelayanan (Health Providers)
4. HC = Fungsi Kesehatan (Health Care Function)
5. PR = Jenis program (Programs)
6. HA = Jenis kegiatan (Health Activities)
7. HI = Mata anggaran (Health Inputs)
8. HL = Jenjang kegiatan (Level of Activities)
9. HB = Penerima manfaat (Health Beneficiaries)
Pokok Bahasan 1.
SUMBER PEMBIAYAAN (FS)
Adalah unit/institusi yang menyediakan biaya kesehatan. Sumber biaya tersebut bisa berasal dari
Pemerintah/Pemerintah Daerah, institusi swasta, belanja kesehatan rumah tangga, atau suatu
kesatuan organisasi lainnya (misalnya dari sumber external). Dibawah ini daftar sumber-sumber
yang membiayai pembangunan kesehatan:
CATATAN:
Untuk beberapa sumber data seperti disampaikan dalam tabel di atas, diperlukan upaya atau
proses khusus mendapatkan data belanja kesehatan. Hal ini akan disampaikan terpisah dalam
beberapa lampiran modul ini. Sumber data yang memerlukan upaya khusus tersebut adalah
sebagai berikut:
(1) Belanja kesehatan rumah tangga (dapat diperoleh dengan melakukan analisis data susenas)
(2) Belanja kesehatan perusahaan swasta yang tidak menjadi peserta BPJS Kesehatan
(3) Belanja kesehatan pada fasilitas TNI/POLRI
Khusus tentang subsidi premi asuransi kesehatan PNS, sekarang pemerintah dan pemerintah
daerah membayar premi sebesar 3% dari gaji kepada BPJS Kesehatan. Jadi premi asuransi
kesehatan PNS adalah 5% x besaran gaji PNS, yang pembayarannya dilakukan secara sharing
antara PNS (2%) dan Pemerintah/Pemda (3%).
Dalam DHA, porsi yang dibayarkan dari potongan gaji PNS (2%) disebut bersumber Rumah Tangga
dan yang dibayarkan oleh pemerintah disebut bersumber pemerintah.
Pokok Bahasan 2.
PENGELOLA ANGGARAN (FA)
Pengelola Anggaran adalah institusi atau unit yang menerima dan mengelola dana untuk membayar
atau membeli barang dan jasa kesehatan. Pengelola anggaran tersebut bisa instansi
pemerintah/pemerintah daerah, swasta, BUMN, LSM, perusahaan dan rumah tangga. Berikut daftar
institusi yang mengelola anggaran untuk kesehatan:
Pengelola Anggaran
Pokok Bahasan 3.
PENYEDIA PELAYANAN (HP)
Penyedia pelayanan adalah institusi atau unit yang menerima dana dan rnenggunakannya untuk
memproduksi barang dan jasa pelayanan kesehatan, termasuk misalnya RS milik
pemerintah/pemerintah daerah, RS swasta, klinik swasta/BUMN, Puskesmas, praktek dokter
(swasta). Di bawah ini daftar penyedia pelayanan:
Penyedia Pelayanan
DIMENSI 3: PENYEDIA PELAYANAN (HP)
HP.1 Rumah Sakit
HP.1.1 Rumah Sakit Umum
HP.1.1.1 Rumah Sakit Umum Pusat
HP.1.1.2 Rumah Sakit Umum Provinsi
HP.1.1.3 Rumah Sakit Umum Kabupaten/Kota
HP.1.1.4 Rumah Sakit Polri
HP.1.1.5 Rumah Sakit TNI
HP.1.1.6 Rumah Sakit Umum Pemerintah Lainnya
HP.1.1.7 Rumah Sakit Umum Swasta/BUMN
HP.1.2 Rumah Sakit Jiwa
HP.1.2.1 Rumah Sakit Jiwa Pusat
HP.1.2.2 Rumah Sakit Jiwa Provinsi
HP.1.2.3 Rumah Sakit Jiwa Kabupaten/Kota
HP.1.2.3 Rumah Sakit Jiwa Swasta/BUMN
HP.1.3 Rumah Sakit Khusus Pemerintah lainnya selain RS Jiwa
HP.1.3.1 Rumah Sakit Ketergantungan Obat
HP.1.3.2 Rumah Sakit Mata
HP.1.3.3 Rumah Sakit Ibu dan Anak
HP.1.3.4 Rumah Sakit Paru
HP.1.3.5 Rumah Sakit Khusus lainnya
HP.1.4 Rumah Sakit Khusus Swasta/BUMN lainnya selain RS Jiwa
HP.2 Fasilitas Perawatan Jangka Panjang (Panti Perawatan Jangka Panjang) Pemerintah/Swasta
HP.2.1 Panti Perawatan Jangka Panjang
HP.2.2 Panti Kejiwaan dan Rehabilitasi Ketergantungan Obat
HP.2.2 Panti Jangka Panjang lainnya
HP.3 Pemberi Pelayanan Kesehatan Rawat Jalan diluar Puskesmas
HP.3.1 Praktek Dokter
HP.3.1.1 Praktek Dokter Umum
HP.3.1.2 Praktek Dokter Spesialis
HP.3.2 Praktek Dokter Gigi/Dokter Gigi Spesialis
HP.3.3 Praktek Tenaga Kesehatan Lainnya
HP.3.4 Klinik Rawat Jalan
HP.3.4.1 Klinik Pelayanan KB
HP.3.4.2 Klinik Rehabilitasi Pecandu Narkoba dan Gangguan Jiwa
HP.3.4.3 Klinik Pelayanan Bedah untuk Rawat Jalan
HP.3.4.4 Klinik Pelayanan Ginjal/Dialisis
HP.3.4.5 Klinik Pelayanan Rawat Jalan Spesialis lainnya
HP.3.4.6 Klinik Pelayanan Terintegrasi lainnya
HP.3.5 PPK Home Care
HP.4 Pemberi Pelayanan Kesehatan Penunjang
HP.4.1 Layanan Jasa Transportasi Pasien dan Kedaruratan
HP.4.2 Laboratorium Diagnosa dan Medis
HP.4.3 Penyedia Pelayanan Darah
HP.4.4 PPK Penunjang lainnya
HP.5 Penyedia Alat Kesehatan dan Bahan Medis
HP.5.1 Penyedia/Toko Obat
HP.5.2 Penyedia/Toko Bahan Medis Habis Pakai
HP.5.3 Penyedia alkes dan bahan medis lainnya
HP.6 Unit Pelayanan Kesehatan Pencegahan/Kesehatan Masyarakat
HP.6.1 PPK Dasar (PPK Primer)
HP.6.1.1 Puskesmas
HP.6.1.2 Puskesmas Pembantu
HP.6.1.3 PPK Dasar lainnya
HP.6.2 Pemberi Pelayanan Kesehatan oleh Masyarakat
HP.6.2.1 Desa Siaga
HP.6.2.2 Posyandu
HP.6.2.3 Posbindu
HP.6.2.4 Poskestren
HP.6.2.5 Pos Obat Desa
HP.6.2.6 Pelayanan Kesehatan oleh masyarakat lainnya
HP.7 Penyedia Administrasi Kesehatan dan Pembiayaan
HP.7.1 Penyedia Administrasi Kesehatan Pemerintah
HP.7.1.1 Kementerian Kesehatan
HP.7.1.2 Kementerian/Lembaga lainnya
HP.7.1.3 Dinas Kesehatan Provinsi
HP.7.1.4 Biro/Dinas/Kantor Provinsi Lainnya
HP.7.1.5 Pemerintah Kabupaten/Kota
HP.7.1.5.1 Dinas Kesehatan
HP.7.1.5.2 Puskesmas
HP.7.1.5.3 RSUD
HP.7.1.5.4 Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil
HP.7.1.5.5 Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa
HP.7.1.5.6 Dinas Sosial
HP.7.1.5.7 Dinas Perindustrian dan Perdagangan
HP.7.1.5.8 Badan Kesra/Binsos
HP.7.1.5.9 Badan Pemberdayaan Perempuan dan KB
HP.7.1.5.10 Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah
HP.7.1.5.11 Dinas Tenaga Kerja
HP.7.1.5.12 Dinas Pendidikan
HP.7.1.5.13 Dinas/Badan/UPT …………………………………..
HP.7.1.5.14 SKPD Kabupaten/Kota lainnya
HP.7.2 Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
HP.7.2.1 BPJS Kesehatan
HP.7.2.2 BPJS Ketenagakerjaan
HP.7.3 Penyelenggara Asuransi swasta
HP.7.4 Penyelenggara Administrasi lainnya
HP.8 Industri Penyedia Layanan Kesehatan: Rumah Tangga dan Industri
HP.9 Rest of the World
Pokok Bahasan 4.
JENIS FUNGSI (HC)
Dimensi fungsi dalam DHA mengadopsi dimensi fungsi dalam SHA 2011 yang merupakan semua
aktivitas yang bertujuan untuk meningkatkan, memperbaiki dan mempertahankan status
kesehatan. Secara umum fungsi kesehatan dapat dibagi menurut klasifikasi sebagai berikut:
Jenis Fungsi
Pokok Bahasan 5.
JENIS PROGRAM (PR)
Adalah program yang dibiayai dengan belanja dari penyedia pelayanan (HP). Dalam ICHA semula
ini disebut "Health Care Functions", yang klasifikasinya berbeda dengan klasifikasi program
kesehatan di Indonesia dan bahkan daftar program kesehatan menurut WHO. Dalam tabel berikut
disampaikan kelompok program yang ada di Indonesia, dan kemudian dicocokkan dengan ICHA
menurut SHA-1.
Ternyata ada program yang ada "cantolannya" dalam ICHA dan banyak juga yang tidak ada.
Demikian juga sebaliknya, ada program dalam daftar ICHA yang tidak ada di Indonesia. Maka
diambil jalan kompromi, yaitu sbb:
1. Program yang ada di Indonesia (Kabupaten/Kota) akan tetapi tidak ada dalam daftar ICHA,
dibuatkan kode akun tersendiri
2. Program yang ada di Indonesia dan ada pula dalam daftar ICHA, dipergunakan kode akun
yang ada dalam ICHA tersebut.
3. Program yang tidak ada di Indonesia dan ada dalam daftar ICHA, tetap dicantumkan dalam
tabel berikut.
Program
Jenis Kegiatan (HA atau Health Activities) adalah kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh
penyelenggara kesehatan yang secara umum dapat dibagi dua kegiatan, yaitu (1) Kegiatan tidak
langsung/kegiatan penunjang dan (2) Kegiatan langsung.
Adalah semua kegiatan yang tidak langsung menghasilkan output program dan tidak menjadi
bagian dari pelayanan serta tidak digunakan secara langsung dalam kegiatan pelayanan kesehatan.
Pendidikan dan pelatihan/training personil adalah kegiatan tidak langsung. Rapat kordinasi,
pertemuan perencanaan adalah contoh kegiatan tidak langsung lainnya.
2. Kegiatan Langsung
Adalah kegiatan yang langsung menghasilkan output program dan terkait langsung dengan
pelayanan. Dalam bidang kesehatan, kegiatan langsung ini dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu
sebagai berikut:
Catatan:
Pembagian jenis kegiatan ini (langsung dan tidak langsung) tidak ada dalam SHA-1/ICHA. Untuk
Indonesia, khususnya di Kabupaten/Kota, klasifikasi "langsung-tidak langsung" ini sangat penting,
terutama setelah pemerintah menerapkan "anggaran berbasis kinerja" (Permendagri No.29/2007),
yang membagi anggaran untuk kegiatan langsung dan tidak langsung. Kinerja program kesehatan
sangat ditentukan oleh volume kegiatan langsung (pelayanan) dana kecukupan anggaran untuk
kegiatan langsung tersebut.
Jenis Kegiatan
Pokok Bahasan 7.
MATA ANGGARAN (HI)
Adalah jenis input yang dibeli oleh penyelenggara pelayanan/program untuk melaksanakan
kegiatan. Jenis input tersebut bisa berupa investasi barang modal, belanja operasional dan belanja
pemeliharaan. Rinciannya adalah sebagai berikut:
Mata Anggaran
Catatan:
Pembagian mata anggaran (health inputs) seperti disampaikan dalam tabel diatas juga berbeda dari
HI dalam ICHA/SHA-1. Kebijakan "anggaran berbasis kinerja" di Indonesia berkepentingan untuk
mengetahui apakah belanja program cukup untuk kegiatan operasional, dan tidak dihabiskan untuk
belanja barang modal. Klasifikasi anggaran yang ada dalam Permendagri 13 dan 54 membedakan
anggaran operasional, belanja barang modal dan administrasi umum.
Belanja untuk pendidikan personil (pendidikan formal) digolongkan sebagai "belanja investasi",
karena manfaatnya dapat dirasakan selama lebih dari 1 tahun anggaran. Dari segi jenis kegiatan,
pendidikan personil adalah "kegiatan tidak langsung".
Belanja untuk pelatihan/training personil dan kader kesehatan (misalnya kader Desa Siaga dan
kader Posyandu) adalah "belanja pemeliharaan" dan tergolong "kegiatan tidak langsung". Disebut
"belanja pemeliharaan" karena tujuannya adalah untuk memelihara pengetahuan dan ketrampilan
peserta pelatihan.
Pokok Bahasan 8.
JENJANG KEGIATAN (HL)
Jenjang kegiatan adalah jenjang administratif dimana kegiatan tersebut dilaksanakan. Suatu
kegiatan bisa dilakukan sekaligus di berbagai jenjang, misalnya program eliminasi malaria
mencakup kegiatan penyemprotan di masyarakat, penemuan kasus dan pengobatan di Puskesmas
dan promosi kesehatan tentang malaria yang dilakukan ditingkat kabupaten. Dalam hal demikian,
maka jenjang kegiatan tersebut dikelompokan sebagai kegiatan pada jenjang kabupaten.
Jenjang Kegiatan
Pokok Bahasan 9.
PENERIMA MANFAAT (HB)
Penerima manfaat dalam hal ini adalah sekelompok orang (Ibu, Balita, anak sekolah, remaja,
Lansia)/masyarakat yang menerima secara langsung atau tidak langsung manfaat dari suatu
kegiatan/program kesehatan.
Penerima Manfaat
Kelompok penerima manfaat seperti disampaikan dalam tabel diatas adalah pembagian
berdasarkan demografi.
Ada belanja yang belum jelas sasarannya, misalnya belanja rawat jalan di Puskesmas dan RS. Pasien
rawat jalan tersebut terdiri dari berbagai kelompok umur. Belanja tersebut perlu dibagi kedalam
masing-masing kelompok umur. Caranya adalah dengan menggunakan bobok pendistribusian.
Bobot tersebut dikembangkan dengan melakukan analisis data Susenas, seperti disampaikan dalam
Lampiran 2.
VI. REFERENSI
1. Guide to Producing National Health Account (with special applications for low-income and
middle-income counties). WHO/WB/USAID, Geneva 2003.
2. A System of Health Account. OECD Publication Service, Paris 2000.
3. U Than Sien and Abdullah Waheed. National Health Account: Policy Brief on Concept and
Approach. Regional Health Forum WHO SEA Region, Vol 7, No.2/2003.
4. UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah
5. PP No. 41/2007 tentang struktur organisasi pemerintah
6. Kepmendagri No. 29/2002 (tentang perencanaan dan penganggaran berbasis kinerja
ditingkat kab/kota, yang menetapkan kode akun belanja daerah)
7. Permendagri No. 13/2006 (revisi Kepmendagri No. 29/2002)
8. Permendagri No. 59/2007 (revisi Kepmendagri No. 13/2006)
9. Dokumen RASK dan DASK 2004 Kabupaten Sumba Timur (Anggaran Dinkes yang
menggambarkan komponen anggaran menurut Kepmendagri No. 29/2002)
10. Dokumen RASK dan DASK 2004 Kabupaten Tangerang (Anggaran Dinas Kesehatan
menggambarkan komponen anggaran menurut Kepmendagri No. 29/2002)
MODUL MATERI INTI 3
PROSES PELAKSANAAN DHA
I. DESKRIPSI SINGKAT
Salah satu tahapan panting dalam pelaksanaan DHA adalah bagaimana memperoleh data
anggaran/belanja kesehatan dengan selengkap mungkin. Belania kesehatan tersebut terdapat di
berbagai instansi/institusi yang ada di kabupaten/kota. Secara garis besar, instansi/institusi yang
harus dikunjungi untuk mendapatkan data tersebut adalah instansi pemerintah dan instansi non
pernerintah.
Dalam DHA ini, data anggaran kesehatan yang dikumpulkan adalah realisasi anggaran
kesehatan.
Untuk instansi pemerintah, anggaran kesehatan terbesar berada di dinas kesehatan dan RSUD.
Selain itu, perlu juga dilacak anggaran kesehatan di instansi lainnya. Beberapa instansi yang
mempunyai anggaran kesehatan adalah Dukcapil, KB, dan pemberdayaan perempuan, Dinas Sosial,
BPMD, PU/Kimpraswil dan lain sebagainya. Untuk melacak keberadaan anggaran kesehatan di
berbagai instansi ini, dapat dimulai dengan mendapatkan informasi dari Bappeda Kabupaten/kota
(pada bidang yang membawahi kesehatan). Sementara sumber biaya yang berasal dari non
pemerintah dapat berasal dan fasilitas pelayanan kesehatan swasta, LSM, perusahaan swasta dan
lain sebagainya.
Untuk memperoleh data mengenai besaran pembiayaan kesehatan yang dikeluarkan oleh rumah
tangga, dapat dilakukan melalui analisis data Susenas. Data Susenas ini dapat mewakili kondisi
penduduk sebuah kabupaten/kota. Hasil analisis data Susenas untuk keperluan DHA adalah sebagai
berikut:
(1) Rata-rata pengeluaran total rumah tangga per tahun
(2) Rata-rata pengeluaran rumah tangga untuk kesehatan per tahun
(3) Rata-rata pengeluaran rumah tangga untuk asuransi kesehatan per tahun
(4) Total (kabupaten) untuk (1), (2) dan (3)
(5) Rincian (1), (2) dan (3) diatas menurut tingkat pengeluaran rumah tangga (dalam
hal ini dibagi 5 tingkat atau 5 Quintiles)
Setelah seluruh data pembiayaan kesehatan diperoleh, tahapan selanjutnya adalah melakukan
konversi biaya anggaran kesehatan tersebut ke dalam 9 kelompok kode mata anggaran/dimensi
dalam DHA. Konversi ini adalah tahapan kegiatan untuk memberikan identifikasi dari setiap rupiah
yang dikeluarkan ke dalam kode akuntasi DHA yang ada. Dalam melakukan konversi ini, diperlukan
ketelitian agar kode mata anggaran yang diberikan pada setiap anggaran tersebut benar-benar
sesuai dan tepat. Untuk membantu proses konversi ini, telah disediakan instrumen dalam program
Excell. Instrumen tersebut telah siap pakai dan disusun berdasarkan 9 kode mata anggaran
tersebut.
Analisis data yang telah dimasukkan dalam worksheet dapat dilakukan dengan
menggunakan program Excell, yaitu dengan rnenggunakan pivot tabel. Petunjuk untuk
menghasilkan tabel-tabel univariat, bivariat dan trivariat dapat dilihat pada lampiran pedoman
penggunaan pivot tabel. Ada tiga langkah dalam analisis data yang perlu dilakukan, yaitu sebagai
berikut:
(1) Estimasi pengeluaran/belanja kesehatan per kapita
(2) Analisis Univariate
(3) Analisis Bivariate
(4) Analisis Trivariate
Pokok bahasan 1. Mengumpulkan data dan sumber data (di tingkat kabupaten dan provinsi).
Pokok bahasan 2. Menghitung belanja kesehatan rumah tangga menggunakan data Susenas.
(khusus untuk peserta dari BPS)
Pokok bahasan 3. Menghitung belanja kesehatan perusahaan swasta
Pokok bahasan 4. Menghitung belanja kesehatan fasilitas kesehatan TNI/POLRI
Pokok bahasan 5. Melakukan konversi kode mata anggaran.
Pokok bahasan 6. Melakukan entry data menggunakan Pivot Table (Excell).
Pokok bahasan 7. Menghasilkan tabel-tabel standar sebagai hasil DHA.
Pokok bahasan 8. Melakukan interpretasi hasil DHA.
Pokok bahasan 9. Merumuskan rekomendasi.
IV. LANGKAH-LANGKAH KEGIATAN PEMBELAJARAN
a. Fasilitator menciptakan suasana nyaman, santai dan tidak tegang sehingga peserta siap
untuk menerima materi pembelajaran. Hal ini dapat dilakukan dengan perkenalan antara
fasilitator dengan peserta dengan cara memperkenalkan diri satu per satu.
b. Fasilitator kemudian menjelaskan secara singkat tujuan pembelajaran, pokok bahasan dan
metode yang digunakan.
c. Sebelum menyampaikan masing-masing pokok bahasan, usahakan terlebih dahulu
menggali pendapat beberapa peserta tentang pokok bahasan kemudian mendiskusikannya.
Diharapkan pada proses pembelajaran menggunakan metode dimana peserta secara
keseluruhan terlibat secara aktif.
d. Fasilitator menjelaskan materi bahasan sesuai dengan pokok bahasan dan sub pokok
bahasan meliputi mengumpulkan data dari sumber data, menghitung belanja kesehatan
rumah tangga menggunakan data Susenas, melakukan konversi kode mata anggaran,
melakukan entry data, menghasilkan tabel DHA dan interpretasi hasil DHA.
e. Fasilitator memberikan kesempatan kepada peserta untuk bertanya, kemudian fasilitator
menberikan klarifikasi sesuai dengan materi yang disampaikan.
f. Fasilitator memberikan penugasan kepada peserta latih untuk melakukan tahapan
pelaksanaan DHA, mulai dari identifikasi sumber data di masing-masing kabupaten/kota,
melakukan konversi, entry data pembiayaan kesehatan, menghasilkan tabel-tabel DHA
serta interpretasi hasil DHA untuk perbaikan kebijakan pembiayaan kesehatan di
kabupaten/kota. Bahan dapat digunakan realisasi biaya kesehatan dari dinas kesehatan
atau rumah sakit dan menggunakan instrumen DHA yang telah disiapkan.
g. Latihan dilakukan dalam kelompok-kelompok kecil berdasarkan masing-masing
kabupaten/kota.
h. Hasil latihan kelompok selanjutnya disampaikan/dipresentasikan dan ditanggapi oleh
seluruh peserta serta masukan dari fasilitator pelatihan.
i. Sebelum sesi ditutup, lakukan refleksi dengan menanyakan kepada peserta apakah masih
ada yang akan didiskusikan untuk memenuhi harapan yang sudah disampaikan tadi.
Berikan apresiasi terhadap peran aktif peserta selama proses pembelajaran.
j. Informasikan hal-hal yang dianggap perlu untuk kegiatan berikutnya.
V. URAIAN MATERI
Pokok Bahasan 1.
MENGUMPULKAN DATA DARI SUMBER DATA (DITINGKAT KABUPATEN/KOTA DAN
PROVINSI)
Salah satu tahapan penting dalam pelaksanaan DHA adalah bagaimana memperoleh data anggaran
kesehatan selengkap mungkin. Pada tabel dibawah ini, dapat dilihat bahwa anggaran kesehatan
tersebut berada di berbagai instansi/institusi di kabupaten/kota.. Secara garis besar, instansi/
institusi yang harus dikunjungi untuk mendapatkan data tersebut adalah instansi pemerintah dan
instansi non pemerintah.
Untuk instansi pemerintah, anggaran kesehatan terbesar berada di dinas kesehatan dan RSUD.
Selain itu, perlu juga dilacak anggaran kesehatan di instansi lainnya. Beberapa instansi yang
mempunyai anggaran kesehatan adalah Dukcapil, KB, dan pemberdayaan perempuan, Dinas Sosial,
BPMD, PU/Kimpraswil dan lain sebagainya. Untuk melacak keberadaan anggaran kesehatan di
berbagai instansi ini, dapat dimulai dengan mendapatkan informasi dari Bappeda Kabupaten/kota
(pada bidang yang membawahi kesehatan).
Dalam DHA ini, data anggaran kesehatan yang dikumpulkan adalah realisasi anggaran
kesehatan. Data realisasi anggaran pada instansi pemerintah dapat dilihat dalam dokumen:
Data dari Dinas Kesehatan dan Rumah Sakit, relatif lebih mudah untuk mendapatkannya, kecuali
untuk beberapa anggaran/item pengadaan seperti obat dan bahan medis serta alat kesehatan yang
diterima dalam bentuk barang dan tidak diketahui nilai rupiahnya oleh dinas kesehatan dan rumah
sakit di tingkat kabupaten/kota. Untuk ini pengumpul data perlu mendapatkan dokumen
penerimaan barang dan memperoleh jumlah obat, bahan medis dan alat kesehatan yang diterima.
Adapun informasi/data tentang unit cost dari obat, bahan medis dan alat kesehatan tersebut dapat
diperoleh dari pemegang program di dinas kesehatan kabupaten/kota (kalau memang ada) atau
dari dinas kesehatan provinsi. Kalau perlu diminta dari pemegang program di tingkat pusat jika
bahan/barang dan alat tersebut berasal dari pusat. Jika tidak diperoleh datanya, dapat digunakan
berbagai cara lain, misalnya dengan memperoleh informasi biaya satuan dari PBF (Pedagang Besar
Farmasi) untuk obat dan bahan medis, menggunakan harga pasar yang ada dan lain sebagainya.
Sumber data pembiayaan kesehatan Kab/Kota dalam pelaksanaan DHA
Khusus mengenai biaya gaji pegawai, sesuai dengan kebutuhan DHA, harus dapat dipisahkan
antara gaji pegawai yang berada pada unit pelayanan langsung dan gaji pegawai yang
berada pada unit penunjang atau administrasi. Untuk pengumpulan data gaji pegawai di dinas
kesehatan dapat dikelompokkan mejadi dua bagian. Gaji pegawai yang berada di Puskesmas
dimasukkan sebagai gaji pegawai pada kelompok kegiatan langsung, sementara gaji pegawai yang
berada di dinas kesehatan masuk dalam kelompok kegiatan tidak langsung. Asumsinya, pegawai
yang berada di tingkat Puskesmas adalah tenaga yang langsung memberikan pelayanan kepada
masyarakat. Demikian juga untuk rumah sakit, gaji pegawai juga perlu dipisahkan antara pegawai
yang berada pada unit pelayanan langsung dan pegawai pada unit pelayanan tidak langsung.
Kabupaten/kota juga memperoleh anggaran dari berbagai sumber, selain dari APBD. Misalnya
dinkes kab/kota memperoleh dana dari provinsi untuk pelaksanaan kegiatan/program kesehatan
masyarakat. Anggaran kesehatan seperti ini juga harus diperoleh datanya. Untuk itu pengumpulan
data anggaran tersebut perlu dilakukan ditingkat provinsi, khusus untuk anggaran kesehatan
provinsi yang diperuntukkan bagi kab/kota tersebut. Berdasarkan pengalaman yang ada, minimal
dibutuhkan waktu selama 3 hari untuk pengumpulan data pembiayaan kesehatan ditingkat
provinsi. Sebelum pengumpulan data ditingkat provinsi, pengumpul data sudah mempunyai
gambaran/memperoleh informasi tentang data pembiayaan apa saja yang harus dicari ditingkat
provinsi berdasarkan pada hasil pengumpulan data ditingkat kabupaten/kota. Data anggaran
kesehatan berupa bantuan/hibah yang ada di kabupaten/kota dapat juga diperoleh dari tingkat
provinsi. Misalnya dana Global Fund, dana proyek bantuan/hutang LN (misalnya proyek DHS-
2/pinjaman dari ADB di 8 provinsi), donor dan lain sebagainya. Untuk pengumpulan data ini,
pengumpul data harus mendatangi setiap bidang/unit terkait yang ada di dinas kesehatan dan
instansi lainnya. Untuk bantuan yang berasal dari donor misalnya, satu kabupaten/kota bisa saja
menjadi wilayah kerja mereka (yang mendapatkan bantuan), tetapi kantornya tidak ada di
kabupaten/kota melainkan berada ditingkat provinsi.
Dalam beberapa bagian, data anggaran yang ada di tingkat provinsi ini berada dalam bentuk
gelondongan besar untuk seluruh kabupaten/kota. Dalam hal ini, pengumpul data perlu melakukan
justifikasi untuk memperoleh berapa besaran anggaran tersebut untuk satu kabupaten/kota.
Misalnya Provinsi melatih tenaga 60 Puskesmas dari seluruh provinsi dengan anggaran sebesar Rp.
120 juta, maka porsi sebuah kabupaten yang hanya mengirim 12 Puskesmas ke pelatihan tersebut
adalah 12/60 x Rp 120 juta.
Sementara pada unit BUMN/BUMD, anggaran kesehatan dapat digali dari laporan biaya kesehatan
pada masing-masing unit tersebut. Misalnya pada PLN, anggaran kesehatan dapat diperoleh dari
bagian SDM dengan melihat laporan penggunaan biaya kesehatan untuk karyawan yang telah
dikeluarkan dalam satu tahun terakhir, serta fasilitas pelayanan kesehatan yang digunakan oleh
karyawan tersebut.
Mengenai data yang terkait dengan asuransi kesehatan, sumber data utama berasal dari BPJS
Kesehatan, Jamkesda dan asuransi kesehatan swasta lainnya. Untuk BPJS Kesehatan, data yang
harus dikumpulkan adalah data pembiayaan kesehatan terkait dengan PNS dan peserta lainnya. Di
beberapa kabupaten/kota, kantor cabang BPJS Kesehatan yang ada mencakup wilayah kerja lebih
dari satu kabupaten/kota, sehingga data yang ada adalah data total untuk seluruh wilayah kerja
dari BPJS Kesehatan tersebut. Sehingga untuk mendapatkan pembiayaan kesehatan dari BPJS
Kesehatan dalam satu kabupaten/kota, harus dilakukan perhitungan dengan melihat total
tagihan/biaya kesehatan dan proporsi jumlah kepesertaan dari masing-masing kabupaten/kota.
Proporsi biaya dilakukan dengan cara membagi total biaya kesehatan dengan proporsi jumlah
peserta dikabupaten/kota tersebut. Hasil yang diperoleh masih sangat kasar sekali karena yang
dilihat hanya jumlah kepesertaan, bukan jumlah kunjungan/utilisasi dari masing-masing
kabupaten/kota. Cara yang sama berlaku pula untuk perhitungan pembiayaan kesehatan pada
asuransi kesehatan komersial.
Untuk mendapatkan data yang berasal dari instansi non pemerintah, pengumpul data harus mampu
melakukan identifikasi terhadap unit/instansi yang mempunyai angaran untuk kesehatan. Unit non
pemerintah yang mempunyai anggaran kesehatan dapat berasal dari fasilitas pelayanan kesehatan
swasta, seperti rumah sakit swasta, klinik swasta, laboratorium klinis, praktek swasta dan lain
sebagainya. Selain itu, anggaran kesehatan juga dapat berasal dari bantuan/hibah yang berasal dari
luar negeri atau LSM. Di beberapa daerah, cukup banyak bantuan/hibah dari luar negeri dan LSM
yang bergerak di bidang kesehatan dan cukup banyak mempunyai anggaran untuk kesehatan. Dari
pengalaman dilapangan, beberapa LSM tersebut bergerak tidak hanya untuk kesehatan saja,
misalnya mereka bergerak di bidang kesehatan, pendidikan dan lain sebagainya. Dalam kondisi ini,
data yang harus dikumpulkan adalah data anggaran yang terkait dengan anggaran untuk sektor
kesehatan saja. Dokumen apa yang dikumpulkan juga harus disesuaikan dengan format laporan
keuangan dari masing-masing LSM/institusi tersebut. Yang jelas, data yang dikumpulkan adalah
terkait dengan realisasi anggaran untuk sektor kesehatan.
Untuk mendapatkan anggaran kesehatan dari dokter/dokter spesialis/dokter gigi dan bidan
praktek swasta dilakukan dengan cara memperoleh informasi tentang biaya operasional yang
dikeluarkan dan pendapatan yang diperoleh dalam satu tahun yang berkaitan dengan pemberian
pelayanan kesehatan. Sulit untuk mendapatkan kepastian pembiayaan kesehatan pada tempat
praktek swasta, hal ini berkaitan dengan tidak dilakukannya tertib pembukuan laporan keuangan,
sehingga data yang didapat adalah perhitungan kasar yaitu setelah mendapatkan rata-rata
pembiayaan kesehatan per bulan kemudian dikalikan 12 bulan sehingga diperoleh total biaya
selama 1 tahun.
Khusus untuk pengumpulan data pada fasilitas pelayanan kesehatan (rumah sakit, praktek dokter,
klinik, dll), data yang dikumpulkan termasuk data penerimaan fungsional yang ada pada fasilitas
pelayanan kesehatan tersebut. Misalnya rumah sakit memberikan pelayanan kepada pegawai
negeri yang dijamin BPJS Kesehatan atau klinik memberikan pelayanan kepada karyawan
perusahaan swasta yang dijamin oleh perusahaannya. Dalam hal seperti itu, rumah sakit dan klinik
masing-masing memperoleh pendapatan dari pembayaran klaim pelayanan kesehatan dari BPJS
Kesehatan dan perusahaan swasta tersebut.
Untuk menghindari penghitungan ganda (double counting) maka dalam hal seperti itu biaya yang
dikeluarkan rumah sakit untuk memberikan pelayanan kepada pegawai negeri dan karyawan
swasta tersebut harus dikeluarkan dari data biaya rumah sakit. Hal itu dilakukan karena DHA juga
mengumpulkan data pembiayaan kesehatan dari berbagai sumber, termasuk biaya kesehatan dari
BPJS Kesehatan dan perusahaan-perusahaan swasta.
Misalnya, sebuah rumah sakit mengeluarkan biaya 1 miliar. Dari pelayanan kepada peserta dan
keluarganya rumah sakit menerima pembayaran klaim dari BPJS Kesehatan sebesar 600 juta. Oleh
karena DHA sudah mencatat data pembayaran klaim BPJS Kesehatan kepada rumah sakit tersebut,
maka biaya kesehatan yang dikeluarkan oleh rumah sakit itu tinggal 1 miliar dikurangi 600 juta
yaitu 400 juta.
Pembiayaan kesehatan juga terdapat pada perusahaan swasta yang peduli akan kesehatan
karyawannya. Untuk itu pengumpul data dapat mencari pembiayaan kesehatan di perusahaan
swasta yaitu mendapatkan laporan klaim kesehatan yang dilakukan oleh karyawan kepada
perusahaan. Beberapa perusahaan swasta juga mempunyai sistem pembiayaan kesehatan
tersendiri bagi karyawannya. Ada perusahaan yang mempunyai klinik perusahaan sendiri bagi
karyawan. Untuk kondisi ini, harus dikumpulkan biaya kesehatan yang dikeluarkan oleh klinik
perusahaan tersebut. Disamping itu biasanya mereka juga mempunyai kontrak kerjasama dengan
rumah sakit sebagai tempat rujukan bagi karyawan. Anggaran yang dikeluarkan untuk rujukan
pelayanan kesehatan ini juga harus dikumpulkan dengan melihat total biaya yang dikeluarkan
untuk rujukan tersebut selama 1 tahun.
Untuk analisis data susenas (belanja kesehatan rumah tangga), akan diterangkan tersendiri.
Analisis data susenas berguna untuk menghitung biaya kesehatan yang berasal dari rumah tangga
di kabupaten/kota dalam satu tahun. Disamping itu data susenas juga digunakan untuk melakukan
analisis pola belanja rumah tangga (melihat pengeluaran untuk makanan, non makanan,
pendidikan, asuransi kesehatan dan kesehatan serta untuk sirih/pinang, rokok, alkohol dan pulsa
telepon).
Pokok Bahasan 2.
MENGHITUNG BELANJA KESEHATAN RUMAH TANGGA MENGGUNAKAN DATA SUSENAS
Susenas (Survey Sosial dan Ekonomi Nasional) adalah survey rumah rumah tangga dengan sampel
yang cukup besar untuk mewakili penduduk sebuah kabupaten/kota. Instrumen (kuesioner)
Susenas juga berisi pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan kesehatan, misalnya pola
pencarian pengobatan, pengeluaran rumah tangga untuk kesehatan, cakupan asuransi/jaminan
kesehatan, dll.
Data Susenas sering dipergunakan untuk membuat perkiraan tentang jumlah pengeluaran rumah
tangga untuk kesehatan di sebuah kabupaten/kota. Namun pengeluaran tersebut tidak bisa
diperinci menurut masalah kesehatan/penyakit. Dalam analisis data Susenas biasanya diasumsikan
bahwa pengeluaran tersebut adalah untuk pelayanan kuratif.
Dalam Susenas 2006 dan 2007 dibedakan antara pengeluaran rumah tangga untuk (a) pengobatan
penyakit dan (b) pembayaran premi asuransi kesehatan. Data ini bisa dipergunakan untuk melacak
porsi pengeluaran rumah tangga yang dikelola oleh sistem asuransi sebagai “agent” yang
selanjutnya membayar “provider”.
Analisis data Susenas pada tingkat kabupaten/kota dapat dilakukan oleh kantor BPS
Kabupaten/Kota yang seharusnya faham tentang setting dan format data Susenas. Hasil analisis
data Susenas untuk keperluan DHA adalah sebagai berikut:
Mengenai prosedur analisis data Susenas secara detail dapat dilihat pada lampiran pedoman ini.
Pokok Bahasan 3.
MENGHITUNG BELANJA KESEHATAN YANG DIKELUARKAN PERUSAHAAN SWASTA
Salah satu sumber pembiayaan kesehatan di Kabupaten/Kota adalah perusahaan swasta. UU No.
24/2011 tentang BPJS mengharuskan semua penduduk termasuk karyawan perusahaan swasta
menjadi peserta BPJS Kesehatan. Premi jaminan tersebut dibayar oleh karyawan sebesar 1% dari
gaji dan 4% dari perusahaan. Data tersebut dapat diperoleh dari BPJS Kesehatan, dengan premi
karyawan sebesar 1% sebagai sumber biaya kesehatan rumah tangga dan premi perusahaan 4%
sebagai sumber biaya kesehatan swasta.
Karena kewajiban untuk menjadi peserta BPJS Kesehatan tersebut, maka selain premi yang
dibayarkan oleh karyawan maupun perusahaan, kita akan mencari data sebagai berikut:
a. Biaya penyediaan pelayanan langsung kesehatan (klinik, RS perusahaan)
b. Biaya mengontrak pelayanan kesehatan luar (klinik, RS pihak ketiga)
c. Menjadi peserta asuransi kesehatan lain selain BPJS Kesehatan
Dalam pelaksanaan DHA, data biaya kesehatan tenaga kerja di suatu kabupaten dapat ditanyakan
kepada BPJS Kesehatan, yaitu jumlah premi yang diterimanya dalam satu tahun. Namun angka
tersebut belum tentu menggambarkan jumlah sesungguhnya, karena mungkin ada perusahaan
yang belum mengikut sertakan karyawannya dalam program JKN BPJS Kesehatan.
Oleh sebab itu diperlukan cara untuk memperkirakan biaya kesehatan karyawan perusahaan yang
belum menjadi peserta JKN BPJS Kesehatan. Ada 3 (tiga) cara yang disampaikan disini, yaitu
(1)survei perusahaan, (2) meminta laporan dari setiap perusahaan dan (3) estimasi tidak langsung.
(1) Survey belanja kesehatan perusahaan yang belum menjadi peserta JKN BPJS Kesehatan
Pekerjaan ini memerlukan biaya, waktu dan metode penelitian yang “cukup rumit” untuk
dikerjakan oleh Tim DHA Kabupaten/Kota (yang terdiri dari staff fungsional Dinkes, RSUD, BPS dan
Bappeda).
Pertama ditentukan sample perusahaan yang perlu disurvey yang jumlah dan variasinya dapat
mewakili perusahaan yang belum menjadi peserta JKN BPJS Kesehatan. Dalam kenyataan
perusahaan swasta sangat bervariasi, baik dalam hal jumlah karyawannya serta jenis usahanya. Jadi
bisa terjadi sample yang diperlukan harus cukup banyak untuk menghasilkan perkiraan yang
benar.
Kedua, dilakukan pengumpulan data ke setiap perusahaan yang masuk dalam sample survei
tersebut. Ini memerlukan waktu dan tenaga yang besar, terutama kalau dilakukan di
Kabupaten/Kota yang memiliki banyak perusahaan. Keadaan ini ditemukan misalnya di Kabupaten
Bogor, Bekasi, Tangerang, Bandung, Surabaya, dll.
(2) Estimasi kasar atas dasar belanja perusahaan yang menjadi peserta JKN BPJS Kesehatan
Cara kedua adalah membuat estimasi kasar. Caranya adalah sebagai berikut:
(a) Hitung jumlah peserta JKN BPJS Kesehatan dari sektor swasta selama tahun bersangkutan
(b) Dapatkan informasi total premi JKN BPJS Kesehatan dari swasta yang diterima BPJS
Kesehatan dalam tahun yang sama
(c) Hitung biaya rata-rata besar premi per karyawan (bagi total premi dengan total peserta)
(d) Dapatkan data karyawan perusahaan yang belum menjadi peserta JKN BPJS Kesehatan
(e) Kalikan angka ini dengan rata-rata premi
(f) Hasilnya adalah estimasi kasar belanja kesehatan yang dikeluarkan perusahaan yang belum
menjadi peserta JKN BPJS Kesehatan
Estimasi dengan cara ketiga diatas belum tentu tepat karena bisa saja perusahaan mengeluarkan
lebih besar (sesuai pesan UU No. 3/1992). Atau kalau banyak perusahaan tidak menuruti perintah
UU tersebut, maka hasil perhitungan seperti diatas bisa lebih rendah dari pada keadaan yang
sebenarnya (under-estimated).
Contoh:
Estimasi kasar belanja kesehatan karyawan perusahaan di Kabupaten.
Dengan demikian total belanja kesehatan yang dikeluarkan perusahaan swasta di Kabupaten Bogor
dalam tahun 2008 adalah Rp 40.681.920.000 + Rp 48.316.080.000 = Rp 88.998.000.000
Selanjutnya data tersebut dimasukkan dalam Pivot Tabel seperti ditampilkan dalam tabel berikut:
Besar biaya Sumber Pengelola Provider Fungsi Inputs Program Jenjang Beneficiary
40.681.920.000 Perush swasta BPJS Kesehatan Faskes Pel RJ &RI Obat, bahan, SDM
Pengobatan Kab/Kota Tenaga kerja
48.316.080.000 Perush swasta Perush swasta Faskes Pel RJ &RI Obat, bahan, SDM
Pengobatan Kab/Kota Tenaga kerja
Cara ketiga adalah bekerja sama dengan Dinas Perdagangan/Industri dan BPJS Kesehatan. Kedua
instansi tersebut diminta mengeluarkan Surat Bersama yang meminta/mengharuskan semua
perusahaan yang belum menjadi peserta JKN BPJS Kesehatan melaporkan total belanja kesehatan
karyawan yang dikeluarkannya dalam satu tahun.
Cara ini praktis. Akan tetapi belum tentu semua perusahaan memberikan response. Atau kalaupun
memberikan response, angka rupiahnya belum tentu benar.
Cara ini sangat disarankan untuk mempermudah pelaksanaan DHA karena tidak memerlukan
tenaga, waktu dan biaya yang mahal.
Pokok Bahasan 4.
BELANJA KESEHATAN FASILITAS KESEHATAN TNI DAN POLRI
Di Indonesia terdapat banyak fasilitas kesehatan milik TNI dan POLRI. Fasilitas tersebut utamanya
diperuntukkan bagi anggota TNI/POLRI beserta keluarganya. Namun dalam kenyataan, fasilitas
tersebut juga melayani penduduk umum. Oleh sebab itu secara teoretis belanja kesehatan
Kabupaten/Kota juga harus memperhitungkan biaya-biaya dan penerimaan fasilitas kesehatan
TNI/POLRI yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan penduduk umum. Namun tidak mudah
memisahkan biaya fasilita TNI/POLRI yang berkaitan dengan penduduk umum dari biaya untuk
melayani anggota TNI/POLRI serta keluaganya.
Untuk dapat memperoleh data biaya kesehatan dari sistem pelayanan kesehatan TNI/POLRI, perlu
difahami bagaimana sistem pelayanan kesehatan tersebut, seperti disampaikan berikut ini:
Tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) Kesehatan TNI ada 2, yaitu (1) Dukungan kesehatan, dan (2)
Pelayanan kesehatan. Dukungan kesehatan meliputi kegiatan-kegiatan operasional berupa
pelatihan, tugas operasi, dan pertempuran. Sedangkan pelayanan kesehatan meliputi semua
kegiatan kesehatan yang ada kaitannya dengan rumah sakit. Pada pelayanan kesehatan ini ada
pelayanan kesehatan untuk masyarakat umum, yaitu pelayanan kesehatan untuk masyarakat
umum dengan memanfaatkan kapasitas lebih dari rumah sakit yang ada. Misalnya untuk rawat
inap, rawat jalan, penunjang diagnostik, dll. Pelayanan kesehatan masyarakat umum ini tidak
termasuk dalam Tupoksi, tetapi sekarang berkembang pesat sehingga seolah-olah ini yang menjadi
tugas pokok dan fungsinya. Pelayanan kesehatan ini termasuk juga untuk keluarga tentara.
Ada dua buku petunjuk untuk pengelolaan anggaran di TNI AD yaitu (1) dari Kemenhan dan (2)
dari KASAD. Di lapangan, pelayanan kesehatan TNI selalu memberikan laporan teratur sesuai
petunjuk buku tersebut ke suprasistem. Semua RS TNI yang menguasai adalah Panglima dan di
tingkat provinsi oleh Kakesdam dan di kabupaten oleh Komandan Detasemen Kesehatan. Jadi untuk
mendapatkan data belanja kesehatan untuk DHA dari fasilitas kesehatan TNI harus melalui surat
dari Kemenkes/PPJK (Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan) ke Panglima yang ditembuskan
ke level dibawahnya.
Saat ini, bagi RS TNI/POLRI yang telah bekerjasama dengan BPJS Kesehatan, maka data-data
pembayaran klaim RS TNI/POLRI dapat diperoleh dari BPJS Kesehatan dan merupakan sumber
data utama dalam belanja kesehatan di fasilitas kesehatan TNI/POLRI.
Dilingkungan TNI surat untuk permintaan data DHA ditujukan kepada sbb:
- TNI - AD : Pangdam/Danrem/Dandim
- TNI - AL : Dan Lantamal/Dan Lanal
- TNI - AU : Pangkoopsau/Dan Lanud
Kesdam membawahi RS tingkat II di provinsi. Detasemen kesehatan membawahi RS tingkat III dan
IV di Kabupaten/Kota, tetapi tidak di semua kabupaten/kota ada Detasemen kesehatannya. Sebuah
Detasemen Kesehatan bisa membawahi beberapa kabupaten/kota.
Anggaran rutin yang diterima RS TNI berasal dari APBN yang didapat dari suprasistem dan Non
APBN dari pelayan masyarakat umum. Yang dimasukkan dalam DHA adalah anggaran non-APBN
(revenue ) dari masyarakat umum, sedangkan dari peserta JKN data diambil dari BPJS Kesehatan.
Agar memudahkan staf di lingkungan TNI dalam membantu menyediakan data DHA maka
seyogianya jenis data yang diperlukan disampaikan terlebih dahulu kepada mereka (bentuk format
yang diinginkan).
Dalam sistem kesehatan Polri terdapat lebih dari 43 RS Bhayangkara Polri dan 200 poliklinik dan
TPS untuk melayani 400 ribu personel Polri. Pelayanan masyarakat umum diberikan untuk
memanfaatkan kelebihan kapasitas dari fasilitas yang dimiliki Polri, sama halnya dengan TNI.
Sistem anggaran yang digunakan masih bersifat sentralistik. Dana operasional didapat dari APBN
dalam bentuk belanja RBK (rutin bekal kesehatan) dan DPK (dana pemeliharaan kesehatan) dan
dana non APBN dari pasien umum.
Untuk memperoleh data DHA dari rumah sakit/ poliklinik/TPS Polri perlu dibuat surat ke KAPOLRI
dengan tembusan ke Kapusdokkes Polri.
Dari uraian diatas terlihat bahwa untuk belanja kesehatan TNI dan POLRI diperlukan prosedur
administratif/surat menyurat ke Pusat. Ini tidak mudah dilakukan dari tingkat Kabupaten/Kota.
Oleh sebab itu, apabila Kabupaten/Kota mendapat kesulitan menangkap belanja kesehatan dari
TNI/POLRI, cukup dicatat dalam laporan hasil DHA bahwa perhitungan tersebut tidak mencakup
belanja kesehatan yang dikeluarkan oleh TNI/POLRI. Tetapi untuk pembayaran klaim RS
TNI/POLRI, saat ini dapat diperoleh dari BPJS Kesehatan karena lebih dari 80% pendapatan RS
TNI/POLRI dari pelayanan peserta BPJS Kesehatan.
Pokok Bahasan 5.
MELAKUKAN KONVERSI KODE MATA ANGGARAN
Dalam melakukan konversi mata anggaran/jenis belanja dari dokumen anggaran ke dalam kode
akun DHA, langkah-langkahnya merujuk kepada 9 dimensi DHA yaitu setiap data belanja/biaya
kesehatan yang ditemukan dalam dokumen anggaran realisasi, ditelaah secara lebih teliti terutama
kegiatan yang dibiayainya dan kemudian diberi identitas menurut 9 dimensi dari DHA .
2. Pengelola Pembiayaan: Organisasi yang menerima dana dari sumber dana untuk mengelola
dana tersebut yang dituangkan dalam dokumen anggaran. Pengelola dana tersebut dapat
instansi pemerintah (SKPD) dan swasta termasuk LSM.
3. Penyedia Pelayanan: Institusi atau unit kerja yang menerima dan menggunakan dana tersebut
untuk memproduksi barang dan jasa pelayanan kesehatan, misalnya RS milik pemerintah, RS
swasta, klinik, puskesmas, praktek dokter (swasta), dll.
4. Fungsi: adalah fungsi-fungsi kesehatan yang dilakukan oleh penyedia pelayanan, seperti
pelayanan kuratif, pelayanan rehabilitatif, pelayanan rawat jangka lama, pelayanan penunjang,
alat-alat dan bahan medis, pelayanan pencegahan dan kesehatan masyarakat, tata kelola sistem
kesehatan dan administrasi pembiayaan kesehatan.
5. Jenis Program: adalah kelompok program kesehatan yang sudah dibakukan. Di Indonesia,
pengelompokan jenis program tersebut dapat dilihat pada kebijakan/konsep berikut:
1. Pembagian urusan kepemerintahan (UU no. 23/2014)
2. Standar Pelayanan Minimal (SPM)
3. Program-program yang tercantum dalam Permendagri 13/2006 dan 59/2008 dan
21/2011;
4. Program-program dalam MDGs (2000-2015) dan SDGs (2016-2030)
Untuk DHA, semua jenis program sudah diakomodir dalam excell
6. Jenis Kegiatan: Kegiatan adalah tindakan-tindakan yang dilakukan oleh provider yang secara
umum dapat dibagi dua, yaitu (a) kegiatan langsung dan (b) kegiatan tidak langsung atau
disebut juga kegiatan penunjang.
7. Mata Anggaran (Jenis inputs, biaya faktor produksi): Adalah jenis input yang ”dibeli” oleh
provider untuk melaksanakan program dan kegiatan . Jenis inputs / belanja dalam Dokumen
Pelaksanaan Anggaran (DPA) SKPD terdiri dari belanja pegawai, belanja barang dan jasa, dan
belanja modal. Untuk memudahkan dalam pengelompokkan jenis inputs / belanja berdasarkan
Permendagri 59/2007 atau dokumen anggaran realisasi dari institusi lainnya ke kode akun
DHA, maka sub–sub dari jenis inputs/belanja yang sering ditulis dalam dokumen anggaran
dikelompokkan sebagai berikut :
1) Kelompok Operasional terdiri atas :
a. Belanja gaji/honor: honor PNS dan honor non PNS/tenaga ahli dan uang lembur.
b. Belanja bahan medis: belanja AKHP (Alat Kesehatan Habis Pakai), bahan obat-obatan dan
bahan kimia.
c. Belanja bahan non medis: Peralatan listrik/elektronik, perangko/materai, ATK, Cetak
/penggandaan, belanja sertifikasi dan belanja surat kabar dll.
d. Belanja perjalanan: belanja BBM/pelumas untuk perjalanan, transport/ perjalanan dinas
dalam daerah dan luar daerah, belanja sewa kendaraan darat atau air.
e. Belanja Akomodasi: belanja sewa rumah/gedung/parkir, ruang pertemuan, belanja
penginapan, belanja makan dan minum pertemuan/rapat/jamuan tamu.
f. Belanja utilities: belanja pembayaran listrik, telephon, dan air (PDAM)
g. Belanja Operasional lainnya: Belanja sosialisasi, jasa pengumuman lelang, jasa transaksi
keuangan, belanja dokumen/administrasi tender, jasa KIR dan pembayaran STNK .
8. Jenjang kegiatan: adalah jenjang administratif dimana kegiatan tersebut dilaksanakan. Untuk
DHA, jenjang kegiatan tersebut bisa di (a) pusat, (b) provinsi, (c) kabupaten, (d) kecamatan dan
(e) desa atau masayarakat.
9. Penerima manfaat: adalah kelompok penduduk yang mendapat manfaat dari barang dan jasa
kesehatan yang dibiayai. Penerima manfaat ini dapat dibagi menurut kategori kelompok umur
sebagai berikut:
a. 0 - < 1 tahun
b. 1 - 5 tahun
c. 6 - 12 tahun
d. 13 - 18 tahun
e. 19 - 65 tahun
f. 65 + tahun
g. Semua umur
Pokok Bahasan 6.
MELAKUKAN ENTRY DATA MENGGUNAKAN PIVOT TABLE (EXCELL)
Instrumen untuk melakukan “entry data” dalam DHA adalah dengan menggunakan program Work
Sheet Excell. Pedoman ini menyediakan work sheet tersebut dalam sebuah sotfkopi yang sudah
dibuat sesuai dengan kebutuhan DHA. Untuk pengisian data ke dalam instrument yang telah
disediakan tidak terlalu sulit. Dalam tahap ini diminta ketelitian dan kehati-hatian dalam
menentukan kode akuntansi/mata anggaran dalam DHA yang sesuai untuk setiap rupiah yang
dimasukkan.
1. Kumpulkan dokumen yang berisi data pengeluaran/belanja untuk kesehatan dari unit/lembaga
tertentu (data realisasi anggaran), misalnya Dinas Kesehatan, PMI, BPJS Kesehatan, RSUD, dll.
2. Untuk setiap sumber data (dinkes, RSUD, BKKBN, dll), gunakan worksheet terpisah dalam
memasukkan data (worksheed ini adalah worksheet sementara yang nanti akan di gabung atau
di “merged” dengan worksheet dari sumber data lain). Tujuannya adalah untuk memudahkan
dalam memasukkan dan mengoreksi data, karena data anggaran yang akan dimasukkan dapat
mencapai ribuan baris.
3. Untuk memudahkan dalam entry dan cross-check data yang telah dimasukkan, pengisian data
sebaiknya dilakukan secara urut dan menurut sumber data yang ada.
4. Pengisian data dimulai dengan memasukkan data dasar tahun anggaran, jumlah penduduk dan
total APBD pada kolom yang sudah disediakan kemudian isi instansi sumber data, bidang/unit
sumber data, program/kegiatan, detil kegiatan, detil belanja dan dilanjutkan dengan rincian
anggarannya, sesuai dengan kolom-kolom yang telah disediakan. Kolom-kolom ini diperlukan
untuk memudahkan di dalam melakukan cross-check data setelah entry data dilakukan.
5. Rincian anggaran yang akan dimasukkan adalah rincian anggaran pada sub kegiatan. Contoh
sebagai berikut :
7. Dari setiap nilai rupiah pengeluaran tersebut, kemudian diuraikan menurut kode
akuntansi/mata anggaran dalam DHA yang ada dalam setiap kolom yang telah disediakan.
Dalam kode akuntansi/mata anggaran DHA ini, setiap rupiah tersebut akan diuraikan menurut:
9. Masukan (tuliskan) kode akuntansi/mata anggaran tersebut untuk setiap data pengeluaran
pada setiap kolom dalam worksheet (pada baris yang sama), sesuai dengan pilihan kode
akuntansi yang telah diberikan/disediakan pada setiap kolomnya.
10. Untuk memasukkan kode akuntansi/mata anggaran, cukup dengan mengklik kolom yang akan
diisi, selanjutnya akan keluar pilihan kode akuntansinya. Pilih salah satu kode akuntansi/mata
anggaran yang tepat dan kemudian klik pilihan tersebut. Selanjutnya kolom akan terisi dengan
kode akuntansi pilihan tersebut.
12. Lanjutkan entry data tersebut sampai semua pengeluaran/belanja kesehatan yang telah
dikumpulkan dimasukkan ke dalam worksheet.
13. Jangan ada kolom atau baris yang kosong karena akan mengganggu dalam menghasilkan tabel
univariat dan bivariat.
14. Untuk penggabungan data yang telah dimasukkan dari beberapa file yang berbeda dapat
dilakukan dengan cara copy data biasa dengan memblok kolom dan baris yang akan di copy
datanya, kemudian copy dan paste pada file yang akan digabungkan (menjadi master data).
15. Untuk membantu dalam menentukan kode akuntasi yang tepat dari setiap kegiatan dan
rupiahnya, dapat dilihat lampiran pengisian data/konversi.
16. Hasil entry data dalam excell contohnya adalah sebagai berikut :
Pokok Bahasan 7.
MENGHASILKAN TABEL-TABEL DHA
Analisis data yang telah dimasukkan dalam worksheet dapat dilakukan dengan menggunakan
program Excell, yaitu dengan menggunakan pivot tabel. Petunjuk untuk menghasilkan tabel-tabel
univariat dan bivariat dapat dilihat pada lampiran pedoman penggunaan pivot tabel. Ada tiga
langkah dalam analisis data yang perlu dilakukan, yaitu sebagai berikut :
Salah satu issue penting dalam pembiayaan kesehatan adalah berapa besar pemerintah
mengalokasikan anggaran untuk sektor kesehatan. UU Kesehatan No.36/2009 menetapkan
bahwa Pemerintah Kab/Kota harus mengalokasikan 10% APBD untuk kesehatan.
Untuk melihat sejauh mana ketentuan UU tersebut sudah dilaksanakan, hitung jumlah total
realisasi anggaran Dinas Kesehatan dan RSUD. Kemudian dapatkan data total APBD Pemda
dari Bappeda atau sumber data lain. Hitung berapa % APBD tersebut dialokasikan untuk Dinas
Kesehatan dan berapa % untuk RSUD. Jumlah kedua % tersebut adalah total % alokasi APBD
untuk kesehatan.
Apabila nilai % tersebut lebih kecil dari 10%, hal ini perlu disampaikan kepada pihak eksekutif
dan legislatif Kab/Kota bersangkutan.
Belanja kesehatan per kapita total adalah ”belanja kesehatan total” dibagi dengan jumlah
penduduk di kabupaten/kota bersangkutan. Pertama, hitung jumlah angka dalam kolom
pertama worksheet. Bagi jumlah tersebut dengan jumah penduduk kabupaten/kota pada
tahun yang sama. Hasilnya adalah perkiraan ”belanja kesehatan per kapita” di kabupaten/kota
tersebut.
Belanja kesehatan perkapita tersebut bisa dihitung lebih terperinci menurut sumber dana
kesehatan, misalnya sebagai berikut:
Analisis ini akan menghasilkan tabel frekuensi distribusi kategori biaya atau belanja untuk
masing-masing dimensi DHA. Hasil perhitungan ini akan menghasilkan nilai absolute dan nilai
% pengeluaran untuk setiap dimensi DHA tersebut.
Berikut ini disampaikan analisis univariate untuk pembiayaan kesehatan di sebuah kabupaten.
Isi tabel tergantung dari kelengkapan data yang didapatkan dalam penyusunan DHA
Belanja Kesehatan menurut Pengelola Pembiayaan
di Kabupaten/Kota ……………………………….
Analisis ini akan menghasilkan tabel silang (crosstabs) dua dimensi DHA (dalam satu tabel).
Setiap program akan muncul 8 (delapan) tabel hasil silang. Tabel-tabel bivariat tersebut
berguna untuk melihat kinerja program. Berikut tabel-tabel yang dilakukan analisis silang
(Crosstab).
Analisis seperti diatas diperlukan karena program kesehatan tersebut erat kaitannya dengan
Human Capital Invesment dan produktivitas. Program Kesehatan yang dimaksud adalah:
1. Human Capital Invesment
- KB
- KIA
- Immunisasi
- Gizi
- UKS
2. Produktivitas
- Malaria
- TB
- HIV/AIDS
- Diare
- ISPA
- DBD
- DLL
(5) Analisis Trivariate
Analisis ini akan menghasilkan tabel silang tiga dimensi DHA (dalam satu tabel). Tabel
tersebut melihat sebuah program yang terkait dengan kinerja. Yaitu membandingkan antara
program, mata anggaran, dan jenis kegiatan.
Manfaat tabel trivariat adalah untuk melihat apakah sebuah program sudah berbasis kepada
kinerja, yaitu program yang operasional langsung atau program yang operasional tidak
langsung. Hal ini sesuai dengan amanat UU 36/2009 tentang Kesehatan bahwa 2/3 anggaran
kesehatan digunakan untuk kegiatan operasional langsung kepada masyarakat.
Jenis Kegiatan
Mata Anggaran Langsung Tidak Langsung
Investasi
Operasional
Pemeliharaan
Pokok Bahasan 8.
MELAKUKAN INTERPRETASI HASIL DHA
Output DHA dapat dipergunakan untuk, memonitor dan evaluasi pembiayaan kesehatan di tingkat
kabupaten/kota. Kalau DHA dilakukan secara regular (setiap tahun), dapat diketahui
kecenderungan (trend) pembiayaan kesehatan dalam periode waktu tertentu. Hasil DHA juga dapat
dipergunakan untuk membandingkan pembiayaan kesehatan antar kabupaten/kota. DHA juga
diperlukan untuk rnembantu pelaksanaan NHA (National Health Account).
Pertama, dari hasil DHA dapat diketahui berapa alokasi APBD untuk kesehatan. Caranya adalah
menjumlahkan total alokasi APBD untuk Dinas Kesehatan dan alokasi untuk RSUD. Jumlah ini
dibandingkan dengan total APBD Kab/Kota bersangkutan.
Dalam UU Kesehatan NO. 36/2009 disebutkan bahwa 10% APBD harus dialokasikan untuk sektor
kesehatan. Analisis diatas bisa menunjukkan apakah Kab/Kota yang bersangkutan sudah
memenuhi ketentuan 10% tersebut.
Selanjutnya, kegunaan lebih praktis hasil DHA adalah untuk memperbaiki pembiayaaan kesehatan
Kabupaten/Kota, sehingga pembiayaan kesehatan tersebut lebih efektif, efisien, dan berkeadilan.
Agar dapat memanfaatkan hasil DHA, maka perlu dipahami apa saja kelemahan-kelemahan yang
ada dalam sistem pembiayaan kesehatan di suatu kabupaten/kota. Secara umum, pengamatan dan
analisis pembiayaan kesehatan kabupaten/kota di masa lalu mengungkapkan beberapa kelemahan
pembiayaan kesehatan. Beberapa kelemahan tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
(1) Alokasi pemerintah dan rumah tangga untuk kesehatan relatif rendah
(2) Bergantung sebagian besar pada pembayaran tunai oleh rumah tangga (00P atau out of
pocket payment) dan sifat pembayarannya adalah FFS (fee for service) yaitu bayar
menurut pelayanan yang diterima. Jadi tidak melalui asuransi kesehatan
(3) Cenderung dipergunakan untuk sarana fisik
(4) Biaya operasional dan pemeliharaan tidak mencukupi
(5) Kecenderungan penggunaan biaya untuk kegiatan tidak langsung seperti training,
lokakarya, pertemuan, dll
(6) Anggaran untuk program Promkes dan Pencegahan kecil, lebih banyak untuk kuratif
(7) Anggaran tidak terkait dengan kinerja, cenderung dipergunakan untuk pengadaan atau
membeli "input", tidak untuk membeli "output" (kinerja atau performance)
(8) Inkonsistensi antara kebijakan dan prioritas dengan pola penggunaan anggaran
Masalah-masalah seperti disebutkan diatas memberikan efek negatif terhadap kinerja program
kesehatan.
DHA adalah cara atau alat yang cukup balk untuk "mendiagnosis" masalah-masalah pembiayaan
kesehatan seperti disampaikan dimuka di suatu kabupaten/kota tertentu. Hasilnya bisa
disampaikan kepada pengambil keputusan dengan harapan perbaikan dan perubahan sistematis
dapat direncanakan dan dilaksanakan.
Ke sembilan dimensi DHA seperti digambarkan dalam 9 tabel univariat hasil DHA juga
mengandung makna tertentu tentang situasi pembiayaan kesehatan di suatu Kabupaten/Kota.
Berikut ini disampaikan bagaimana interpretasi terhadap masing-masing label tersebut.
a. Dari tabel ini dapat dilihat sumber mana yang dominan dalam pembiayaan kesehatan
daerah. Hasil DHA di beberapa daerah yang pernah dilakukan ternyata menunjukkan
bahwa sumber Rumah Tangga adalah paling besar peranannya.
b. Angka dalam tabel ini juga menunjukkan sejauh mana peranan bantuan luar negeri, baik
pinjaman ataupun hibah. Hal ini trutama sangat penting dalam NHA untuk menilai tingkat
ketergantungan sektor kesehatan pada dana luar.
c. Dari tabel ini juga dapat dilihat tingkat kemandirian daerah dalam pembiayaan kesehatan,
atau sebaliknya tingkat ketergantungan daerah terhadap anggaran pusat. Ini dilihat dari %
peranan anggaran pusat dibandingkan dengan anggaran kabupaten/kota
d. Selanjutnya, angka-angka dalam tabel tersebut dapat dibagi dengan jumlah total penduduk
Kab/Kota, sehingga diperoleh Biaya Kesehatan Perkapita (Percapita Health Expenditure)
e. WHO menyatakan bahwa anggaran kesehatan yang ideal untuk menjamin terselenggaranya
program/pelayanan kesehatan esensial adalah sebesar US$ 49/capita.
f. Angka US$ 49/kapita tersebut dapat dipakai sebagai patokan (benchmark) tentang
kecukupan anggaran kesehatan di Kab/Kota bersangkutan.
a. Tabel ini memperlihatkan apakah belanja kesehatan sudah sesuai dengan fungsi kesehatan.
b. Fungsi kesehatan dalam DHA mengadopsi dimensi fungsi dalam SHA 2011 yang merupakan
semua aktivitas yang bertujuan untuk meningkatkan, memperbaiki dan mempertahankan
status kesehatan.
c. Secara umum fungsi kesehatan dapat dibagi menurut klasifikasi seperti pelayanan kuratif,
pelayanan rehabilitatif, pelayanan rawat jangka lama, pelayanan penunjang, alat-alat dan
bahan medis, pelayanan pencegahan dan kesehatan masyarakat, tata kelola sistem
kesehatan dan administrasi pembiayaan kesehatan.
a. Tabel ini memperlihatkan apakah belanja kesehatan sudah sesuai dengan prioritas program
kesehatan.
b. Prioritas program kesehatan telah ditetapkan dalam beberapa peraturan dan komitment,
yaitu (1) Pembagian urusan kepemerintahan (UU no. 23/2014), (2) Standar Pelayanan
Minimal (SPM) (3) Program-program yang tercantum dalam Permendagri 13/2006 dan
59/2008 dan 21/2011; Program-program dalam MDGs (2000-2015) dan SDGs (2016-
2030).
c. Kalau sebagian besar belanja terpakai untuk program Pengobatan Umum, maka program-
program lain kemungkinan akan kekurangan biaya dan sulit bagi Kab/Kota bersangkutan
mencapai target-target program yang menjadi prioritas.
a. Secara teoretis, kinerja program kesehatan sangat ditentukan oleh kegiatan langsung,
seperti kegiatan pelayanan kuratif dan kegiatan kesehatan masyarakat dilapangan.
b. Kemenndagri sejak 2004 mengharuskan SKPD menyusun anggaran berbasis kinerja
(Kepmendagri No. 29/2004, No. 13/2007 dan No.59/2008). Tabel ini akan memperlihatkan
apakah anggaran kesehatan sudah konsisten dengan prinsip anggaran berbasis kinerja.
c. Kalau porsi anggaran untuk kegiatan tidak langsung lebih besar dari pada anggaran untuk
kegiatan langsung, keadaan tersebut menunjukkan inkonsistensi dengan prinsip anggaran
berbasis kinerja.
a. Tabel inipun berkaitan dengan kinerja. Perbaikan kinerja program sebagian besar
ditentukan intensitas kegiatan ditingkat pelayanan (Pukesmas, RSUD) dan masyarakat.
b. Kalau anggaran belanja banyak ditingkat provinsi, ini menunjukkan staff Kabupaten/Kota
banyak menghabiskan waktu untuk berbagai kegiatan di Provinsi (pelatihan, rapat
kordinasi, dll)
c. Kalau belanja kesehatan banyak di Kabupaten, ada kemungkinan pula lemahnya intensitas
kegiatan ditingkat kecamatan dan masyarakat.
a. Tabel ini menunjukkan apakah daerah sudah cukup melakukan investasi SDM
b. Belanja untuk kesehatan tenaga kerja/usia produktif berpengaruh terhadap produktivitas
tenaga/angkatan kerja
c. Belanja untuk usila menunjukkan ”care” (kepedulian) sektor kesehatan terhadap
kesejahteraan penduduk lansia
CATATAN:
Salah satu analisis tambahan yang juga penting adalah apakah belanja kesehatan Kab/Kota sudah
”pro-poor” (memihak pada penduduk miskin). Ini memerlukan analisis lanjutan yang khusus, yaitu
sebagai berikut:
(1) Hitung anggaran yang spesifik diperuntukkan bagi penduduk miskin (yaitu anggaran PBI
JKN dari Pusat ditambah anggaran daerah untuk penduduk miskin diluar kuota pusat)
(2) Hitung berapa % nilai uang pada butir (1) diatas dibandingkan dengan total belanja
kesehatan pemerintah
(3) Ada daerah yang memang sebagian besar penduduknya miskin, misalnya sampai 90%.
Dalam ini perlu kehati-hatian menafsirkan data DHA, karena praktis belanja kesehatan
diluar anggaran untuk penduduk miskin (PBI JKN dan tambahan anggaran daerah) akan
dinikmati oleh sebagian besar penduduk miskin di Kab/Kota tersebut.
ANALISIS RINCI (”MEMBEDAH”) PEMBIAYAAN PROGRAM KHUSUS
Salah satu kegunaan yang sangat besar dari DHA adalah ”membedah” anggaran program khusus.
Seperti telah disampaikan dimuka, analisis ”bivariat” menghasilkan tabel-tabel khusus untuk
masing-masing program yang menjelaskan:
a. Dari mana saja anggaran untuk program bersangkutan (misalnya KIA, malaria, dll)
b. Siapa yang mengelola dana untuk program tersebut
c. Siapa yang menyediakan pelayanan/melaksanakan kegiatan dalam program ybs
d. Jenis kegiatan apa yang dilakukan
e. Apa saja jenis input yang dibelanjakan untuk melaksanakan kegiatan tersebut
f. Pada jenjang mana kegiatan tersebut dilakukan dan
g. Siapa yang menjadi ”beneficiary” kegiatan tersebut
Pembedahan angaran program seperti diatas akan membantu menelaah apakah penggunaan
anggaran dalam program bersangkutan sudah menjamin peningkatan kinerja. Dua hal perlu
diperhatikan;
a. Apakah anggaran untuk kegiatan langsung relatif lebih besar atau lebih kecl daripada
anggaran untuk kegiatan tidak langsung.
b. Dalam anggaran kegiatan langsung, apakah sudah lebih besar untuk belanja operasional
dibandingkan dengan belanja fisik.
Kecukupan anggaran langsung dan operasional adalah dua syarat penting untuk menjamin
bahwa program yang bersangkutan efektif atau tidak.
Analisis bivariate bisa dilakukan terhadap Jenis Kegiatan (HA) dengan Mata Anggaran (HI).
Crosstab kedua dimensi DHA ini akan menghasilkan gambaran tentang porsi belanja untuk
kegiatan langsung dan tidak langsung serta porsi belanja untuk belanja investasi, operasional dan
pemeliharaan. Misalnya, analisis bivariate HA dan HI untuk program KIA akan menghasilkan
matriks sebagai berikut:
Nilai rupiah dan % dalam masing-masing sel dalam matriks tersebut dapat menunjukkan apakah
belanja KIA sudah berbasis kinerja atau tidak. Kinerja suatu program yang sudah berjalan lama,
sangat ditentukan oleh kecukupan belanja untuk kegiatan langsung dan bersifat operasional. Kalau
pola belanja dalam matriks diatas menunjukkan dominasi Investasi dan Tidak Langsung, maka pola
belanja tersebut tidak menjamin kinerja yang baik.
Asumsinya adalah bahwa program yang sudah berjaIan lama (bertahun-tahun) sudah tercukupi
sarana dan prasarana fisiknya. Kalau dari tahun ke tahun program tersebut menghabiskan belanja
untuk barang modal dan kegiatan tidak langsung (misalnya pelatihan, capacity building, dll), maka
sulit mengharapkan kinerja program tersebut akan balk.
Pokok Bahasan 9.
MERUMUSKAN REKOMENDASI
Kegunaan hasil DHA yang pertama adalah sebagai bahan untuk NHA. Untuk itu Dinas Kesehatan
cukup mengirimkan hasil DHA kepada Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan (PPJK) Kemenkes
RI di pusat. PPJK adalah unit Kemenkes yang menjadi unit kegiatan NHA.
Kegunaan kedua adalah untuk bahan masukan perbaikan sistem pembiyaaan kesehatan Kab/Kota.
Untuk itu Tim DHA Kab/Kota perlu merumuskan rekomendasi yang jelas kepada pengambil
keputusan, yaitu:
Ada beberapa rekomendasi yang bisa dirumuskan, sesuai dengan fakta yang ditemukan dalam
tabel-tabel DHA. Beberapa rekomendasi yang mungkin bisa diajukan adalah sebagai berikut:
Hitung berapa % APBD dialokasikan untuk kesehatan (Dinas Kesehatan dan RSUD). UU No.
36/2009 tentang Kesehatan menetapkan alokasi tersebut sebesar 10%. Kalau nilainya dibawah
10%, keadaan ini perlu disampaikan kepada pihak eksekutif dan legislatif.
Konversikan nilainya ke dalam US$. Nilai tersebut dibandingkan dengan nilai normatif sebagai
berikut:
(1) Per kapita dari semua sumber: US $ 49/kapita/tahun (WHO - 2000, Macroeconomic
Commission and Health)
(2) Per kapita untuk program-program esensial yang dibiayai pemerintah: US$ 14-18/kapita/
tahun (World Bank, World Development Report 1993)
Kalau belanja kesehatan perkapita di Kab/Kota bersangkutan lebih rendah dari pada nilai
normatif, sampaikan hal ini sebagai dasar rekomendasi untuk meningkatkan alokasi untuk
kesehatan.
b. Perbaikan alokasi untuk program-program prioritas
Hitung total belanja untuk masing-masing program (bisa menggunakan daftar program dalam
SPM/2008 atau PP No. 38/2007 atau Permendagri 13/2006 dan Permendagri No. 59/2007).
Nyatakan nilainya dalam %.
Lihat apakah program yang termasuk dalam MDG/SDGs mendapat porsi lebih banyak. Kalau
tidak, sampaikan rekomendasi untuk memperbaiki alokasinya dalam RKA tahun mendatang.
Kinerja program kesehatan (perbaikan indikator cakupan atau output program) sangat
ditentukan oleh kecukupan biaya operasional. Tampilkan hasil DHA Belanja menurut jenis Mata
Anggaran. Nyatakan angkanya dalam %.
Bandingkan persentase (%) antara belanja Investasi dengan Operasional dan Pemeliharaan.
Kalau ternyata persentase (%) investasi lebih besar dan hal ini terjadi dalam DHA tahun-tahun
sebelumnya, maka dapat diajukan rekomendasi agar tahun mendatang perhatian lebih besar
untuk alokasi belanja operasional.
Sebagai catatan, pengamatan di Kab/Kota baru hasil pemekaran menunjukkan bahwa selama 5
tahun jabatan Kepala Daerah sebagian besar anggaran dihabiskan untuk investasi fisik. Maka
sulit diharapkan terjadi perbaikan derajat kesehatan penduduk selama periode waktu tersebut.
Tampilkan Tabel Program, hasil DHA dan nyatakan dalam persentase (%), seperti berikut.
Perhatikan apakah program yang termasuk dalam MDGs/SDGs mendapat alokasi dengan
persentase (%) tinggi, yaitu:
Analisis belanja RT tersebut dapat dilakukan untuk masing-masing ”quintile” belanja RT (lihat
pedoman). Kemudian bandingkan nilainya dengan rata-rata premi yang selama ini berlaku di
beberapa perusahaan Asuransi kesehatan, yaitu sebagai berikut:
(1) Rp 288.000/RT/tahun (Jamkesda Toba Samosir)
(2) Rp 384.000/RT/tahun (BPJS Kesehatan PNS)
Kalau nilai kemampuan membayar mendekati angka-angka diatas, apalagi melebihi, maka
rekomendasikan agar Pemda mengembangkan Sistem Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda).
Sebagai catatan, hasil Amandemen UU No. 40/2004 tentang SJSN serta PP. No.38/2008
memberikan payung hukum (legitimasi) untuk mengembangkan Jamkesda di Kab/Kota.
Salah satu hal yang bisa menghambat kegiatan DHA adalah kalau unit sumber dana, pengelola dana
dan penyedia pelayanan kesehatan tidak mau memberikan data yang diperlukan. Masalah ini bisa
dicegah kalau kegiatan DHA secara resmi diinstruksikan oleh Bupati/Walikota.
Oleh sebab itu, DHA perlu dilakukan sebagai kegiatan rutin. Dilakukan setiap tahun dan di atur
dalam sebuah SK Bupati/Walikota atau Peraturan Daerah (Perda). Dengan adanya aturan resmi
tersebut, diharapkan team pelaksana DHA akan lebih mudah mendapatkan data dari setiap
lembaga yang relevan.
Untuk meningkatkan partisipasi instansi lintas sektor dalam penyusunan DHA dengan memberikan
data yang diperlukan maka hasil DHA dapat dipresentasikan pada forum lintas SKPD yang
berkaitan dengan bidang Kesejahteraan Sosial.
V. URAIAN MATERI
1. Ascobat G, Mardiaty N and Prastuty. District Health Account in Cianjur and Cirebon Districts.
MSH/USAID, Jakarta 2004.
2. Ascobat G. Public Expenditure Review and Tracking (PERT) in Jambi and West Kalimantan.
HSW Project. WB/DOH, Jakarta 2000
3. Ascobat G. Public Expenditure Reviews in selected districts. KUIS Jakarta, 1999-2000. (a
series of reports on PER in Lombok Barat, Surabaya, Yogyakarta, Bantul, Metro Lampung,
Medan).
4. PER in several districts for advocating district health financing. ICDC Project/ADB Project. DG
of CDC, DOH, (1999 - 2002)
5. PER in several districts for advocating district health financing. DHS-1/ADB Project. DG of
Community Health, DOH, (2004 – 2006)
6. Ascobat G. NHA, PHA and DHA for supporting district health planning and budgeting.
Presentation in DHA Training in NTT and NTB Provinces. GTZ/AusAID, Kupang, June 2007.
7. Wheeler, Mark. District Public Expenditure Review (DHA), Presentation in DHA Training in
NTT and NTB Provinces. GTZ, Kupang June 2007.
8. Report on Updating NHA 2002 – 2006. SPH-UI/Bappenas/WHO, 2007/2008
9. Susenas Instruments (2004, 2005 and 2006). CBS Jakarta. (provides list of variables in the
instruments that can be used to estimate household health expenditures).
LAMPIRAN 1
PEDOMAN
ANALISIS DATA SUSENAS UNTUK DHA
PENGANTAR
Ada 3 kegiatan analisis data Susenas yang perlu dilakukan dalam proses DHA, yaitu sebagai berikut:
1. Menghitung belanja kesehatan Rumah Tangga (RT) yang diterima oleh RSUD, Puskesmas,
Asuransi dan fasilitas kesehatan swasta untuk melengkapi tabel DHA Sumber Biaya
2. Menghitung faktor pembobot untuk mengalokasikan rupiah kepada penerima manfaat
menurut kelompok umur penduduk untuk melengkapi tabel DHA Penerima Manfaat
1. Salah satu dimensi DHA adalah sumber biaya kesehatan, dan ada komponen sumber biaya
yang berasal dari Rumah Tangga (RT)
2. Pedoman ini disiapkan untuk menghitung biaya kesehatan yang berasal dari Rumah
Tangga di Kabupaten/Kota tertentu dengan menggunakan data Susenas.
Jadi yang dihitung dari data Susenas hanya butir (a), (b) dan (c). Caranya dijelaskan berikut ini.
PROSES ANALISIS
Kalau yang tersedia adalah data file Susenas untuk seluruh Indonesia, maka langkah awal adalah
memilih (seleksi) data dari Kabupaten/Kota yang akan dianalisis. Jadi hanya sampel data untuk
satu kabupaten/kota saja. Ini memudahkan dan mempercepat analisis selanjutnya.
Langkah-langkah:
Lakukan hal diatas terhadap File Kor Rumah Tangga dan Kor Individu. Dengan demikian ada dua
file untuk dianalisis (file kerja atau working file), yaitu:
(1) File Susenas Kor Rumah Tangga untuk satu kabupaten/kota terpilih
(2) File Susenas Kor Individu untuk Kabupaten/Kota yang sama
Melakukan Penimbang (weight)
Susenas dilakukan dengan mewawancarai sejumlah responden yang disebut sampel. BPS sudah
menghitung besar sample tersebut (jumlah responden) sehingga dianggap mewakili (representatif)
seluruh penduduk yang ada di kabupaten/kota.
Namun belum tentu nilai yang diperoleh dari analisis sample tersebut sama persis dengan nilai
yang dihitung seandaikan semua penduduk atau semua rumah tangga di survei. Oleh sebab itu,
untuk mengestimasi nilai yang ada pada seluruh penduduk, perlu dilakukan pembobotan atau
penimbang (weighting).
Selama tulisan weight on ini muncul maka proses pengolahan data akan menggunakan jumlah
populasi untuk mengestimasi nilainya.
Langkah-langkah
(3) Pengalaman dengan analisis dara Susenas menunjukkan bahwa belanja kesehatan 1 bulan
yang lalu umumnya lebih besar dari pada belanja 1 tahun yang lalu dibagi
(4) Untuk mengakomodir kekuatan dan kelemahan masing-masing pendekatan, maka berikut
ini disampaikan cara perhitungan belanja kesehatan rumah tangga setahun.
(5) Rumus-rumus tersebut diatas dipergunakan untuk membuat (create) variabel baru. Ini
dilakukan dengan perintah ”Compute”. Kemudian memberi nama khusus untuk masing-
masing jenis belanja tersebut diatas; misalnya:
(6) Langkah-langkah:
- Aktifkan penimbang (weighted) dengan ditandai sebelah kanan bawah layar muncul
”weight on”. Caranya pada menu DATA WEIGHT CASES masukkan variabel
”wert27” ke dalam kotak WEIGHT CASES by Frequency Variable
- Klik ”Analyse”
- Klik ”Descriptive statistics”
- Klik ”Descriptive”
- Pilih variabel Kesbln dalam box kiri pindahkan ke box kanan
- Pilih variabel Askesbln dalam box kiri pindahkan ke box kanan
- Klik ”Options”
- Contreng ”Mean”, ”Sum”, ”Minimal” dan ”Maksimal”
- Klik ”Continue”
- Klik ”OK”
- Akan tampil hasil sbb:
Descriptive Statistics
Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Sum
Kesbln 41060 3772.727273 3104545.455 3,754,230,250
Askesbln 675 1500 150000 34,509,068
Valid N (listwise) 675
Kemudian pengeluaran kesehatan sebulan tambahkan dengan pengeluaran askes per bulan.
Selanjutnya dikalikan 12
Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Sum
Kesbln 41060 3772.727273 3104545.455 3,754,230,250
Askesbln 675 1500 150000 34,509,068
Valid N (listwise) 675
Total pengeluaran kesehatan/bulan 3,788,739,318
Total pengeluaran kesehatan setahun 45,464,871,818
Langkah-langkah
(3) Hitung frekuensi kunjungan rawat jalan dan frekuensi hari rawat di Puskesmas sbb:
- Aktifkan penimbang individu ”reind27”
- Klik ”Analyse”
- Klik ”Descriptive statistics”
- Klik ”Frequencies”
- Pilih variabel b5r7d di box kiri dan pindahkan ke box kanan
- Pilih variabel b5r9c di box kiri dan pindahkan ke box kanan
- Klik ”OK”
- Akan tampil hasil sbb:
Puskesmas/pustu
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid 0 13305 5.6 19.9 19.9
1 37674 15.8 56.3 76.2
2 10620 4.5 15.9 92.1
3 3674 1.5 5.5 97.6
4 850 .4 1.3 98.9
5 340 .1 .5 99.4
8 85 .0 .1 99.5
10 255 .1 .4 99.9
20 85 .0 .1 100.0
Total 66888 28.1 100.0
Missing System 170959 71.9
Total 237847 100.0
Puskesmas
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid 0 3073 1.3 64.4 64.4
1 340 .1 7.1 71.5
2 595 .3 12.5 84.0
3 255 .1 5.3 89.3
4 255 .1 5.3 94.7
6 85 .0 1.8 96.4
7 170 .1 3.6 100.0
Total 4773 2.0 100.0
Missing System 233074 98.0
Total 237847 100.0
Tabel pertama menunjukkan bahwa dari sejumlah individu sebesar 237847 di kabupaten A, ada
37674 orang yang berobat 1 kali ke Puskesmas sebulan terakhir, 10620 orang 2 kali, 3674 orang 3
kali, 850 orang 4 kali, dst, dst.
Frekuensi Berobat Jumlah Orang Total
0 13305 0
1 37674 37674
2 10620 21240
3 3674 11022
4 850 3400
5 340 1700
8 85 680
10 255 2550
20 85 1700
Total 79966
Dari angka ini dapat diperkirakan jumlah kunjungan penduduk Kabupaten/Kota ke Puskesmas
dalam setahun terakhir, yaitu sebagai berikut:
- jumlah penduduk yang rawat jalan ke puskesmas dan pustu sejumlah 79.966 orang
- Dikalikan tarif puskesmas misalnya 4500 per kunjungan menjadi Rp. 359.847.000,-
- Selama 1 tahun, dikalikan 12 menjadi Rp. 4.318.164.000,-
Tabel ke dua menunjukkan bahwa dari 237847 di kabupaten A, ada 340 orang yang dirawat selama
1 hari, 595 orang selama 2 hari, 255 orang selama 3 hari, dst, dst.
Dari angka ini dapat diperkirakan jumlah hari rawat penduduk Kabupaten/Kota di Puskesmas
dalam setahun terakhir, yaitu sebagai berikut:
- Jumlah hari rawat seluruh penduduk kabupaten A adalah 5015 hari rawat.
- cari data tarif 1 hari rawat di Puskesmas (dalam contoh diatas = Rp 5.000)
- kalikan jumlah hari rawat dengan tariff
- dalam contoh diatas didapat anggka Rp 25.075.000/tahun
Dengan demikian belanja RT setahun untuk berobat ke Puskesmas(rawat jalan dan rawat inap)
adalah Rp 4.318.164.000 + Rp 25.075.000 = Rp 4.343.239.000
RINGKASAN
Dari proses analisis seperti telah dijelaskan dimuka diperoleh tiga angka sbb:
Untuk melengkapi tabel diatas, perlu dicari data Retribusi RSUD untuk tahun yang sama. Kemudian
bisa dibuat tabel seperti disampaikan di bagian awal pedoman ini, yaitu sbb:
Hasil akhir ini siap untuk dimasukkan (entry) kedalam “pivot“ Excell pengisian data DHA, sesuai
kode akun (code account) yang tersedia.
LAMPIRAN 2
Dalam data belanja kesehatan bisa ditemukan belanja yang manfaatnya dinikmati penduduk secara
keseluruhan (semua umur), misalnya penyemprotan nyamuk malaria, fogging nyamuk DBD,
promosi kesehatan, sanitasi tempat umum, dll. Belanja seperti ini sudah pasti sasaran atau
penerima manfaatnya adalah semua umur.
Namun ada pula belanja kesehatan untuk sekelompok pelayanan yang belum dirinci menurut
kelompok umur, misalnya total biaya rawat jalan di Puskesmas dan RS, total biaya rawat inap di
Puskesmas dan di RS. Penerima Manfaat biaya ini untuk sementara disebut "semua umur belum
dipilah". Biaya ini harus didistribusikan ke masing-masing kelompok umur.
Untuk mendistribusikan biaya "semua umur belum dipilah" tersebut ke masing-masing kelompok
umur, diperlukan satu "indeks pembobotan". indeks pembobotan tersebut didasarkan pada 3
faktor, yaitu:
(a) % jumlah penduduk dalam masing-masing kelompok umur
(b) “visit rate" per kapita rawat jalan untuk masing-masing kelompok umur
(c) "bed days rate" per kapita untuk masing-masing kelompok umur
Penghitungan ke tiga faktor tersebut dilakukan dengan menggunakan data Susenas dari Kab/Kota
bersangkutan dan dijelaskan berikut ini.
A. Pengolahan data Susenas untuk memperoleh struktur kelompok umur penduduk
Dalam menampilkan tabel 9 yakni tabel mengenai Penerima Manfaat diperlukan struktur atau
kelompok umur penduduk menurut kelompok umur: kurang dari 1 tahun, 1 - 4 tahun, 5 - 12 tahun,
13 - 18 tahun, 19 - 65 tahun dan 65 tahun lebih. Proporsi dari masing-masing kelompok umur
tersebut digunakan sebagai pembobot dalam mendistribusikan biaya kesehatan pada kelompok
semua umur belum dipilah (HB.8) kepada kelompok umur lainnya.
Sumber data dari proses pengolahan data ini menggunakan data Susenas KOR individu dengan
memanfaatkan variable umur. Dalam mengolah data ini menggunakan penimbang weind29.
Kemudian dilakukan recode dari variable umur menjadi variable baru yakni kelompok umur.
Langkah-langkah:
1. Klik Transform - klik Recode - klik into different variables
2. Masukkan variable umur ke dalam kotak input variable
3. Pada kotak output variable ketikkan kel_umur, dan pada kotak Label ketik Kelompok umur
4. Klik Change
5. Klik Old and New Values
6. Pada Old Value di sebelah kiri Klik butir Range, Lowest through
7. Isikan kedalam kotaknya 0.9999
8. Pada New value sebelah kanan, klik butir Value, isikan pada kotaknya angka 1
9. Klik Add
10. Klik butir Range, kemudian isikan di kotak sebelah kiri angka 1, dan kotak sebelah kanan
kata through isikan angka 4
11. Pada New value sebelah kanan, klik butir Value, isikan pada kotaknya angka 2
12. Klik Add
13. Klik butir Range, kemudian isikan di kotak sebelah kiri angka 5, dan kotak sebelah kanan
kata through isikan angka 12
14. Pada New value sebelah kanan, klik butir Value, isikan pada kotaknya angka 3
15. Klik Add
16. Klik butir Range, kemudian isikan di kotak sebelah kiri angka 13, dan kotak sebelah kanan
kata through isikan angka 18
17. Pada New value sebelah kanan, klik butir Value, isikan pada kotaknya angka 4
18. Klik Add
19. Klik butir Range, kemudian isikan di kotak sebelah kiri angka 19, dan kotak sebelah kanan
kata through isikan angka 64
20. Pada New value sebelah kanan, klik butir Value, isikan pada kotaknya angka 5
21. Klik Add
22. Klik butir Range, yang berposisi kedua dari bawah, isikan ke dalam kotak sebelah kiri kata
through highest angka 65
23. Pada New value sebelah kanan, klik butir Value, isikan pada kotaknya angka 5
24. Klik Add
25. Klik OK
26. Pada tampilan data, klik Variable View, kemudian klik pada sel antara baris variable
kel_umur dengan kolom Values untuk mendefinisikan Value Labels
27. Ketik ke dalam kotak Value isikan angka 1, pada kotak Value Label ketikkan < 1 tahun
28. Klik Add
29. Ketik ke dalam kotak Value isikan angka 2, pada kotak Value Label ketikkan 1 - 5 tahun
30. Klik Add
31. Ketik ke dalam kotak Value isikan angka 3, pada kotak Value Label ketikkan 6 - 12 tahun
32. Klik Add
33. Ketik ke dalam kotak Value isikan angka 4, pada kotak Value Label ketikkan 13 - 18 tahun
34. Klik Add
35. Ketik ke dalam kotak Value isikan angka 5, pada kotak Value Label ketikkan 19 - 65 tahun
36. Klik Add
37. Ketik ke dalam kotak Value isikan angka 6, pada kotak Value Label ketikkan 65+ tahun
38. Klik Add
39. Klik OK
40. File Save
41. Klik Analyze
42. Klik Descriptive Statistics
43. Klik Frequencies....
44. Masukkan variable kel_umur ke dalam kotak Variable(s)
45. Klik OK
Cumulative
Kelompok Umur (a) Frequency Percent Valid Percent
Percent
Valid < 1 thn 2,612 2.54 2.54 2.54
1 - 5 thn 11,923 11.62 11.62 14.16
6 - 12 thn 23,577 22.97 22.97 37.13
13 - 18 thn 12,350 12.03 12.03 49.16
19 - 65 thn 47,397 46.17 46.17 95.33
65+ thn 4,790 4.67 4.67 100.00
Total 102,649 100.00 100.00
Kabupaten=SUMBA BARAT
Kolom persen (kolom ke 4) adalah salah satu faktor yang akan diperhitungkan dalam membuat
satu indeks pembobotan.
Kolom frekuensi (kolom ke 3) akan digunakan sebagai denominator dalam perhitungan utilization
rate baik itu visit rate maupun bed day rate.
B. Menghitung Visit Rate selama setahun ke Rawat Jalan menurut Kelompok Umur
Group
Kelompok Umur
Total
Fasilitas Kesehatan 1-5 6 - 12 13 - 18 19 - 65 65+
< 1 thn
thn thn thn thn thn Sum
Sum Sum Sum Sum Sum Sum
Rajal RSUD 37 189 314 198 846 868 2452
Rajal RS Swasta 171 263 368 298 2010 368 3478
Rajal praktek dokter/klinik 388 964 1433 422 4006 1192 8405
Rajal PKM/Pustu 1010 5483 7421 2049 12874 3015 31852
Rajal praktek nakes 183 1090 971 285 2523 263 5315
Kemudian masing-masing sel dikalikan 12 untuk memperoleh nilai kunjungan setahun terakhir ke
masing-masing fasilitas kesehatan menurut Kelompok Umur.
Group
Kelompok Umur
Total
Fasilitas Kesehatan 1-5 6 - 12 13 - 18 19 - 65 65+
< 1 thn
thn thn thn thn thn Sum
Sum Sum Sum Sum Sum Sum
Rajal RSUD 444 2268 3768 2376 10152 10416 29424
Rajal RS Swasta 2052 3156 4416 3576 24120 4416 41736
Rajal praktek dokter/klinik 4656 11568 17196 5064 48072 14304 100860
Rajal PKM/Pustu 12120 65796 89052 24588 154488 36180 382224
Rajal praktek nakes 2196 13080 11652 3420 30276 3156 63780
Total 21468 95868 126084 39024 267108 68472 618024
Kemudian Copy nilai-nilai frequency penduduk pada kolom ke 3 Tabel 1, dan Paste Special…
dengan gunakan fungsi paste special: Value dan Transpose, sehingga diperoleh hasil sebagai berikut:
Group
Kelompok Umur
Total
Fasilitas Kesehatan
1-5 6 - 12 13 - 18 19 - 65 65+
< 1 thn Sum
thn thn thn thn thn
Penduduk 2612 11923 23577 12350 47397 4790 102649
Masing-masing kunjungan rawat jalan menurut jenis fasilitas kesehatan dan kelompok umur dibagi
jumlah penduduk menurut kelompok umur, untuk memperoleh Tabel Rate berikut:
Tabel 4. Visit Rate/kapita Setahun Terakhir menurut Jenis Fasilitas dan Kelompok Umur
Group
Kelompok Umur
Total
Fasilitas Kesehatan 1-5 6 - 12 13 - 18 19 - 65
< 1 thn 65+ thn
thn thn thn thn Sum
Sum Sum Sum Sum Sum Sum
Rajal RSUD 0.169985 0.190221 0.159817 0.192389 0.214191 2.174530 0.286647
Rajal RS Swasta 0.785605 0.264698 0.187301 0.289555 0.508893 0.921921 0.406589
Rajal praktek dokter/klinik 1.782542 0.970226 0.729355 0.410040 1.014241 2.986221 0.982572
Rajal PKM/Pustu 4.640123 5.518410 3.777071 1.990931 3.259447 7.553236 3.723602
Rajal praktek nakes 0.840735 1.097039 0.494210 0.276923 0.638775 0.658873 0.621341
Total 8.218989 8.040594 5.347754 3.159838 5.635547 14.29478 6.020750
C. Menghitung Hari Rawat per Kapita (bed day rate) setahun menurut Kelompok Umur
Untuk mendapatkan bed day rate (angka hari rawat per kapita) maka lakukan langkah berikut:
1. Klik Analyze
2. Klik Tables
3. Klik Basic Tables
4. Keluarkan variabel-variabel dari kotak Summaries: (jika masih ada)
5. Masukkan secara berurutan variable: b5r8a, b5r8b, b5r8c, dan b5r8d ke dalam kotak
Summaries:
6. Blok variabel-variabel tersebut, kemudian klik Statistics…
7. Klik Sum of Values kemudian klik Add
8. Klik Continue
9. Masukkan variable kel_umur ke kotak Across:
10. Klik variable kel_umur, kemudian klik Totals…
11. Klik kotak di depan kalimat Totals over each group variable
12. Klik Continue
13. Klik OK
Tabel 5. Total Hari Rawat Menurut Jenis Faskes dan Kelompok Umur
Group
Kelompok Umur
Total
Fasilitas Kesehatan 1-5 6 - 12 13 - 18 19 - 65 65+
< 1 thn
thn thn thn thn thn Sum
Sum Sum Sum Sum Sum Sum
Ranap RSUD 939 1147 1673 456 4680 430 9325
Ranap RS Swasta 742 3366 2363 1714 12033 2772 22990
Ranap PKM 0 182 0 0 152 0 334
Ranap praktek nakes 31 0 0 0 0 0 31
Total 0 0 0 0 93 0 93
Kemudian Copy nilai-nilai frequency penduduk pada kolom ke 3 Tabel 1, dan Paste Special…
dengan gunakan fungsi paste special: Value dan Transpose, sehingga diperoleh hasil sebagai berikut:
Group
Kelompok Umur
Total
Fasilitas Kesehatan
1-5 6 - 12 13 - 18 19 - 65 65+
< 1 thn Sum
thn thn thn thn thn
Penduduk 2612 11923 23577 12350 47397 4790 102649
Masing-masing sel rawat inap menurut jenis fasilitas kesehatan dan kelompok umur dibagi jumlah
penduduk menurut kelompok umur, untuk memperoleh Tabel Rate berikut:
Tabel 6. Hari Rawat per Kapita (Bed Day Rate) menurut Jenis Fasilitas dan Kelompok Umur
Group
Kelompok Umur
Total
Fasilitas Kesehatan 1-5 6 - 12 13 - 18 19 - 65
< 1 thn 65+ thn
thn thn thn thn Sum
Sum Sum Sum Sum Sum Sum
Ranap RSUD 0.359495 0.096201 0.070959 0.036923 0.098740 0.089770 0.090844
Ranap RS Swasta 0.284074 0.282311 0.100225 0.138785 0.253877 0.578706 0.223967
Ranap PKM 0 0.015265 0 0 0.003207 0 0.003254
Ranap praktek nakes 0.011868 0 0 0 0 0 0.000302
Total 0.655436 0.393777 0.171184 0.175709 0.355824 0.668476 0.318366
Angka-angka atau rate ini akan digunakan untuk mendistribusikan nilai biaya kesehatan pada HB.8
atau kelompok Penerima Manfaat semua umur belum dipilah ke kelompok umur lainnya.
Indeks Bobot untuk masing-masing kelompok umur dikembangkan dengan menggunakan 3 faktor
diatas. Untuk itu ke tiga faktor tersebut perlu disetarakan, yaitu dinyatakan dalam % (persen).
Prosesnya disampaikan dalam tabel berikut.
Misalnya dari proses analisis dengan pivot program, dihasilkan tabel Penerima Manfaat (HB)
sebagai berikut. Dalam tabel tersebut ada sejumlah Rp. 27.400.000 yang tergolong sebagai "semua
umur belum dipilah". Jumlah ini didistribusikan ke masing-masing kelompok umur dengan
menggunakan indeks pembobotan. Ini disampaikan dalam tabel berikutnya.
Hasil pendistribusian ini dipergunakan untuk merevisi tabel pertama di atas, yaitu dengan
menambahkan hasil distribusi ke masing-masing kelompok umur. Hasil akhirnya adalah sebagai
berikut:
4. Klik
Pivot
tabel,
keluar
tabel
perintah berikut :
8. Pada tabel diatas, isi dulu kolom range. Untuk mengisi kolom range ini blok semua sel
(kolom dan baris) yang sudah diisi, termasuk seluruh identitas baris dan kolom.
9. Klik next, keluar tabel perintah berikut :
13. Pada worksheet yang baru akan muncul tabel kosong yang akan diisi dengan data yang
telah dimasukkan.
14. Pastikan bahwa value yang akan dimasukkan adalah dalam pilihan sum pada tabel perintah
pivot. Untuk melihat ini klik field setting.
20. Untuk mengeluarkan hasil atau tabel univariat dapat dilakukan dengan memasukkan salah
satu variabel/kode akuntansi pada bagian baris (row) dan rincian anggaran pada area data
(data items).
21. Untuk membuat tabel bivariat dapat dilakukan dengan menentukan variabel yang akan
ditempatkan dalam baris, variabel yang akan ditempatkan dalam kolom dan variabel yang
akan diisikan dalam area data.
22. Untuk memilih variabel yang berada di kolom dan baris dapat dilakukan dengan mengklik
variabel, kemudian pilih area yang akan digunakan : row area atau column area pada pivot
table field list. Dapat juga dilakukan dengan menarik variabel yang telah dikeluarkan pada
page area ke posisi yang diinginkan (baris, kolom atau data).
23. Contoh hasil tabel bivariat yang dihasilkan adalah sebagai berikut :
24. Langkah-langkah untuk menghasilkan tabel univariat dan bivariat diatas dapat dilanjutkan
untuk membuat tabel univariat dan bivariat berikutnya dari setiap variabel yang ingin
dianalisis.