Anda di halaman 1dari 12

| 55

PERADILAN AGAMA DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA

A. Havizh Martius
Hakim PA Curup/ Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Curup
Email: abdulhavizh@yahoo.com.

Abstract: The political influence of the law against the existence and position of Religious Courts
in Indonesia marked by legal products on which the existence and position of the Religious Courts.
The philosophical basis of the existence of the Religious Courts in Indonesia are the values of
Pancasila embraced by the Indonesian people, especially the first principle "Almighty God" that
animates the other precepts. While the sociological basis of the existence of the Religious Court
based on Islamic law is a reflection of the norms of Indonesia Muslim majority. Islamic law is law
who lived in Indonesia since the Islamic community began to flourish in the country. As for the
legal basis which is the constitutional basis for the existence of Religious Courts in Indonesia is
Pancasila, the Presidential Decree July 5, 1959, and 1945.

Abstrak: Pengaruh politik hukum terhadap keberadaan dan kedudukan Peradilan Agama di
Indonesia ditandai dengan produk-produk hukum yang menjadi landasan keberadaan dan
kedudukan Peradilan Agama. Dasar filosofis keberadaan Peradilan Agama di Indonesia adalah
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila yang dianut oleh bangsa Indonesia terutama sila
pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang menjiwai sila-sila lainnya. Sedangkan dasar sosiologis
keberadaan Peradilan Agama yang berdasarkan hukum Islam merupakan cerminan norma-norma
bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Hukum Islam sudah menjadi hukum yang hidup
dalam masayarakat Indonesia sejak Islam mulai berkembang di Nusantara. Adapun dasar yuridis
yang merupakan landasan konstitusional keberadaan Peradilan Agama di Indonesia adalah
Pancasila, Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dan UUD 1945.

Kata Kunci: Peradilan Agama, Filosofi, Sosiologis dan Yuridis

I. PENDAHULUAN dalam kondisi yang masih sangat


sederhana dan kewewenangan yang sangat
A. Latar Belakang
terbatas kemudian mendapat momentum
Setiap orang Islam yang menyadari
kebangkitannya dengan peristiwa
arti penting keberadaan Peradilan Agama
disahkan serta diundangkannya Undang-
di Indonesia, niscaya mensyukuri
Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang
eksistensi dan kedudukan Peradilan
Peradilan Agama pada tanggal 29
Agama dewasa ini yang sudah setara
Desember 1989 pada era pemerintahan
dengan peradilan-peradilan lainnya setelah
orde baru selanjutnya pada era reformasi
sebelumnya mengalami pasang surut dan
eksistensi dan kedudukan Peradilan
perjalanan yang berliku-liku yang dimulai
Agama mencapai puncak kekokohannya
diakui secara resmi sejak zaman kolonial
56 | Jurnal Hukum Diktum, Volume 14, Nomor 1, Juli 2016: 55 - 66

dengan lahirnya Undang-Undang Nomor politiknya otoriter, maka produk


4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan hukumnya berkarakter ortodoks/
Kehakiman sebagai perubahan atas konservatif/elitis.2
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999. Untuk mengetahui bagaimana
Dan terakhir kedudukan dan kewenangan pengaruh politik hukum terhadap
yang dimiliki Peradilan Agama semakin keberadaan dan kedudukan Peradilan
diperkokoh lagi dengan lahirnya Undang- Agama di Indonesia yang ditandai dengan
Undang Nomor 3 Tahun 2006 yang produk-produk hukum yang menjadi
diubah lagi dengan Undang-Undang landasan keberadaan dan kedudukan
Nomor 50 Tahun 2009. Peradilan Agama itu sendiri diperlukan
Lahirnya sebuah undang-undang beberapa indikator tertentu, dalam hal ini
selain merupakan peristiwa hukum adalah dasar filosofis, sosiologis dan
sekaligus merupakan peristiwa politik, yuridis dari keberadaan Peradilan Agama
juga sangat erat kaitannya dengan di Indonesia.
keyakinan umat Islam karena Peradilan Tulisan ini akan membahas
Agama didasarkan kepada hukum Islam, keberadaan dan kedudukan Peradilan
sedangkan hukum Islam bagi umat Islam Agama dalam sistem hukum Indonesia
Indonesia dalam perkembangannya dari zaman kolonial sampai era reformasi
sebagai hukum yang berdiri sendiri telah sekarang ini yang tidak terlepas dari
lama dianut oleh pemeluk agama Islam.1 pengaruh politik hukum Indonesia yang
Pasang-surut dan pasang naiknya ditandai dengan produk-produk hukum
perkembangan Peradilan Agama yang menjadi landasan keberadaan dan
merupakan cerminan dari politik hukum kedudukan Peradilan Agama itu sendiri.
yang dilatarbelakangi oleh beberapa fakta,
antara lain kesadaran hukum masyarakat B. Rumusan Masalah
dan kehendak politik yang terjadi pada 1. Apakah dasar filosofis, sosiologis dan
zamannya masing-masing. yuridis dari keberadaan Peradilan
Dalam wacana tentang hubungan Agama di Indonesia?
antara hukum dan politik, menurut Moh. 2. Bagaimana keberadaan dan kedudukan
Mahfud. M.D, dengan menggunakan Peradilan Agama dalam sistem hukum
asumsi bahwa hukum sebagai produk Indonesia?
politik, maka politik akan menentukan
hukum. Sehingga dapat dikemukakan II. PEMBAHASAN
bahwa konfigurasi politik suatu negara
A. Dasar Filosofis Keberadaan
akan melahirkan karakter produk hukum
Peradilan Agama di Indonesia
tertentu di negara tersebut. Di dalam
Politik hukum Negara Indonesia yang
negara yang konfigurasi politiknya
didasari Pancasila menghendaki agar
demokratis, maka produk hukumnya
berkembang kehidupan beragama dan
berkarakter responsif/populistik, hukum agama dalam kehidupan bangsa
sedangkan di negara yang konfigurasi
dan negara Indonesia. Teori “Lingkaran
A. Havizh Martius, Peradilan Agama Dalam Sistem Hukum Indonesia | 57

Konsentris’ menunjukkan betapa eratnya kenyataan bahwa hukum Islam telah


hubungan antara agama, hukum dan menjadi bagian hukum positif Indonesia. 5
negara. Negara berdasar atas hukum yang Seminar tentang masuk dan
berfalsafah Pancasila melindungi agama berkembangnya Islam di Indonesia yang
dan penganut agama, bahkan berusaha diselenggarakan di Medan pada tahun
memasukkan ajaran dan hukum agama 1963 menyatakan bahwa agama ini telah
dalam kehidupan berbangsa dan masuk ke Indonesia sejak abad pertama
bernegara. Muhammad Hatta menyatakan Hijriah atau ketujuh/kedelapan Masehi.
bahwa dalam pengaturan negara hukum Beberapa abad kemudian, Islam telah
Republik Indonesia, Syariah Islam dianut oleh berbagai suku bangsa di
berdasarkan al-Qur’an dan Hadits dapat Indonesia dan sejak masa itu hukum Islam
dijadikan peraturan perundang-undangan sudah menjadi bagian yang tidak terpisah
Indonesia.3 dari perjalanan hidup sebagian besar
Pancasila sebagai falsafah negara, bangsa Indonesia.6 Sehingga kerajaan-
dasar negara dan hukum dasar kerajaan Islam masa lampau telah
mendudukkan agama dan hukum agama memberlakukan hukum Islam sebagai
pada kedudukan fundamental. Dalam hukum positif di dalamnya. Snouck
hukum nasional hukum agama sebagai Hurgronje pun mengakui bahwa pada
wujud pengamalan sila Ketuhanan Yang abad ke-16 sudah muncul kerajaan-
Maha Esa adalah unsur hukum dan bahan kerajaan Islam, seperti: Mataram, Banten,
hukum, bahkan merupakan jiwa dan ruh Cirebon yang berangsur-angsur
hukum nasional.4 mengislamkan warga masyarakatnya.
Dalam pembinaan hukum nasional, Sedangkan untuk kelengkapan
termasuklah di dalamnya membina hukum pelaksanaan hukum Islam, telah didirikan
nasional yang dalam hal ini adalah hukum Peradilan Surambi dan Majelis Syara’.7
Islam. Undang-Undang Peradilan Agama Pada masa pemerintahan kolonial
merupakan perwujudan dan Belanda pun hukum Islam pernah
pengembangan hukum Islam sekaligus dipraktekkan di Indonesia secara murni
menunjang pembinaan hukum nasional karena penguasa pemerintahan
menghendakinya. Oleh karena itu, dalam
B. Dasar Sosiologis Keberadaan masa pemerintahan Hindia Belanda
Peradilan Agama di Indonesia sampai menjelang merdeka, embrio
Hukum Islam mencerminkan norma- Peradilan Agama seperti yang terdapat
norma bangsa Indonesia yang mayoritas dalam kerajaan-kerajaan Islam tidak dapat
beragama Islam. Seperti diakui oleh dinafikan dan diabaikan. Selain secara
Daniel Lev, sebelum nusantara kronologis sulit dikubur, karena telah
dipersatukan oleh sebuah pemerintah menyatu dalam masyarakat Islam, juga
Kolonial Belanda, Hukum Islam terlebih secara politis Hindia Belanda mempunyai
dahulu telah menyatukan mayoritas rakyat kepentingan.8
Indonesia. Ini merupakan sebuah
58 | Jurnal Hukum Diktum, Volume 14, Nomor 1, Juli 2016: 55 - 66

Pada waktu VOC datang ke Indonesia atas keberlakuan Hukum Islam di


untuk berdagang dan kemudian Indonesia. Dengan cerdiknya teori ini
dilanjutkan dengan penguasaan wilayah, diubah kemudian oleh Snouck Hurgrnje
mereka tidak memahami tentang hukum yang melakukan penelitian terhadap
yang hidup dalam masyarakat Indonesia. hukum Islam di Aceh. Selanjutnya van
Pada mulanya mereka hanya menerapkan Vallenhoven memasyhurkan teori resepsi
hukum Belanda di kapal-kapal dan koloni- yang mengatakan bahwa hukum Islam
koloni mereka dan membiarkan anak dapat diberlakukan bila telah diterima oleh
negeri berjalan sesuai dengan hukum hukum adat.10 Padahal dalam penelitian
mereka sendiri. Setelah Belanda yang dilakukan di zaman kemerdekaan,
mengikutsertakan kaum orientalis dalam ternyata sebaliknya yang benar, bahwa
mempelajari agama dan budaya Indonesia, hukum adat baru dapat diterima bila telah
barulah mereka mengetahui bahwa diserap oleh Hukum Islam. Inilah yang
Hukum Islam adalah hukum yang hidup disebut oleh Sayuti Thalib sebagai
dalam masyarakat. Pemahaman ini receptio a contrario dengan pengertian
didahului dengan usaha kompilasi oleh “hukum adat baru berlaku kalau tidak
beberapa orang orientalis di beberapa bertentangan dengan hukum Islam. Inilah
daerah seperti kompendium Muharrar, yang terjadi di banyak daerah di Indonesia
Kompendium Freijer dan lain-lain.9 seperti Aceh, Minangkabau, Jambi,
Usaha Kompilasi kemudian Palembang, Bengkulu, Lampung dan
11
dihentikan tanpa alasan yang jelas setelah lain-lain.
dalam penelitian ditemukan bahwa hukum
yang hidup pada umumnya berasal atau C. Dasar Yuridis Keberadaan
bersumber dari hukum Islam. Puncak dari Peradilan Agama di Indonesia
pengakuan Belanda ini adalah penerapan Menurut Mahfud MD, ada tiga
teori receptio in complexu oleh van den landasan konstitusional yang dapat
Berg yang intinya adalah bahwa untuk dipakai sebagai dasar pijak bagi Peradilan
orang Islam berlaku hukum Islam Agama di Indonesia, yaitu Pancasila,
sekalipun terdapat variasi dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dan UUD
pemahaman dan pengamalannya. 1945.12
Akhirnya keluarlah Koniclijk Besluit 1. Pancasila.
No. 24 (staatblad No. 152/1882) yang Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
menjadi dasar pembentukan Pengadilan dalam Pancasila dapat dijadikan dasar
Agama di Jawa Madura dengan sebutan bagi berlakunya hukum-hukum agama
Bepaling Betreffende de Priesterraan op di Indonesia, sebab setiap agama
Java Madoera. Sekalipun keputusan ini mendasarkan diri pada keimanannya
lebih bersifat administratif dan prosedural pada Tuhan. Dengan Pancasila sebagai
dan tidak didukung oleh pengembangan dasar negara maka hukum agama yang
hukum Islam secara sistematis, tetapi hal diyakini para penganutnya
tersebut merupakan pengakuan yang kuat memperoleh legalitas konstitusi untuk
A. Havizh Martius, Peradilan Agama Dalam Sistem Hukum Indonesia | 59

diberlakukan sekaligus untuk maka Piagam Jakarta tidak dapat


meruntuhkan teori receptie yang dijadikan dasar hukum bagi
dulunya dipakai sebagai dasar pemberlakuan pelembagaan sesuatu.
kebijakan pemerintah kolonial Adanya Peradilan Agama tidak
Belanda. Tentu saja berlakunya ada kaitannya dengan Piagam Jakarta
hukum agama bagi penganut- yang dibakukan di dalam konsideren
penganutnya adalah terutama sejauh Dekrit Presiden 5 Juli 1959 itu.
menyangkut hukum privat. Artinya: ada atau tidak ada Piagam
2. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 Jakarta eksistensi Peradilan Agama
Tercantumnya Piagam Jakarta di tetap memiliki peluang konstitusional.
dalam dekrit presiden 5 Juli 1959 yang Secara yuridis, adanya peradilan
memberlakukan kembali UUD 1945 agama diberi peluang oleh UUD 1945
menyebabkan rumusan sila pertama yang secara riil dikristalisasi di dalam
Pancasila mendapat tambahan, yaitu aturan peralihan Pasal II yang
“berkesesuaian dengan hakikat Tuhan kemudian dikukuhkan di dalam
Yang Maha Esa dengan kewajiban berbagai peraturan perundang-
menjalankan syari’at Islam bagi undangan yang lain.
pemeluk-pemeluknya menurut dasar 3. Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945
kemanusiaan yang adil dan beradab”. Satu hal yang pasti bahwa
Atas dasar ini maka berlakunya eksistensi Peradilan Agama di alam
hukum Islam bagi pemeluknya kemerdekaan didasarkan pada
mendapat landasan kokoh. ketentuan Pasal II aturan Peralihan
Tetapi seperti diketahui bahwa UUD 1945 yang menyatakan bahwa
setiap upaya penafsiran yang berbau semua “lembaga dan peraturan yang
Piagam Jakarta senantiasa ada (pada saat sebelum Indonesia
menimbulkan sebuah kontroversi. merdeka) masih terus berlaku selama
Kontroversi pendapat ini akhirnya belum dibuat lembaga dan peraturan
terjawab dengan keluarnya inpres No. baru menurut UUD”.
12 Tahun 1968 yang memberi Pada saat Indonesia
penegasan bahwa Pancasila yang memproklamasikan kemerdekaan,
resmi dipakai adalah Pancasila yang lembaga peradilan Agama sudah ada
terdapat di dalam Pembukaan UUD di Indonesia. Lembaga ini di bentuk
1945 yang disahkan pada tangga 18 sejak tahun 1882 di tempat-tempat
Agustus 1945 oleh PPKI. Oleh sebab yang ada Landraad (pengadilan
itu, meskipun jawaban tersebut Negeri). Bahkan sebelum secara
sekedar berbentuk Inpres, maka anak formil diakui oleh pemerintah pada
kalimat “dengan kewajiban tahun 1882 itu peradilan agama telah
menjalankan syariat Islam bagi diterapkan secara riil. Dengan
pemeluk-pemeluknya” harus dianggap demikian berdasarkan Pasal II Aturan
tidak ada. Dan oleh sebab itu pula Peralihan tersebut Lembaga Peradilan
60 | Jurnal Hukum Diktum, Volume 14, Nomor 1, Juli 2016: 55 - 66

Agama dapat terus hidup selama D. Keberadaan dan Kedudukan


belum ada ketentuan baru Peradilan Agama dalam Sistem
mengubahnya. Ternyata kemudian ada Hukum Indonesia
aturan-aturan baru yang menguatkan Sejarah keberadaan Peradilan Agama
eksistensinya. Pada tahun 1948 di Indonesia yang tidak terlepas dari
Peradilan Agama dijadikan salah satu pergumulan politik yang cukup panjang
bagian Peradilan Umum, tetapi dan sering mengalami pasang surut antara
sebelum ketentuan tersebut dapat umat Islam dengan pemerintah.
berlaku sudah ada sebuah UU yang Legitimasi terhadap Peradilan Agama
memberikan pengakuan bahwa sebagai lembaga resmi mulai diakui oleh
Peradilan Agama adalah lembaga yang pemerintah kolonial Belanda pada tahun
mandiri yakni UU Darurat No. 1 1882. Adanya pengakuan ini hanya
Tahun 1951. di dalam Pasal 1 ayat (2) bersifat politis, karena dalam
UU Darurat No, 1 Tahun 1951 perjalanannya kerapkali Peradilan Agama
diacantumkan penghapusan semua dikebiri dan dikurangi kekuasaan dan
peradilan adat dan swapraja kecuali kewenangannya.
Peradilan Agama jika merupakan Peradilan Agama tahun 1882 disebut
bagian tersendiri dari Peradilan “Raad Agama”, kemudian dikukuhkan
Swapraja. Dengan demikian Peradilan oleh pemerintah Hindia Belanda menjadi
agama terus berjalan dan memperoleh Priesterraad dengan suatu keputusan Raja
legalitasnya. Selanjutnya setelah Belanda (KB) No. 24 tanggal 19 Januari
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 pada tahun 1882 yang dimuat dalam Stb. 1882 No.
1964 pemerintah mengundangkan UU 152. Berdasarkan keputusan Raja Belanda
No. 19 Tahun 1964 (tentang ini dibentuklah Peradilan agama di Jawa
Ketentuan-ketentuan Pokok dan Madura (Beplling betreffende de
Kekuasaan Kehakiman) yang secara priesterraden of Java en Madura) yang
tegas menyebutkan adanya empat dinamakan priesterraad. Pada umumnya
lingkungan peradilan di Indonesia para ahli hukum Islam Indonesia
yaitu Peradilan Umum, Peradilan menganut pandangan bahwa istilah
Agama, Peradilan Militer, dan priesterraad tidaklah tepat, karena dalam
Peradilan Tata Usaha Negara. Islam tidaklah dikenal adanya Peradilan
Kemudian pada zaman Orde Baru Paderi atau Peradilan Pendeta. Raad
dikeluarkan lagi UU No. 14 Tahun Agama di luar Jawa dan Madura baru
1970 (tentang Pokok-pokok dibentuk pada tahun 1937 dengan S. 1937
Kekuasaan Kehakiman) yang di dalam No. 638 yang mengatur Kerapatan Qhadli
Pasal 10 tetap melembagakan empat dan Kerapatan Qhadli Besar untuk
lingkungan peradilan seperti yang sebagian Kalimantan Selatan. Sedangkan
dianut di dalam UU No. 19 Tahun untuk luar Jawa dan Madura, luar
1964. sebagian Kalimantan Selatan baru
dibentuk berdasarkan Peraturan
A. Havizh Martius, Peradilan Agama Dalam Sistem Hukum Indonesia | 61

Pemerintah No. 45 tahun 1957 yang merangkul para ulama dengan


menganut Peradilan Agama Mahkamah menempatkan mereka dalam jajaran
Syari’ah.13 berokrasi. Sikap politik bala tentara
Dalam perjalanan sejarahnya Jepang itu, walaupun pernah menyentuh
Peradilan Agama sering tersendat, sebagai keberadaan Peradilan Agama, tetapi tidak
akibat adanya kepentingan yang tidak sempat berkembang jauh, mengingat masa
sejalan antara pemerintah dan sebagian penjajahannya berlangsung lebih kurang
besar umat Islam. Seperti di atas telah selama 3 ½ tahun.
diutarakan, Pemerintah Hindia Belanda Pada tahun 1969, Prof. Mahali, S.H,
terus mengekang dan membatasi setelah membuat kertas kerja berjudul:
wewenang Peradilan Agama, dalam upaya ”Beberapa Catatan tentang Peradilan
menjauhkan umat Islam dari ajarannya. Agama” yang mencatat segala peraturan
Kekhawatiran Pemerintah Hindia resmi yang menyangkut peradilan Agama
Belanda, kiranya hampir serupa dengan di daerah-daerah seluruh Indonesia mulai
kekhawatiran Gladstone, Perdana Menteri dari tahun 1808, menyimpulkan bahwa
Inggris di zaman Victoria. Pada suatu saat ternyata semua peraturan tertulis yang
di depan House of Commans, sambil dapat ditelusuri dari zaman itu menunjuk
memegang al-Qur’an dia berkata: “Selama pada adanya suatu Peradilan Agama
buku ini masih kita dapati pada orang- dalam pelbagai bentuk dan tingkatan di
orang Mesir, kita tidak akan mendapatkan seluruh nusantara. Peraturan-peraturan
ketenangan dan kedamaian di negeri tersebut bukan menciptakan, tetapi
ini”.14 memberikan petunjuk kepada para pejabat
Dalam memperoleh dukungan rakyat, waktu itu terutama kepada para bupati
pemerintah Hindia Belanda merangkul tentang bagaimana sikap yang harus
kalangan feodal dan menyisihkan ulama diambil terhadap semua Peradilan Agama
dari birokrasi. Ulama dan umat Islam itu.16
merespon sikap itu dengan sikap Menurut kesimpulannya itu, mula-
menentang pemerintahan baik secara mula peraturan tersebut sekedar memberi
terang-terangan maupun secara diam- petunjuk supaya jangan “mengganggu”
diam. Dalam konfrontasi ini, sedikit Peradilan Agama yang ada. Lama
banyak pemerintah Hindia Belanda kelamaan peraturan tersebut mengatur dan
mengasingkan sebagian besar umat Islam mengarahkannya ke “sudut-sudut netral”
dari ajarannya dan membentuk citra tidak membahayakan politik hukum
seolah-olah Islam identik dengan kolonial. Kemudian dengan Stb.1931 yang
kekumuhan dan keterbelakangan.15 untuk sebagian mulai berlaku pada 1937
Ketika balatentara Jepang merebut diberikan pukulan “knock out” kepada
kekuasaan dari pemerintah Belanda, untuk Peradilan Agama. Jadilah sejak itu,
mengambil hati rakyat, mereka Peradilan Agama sebagai “quasi
menyisihkan kaum feodal karena pengadilan”. Namanya pengadilan, tetapi
loyalitasnya terhadap Belanda, sebaliknya pada hakikatnya sama sekali bukan
62 | Jurnal Hukum Diktum, Volume 14, Nomor 1, Juli 2016: 55 - 66

pengadilan, melainkan sekedar badan yang merupakan warisan kolonial, masih


administrasi mengenai nikah, talak dan sulit dihilangkan. Pemberontakan-
rujuk (NTR), yang tidak memiliki pemberontakan yang berlatar belakang
kukuasaan untuk melaksanakan keputusan ideologis dengan menggunakan label
sendiri. Melalui peraturan-peraturan itu, Islam, konstiuante yang “gagal”
rezim kolonial berhasil menciptakan citra menetapkan UUD karena pertentangan
tentang Peradilan Agama sebagai blok Pancasila dan blok Islam yang tidak
pengadilan yang inferior, pengadilan yang berhasil diselesaikan, merupakan faktor
tidak sesuai dengan zaman modern, dan penyebab Pemerintah sering alergi
pengadilan yang “asing” bagi para ahli terhadap setiap aktivitas atau
hukum “modern”. Akibatnya timbullah perkembangan yang berbau Islam. Sikap
keretakan dan perpecahan di kalangan pemerintah yang sering memilih
bangsa Indonesia, karena terlalu jauhnya kewaspadaan dan kehati-hatian yang
perbedaan pelayanan hukum bagi pencari berlebihan itu menyebabkan sebagian
keadilan beragama Kristen dengan pencari ulama dan umat Islam menghadapi
keadilan beragama Islam. Inilah hasil pemerintah tanpa ketulusan, tetapi dengan
nyata dari politik devide et impera.17 reserve dan kecurigaan.18
Raad Agama dalam masa Tetapi pada masa Undang-Undang
kemerdekaan Indonesia disebut sebagai Nomor 7 Tahun 1989 lahir, hubungan
Peradilan Agama yang secara resmi istilah politik Pemerintah orde baru dengan umat
ini disebut dalam Pasal 10 ayat (1) Islam sedang harmonis dan melakukan
Undang-Undang No. 14 tahun 1970 saling akomodasi, dan ini ternyata
tentang Undang-undang Pokok Kekuasaan mendapat dukungan luas dari Umat Islam
Kehakiman. karena hal itu seakan-akan menjadi kado
Undang-Undang perkawinan No. 1 mewah bagi umat Islam. Pada saat musim
tahun 1974 tentang perkawinan pada Pasal akomodasi UU pemerintah tidak ragu
2 menyatakan perkawinan adalah sah untuk mengajukan RUU yang sangat
apabila dilakukan menurut hukum didambakan oleh umat Islam.
masing-masing agama dan Dari segi perundang-undangan,
kepercayaannya. Dan pada Pasal 63 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
disebutkan yang dimaksud dengan adalah lompatan 100 tahun, dan dari segi
Peradilan Agama dalam Undang-undang hukum substantif dia adalah lompatan 100
ini adalah Pengadilan Agama bagi mereka windu. Itulah mungkin sebabnya RUUPA
yang beragama Islam. Pasal ini begitu ramai ditanggapi.19
memperkuat dasar hukum adanya Dalam hal ini dapat dikemukan
Pengadilan Agama. beberapa catatan sejarah, di antaranya
Sejak saat kemerdekaan sampai adalah catatan A. Gani Abdullah tentang
berakhirnya Pemerintahan Orde Lama, respon masyarakat mengenai pemikiran
hubungan yang tidak harmonis antara mereka atas kehadiran Rancangan
pemerintah dengan ulama dan umat Islam, Undang-undang Peradilan Agama
A. Havizh Martius, Peradilan Agama Dalam Sistem Hukum Indonesia | 63

(RUUPA) yang sejak disampaikan ke antara Peradilan Agama dengan


DPR tanggal 28 Januari 1989 hingga hari Departemen Agama secara struktural dan
pertama diundangkannya terdapat organisatoris sudah terputus sama sekali.
sekurang-kurangnya 400 tulisan pada Selanjutnya eksistensi dan kedudukan
media massa, bahkan respon demikian Peradilan Agama semakin kuat dengan
dapat terkirim langsung ke DPR mungkin lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun
saja mendekati jumlah yang berimbang.20 2006 yang memperluas kewenangan
Kelompok-kelompok masyarakat yang Pengadilan Agama dengan penanganan
menyampaikan respon tersebut tidak perkara zakat, infak dan ekonomi syari’ah
hanya dari kalangan Islam seperti, dari pada yang sebelumnya diatur dalam
Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
tetapi juga dari kelompok agama lain yakni perkawinan, kewarisan, wasiat,
seperti Wali Gereja, Persatuan Gereja hibah, wakaf dan shadakah.
Indonesia dan lain-lain.21 Kewenangan baru lainnya dari
Lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 ini
Tahun 1989 bertujuan mengakhiri adalah dalam hal penyelesaian sengketa
keaneka-ragaman peraturan perundang- hak milik antara sesama orang Islam dan
undangan yang selama ini mengatur pemberian itsbat kesaksian rukyat hilal
Pengadilan Agama, demi terciptanya dalam penentuan awal bulan pada tahun
kesatuan hukum yang mengatur Peradilan hijriyah, serta pemberian keterangan atau
Agama dalam kerangka sistem dan tata nasihat mengenai perbedaan penentuan
hukum nasional berdasarkan Pancasila arah kiblat dan penentuan waktu sholat.
dan Undang-Undang Dasar 1945. Meski Terakhir kedudukan dan kewenangan
demikian, undang-undang ini masih yang dimiliki Peradilan Agama semakin
memberikan ruang intervensi bagi diperkokoh lagi dengan lahirnya Undang-
eksekutif (karena pimpinan kepegawaian Undang Nomor 50 Tahun 2009.
masih dibawah Departemen Agama. Perubahan/tambahan baru dalam undang-
Pada zaman reformasi, eksistensi undang ini di antaranya sebagai berikut:
dan kedudukan Peradilan Agama semakin - Pengadilan khusus di lingkungan
kokoh dengan lahirnya Undang-Undang Peradilan Agama
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan - Hakim Adhoc di Peradilan Agama
Kehakiman sebagai perubahan atas - Pengawasan Internal oleh MA dan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 eksternal oleh KY
yang menyatakan bahwa semua - Putusan bisa dijadikan dasar mutasi
lingkungan peradilan, termasuk Peradilan - Seleksi pengangkatan hakim dilakukan
Agama, pembinaan organisasi, oleh MA dan KY
administrasi dan finansialnya dialihkan - Pemberhentian hakim atas usulan MA
dari pemerintah kepada Mahkamah dan atau KY via KMA
Agung. Dengan berlakunya Undang- - Tunjangan hakim sebagai pejabat
Undang Nomor 4 Tahun 2004, hubungan negara
64 | Jurnal Hukum Diktum, Volume 14, Nomor 1, Juli 2016: 55 - 66

- Usia pensiun hakim 65 bagi PA dan 67 Keberadaan dan kedudukan Peradilan


bagi PTA. Panitera/PP, 60 PA dan 62 Agama sudah diakui secara resmi sejak
PTA dari zaman kolonial dengan terbitnya
- Pos Bantuan Hukum di setiap keputusan Raja Belanda (KB) No. 24
Pengadilan Agama tanggal 19 Januari 1882 yang dimuat
- Jaminan akses masyarakat akan dalam Stb. 1882 No. 152 tetapi kondisinya
informasi pengadilan, dan mengalami pasang surut namun secara
- Ancaman pemberhentian tidak hormat umum citra Peradilan Agama hanya
bagi penarik pungli. sebagai “quasi pengadilan”. Namanya
Dengan demikian, kedudukan pengadilan, tetapi pada hakikatnya sama
Peradilan Agama di era reformasi, selain sekali bukan pengadilan, melainkan
sudah semakin kuat kedudukannya juga sekedar badan administrasi mengenai
telah mengalami pengembangan nikah, talak dan rujuk (NTR), yang tidak
kelembagaan, tidak hanya menyangkut memiliki kukuasaan untuk melaksanakan
pengembangan Peradilan Agama di keputusan sendiri. Lahirnya UU Nomor 7
Nanggroe Aceh Darussalam22, juga Tahun 1989 merupakan momentum
pengembangan secara struktur seperti kebangkitan dari keberadaan Peradilan
yang terlihat pada Direktorat Jenderal Agama di Indonesia yang mengakhiri
Badan Peradilan Agama.23 keanekaragaman peraturan perundang-
undangan yang selama ini mengatur
III. PENUTUP Pengadilan Agama dan mencapai puncak
kekokohannya dengan lahirnya Undang-
Dasar filosofis keberadaan Peradilan
Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Agama di Indonesia adalah nilai-nilai
Kekuasaan Kehakiman sebagai perubahan
yang terkandung dalam Pancasila yang
atas Undang-Undang Nomor 35 Tahun
dianut oleh bangsa Indonesia terutama sila
1999 yang menyatakan bahwa semua
pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”
lingkungan peradilan, termasuk Peradilan
yang menjiwai sila-sila lainnya.
Agama, pembinaan organisasi,
sedangkan dasar sosiologis keberadaan
administrasi dan finansialnya dialihkan
Peradilan Agama yang berdasarkan
dari pemerintah kepada Mahkamah
hukum Islam merupakan cerminan norma-
Agung. Dan terakhir kedudukan dan
norma bangsa Indonesia yang mayoritas
kewenangan yang dimiliki Peradilan
beragama Islam. Hukum Islam sudah
Agama semakin diperkokoh lagi sehingga
menjadi hukum yang hidup dalam
benar-benar sudah menjadi peradilan yang
masayarakat Indonesia sejak Islam mulai
mandiri dengan lahirnya Undang-Undang
berkembang di nusantara. Adapun dasar
Nomor 3 Tahun 2006 yang diubah lagi
yuridis yang merupakan landasan
dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun
konstitusional keberadaan Peradilan
2009 yang juga memperluas kewenangan
Agama di Indonesia adalah Pancasila,
Pengadilan Agama termasuk kewenangan
Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dan UUD
mengadili sengketa ekonomi syariah.
1945.
A. Havizh Martius, Peradilan Agama Dalam Sistem Hukum Indonesia | 65

1
Keberadaan dan kedudukan Peradilan Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di
Agama di Indonesia sebagai peradilan Indonesia, Jakarta, Pustaka LP3ES, 2001, hlm. 14-
15. Lihat juga Moh. Mahfud MD, Pergulatan
negara harus tetap dipertahankan bahkan Politik dan Hukum di Indonesia, Yogyakarta,
harus senantiasa ditingkatkan karena Gama Media, hlm. 75
sesuai dengan aspirasi umat Islam sebagai 1
Ichtijanto, “Kontribusi Hukum Islam
umat yang mayoritas di Indonesia. Kalau Terhadap Hukum Nasional” dalam Mimbar
dilihat dari aturan perundang-undangan Hukum No. 13 Thn V, Jakarta; Yayasan al-
Hikmah hlm. 17
yang berkaitan dengan Peradilan Agama 1
Ibid
dewasa ini, keberadaan dan kedudukan 1
Daniel. S. Lev, Hukum dan Politik
Peradilan Agama sudah sangat kuat, Indonesia; Kesinambungan dan Perubahan, Terj.
sejajar dengan lembaga peradilan lainnya Nirwoo dan A.E. Priyono, Jakarta, LP3ES,1990,
di Indonesia, maka tinggal lagi usaha hlm. 121
1
Rifyal Ka’bah, Penegakan Syari’at Islam di
keras dari seluruh warga Peradilan Agama Indonesia, Jakarta, Khairul Bayan, 2004, hlm. 75
di bawah pimpinan Mahkamah Agung 1
Anwar Harjono dan Ramli Hutabarat,
lebih spesifiknya di bawah Direktorat “Prospek Peradilan Agama sebagai Peradilan
Jenderal Badan Peradilan Peradilan Keluarga dalam Sistem Politik Indonesia” dalam
Agama untuk terus berbenah dengan Amrullah Ahmad Dkk.” Prospek Hukum Islam
dalam Kerangka Pembangunan Hukum Nasional
meningkatkan mutu sumber daya manusia di Indonesia, Jakarta: PP-IKAHA, 1994, hlm. 317
beserta sarana dan prasarana 1
Ibid
pendukungnya menuju peradilan yang 1
Rifyal Ka’bah, Penegakan Syari’at hlm. 77
1
modern berkelas dunia. Teori ini disebut oleh Hazairin sebagai teori
Keberadaan dan kedudukan Peradilan iblis. Hazairin, Demokrasi Pancasila, Jakarta,
Rineka Cipta, 1990, h. 97.
Agama yang sudah kokoh dalam sistem 1
Ibid, hlm 78
hukum di Indonesia sekarang ini harus 1
Moh. Mahfud. MD, Peradilan Agama dan
disertai dengan bukti kepada masyarakat Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum
pencari keadilan (justice seekers) dan Indonesia, Yogyakarta, UII Press, hlm.18
1
warga Negara Indonesia umumnya bahwa Anwar Haryono, Prospek..., hlm. 319
1
Pengadilan Agama sebagai bagian dari Achmad Roestandi, “Prospek Peradilan
Agama” dalam Amrullah Ahmad dkk. Prospek
sistem hukum Indonesia dapat
Hukum Islam dalam Kerangka Pembangunan
memberikan pelayanan prima kepada Hukum Nasional di Indonesia, Jakarta, PP
masyarakat termasuk kesiapan dalam IKAHA, 1994, hlm. 313.
1
menyelesaikan sengketa ekonomi syariah Ibid.
1
yang sudah menjadi kewenangan baru Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum
Islam di Indonesia; Akar Sejarah, Hambatan dan
Pengadilan Agama. Prospeknya, Jakarta, Gema Insani Press, 1996,
hlm. 78.
1
Catatan Akhir : Ibid, hlm. 79-80.
1 1
Muchtar Zarksyi, “Kerangka Historis Achmad Rustandi, Prospek.... Hlm. 313.
1
Pembentukan UU No. 7 Tahun 1989” dalam . Busthanul Arifin, Pelembagaan …, hlm.
Mimbar Hukum , No. 1 thn I, Jakarta, Yayasan 87.
1
Alhikmah, hlm. 1 A. Gani Abdullah, “Pengantar” dalam
Zuffran Sabrie, Peradilan Agama dalam Wadah
66 | Jurnal Hukum Diktum, Volume 14, Nomor 1, Juli 2016: 55 - 66

Negara Pancasila (Dialog tentang RUUPA), Lev, Daniel. S. Hukum dan Politik di
Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 2001, hlm. xv .. Indonesia; Kesinambungan dan
1
Baca Husni Rahim Dkk, Peradilan Agama Perubahan, Terj. Nirwoo dan A.E.
di Indonesia ( Sejarah Perkembangan Lembaga Priyono, Jakarta, LP3ES,1990,
dan Proses Pembentukan Undang-undangnya), Mahfud. M.D, Moh, Peradilan Agama
Departemen Agama RI, 2001 dan Kompilasi Hukum Islam dalam
1
Dengan keputusan Ketua Mahkamah Agung
Tata Hukum Indonesia, Yogyakarta:
R.I Nomor KMA/070/SK/X/2004 telah dilakukan
UII Press, 1993.
penyerahan sebagian kewenangan Peradilan
----------, Politik Hukum di Indonesia,
Umum ke Mahkamah Syar’iyah di Nanggroe Aceh
Jakarta, Pustaka LP3ES, 2001.
Darussalam sesuai dengan Undang-Undang Nomor
18/2001.
Roestandi, Achmad Prospek Peradilan
1
Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam
Agama dalam Amrullah Ahmad
Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta, dkk. Prospek Hukum Islam dalam
Kencana, 2008, hlm. 313. Kerangka Pembangunan Hukum
Nasional di Indonesia, Jakarta, PP
DAFTAR PUSTAKA IKAHA, 1994.
Sabrie, Zuffran, Peradilan Agama dalam
Arifin, Busthanul, Pelembagaan Hukum Wadah Negara Pancasila (Dialog
Islam di Indonesia; Akar Sejarah, tentang RUUPA), Jakarta, Logos
Hambatan dan Prospeknya, Jakarta, Wacana Ilmu, 2001.
Gema Insani Press, 1996. Zarkasyi, Muchtar “Kerangka Historis
Aripin, Jaenal, Peradilan Agama dalam Pembentukan UU No. 7 Tahun
Bingkai Reformasi Hukum di 1989” dalam Mimbar Hukum , No.
Indonesia, Jakarta, Kencana, 2008 1 thn I, Jakarta, Yayasan Alhikmah
Harjono, Anwar dan Ramli Hutabarat,
“Prospek Peradilan Agama Sebagai
Peradilan Keluarga dalam Sistem
politik Indonesia” dalam Amrullah
Ahmad dkk. “Prospek Hukum Islam
dalam Kerangka Pembangunan
Hukum Nasional di Indonesia”,
Jakarta, PP-IKAHA.
Hasymi, A. Sejarah Masuk dan
Berkembangnya Islam di Indonesia,
Bandung, Al-Ma’arif, 1981;
Hazairin, Demokrasi Pancasila, Jakarta,
Rineka Cipta, 1990.
Ichtijanto, “Kontribusi Hukum Islam
Terhadap Hukum Nasional” dalam
Mimbar Hukum No. 13 Thn V,
Jakarta; Yayasan al-Hikmah.
Ka’bah, Rifyal, Penegakan Syari’at Islam
di Indonesia, Jakarta, Khairul
Bayan, 2004.

Anda mungkin juga menyukai