Anda di halaman 1dari 9

1

MENGENAL PERADILAN AGAMA


MENURUT HUKUM KETATANEGARAAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA

1. Pengantar.
Dari beberapa kegiatan yang berinteraksi dengan berbagai instansi
pemerintah, lembaga swasta, kalangan pesantren maupun masyarakat
umum, baik tingkat desa sampai tingkat provinsi, terkesan pengertian
mereka terhadap lembaga peradilan agama masih sangat minim. Ada
kesan mendalam bahwa pengadilan agama adalah kantor yang
mengurusi perceraian dan kedudukannya ibarat kantor urusan agama
kecamatan yang berada dibawah kantor kementerian agama
kabupatan/kota.
Pengertian yang kurang sempurna itu menantang penulis dan
semestinya juga menggelitik kepada setiap aparatur pengadilan
agama untuk meluruskannya, sehingga mendudukkan suatu lembaga
negara yang dalam hal ini adalah pengadilan agama sesuai dengan
kedudukan, tugas dan fungsinya sebagaimana tatanan hukum yang
ada.

2. Kedudukan Pengadilan Agama :


Dasar hukum peradilan agama dalam Undang Undang Dasar 1945
adalah diatur oleh Pasal 24 yang pada ayat (1) menjelaskan bahwa
kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Dalam ayat (2) dijabarkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan
oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada
dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
agama, lingkungan peradilan militer dan lingkungan peradilan tata
usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Kemudian
Ayat (3) menegaskan bahwa badan badan lain yang fungsinya
berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang undang.
Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
sebagaimana diubah terakhir kalinya dengan Undang Undang Nomor
50 Tahun 2009, yang dalam Pasal 2 menegaskan bahwa peradilan
agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi
rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara
perdata tertentu yang diatur dalam undang undang. Selanjutnya dalam
2

Pasal 2 ayat (1) menerangkan bahwa kekuasaan kehakiman di


lingkungan peradilan agama dilaksanakan oleh pengadilan agama dan
pengadilan tinggi agama.
Adapun pengertian peradilan dan pengadilan, menurut Hartono,
1977, hal. 95 :
1. Peradilan adalah tugas atau fungsi menegakkan hukum dan keadilan
yang dibebankan kepada pengadilan.
2. Pengadilan adalah organisasi atau badan yang menjalankan tugas
dan fungsi peradilan tersebut.

3. Filosofi kekuasaan kehakiman di Indonesia :


Sistim hukum menurut Undang Undang Dasar 1945 menganut
teori single system of court (satu sistem peradilan), yaitu Mahkamah
Agung dan badan peradilan dibawahnya yang kesemuanya disebut
sebagai peradilan negara.
Namun sebelum maupun setelah kemerdekaan sampai dengan
tahun 1963 sistim hukum Indonesia masih menganut teori multy system of
court (banyak sistem peradilan). Ada pengadilan adat, pengadilan
swapraja, pengadilan negeri dan pengadilan agama.
Menurut sistim ketatanegaraan yang dianut oleh Undang Undang
Dasar 1945 pasca amandemen era reformasi menegaskan bahwa
Mahkamah Agung disamping sebagai badan peradilan negara
tertinggi, juga sebagai lembaga tinggi negara.
Sedangkan peradilan dibawah Mahkamah Agung menganut
sistem lingkungan, yaitu :
a. Lingkungan peradilan umum.
b. Lingkungan peradilan agama.
c.Lingkungan peradilan militer.
c. Lingkungan peradilan tata usaha negara.
Peradilan umum adalah peradilan negara yang melaksanakan
tugas peradilan di bidang pidana dan perdata secara umum.
Sedangkan tiga peradilan yang lain adalah peradilan khusus
dengan ciri-ciri sebagai berikut :
1. Khusus yustiabelennya (pencari keadilan/subyek hukumnya) :
a. Orang Islam di Pengadilan Agama.
b. Anggota militer di Pengadilan Militer.
c. Pegawai negeri di PTUN.
2. Khusus hukum yang diberlakukan/diterapkan :
a. Hukum Islam di Pengadilan Agama.
3

b. Hukum pidana militer di Pengadilan Militer.


c. Hukum administrasi negara di PTUN.
Dengan demikian, peradilan agama adalah sub sistem peradilan
negara Republik Indonesia yang khusus melayani pencari keadilan yang
beragama Islam, mengenai perkara tertentu, yang didasarkan pada
hukum Islam. Dengan kata lain, sistim hukum ketetanegaraan Negara
Republik Indonesia menempatkan peradilan agama sama dan sederat
kedudukannya dengan peradilan lain.
Disamping itu, tata hukum ketatanegaraan Negara Republik
Indonesia menganut sistem peradilan dalam dua tingkat :
a. Peradilan tingkat pertama, seperti pengadilan agama, yang
berkedudukan di kota atau di ibukota kabupaten yang daerah
hukumnya meliputi kota atau kabupaten. Kebiasaannya, nama
pengadilan agama sesuai dengan nama kota atau nama ibu kota
kabupaten. Seperti Pengadilan Agama Pontianak yang daerah
hukumnya meliputi Kota Pontianak atau Pengadilan Agama
Sungai Raya yang daerah hukumnya meliputi Kabupaten Kubu
Raya atau Pengadilan Agama Mempawah yang daerah
hukumnya meliputi wilayah Kabupaten Mempawah.
b. Peradilan ulangan yang biasa disebut peradilan banding, seperti
pengadilan tinggi agama, yang berkedudukan di ibukota provinsi
dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi. Demikian pula,
kebiasaannya, nama pengadilan tinggi agama sesuai dengan ibu
kota provinsi atau nama provinsinya. Seperti Pengadilan Tinggi
Agama Pontianak atau Pengadilan Tinggi Maluku Utara.
Sedangkan kasasi adalah mengajukan pembatalan putusan
peradilan, baik tingkat pertama maupun tingkat ulangan/tingkat
banding kepada peradilan tertinggi yakni Mahkamah Agung.
Adapun Peninjauan Kembali adalah mengajukan permohonan
mengadili ulang kepada peradilan tertinggi yakni Mahkamah Agung.

4. Sitem Peradilan Satu Atap.


Sebelum era reformasi, lembaga peradilan mempunyai satu ayah
dengan tiga ibu. Untuk urusan yustisial semua pengadilan berpuncak
kepada Mahkamah Agung, namun secara organisatoris, administratif
dan finansial masih menginduk ke eksekutif. Contohnya, urusan
organisatoris (sarana prasarana), administratif (kepegawaian) dan
finansial (keuangan dan gaji) Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tata
Usaha Negara masih menginduk dan diurus oleh Departemen
4

Kehakiman, sedang Pengadilan Agama menginduk dan diurus oleh


Departemen Agama dan Pengadilan Militer masih menginduk dan
diurus oleh Departemen Hankam.
Untuk menjaga kemandirian kekuasaan kehakiman dari
pengaruh lembaga negara yang lain, maka Undang Undang Nomor 4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 42 ayat (2)
menyatakan bahwa pengalihan organisasi, administrasi dan finansial
dalam lingkungan peradilan agama dilaksanakan paling lambat
tanggal 30 Juni 2004.
Batas waktu tersebut, kemudian diikuti oleh Keputusan Presiden
Nomor 21 Tahun 2004 yang dalam Pasal 2 menegaskan bahwa
organisasi, administrasi dan finansial pada Direktorat Pembinaan Badan
Peradilan Agama Departemen Agama, PTA/MS. Aceh, Pengadilan
Agama dan Mahkamah Syari’ah terhitung tanggal 30 Juni 2001 dialihkan
dari Departemen Agama ke Mahkamah Agung.
Pengalihan tersebut diikuti oleh Pasal 3 yang meneguhkan
bahwa pembinaan organisasi, administrasi dan finansial peradilan
agama berada di bawah Mahkamah Agung.

5. Sejarah Pengadilan Tinggi Agama Pontianak :


Pada tahun 1982, berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor
76 Tahun 1983 dibentuklah Mahkamah Syar’iyah Provinsi di Samarinda
yang wilayah hukumnya meliputi Provinsi Kalimantan Timur, Kalimantan
Tengah dan Kalimantan Barat dan selanjutnya disebut Pengadilan Tinggi
Agama Samarinda.
Mengingat berbagai pertimbangan, pada tahun 1984 dibentuk
Cabang Pengadilan Tinggi Agama Pontianak berdasarkan Keputusan
Menteri Agama Nomor 95 Tahun 1983 dengan wilayah hukum meliputi
Provinsi Kalimantan Barat dan resmi operasional pada bulan Agustus
tahun 1984.
Dalam perkembangannya, berdasarkan Surat Keputusan Ketua
Pengadilan Tinggi Agama Pontinak Nomor : W14-A/726/ OT.01.3 /VI/2016
tanggal 17 Juni 2016 tentang Perubahan Namenklatur, maka sebutan
Pengadilan Tinggi Agama Pontianak diubah menjadi Pengadilan Tinggi
Agama Kalimantan Barat.
Adapun pengadilan agama berada di wilayah kalimantan Barat
adalah :
1. Pengadilan Agama Pontianak, Kelas IA;
2. Pengadilan Agama Mempawah, Kelas IB;
5

3. Pengadilan Agama Bengkayang, Kelas II;


4. Pengadilan Agama Sambas Kelas IB;
5. Pengadilan Agama Sanggau Kelas II;
6. Pengadilan Agama Putussibau Kelas II;
7. Pengadilan Agama Sintang Kelas II;
8. Pengadilan Agama Ketapang Kelas II;
9. Pengadilan Agama Sungai Raya Kelas II;
10. Pengadilan Agama Nanga Pinoh Kelas II; dan
11. Pengadilan Agama Singkawang Kelas II.

6. Kewenangan Pengadilan Agama.


Berdasarkan Pasal 49 Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama, sebagaimana diubah dengan Undang
Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan terakhir diubah dengan Undang
Undang Nomor 50 Tahun 2009, pengadilan agama bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat
pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang :
1. Perkawinan;
2. Waris;
3. Wasiat;
4. Hibah;
5. Wakaf;
6. Zakat;
7. Infaq;
8. Shadaqoh; dan
9. Ekonomi Syariah.
Adapun yang dimaksud dengan perkawinan adalah hal-hal yang
diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan
yang berlaku yang dilakukan menurut syari’ah, antara lain
1. Izin beristeri lebih dari satu orang;
2. Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia
21 (dua puluhb satu) tahun, dalam hal orang tua atau wali atau
keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat;
3. Despensasi kawin;
4. Pencegahan perkawinan;
5. Penolakan perkawinan oleh pegawai pencatat nikah;
6. Pembatalan perkawinan;
7. Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau isteri;
8. Percerian karena talak;
6

9. Gugatan perceraian;
10. Penyelesaian harta bersama;
11. Penguasaan anak-anak;
12. Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak,
bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak
memenuhinya;
13. Penentuan kewajiban memberi biaya kehidupan oleh suami
kepada bekas isteri atau penentuan suatu kewajiban bagi
bekas isteri;
14. Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak;
15. Putusan tentang pencabutan kekuasaan anak;
16. Pencabutan kekuasaan wali;
17. Penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan, dalam
hal kekuasaan seorang wali dicabut;
18. Menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum
cukup umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua
orang tuanya padahal tidak ada penunjukan wali oleh orang
tuanya;
19. Pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang
telah menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang
ada di bawah kekuasaannya;
20. Penetapan asal usul seorang anak dan penetapan
pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam;
21. Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk
melakukan perkawinan campuran; dan
22. Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum
Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Sedangkan yang dimaksud dengan ekonomi syari’ah
adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan
menurut prinsip syari’ah, antara lain :
a. Bank syari’ah;
b. Lembaga keuangan mikro syari’ah;
c. Asuransi syaria’ah.
d. Reasuransi syari’ah;
e. Reksadana syari’ah;
f. Obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka
menengah syari’ah;
g. Sekuritas syria’ah;
h. Pembiayaan syari’ah;
7

i. Pegadaian syari’ah’;
j. Dana pensiun lembaga keuangan; dan
k. Bisinis syari’ah.

7. Personalitas keislaman.
Maksud personalitas keislaman, adalah patokan yang menjadi
dasar apakah suatu perkara menjadi kewenangan pengadilan
agama atau tidak, dapat dlihat sebagai berikut :
a. Dalam sengketa perkawinan, maka perkara tersebut menjadi
kewenangan pengadilan agama sepanjang perkawinannya
dicatat di kantor urusan agama, meskipun pihak-pihak atau salah
satu pihak yang berperkara tidak beragama Islam.
b. Dalam sengketa waris, maka perkara tersebut menjadi
kewenangan pengadilan agama sepanjang pewaris (orang yang
meninggal dunia) beragama Islam.
c. Dalam sengketa ekonomi syari’ah, maka perkara tersebut menjadi
kewenangan pengadilan agama sepanjang akad atau
perjanjiannya berdasarkan syari’ah.
d. Dalam sengketa hibah dan wasiat, maka perkara tersebut menjadi
kewenangan pengadilan agama sepanjang akadnya
berdasarkan hukum Islam.
e. Dalam sengketa wakaf, maka pihak-pihak yang berperkara tidak
harus beragama Islam.
8. Jiwa Korp Hakim Indonesia.
Timbulnya konspirasi dari pihak tertentu yang berkeinginan
menggiring dan menempatkan Hakim pada kedudukan yang tidak
sesuai dengan ketentuan Undang Undang Dasar 1945, mendorong para
Hakim untuk menggagas adanya sebuah organisasi profesi bagi Hakim
Indonesia.
Pada tahun 1952 Hakim seluruh Jawa berkumpul di Surabaya
untuk merancang sebuah organisasi profesi bagi hakim sebagai wadah
berkumpul untuk menjaga kedudukan, martabat dan integritas Hakim
sesuai dengan ketentuan Undang Undang Dasar 1945. Tepatnya, pada
tanggal 20 Maret 1953 disahkan organisasi IKAHI (Ikatan Hakim
Indonesia) beserta Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangganya oleh
bapak Soerjadi, SH dan tanggal 20 Maret merupakan hari jadi IKAHI.
Bagi Hakim dari paradilan agama, sebelum berintegrasi kedalam
IKAHI, berada di dalam suatu wadah berupa organisasi IKAHA (Ikatan
Hakim Peradilan Agama) yang didirikan pada 27-12-1977.
8

Berdasarkan SKB PP IKAHA dan PP IKAHI pada Munaslub IKAHA


tanggal 9 s/d 11 Nopember 1995 bertempat di Wisma Haji Pondok Gede,
Jakarta, maka pada tanggal 11-11-19995, IKAHA secara resmi
membubarkan diri. Seluruh anggota IKAHA yang berjumlah 2079 orang
secara otomatis diterima menjadi anggota biasa IKAHI. (Mimbar Hukum,
Nomor 22 Tahun VI 1995, halaman 85).
Disamping pembinaan jiwa korp diatas, dalam Rapat Kerja
antara para Ketua Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia dengan
Mahkamah Agung RI, di Jakarta pada hari Minggu tanggal 7 Maret 1976
untuk waktu yang tidak ditentukan dibentuklah Persatuan Tenis Warga
Pengadilan (PTWP) sebagai wadah olah raga bagi Hakim dan aparatur
pengadilan.
Pembentukan PTWP dikandung maksud untuk menjalin dan
memperkokoh tali silaturahim, menjaga kebugaran jasmani dan
memupuk jiwa sportifitas bagi Hakim dan aparatur pengadilan. Pada
tahun 1976 di Jakarta timbul prakarsa untuk mengadakan pertandingan
tenis lapangan bagi seluruh warga pengadilan. Pemrakarsa lalu
menghadap Ketua Mahkamah Agung Bapak Prof. Oemar Seno Adji dan
beliau mendukung sekaligus berkenan memberi ”Piala Oemar Seno Adji”
untuk diperebutkan bergilir diantara warga pengadilan seluruh
Indonesia.
Ide tersebut untuk pertama kalinya dilaksanakan di Jakarta pada
tanggal 04 - 07 Maret 1976 di Lapangan PN Timah dan Bank Indonesia.
Perhelatan tersebut diikuti oleh 10 (sepuluh) kontingen dengan
menghasilkan pemenang : Juara I PT Surabaya, Juara II PT Semarang
dan Juara III PT Jakarta.
Pada tahun 2008 diadakan Turnamen dan Konggres Ke XIV
dengan perubahan logo dan stempel PTWP yang tadinya berupa
lambang Hakim menjadi lambang Mahkamah Agung, yang
mencerminkan bahwa PTWP bukan hanya diperuntukkan bagi Hakim,
tetapi juga bagi semua warga pengadilan.
Pada Turnamen PTWP Ke XIV tanggal 01-07 September 2008 di
Palembang jumlah peserta menjadi 61 (enam puluh satu) kontingen
terdiri dari : 1 kontingen dari Mahkamah Agung, 29 kontingen dari
peradilan umum, 29 kontingen dari peradilan agama, 2 kontingen dari
peradilan tata usaha negara dan 1 kontingen dari peradilan militer.

9. Penutup.
9

Demikianlah informasi mengenai gambaran pengadilan agama


sesuai tata hukum ketatanagaraan menurut Undang Undang Dasar Tahun
1945 meskipun sangat sederhana. Uraian yang sangat sederhana ini suatu
saat akan diperlukan bagi setiap aparatur peradilan agama dalam
memahami untuk dirinya sendiri maupun dalam rangka menjelaskan
kepada siapapun, baik sesama aparatur sipil negara, atau kelompok
masyarakat manapun.
Sangat disadari, bahwa tulisan ini kurang sempurna, maka masukan
untuk kesempurnaan senantiasa diharapkan.
Sekian, kurang lebihnya terima kasih dan mohon ma’af.

Pontianak, 16 Oktober 2018


Penulis,

Ali Masykuri Haidar

Anda mungkin juga menyukai