Anda di halaman 1dari 6

BAB 2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Labu Kuning


Labu kuning yang dalam bahasa inggris disebut pumpkin merupakan
tanaman yang banyak dijumpai didaerah-daerah di Indonesia dan merupakan
tanaman semusim karena setelah berbuah tanaman labu kuning ini akan mati,
tanaman ini termasuk dalam famili cucurbitaceae yang memiliki klasifikasi
sebagai berikut :
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Ordo : Cucurbitales
Familia : Cucurbitaceae
Genus : Cucurbita
Spesies : Cucurbita moschata (Respati, 2010)
Labu kuning memiliki banyak sekali bentuk dan ukuran tergantung dari jenis labu
kuning itu sendiri. Bentuk-bentuk labu kuning antara lain berbentuk oval,
berbentuk bokor, berbentuk piala, dan sebagainya. (Nova, 2006)

Gambar 2.1 labu kuning (Cucurbita moschata)

Labu kuning memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi, salah satunya
adalah betakaroten yakni sebesar 1569 μg/100 g bahan, dan juga mengandung gizi
lain berupa karbohidrat, protein, lemak, serat, beberapa mineral seperti kalsium,
fosfor, besi, vitamin A, B dan C. Warna kuning dari daging buahnya pertanda
bahwa kandungan karotenoidnya sangat tinggi (Nurhidayati, 2011). Labu kuning
mengandung kandungan karbohidrat, vitamin C, dan serat yang cukup tinggi. Hal
ini menunjukkan bahwa labu kuning memiliki manfaat dapat mencegah penyakit
degeneretif salah satunya seperti asteroklerosis (penyempitan pembuluh darah)
(Nova, 2006). Berikut komposisi zat gizi labu kuning per 100 g bahan menurut
Departemen Kesehatan Republik Indonesia (1996).
Tabel 2.1 Komposisi Zat Gizi Labu Kuning Per 100g Bahan
Komposisi Jumlah
Karbohidrat (g) 6,6
Lemak (g) 0,3
Protein (g) 1,1
Kalori (kal) 29
Kalsium 45
Fosfor (mg) 64
Besi (mg) 1,4
Nilai Vit. A (SI) 180
Vit B1 (mg) 0,08
Vit C (mg) 52
Air (g) 91,2
b.d.d (%) 77
Sumber : Departemen Kesehatan Republik Indonesia (1996).

2.2 Puree Labu Kuning


Puree merupakan produk jadi atau dapat juga dikatakan produk setengah
jadi yang dapat digunakan sebagai bahan baku produk jadi lainnya (Broto, 2003).
Puree diolah dengan proses penghancuran daging buah lalu ditambahkan dengan
beberapa bahan lainnya dengan konsistensi bubur (Hambali, 2002). Konsistensi
bubur lebih lembek dan lebih halus jika dibandingkan dengan nasi tim.
Kelembekan ini dipengaruhi oleh seberapa banyaknya jumlah air atau cairan lain
seperti susu, kaldu, ataupun santan yang digunakan. Kelembekan atau kekentalan
dari puree ini dapat disesuaikan dengan kebutuhan yang diinginkan. Puree yang
kental dapat menggunakan perbandingan antara bahan dan cairan yang digunakan
= 1:7-10, apabila menginginkan puree yang lebih encer dan lebih halus dapat
menggunakan perbandingan antara bahan dan cairan yang digunakan = 1:10-20
(Tarwotjo, 1998).
Puree labu kuning dapat diperoleh dengan cara pureeing atau proses
penghancuran dengan perlakuan dikukus terlebih dahulu. Langkah-langkah yang
dilakukan pada pembuatan puree labu kuning adalah pertama-tama adalah dengan
mencuci labu kuning hingga bersih sehingga kotoran-kotoran yang menempel
pada labu kuning menghilang, kemudian dilakukan pengupasan kulit dan
pembuangan biji labu kuning sehingga didapatkan daging buahnya saja. Daging
buah labu kuning lalu dipotong-potong untuk memperkecil ukurannya. Daging
buah labu kuning yang telah dipotong-potong lalu dikukus dengan suhu 90°C
selama 15 menit, kemudian dihancurkan dengan blender sehingga dihasilkan
puree labu kuning (Cucurbita moschata).

Gambar 2.2 Puree Labu Kuning (Cucurbita moschata)

2.3 Tepung sorgum putih


Tepung sorgum putih berasal dari tanaman sorgum (Sorgum bicolor (L.)
Moench) yang merupakan tanaman yang termasuk di dalam famili Gramineae.
Berdasarkan produktivitasnya sorgum merupakan serealia terbesar kelima di
dunia (Schons dkk., 2012). Sorgum merupakan salah satu komoditi pangan yang
penting bagi masyarakat di daerah tropis beriklim kering seperti di Afrika, India,
dan Amerika Latin (Reddy dkk. 2007). Masyarakat di negara Afrika biasanya
mengkonsumsi sorgum dalam bentuk olahan roti, bubur, minuman, berondong,
dan kripik (Dicko dkk. 2006), sedangkan di India, sorgum diolah menjadi tepung
dan diolah menjadi roti chapati yang merupakan makanan pokok masyarakat
pedesaan di India. Sorgum di Indonesia merupakan tanaman sereal pangan ke tiga
setelah padi dan jagung, namun penggunaannya sebagai bahan pangan menurun
tajam setelah ketersediaan beras mencukupi dengan relatif dan harga murah.
Profil gelatinisasi tepung sorgum putih ditunjukkan dengan viskositas
setback yang lebih tinggi dibandingkan dengan viskositas puncak, berarti proses
retrogadasi pada tepung sorgum putih semakin kuat. Tepung sorgum putih
memiliki suhu gelatinisasi berkisar antara 75-90°C (Yuliyanti, 2012). Kandungan
nutrien dalam sorgum berperbandingan, tergantung pada varietasnya. Sorgum
umumnya mengandung protein kasar sekitar 8,9–10,48 %, lemak 2,5–3,7 %, serat
kasar 1,2–3,01 %, abu 1,2–6,94 %, dan gula 76,6 % dengan berat kering (BK)
sekitar 88,94 – 93,31 %. Sorgum mengandung komposisi pati yang cukup banyak
sekitar 82,5% biji sorgum mengandung pati yang terkonsentrasi pada endosperma.
Kadar pati pada sorgum berkisar antara 56-80 % yang terdiri atas amilosa (20-30
%) dan amilopektin (70-80 %) tergantung dari faktor genetik dan lingkungan pada
lokasi penanaman (Suarni, 2016). Sorgum juga mengandung vitamin penting
seperti vitamin A, vitamin K, vitamin B6, vitamin B12 dan choline (Etuk, dkk.,
2012).

2.4 Karakterisitk Bubur Instan


Bubur atau dapat juga dikatakan dengan sup kental merupakan produk
pangan yang dilembutkan dan memiliki tekstur yang lunak sehingga mudah untuk
dicerna oleh tubuh (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989). Bubur pada umumnya
terbuat dari beras, kacang hijau, beras merah yang pengolahannya dimasak
dengan air ataupun dengan susu. Bubur terdapat juga yang terbuat dari daging
buah-buahan yang diolah dengan bahan-bahan tambahan yang nantinya akan
menjadi bubur buah. Bubur buah dapat dibuat dengan tahap-tahap pembuatan
yang meliputi pengupasan kulit (menghilangkan bagian-bagian yang tidak
dikehendaki), pencucian, perebusan, penambahan air, penghancuran dan
penyaringan jika dibutuhkan hingga menjadi slurry (bubur) (Salimah dkk, 2015).
Menurut Hartono dan Widiatmoko (1993) menyatakan bahwa bubur instan dalam
pembuatannya memiliki karakteristik yang harus dipenuhi, yaitu produk bubur
instan harus memiliki sifat hidrofilik atau dapat berikatan dengan air, tidak
memiliki lapisan gel yang dapat menghambat laju pembasahan, dan memiliki
kemampuan rehidrasi yang tidak menghasilkan produk yang menggumpal dan
mengendap. Syarat mutu bubur instan di Indonesia diatur dalam SNI MP-ASI
tahun 2005, syarat mutu bubur instan menurut Standar Nasional Indonesia (SNI)
MP-ASI bubuk instan tahun 2005 dapat dilihat pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Syarat Mutu Bubuk Instan Menurut SNI No. 01-7111.1-2005
Kriteria Syarat mutu
Bentuk Berbentuk serbuk, serpihan, granul, hablur
Kadar air Maks 4%
Kadar abu Maks 3.5%
Kadar protein Min 8%
Kadar Lemak 6%-15%
Kadar serat kasar Maks 3%
Sumber : Badan Standarisasi Nasioanal (2005)

2.5 Proses Pembuatan Bubur Instan


Bubur instan merupakan bubur yang cara penyajiannya tidak memerlukan
proses pemasakan karena telah mengalami proses pengolahan sebelumnya dan
tidak memerlukan waktu yang lama untuk dihidangkan. Bubur instan berbentuk
bubuk dan harus memiliki kemampuan yang tinggi dalam menyerap air,
tenggelam, dan terdispersi (Hartomo dan Widiatmoko, 1993). Bubur instan
diperoleh dengan melalui proses instanisasi, proses instanisasi ini dilakukan
dengan cara memasak komponen-komponen penyusun bubur pada umumnya
hingga menjadi adonan kental. Kemudian dikeringkan hingga mengering lalu
dihancurkan sampai berbentuk tepung halus. Sehingga diperolehlah bubur instan
yang siap untuk dikonsumsi dan dipasarkan (Perdana, 2003).

2.6 Bahan Tambahan Pada Pembuatan Bubur Instan


2.6.1 Gula Pasir
Gula pasir merupakan jenis gula yang paling banyak digunakan sebagai
pemanis makanan dan minuman, gula pasir berasal dari cairan sari tebu. Setelah
dikristalkan, sari tebu akan mengalami kristalisasi dan berubah menjadi butiran
gula berwarna putih bersih atau putih agak kecoklatan (raw sugar). Gula pasir
merupakan salah satu bahan tambahan pangan sumber kalori yang fungsinya
adalah ditambahkan pada makanan atau minuman untuk memberikan rasa manis.
Persentase penambahan gula pasir pada suatu produk pangan tergatung oleh selera
masing-masing individu (Darwin, 2013).
2.6.2 Garam
Garam merupakan produk tambahan pangan yang sering digunakan untuk
konsumsi rumah tangga, industri makanan, industri minyak goreng, industri
pengasinan, dan pengawaten ikan. Fungsi penambahan garam pada produk pangan
adalah sebagai penambah cita rasa gurih sehingga produk kaya akan cita rasa dan
mempertahankan kualitas produk karena garam dapat meningkatkan daya simpan
dan menghambat pertumbuhan organisme pembusuk. Secara fisik, garam adalah
benda padatan berwarna putih berbentuk kristal yang merupakan kumpulan
senyawa dengan bagian terbesar Natrium Chlorida (>80%), kandungan impuritis
(sulfat, magnesium dan kalsium) 2%, kotoran lainnya (lumpur, pasir) 1%, dan
kadar air maksimal yaitu 7%. Garam mempunyai sifat/karakteristik higroskopis
yang berarti mudah menyerap air, bulk density (tingkat kepadatan) sebesar 0,8 -
0,9 dan titik lebur pada tingkat suhu 8010C (Burhanuddin, 2001).

Anda mungkin juga menyukai