Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH KEMUHAMMADIYAHAN

AHLAK DALAM KELUARGA

Dosen Pengampu

Drs. H. Asrori Zaini., M.Ag

Disusun Oleh :

Faiz Ilyas Khusaini (1190101015)

Hasna Mushfiatul Usro (1190101021)

Nawang Giri Ayu Purbo Laras (1190101028)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH


WONOSOBO FARMASI 2020
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami
tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga
terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-
natikan syafa’atnya di akhirat nanti.

Kami mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu
berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga kami mampu untuk menyelesaikan pembuatan
makalah ini dengan judul “Ahlak Dalam Keluarga”

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak
terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, kami mengharapkan kritik serta
saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang
lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon
maaf yang sebesar-besarnya.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
menyusun makalah ini shingga makalah ini dapat terselesaikan dengan tepat waktu serta tak lupa
kami juga mengucapkan trimakasih kepada dosen pengampu mata kuliah kemuhammadiyahan
yang telah membimbing dalam menulis makalah ini. Demikian, semoga makalah ini dapat
bermanfaat. Terima kasih.

Wonosobo, 29 April 2020

Penulis :
Faiz Ilyas Khusaini (1190101015)

Hasna Mushfiatul Usro (1190101021)

Nawang Giri Ayu Purbo Laras (1190101028)

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................................................1

DAFTAR ISI...................................................................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN................................................................................................................3

A. Latar Belakang..............................................................................................................................3

B. Rumusan Masalah.........................................................................................................................4

C. Tujuan............................................................................................................................................4

BAB II.............................................................................................................................................5

PEMBAHASAN.............................................................................................................................5

A. URGENSI KELUARGA DALAM HIDUP MANUSIA.............................................................5

B. AKHLAK SUAMI ISTRI............................................................................................................6

C. AKHLAK ORANG TUA TERHADAP ANAK........................................................................12

D. AKHLAK ANAK TERHADAP ORANG TUA........................................................................13

E. MEMBANGUN KELUARGA SAKINAH..........................................................................................17

F. LARANGAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA...................................................................19

BAB III..........................................................................................................................................24

PENUTUP.....................................................................................................................................24

A. Kesimpulan....................................................................................................................................24

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................................25

2
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam menuntun umat islam menuju jalan yang benar, Islam juga memberikan pedoman
yaitu al-Quran, di dalam al-Quran kita dapat mempelajarinya untuk menjadikanya
sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari dan juga memberikan petunjuk yang lebih
terarah baik dalam diri sendiri, keluarga, maupun lingkungan.
Keluarga adalah ikatan laki-laki dan wanita berdasarkan hukum atau undang-undang
perkawinan yang sah. Di dalam keluarga ini lahirlah anak-anak. Dalam keluarga pula
terjadi interaksi pendidikan. Para ahli pendidikan umumnya menyatakan pendidikan di
lembaga ini merupakan pendidikan pertama dan utama. Dikatakan demikian karena di
lembaga ini anak mendapatkan pendidikan untuk pertama kalinya. Di samping itu,
pendidikan di sini (keluarga) mempunyai pengaruh yang dalam terhadap kehidupan
peserta didik di kemudian hari, karena keluarga secara umum merupakan tempat, di mana
anak didik menghabiskan sebagian besar waktunya sehari-hari.
Lebih jauh terkait pendidikan akhlak, keluarga memegang peranan yang sangat penting
dalam pendidikan akhlak bagi anak-anak, sebagai institusi yang mula-mula sekali
berinteraksi dengannya, oleh karena mereka mendapatkan pengaruh dari padanya atas
segala tingkah lakunya. Keluarga harus dapat mengajarkan nilai dan faedah berpegang
kepada akhlak semenjak kecil. Sebab manusia itu sesuai dengan sifat asasinya menerima
nasehat jika datangnya melalui rasa cinta dan kasih sayang, sedangkan ia menolaknya
jika disertai dengan kekasaran dan biadab. Hal ini bersesuaian dengan firman Allah
SWT:
ِ ‫ك ۖ فَٱعْفُ َع ْنهُ ْم َوٱ ْستَ ْغفِرْ لَهُ ْم َو َش‬
‫اورْ هُ ْم فِى‬ ۟ ُّ‫ب ٱَلنفَض‬
َ ِ‫وا ِم ْن َحوْ ل‬ ِ ‫فَبِ َما َرحْ َم ٍة ِّمنَ ٱهَّلل ِ لِنتَ لَهُ ْم ۖ َولَوْ ُكنتَ فَظًّا َغلِيظَ ْٱلقَ ْل‬
َ‫ٱأْل َ ْم ِر ۖ فَإ ِ َذا َع َز ْمتَ فَتَ َو َّكلْ َعلَى ٱهَّلل ِ ۚ إِ َّن ٱهَّلل َ يُ ِحبُّ ْٱل ُمتَ َو ِّكلِين‬
Artinya : "Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka
menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampun
untuk mereka, dan bermusyawaralah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian,
apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sungguh,
Allah mencintai orang yang bertawakal".

3
Makalah ini dibuat untuk membahas mengenai beberapa hal yang berhubungan dengan
akhlak dalam keluarga.
B. Rumusan Masalah
Makalah ini akan membahas mengenai enam hal umum yang berkaitan dengan akhlak
dalam keluarga, yaitu sebagai berikut:
1. Bagaimana urgensi keluarga dalam hidup manusia?
2. Bagaimana akhlak antara suami dan istri?
3. Bagaimana akhlak orang tua terhadap anak?
4. Bagaimana akhlak anak terhadap orang tua?
5. Bagaimana membangun keluarga sakinah?
6. Bagaimana larangan kekerasan dalam rumah tangga?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dari
bagian rumusan masalah. Diharapkan setelah membaca makalah ini, pembaca mampu:
1. Mengetahui urgensi keluarga dalam hidup manusia
2. Mengetahui tentang akhlak seorang suami dan istri
3. Mengetahui bagaimana akhlak orang tua terhadap anak
4. Mengetahui bagaimana akhlak anak terhadap orang tua
5. Mengetahui bagaimana cara membangun keluarga yang sakinah
6. Mengetahui tentang larangan kekerasan dalam rumah tangga

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. URGENSI KELUARGA DALAM HIDUP MANUSIA


Secara sosiologis keluarga merupakan golongan masyarakat terkecil yang terdiri atas
suami-isteri-anak. Pengertian demikian mengandung dimensi hubungan darah dan juga
hubungan sosial. Dalam hubungan darah keluarga bisa dibedakan menjadi keluarga besar
dan keluarga inti, sedangkan dalam dimensi sosial, keluarga merupakan suatu kesatuan
sosial yang diikat oleh saling berhubungan atau interaksi dan saling mempengaruhi,
sekalipun antara satu dengan lainnya tidak terdapat hubungan darah. Pengertian keluarga
dapat ditinjau dari perspektif psikologis dan sosiologis. Secara Psikologis, keluarga
adalah sekumpulan orang yang hidup bersama dalam tempat tinggal bersama dan masing-
masing anggota merasakan adanya pertautan batin sehingga terjadi saling mempengaruhi,
saling memperhatikan, dan saling menyerahkan diri. Sedangkan pengertian secara
sosiologis, keluarga adalah satu persekutuan hidup yang dijalin oleh kasih sayang antara
pasangan dua jenis manusia yang dikukuhkan dengan pernikahan, dengan maksud untuk
saling menyempurnakan diri, saling melengkapi satu dengan yang lainnya. Dalam suatu
keluarga keutuhan sangat diharapkan oleh seorang anak, saling membutuhkan, saling
membantu dan lain-lain, dapat mengembangkan potensi diri dan kepercayaan pada diri
anak. Dengan demikian diharapkan upaya orang tua untuk membantu anak
menginternalisasi nilai-nilai moral dapat terwujud dengan baik. Keluarga yang seimbang
adalah keluarga yang ditandai oleh adanya keharmonisan hubungan atau relasi antara
ayah dan ibu serta anak-anak dengan saling menghormati dan saling memberi tanpa harus
diminta. Pada saat ini orang tua berprilaku proaktif dan sebagai pengawas tertinggi yang
lebih menekankan pada tugas dan saling menyadari perasaan satu sama lainnya. Sikap
orang tua lebih banyak pada upaya memberi dukungan, perhatian, dan garis-garis
pedoman sebagai rujukan setiap kegiatan anak dengan diiringi contoh teladan, secara
praktis anak harus mendapatkan bimbingan, asuhan, arahan serta pendidikan dari orang
tuanya, sehingga dapat mengantarkan seorang anak menjadi berkepribadian yang sejati
sesuai dengan ajaran agama yang diberikan kepadanya. Lingkungan keluarga sangat
menentukan berhasil tidaknya proses pendidikan, sebab di sinilah anak pertama kali

5
menerima sejumlah nilai pendidikan. Tanggung jawab dan kepercayaan yang diberikan
oleh orang tua dirasakan oleh anak dan akan menjadi dasar peniruan dan identifikasi diri
untuk berperilaku. Nilai moral yang ditanamkan sebagai landasan utama bagi anak
pertama kali diterimanya dari orang tua, dan juga tidak kalah pentingnya komunikasi
dialogis sangat diperlukan oleh anak untuk memahami berbagai persoalan-persoalan yang
tentunya dalam tingkatan rasional, yang dapat melahirkan kesadaran diri untuk senantiasa
berprilaku taat terhadap nilai moral dan agama yang sudah digariskan. Sentralisasi nilai-
nilai agama dalam proses internalisasi pendidikan agama pada anak mutlak dijadikan
sebagai sumber pertama dan sandaran utama dalam mengartikulasikan nilai-nilai moral
agama yang dijabarkan dalam kehidupan kesehariannya. Nilai-nilai agama sangat besar
pengaruhnya terhadap keberhasilan keluarga, agama yang ditanamkan oleh orang tua
sejak kecil kepada anak akan membawa dampak besar dimasa dewasanya, karena nilai-
nilai agama yang diberikan mencerminkan disiplin diri yang bernuansa agamis.

B. AKHLAK SUAMI ISTRI


a. Menjadikan Pasangan sebagai pusat perhatian (sejak awal tidur – bangun tidur yang
lihat hanya pasangan).

b. Menempatkan kepribadian sebagai seorang suami atau isteri (isteri berpakaian untuk
suami dan begitu juga sebaliknya)

c. Jangan menabur benih keraguan/kecurigaan

d. Merasakan tanggung jawab bersama baik suami maupun isteri (saling mengingatkan
dan jangan selalu menuntut)

e. Selalu bermusyawarah (berdialog), lakukan komunikasi dengan baik, instospeksi


masing-masing

f. Menyiapkan diri untuk melakukan peranan sebagai suami atau isteri

g. Nampakkan cinta dan kebanggaan dengan pasangannya/jangan kikir memberi pujian

h. Adanya keseimbangan ekonomi dalam mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan

i. Jangan melupakan dengan keluarga besar masing-masing (ortu)


6
j. Menjaga hubungan dengan pihak lain.

Hak dan Kewajiban Suami Istri Dalam Islam :

Hak suami :

1. Taat pada suami, Allah telah menjadikan para suami sebagai pemimpin atas istrinya. Ia
wajib mengatur,mengarahkan dan mengurusi istrinya sebagaimana pemimpi yang
mengurusi rakyatnya. Hal ini karena Allah telah mengistimewakan kaum laki-laki dari
fisik,akal dan beban nafkah. Allah ta’ala berfirman dalam Q.S An’ Nisa-34
†ۚ †‫ض† َو† بِ† َم† ا† أَ† ْن† فَ† قُ† و†ا† ِم† ْ†ن† أَ† ْم† َو† ا†لِ† ِه† ْ†م‬ َ †‫ا†ل†ر†ِّ† َ†ج† ا† ُل† قَ† وَّ† ا† ُم† و† َ†ن† َع† لَ† ى† ا†ل†نِّ† َس† ا† ِء† بِ† َم† ا† فَ† ضَّ† َ†ل† هَّللا ُ† بَ† ْع‬
ٍ †‫ض† هُ† ْم† َع† لَ† ٰ†ى† بَ† ْع‬
َّ† †ُ‫ظ† هَّللا ُ† ۚ† َو† ا†ل†اَّل تِ† ي† تَ† َخ† ا†فُ† و† َ†ن† نُ† ُش† و† َز† هُ† ن†َّ فَ† ِ†ع† ظُ† و†ه‬
‫ن‬ َ †ِ‫ب† بِ† َم† ا† َح† ف‬ِ †‫ت† لِ† ْل† َغ† ْي‬ َ †ِ‫ت† َح† ا†ف‬
†ٌ †‫ظ† ا‬ †ٌ †‫ت† قَ† ا†نِ† تَ† ا‬
†ُ †‫فَ† ا†ل†صَّ† ا†لِ† َ†ح† ا‬
†‫ن هَّللا َ† َك† ا† َ†ن‬ َّ† †ِ‫ن† َس† بِ† ي†اًل ۗ† إ‬ َ †َ‫ن† ۖ† فَ† إِ† ْ†ن† أ‬
َّ †‫ط† ْع† نَ† ُك† ْم† فَ† اَل تَ† ْب† ُغ† و†ا† َع† لَ† ْي† ِه‬ َّ †ُ‫ض† ِر† بُ† و†ه‬ †َ †‫ن فِ† ي† ا† ْل† َم‬
†ْ †‫ض† ا† ِج† ِع† َ†و† ا‬ َّ† †ُ‫َ†و† ا† ْه† ُج† ُ†ر† و†ه‬
†‫َع† لِ† يًّ† ا† َك† بِ† ي† ًر† ا‬
Artinya : Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah
telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan
karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka
wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya
tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu
khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat
tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah
kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi
Maha Besar.
2. Siap melayani suaminya dalam bergaul saat ia memintanya. Ini termasuk hak suami atas
istri setelah suami menyerahkan mahar dari perkawinanya. Maka jika seorang istri
menolak untuk melayani suaminya maka ia telah melakukan dosa besar, kecuali ia
memiliki udzur syar’i seperti haid, puasa wajib, sakit dan lain lain. Dari Abu Hurairah
Radiyalahu Anhu, Rasulullah bersabda “ apabila seorang suami mengajak ke ranjang
(untuk berjima’). Lalu ia menolak sehingga suaminya dimalam itu murkan kepadanya
maka para malaikat melaknatnya hingga pagi.” (Muttafaq’Alaih)
3. Tidak mengizinkan orang lain masuk ke rumahnya kecuali atas izin suami. Diantara hak
suami yang harus ditunaikan istrinya, janganlah ia membawa masuk ke dalam rumahnya

7
orang yang dibenci suaminya. Dari Abu Hurairah Radiyalahu Anhu Rasulullah bersabda
“ Tidak boleh (haram) bagi wanita untuk berpuasa sementara suaminya ada disisinya
kecuali atas izin suaminya. Istri juga tidak boleh memasukan orang kedalam rumahnya
kecuali dengan izin suaminya. Dan harta yang ia nafkahi bukan dengan perintahnya.
Maka setengah pahalanya diberikan untuk suaminya (HR Al Bukhari)
4. Tidak keluar rumah kecuali dengan izin suaminya. Allah –subhanahu wa ta’ala-
berfirman:
‫ص† و†ا† ا† ْل† ِ†ع† د†َّ ةَ† ۖ† َو† ا†ت†َّ قُ† و†ا† هَّللا َ† َر† ب†َّ ُك† ْم† ۖ† اَل‬
ُ †‫ن† لِ† ِ†ع† د†َّ تِ† ِه† ن†َّ َو† أَ† ْ†ح‬ َّ †ُ‫يَ† ا† أَ† ي†ُّ† هَ† ا† ا†ل†ن†َّ بِ† ُّي† إِ† َذ† ا† طَ† ل†َّ ْق† تُ† ُم† ا†ل†نِّ† َس† ا† َء† فَ† طَ† لِّ† قُ† و†ه‬
َّ†‫ك† ُح† ُد† و† ُد† هَّللا ِ† ۚ† َو† َم† ْ†ن† يَ† تَ† َع† د‬ †َ †‫ن ِم† ْ†ن† بُ† يُ† و†تِ† ِه† ن†َّ َ†و† اَل يَ† ْ†خ† ُر† ْ†ج† َ†ن† إِ† اَّل أَ† ْ†ن† يَ† أْ† تِ† ي† َ†ن† بِ† فَ† ا† ِ†ح† َش† ٍة† ُم† بَ† ي†ِّ† نَ† ٍة† ۚ† َو† تِ† ْل‬ َّ† †ُ‫تُ† ْ†خ† ِر† ُ†ج† و†ه‬
†‫ك† أَ† ْم† ً†ر† ا‬ َ †ِ‫ث† بَ† ْ†ع† َد† ٰ† َذ† ل‬
†ُ †‫ظ† لَ† َم† نَ† ْف† َس† هُ† ۚ† اَل تَ† ْد† ِر† ي† لَ† َع† لَّ† هَّللا َ† يُ† ْ†ح† ِد‬ َ †‫ُح† ُد† و† َد† هَّللا ِ† فَ† قَ† ْد‬
“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan
mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah
waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan
mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali kalau
mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan
barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat
zalim terhadap dirinya sendiri”. (QS. Ath Thalaq: 1)
Hak istri :
1. Suami harus memperlakukan istri dengan cara yang ma’ruf. Karena Allah Ta’ala
telah berfirman
†‫ض† َم† ا‬ ِ †‫ن لِ† تَ† ْذ† هَ† بُ† و†ا† بِ† بَ† ْع‬ َّ† †ُ‫ض† لُ† و†ه‬†ُ †‫يَ† ا† أَ† ي†ُّ† هَ† ا† ا†ل†َّ ِذ† ي† َ†ن† آ† َم† نُ† و†ا† اَل يَ† ِح† ل†ُّ† لَ† ُك† ْم† أَ† ْ†ن† تَ† ِر† ثُ† و†ا† ا†ل†نِّ† َس† ا† َء† َك† ْ†ر† هً† ا† ۖ† َ†و† اَل تَ† ْع‬
†‫ن† فَ† َع† َس† ٰ†ى‬ َّ †ُ‫ف† ۚ† فَ† إِ† ْ†ن† َك† ِر† ْه† تُ† ُم† و†ه‬ َّ† †ُ‫آ†تَ† ْي† تُ† ُم† و†هُ† ن†َّ إِ† اَّل أَ† ْ†ن† يَ† أْ† تِ† ي† َ†ن† بِ† فَ† ا† ِح† َش† ٍة† ُم† بَ† ي†ِّ† نَ† ٍة† ۚ† َ†و† َع† ا† ِش† ُر† و†ه‬
†ِ †‫ن بِ† ا† ْل† َم† ْع† ُر† و‬
†‫أَ† ْ†ن† تَ† ْك† َر† هُ† و†ا† َش† ْي† ئً† ا† َو† يَ† ْ†ج† َع† َل† هَّللا ُ† فِ† ي† ِه† َخ† ْي† ً†ر† ا† َك† ثِ† ي† ًر† ا‬
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita
dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak
mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali
bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka
secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena
mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan
yang banyak.

8
2. Suami harus bersabar atas celaan istri dan haru mau memaafkan kekhilafan yang telah
dilakukan olehnya. Karena Rasullulah shallallahu alaihiwasalam pernah bersabda
“janganlah seolang mukmin membenci mukminah. Apabila ia membencinya karena
ada satu perangai yang buruk,pastilah ada peranagi yang baik yang ia sukai.”
3. Suami harus menjaga dan memelihara istri dari segala sesuatu yang dapat merusak
dan mencemarkan kehormatanya. Yaitu dengan melarangnya berpergian jauh (kecuali
dengan suaminya atu mahramnya). Melarangnya berhias (kecuali untuk suaminya)
serta mencegahnya untuk tidak berikhtilat (bercampur baur)dengan lelaki yang bukan
mahram.
4. Suami harus mengajari istri tentang perkara-perkara penting dalam agama atau
memberinya izin untuk menghadiri majelis majelis ta’lim. Karena sesungguhnya
kebutuhan dia untuk memperbaiki agama dan mensucikan jiwanya tidak lebih kecil
dari kebutuhan makan dan minum juga harus diberikan kepadanya. Allah SWT
berfirman :
†ٌ‫س† َ†و† ا† ْل† ِ†ح† َج† ا† َ†ر† ةُ† َع† لَ† ْي† هَ† ا† َم† اَل ئِ† َك† ة‬
†ُ †‫يَ† ا† أَ† ي†ُّ† هَ† ا† ا†ل†َّ ِذ† ي† َ†ن† آ† َم† نُ† و†ا† قُ† و†ا† أَ† ْن† فُ† َس† ُك† ْم† َو† أَ† ْه† لِ† ي† ُك† ْ†م† نَ† ا† ًر† ا† َو† قُ† و† ُد† هَ† ا† ا†ل†ن†َّ ا‬
†‫ص† و† َ†ن† هَّللا َ† َم† ا† أَ† َم† َر† هُ† ْم† َو† يَ† ْف† َع† لُ† و† َ†ن† َم† ا† يُ† ْ†ؤ† َم† ُر† و† َن‬ ُ †‫ِ†غ† اَل ظٌ† ِش† َد† ا† ٌد† اَل يَ† ْع‬
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari
api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-
malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang
diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
5. Suami harus memerintahkan istrinya untuk mendirikan agamanya serta menjaga
shalatnya. Berdasarkan firman Allah subahanahu wala’ala :
‫ك ِر ْزقًا ۖ نَّحْ نُ نَرْ ُزقُكَ ۗ َو ْٱل ٰ َعقِبَةُ لِلتَّ ْق َو ٰى‬
َ ُ‫صلَ ٰو ِة َوٱصْ طَبِرْ َعلَ ْيهَا ۖ اَل نَسْٔـََٔ†ل‬ َ َ‫َو ْأ ُمرْ أَ ْهل‬
َّ ‫ك بِٱل‬

artinya : Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah


kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang
memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang
bertakwa.

9
6. Suami istri, hendaknya saling menumbuhkan suasana mawaddah dan warahmah. (Ar-
Rum: 21).

َ ِ‫ق لَ ُكم ِّم ْن أَنفُ ِس ُك ْم أَ ْز ٰ َوجًا لِّتَ ْس ُكنُ ٓو ۟ا إِلَ ْيهَا َو َج َع َل بَ ْينَ ُكم َّم َو َّدةً َو َرحْ َمةً ۚ إِ َّن فِى ٰ َذل‬
ٍ َ‫ك َل َءا ٰي‬
َ‫ت لِّقَوْ ٍم يَتَفَ َّكرُون‬ َ َ‫َو ِم ْن َءا ٰيَتِ ِٓۦه أَ ْن خَ ل‬

artinya : Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-
isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.

Kewajiban suami terhadap istri :


1. Mahar
Mahar adalah suatu pemberian wajib suami kepada istri. Jumlah maksimal dan
minimal tidak ditentukan oleh syara’ tetapi tergantung dari kemampuan suami dan
kerelaan istri. Diriwayatkan dari Amir Ibn Rabi’ah seorang perempuan dari Bani
Fazarah menikah dengan mahar sepasang sendal. Lalu rasulullah bertanya
“apakah engkau rela dari diri dan hartamu dengan sepasang sandal ?”
Perempuan itu menjawab “ya”. Lalu Rasulullah saw membolehkanya. (HR.
Ahmad Ibn Majah dan Tirmidzi)
2. Nafkah
Menyediakan segala keperluan istri berupa maknan, minuman, pakaian, rumah,
obat-obatan dll.
Allah Azza wa Jalla berfirman :
ٌ ‫ات قَانِت‬
‫َات‬ ُ ‫ فَالصَّالِ َح‬ ۚ ‫ْض َوبِ َما أَ ْنفَقُوا ِم ْن أَ ْم َوالِ ِه ْم‬ َ ‫ض َل هَّللا ُ بَ ْع‬
ٍ ‫ضهُ ْم َعلَ ٰى بَع‬ َّ َ‫ِّجا ُل قَوَّا ُمونَ َعلَى النِّ َسا ِء بِ َما ف‬
َ ‫الر‬
ِ ‫ات لِ ْل َغ ْي‬
ُ ‫ب بِ َما َحفِظَ هَّللا‬ ٌ َ‫َحافِظ‬
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) dan
karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” [An-
Nisa/4:34)
3. Ihsan al’Asyarah
Bergaul dengan istri dengan cara yang sebaik-baiknya. Dengan cara membuatnya
gembira, tidak mencurigai istri, menjaga rasa malu istri, tidak membuka rahasia

10
istri kepada orang lain, memperbolehkanya mengunjungi orangtua dan
keluarganya. Membantu istri apabila ia membutuhkan.

†ِ ‫ إِ َذا َكانَ ِع ْن َد‬ ‫ صلى هللا عليه† وسلم‬ †ِ‫ت لِ َعائِ َشةَ يَا أ ُ َّم ْال ُم ْؤ ِمنِي َ†ْن أي َش ْي ٌء َكانَ يَصْ نَ ُ†ع َرسُوْ ُل هللا‬
‫ك‬ ُ ‫عن عروة قال قُ ْل‬
ُ‫صفُ نَ ْعلَهُ† َويُ ِخ ْيطُ ثَوْ بَهُ َويَرْ فَ ُع د َْل َوه‬
ِ ‫ت َما يَ ْف َع ُل أَ َح ُد ُك ْم فِي ِم ْهنَ ِ†ة أَ ْهلِ ِه يَ ْخ‬
ْ َ‫قَال‬

Urwah berkata kepada Aisyah, “Wahai Ummul Mukminin, apakah yang


dikerjakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika ia bersamamu (di
rumahmu)?”, Aisyah berkata, “Ia melakukan (seperti) apa yang dilakukan oleh
salah seorang dari kalian jika sedang membantu istrinya, ia memperbaiki
sendalnya, menjahit bajunya, dan mengangkat air di ember” (HR Ibnu Hibban).

4. Berlaku adil jika istri lebih dari satu. Dari Abu Hurairah Rasulullah bersabda
“Barang siapa beristri dua,sedangkan ia lebih mementingkan salah seorang dari
keduanya. Maka ia akan datang nantipada hari kiamat. Sedangkan
pinggangnya(rusunya) dalam keadaan bungkuk.”
5. Wajib memberi makan istrinya apa yang ia makan, memberinya pakaian, tidak
memukul wajahnya, tidak menghinanya, dan tidak berpisah ranjang kecuali
dalam rumah sendiri.

6. Wajib selalu memberika pengertian, bimbingan agama kepada istrinya dan


menyuruhnya untuk taat kepada Allah dan Rasulnya.

Kewajiban istri kepada suami :

“seandainya aku memerintahkan seseorang untuk sujud kepada yang lain, maka
tentu aku akan memerintahkan para wanita untuk bersujud kepada suaminya karena
Allah telah menjadikan begitu besarnya hak suami yang menjadi kewajiban istri”
(HR. Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad).

11
C. AKHLAK ORANG TUA TERHADAP ANAK
Menurut Imam Al-Ghazali sebagaimana disebutkan dalam kitabnya berjudul Al-Adab fid Din
(Kairo, Al-Maktabah At-Taufiqiyyah, halaman 444) setidaknya ada lima (5) adab terhadap anak-
anaknya sebagai berikut:

‫ وال يلح عليهم في وقت ضجرهم وال يمنعهم من طاعة‬،‫ وال يكلفهم من البر فوق طاقتهم‬،‫ يعينهم على بره‬:‫أداب الوالد مع أوالده‬
‫ وال يمن عليهم بتربيتهم‬،‫ربهم‬.

Artinya: “Adab orang tua terhadap anak, yakni: membantu mereka berbuat baik kepada orang
tua; tidak memaksa mereka berbuat kebaikan melebihi batas kemampuannya; tidak memaksakan
kehendak kepada mereka di saat susah; tidak menghalangi mereka berbuat taat kepada Allah
SWT; tidak membuat mereka sengsara disebabkan pendidikan yang salah.”

1. Membantu Anak Bersikap Baik Kepadanya


Sikap anak kepada orangtua sangat dipengaruhi sikap orangtua terhadap anaknya,
terlebih lagi anak-anak cenderung meniru perbuatan orangtuanya. Ketika orangtua
berbuat baik kepada anak mereka, sesungguhnya orangtua juga sedang mendidik anak-
anak mereka untuk menjadi anak yang baik pula.
2. Tidak Memaksa Anak-Anak Berbuat Baik Melebihi Batas Kemampuannya
Memahami psikologi anak merupakan hal yang penting bagi orangtua. Tidak bijak jika
orang tua memaksakan kehendaknya terhadap anak mereka. Misalnya terus mendesak
anak agar mendapat peringkat satu di kelas, padahal kemampuannya kurang mendukung.
Biarkan anak-anak menjalani kehidupannya sesuai dengan fase-fase perkembangan
mereka.
3. Tidak Memaksa Anak-Anak Saat Susah
Seperti orang dewasa, anak-anak juga bisa merasakan susah, misalnya saat kehilangan
sesuatu yang menjadi kesayangannya. Pada saat itu seharusnya orangtua dapat
memahami psikologi anak dengan tidak menambahi beban mereka. Justru seharusnya
orangtua menghibur dan membesarkan hati anaknya, bahwa Allah akan mengganti
sesuatu yang hilang dengan sesuatu yang lebih baik.
4. Tidak Menghalangi Anak-Anak untuk Berbuat Taat kepada Allah SWT
Orangtua dilarang menghalangi anak-anak ketika mereka bermaksud melakukan ketaatan
kepada Allah SWT, misalnya, berlatih puasa sunah Senin-Kamis. Tetapi memang
12
orangtua perlu memberi arahan bahwa beberapa orang diperbolehkan tidak berpuasa
misalnya, ketika kondisi anak sedang sakit. Tapi orangtua tetap harus menjelaskan bahwa
puasa Ramadhan memang harus diganti apabila ditinggalkan, sedang puasa sunnah tidak
harus diganti.
5. Tidak Membuat Anak-Anak Sengsara Disebabkan Pendidikan yang Salah
Mendidik anak sebaik-baiknya merupakan salah satu kewajiban terbesar orangtua.
Apabila orangtua tidak cukup membekali anak dengan ilmu dan ketrampilan yang
diperlukan dan malahan memanjakannya, dapat membuat anak sengsara dalam hidupnya.
Anak jadi bodoh dan tidak mandiri dalam banyak hal sehingga tidak bisa menolong
dirinya sendiri apalagi orang lain.

D. AKHLAK ANAK TERHADAP ORANG TUA


Berbakti kepada orang tua memang sudah kewajiban anak yang perlu dilakukan. Beberapa ahli
berpendapat tentang pengertian berbakti, salah satunya menurut pendapat Al-Atsari (2007)
makna berbakti adalah menaati kedua orang tua dengan melakukan semua apa yang mereka
perintahkan selama hal tersebut tidak bermaksiat kapada Allah. Berbakti terhadap orang tua
terdorong oleh ungkapan wong tuo ala-ala malati, yang berarti meskipun orang tua jelek tetapi
bertuah. Anak akan berfikir bahwa akibat yang dapat menimpa dari sikap dan tindakan tidak
berbakti terhadap orang tua adalah kuwalat.

Birrul Walidain adalah, suatu bentuk keharusan yang menjadi kewajiban bersifat Fardhu 'Ain
bagi anak untuk menunjukkan akhlak yang mulia kepada kedua orang tua, menuruti perintahnya
selama masih dalam ta'at yang baik (tidak menyimpang dari ajaran agama Islam), tidak menyia-
nyiakan keberadaanya, mendoakannya, dan tetap melakukan kebaikan kepadanya. Namun jika
keduanya atau salah satunya telah tiada hendaklah seorang anak selalu mendoakannya. Karena
hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Nasa'I, dan Ahmad
berbunyi : “Jika anak Adam meninggal, maka amalannya terputus kecuali dari tiga perkara,
sedekah jariyah atau wakaf, ilmu yang bermanfaat, dan anak soleh yang berdo'a kepadanya”.
(HR Muslim no 1631).

Wajib bagi setiap muslim berbakti kepada kedua orang tuanya dan bergaul dengan sikap yang
baik. Di antara adab bergaul dengan orang tua adalah sebagai berikut:

13
7. Mencintai dan Sayang kepada Kedua Orang Tua
Seorang muslim menyadari bahwa kedua orang tuanya memiliki jasa yang besar
terhadapnya, karena keduanya telah mengerahkan pikiran dan tenaga untuk
menyenangkan anaknya. Oleh karena itu, meskipun seorang muslim telah mengerahkan
segala kemampuannya dalam berbakti kepada kedua orang tuanya, namun tetap saja ia
belum dapat membalasnya.
8. Mentaati Keduanya
Seorang muslim hendaknya menaati perintah kedua orang tuanya, kecuali apabila kedua
orang tua menyuruh berbuat maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam QS. Luqman : 15 sebagai berikut.
َ ‫صا ِح ْبهُ َما فِى ٱل ُّد ْنيَا َم ْعرُوفًا ۖ َوٱتَّبِ ْع َسبِي َل َم ْن أَن‬
َّ َ‫َاب إِل‬
ۚ‫ى‬ َ ‫ك بِِۦه ِع ْل ٌم فَاَل تُ ِط ْعهُ َما ۖ َو‬
َ َ‫ْس ل‬َ ‫ك بِى َما لَي‬ َ ‫ك َعلَ ٰ ٓى أَن تُ ْش ِر‬ َ ‫َوإِن ٰ َجهَدَا‬
َ‫ى َمرْ ِج ُع ُك ْم فَأُنَبِّئُ ُكم بِ َما ُكنتُ ْم تَ ْع َملُون‬ َّ َ‫ثُ َّم إِل‬
Artinya : “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu
yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya,
dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali
kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa
yang telah kamu kerjakan”.
9. Menanggung dan Menafkahi Orang Tua
Hal ini berdasarkan hadits yang berbunyi : Dari Jabir bin Abdillah, bahwa seseorang
berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mempunyai harta dan anak, sedangkan
bapakku ingin menghabiskan hartaku.” Maka Beliau bersabda, “Engkau dan hartamu
adalah milik bapakmu.”(HR. Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani, lihat
Al Irwa‟ (838) dan Ar Raudhun Nadhir (195 dan 603)).
10. Berbuat Baik kepada Keduanya
Seorang muslim berusaha untuk berbuat baik kepada kedua orang tuanya meskipun
keduanya non muslim. Asma' binti Abu Bakar berkata, “Ibuku pernah datang kepadaku
dalam keadaan musyrik di masa Quraisy ketika Beliau mengadakan perjanjian (damai)
dengan mereka, lalu aku meminta fatwa kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
aku berkata, “Wahai Rasulullah, ibuku datang kepadaku karena berharap (bertemu)
denganku. Bolehkah aku sambung (hubungan) dengan ibuku?” Beliau menjawab, “Ya.
Sambunglah (hubungan) dengan ibumu.” (HR. Muslim).
14
11. Menjaga Perasaan Keduanya dan Berusaha Membuat Ridha Orang Tuanya
Seorang muslim juga harus menjauhi ucapan atau tindakan yang menyakitkan hati orang
tuanya meskipun sepele. Allah berfirman dalam QS. Al – Isra : 23 sebagai berikut
‫ك أَاَّل تَ ْعبُد ُٓو ۟ا إِٓاَّل إِيَّاهُ َوبِ ْٱل ٰ َولِ َد ْي ِن إِحْ ٰ َسنًا ۚ إِ َّما يَ ْبلُغ ََّن ِعندَكَ ْٱل ِكبَ َر أَ َح ُدهُ َمٓا أَوْ ِكاَل هُ َما فَاَل تَقُل لَّهُ َمٓا أُفٍّ َواَل تَ ْنهَرْ هُ َما‬
َ ُّ‫ض ٰى َرب‬ َ َ‫َوق‬
‫َوقُل لَّهُ َما قَوْ اًل َك ِري ًما‬
Artinya “Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia
dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau
kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah
kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak
mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”
12. Tidak Memanggil Orang Tua dengan Namanya
Seorang anak hendaknya memanggil orang tuanya tidak dengan namanya. Oleh karena
itu, ia panggil bapaknya “Abi” dan ia panggil ibunya “Ummi”. Abu Hurairah radhiallahu
'anhu pernah melihat ada dua orang, lalu ia bertanya kepada salah satunya tentang
hubungannya dengan yang satu lagi, ia berkata, “Ia adalah bapakku.” Maka Abu Hurairah
berkata, “Janganlah kamu panggil ia dengan namanya, jangan berjalan di depannya dan
jangan duduk sebelumnya”. (Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Al Adabul Mufrad).
13. Tidak Duduk Ketika Keduanya Berdiri dan Tidak Mendahuluinya
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam QS. Al -Israa' ayat 24 sebagai berikut
َ ‫ٱخفِضْ لَهُ َما َجنَا َح ٱل ُّذلِّ ِمنَ ٱلرَّحْ َم ِة َوقُل رَّبِّ ٱرْ َح ْمهُ َما َك َما َربَّيَانِى‬
‫ص ِغيرًا‬ ْ ‫َو‬
Artinya : “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan
dan ucapkanlah, "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka
berdua telah mendidik aku waktu kecil.”
14. Meminta Izin kepada Orang Tua Ketika Hendak Keluar Berjihad
Dari Abdullah bin 'Amr ia berkata, “Seorang laki-laki datang kepada Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam meminta izin untuk berjihad, lalu Beliau bertanya, “Apakah kedua orang
tuamu masih hidup?” Ia menjawab, “Ya.” Beliau bersabda, “Kepada keduanyalah kamu
hendaknya berjihad (bersungguh-sungguh dalam berbakti)”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Hal ini apabila jihadnya fardhu kifayah, tetapi jika jihanya fardhu 'ain seperti musuh
menyerang negerinya, maka tidak disyaratkan meminta izin.
15. Tidak Mengutamakan Istri dan Anak daripada Kedua Orang Tua
15
Hal ini berdasarkan hadits yang menyebutkan tentang tiga orang Bani Israil yang
berjalan-jalan di gurun, lalu mereka terpaksa bermalam di gua. Ketika mereka masuk ke
dalamnya, tiba-tiba ada sebuah batu besar yang jatuh dari atas gunung sehingga menutupi
pintu gua itu, lalu mereka berusaha menyingkirkan batu tersebut, tetapi mereka tidak
bisa, maka akhirnya mereka berdoa kepada Allah dengan menyebutkan amal saleh yang
pernah mereka lakukan. Salah seorang di antara mereka berkata, “Ya Allah, saya
memiliki kedua orang tua yang sudah lanjut usia dan saya biasanya tidak memberi
minuman kepada keluarga dan harta yang saya miliki (seperti budak) sebelum keduanya.
Suatu hari saya pernah pergi jauh untuk mencari sesuatu sehingga saya tidak pulang
kecuali setelah keduanya tidur, maka saya perahkan susu untuk keduanya, namun saya
mendapatkan keduanya telah tidur dan saya tidak suka memberi minum sebelum
keduanya baik itu keluarga maupun harta (yang aku miliki). Aku menunggu, sedangkan
gelas masih berada di tanganku karena menunggu keduanya bangun sehingga terbit fajar.
Keduanya pun bangun lalu meminum susu itu.Ya Allah, jika yang aku lakukan itu karena
mengharapkan wajah-Mu, maka hilangkanlah derita yang menimpa kami karena batu
ini,” yang lain juga menyebutkan amal saleh mereka yang ikhlas yang pernah mereka
lakukan, sehingga batu besar itu pun bergeser dan mereka dapat keluar.
16. Mendoakan Keduanya Baik Mereka Masih Hidup atau Sudah Wafat
Mendoakan kedua orang tuanya, dan itulah akhlak para nabi; mereka berbakti kepada
kedua orang tuanya dan mendoakan kebaikan kepada mereka. Nabi Nuh 'alaihis salam
pernah berdoa untuk orang tuanya sebagaimana disebutkan dalam Al Qur'an surat Nuh
ayat 28 sebagai berikut
ٰ
ِ َ‫ى َولِ َمن َدخَ َل بَ ْيتِ َى ُم ْؤ ِمنًا َولِ ْل ُم ْؤ ِمنِينَ َو ْٱل ُم ْؤ ِم ٰن‬
‫ت َواَل ت َِز ِد ٱلظَّلِ ِمينَ إِاَّل تَبَا ۢ ًرا‬ َّ ‫رَّبِّ ٱ ْغفِرْ لِى َولِ ٰ َولِ َد‬
Artinya : “Ya Tuhanku, ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku
dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan. Dan janganlah
Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim itu selain kebinasaan.”
17. Berbuat Baik kepada Kawan Orang Tua Setelah Orang Tua Telah Wafat
Dari Abdullah bin Dinar dari Abdullah bin Umar, bahwa seseorang dari kalangan Arab
baduwi pernah ditemuinya di jalan menuju Mekah, lalu Abdullah mengucapkan salam
kepadanya dan menaikkannya ke atas keledai yang ditungganginya dan memberikan
sorban yang dipakainya kepadanya. Abdullah bin Dinar berkata: Kami pun berkata,
16
“Semoga Allah memperbaikimu, sesungguhnya mereka adalah orang-orang Arab baduwi,
mereka biasanya puas dengan perkara yang sedikit, lalu Abdullah berkata, “Sesunggunya
bapak orang ini adalah teman Umar bin Khaththab, dan sesungguhnya aku mendengar
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya berbakti yang paling
baik adalah ketika seorang anak menyambung hubungan dengan kawan-kawan
bapaknya.” (HR. Muslim).

E. MEMBANGUN KELUARGA SAKINAH

Mempunyai keluarga sakinah merupakan dan harmonis merupakan keinginan setiap pasangan
yang telah menikah. Akan tetapi untuk mewujudkan hal tersebut bukanlah sesuatu yang
mudah. Apalagi di tengah perkembangan zaman sekarang, jalankan untuk membangun
keluarga sakinah, bisa mempertahankan keutuhan rumah tangga saja sudah merupakan
prestasi yang luar biasa.

Sudah saatnya untuk merenungkan kembali apakah keluarga yang telah dibina saat ini
sesuai dengan apa yang telah Rasulullah ajarkan. Apakah sudah sesuai dengan koridor yang
diinginkan oleh Allah dalam menjalankan kehidupan berumah tangga. Keluarga merupakan
tempat awal untuk membentuk kepribadian seseorang, oleh karena itulah Islam mengajarkan
kepada umatnya agar menjadikan keluarga sebagai tempat yang nyaman, bahagia, serta penuh
dengan nilai Islam.

Al Quran dan Hadist merupakan pedoman utama dalam membentuk dan membina
keluarga sakinah termasuk dalam mengatasi setiap masalah yang ada. Berdasarkan sebuah
hadist setidaknya ada 5 pilar utama dalam mewujudkan keluarga sakinah.

 Menerapkan Islam dalam membina Agama


 Saling menghormati dan menyayangi
 Sederhana dalam berbelanja
 Santun dalam bergaul
 Selalu instropeksi diri

17
Agar terwujud keluarga yang sakinah, tentunya ada beberapa hal yang harus kita ditanamkan
dalam berumah tangga, berikut ini merupakan cara untuk membangun sebuah keluarga sakinah

1. Memilih Pasangan yang Tepat

Dalam membina sebuah hubungan memiliki pasangan yang tepat sangatlah penting.
Ikutilah apa yang telah Islam ajarkan dalam memilih pasangan seperti yang apa yang
diperintahkan dalam hadist yang artinya

“Wanita biasanya dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena kedudukannya,
karena parasnya dan karena agamanya. Maka hendaklah kamu pilih wanita yang bagus
agamanya (keislamannya). Kalau tidak demikian, niscaya kamu akan merugi.” (HR.
Bukhari-Muslim)

Dalam hadist tersebut hendaknya dalam memilih pasangan berdasarkan kualitas


agamanya bukan karena kecantikan, harta atau keturunan.

2. Menumbuhkan ‘Mawaddah’ dalam Keluarga

Keluarga yang baik tentu keluarga yang dipenuhi dengan cinta kasih kepada
pasangannya. Dengan menumbuhkan rasa kasih antar anggota keluarga akan menciptakan
kondisi nyaman di dalam keluarga tersebut. Oleh karena itu cinta yang ditumbuhkan
hendaknya cinta kepada Allah dan Rasulullah, sehingga cinta yang akan bersemi di dalam
keluarga benar-benar cinta yang murni bukan karena nafsu semata.

3. Saling Mengerti Antar Pasangan

Sudah menjadi fitranya bahwa antara laki-laki dan perempuan memiliki sifat dan pola
berfikir yang berbeda. Oleh karena itu dalam membangun sebuah keluarga maka diperlukan
sebuah sifat saling memahami. Dengan memahami pola pikir serta kepribadian pasangan
akan memudahkan dalam menjalin komunikasi serta tindakan-tindakan yang akan dilakukan
dalam membina sebuah rumah tangga.
18
4. Bisa saling Menerima Kekurangan dan Kelebihan Pasangan

DI dunia ini tentu tidak ada yang sempurna, termasuk dengan manusia. Ketika sudah
berkomitmen membangun sebuah keluarga maka harus sudah siap menerima segala
kekurangan dan kelebihan pasangan. Saling melengkapi antar pasangan akan menciptakan
sebuah keluarga yang harmonis.

5. Saling Percaya dengan Pasangan

Kepercayaan merupakan hal yang sangat penting dalam sebuah keluarga. Karena
dengan percaya pada pasangan akan menciptakan perasaan tenang. Untuk memupuk rasa
saling percaya tentu dibutuhkan sifat saling terbuka di dalam keluarga. Sehingga tidak ada
hal yang disembunyikan dari pasangan. Dengan begitu akan tumbuh sifat saling percaya.

F. LARANGAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Di dalam Syari`at Islam hak dan kewajiban suami isteri telah diatur dengan baik dan
relatif lengkap. Jumlah ayat yang mengatur hidup kerumah-tanggaan adalah yang terbanyak
sesudah ayat yang mengatur masalah keibadahan. Namun begitu hidup dalam rumah tangga
bukan sekedar hak dan kewajiban, tetapi sangat tergantung kepada kasih sayang, pengorbanan
saling memberi dan menerima, yang terkait dengan unsur sopan santun, kebiasaan dan adat
istiadat serta budaya secara umum. Ada kasih sayang dan cumbu rayu, ada pengabdian dan
pengorbanan, di samping ada tanggung jawab dan kesetiaan. Semua ini berjalin berkelindan
sehingga menjadi komplek bahkan sangat kompleks di dalam hidup keseharian.

Banyak tuntutan suami atau isteri kepada pasangannya yang sebetulnya bukan kewajiban
atau tugas; tetapi hanya sekedar ”kemanjaan, bagian dari cumbu rayu serta pengabdian”.
Keadaan menjadi rumit ketika kemanjaan atau pengabdian dicampuradukkan dengan kewajiban,
tugas atau tanggung jawab, apalagi ketika ada pihak yang ingin mendominasi dan ingin menang
sendiri tanpa memikirkan kesulitan dan penderitaan pasangannya.

19
Kembali kepada masalah kekerasan dalam rumah tangga, di Indonesia sekarang sudah
ada berbagai ketentuan yang secara langsung atau tidak berupaya atau berkaitan dengan upaya
mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT),  antara lain UU tentang
Perkawinan No 1/74, UU tentang Kesejahteraan Anak No 4/79, UU tentang  Pengesahan
Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita, No. 7/84, UU
tentang Peradilan Anak No. 3/97 dan UU tentang Perlindungan Anak No 23/02.  Yang berkaitan
langsung dengan masalah ini adalah UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga (KDRT). Selain undang-undang ini,  masih ada berbagai peraturan lain
yang lebih rendah dari undang-undang seperti Kompilasi Hukum Islam (KHI), INPRES No 1/91.

Di dalam peraturan-peraruran ini sudah ditentukan tuntunan dan ketentuan mengenai


sesuatu yang harus dikerjakan dan sesuatu yang tidak boleh dikerjakan dalam interaksi antar
anggota di dalam keluarga, serta sanksi dan akibat yang akan diterima apabila aturan tersebut
tidak diikuti. Dalam UU No 23/04, Pasal 1 angka 1, KDRT didefinisikan dengan “setiap
perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan
atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga
termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan
secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.”

Lingkup rumah tangga, dalam Pasal 2 ayat (1) dijelaskan meliputi: suami, isteri dan anak.

 orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud


pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan
perwalian, yang menetap dalam rumah tangga dan/atau
 orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.

Dalam ayat (2) disebutkan bahwa “orang yang bekerja sebagaimana dimaksud huruf c
dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga
yang bersangkutan.”

Sedangkan bentuk kekerasan yang dilarang, dijelaskan dalam Pasal 5 sampai dengan
Pasal 9 sebagai berikut:

20
 Kekerasan fisik yaitu, “perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka
berat.” (Pasal 6);
 Kekerasan psikis yaitu: “perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa
percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau
penderitaan psikis berat pada seseorang.” (Pasal 7);

 Kekerasan seksual  yaitu: “(a) pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap
orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut. (b) pemaksaan hubungan
seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangga dengan orang lain untuk
tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.” (Pasal 8);

 Penelantaran rumah tangga; istilah ini tidak didifinisikan seperti tiga istilah sebelumnya,
tetapi diberi penjelasan: “(1) Setiap orang dilarang mene-lantarkan orang dalam lingkup
rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan
atau pejanjian dia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada
orang tersebut. (2) Penelantaran sebagaimana dimaksud ayat (1) juga berlaku bagi setiap
orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau
melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehinga korban berada di
bawah kendali orang tersebut       (Pasal 9).

Dalam Pasal 11 disebutkan bahwa “Pemerintah bertanggung jawab dalam upaya


pencegahan kekerasan dalam rumah tangga.” Tugas Pemerintah ini dijelaskan di dalam Pasal
12 ayat (1) yang berbunyi: Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
11, Pemerintah bertugas:

 merumuskan kebijakan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga;


 menyelenggarakan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang kekerasan dalam rumah
tangga;

 menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi tentang kekerasan dalam rumah tangga;

21
 menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitif gender dan isu  kekerasan dalam
rumah tangga serta menetapkan standar dan akreditasi pelayananan yang sensitif gender;

Sedang dalam ayat (2) disebutkan bahwa “Ketentuan sebagaimaan dimaksud pada ayat
(1) dilaksanakan oleh Menteri.”. Dalam ayat (3) disebutkan bahwa: “Menteri dapat melakukan
koordinasi dengan instansi terkait dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2).”

Meskipun aturan-aturan di atas sudah cukup banyak dan bahkan ada yang sudah tumpang
tindih dan bahkan tidak sejalan. Namun tetap saja ada celah yang belum terisisekiranya kita ingin
menyampaikan kritik. Misalnya saja ada beberapa hal yang seharusnya diberi sanksi pidana
tetapi di dalam peraturan di atas tidak diberi sanksi pidana atau tidak jelas kedudukannya.
Misalnya saja orang yang menikah sebelum memenuhi syarat (masih di bawah umur), atau pihak
yang menikahkan orang lain secara tidak berwenang (orang yang tidak berhak tetapi mengangkat
dirinya menjadi wali). Perbuatan ini sampai sekarang belum dianggap sebagai perbuatan pidana,
sedang di dalam kenyataan sangat sering manyebabkan orang lain melakukan kekerasan atau
menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Ada juga perbuatan yang tidak jelas sekali
apakah termasuk KDRT atau bukan. Misalnya saja keengganan memberi nafkah, apakah
termasuk ke dalam lingkup perbuatan pidana “penelantaran rumah tangga” atau tidak termasuk.
Karena seperti disinggung di atas, masalah penelantaran rumah tangga yang kuat dugaan cukup
sering terjadi, di dalam UU KDRT tidak didifinisikan dengan jelas, sehingga terasa mengambang
dan kurang menggigit. Di pihak lain pencegahan KDRT belum terlaksana secara maksimal
karena peraturan pelaksanaan dan lembaga/perangkat yang bertugas melaksanakannya yang
disuruh bentuk oleh undang-undang belum semuanya dibentuk. Kadang-kadang aparat pelaksana
yang sudah ada pun tidak bekerja secara maksimal untuk mencegah terjadinya KDRT.

22
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

23
DAFTAR PUSTAKA
1. Nufus, Fika Pijaki, dkk. 2017. Konsep Pendidikan Birrul Walidain dalam QS. Luqman
(31): 14 dan QS Al Isra (17): 23-24. Bogor: Fakultas Agama Islam Universitas Ibn Khaldun
2. Rahmadhani, Ayu Gita, "Begini Adab Orang Tua Terhadap Anak", diakses dari
https://www.google.com/amp/s/muslim.okezone.com/amp/2019/07/22/614/2082040/begini-
adab-orangtua-terhadap-anak, pada tanggal 29 April 2020 pukul 09.41 WIB

3. https://prezi.com/ww9xb52_p2mz/akhlak-suami-istri/
4. https://muslim.or.id/39376-sunnah-membantu-istri-di-rumah.html

24

Anda mungkin juga menyukai