Anda di halaman 1dari 5

Karyaku di Lautan Ihwal

Tahun 2020, bukankah itu tahun yang cantik dan banyak orang berharap
agar ditahun ini kita bisa memulai hal baru. Ya, termasuk Pandemi Corona yang
membuatku kesal. Tapi mungkin aku bersyukur karena itu.

Biarkan aku memperkenalkan diri. Namaku Jannah, kampungan tapi aku


tak peduli. Aku tinggal di sebuah desa yang terpencil di Sleman. bapakku bekerja
di pabrik kain dekat rumahku. Ibuku? Dia sudah kembali kepada Penciptanya.

Kalau kalian ingin tau apakah aku mengenyam pendidikan di bangku


sekolah yang banyak orang menganggapnya membosankan. Jawabannya adalah
tidak. Hey, bapakku hanya buruh pabrik dan aku hanya seorang perempuan umur
16 tahun.

Aku akan melanjutkan cerita tentangku. Beberapa hari ini aku banyak
berpikir tentang masa depanku. Bagaimana mungkin tidak, kerjaku hanya tidur
dan makan. Sedangkan bapakku di luar sana bekerja keras agar aku bisa tidur dan
makan dengan tenang. Ah, bodohnya aku.

Kini aku sedang merebahkan diriku di selembar tikar mendong yang


biasanya ibuku gunakan untuk duduk ketika melipat baju. Ah aku kangen dengan
ibu. Aku tidak tau kenapa ujianku seberat ini, terlahir miskin, ibuku pergi
mendahuluiku, dan aku yang tak punya bakat apa pun.

Aku menolehkan pandanganku ke arah meja belajarku yang sudah mulai


reyot karena dimakan rayap. Setelah menghembuskan napas aku langsung bangun
dan melangkah ke arah meja coklat tua itu. Meja yang penuh kertas-kertas dengan
coretan tanganku.

Kata ibu, tulisanku bagus pasti aku pandai menggambar. Aku setengah
tidak percaya ketika ibuku mengatakannya, tapi aku mengangguk saja. Hari ini
aku menyesal ketika menyadari tidak ada lagi yang memujiku dengan tulus
sepertinya.
Aku membalikkan kertas bergambar pemandangan itu dengan berantakan.
Namun tanganku berhenti ketika menemukan satu kertas bergambar wajah yang
tersenyum dengan tulus. Tanpa sadar bibirku ikut tersenyum. Di pojok kanan
bawah tertulis, My Everything dan di sampingnya tertulis angka satu. Menandakan
dia adalah orang kesatu yang paling aku utamakan. Dia adalah ibuku.

Sekian lama menatap senyum itu, air mataku mengalir tanpa permisi. Aku
menumpukan telapak tangan ke meja lalu menangis. Ya Tuhan aku merindukan
pelukan dan senyuman hangatnya. Aku putus asa. Rasanya dunia ini tak adil
padaku.

Namun, dengan segera aku mengusap pipiku lalu pergi ke kamar mandi
untuk mencuci mukaku. Aku bersandar pada tembok kamar mandi dan mataku
terpejam. Beberapa saat aku keluar dari kamar mandi lalu memutuskan untuk
pergi ke rumah tetanggaku.

.....

"Assalamualaikum, San." Kataku sambil mengetuk pintu rumah Sani,


teman akrabku yang tinggal beberapa langkah dari rumahku. Kudengar langkah
terburu-buru setelah aku mengucap salam. Beberapa detik kemudian, temanku ini
akhirnya muncul.

"Waalaikumussalam. Wahh, Jannah." Sani tertawa lalu mempersilakanku


masuk ke dalam rumah besarnya. Jujur, Sani memang orang yang bisa dibilang
anak orang berkecukupan. Rumahnya besar dan dia bersekolah. Ayahnya seorang
nakhoda kapal dan ibunya seorang guru. Ah, enaknya, aku iri.

Aku beranjak duduk di sofa dan Sani buru-buru ke dapur. Beberapa menit
kemudian, Sani kembali dengan dua gelas berisi teh manis.

"Nih, diminum." Kata Sani sambil meletakkan nampan di meja depanku.

Aku mengangguk sambil berucap terima kasih. Sani tersenyum lalu duduk
di sebelahku.
Dengan raut bahagia, Sani memegang tanganku.

"Mana-mana?" Sani mengulurkan tangannya ke arahku yang membuat aku


menarik napas sabar.

Aku beranjak mengeluarkan secarik kertas terlipat dari sakuku lalu


memberikannya kepada Sani. Sani buru-buru membuka lipatan kertas itu. Semoga
dia suka dengan coretan tanganku yang ia minta.

"Ini bagus banget sumpah. Aaww, makasih." Kata Sani sambil


memelukku.

"Iya sama-sama."

"Bentar, Jan." Sani berlari ke arah kamarnya yang membuatku terheran.

Setelah ia kembali aku sadar ternyata dia mengambil HP-nya. Aku


mengerutkan dahi ketika ia meletakkan secarik kertas itu di meja lalu
merekamnya sambil berbicara tidak jelas.

"Hai guys. Jadi kemarin gue minta temen gue buat gambarin bias gue.
Dannnn taraaaa. Hasilnya bagus banget kan? Gila."

"Ini orangnyaaa..." Aku terkejut ketika kamera HP-nya mengarah ke


wajahku. Sani tertawa ketika melihat ekspresiku. Seketika aku memalingkan
wajahku karena malu.

Akhirnya Sani berhenti lalu kembali duduk di sebelahku. Ia mengutak-atik


HP-nya yang membuatku heran.

"Kamu ngapain sih tadi?"

"Hm?" Sani menoleh lalu menunjukkan HP-nya. Aku bingung sehingga


aku hanya mengerutkan dahiku meminta penjelasan.

"Ini Tik-tok. Ah, kamu mah. Biasanya orang-orang sekarang pakai itu buat
tau kegiatan kita. Siapa tau gambar kamu rame." Sani berucap sebal sambil
melihatku.
Setengah tidak percaya, aku bertanya kembali kepada Sani. Namun, baru
saja ingin bertanya, Sani memotong ucapanku.

"San-"

"WAH, JAN. ADA YANG KOMEN." Ucap Sani sambil memukul-mukul


pahaku. Aku menepis tangannya ketika pahaku mulai panas karena pukulannya.

"Apa?"

"Aaaaa. Dia pengen kamu gambar lagi. Kali ini dia pengen kamu gambar
idol K-Pop. Kamu tau K-Pop?"

Aku menggeleng mendengar pertanyaannya. Sani buru-buru mengutak-


atik HP-nya lalu menunjukkan foto seseorang berkulit putih dan jujur saja dia
tampan.

"Kamu bisa kan? Bisalah." Aku berdecak ketika ia menjawab


pertanyaannya sendiri.

"Insyaallah bisa." Sani langsung tersenyum senang.

"Besok ke rumahku lagi ya, Jan." Sani menepuk pundakku.

"Untuk apa?"

"Ya buat gambar dong. Kamu kan ga tau mukanya kaya mana. Terus biar
aku videokan kamu pas gambar juga." Sekali lagi aku menghembuskan napas
panjang lalu mengangguk setuju.

....

Esoknya aku kembali ke rumah Sani sambil membawa kertas dan pensil.
Singkatnya aku kembali menggambar dengan meniru foto asli seorang artis.

Sani di sampingku merekamku dan aku mulai menggambar. Tidak butuh


waktu lama untukku menyelesaikannya. Tiga jam cukup untuk menggambar
sketsa wajah ditambah arsiran bayangan juga. Aku tersenyum bangga ketika
melihat gambaranku sendiri.
Sementara aku beristirahat, Sani mulai mengedit videonya.

Satu jam setelahnya, Sani menggoyangkan tanganku.

"Kamu berhasil lagi. Videonya viral astaga. Hampir 700 ribu orang liat."
Kata Sani sambil menunjukkan HP-nya.

Aku tersenyum bahagia ke arahnya.

Yah, akhirnya setelah itu kami makin naik. Dan karena video-video kami
yang viral itu. Banyak pemilik merek dagang yang meminta kami untuk
mengiklankan produknya.

Alhamdulillah, kini aku sedikit demi sedikit bisa membantu bapak dengan
cara menabung. Dan akhirnya kini aku bisa sekolah. Aku benar-benar tidak
menyangka hal seperti ini. Sani sangat membantuku, aku sangat bersyukur
memiliki sahabat seperti dirinya.

Pak, akhirnya aku bisa membantumu meskipun tak seberapa.

Buk, terima kasih telah membuatku bangkit dengan kata-kata semangat


darimu.

Untuk Sani, terima kasih juga telah ada ketika aku susah dan ketika aku
terpuruk.

Anda mungkin juga menyukai