Anda di halaman 1dari 27

1

OPTIMASI PENGELOLAAN LAHAN KERING


DALAM RANGKA
PEMBANGUNAN DAERAH DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

Oleh:
Prof DR Ir Soemarno MS
Dosen Jurusan Tanah, FAPERTA UNIBRAW

I. PENDAHULUAN

Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari upaya pembangunan


secara nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat Indonesia yang damai,
demokratis, berkeadilan, berdaya saing, maju dan sejahtera dalam wadah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Visi dalam pembangunan daerah adalah "pembangunan daerah untuk
pemberdayaan masyarakat". Untuk itu misi yang akan dijalankan adalah dengan
meningkatkan kapasitas pemerintahan daerah yang dapat mengembangkan
kemampuan masyarakat untuk memperoleh dan memanfaatkan sumberdaya yang
tersedia baik yanq berasal dari pelayanan pemerintah, kapasitas sosial-ekonorni
masya-rakat, serta sumberdaya lain yang ada di daerah.
Pembangunan daerah merupakan upaya terpadu yang meng-gabungkan
dimensi kebijakan pengembangan masyarakat, perwujudan pemerintahan yang
baik, integrasi ekonomi antar wilayah dan keterkaitan ekonomi global, pelayanan
regional dan lokal, pengelolaan pertanahan dan tataruang, termasuk pemanfaatan
sumberdaya alam, serta penanganan secara khusus daerah-daerah yang
mempunyai masalah sosial, ekonomi dan politik yang serius.
Dalam rangka pengembangan masyarakat, arah pendekatan kebijakan
adalah dengan melakukan pemberdayaan masyarakat un-tuk mendapatkan hak
ekonomi, sosial dan politik dan melakukan upaya khusus melalui pembangunan
perdesaan yang mayoritas penduduknya dalam kondisi miskin dan kondisi sosial-
ekonomi perdesaan yang kurang berkembang. Kebijakan perwujudan
pemerintahan yang baik diarahkan kepada peningkatan otonomi daerah untuk
dapat melak-sanakan fungsi pemerintahan dan pelayanan masyarakat secara
langsung, sedangkan aspek integrasi ekonomi wilayah dan ekonomi global
diarahkan untuk mengembangkan kapasitas ekonomi daerah dan pengembangan
wilayah yang ditujukan bagi peningkatan kesem-patan kerja dan pendapatan
masyarakat.
Dalam rangka pengembangan masyarakat dan kapasitas ekonomi daerah
diperlukan, peningkatan pelayanan regional dan lokal yang diarahkaii untuk
meningkatkan fungsi pelayanan perkotaan dan pengembangan kawasan
permukiman sebagai wadah kehidupan dan kegiatan sosial-ekonomi masyarakat.
Dalam hubungan ini instrumen pengelolaan sumberdaya lahan dan penaytaan
ruang diarahkan untuk dapat memberikan dukungan pengaturan dan landasan
2

hukum dalam mengembangkan kegiatan sosial-ekonomi dan memanfaatkan


sumberdaya alam secara tertib, adil, dan berkelanjutan.

II. PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAN PEMBANGUNAN DAEREAH


PERDESAAN

Aspirasi masyarakat mengisyaratkan perlunya mempercepat pembangunan


perdesaan dalam rangka pemberdayaan masyarakat terutama petani dan nelayan
melalui penyediaan prasarana, pemba-ngunan sistem agribisnis, industri kecil dan
kerajinan rakyat, pengem-bangan kelembagaan, penguasaan teknologi, dan
pemanfaatan sum-berdaya alam.
Dalam upaya pemberdayaan masyarakat tersebut, sangat mutlak.
ditingkatkan penciptaan kondisi yang dapat mendorong kemampuan masyarakat
untuk memperoleh dan memanfaatkan hak-hak ekonomi. sosial, dan politik dalam
rangka peningkatan kesejah-teraan dan kemandirian masyarakat

2.1. Pemberdayaan Masyarakat

a. Permasalahan

Permasalahan pemberdayaan masyarakat ditinjau dari aspek ekonomi


adalah:
(1) kurang berkembangnya sistem kelembagaan ekonomi untuk
memberikan kesempatan bagi masyarakat khu-susnya masyarakat kecil
dalam mengembangkan kegiatan usaha ekonomi kompetitif.
(2) kurangnya penciptaan akses masyarakat ke input sum-berdaya
ekonomi berupa kapital, lokasi berusaha. lahan usaha, informasi pasar,
dan teknologi produksi, dan
(3) lemahnya kemampuan masyarakat kecil untuk mem-bangun organisasi
ekonomi masyarakat yang dapat meningkatkan posisi tawar dan daya
saingnya.

Ditinjau dari aspek sosial, permasalahan dalam pemberdayaan masyarakat


adalah:
(1) kurangnya upaya yang dapat mengurangi pengaruh lingkungan sosial-
budaya yang mengungkung masyarakat kepada kondisi kemiskinan
struktural,
(2) kurang akses masyarakat untuk memperoleh peningkatan pengetahuan
dan ketrampilan termasuk informasi.
(3) kurang berkembangnya kelembagaan masyarakat dan or-ganisasi
sosial yang, dapat menjadi sarana interaksi sosial,
(4) belum mantapnya kelembagaan yang dapat memberikan ketahanan
dan perlindurigan bagi masyarakat yang terkena musibah akibat situasi
ekonomi di luar kekuatannya atau mengalami kecacatan, terlantar, fakir
3

miskin. atau menjadi korban kejahatan atau kerusuhan sosial, dan


(5) belum berkembangnya kelembagaan yang mampu mem-promosikan
asas kemanusiaan, keadilan, persamaan hak, dan perlindungan bagi
masyarakat rentan, dll-nya.

b. Tantangan

Tantangan utama dalam upaya pemberdayaan masyarakat adalah


bagaimana membangun kelembagaan sosial-ekonomi yang mampu memberikan
kesempatan bagi masyarakat untuk mendapat lapangan kerja dan pendapatan
yang layak, martabat dan eksistensi pribadi, kebebasan menyampaikan pendapat,
berkelompok dan berorganisasi, dan berpartisipasi dalam proses pengambilan
keputusan publik. Dalam hal ini perlu upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat
merupakan prasyarat pada tahap pemberdayaan politik masyarakat.
Secara khusus untuk mengangkat masalah pemberdayaan ekonomi
masyarakat tantangan yang dihadapi adalah bagaimana memperbaiki iklim
ekonomi makro dan kegiatan ekonomi riil yang kondusif yang dapat menjamin
kegiatan usaha ekonomi masyarakat lebih kompetitif dan menguntungkan. Hal ini
erat dengan upaya untuk memberikan akses masyarakat ke input sumberdaya
ekonomi, pe-ngembangan organisasi ekonomi yang dikuasai oleh pelaku ekonomi
kecil, dan meningkatkan bantuan fasilitas bantuan teknis dan per-lindungan bagi
usaha masyarakat kecil.
Tantangan dalam upaya pemberdayaan sosial masyarakat adalah
bagaimana meningkatkan kepedulian masyarakat luas dan pemihakan kepada
masyarakat yang lemah posisinya untuk me-ningkatkan pengetahuan dan
ketrampilan, dan meningkatkan upaya khusus untuk meningkatkan perlindungan
sosial bagi masyarakat yang mengalami kecacatan, terkena musibah atau menjadi
korban situasi ekonomi, sosial, dan kejahatan yang diluar kekuatannya. Hal ini
memerlukan adanya kelembagaan perlindungan sosial bagi masyarakat baik yang
dapat dilakukan oleh pemerintah, masyarakat sendiri, dan dunia usaha.

c. Strategi Kebijakan

Dengan melihat permasalahan dan tantangan yang ada dalam rangka


pemberdayaan masyarakat, strategi kebijakan yang diambil adalah:
1 . Membangun kelembagaan sosial masyarakat yang dapat memfasilitasi
masyarakat untuk memperoleh dan meman-faatkan sumberdaya yang
berasal dari pemerintah dan dari masyarakat sendiri untuk meningkatkan
kesejahteraan so-sial, martabat dan keberadaan, maupun memfasilitasi
par-tisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan publik.
2. Mengembangkan kapasitas organisasi ekonomi masyarakat untuk dapat
mengelola kegiatan usaha ekonomi secara kompetitif dan
menguntungkan yang dapat memberikan lapangan kerja dan pendapatan
yang layak.
3. Meningkatkan upaya perlindungan bagi masyarakat miskin dengan
4

menciptakan iklim ekonomi makro, pengembangan sektor ekonomi riil,


dan memberikan jaminan sosial kepada masyarakat miskin termasuk bagi
masyarakat yang terkena musibah atau menjadi korban akibat situasi
ekonomi, sosial, dan kejahatan yang diluar kekuatannya.
4. Mengembangkan lembaga keswadayaan untuk mem-bangun solidaritas
dan ketahanan sosial masyarakat.

2.2. Pembangunan DAERAH Perdesaan

a. Permasalahan
Dari segi kondisi rumah tangga di perdesaan, masalah yang penting adalah
(1) banyaknya penduduk perdesaan yang kurang memiliki pengetahuan
dan keterampilan dasar masyarakat dalam pengelolaan usaha
pertanian,
(2) banyaknya keluarga yang meng-gantungkan pada ciri pertanian
subsisten,
(3) banyaknya keluarga yang memiliki lahan marjinal atau luas lahan
usaha yang makin menyempit, dan
(4) adanya kungkungan budaya yang menyebabkan kondisi kemskinan
struktural

Permasalahan dalam struktur ekonomi perdesaan yang mempengaruhi


kegiatan usaha masyarakat secara umum adalah:
(1) lemahnya akses bagi petani dan nelayan terhadap input produksi yang
murah dan jaminan pemasaran hasil produksi yang lebih pasti dan
harga yang sepadan,
(2) semakin tidak seimbangnya nilai tukar produk pertanian dengan
produk non pertanian yang menurunkan kemampuan memperoleh
pendapatan yang wajar, dan ditambah dengan sangat labilnya
fluktuasi harga komoditas pertanian di pasaran dalam negeri dan luar
negeri, dan
(3) semakin tidak tersedianya tenaga kerja yang produktif karena
lapangan usaha berbasis pertanian yang tidak kompetitif.

Masalah lain dikaitkan dengan pemanfaatan potensi sumber daya alam


termasuk lahan adalah
(1) pengalihan penguasaan tanah pertanian oleh masyarakat bukan
penggarap atau masyarakat kota khususnya di pulau Jawa,
(2) produktivitas lahan yang rendah akibat keterbatasan tenaga kerja
untuk pengolahan lahan khususnva di luar Jawa, menurunnya
kapasitas daya dukung lingkungan khususnya sumberdaya air di
beberapa daerah atau kondisi dasar iklim dan tanah yang kering.
(3) terbatasnya ketersediaan prasarana dan sarana untuk mengembangkan
kegiatan produksi dan akses pemasaran,
5

(4) terbatasnya sarana pelayanan pendidikan dan kesehatan.

Permasalahan yang terkait dengan kelembagaan masyarakat perdesaan


adalah
(1) belum memadainya kemampuan lembaga-lembaga atau organisasi
ekonomi di masyarakat perdesaan untuk mengem-bangkan cara kerja
secara modern disertai dengan peng-gunaan teknologi yang tepat dan
untuk berinteraksi dengan organisasi jaringan kerja produksi dan
pemasaran untuk merebut nilai tambah yang ada,
(2) adanya intervensi pemerintah dalam berbagai aspek kehidupan
masyarakat perdesaan yang menyebabkan melemahnya atau
memudarnya fungsi lembaga masyarakat setempat yang sebenarnya
lebih akomodatif menampung budaya masyarakat dan lebih sesuai
dengan daya adaptasi masyarakat perdesaan dalam mengatasi
masalah setempat.

b. Tantangan
Tantangan pokok dalam percepatan pembangunan perdesaan adalah
bagaimana mengembangkan sistem usaha pertanian untuk dapat mendorong
percepatan perubahan struktur kegiatan ekonomi dari yang bercorak subsisten,
tradisional, agraris menuju pada struktur kegiatan ekonomi yang bercorak modern
atau sektor agribisnis. Hal di atas memberikan implikasi bagi pengembangan mata
rantai kegiatan usaha pertanian hulu, usaha pertanian primer, usaha pertanian hilir,
dan usaha jasa layanan pendukung. Dalam konteks ini tantangan yang penting
adalah bagaimana masyarakat perdesaan dapat terlibat masuk dalam mata-rantai
kegiatan agribisnis yang dikuasai oleh masyarakat desa dan dengan dukungan
pihak pelaku ekonomi lainnya.
Sehubungan dengan hal di atas maka prasarat dasar adalah (1)
meningkatkan pengembangan sumberdava manusia masyarakat di perdesaan
dalam hal keterampilan para petani dan nelayan untuk mengolah produk primer
dengan skala produksi yang efisien bagi pemenuhan permintaan pasar, (2)
pengembangan kapasitas organisasi yang dapat mengelola input produksi,
pemanfaatan lahan usaha dengan luasan yang memadai secara kolektif, (3)
pengembangan sistem jaringan kerja produksi dan pemasaran yang terpadu
disertai dengan keleluasaan masyarakat dalam memilih komoditas pertanian
kebutuhan pasar, (4) adanya jaminan pemasaran yang terkelola oleh masyarakat
sesuai dengan dukungan kemitraan dari pelaku ekonomi lainnya.

Sedangkan tantangan dalam pemanfaatan sumberdaya alam bagi


masyarakat perdesaan adalah bagaimana peningkatan kapasitas masyarakat
dalam pengelolaan Iahan dan air untuk meningkatkan produktivitas dan kelestarian
sumberdaya lahan dan air untuk menopang kehidupan sosial-ekonomi masyarakat
perdesaan.

c. Strategi Kebijakan
6

Strategi kebijakan yang diambil dalam pembangunan per-desaan diarahkan


untuk:
1. Mengembangkan kelembagaan yang dapat mempercepat proses
modernisasi perekonomian masyarakat perdesaan melalui pengem-
bangan agribisnis dengan menfokuskan kepada pengembangan
organisasi bisnis khususnya petani dan nelayan termasuk jaringan kerja
produksi dan jaminan pemasaran yang terlembaga dan dikuasai
kelompok masyarakat dengan dukungan pelaku ekonomi lainnya
secara
2. Meningkatkan investasi dalam pengembangan sumber-daya manusia
yang dapat mendorong produktivitas, ke-wiraswastaan dan ketahanan
sosial masyarakat per-desaan untuk mengembangkan kehidupan
ekonomi-sosial masyarakat. Meningkatkan ketersediaan pelayanan
pra-sarana dan sarana perdesaan untuk mendukung proses produksi,
pengolahan. dan pemasaran, serta pelayanan sosial masyarakat.
4. Meningkatkan kapasitas masyarakat dalam pengelolaan pemanfaatan
dan peningkatan maupun pelestarian sumber daya alam dan
lingkungan hodup untuk menopang kehi-dupan sosioal ekonomi
masyarakat perdesaan secara berkelanjutan.
5. Meningkatkan kemampuan organisasi pemerintah dan Iembaga
masyarakat perdesaan untuk dapat mendukung pengembangan
agribisnis di perdesaan, pemberdayaan petani dan nelayan, serta
pelayanan sosial dan perlin-dungan hak-hak masyarakat.

d. Program Pembangunan Perdesaan


Berdasarkan strategi kebijakan di atas maka akan dilaksa-nakan berbagai
program yang akan dilaksanakan secara terpadu yang ditujukan kepada
masyarakat perdesaan khususnya petani dan nelayan melalui pendekatan program
pembangunan perdesaan secara terpadu dan dukungan program-program lain
dan terkait dengan upaya untuk pemberdayaan masyarakat.
Pemanfaatan Iahan dan air di perdesaan yang mendukung kehidupan
masyarakat. Sasaran program ini adalah meningkatnya ke-mampuan daya dukung
Iahan dan air di sekitar permukiman pedesaan
Kegiatan yang dilakukan adalah dengan (1) memberikan informasi dan
pemassyarakatan masalah pengelolaan Iahan dan air kepada masyarakat. (2)
pengembangan kemampuan organisasi ma-syarakat dalam pengelolaan lahan dan
air dan pelestarian lingkungan hidup, (3) pengembangan sistem pemantauan oleh
masyarakat dalam pelestarian sumber-daya lahan dan air.

III. VISI PEMBANGUNAN PERTANIAN MASA DEPAN

Krisis ekonomi yang terjadi saat ini merupakan akibat dari masalah
fundamental dan keadaan khusus (shock). Masalah fundamental adalah
tantangan internal berupa kesenjangan yang ditandai adanya pengangguran
dan kemiskinan. Tantangan eksternal adalah upaya meningkatkan daya saing
7

menghadapi era perdagangan bebas. Sedangkan keadaan khusus (shock)


adalah bencana alam kekeringan yang datang bersamaan dengan krisis
moneter yang merembet dari negara tetangga. Krisis ini bukan saja melanda
Indonesia tetapi juga negara-negara Asia lainnya. Krisis ekonomi ditandai
melemahnya nilai tukar mata uang dalam negeri terhadap mata uang asing,
terutama dolar Amerika Serikat.

3.1. PARADIGMA BARU PEMBANGUNAN PERTANIAN

Paradigma pembangunan pertanian ke depan adalah pertanian berkelanjutan


yang berada dalam lingkup pembangunan manusia. Paradigma pembangunan
pertanian bertumpu pada kemampuan bangsa untuk mewujudkan kesejahteraan
masyarakat dengan kemampuan sendiri. Pembangunan pertanian modern
merupakan langkah strategis mewujudkan pembangunan pertanian yang
menempatkan pemba-ngunan berorientasi pada manusia.

Pembangunan pertanian perlu dirumuskan sejalan dengan paradigma baru


pembangunan pertanian, yaitu peningkatan kualitas dan profesionalitas
sumberdaya manusia tani sebagai pelaku aktif pemba-ngunan pertanian.
Pembangunan pertanian perlu dirumuskan untuk optimalisasi pemanfaatan
sumberdaya alam dan teknologi maju yang murah, sederhana, dan efektif disertai
penataan dan pengembangan kelembagaan pertanian di perdesaan.
Pembangunan pertanian dengan paradigma baru ini diharapkan dapat
meningkatkan daya beli masya-rakat perdesaan yang akan menjadi pendorong
pertumbuhan sektor non-pertanian. Keterkaitan sektor pertanian dan non-
pertanian di perdesaan akan semakin cepat terjadi bila tersedia prasarana ekonomi
yang mendukung kegiatan ekonomi pertanian di perdesaan.
Pembangunan pertanian patut mengedepankan potensi kawasan dan
kemampuan masyarakatnya. Keunggulan komparatif yang berupa sumberdaya
alam perlu diiringi dengan peningkatan keunggulan kompetitif yang diwujudkan
melalui penciptaan sumberdaya manusia tani yang makin profesional. Masyarakat
tani, terutama masyarakat tani tertinggal sebagai sasaran pemberdayaan
masyarakat, perlu terus dibina dan didampingi sebagai manusia tani yang makin
maju, mandiri, sejahtera, dan berkeadilan. Sumberdaya alam dan manusia patut
menjadi dasar bagi pengembangan pertanian masa depan. Dengan demikian perlu
dirumuskan suatu kebijaksanaan pembangunan perta-nian yang mengarah pada
peningkatan kemampuan dan profesionalitas petani dan masyarakat perdesaan
untuk dapat memanfaatkan sumber-daya alam secara optimal dan lestari dengan
memanfaatkan rekayasa teknologi tepat guna untuk meningkatkan produktivitas
pertanian, pen-dapatan petani, kesejahteraan masyarakat perdesaan serta
menghapus kemiskinan.
Arah pembangunan pertanian menurut paradigma baru ini dapat diwujudkan
terutama melalui upaya pemihakan dan pemberdayaan masyarakat.
Pemberdayaan masyarakat tani dilakukan sesuai dengan potensi, aspirasi, dan
8

kebutuhannya.
Sejalan dengan arah pembangunan pertanian tersebut, peran pemerintah
adalah mempertajam arah pembangunan untuk rakyat melalui penguatan
kelembagaan pembangunan, baik kelembagaan masyarakat tani maupun
kelembagaan birokrasi. Penguatan kelembagaan pembangunan pertanian
dilakukan melalui pembangunan partisipatif untuk mengembangkan kapasitas
masyarakat, dan berkembangnya kemampuan aparat dalam menjalankan fungsi
lembaga pemerintah yang berorientasi pada kepentingan rakyat.
Prinsip pembangunan partisipatif adalah mengikutsertakan masyarakat
secara aktif dalam setiap langkah pembangunan ekonomi, sedangkan pemerintah
memberikan fasilitas dan pembinaan kepada masyarakat dalam melaksanakan
program ekonomi. Penerapan prinsip pembangunan partisipatif perlu dipahami
sebagai proses dan langkah pembangunan yang mengikut-sertakan masyarakat
tani sejak dari perencanaan, pelaksanaan hingga pengendalian, evaluasi,
pelaporan, pemeliharaan, dan pelestarian hasilnya.

3.2. SEKTOR PERTANIAN SEBAGAI PRIORITAS PEMBANGUNAN

Visi pembangunan ekonomi ke depan adalah memilih bidang ekonomi yang


dapat mewujudkan kesejahteraan sosial secara lestari. Mengingat sebagian besar
penduduk Indonesia mempunyai orientasi kegiatan ekonomi berbasis sumberdaya
alam, maka pertanian perlu menjadi perhatian. Dalam kerangka paradigma
pembangunan manusia, pembangunan berbasis sumberdaya lokal, dan
pembangunan kelembagaan maka pembangunan di bidang pertanian dalam arti
luas merupakan sektor pembangunan unggulan. Dengan demikian visi
pembangunan ekonomi ke depan menempatkan sektor pertanian sebagai prioritas
utama dalam pembangunan ekonomi nasional.
Pilihan demikian merupakan kenyataan kebutuhan nasional. Sebab dilihat dari
sisi proporsi sektor pertanian terhadap pendapatan nasional, maka peranan sektor
pertanian dalam pembangunan ekonomi nasional adalah cukup nyata. Kontribusi
sektor pertanian melalui GDP cukup dominan.
Peran sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi juga sangat luas, mencakup
beberapa indikator antara lain:

Pertama, pertanian sebagai penyerap tenaga kerja yang terbesar.


Ke dua, pertanian merupakan penghasil makanan pokok penduduk. Peran ini tidak
dapat disubstitusi secara sempurna oleh sektor ekonomi lainnya, kecuali
apabila impor pangan menjadi pilihan.
Ke tiga, komoditas pertanian sebagai penentu stabilitas harga. Harga produk-
produk pertanian memiliki bobot yang besar dalam indeks harga konsumen
sehingga dinamikanya sangat berpengaruh terhadap inflasi.
Ke empat, akselerasi pembangunan pertanian sangat penting untuk mendorong
ekspor dan mengurangi impor.
Ke lima, komoditas pertanian merupakan bahan industri manufaktur pertanian.
Ke enam, pertanian memiliki keterkaitan sektoral yang tinggi.
9

IV. AGROTEKNOLOGI SISTEM PERTANIAN LAHAN KERING

4.1. Pendahuluan

Di seluruh Jawa Timur bagian selatan terdapat cukup banyak lahan kering,
dimana sekitar 80-90% di antaranya dikelola dengan berbagai tipe usahatani lahan
kering secara subsistensi yang rawan terhadap bahaya degradasi lahan. Salah
satu masalah utama yang dihadapi adalah keadaan bio-fisik lahan kering yang
sangat beragam dan sebagian sudah rusak atau mempunyai potensi sangat besar
untuk menjadi rusak. Dalam kondisi seperti ini mutlak diperlukan penajaman
teknologi pemanfaatan sumberdaya lahan kering dan pembenahan kelembagaan
penunjangnya.
Lima syarat yang harus dipenuhi dalam upaya perekayasaan dan
pengembangan teknologi pengelolaan lahan kering, adalah
(i) secara teknis bisa dilaksanakan oleh masyarakat setempat dan sesuai
dengan kondisi agroekologis setempat,
(ii) secara ekonomis menguntungkan pada kondisi tatanan ekonomi
wilayah pedesaan,
(iii) secara sosial tidak bertentangan dan bahkan mampu mendorong
motivasi petani,
(iv) RAMAH DAN aman lingkungan, dan
(v) mampu membuka peluang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi
wilayah secara berkelanjutan.

Keterkaitan antara inovasi teknologi melalui program pembangunan dengan


komponen-komponen lain dalam sistem wilayah disajikan dalam bagan berikut.
Sumberdaya lahan mempunyai peranan sangat penting bagi kehidupan
manusia. Segala macam bentuk intervensi manusia secara siklis dan permanen
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik yang bersifat materiil maupun spirituil
yang berasal dari lahan tercakup dalam pengertian penggunaan lahan, atau land
use. Dengan peranan ganda tersebut, maka dalam upaya pengelolaannya, sering
terjadi benturan di antara sektor-sektor pembangunan yang memerlukan lahan.
Fenomena seperti ini seringkali mengakibatkan penggunaan lahan kurang se- suai
dengan kapabilitasnya. Dalam hubungannya dengan penggunaan lahan ini, ada
tiga faktor yang mempengaruhi nilai lahan, yaitu (i) kualitas fisik lahan, (ii) lokasi
lahan terhadap pasar hasil-hasil produksi dan pasar sarana produksinya, dan (iii)
interaksi di antara keduanya. Nilai lahan semakin besar apabila kualitas biofisiknya
semakin baik dan lokasinya semakin dekat dengan pasar. Sehubungan dengan
kualitas fisik lahan, keberhasilan suatu sistem pengelolaan lahan kering (seperti
misalnya usahatani konservasi) juga dibatasi oleh persyaratan-persyaratan
agroekologis (terutama kesesuaian tanah dan ketersediaan air) . Persesuaian
syarat agroekologis menjadi landasan pokok dalam pengembangan komoditas
pertanian lahan kering. Penyimpangan dari persyaratan ini bukan hanya akan
1
0

menimbulkan kerugian ekonomis, tetapi juga akan mengakibatkan biaya-sosial


yang berupa kemero-sotan kualitas sumberdaya lahan. Di lokasi-lokasi tertentu,
seperti lahan kering di bagian hulu DAS, biaya sosial tersebut bisa bersifat internal
seperti kemunculan tanah-tanah kritis dan bersifat eksternal seperti sedimentasi di
berbagai fasilitas perairan.
Atas dasar problematik seperti di atas, maka evaluasi kesesuaian
agroekologis lahan kering untuk penggunaan pertanian masih dipandang sebagai
bottle neck dalam kerangka metodologi perencanaan sistem pengelolaan lahan
kering. Beberapa metode dan prosedur evaluasi agroekologis dapat digunakan
untuk kepentingan ini. Metode-metode ini masih bertumpu kepada aspek
agroekologi, sedangkan aspek sosial-ekonomi-budaya masih belum dilibatkan
secara langsung. Demikian juga sebaliknya, pendekatan agroekonomi untuk
mengevaluasi usahatani lahan kering yang lazim digunakan hingga saat ini
biasanya juga belum melibatkan secsara langsung aspek-aspek agroekologis.
Selama ini penelitian-penelitian untuk memanipulasi lingkungan tumbuh pada lahan
kering dilakukan dengan metode eksperimental di lapangan yang sangat
tergantung pada musim, memerlukan waktu lama dan sumberdaya penunjang yang
cukup banyak (P3HTA, 1987; PLKK, 1988). Kondisi lahan kering umumnya ditandai
oleh infrastruktur fisik dan sosial yang rendah dan keterbatasan-keterbatasa akses
lainnya. Keterisolasian penduduk dari sumber informasi mengakibatkan mereka
kurang mampu mengembangkan wilayahnya secara mandiri. Kondisi seperti ini
diperparah oleh keterbatasan kemampuan aparat pemerintah untuk menjangkau
masyarakat di lahan kering yang sebagian besar relatif miskin. Pada kondisi seperti
itu, siperlukan rancangan khusus sistem usahatani konservasi di lahan kering untuk
menciptakan produksi pertanian yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan
disertai dengan dukungan pengembangan peranan wanita pedesaan, fasilitas
perkreditan, jalan dan transportasi desa, sarana air bersih pedesaan dan sarana
penunjang lainnya.
Dalam proses produksi pertanian, masukan-masukan yang berupa material,
teknologi, menejemen dan unsur-unsur agro ekologi akan diproses untuk
menghasilkan keluaran-keluaran yang berupa hasil-hasil tanaman dan ternak.
Hasil-hasil sampingan dan limbah dari proses produksi tersebut dapat berupa hasil
sedimen, hasil air, dan bahan-bahan kimia yang dapat menjadi pencemar
lingkungan. Limbah ini biasanya diangkut ke luar dari sistem produksi dan
menimbulkan biaya eksternal dan efek eksternalitas. Biasanya sistem produksi
pertanian di daerah hulu sungai mempunyai efek eksternal yang cukup luas dan
akan diderita oleh masyarakat di daerah bawah. Dalam suatu daerah aliran sungai
yang mempunyai bangunan pengairan seperti bendungan, waduk dan jaringan
irigasi, efek eksternalitas tersebut menjadi semakin serius, karena dapat
mengancam kelestarian bangunan-bangunan tersebut. Berbagai upaya telah
dilakukan untuk mengendalikan efek eksternalitas tersebut, namun hasilnya masih
belum memadai. Hal ini disebabkan oleh karena mekanisme pasar tidak dapat
bekerja untuk mengalokasikan eksternalitas (Soemarno, 1990). Sehingga
produsen pertanian di daerah hulu tidak mau menanggung biaya eksternal yang
ditimbulkannya. Disamping itu, biaya untuk mengendalikan efek eksternalitas
1
1

tersebut relatif sangat besar dibandingkan dengan biaya produksi dan penerimaan
usahatani. Dalam kondisi seperti ini diperlukan campur tangan kebijakan
pemerintah.
Kondisi sumberdaya lahan kering yang sangat beragam dan kondisi iklim
yang berfluk tuasi tersebut pada kenyataannya sering menjadi kendala yang
menentukan tingkat efektivitas implementasi teknologi pengelolaan yang ada.
Khusus dalam hal konservasi tanah dan air, kendala yang dihadapi adalah
erodibilitas tanah dan erosivitas hujan yang sangat tinggi, faktor lereng dan
fisiografi. Dalam kondisi seperti ini maka tindakan konservasi tanah harus dibarengi
dengan intensifikasi usahatani dan rehabilitasi lahan. Salah satu upaya intensifikasi
usahatani lahan kering adalah dengan pemilihan kultivar, pengaturan pola tanam
yang melibatkan tanaman semusim dan tanaman tahunan, serta ternak dibarengi
dengan penanaman rumput/tanaman hijauan pakan. Hasil penelitian yang
dilakukan oleh P3HTA tentang pola usahatani lahan kering pada musim tanam
1985/1986 memberi informasi bahwa polatanam introduksi : jagung + kacang tanah
(atau kedelai) + ubikayu, diikuti jagung + kedelai (atau kacang hijau), dan diikuti
kacang tunggak lebih efisien dalam memanfaatkan sumberdaya pertanian dan lebih
produktif daripada pola tanam tradisional. Suatu peluang yang tampaknya cukup
besar di lahan kering adalah usahatani tanaman pisang dan kelapa. Kedua jenis
komoditas ini ternyata mampu mensuplai pendapatan dan kesempatan kerja bagi
petani lahan kering, baik secara langsung maupun secara tidak langsung.
Pemupukan urea, TSP dan KCl ternyata mampu meningkatkan produktivitas kedua
tanman ini secara signifikan. Penelitian-penelitian ini sudah mulai melibatkan aspek
konservasi tanah, laju erosi dan limpasan permukaan sudah mulai diamati dan
diukur di lapangan, sehingga diperlukan dana yang cukup banyak dan harus
mengikuti irama musiman. Selain itu, penelitian-penelitian ini masih belum
menganalisis hasil-hasil erosi dan limpasan permukaan secara terintegrasi dengan
analisis ekonomis, belum dilakukan analisis kepekaan erosi dan limpasan
permukaan terhadap variasi bentuk kegiatan konservasi tanah, serta belum
memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan dampak jangka panjangnya.
Tampaknya komponen teknologi sistem usahatani lahan kering yang cukup baik
untuk menunjang program intensifikasi adalah ternak. Introduksi hijauan pakan
ternak, baik yang berupa rumput maupun semak/perdu dan pepohonan, mampu
memberikan manfaat ganda, yaitu mengurangi bahaya erosi dan limpasan
permukaan, serta menghasilkan pakan hijauan. Khusus jenis rumput setaria
ternyata mempunyai peluang yang cukup baik untuk dikembangkan di lakan kering,
karena mempunyai nilai gizi yang cukup baik bagi ternak ruminansia serta mampu
memainkan peran sebagai tanaman penguat teras yang baik. Usahatani domba
ternyata mampu memberikan sumbagan pendapatan keluarga yang cukup besar
(bisa mencapai 35% dari total pendapatan keluarga), dan faktor utama yang sangat
berpengaruh adalah jumlah dan jenis (kualitas) pakan yang terkonsumsi ternak.

4.2. Teknologi Konservasi Lahan Kering

Permasalahan dan kendala bagi upaya konservasi tanah yang sering


1
2

dijumpai di lahan kering adalah (i) kondisi lahan yang curam sehingga pengolahan
tanah akan merangsang dan mempercepat proses erosi dan tanah longsor, (ii)
rendahnya rataan penghasilan petani lahan kering yang menyebabkan tidak
mampu untuk membiayai kegiatan konservasi tanah, (iii) masih terbatasnya
kesadaran petani akan usaha konservasi tanah sebagai akibat dari keterbatasan
informasi dan pengetahuan, dan (iv) keterbatasan sarana dan prasarana pengem-
bangan sistem pertanian lahan kering. Lokasi prioritas bagi kegiatan konservasi
tanah harus memenuhi kriteria (i) terletak dalam Zone Erosi Kritis dengan lahan
lebih dari 75% lahan kering; (ii) sebagian besar diusahakan untuk usahatani kecil;
(iii) kemiringan lahan antara 8% hingga 45% dengan tebal solum lebih dari 30 cm,
untuk daerah yang solumnya kurang 30 cm diarahkan untuk tanaman keras
tahunan; dan (iv) respon petani cukup tinggi. Metode konservasi tanah yang sering
digunakan adalah metode sipil-teknis dan metode vegetatif. Bentuk-bentuk teknik
konservasi tanah dapat berupa teknik teras bangku, teras gulud, teras kredit, teras
individu, teras kebun, saluran diversi, saluran pembuangan air, dan penanaman
tanaman penguat teras pada bibir/tampingan, tanaman penutup tampingan teras
dan penanaman berjalur (strip cropping).

4.2.1. Pembangunan Teras Kredit


Pada hakekatnya pembuatan teras dimaksudkan untuk memperpendek
panjang lereng dan/atau memperkecil kemiringan lereng. Teras juga dilengkapi
dengan saluran untuk menampung dan menyalurkan air yang masih mengalir di
atas permukaan tanah.

Tujuan pembuatan teras adalah


(i) mengurangi kecepatan limpasan permukaan, (ii) memperbesar
resapan air ke dalam tanah,
(iii) menampung dan mengendalikan arah dan kecepatan limpasan
permukaan.

Ciri-ciri penting dari bangunan teras kredit adalah


(i) sesuai untuk tanah landai hingga bergelombang dengan derajat
kemiringan 3-10%;
(ii) jarak antara larikan teras 5-12 m;
(iii) tanaman pada larikan teras berfungsi untuk menahan butir-butir tanah
yang terbawa erosi dari sebelah atas larikan;
(iv) teras kredit ini secara berangsur-angsur dimodifikasi menjadi teras
bangku.

4.2.2. Pembangunan Teras Gulud


Spesifikasi bangunan teras ini adalah sesuai pada lahan dengan kemiringan
10-20%; jarak antar guludan rata-rata 10 m; saluran air pada teras berfungsi
sebagai saluran diversi untuk mengurangi limpasan permukaan ke arah lereng di
bawahnya.
1
3

Jenis tanaman penguat teras dapat berupa: kayu-kayuan yang ditanam


dengan jarak 50 cm (bibit stek) atau benih ditabur merata; rumput-rumputan yang
ditanam dengan jarak 30-50 cm.

4.2.3. Pembangunan Teras Bangku


Spesifikasi bangunan teras ini adalah sesuai pada lahan dengan kemiringan
10-30%; bidang olah teras bangku hampir datar, sedikit miring ke arah bagian
dalam (± 1%); di antara dua bidang teras dibatasi oleh tampingan/talud/riser; di
bawah tampingan teras dibuat selokan teras yang miring ke arah SPA.

4.2.4. Pembangunan Teras Kebun


Ciri-ciri bangunan teras ini adalah sesuai pada lahan dengan kemiringan 30-
50% yang dirancang untuk penananaman tanaman perkebunan; pembuatan teras
hanya pada jalur tanaman, sehingga ada lahan yang tidak diteras dan hanya
tertutup oleh vegetasi penutup tanah; lebar jalur teras dan jarak antara jalur teras
disesuaikan dengan jenis tanaman.

4.2.5. Penanaman tanaman penguat teras


Tanaman penguat teras adalah jenis vegetasi yang karena sifat tumbuh
dan/atau cara tumbuhnya dapat berfungsi sebagai penguat teras. Jenis tanaman
ini dapat berupa rumput-rumputan atau pohon-pohonan.
Persyaratan tanaman penguat teras adalah
(i) sistem perakar annya intensif sehingga mampu mengikat tanah,
(ii) tahan pangkas,
(iii) bermanfaat dalam menyuburkan tanah dan penyedia pakan ternak.

Beberapa jenis tanaman penguat teras adalah


(i) Turi (Sesbania grandiflora),
(ii) Gomal (Gliricidea maculata),
(iii) Akasia merah (Acacia villosa),
(iv) Opo-opo (Flemingia sp.),
(v) Rumput setaria (Setaria sphacellata),
(vi) Rumput bebe (Brachiarta brizantha),
(vii) Rumput benggala (Panicum maximum),
(viii) Rumput gajah (Pennisetum purpureum) dan Desmodium sp.

4.3. Teknologi Produksi Tanaman Pertanian Lahan Kering

4.3.1. Sistem Kebun Bibit Desa atau Kecamatan


Untuk memenuhi kebutuhan bibit dan benih petani pada waktu yang tepat
sangat diperlukan adanya kebun bibit desa atau kecamtaan yang akses bagi
seluruh petani. Pengelola kebun bibit ini dapat kelompok tani atau KUD atau
suasta yang mampu. Kebun bibit desa pengawasannya langsung ditangani oleh
petani, sedangkan kebun bibit kecamatan diawasi oleh instansi yang terkait.
1
4

Sebagai pembina teknis adalah PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan) dan PLP
(Penyuluh Lapangan Penghijauan). Pengelola kebun bibit disyaratkan tinggal di
dekat lokasi kebun bibit dan memiliki motivasi tinggi dan ketekunan yang andal.

(1). Perencanaan
Beberapa permasalahan yang perlu dipertimbangkan dalam perencanaan
kebun bibit adalah (a) dimana lokasi kebun bibit? (b) siapa yang akan
mengelolanya? (c) apa saja yang bibit/benih yang akan diproduksi? (d) berapa
jumlah bibit yang akan dihasilkan dan berapa biayanya? (e) bagaimana jadwal
kerja? dan (f) bagaimana konstruksi, pemeliharaan, administrasi dan distribusinya?
Beberapa persyaratan bagi lokasi kebun bibit a.l. adalah (1) lahannya cukup datar
dan drainasenya baik, (2) tanahnya gembur, mudah diolah, bebas dari gangguan
gulma, hama dan penyakit; (3) bebas dari gangguan ternak; (4) dekat dengan
sumber air; (5) memperoleh sinar matahari yang cukup; (6) aerasi dan drainase
tanah cukup baik; (7) tenagakerja cukup tersedia; (8) dekat dengan jalan; (9)
letaknya tidak jauh dari rencana areal penanaman dan strategis bagi semua petani;
(10) status pemilikan lahan tidak menjadi permasalahan serius.
Pengelola bibit disyaratkan orang atau kelompok yang bertanggung-jawab
penuh, terutama yang telah berpengalaman. Jenis bibit dipilih yang sesuai dengan
kondisi agroekologi areal tanaman, diminati oleh masyarakat dan mempunyai
prospek ekonomis yang bagus. Kriteria bibit yang baik dan siap disalurkan a.l
adalah:
(1). Bibit Kelapa: daun cepat membelah; pelepah daun pendek dan tumbuh
merapat; lilit batang kekar dan besar; bebas gangguan hama dan penyakit;
habitus normal; umur bibit 6-8 bulan.
(2). Bibit kopi: pertumbuhannya baik/normal dan tidak kerdil; umur bibit 4-10 bulan;
sehat, tidak terserang hama/penyakit; akar lurus, tidak bengkok; jumlah
cabang primer 1-2 pasang dan jumlah daun 14-20 lembar.
(3). Bibit cengkeh: pertumbuhannya baik/normal; bentuk dan keadaannya kekar
dan segar; umur bibit mulai 8 bulan; sehat dan tidak terserang hama/penyakit.
(4). Bibit kapok randu: sehat, tidak terserang hama dan penyakit; umur bibit 6-12
bulan.
(5). Jambu mete: pertumbuhan bibit baik dan normal; tumbuhnya sehat dan kuat,
bebas dari gangguan hama penyakit; umur bibit 4- 6 bulan setelah disemai.

(2). Pelaksanaan

(2.1). Persiapan kebun bibit


Secara garis besar, tahapan pekerjaan yang perlu dilakukan adalah : (a).
Pembuatan pagar kebun dari bambu yang diselingi dengan Glericidea, Sono, Turi,
atau jenis lainnya; (b). Pembuatan jalan pemeriksaan dan saluran air; (c).
Pembuatan bedengan, bentuk dan ukuran disesuaikan dengan kondisi setempat,
demikian juga naungannya; (d). Papan nama/identifikasi; (e). Bak penampung air
dan selang penyalurnya; (f). Penanaman pohon induk.
1
5

(2.2). Jadwal Penaburan dan penanaman

Waktu pengumpulan dan penaburan benih untuk beberapa jenis tanaman


adalah:

No Jenis tanaman Bulan pengumpulan Bulan Penaburan Lama di


biji pesemaian
1 Kaliandra Juni-Agustus Agustus 4-5 bulan
2 Acacia decur Juli-September Agustus 4-5 bulan
3 Johar Mei-Agustus Agustus 5-6 bulan
4 Acacia auri Mei-Agustus Agustus 4-5 bulan
5 Eucalyptus d Mei-Agustus Agustus 6.0 bulan
6 Sengon Juni-Agustus Agustus 6.0 bulan
7 Alpukat Nop-Desember Desember 12 bulan
8 Mangga Oktober-Nopember Nopember 2-4 bulan
9 Nangka Nopember-Desember Nopember 12 bulan
10 Kopi Mei-Agustus Oktober 14 bulan
11 Durian Oktober-Desember Nopember 24 bulan
12 Petai Oktober-Januari Nopember 6-10 bulan
13 Rambutan Oktober-Desember Nopember 24 bulan
14 Melinjo Oktober-Nopember Januari 24 bulan
15 Kelapa Juli-Agustus Agustus 6-8 bulan

4.3.2. Budidaya Tanaman Pangan

4.3.2.1. Uraian Umum


Proporsi tanaman pangan semusim dan tanaman tahunan berdasarkan
kemiringan lahan adalah sbb:

No Kemiringan lahan Tanaman pangan Tanaman tahunan (%)


(%)

1 < 15% 75 25
2 15%-30% 50 50
3 30%-45% 25 75
2 >45% 0 100

Pola tanam harus diatur sedemikian rupa supaya permukaan tanah dapat
terlindungi tanaman sepanjang tahun dan mampu menekan laju erosi. Faktor iklim
yang harus dipertimbangkan adalah curah hujan, yang merupakan faktor penentu
1
6

neraca lengas lahan. Sebagai arahan umum adalah : (1). Curah hujan >200
mm/bulan selama 5-7 bulan berturutan dapat untuk bertanam padi gogo; (2). Curah
hujan 100-200 mm/bulan selama 3-5 bulan berturutan masih cocok untuk palwija.
Pengaturan jarak tanam sangat tergantung dari bidang olah yang tersedia.
Pengaturan barisan tanaman dapat dimulai dari panbgkal teras atau 50 cm dari
bibir teras. Barisan jagung dan ubikayu dimulai 50 cm dari pangkal teras. Jumlah
barisan jagung dan ubikayu selanjutnya tergantung dari bidang olah yang tersedia.
Sebagai contoh lebar bidang olah menurut kemiringan lahan dikemukakan sebagai
berikut :

No. Kemiringan; % Lebar bidang olah (m)


1. 5 - 15 4.5 - 1.1
2. 10 - 20 4.4 - 1.8
3. 15 - 25 2.7 - 1.4
4. 20 - 30 3.0 - 1.7
5. 25 - 35 2.2 - 1.4
6. 25 - 35 3.1 - 3.0
7. 30 - 40 2.4 - 1.6
8. 35 - 45 2.4 - 1.6
9. 40 - 50 2.0 - 1.4
10. 35 - 45 3.0 - 2.1
Sumber:SP2UK, P2LK Jatim, 1991.

4.3.2.2. Beberapa Jenis Tanaman

A. Tanaman Ubikayu
(a). Varietas tanaman: Adira I, Adira II, Adira IV, Valenca, Gading, Muara, Faroka,
atau Unggul lokal.
(b). Kriteria stek yang baik: Panjang stek 20-25 cm; berasal dari sekitar tengah
batang; kulit stek tidak terkelupas, terutama pada bagian bakal tunas; bagian
gabus masih berair dan berdiameter 1/2 diameter batang.
(c). Penyiapan lahan: tanah dibajak hingga gembur, dibuat bedengan atau
guludan yang sekaligus berfungsi sebagai saluran drainase
(d). Tanam bibit: Waktu tanam yang baik adalah awla musim hujan, stek ditanam
dengan jarak tanam monokultur: 100 x 100 cm hingga 100x 80 cm; sedangkan
jarak tanam tumpangsari 300 x 60 cm hingga 200 x 75 cm. Pada tanah yang
kurus jarak tanam semakin rapat. Stek ditanam tegak lurus dengan
kedalaman stek 5 cm untuk tanah berat dan 10 cm untuk tanah berpasir.
Penyulaman dapat dilakukan 3-4 minggu setelah tanam.
(e). Pembuangan tunas: dilakukan pada saat tanaman masih muda (1-1.5 bulan)
atau saat penyiangan I dan tunas disisakan 2 saja.
(f). Pemupukan: Dosis 200-300 kg Urea + 100 kg TSP + 150 kg KCl/ha. Pupuk
1
7

diberikan dua kali, yaitu 1/3 urea + 100 kg TSP + 50 kg KCl; dan 2/3 dosis urea
+ 100 kg KCl pada umur 3 bulan.
(g). Pengendalian hama dan penyakit: Tungau merah disemprot dengan larutan
belerang 2.5%; uret diberantas dengan Furadan 3G sebanyak 15 kg/ha pada
saat tanam. Bercak daun dan busuk batang dapat dicegah dengan menanam
varietas tahan bibit, bebas dari bakteri.

B. Tanaman Jagung

(a). Varietas : Arjuno, Abimanyu, Bromo, Sadewa, KAlinga Rama dan Hibrida.
(b). Penyiapan Lahan: Tanah diolah hingga gembur
(c). Tanam bibit: ditugal sebanyak dua biji/lubang, sebelumnya benih diberi
pengobatan dengan ridhomil (lima gram ridomil/kg benih). Jarak tanam
berpedoman pada umur kultivar, serta pola tanam yang diterapkan. Untuk
tanaman jagung monokultur:
Kultivar umur dalam: 100 x 40 cm atau 75 x 50 cm
Kultivar umur tengah: 75 x 40 cm Kultivar Umur genjah: 50 x 20 cm.
(d). Pemupukan:
Tanah vulkanik muda : 200 kg Urea + 100 kg ZA + 100 kg TSP/ha.
Tanah berkapur: 300 kg urea+200 kg TSP/ha, untuk tanah yang defisien
kalium dapat ditambahkan 100 kg KCl/ha.
Pupuk diberikan dua kali: 1/3 dosis pupuk Urea dan seluruh TSp, ZA, KCl
diberikan saat tanam; 2/3 dosis urea diberikan pada umru satu bulan.
(e). Penyiangan: dilakukan dua kali pada umur 15 hari dan ke dua pada umur
empat minggu disertai dengan pembumbunan. Sebaiknya penyiangan
dilakukan sebelum pemupukan. Penggunaan herbisida pratumbuh, Atrazine,
Metalokhlor, Bentiokarp pada daerah-daerah yang sukar tenagakerja.

C. Tanaman Kacangtanah

(a). Varietas: Gajah, Macan, Banteng, Kidang, Tapir, Pelanduk, Kelinci, atau
Unggul Lokal.
(b). Penyiapan lahan: Tanah diolah sampai gembur dan dibuat bedengan selebar
3-4 meter.
(c). Penanaman: Benih ditugal dengan jarak 40 x 15 cm, 1-2 biji setiap lubang.
Pada alahan yang kurus jarak tanamnya dapat 40 x 10 cm.
(d). Pemupukan: 45 kg Urea + 90 TSP + 90 kg KCl/ha, diberikan pada saat tanam,
disebar merata atau larikan.
(e). Penyiangan: dilakukan dua kali, yaitu 3 dan 6 minggu setelah tanam.
Penggunaan herbisida Lasso, Dowpon, Roundup ( 1 liter/ha) pada daerah
yang sukar tenagakerja.
(f). Pengendalian hama dan penyakit:
Wereng kacangtanah, penggerek daun, ulat jengkal dan ulat grayak dapat
disemprot dengan insektisida: Thiodan, Dursban, Azodrin, Tamaron, atau
1
8

Basudin.
Penyakit bercak daun dan karat daun dapat dikendalikan dengan
semprotan fungisida: Benlate, Dithane M45; Baycor; Delsene MX 200; atau
Daconil pada saat tanaman mulai terserang.

D. Tanaman Kacang hijau

(a). Varietas: No. 129, Betet, Merak, Walet, Gelatik, Parkit, dan Merpati.
(b). Penyiapan lahan: Tanah berat harus diolah hingga gembur; tanah tegalan
bekas tanaman jagung, kedelai atau gogo perlu pengolahan minimal.
(c). Penanaman benih: Ditugal dengan jarak tanam 40 x 15 cm dan diisi dua benih
setiap lubang tanam (d). Pemupukan:
Pada tanah yang kurus diberi pupuk 45 kg Urea, 45-90 kg TSP, 50 kg
KCl/ha. pupuk diberikan pada saat tanam, disebar merata atau larikan di
samping lubang tanam.
(e). Penyiangan: dilakukan dua kali yaitu pada umur 2 dan empat minggu setelah
tanam dengan tangan atau cangkul. Herbisida pratumbuh yang dapat
digunakan adalah Lasso, Roundup, dan Goal pada daerah yang mahal
tenagakerja.
(f). Pengendalian hama dan penyakit:
Lalat bibit dapat dikendalikan dengan Azodrin pada umur tujuh hari setelah
tanam.
Ulat daun dan penggerek polong, dapat dikendalikan dengan menyemprot
Thiodan, Dursban, Decis, dan Basudin.
Penyakit busuk batang, puru dan embun tepung dapat disemprot dengan
Benlate, Dithane M.45, Baycor, Belsene MX 200.

4.3.3. Budidaya Tanaman Perkebunan dan Hortikultura

4.3.3.1. Uraian umum


Kemampuan tanaman untuk menaungi dan umur berproduksi menjadi
pertimbangan utama dalam penataan tanaman tahunan pada lahan yang miring.

Berikut ini disajikan informasi kemampuan tanaman menaungi dan umur


berproduksi :

No. Golongan Kemampuan Umur Contoh


menaungi berproduksi

1. Golongan 1 Tinggi Lama Kelapa; mangga; petai;


nangka; kapuk
2. Golongan 2 Sedang Sedang Pepaya;pisang; kopi; srikaya;
mlinjo
3. Golongan 3 Rendah Cepat Wijen; nenas; temu-temuan;
kapulaga
1
9

Sumber: UACP-FSR, 1990.

Tanaman tahunan juga dapat dikelompokkan ke dalam zone agroklimat


dengan menggunakan kriteria iklim, kedalaman air tanah, dan ketinggian tempat.
Pada dasarnya pemilihan jenis tanaman tahunan bagi suatu daerah dikaitkan
dengan beberapa pertimbangan penting, a.l.: sesuai dengan kondisi agroklimat
setempat; sesuai dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat (tanaman disenangi
petani, teknologinya mudah, tidak memerlukan masukan tinggi, sesuai dengan
ketersediaan tenagakerja), sejalan dengan kebijakan PEMDA, mendukung usaha
konservasi tanah dan air.

4.3.3.2. Cara penanaman


Pada kondisi lahan kering, bniasanya penambahan bahan organik dan
pupuk kandang cukup sulit dilaksanakan. Untuk ini diperlukan persiapan tanam
yang memadai. Persiapan ini meliputi pembuatan lubang tanam jauh sebelum saat
tanam bibit, penanaman pohon pelindung leguminosa, dan pemeliharaan bibit
sebelum dibawa ke lapangan. Penanaman dilakukan pada awal musim hujan, dan
pembuatan lubang tanam 2-3 bulan sebelumnya. Penutupan lubang tanam
dilakukan setelah ada hujan dengan tanah galian yang dicampur dengan pupuk
kandang, abu, dan Furadan untuk mencegah berkembangnya hama.

4.3.3.3. Penataan tanaman


Penataan tanaman ini dimaksudkan untuk dapat mendukung usaha
konservasi tanah dan air dengan memberikan media tumbuh yang optimal bagi
tanaman tahunan dan tanaman semusim di bawahnya, sesuai dengan kemiringan
lahan.
Berikut ini disajikan beberapa contoh tatacara penataan tanaman tahunan
berdasarkan kemiringan lahan:

No Uraian Pola I (slope <15%) Pola II (Slope > 45%)


1. Teknik konservasi Teras bangku/gulud Teras individu+LTC+rumput
+LTC+rumput
2. Proporsi tnm semusim 75% 0%
3. Proporsi tnm tahunan 25% 100%
4. Penyusunan tanaman tahunan Gol I
Populasi/ha 25 pohon 100 pohon
Jarak tanam 12 x 32 m 12 x 8 m
Lubang tanam 75 x 75 x 75 cm3 75 x 75 x 75 cm3
Dosis rabuk organik 75-100 kg/tanaman 75-100 kg/tanaman
Arah tanaman Timur-barat / kontur Kontur
5. Penyusunan tanaman tahunan Golongan II
Populasi/ha 160 pohon 625 pohon
Jarak tanam 3x3 m Barisan
Lubang tanam 50 x 50 x 50 cm3 50 x 50 x 50 cm3
Dosis rabuk organik 20- 40 kg/tanaman 20- 40 kg/tanaman
2
0

Arah tanaman Timur-barat / kontur Kontur


Sumber: UACP-FSR, 1990.

4.3.3.4. Jenis Tanaman


Beberapa tanaman tahunan yang menjadi prioritas di lahan kering adalah
sbb:

(A). Mangga (Mangifera indica)

A.1. Syarat tumbuh tanaman: ketinggian tempat < 400 m dpl dengan curah hujan
800-1000 mm setahun dengan tipe iklim (Schmidt & Ferguson) C, D, E dan
musim kemarau yang tegas.
A.2. Bibit tanaman: berasal dari okulasi atau grafting dengan menggunakan batang
bawah ejenis madu dan podang. Kultivar batang atas yang disarankan adalah
Arumanis 143, Gurih 163, Golek 41 dan Manalagi 69.
A.3. Penanaman bibit:
(a). Lubang tanam dibuat dengan ukuran 60x60x60 cm, tanah lapisan atas
sedalam 30-40 cm dipisahkan dengan lapisan bawah.
(b). Jarak tanam 6x6m - 8x8 m, tanah lapisan atas dicampur dengan rabuk
organik, pupuk dasar, dan Furadan 8-10 gram.
(c). Bibit grafting atau okulasi ditanam pada lubang tanam yang disiapkan 1/2 - 1
bulan sebelumnya.
(d). Bibit grafting (hasil sambungan dini) siap ditanam pada umur 6-7 bulan,
sedangkan bibit okulasi umur 12 bulan.
(e). Penanamanm bibit dilakukan pada awal musim hujan

A.4. Pemeliharaan tanaman:


(a). Pemupukan seperti pada Tabel di bawah ini.

Umur (th) ZA TSP KCl Rabk Keterangan


kdang
0 50 25 25 2 Sebulan setelah tanam
1 200 100 100 2 separuh pada Desember-Januari dan
sisanya Juni-Juli;Semua rabuk kandang
pada bulan Desember -Januari
2-3 500- 250- 250- 2-3 sda
1000 500 500
4-5 1000- 500- 500- 2-3 sda
2000 1000 1000
6-10 2000- 1000- 1000- 3-4 sda
3000 1500 1500
>10 3000- 1500- 1500- 3-4 sda
4000 2000 2000
Sumber: SP2UK-P2LK Jatim, 1991.
2
1

(b). Tanah di sekitar tanaman dibersihkan dan digemburkan, pada musim kemarau
ditutup dengan mulsa
(c). Batang utama dipangkas setinggi 70-75 cm, cabang yang tumbuh dipelihara 3-
4 arah, pemangkasan dilakukan sampai tahun ke dua setelah tanam dan
dilakukan pada awal musim hujan.
(d). Tanaman yang berasal dari grafting atau okulasi akan berproduksi pada umur
3-4 tahun.
(e). Untuk memacu pembungaan mangga yang lebih awal, digunakan Cultar
dengan dosis 2.5 ml/liter air/pohon untuk tanaman umur 3- 4 tahun dan 10
ml/liter air/pohon untuk tanaman umur 5-10 tahun. Aplikasi dilakukan pada
bulan April-Mei.

A.5. Pemangkasan tanaman


Pemangkasan tanaman pada awal pertumbuhannya dilakukan untuk
membentuk tajuk. Beberapa hal penting yang harus diperhatikan adalah sbb:
(a). Pemangkasan dilakukan pada awal musim hujan, sebulan setelah pemupukan
(b). Pemangkasan dilakukan tepat pada ruas atau buku tanaman, sekitar 50-60 cm
di atas permukaan tanah
(c). Dipilih 3-4 cabang dari cabang-cabang yang tumbuh setelah pemangkasan
(d). Cabang yang dipilih adalah yang sehat, bagus, tersebar di sekeliling batang
pokok, dan tidak saling berdekatan
(e). Pemangkasan ke dua dilakukan pada cabang-cabang yang dipertahankan
tumbuh setelah pemangkasan pertama, dan dilaksanakan pada awal musim
penghujan tahun berikutnya setelah dilakukan pemupukan
(f). Pemangkasan ke dua jaraknya 25-30 cm dari pangkal cabang, tepat pada
mata/ruas/buku yang menghadap ke luar.
(g). Setelah tajuk terbentuk pada awal musim hujan berikutnya, perlu dilakukan
pemangkasan lagi untuk menyempurnakan bentuk tajuk.

A.6. Hama dan penyakit tanaman


(a). Wereng mangga atau Sikada, dikendalikan dengan Gusadrin 2 ml per liter air
(b). Penggerek batang dan buah, dikendalikan dengan Azodrin atau Guzadrin 5-25
ml diinjeksi melalui batang atau disemprotkan dengan dosis 2-5 ml per liter air.
(c). Lalat buah, dikendalikan dengan metil eugenol 1-2 ml + monokrotophos.
(d). Antraknose, dikendalikan dengan Benlate, Dithane M-45.

A.7. Panen buah dan pascapanen


Pemetikan buah dilakukan setelah terjadi perubahan warna kulit buah, pada
umur 89-101 hari setelah penyerbukan atau ditandai bila antara 3-5 cm tangkai
buah dan pangkal buah dipetik sudah tidak mengeluarkan getah. Untuk
memperlambat pematangan buah dilakukan pelapisan lilin.

B. Melinjo (Gnetum gnemon)


2
2

B.1. Syarat tumbuh


Melinjo dapat diusahakan pada zone ketinggian tempat 0-600 m dpl, tipe
iklim (Schmidt & Ferguson) A,B,C,D dengan curah hujan tahunan 1250-3250 mm.

B.2. Bibit tanaman


Bibit dapat berasal dari cangkokan, atau okulasi; pencangkokan dilakukan
pada cabang/ranting yang tumbuh vertikal; pohon induk untuk cangkok dan okulasi
diambil dari tanaman yang berbunga sempurna.

B.3. Penanaman bibit


(a). Lubang tanam dibuat 60 x 60 x 60 cm, tanah lapisan atas dipisahkan dan
dicampur dengan rabuk kandang, dan pupuk dasar (Urea:TSP:KCl=1:1:1,
sebanyak 20-30 gram) satu-dua minggu sebelum tanam dan dimasukkan ke
dalam lubang tanam.
(b). Penanaman bibit dilakukan awal musim hujan, jarak tanamnya 6x6 m - 7x7 m.

B.4. Pemeliharaan tanaman


(a). Rabuk kandang 40-50 kg diberikan 1/2 - 1 bulan setelah tanam; pupuk ZA
150 g, TSp 50 g dan KCl 50g setiap tanaman diberikan bersama rabuk
kandang.
(b). Setiap awal dan akhir musim hujan diberi rabuk kandang 20- 30 kg, ZA 20 g,
TSP 100 g dan KCl 100 g setiap tanaman hingga umur tiga tahun, setelah itu
pupuk buatan diberikan dengan peningkatan 1/2-1 kalinya.
(c). Mulsa diberikan pada musim kemarau hingga umur 2-3 tahun.
(d). Tanah dibersihkan dan digemburkan

B.5. Panen dan Pasca Panen


Panen raya dua kali setahun yaitu bulan April dan Oktober. Buah siap
dipanen apabila kulit buah berwarna merah dan kulit biji agak coklat kehitaman.
Bibit okulasi mulai berbuah tahun keempat atau ke lima. Umumnya melinjo diolah
menjadi emping-mlinjo.

C. Pisang (Musa paradisiaca L.)

C.1. Syarat Tumbuh Tanaman:


Ketinggian tempat optimum < 1000 m dpl dengan tipe iklim Schmidt &
Ferguson: B dan C dengan curah hujan tahunan 1400-2000 mm.

C.2.Bibit tanaman Perbanyakan tanaman dapat dilakukan dengan tunas


anakan, anakan muda, anakan sedang, anakan dewasa, bonggol, dan belahan
bonggol (bit). Belahan bonggol merupakan cara perbanyakan yang baik, diambil
dari tanaman dewasa umur 7-8 bulan.
Cara perbanyakan dengan bit: Bit dicelup dengan air hangat 50oC selama
20 menit atau dicelup dalam larutan Dimethoate/Diazinon 30 ml, Maneb/Mancozeb
2
3

48 g dan Tiner Stocker 1,4 ml dalam 20 liter air untuk setiap 60 bit.
Kultivar yang dikembangkan adalah Ambon Jepang, Ambon lumut, Ambon
ijo, Susu, Mas, Raja Bulu, Badak, Kepok, Agung, Candi, Raja Nangka.

C.3. Penanaman
Lubang tanam dibuat dengan ukuran 60x60x60 cm dengan jarak tanam 2x2
m, 3x3 m, atau 4x4 m; saat tanam bibit sebaiknya pada awal musim hujan; bibit
yang berasal dari bit ditumbuhkan miring dengan mata di bagian atas sedalam 10
cm. Tumpangsari dengan tanaman lain dapat dilakukan dengan baik.

C.4. Pemeliharaan tanaman


(a). Pemupukan ZA 250-350 g, TSP 100-150 g, dan KCl 100-200 g setiap tanaman
diberikan 1/2 - 1 bulan setelah tanam dan setiap 3-4 bulan sekali.
(b). Mulsa diberikan setelah penanaman bibit
(c). Tanah dibersihkan dan digemburkan, daun tua dan kering dibuang, dan
anakan diperjarang.

C.5. Pemangkasan dan pembatasan jumlah anakan


Dalam satu rumpun hanya satu batang pisang berbuah/dewasa dan dua-
tiga anakan yang umurnya berbeda. Daun-daun tua dipangkas; dan apabila
ditanam tumpangsari maka ditinggalkan 5-6 helai daun setiap batang dengan
pemangkasan seminggu sekali. Pada saat berbunga, jantung bunga disemprot
dengan insektisida kontak atau lafutan sabun seminggu dua kali; jantung dipotong
apabila sudah 20 cm dari buah terakhir. Buah terakhir yang rusak karena hama
dibuang bersamaan dengan pemotongan jantung.

C.6. Hama dan Penyakit


(a). Ulat perusak buah, dapat dikendalikan dengan Azodrin 2 ml/liter air yang
disemprotkan pada sore hari atau diinjeksikan ke dalam jantung pisang
sebelum mekar.
(b). Penggerek batang pisang, dapat dikendalikan dengan Azodrin atau Guzadrin,
atau sanitasi lingkungan.
(c). Ulat penggulung daun, dapat dikendalikan dengan Diazinon 2- 3 ml/liter air.
(d). Penyakit layu Panaman, dikendalikan dengan jalan membinasakan tanaman
yang sakit, menanam kultivar yang tahan dan bibit yang sehat.
(e). Penyakit layu darah, dikendalikan dengan membinasakan tanaman sakit,
tanah bekas bongkaran diberi kapur tohor.
(f). Penyakit bercak daun, dapat dikendalikan dengan Mankozeb.
(g). Penyakit virus "bunchy top" dikendalikan dengan menggunakan bibit yang
sehat, memberantas vektornya dengan Demitoat 2-3 ml per liter air.

C.7. Panen dan Pasca Panen


(a). Panen dilakukan setelah 12-14 bulan dari tanaman yang berasal dari bibit bit,
atau 3-4 bulan setelah pembungaantergntung kultivarnya.
(b). Tanda-tanda buah pisnag siap dipanen: warna lebih jernih, bekas putik kering
2
4

dan gugur.
(c). Untuk pemasaran lokal buah pisang dipanen setelah 1-2 buah mulai masak;
sedangkan untuk pemasaran yang jauh (ekspor) dilakukan pemisahan sisir
dari tandan, sisir pisang tersebut dicuci dan disemprot dengan Benomyl 1-2
ml/liter air.
2
5

DAFTAR PUSTAKA

Adjid, D. A. 1985. Pola Partisipasi Masyarakat Pedesaan Dalam Pembangunan Pertanian


Berencana. Orba Shakti Bandung.

Ajit Ghose dan Greffin. 1990. Rural Poverty Development Alternatives In South and South
Easth Asia. Some Policy Yssenes, Development Ang Cange, Volume II.

Arsyad, S. , A. Priyanto, dan L.I. Nasoetion. 1985. Konsepsi Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai. Makalah disajikan pada Lokakarya Program Studi Pengelolaan DAS pada
FPS IPB, 14 Januari 1985.

Arsyad, S. 1985. Strategi konservasi tanah. Prosiding Lokakarya Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai Terpadu. Departemen Kehutanan - Universitas Gajah Mada, 3-5 Oktober
1985, Yogyakarta. Hal. 185-217.

Brebbia, C.A. (ed.) 1975. Mathematical Models for Environmental Problems. Univ. of
Southampton, England.

Brinkman,A.R. dan A.J. Smyth. 1973. Land Evaluation for Rural Purposes. ILRI Publ. No. 17
, Wageningen.

BRLKT, Wilayah IV. 1986. Pola Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Daerah Aliran
Sungai Brantas (Buku Utama). Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
(BAPPEDA) jawa Timur.

Catalan, R.L. 1990. QUEFTS, Quantitative Evaluation of the Fertility of Tropical Soils, User
Guide. Dept. of Soil Science and Plant Nutrition, Agric. University, Wageningen, The
Netherlands.

Christian, C.S. dan G.A. Stewart. 1968. Methodology of integrated survey. Proc. Unesco
Conf. on Aerial Survey and Integrated Studies. Toulouse, France. p. 233-278.

Dent, D. dan A. Young. 1981. Soil Survey and Land Evaluation. George Allen & Unwin,
London.

Dent, J.B. dan J.R. Anderson. 1971. Systems Analysis in Agricultural Management. John
Wiley & Sons Australasia PTY LTD,. Sydney.

Departemen Pertanian. 1987. Pedoman pola pembangunan di daerah aliran sungai. S.K.
Menteri Pertanian No. 175/Kpts/ Rc.220/4/1987, 2 April 1987. Jakarta.

Departemen Pertanian. 1991. Pedoman pola pembangunan di daerah aliran sungai. S.K.
Menteri Pertanian No. 175/Kpts /Rc.220/4/1987, 2 April 1987. Jakarta.

Doorenbos, J. dan W.O. Pruitt. 1977. Guidelines for Predicting Crop Water Requirements.
FAO Irrigation and Drainage Paper No. 24. Food and Agriculture Organization of The
United Nations, Rome.

Downey, W.D. dan Steven. P. Erickson, 1989. Manajemen Agribisnis (Agribusiness


Management) Alih Bahasa Rochijat Ganda S. dan Alfonsus Sirait. Penerbit Erlangga.
2
6

Edward, A.A.,R. Lal, P. Madden, R.H. Miller dan G. House. 1990. Sustainable Agricultural
Systems. Soil and Water Conservation Society. Iowa.

Edwards, C.A. 1990. The importance of integration in sustainable agricultural systems.


Dalam Sustainable Agricultural Systems (ed. by C.A. Edwards et al.). Soil and
Water Conser-vation Society, Iowa.

FAO. 1976. A Framework for Land Evaluation. FAO Soils Bulletin No. 32/I/ILRI Publ. No.
22. FAO, Rome.

Hardjowigeno, S. 1985. Kesesuaian Lahan Bagi Pengembangan Pertanian dan Non


Pertanian. Jurusan Tanah, Institut Pertanian Bogor.

Manuwoto. 1991. Peranan Pertanian Lahan Kering di dalam Pembangunan Daerah.


Simposium Nasional Penelitian dan Pengembangan Sistem Usahatani Lahan Kering
yang Berkelanjutan. Malang 29-31 Agustus 1991.

Manwan, I. 1991. Farming Systems Research in Indonesia: Its Evolution and Future Outlook.
Simposium Nasional Penelitian dan Pengembangan Sistem Usahatani Lahan Kering
yang Berkelanjutan. Malang 29-31 Agustus 1991.

Nasoetion, L.I. 1988. Masalah Pengkonversian Lahan Pertanian ke lahan Non-Pertanian dan
beberapa Alternatif Kebijakan untuk Mengatasi Dampak Negatifnya. Makalah
disampaikan pada Seminar Keprofesian Himpunan Mahasiswa Ilmu Tanah, Bogor,
27 Oktober 1988.

P3HTA. 1989. Pertanian Lahan kering dan Konservasi di Daerah Aliran Sungai. Risalah
Diskusi Ilmiah Hasil-Hasil Penelitian. Batu, Malang 1-3 Maret 1989.

PPLK. 1992. Buku Pedoman Operasional . Petunjuk Teknis Proyek Pertanian Lahan Kering,
Jawa Timur. PPLK Jatim, Sekretariat Badan Pengendali Bimas, DEPTAN, Jakarta.

Rauschkolb, R.S. 1971. Land Degradation. FAO Soil Bulle tin No. 13, Rome, Italy.

Salim, E. 1990. Pola Pembangunan Berkelanjutan dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia


Jangka Panjang ke dua. Makalah disampaikan pada Kongres XI ISEI, 23 Agustus
1990 di Bandung.

Sanchez, P.A. 1976. Properties and Management of Soil in the tropics. Wiley, New York,
USA.

Sanchez, P.A. 1995. Science in Agroforestry. Agroforestry Systems 30:5-55. Kluwer


Academic Publishers, Netherlands.

Sanchez, P.A., J.H. Villachia, dan D.E.Bandy. 1983. Soil fertility dynamics after clearing a
tropical rainforest in Peru. Soil Science Society of America Journal 47:1171-1178.

Sanchez,P.A. dan S.W.Buol. 1975. Soils of the tropics and the world food crisis. Science
188: 598-603.

Semaoen, I, Soemarno dan N.Hanani. 1995. Identifikasi Kelompok sasaran dan Pola
Pemberian Bantuan sesuai Dengan Kategori Kemiskinannya, BAPPEDA - LP
Unibraw.
2
7

Sitorus, S.R.P. 1985. Evaluasi Sumberdaya Lahan. Penerbit Tarsito, Bandung.

Soemarno. 1988. Model dan Simulasi dalam Pengelolaan Lahan Kritis di DAW Selorejo.
Tesis Magister Sains di Fakultas Pascasarjana, IPB.

Soemarno, 1990. Perencanaan dan Pengelolaan Lahan di DAS Konto, Malang, Jawa Timur,
Thesis S2, IPB Bogor

Soemarno. 1991. Studi Perencanaan Pengelolaan Lahan di Sub DAS Konto, Malang.
Disertasi, Jurusan Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL), Institut
Pertanian Bogor.

Soemarno, B.Setiawan, H.Hidayat, dan A.Affandie. 1995. Studi Pewilayahan Komoditi Lahan
Kering Miskin di Jawa Timur (Kabupaten Trenggalek, Malang, Jombang, Kediri,
Bangkalan, Sampang, dan Sumenep), BAPPEDA - FP Unibraw.

SP2UK-PPLK Jatim. 1991. Petunjuk Teknis Budidaya dan Konservasi Lahan Kering. SP2UK-
PPLK Jawa Timur, Malang.

Sunanto. 1991. Budidaya Melinjo dan Usaha Produksi Emping. Kanisius. Jakarta.

Sys, C. 1985. Land Evaluation Part I , II, and III. International Training Centre for Post-
Graduate Soil Svcientist, State University of Ghent, Ghent.

Thornthwaite, C.W. dan J.R. Mather. 1955. The Water balance. Laboratory of Climatology.
Publication Vol. VIII No. 1, Centerton, N.J. p. 7-21.

Thornthwaite, C.W dan J.R. Mather. 1957. Instruction and Tables for Computing
Potential Evapotranspiration and the Water Balance. Laboratory of Climatology.
Publication Vol X No. 3., Centerton ,N.J. p.5-32.

Wood, S.R. dan F. J. Dent. 1983. LECS. Land Evaluation Computer System,
Methodology. AGOF/INS/78/006. Mannual 5 Version 1. Ministry of Agric.
Government of Indonesia-UNDP and FAO. Jakarta.

Wright, A. 1971. Farming systems: model and simulation. In: J.B. Dent dan J.R. Anderson
(Eds.) Systems Analysis in Agricultural Management. John Wiley and Sons,
Australia PTY LTD., Sydney. p. 17-33.

Anda mungkin juga menyukai